SARAF TEPI
Oleh :
Kadek Dede Frisky Wiyanjana (1202006134)
Pembimbing:
Dr. Agus Roy R.H. Hamid, Sp.BP-RE
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa,
karena atas rahmat-Nya Kami dapat menyelesaikan tinjauan pustaka ini dengan judul “Proses
Degenerasi Wallerian Pada Cedera Saraf Tepi” tepat pada waktunya.
Laporan ini dibuat sebagai prasyarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya (KKM)
di BAG/SMF Bedah FK UNUD/RSUP Sanglah, Denpasar. Dalam penyusunan laporan kali ini,
Penulis memperoleh banyak bimbingan, petunjuk dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena
itu, Penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Direktur utama beserta jajaran RSUP Sanglah yang telah memberikan kami
kesempatan menimba ilmu.
2. dr. Agus Roy H Hamid, Sp.BP-RE selaku pembimbing dalam jurnal reading ini.
3. Semua pihak yang telah membantu pembuatan laporan ini.
Penulis menyadari bahwa dalam jurnal reading ini masih terdapat kekurangan, diharapkan adanya
saran demi penyempurnaan karya ini. Semoga bisa memberikan sumbangan ilmiah bagi dunia
kedokteran dan manfaat bagi masyarakat. Terima kasih.
Denpasar, 2 Juni 2017
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman
COVER ............................................................................................................................. i
DAFTAR PUSTAKA
iii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
iv
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Klasifikasi cidera saraf menurut seddon dan sunderland ........................ 6
v
BAB I
PENDAHULUAN
Susunan saraf pusat terdiri dari otak dan medula spinalis sedangkan sistem saraf
tepi merupakan sistem saraf di luar sistem saraf pusat yang membawa pesan dari dan
menuju sistem saraf pusat untuk menjalankan otot dan organ tubuh. Tidak seperti
sistem saraf pusat, sistem saraf tepi tidak dilindungi tulang, sehingga rentan terhadap
trauma.1 Saraf tepi terdiri dari saraf kranial dan spinal yang menghubungkan otak dan
medula spinalis ke jaringan tepi. Sistem Saraf tepi meliputi semua jaringan saraf di luar
Sistem Saraf Pusat yang berfungsi untuk menerima rangsang, menghantarkan
informasi sensorik, dan membawa perintah motorik ke jaringan dan sistem perifer. 1
Cedera saraf tepi merupakan salah satu penyebab morbiditas dan disabilitas
yang penting pada saat ini.Cedera pada suatu bagian tubuh tertentu dapat menyebabkan
kerusakan saraf pada bagian tersebut. Walaupun kerusakan pada lokasi tertentu jelas
terlihat, struktur yang rusak akibat trauma tersebut sangat sering tidak terlihat jelas.
Tingkat cidera saraf tepi bervariasi antara satu pasien dengan pasien lainnya, mulai dari
nyeri yang bersifat ringan hingga cidera yang berkepanjangan. Cedera saraf tepi dapat
diklasifikasikan menurut Seddon berdasarkan demyelinasi dan tingkat keparahan
cidera dari axon, menjadi tiga kategori: neurapraksia, aksonotmesis, dan neurotmesis.7
Prevalensi cedera saraf tepi bervariasi menurut studi dan tempat studi itu dilakukan,
lama suatu studi dilakukan dan kontak sosial dari tempat studi. Namun, secara umum
prevalensi berkisar antara 1,3-2,8 %. 1,2
Degenerasi wallerian merupakan suatu proses yang terjadi akibat terpotong atau
rusaknya serabut saraf dimana bagian akson terpisah dari badan sel saraf sehingga
bagian distal dari cedera tersebut berdegenerasi. Degenerasi wallerian terjadi setelah
cedera akson, baik pada sistem saraf tepi ataupun sistem saraf pusat. Hal ini terjadi
pada bagian distal dari bagian akson yang mengalami cedera dan biasanya terjadi 24-
26 jam setelah terjadinya lesi. 2
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
anterior dan radiks posterior. Radiks anterior terdiri dari berkas serabut saraf yang
membawa impuls saraf dari SSP (serabut eferen). Radiks posterior terdiri dari berkas
serabut saraf yang membawa 10 Saraf Perifer Anatomi dan Fisiologi Sistem Saraf Tepi
11 impuls menuju SSP (serabut aferen). Badan sel serabut saraf ini terletak da lam
pembesaran radiks posterior yang disebut ganglion spinalis. Radiks anterior bergabung
dengan radiks posterior tepat di distal ganglion spinalis, dan keduanya membentuk
saraf tepi spinalis. Jadi setiap segmen tubuh mempunyai pasangan saraf spinalisnya
masing-masing. Dalam perjalanannya, saraf tepi bercabang dan bergabung dengan
saraf tepi di dekatnya sehingga membentuk jaringan saraf yang di sebut pleksus
nervosus. Pleksus memungkinkan redistribusi serabut saraf di dalam saraf tepi yang
berbeda. Pembentukan pleksus-pleksus ini menyebabkan serat-serat dari setiap pasang
radiks bercabang menjadi saraf-saraf tepi yang berbeda, artinya setiap saraf tepi dibuat
dari serat beberapa radiks segmental yang berdekatan. 2,3
Beberapa segment nervus spinalis seperti pada segmen servikal dan lumbal dan
sacral dalam perjalanannya membentuk cabang dan bergabung dengan saraf tepi di
dekatnya sehingga membentuk jaringan saraf yang di sebut pleksus nervosus. Pleksus
memungkinkan redistribusi serabut saraf di dalam saraf tepi yang berbeda.
Pembentukan pleksus-pleksus ini menyebabkan serat-serat dari setiap pasang radiks
bercabang menjadi saraf-saraf tepi yang berbeda, artinya setiap saraf tepi dibuat dari
serat beberapa radiks segmental yang berdekatan.3
3
Tidak terjadi cedera struktural karena tidak ada kehilangan kontinuitas saraf,
sehingga tidak terjadi kehilangan kemampuan fungsional. Neurapraksia biasanya
muncul karena kompresi ringan atau traksi dari saraf yang menyebabkan
menurunya kecepatan konduktivitas dari sel saraf. Gejalanya muncul akibat
blokade konduksi lokal yang diinduksi oleh ion pada tempat cedera. Secara
structural kadang terjadi sedikit perubahan struktur myelin, sebagai akibat dari
kombinasi kompresi mekanik dan iskemia. Efeknya bersifat reversibel, kecuali jika
iskemia menetap selama kurang lebih 8 jam. 4
b. Aksonotmesis
Adalah terjadinya disrupsi axon dan myelin. Jaringan ikat lunak sekitarnya termasuk
endoneurium masih intak. Terjadi degenerasi axon distal dan proksimal lokasi
terjadinya trauma. Degenerasi distal dikenal sebagai degenerasi Wallerian. Axon
akan memngalami regenerasi dengan kecepatan 1mm/ hari. Secara bermakna fungsi
akan kembali normal setelah 18 bulan. Tipe cedera ini kemungkinan terlihat pada
isolasi, seperti pada cedera Pleksus Brakhialis dihubungkan dengan kelahiran, atau
dalam hubungan nya dengan fraktur seperti cedera saraf radial sekunderi terhadap
fraktur humerus. 4,5
4
Gambar 2.3. Aksonotmesis
c. Neurotmesis
Neurotmesis adalah keadaan dimana akson dan pembungkus saraf perifer
putus, sobek atau rusak. Degenerasi Wallerian terjadi pada bagian distal namun,
segmen proksimal tidak mengalami regenerasi secara alamiah Karena pembungkus
akson ikut terputus. Serabut fibril saraf dengan elemen - elemen jaringan fibrus
membentuk neuroma. Pemulihan hanya dapat diharapkan bila dilakukan repair
saraf secara pembedahan mikro. Tipe cedera ini hanya terlihat pada trauma mayor.
5
berhubungan dengan Neuropraxia dan Neurotmesis. Namun, Grade II-IV adalah
segala bentuk Axonotmesis dengan meningkatnya jumlah kerusakan jaringan ikat.
Di kelas II, kerusakan akson diamati tanpa adanya kerusakan pada jaringan ikat.
Grade III melibatkan Kerusakan pada endoneurium dan Grade IV meliputi
kerusakan perineurium. Sebuah lesi kelas VI kemudian diperkenalkan oleh
McKennon dan Dellon untuk menunjukkan kombinasi Cedera kelas III-V di
sepanjang saraf yang rusak, meski pemakaiannya belum secara luas diterima. 5,6
Prevalensi cedera saraf tepi bervariasi menurut studi dan tempat studi itu
dilakukan, lama suatu studi dilakukan dan kontak sosial dari tempat studi. Namun,
secara umum prevalensi berkisar antara 1,3-2,8%. Suatu studi yang dilakukan di
Mexico didapatkan bahwa, prevalensi cedera saraf tepi kurang dari kisaran tersebut
yaitu 1,12%. Dari jumlah tersebut lokasi terbanyak cedera saraf tepi adalah tungkai
atas. Prevalensi cedera saraf tepi pada tungkai atas mencapai 61% diikuti oleh tungkai
bawah sebanyak 15%, wajah 14%, leher 6% dan thorax 4%. Diantara tungkai atas,
cedera fleksus brakial adalah cedera saraf tepi tersering mencapai 24% dari seluruh
cedera saraf tepi. Sebagai tambahan, 6% dari seluruh cedera merupakan cedera
multiple.6
6
Pada studi tentang cedera saraf tepi khusus tungkai atas, didapatkan hasil
dengan prevalensi cedera saraf medial merupakan cedera saraf tersering yaitu sekitar
48%, diikuti oleh saraf ulnaris (45%) dan saraf radialis (7%). Prevalensi pada saraf
radial lebih jarang dibandingkan dengan saraf yang lainnya dihubungkan dengan letak
radial nerve stem lebih proksimal dibandingkan dengan saraf median dan ulnar.2 Selain
itu, Pada saraf ulnaris dan median lebih sering terjadi pada bagian distal, sedangkan
saraf radial lebih sering terjadi pada bagian proximal.4 Namun, studi lain mendapatkan
bahwa cedera saraf ulnaris lebih sering dibandingkan dengan cedera saraf yang
lainnya.4,5
7
2.4 Mekanisme Cidera Saraf Tepi
Degenerasi wallerian merupakan suatu proses yang terjadi akibat terpotong atau
rusaknya serabut saraf dimana bagian akson terpisah dari badan sel saraf sehingga
bagian distal dari cedera tersebut berdegenerasi. Hal ini juga dikenal sebagai
degenerasi anterograde atau degenerasi ortograde. Suatu proses terkait yang dikenal
sebagai wallerian-like degerasi terjadi pada berbagai penyakit neurodegeratif, terutama
pada penyakit dengan transpor akson yang terganggu. Penelitian-penelitian
sebelumnya menyatakan bahwa kegagalan untuk mengirimkan jumlah protein akson
yang diperlukan yaitu NMNAT2 merupakan kunci dari proses ini. 2
Degenerasi wallerian terjadi setelah cedera akson, baik pada sistem saraf tepi
ataupun sistem saraf pusat. Hal ini terjadi pada bagian distal dari bagian akson yang
mengalami cedera dan biasanya terjadi 24-26 jam setelah terjadinya lesi. Sebelum
terjadi degerasi, bagian distal dari akson ini cenderung untuk tetap dapat mengalami
eksitasi. Setelah terjadi cedera kerangka akson terdisintegrasi dan membran akson
hancur. Degenerasi akson diikuti oleh degradasi selubung myelin dan infiltrasi
makrofag. Makrofag-makrofag ini disertai oleh sel schwann berperan untuk
membersihkan sisa-sisa dari degenerasi tersebut. 2,5
Serat saraf neurolemma tidak mengalami degenerasi dan tetap menjadi tabung
kosong. Dalam waktu 96 jam dari saat terjadinya cedera, ujung distal dari serabut saraf
proksimal dari lesi mengirimkan sinyal menuju tabung ini dan sinyal-sinyal ini
menyebabkan produksi faktor-faktor pertumbuhan dari sel-sel schwannn pada tabung
tersebut. Jika sinyal ini mencapai tabung maka akan terjadi pertumbuhan dan
memanjang 1 mm per hari, sehingga pada akhirnya mencapai dan menginervasi
jaringan sasaran. Jika sinyal ini tidak dapat mencapai tabung karena celah yang terlalu
lebar atau adanya pembentukan jaringan parut, maka pembedahan dapat membatu
sinyal tersebut mencapai tabung ini. Regenerasi ini lebih lambat pada medula spinalis
dibandingkan sistem saraf tepi. Perbedaan mendasar adalah pada sistem saraf pusat
8
termasuk medula spinalis, selubung myelin diproduksi oleh oligodendrosit dan bukan
oleh sel schwann.
2.4.2 Sejarah
9
bervariasi. Degenerasi akson menghasilkan droplet yang dapat diwarnai, sehingga
dapat diteliti saraf-saraf yang terkait.
Degenerasi granular dari sitiskeleton akson dan orgeanel dalam terjadi setelah
degradasi aksolemma. Perubahan awal termasuk akumulasi mitokondria pada daerah
paranodal dilokasi kerusakan. Retikulum endoplasma mengalami degradasi dan
mitokondria yang membengkak pada akhirnya berdisintegrasi. Mikrotubulus
mengalami depolimerisasi yang kemudian diikuti oleh degradasi neurofilamen dan
komponen sitoskeleton lainnya. Proses disitegrasi ini dipengaruhi oleh ubiquitin dan
calpain protease, sehingga merupakan proses aktif dan bukan proses pasif seperti yang
disalahartikan sebelumnya. Sehingga akson mengalami fragmentasi sempurna.
Kecepatan degradasi tergantung pada jenis cedera dan lebih lambat pada sistem saraf
pusat daripada sistem saraf tepi. Faktor lain yang mempengaruhi kecepatan degradasi
adalah diameter akson: semakin besar akson maka dibutuhkan waktu yang lebaih lama
agar sitoskeleton untuk berdegradasi sehingga semakin lama degenerasinya. 3,4
10
2.4.4 Myelin clearance
Pembersihan pada sistem saraf tepi. Reaksi sel schwan terhadap cedera akson sangat
cepat. Periode reaksi diperkirakan setelah terjadi degenerasi akson. Neuregulins
dipercayai sebagai faktor yang berperan pada aktivasi cepat. Neuregulins mengaktivasi
reseptor ErbB2 pada mikrovili sel schwann yang mengakibatkan aktivasi mitogen-
activated protein kinase (MAPK). Walaupun aktivitas MAPK telah diteliti, namun
mekanisme reaksi sel schwann terhadap cedera masih belum dipahami. Mekanisme ini
diikuti berkurangnya sintesis lipid myelin dan akhirnya berhenti setelah 48 jam.
Selubung myelin terpisah dari akson pada insisura schmidt-lanterman petrama dan
mengalami deteriorasi cepat membentuk seperti tasbih. Sel schwann kemudian
melanjutkan denris myelin dengan mendegradasi myelin mereka sendiri, fagosistosis
myelin ekstra selular dan menarik makrofag untuk fagositosis debris myelin
selanjutnya. Walaupun demikian makrofag tidak ditarik ke daerah tersebut pada hari-
hari pertama sehingga sel schwann mengambil peran utama dalam pembersihan myelin
hinga saat ini. 6
Sel schwann telah diteliti untuk menarik makrofag melalui pelepasan sitokin dan
kemokin setelah merasakan adanya cedera akson. Penarikan makrofag memperbaiki
kecepatan pembersihan debris myelin. Makrofag setempat terdapat pada saraf
11
mengeluarkan kemokin dan sitokin untuk menarik makrofag lebih banyak. Saraf yang
berdegenerasi juga memproduksi molekul kemotaksis makrofag. Sumber penarikan
makrofag lainnya adalah serum. Penarikan makrofag tertunda pada tikus dengan
defisiensi sel B dengan serum antibodi yang rendah. Sinyal molekul-molekul ini
bersama menyebabkan peningkatan makrofag yang mencapai puncaknya pada minggu
ketiga setelah cedera. Saat sel schwann memediasi proses awal dalan pembersihan
debris myelin, makrofag menyelesaikan proses ini. Makrofag difasilitasi oleh opsonin
yang berperan pada pembersihan debris. Tiga grup utama yang ditemukan pada serum
antara lain komplemen, pentraksin dan antibodi. Namun hanya komplemen yang
membantu fagositosis debris myelin. 6,7
12
BAB III
KESIMPULAN
13
DAFTAR PUSTAKA
1. Ron M. G. Menorca, BS, Theron S. Fussell, BA, Peripheral Nerve Trauma: Mechanisms of Injury and
Recovery. 2013. Hand Clin ; 29(3): 317–330.
2. Rotshenker: Wallerian degeneration: the innateimmune response to traumatic nerve injury. 2011.
Journal of Neuroinflammation.8:109.
3. Gaudet et al.: Wallerian degeneration: Gaining perspective on inflammatory events after peripheral
nerve injury. 2011. Journal of Neuroinflammation.8:110
4. Laura Conforti, Jonathan Gilley, Michael P. Coleman. Wallerian degeneration: an emerging axon
death pathway linking injury and disease . 2014. Nature: Neurosicence. 15 :124
5. Jami Scheib and Ahmet Höke.Advances in peripheral nerve regeneration.2013.Naturereview :
Neurology Vol. 9
6. W. Daly1, L. Yao1, D. Zeugolis1, A. Windebank2 and A. Pandit. A biomaterials approach to
peripheral nerve regeneration: bridging the peripheral nerve gap and enhancing functional recovery.
2011.J. R. Soc. Interface. 2:452
7. Ren, Z., Wang, Y., Peng, J., Zhao, Q. & Lu, S. Role of stem cells in the regeneration and repair of
peripheral nerves. 2012 Rev. Neurosci. 23, 135–143