Anda di halaman 1dari 36

PARTAI POLITIK DAN PEMILU1

Oleh: Ikin Sodikin2

Dibanding dengan kekuatan politik permenen yang memprasyarati terbentuknya


negara (penduduk, wilayah, pemerintahan, kedaulatan dan pengakuan negara lain), partai
sebagai salah satu kekuatan politik termasuk gejala baru, karenanya pada konteks negara
ini disebut. Istilah partai politik muncul pada abad IXX berbarengan dengan makin
berkembangnya lembaga perwakilan, meningkatnya frekuensi pemilihan umum,
meluasnya pemahaman, partisipasi dan hak politik rakyat pada pemilu. Jadi partai politik
tidak lebih dari sebagai wadah dinamika lalulintas berbagai kepentingan di masyarakat
yang terkait dengan kekuasaan.
Kecuali Amerika Serikat tahun 1850, tidak satupun negara di dunia yang
mengenal partai dalam pengertian modern, sekarang ini. Yang dikenal saat itu adalah
kelompok-kelompok di parlemen, kelompok masyarakat dengan aliran kepentingan
seperti filsafat, kultural dan sejenisnya. Satu abad kemudian, 1950-an hampir semua
nation- states di dunia telah memiliki partai politik. Bahkan bagi negara-negara jajahan,
partai politik memiliki posisi tersendiri di masyarakat, yaitu menjadi alat perjuangan,
kekuatan melawanan dan menentang penjajah.
Di banyak negara yang baru merdeka, tidak sedikit mencita-citakan adanya
parpol dan kepadanya warga negara menaruh harapan. Hasil studi Jean Blondel seperti
dikutif Gabriel Almond (Comparative politics today, 1974) bahwa sampai tahun 1974 dari
138 nation states, 107 negara (77%) memiliki partai politik, sementara 31 negara (23%)
tidak memiliki partai politik.
Secara umum partai politik dapat didefinisikan, sebagai suatu kelompok yang
terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang
sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut
kedudukan politik – (biasanya) dengan cara konstitusional–untuk melaksanakan kebijakan-
kebijakan mereka.
Kegiatan seseorang dalam partai politik merupakan suatu bentuk partisipasi yang
mencakup semua kegiatan sukarela; turut serta dalam proses pemilihan pemimpin-
pemimpin politik, dan turut serta – secara langsung atau tak langsung – dalam
pembentukan kebijaksanaan umum. Kegiatan ini juga mencakup: memilih pada pemilu,
menjadi anggota partai, kelompok penekan, kelompok kepentingan, duduk dalam lembaga
politik seperti dewan perwakilan rakyat atau mengadakan komunikasi dengan wakil-wakil
rakyat yang duduk dalam badan itu, berkampanye, dan menghadiri kelompok diskusi, dan
sebagainya.
Carl J Friedrich memberi pengertian “ A political party is a group of human beings,
stably organized with the objective of securing or maintaining for its leaders the control of a
government, with the further objective of giving to members of the party, through such
control ideal and material benefits and advantages. (Partai politik adalah “sekelompok
manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan
penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan, berdasarkan

1
Bahan kuliah SISTEM POLITIK INDONESIA versi WAG, terkait penyelenggaraan kuliah tidak tatap muka di kelas,
karena kasus COPVID-19 (corona) Surat Rektor.
2
Dosen Mata Kuliah Sistem Poluitik Indonesia
penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil
maupun materiil)
Menurut Soltau, Partai politik adalah: A group of citizens more or less organized,
who act as a political unit and who, by the use of their voting power, aim to control the
government and carry out their general policies . (sekelompok warga Negara yang sedikit
banyak terorganisir, yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik dan yang --dengan
memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih-- bertujuan menguasai pemerintahan dan
melaksanakan kebijaksanaan umum mereka)
Sigmund Neumann memberi definisi: A political party is the articulate organization
of society’s active political agents, those who are concerned with the control of
governmental power and who compete for popular support with another group or groups
holding divergent views. (Partai politik adalah organisasi dari aktivis-aktivis politik yang
berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat atas
dasar persaingan dengan suatu golongan atau golongan –golongan lain yang mempunyai
pandangan yang berbeda)
Secara demikian partai politik berbeda dengan gerakan ( movement). Gerakan
lebih merupakan aksi kelompok atau golongan yang ingin mengadakan perubahan-
perubahan pada lembaga-lembaga politik atau kadang-kadang malahan ingin menciptakan
suatu tata masyarakat yang baru sama sekali, dengan memakai cara-cara politis.
Tujuannya lebih terbatas, sifatnya fundamental kadang-kadang ideologis. Orientasi ini
merupakan ikatan yang kuat di antara anggotanya dan dapat menumbuhkan suatu
identitas kelompok (group identity). Organisasinya kurang ketat, tidak mengadu nasib
dalam pemilu.
Adapun kelompok penekan (pressure group) atau istilah yang lebih banyak
dipakai dewasa ini kelompok kepentingan ( interest group) bertujuan memperjuangkan
“kepentingan” dengan cara mempengaruhi lembaga-lembaga politik (parpol, instansi
yang berwenang) agar mendapatkan keputusan yang menguntungkan, atau setidaknya
terhindar dari keputusan yang merugikan. Kelompok ini tidak berusaha menempatkan
wakilnya di DPR. Orientasinya lebih sempit dari parpol, dan karena mewakili pelbagai
golongan, ia banyak memperjuangkan kepentingan umum.
Pada negara demokrasi, pemikiran mengenai partisipasi rakyat mempunyai dasar
ideologis yang kuat: “bahwa rakyat berhak turut menentukan siapa saja yang akan menjadi
pemimpin dan nantinya menentukan kebijaksanaan umum (public policy).” Di negara-
negara totaliter, gagasan mengenai partisipasi rakyat didasari pandangan elite politiknya
bahwa rakyat perlu dibimbing dan dibina untuk mencapai stabilitas yang langgeng. Untuk
mencapai tujuan ini, partai politik merupakan alat yang paling dianggap efektif.
Pada awal perkembangannya di negara-negara Barat, seperti Inggris dan
Perancis, kegiatan politik dipusatkan pada kelompok-kelompok politik dalam parlemen.
Kegiatan ini mula-mula bersifat elitist dan aristokratis, mempertahankan kepentingan kaum
bangsawan terhadap tuntutan raja. Namun dengan meluasnya hak pilih, kegiatan politik
berkembang di luar parlemen dengan terbentuknya panitia-panitia pemilihan yang
mengatur pengumpulan suara para pendukungnya menjelang masa pemilihan umum.
Karena dirasa perlu memperoleh dukungan dari pelbagai golongan masyarakat,
kelompok-kelompok politik dalam parlemen lambat laun berusaha mengembangkan
organisasi massa. Dengan demikian terjalinlah suatu hubungan tetap antara kelompok-
kelompok politik dalam parlemen dengan panitia-panitia pemilihan yang sefaham dan
sekepentingan sekurang-kurangnya untuk terselenggaranya pemilu; lahirlah partai politik.
Partai semacam ini menekankan kemenangan dalam pemilihan umum dan dalam masa
antara dua pemilihan umum biasanya kurang aktif. Ia bersifat patronage party (partai
lindungan) yang biasanya tidak memiliki disiplin partai yang ketat.
Dalam perkembangan selanjutnya di dunia Barat timbul pula partai yang lahir di
luar parlemen. Partai-partai ini bersandar pada suatu pandangan hidup atau ideologi
tertentu seperti Sosialisme, Kristen Demokrat, dan sebagainya. Dalam partai semacam ini
disiplin partai lebih kuat, sedangkan pimpinan lebih bersifat terpusat.
Di negara-negara jajahan partai-partai politik sering didirikan dalam rangka
pergerakan nasional di luar dewan perwakilan rakyat colonial; malahan partai-partai
kadang-kadang menolak untuk duduk dalam badan itu, seperti pernah terjadi di India dan
Hindia Belanda. Setelah kemerdekaan dicapai dan dengan meluasnya proses urbanisasi,
komunikasi massa serta pendidikan umum, maka bertambah kuatlah kecenderungan
untuk berpartisipasi dalam proses politik melalui partai. Karenanya partai harus memiliki
kekuatan yang memadai.
Parpol memiliki kekuatan, manakala partai politik tersebut memang fungsional.
Jika tidak funsional, tentu parpol akan lemah tidak memiliki daya dan tidak memiliki
kontribusi untuk kepentingan negara. Seperti telah banyak diketahui, fungsi partai politik
meliputi:
David A. Apter, seperti dikutip Rusadi Kantaprawira (1988:54) Fungsi politik yang
ditunaikan oleh struktur politik masyarakat meliputi al:
a. Pendidikan Politik (Political education, political socialization, citizenship training) Yaitu
untuk meningkatkan pengetahuan politik rakyat dan agar mereka dapat berpastisipasi
secara maksimal dalam system politiknya. Sesuai dengan faham kedaulatan rakyat
atau demokrasi, rakyat harus mampu menjalankan tugas partisipasi. Termasuk pada
fungsi ini, parpol berfungsi sebagai sarana sosialisasi politik (instrument of political
socialization). Sosialisasi politik diartikan sebagai proses guna mengetahui sikap
dan orientasi seseorang terhadap phenomena politik di mana ia berada. Lumrahnya
proses ini berjalan secara berangsur-angsur dari masa kanak-kanak sampai dewasa.
Sosialisasi politik juga mencakup proses penyampaian norma-norma dan nilai-nilai
dari satu generasi ke generasi berikutnya. Proses sosialisasi politik ini
diselenggarakan melalui ceramah penerangan, kursus kader, kursus penataran, dan
sebagainya.
b. Agregasi kepentingan (Interest aggregation) yaitu menyalurkan segala hasrat/aspirasi
dan pendapat masyarakat kepada pemegang kekuasaan (regim) atau pemegang
kekuasaan yang berwenang (authorities) agar tuntutan (demands) atau dukungan
(support) menjadi perhatian dan menjadi keputusan politik. Pada masyarakat
modern, aspirasi seseorang atau kelompok akan hilang ketika tidak ditampung dan
digabung dengan pendapat orang lain yang senada. Proses ini dinamakan ” interest
aggregation” (penggabungan kepentingan).
c. Mempertemukan kepentingan (interest articulation) Sesudah digabung kemudian
diolah dan dirumuskan secara teratur. Proses ini disebut “ interest articulation”
(perumusan kepentingan). ini dimaksud agar kepentingan yang aneka ragam dan
nyata-nyata hidup dalam masyarakat dapat dipertemukan, sehingga terjadi
akomodasi (accommodation) atau penyesuaian (adaptation). Selanjutnya berbagai
kepentingan dirumuskan menjadi usul kebijaksanan yang dimasukkan dalam
program partai. Program ini disampaikan kepada pemerintah agar dijadikan
kebijaksanaan umum (public policy). Dengan demikian tuntutan dan kepentingan
masyarakat disampaikan kepada pemerintah melalui partai politik.
d. Seleksi kepemimpinan (political selection) yaitu menyelenggarakan pemilihan pemimpin
atau calon pemimpin bagi masyarakat. Partai politik berfungsi mencari dan
mengajak orang berbakat untuk turut aktif dalam kegiatan politik sebagai anggota
partai (political recruitment). Perluasan partisipasi politik ini melalui kontak pribadi,
persuasi dan lain-lain. rekrutmen politik ini juga diusahakan menarik golongan muda
untuk dididik menjadi kader mengganti pimpinan lama (selection of leadership).
e. Komunikasi politik (political communication) gunanya untuk menghubungkan pikiran
politik yang hidup dalam masyarakat, baik pikiran intra golongan, institut, asosiasi,
atau sector kehidupan politik masyarakat dengan sector pemerintahan. Ini dimaksud
untuk menyalurkan berbagai pendapat dan aspirasi masyarakat dan mengaturnya
sehingga kesimpangsiuran pendapat dalam masyarakat berkurang. Partai politik juga
memperbincangkan dan menyebarluaskan rencana-rencana dan kebijakan
pemerintah kepada masyarakat. Dengan demikian terjadi arus informasi dua arah.
Dalam menjalankan fungsi ini partai politik sering disebut sebagai broker (perantara)
dalam suatu bursa idée-idee “clearing house of ideas”. Bagi pemerintah, parpol
bertindak sebagai alat pendengar, bagi masyarakat sebagai pengeras suara.

1) Partai Politik dan Pemilu (1955 s/d 2009)

Tidak dipungkiri bahwa sistem kepartaian Indonesia menganut multy party system.
Dan ini tentu saja merupakan kekuatan riil dalam kepolitikan Indonesia. Persoalannya
benarkah untuk kekuatan politik dalam menopang negara atau sebagai alat kekuassan
saja. Tentu setiap periode regim kekuatan dan posisi parrtai politikpun berbeda-beda.
Pemilu 1955 merupakan pemilu yang pertama dalam sejarah bangsa Indonesia.
sekitar tiga bulan setelah kemerdekaan dipro-klamasikan oleh Soekarno dan Hatta pada
17 Agustus 1945, pemerin-tah waktu itu sudah menyatakan keinginannya untuk bisa
menyele-nggarakan pemilu pada awal tahun 1946. Hal itu dicantumkan dalam Maklumat
X, atau Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta tanggal 3 Nopember 1945, yang berisi
anjuran tentang pembentukan par-tai-partai politik.
Maklumat tersebut menyebutkan, pemilu untuk me-milih anggota DPR dan MPR
akan diselenggarakan bulan Januari 1946. Kalau kemudian ternyata pemilu pertama
tersebut baru terselenggara hampir sepuluh tahun setelah kemudian tentu bukan tanpa
sebab. Tetapi, berbeda dengan tujuan yang dimaksudkan oleh Maklumat X, pemilu 1955
dilakukan dua kali. Yang pertama, pada 29 September 1955 untuk memlih anggota-
anggota DPR. Yang kedua, 15 Desember 1955 untuk memilih anggota-anggota Dewan
Konstituante.
Dalam Maklumat X hanya disebutkan bahwa pemilu yang akan diadakan Januari
1946 adalah untuk memilih angota DPR dan MPR, tidak ada Konstituante. Keterlambatan
tersebut bukan tanpa sebab pula. Ada kendala yang bersumber dari dalam negeri dan ada
pula yang berasal dari faktor luar negeri.
Sumber penyebab dari dalam antara lain ketidaksiapan pemerintah
menyelenggarakan pemilu, baik karena belum tersedianya perangkat perundang-
undangan untuk mengatur penyelenggaraan pemilu maupun akibat rendahnya stabilitas
keamanan negara. Dan yang tidak kalah pentingnya, penyebab dari dalam itu adalah sikap
pemerintah yang enggan menyelenggarakan perkisaran (sirkulasi) kekuasaan secara
teratur dan kompetitif.
Penyebab dari luar antara lain serbuan kekuatan asing yang mengharuskan
negara ini terlibat peperangan. Tidak terlaksananya pemilu pertama pada bulan Januari
1946 seperti yang diamanatkan oleh Maklumat 3 Nopember 1945, paling tidak disebabkan
2 (dua) hal : 1. Belum siapnya pemerintah baru, termasuk dalam penyusunan perangkat
UU Pemilu; 2. Belum stabilnya kondisi keamanan negara akibat konflik internal antar
kekuatan politik yang ada pada waktu itu, apalagi pada saat yang sama gangguan dari luar
juga masih mengancam.
Dengan kata lain para pemimpin lebih disibukkan oleh urusan konsolidasi. Namun,
tidaklah berarti bahwa selama masa konsolidasi kekuatan bangsa dan perjuangan
mengusir penjajah itu, pemerintah kemudian tidak berniat untuk menyelenggarakan
pemilu. Ada indikasi kuat bahwa pemerintah punya keinginan politik untuk menyelengga-
rakan pemilu. Misalnya adalah dibentuknya UU No. UU No 27 tahun 1948 tentang Pemilu,
yang kemudian diubah dengan UU No. 12 tahun 1949 tentang Pemilu. Di dalam UU No
12/1949 diamanatkan bahwa pemilihan umum yang akan dilakukan adalah bertingkat
(tidak langsung). Sifat pemilihan tidak langsung ini didasarkan pada alasan bahwa
mayoritas warganegara Indonesia pada waktu itu masih buta huruf, sehingga kalau
pemilihannya langsung dikhawatirkan akan banyak terjadi distorsi.
Kemudian pada paroh kedua tahun 1950, ketika Mohammad Natsir dari Masyumi
menjadi Perdana Menteri, pemerintah memutuskan untuk menjadikan pemilu sebagai
program kabinetnya. Sejak itu pembahasan UU Pemilu mulai dilakukan lagi, yang
dilakukan oleh Panitia Sahardjo dari Kantor Panitia Pemilihan Pusat sebelum kemudian
dilanjutkan ke parlemen. Pada waktu itu Indonesia kembali menjadi negara kesatuan,
setelah sejak 1949 menjadi negara serikat dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS).
Setelah Kabinet Natsir jatuh, 6 bulan kemudian pembahasan RUU Pemilu
dilanjutkan oleh pemerintahan Sukiman Wirjosandjojo, juga dari Masyumi. Pemerintah
ketika itu berupaya menyelenggarakan pemilu karena pasal 57 UUDS 1950 menyatakan
bahwa anggota DPR dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum. Tetapi pemerintah
Sukiman juga tidak berhasil menuntaskan pembahasan undang-undang pemilu tersebut.
Selanjutnya UU ini baru selesai dibahas oleh parlemen pada masa pemerintahan Wilopo
dari PNI pada tahun 1953. Maka lahirlah UU No. 7 Tahun 1953 tentang Pemilu. UU inilah
yang menjadi payung hukum Pemilu 1955 yang diselenggarakan secara langsung, umum,
bebas dan rahasia.
Dengan demikian UU No. 27 Tahun 1948 tentang Pemilu yang diubah dengan UU
No. 12 tahun 1949 yang mengadopsi pemilihan bertingkat (tidak langsung) bagi anggota
DPR tidak berlaku lagi. Patut dicatat dan dibanggakan bahwa pemilu yang pertama kali
tersebut berhasil diselenggarakan dengan aman, lancar, jujur dan adil serta sangat
demokratis. Pemilu 1955 bahkan mendapat pujian dari berbagai pihak, termasuk dari
negara-negara asing. Pemilu ini diikuti oleh lebih 30-an partai politik dan lebih dari seratus
daftar kumpulan dan calon perorangan.
Yang menarik dari Pemilu 1955 adalah tingginya kesadaran berkompetisi secara
sehat. Misalnya, meski yang menjadi calon anggota DPR adalah perdana menteri dan
menteri yang sedang memerintah, mereka tidak menggunakan fasilitas negara dan
otoritasnya kepada pejabat bawahan untuk menggiring pemilih yang menguntungkan
partainya. Karena itu sosok pejabat negara tidak dianggap sebagai pesaing yang licik, dan
pemilu kala itu dilakukan untuk dua keperluan; anggota DPR dan anggota Dewan
Konstuante:

Partai Pada Pemilu 1955

No Nama Partai Politik No Nama Parpol


1 Partai Nasional Indonesia (PNI) 16 Murba
2 Masyumi 17 Baperki
Persatuan Indoenesia Raya
3 Nahdlatul Ulama (NU) 18
(PIR) Wongsonegoro
4 Partai Komunis Indonesia (PKI) 19 Grinda
Partai Syarikat Islam Indonesia Persatuan Rakyat Marhaen
5 20
(PSII) Indonesia (Permai)
Partai Kristen Indonesia
6 21 Persatuan Daya (PD)
(Parkindo)
7 Partai Katolik 22 PIR Hazairin
Partai Politik Tarikat Islam
8 Partai Sosialis Indonesia (PSI) 23
(PPTI)
Ikatan Pendukung
9 24 AKUI
Kemerdekaan Indonesia (IPKI)
Pergerakan Tarbiyah Islamiyah
10 25 Persatuan Rakyat Desa (PRD)
(Perti)
Partai Republik Indonesis
11 Partai Rakyat Nasional (PRN) 26
Merdeka (PRIM)
Angkatan Comunis Muda
12 Partai Buruh 27
(Acoma)
Gerakan Pembela Panca Sila
13 28 R.Soedjono Prawirisoedarso
(GPPS)
14 Partai Rakyat Indonesia (PRI) Dst Dll
Persatuan Pegawai Polisi RI
15
(P3RI)

Untuk anggota Dewan Konstituante dilakukan tanggal 15 Desember 1955. Jumlah


kursi anggota Konstituante sebanyak 520, tetapi di Irian Barat memiliki jatah 6 kursi, dan
tidak ada pemilihan. Maka kursi yang dipilih hanya 514. Hasil pemilihan anggota Dewan
Konstituante menunjukkan bahwa PNI, NU dan PKI meningkat dukungannya, sementara
Masyumi, meski tetap menjadi pemenang kedua, perolehan suaranya merosot dibanding-
kan suara yang diperoleh dalam pemilihan anggota DPR.
Peserta pemilihan anggota Konstituante yang mendapatkan kursi itu adalah
sebagai berikut:

Partai Peserta Pemilu Konstituante

No Nama Partai Politik No Nama Parpol


Persatuan Indoenesia Raya
1 Partai Nasional Indonesia (PNI) 18
(PIR) Wongsonegoro
2 Masyumi 19 Grinda
Persatuan Rakyat Marhaen
3 Nahdlatul Ulama (NU) 20
Indonesia (Permai)
4 Partai Komunis Indonesia (PKI) 21 Persatuan Daya (PD)
Partai Syarikat Islam Indonesia
5 22 PIR Hazairin
(PSII)
Partai Kristen Indonesia Partai Politik Tarikat Islam
6 23
(Parkindo) (PPTI)
7 Partai Katolik 24 AKUI 84
8 Partai Sosialis Indonesia (PSI) 25 Persatuan Rakyat Desa (PRD)
Ikatan Pendukung Partai Republik Indonesis
9 26
Kemerdekaan Indonesia (IPKI) Merdeka (PRIM)
Pergerakan Tarbiyah Islamiyah Angkatan Comunis Muda
10 27
(Perti) (Acoma)
11 Partai Rakyat Nasional (PRN) 28 R.Soedjono Prawirisoedarso
12 Partai Buruh 29 Gerakan Pilihan Sunda
Gerakan Pembela Panca Sila
13 30 Partai Tani Indonesia
(GPPS)
14 Partai Rakyat Indonesia (PRI) 31 Radja Keprabonan
Persatuan Pegawai Polisi RI Gerakan Banteng Republik
15 32
(P3RI) Indonesis (GBRI)
16 Murba 33 PIR NTB
17 Baperki 34 L.M.Idrus Effendi
Dll

2) Parpol Pada Demokrasi Terpimpin.


Kisah sukses Pemilu 1955 tidak bisa dilanjutkan, kecuali hanya menjadi nostalgia
suksesnya pemilu dalam sejarah. Pemilu pertama itu tidak berlanjut dengan pemilu kedua
lima tahun berikutnya, meskipun tahun 1958 Pejabat Presiden Sukarno sudah melantik
Panitia Pemilihan Indonesia II. Yang terjadi kemudian adalah berubahnya format politik
dengan keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sebuah keputusan presiden untuk
membubarkan Konstituante dan pernyataan kembali ke UUD 1945 yang diperkuat angan-
angan Presiden Soekarno menguburkan partai-partai.
Dekrit itu kemudian mengakhiri rezim demokrasi dan mengawali otoriterianisme
kekuasaan di Indonesia, yang – meminjam istilah Prof. Ismail Sunny -- sebagai
kekuasaan negara bukan lagi mengacu kepada democracy by law, tetapi democracy by
decree. Otoriterianisme pemerintahan Presiden Soekarno makin jelas ketika pada 4 Juni
1960 ia membubarkan DPR hasil Pemilu 1955, setelah sebelumnya dewan legislatif itu
menolak RAPBN yang diajukan pemerintah. Presiden Soekarno secara sepihak dengan
senjata Dekrit 5 Juli 1959 membentuk DPR-Gotong Royong (DPR-GR) dan MPR
Sementara (MPRS) yang semua anggotanya diangkat presiden.
Pengangkatan keanggotaan MPR dan DPR, dalam arti tanpa pemi-lihan, memang
tidak bertentangan dengan UUD 1945. Karena UUD 1945 tidak memuat klausul tentang
tata cara memilih anggota DPR dan MPR. Tetapi, konsekuensi pengangkatan itu adalah
terkooptasi-nya kedua lembaga itu di bawah presiden. Padahal menurut UUD 1945, MPR
adalah pemegang kekuasaan tertinggi, sedangkan DPR neben atau sejajar dengan
presiden.
Sampai Presiden Soekarno diberhentikan oleh MPRS melalui Sidang Istimewa
bulan Maret 1967 (Ketetapan XXXIV/MPRS/ 1967) setelah meluasnya krisis politik,
ekonomi dan sosial pascakudeta G 30 S/PKI yang gagal semakin luas, rezim yang
kemudian dikenal dengan sebutan Demokrasi Terpimpin itu tidak pernah sekalipun
menyelenggarakan pemilu. Malah tahun 1963 MPRS yang anggotanya diangkat
menetapkan Soekarno, orang yang mengangkatnya, sebagai presiden seumur hidup. Ini
adalah satu bentuk kekuasaan otoriter yang mengabaikan kemauan rakyat tersalurkan
lewat pemilihan berkala.

3) Parpol Masa Transisi


Banyaknya partai dianggap tidak menguntungkan berkembangnya pemerintahan
yang stabil. Pemilihan umum yang diadakan pada tahun 1955 membawa penyederhanaan
dalam jumlah partai. munculah empat partai besar, yakni Masyumi, PNI, NU dan PKI.
Akan tetapi partai-partai ini tetap tidak menyelenggarakan fungsinya sebagaimana yang
diharapkan. Akhirnya, pada masa Demokrasi Terpimpin partai-partai dipersempit ruang
geraknya.
Mengenai partai dalam masa sistim parlementer pernah ditulis Daniel S.Lev:
“Sistim partai di Indonesia menunjukkan beberapa gejala kekacauan yang tidak asing bagi
sistim multi-partai di dunia. Ada partai kecil yang mempunyai pengaruh yang jauh lebih
besar daripada dukungannya dalam masyarakat. Di samping itu tidak ada partai yang
mengembangkan sikap memikul tanggungjawab penuh seperti yang biasanya terdapat
pada partai yang menguasai pemerintahan tanpa koalisi.”
Lagipula, sistim parlementer (di Indonesia) tidak pernah memiliki kekuasaan
sepenuhnya, kewenangan dan keabsahan dalam tata-tertib politik, dan juga tidak dapat
menguasai segala aspek situasi konflik politik. Pada akhirnya pemerintahan parlementer
dijatuhkan oleh kekuatan-kekuatan extra parlementer seperti presiden dan tentara. Akan
tetapi partai politik juga tidak luput dari tantangan dari kalangan mereka sendiri. Dan hal ini
juga membantu timbulnya Demokrasi Terpimpin”.

4) Parpol Pemilu Masa Orde Baru


Mulai 1966 partai politik diberi kesempatan untuk bergerak lebih leluasa. Tahun
1968 MPR secara resmi melantik Soeharto untuk masa jabatan 5 tahun sebagai
Presiden RI yang kedua. Setelah regim demokrasi terpimpin (Orde Lama) gagal
menyelenggarakan pemilu reguler (lima tahunan), menjelang pemilu 1971 parpol yang
pada pemilu 55 berjumlah 39-an itu disederhanakan menjadi 10 parpol, dan karena Partai
Komunis Indonesia (PKI) tahun 1966 dibubarkan, maka peserta pemilu 1971 diikuti
sembilan parpol.
Sesudah pemilihan umum tahun 1971, di mana Golkar menjadi pemenang
pertama dengan disusul oleh tiga partai besar NU, Parmusi dan PNI, partai-partai harus
menerima kenyataan bahwa peranan mereka dalam decision-making process untuk
sementara akan tetap terbatas.Pada tahun 1973 terjadi lagi penyederhanaan partai.
Empat partai Islam, yaitu Nahdatul Ulama, Partai Muslim Indonesia, Partai Syarikat
Indonesia dan Perti bergabung menjadi PPP (Partai Persatuan Pembangunan). Selain dari
itu lima partai, yaitu Partai Nasional Indonesia, Partai Kristen Indonesia, Partai Katolik,
Partai Murba dan Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) bergabung
menjadi PDI (Partai Demokrasi Indoensia).
Sejak saat itu, setidaknya dalam pengamatan penulis, dimulai pemilu tahun
1977, partai politik peserta Pemilu terdiri atas dua partai, yakni Partai Demokrasi
Indonesia (PDI) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sedangkan satu peserta
pemilu lainnya adalah Golongan Karya (Golkar). Demikian juga pada pemilu-pemilu
berikutnya 1982, 1987, 1992, 1997 jumlah peserta pemilu tidak berubah. Artinya tetap
hanya tiga kontestan ini.
Menjelang Pemilu 1977, Orde Baru menyederhanakan lagi, dari sembilan parpol
menjadi 2 parpol (PDI dan PPP) dan satu golongan karya (Golkar). Walau di dalamnya
terdiri atas fusi parpol-parpol, Golkar tidak menerima disebut partai politik. Ini rethorika,
bahasa kekusaan. Sejak pemilku 1999 Golongan Karya menjadi Partai Golkar. Dengan
demikian pemilu 1977 diikuti tiga kontestan. Jumlah tiga kontestan ini berlangsung pada
pemilu 1982, 1987, 1992, 1997.

5) Parpol pada pemilu 1999


Setelah tumbang era Orba (1988), desakkan rakyat untuk penyelenggaraan
Pemilu dipercepat makin kencang. Presiden BJ. Habibie yang saat itu meneruskan jabatan
Presiden dari Soeharto tidak mampu berbuat banyak memepertahankan system politik
yang ada. Sehingga tahun 1999, artinya tiga tahun lebih cepat dari reguler lima tahunan
Pemilu dilangsungkan. Yang cukup mengejutkan adalah peserta pemilu bukan lagi tiga
kontestan (Dua Partai Politik dan Golkar) tapi diikuti oleh 48 parpol yang lolos verifikasi 3
menjadi peserta pemilu dari ratusan calon partai politik yang tumbuh menjamur pasca
orba itu.

Parpol Peserta Pemilu Lagislatif 1999

3
Verifikasi persyaratan yang bersifat administrasi dilakukan oleh KPU dan yang bersifat yuridis dilakukan dan disahkan
oleh Mahkamah Agung.
No Nama Partai Politik No Nama Parpol
1 Partai Indonesia Baru 25 Partai Nahdlatul Ummat
Partai Nasional Indonesia –
2 Partai Kristen Nasional Indonesia 26
Front Marhaenis
Partai Ikatan Pendukung
3 Partai Nasional Indonesia 27
Kemerdekaan Indonesia
4 Partai Aliansi Demokrat Indonesia 28 Partai Republik
5 Partai Kebangkitan Muslim Indonesia 29 Partai Islam Demokrat
Partai Nasional Indonesia –
6 Partai Ummat Islam 30
Massa Marhaen
Partai Musyawarah Rakyat
7 Partai Kebangkitan Umat 31
Banyak
8 Partai Masyumi Baru 32 Partai Demokrasi Indonesia
9 Partai Persatuan Pembangunan 33 Partai Golongan Karya
10 Partai Syarikat Islam indonesia 34 Partai Persatuan
Partai Demokrasi Indonesia
11 35 Partai Kebangkitan Bangsa
Perjuangan
Partai Uni Demokrasi
12 Partai Abul Yatama 36
Indonesia
13 Partai Kebangsaan Merdeka 37 Partai Buruh Nasional
Partai Musyawarah
14 Partai Demokrasi Kasih Bangsa 38
Kekeluargaan Gotong Royong
15 Partai Amanat Nasional 39 Partai Daulat Rakyat
16 Partai Rakyat Demokrat 40 Partai Cinta Damai
Partai Syarikat Islam Indonesia – Partai Keadilan dan
17 41
1905 Persatuan
Partai Solidaritas Pekerja
18 Partai Katolik Demokrat 42
Seluruh Indonesia
Partai Nasional Bangsa
19 Partai Pilihan Rakyat 43
Indonesia
Partai Bhinneka Tunggal Ika
20 Partai Rakyat Indonesia 44
Indonesia
Partai Politik Islam Indonesia Partai Solidaritas Uni Nasional
21 45
Masyumi Indonesia
22 Partai Bulan Bintang 46 Partai Nasional Demokrat
Partai Umat Muslimin
23 Partai Solidaritas Pekerja 47
Indonesia
24 Partai Keadilan 48 Partai Pekerja Indonesia

Pemilu legislatif 1999 yang diikuti 48 Parpol, dari 135 lebih calon parpol yang
diverifikasi Komisi Pemilihan Umum itu dilanjutkan dengan Sidang Umum MPR.
Abdurrahman Wahid (Gusdur) terpilih sebagai Presiden dan Megawati Soekarno Puteri
sebagai Wakil Presiden. Namun hasil Pemilu 1999 ini hanya berlangsung kurang dari 3
tahun. Melalui Sidang Istimewa tahun 2002, MPR mencabut mandatnya dari
Abdurrahman Wahid. Melalui SU MPR berikutnya Megawati Soekarno Puteri terpilih
sebagai Presiden dan Hamzah Haz terpilih sebagai Wakil Presiden masa bakti 2002-2004,
atau menghabiskan masa jabatan presiden hasil MPR tahun 1999.

6) Parpol peserta pemilu 2004


Pada Pemilu 2004, juga bermunculan ratusan calon partai, tapi yang lolos
verifikasi atau memenuhi syarat parpol oleh KPU untuk dapat menjadi peserta pemilu
hanya 24 parpol, separoh dari parpol peserta pemilu 1999.

Parpol Pemilu Tahun 2004


No Nama Partai Politik No Nama Parpol
Partai Nasional Indonesia
1 13 Partai Amanat Nasional
Marhaenisme
2 Partai Buruh Sosial Demokrat 14 Partai Karya Peduli Bangsa
3 Partai Bulan Bintang 15 Partai Kebangkitan Bangsa
4 Partai Merdeka 16 Partai Keadilan Sejahtera
5 Partai Nasional Banteng Kemerdekaan 17 Partai Bintang Reformasi
Partai Demokrasi Indonesia
6 Partai Persatuan Pembangunan 18
Perjuangan
Partai Persatuan Demokrasi
7 19 Partai Damai Sejahtera
Kebangsaan
8 Partai Perhimpunan Indonesia Baru 20 Partai Golongan Karya
9 Partai Demokrat 21 Partai Patriot Pancasila
Partai Keadilan dan Persatuan
10 22 Partai Sarikat Indonesia
Indonesia
11 Partai Penegak Demokrasi Indonesia 23 Partai Persatuan Daerah
Partai Persatuan Nahdatul Ummah
12 24 Partai Pelopor
Indonesia

7) Parpol Pada Pemilu 2009


Pemilu legislatif 2009 diikuti 38 parpol secara nasional, dan di Daerah Istimewa
Nangro Aceh Darussalam ditambah 6 parpol lokal. Enam parpol lokal disyahkan sesuai
peraturan perundang-undangan menjadi peserta pemilu legislatif khusus di NAD.

No Nama Partai Politik No Nama Parpol


1 Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) 23 Partai Golongan Karya (Golkar)
2 24 Partai Persatuan
Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB)
Pembangunan (PPP)
3 Partai Pengusaha Dan Pekerja 25
Partai Damai Sejahtera (PDS)
Indonesia
4 26 Partai Nasional Benteng
Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN)
Kerakyatan Indonesia (PNBK)
5 Partai Gerakan Indonesia Raya 27
Partai Bulan Bintang (PBB)
(Gerindra)
6 28 Partai Demokrasi Indonesia
Partai Barisan Nasional (Barnas)
Perjuangan (PDIP)
7 Partai Keadilan Dan Persatuan 29 Partai Bintang Reformasi
Indonesia (PKPI) (PBR)
8 Partai Keadilan Sejahtera (PKS) 30 Partai Patriot
9 Partai Amanat Nasional (PAN) 31 Partai Demokrat
10 32 Partai Kasih Demokrasi
Partai Perjuangan Indonesia Baru
Indonesia (PKDI)
11 33 Partai Indonesia Sejahtera
Partai Kedaulatan
(PIS)
12 34 Partai Kebangkitan Nasional
Partai Persatuan Daerah (PPD)
Ulama (PKNU)
13 Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 35 Partai Aceh Aman Sejahtera
14 Partai Pemuda Indonesia (PPI) 36 Partai Daulat Aceh
15 Partai Nasional Indonesia (PNI) 37 Partai Suara Independen
Marhaenisme Rakyat Aceh
16 Partai Demokrasi Pembaruan (PDP) 38 Partai Rakyat Aceh
17 Partai Karya Perjuangan (PKP) 39 Partai Aceh
18 Partai Matahari Bangsa (PMB) 40 Partai Bersatu Aceh
19 Partai Penegak Demokrasi Indonesia 41 Partai Merdeka
20 Partai Persatuan Demokrasi 42 Partai Persatuan Nahdatul
Kebangsaan (PPDK) Ummah (PPNUI)
21 Partai Republika Nusantara 43
Partai Serikat Indonesia (PSI)
(Republikan)
22 4
Partai Pelopor Partai Buruh
4
Partai Politik Peserta Pamilu 20094

BIROKRASI

4
Enam Parpol lokal di Aceh adalah Partai Aceh Aman sejahtera, Partai Daulat Aceh, Partai Suara Independen Rakyat
Aceh, Partai Rakyat Aceh dan Partai Aceh.
Birokrasi seringkali diartikan sebagai officialdom atau kerajaan pejabat, yaitu suatu
kerajaan yang raja-rajanya adalah pejabat. Di dalamnya terdapat yurisdiksi dimana setiap
pejabat memiliki official duties. Mereka bekerja pada tatanan hierarki dengan
kompetensinya masing-masing. Pola komunikasinya sangat formal, didasarkan pada
dokumen tertulis.
Hegel berpendapat birokrasi adalah medium yang dapat dipergunakan untuk
menghubungkan kepentingan partikular dengan kepentingan general (umum). Karl Marx
memandang birokrasi dalam kerangka perjuangan kelas, krisis kapitalisme dan
pengembangan komunisme. Karl Marx menerima pemikiran Hegel, namun Karl Marx
berpendapat bahwa birokrasi merupakan instrumen yang dipergunakan oleh kelas yang
dominan untuk melaksanakan dominasi kekuasaannya atas kelas-kelas sosial lainnya.
Dengan kata lain birokrasi memihak kepada kelas partikular yang mendominasi tersebut.
Menurut teori liberal bahwa birokrasi pemerintah menjalankan kebijakan-kebijakan
pemerintah yang mempunyai akses langsung dengan rakyat melalui mandat yang
diperoleh dalam pemilihan umum. Birokrasi pemerintah bukan hanya diisi oleh para
birokrat, melainkan ada bagian-bagian tertentu yang diduduki oleh pejabat politik
(Carino,1994). Demikian pula sebaliknya bahwa di dalam birokrasi pemerintah itu bukan
hanya dimiliki oleh pemimpin politik dari partai politik melainkan juga ada pemimpin
birokrasi karier professional.
Adapun bureaucratic sublation didasarkan atas anggapan bahwa birokrasi
pemerintah sesuatu Negara itu bukanlah hanya berfungsi sebagai mesin pelaksana. Max
Weber mengenalkan bahwa birokrasi yang riil itu mempunyai kekuasaan yang terpisah
dari kekuasaan yang dilimpahkan oleh pejabat politik. Ciri-cirinya adalah:
Pertama, berbagai aktivitas regular yang diperlukan untuk mencapai tujuan-tujuan
organisasi yang didistribusikan dengan suatu cara yang baku sebagai kewajiban resmi,
(distribusi spesialisasi fungsi). Kedua, organisasi kantor mengikuti prinsip hierarki; setiap
kantor yang lebih rendah berada di bawah kontrol dan pengawasan kantor yang lebih
tinggi. Ketiga, operasi birokratis diselenggarakan melalui suatu sistem kaidah abstrak
yang konsisten dan terdiri atas penerapan kaidah ini terhadap kasus-kasus spesifik, dan
Keempat, pejabat yang ideal menjalankan kantornya berdasarkan impersonalitas
formalistic tanpa kebencian atau kegairahan, dan kerenanya tanpa antusiasme atau afeksi.
Namun tidak dipungkiri, dalam perjalananya birokrasi pemeriantahan di berbagai
negara justru sering menampilkan karakter dan tabiat buruk, dan tidak semestinya.
Birokratis, berbelit-belit, operlaving, tidak efisien, tidak rasional dan sebutan tendensius
yang mendiskrteditkan lainnya. Dari banyak kasus ini, makin kencanglah tuntutan
reformasi birokrasi.
Reformasi dimaksud adalah sebagai perubahan radikal untuk perbaikan di
berbagai bidang dalam suatu masyarakat atau negara. Reformasi birokrasi tentu dapat
dimaknai perubahan radikal dalam bidang pemerintahan. Belakangan, Good governance
sering diartikan sebagai sinyal terealisasikannya tuntutan reformasi birokrasi. Ini boleh
jadi karena partisipasi masyarakat, tegaknya supremasi hukum, transparansi, kepedulian
kepada stakeholder, berorientasi kepada konsensus, kesetaraan, efektifitas dan
efisiensi, akuntabilitas, dan visi strategis sebagai prinsip birokrasi tidak ditemukan pada
praktik birokrasi selama ini.
Memang, sejauh ini konsep Government atau pemerintahan yang dipraktikan di
berbagai negara semacam ditakdirkan menjadi institusi yang berposisi menguasai,
bahsa yang lebih santunnya ‘memerintah’. Rakyat adalah pihak yang diperintah. Interaksi
kedua kutub ini menjadi sangat kontras. Pola government sangat struktural hierarkis,
atasan dan bawahan. Yang memerintah senantiasa mengangkangi rakyat yang
diperintah.

1. Good governance
Realita seperti itu sebenarnya telah lama mengusik dunia untuk mencari format
baru yang adapatif terhadap dinamika perkembangan sosio politik. World Bank dan UNDP
menawarkan konsep governance sebagai pendaping government. Walau terjemahannya
sangat beragam, bahkan kata governance seakan menguburkan government itu
sendiri. Di Indonesia, istilah “governance” ada yang mengartikan “tata pemerintahan” juga
ada yang mengartikan “kepemerintahan”. Tidak masalah, sejauh ini nafas
pemaknaannya sama.
Ruh ‘Government’ dan ‘Governance’ sangat berbeda. Anatomi Government
lebih bermakna struktural hirarkis sehingga dipraktikkan menjadi sangat represif.
Sementara kata Governance bernuansa elegan tiga dimensi mendasar: struktur,
fungsi dan kultur. Menurut World Bank, Governance merupakan “the way state power is
used in managing economic and social resources for development society. Dan lebih
merupakan cara kekuasaan negara digunakan untuk mengelola sumberdaya, baik
ekonomi maupun sosial guna pembangunan masyarakat. Titik berat konsep
governance versi ini kepada hal yang lebih teknis.
UNDP memposisikan Governance sebagai “the exercise of political, economi
and administratif authority to manage a nation’s affair at all levels.” Artinya Governance
menunjuk pada penggunaan atau pelaksanaan, yakni penggunaan kewenangan politik,
ekonomi dan adminsitratif untuk mengelola persoalan bangsa pada semua tingkatan.
Tekanan governance yang disodorkan UNDP ini pada kewenangan, kekuasaan yang
legitimate, yang pada sisi lain bicara domain sektor publik.
Pada konsep UNDP, Governance ditopang oleh tiga pilar: politik, ekonomi dan
administratif:
Pertama; bahwa tata pemerintahan dibidang politik terkait dengan proses
pembuatan kebijakan politik, baik yang dilakukan oleh birtokrasi sendiri maupun
bersama-sama politisi (eksekutif dan legislatif). Pada pilar ini partisipasi masyarakat tidak
hanya para tataran implementasi kebijakan, tapi juga mesti terlibat pada formulasi dan
evaluasi kebijakan.
Kedua; di bidang ekonomi, meliputi berbagai proses pembuatan keputusan
untuk memfasilitasi aktivitas ekonomi di dalam negeri dan interaksi diantara penyelenggara
ekonomi. Pemerintah diharap tidak terlalu terjun langsung pada sektor ini, sebab dapat
menimbulkan distrorsi mekanisme pasar. Sedangkan pilar ketiga; di bidang administrasi,
berisi implementasi kebijakan yang telah dibuat oleh para pengambil keputusan.
Governance’ atau tata pemerintahan/kepemerintahan dijelaskan UNDP
memiliki tiga domain: Negara atau pemerintahan (state). Sektor suasta atau dunia usaha
(private sectror). Masyarakat (society). Pada tataran sosiologi, sebenarnya ketiga domain
ini bukan makhluk asing, ia sesungguhnya telah mengaliri kehidupan berbangsa,
bernegara dan bermasyarakat. Yang masih asing adalah manajemennya.
Diharap, pemerintahan memainkan peranan sebagai pembuat kebijakan dan
pengendalian. Suasta menjadi penggerak aktivitas di bidang ekonomi. Sedangkan
masyarakat merupakan objek sekaligus subjek dari pemerintahan maupun suasta.
Disinilah terjadi interaksi dan bahkan sisnegitasa di bidang politik, ekonomi, sosial budaya
yang secara kolegial berjalan simultan.
Governance yang diperankan tiga domain tersebut tidak sekedar jalan melainkan
harus pada kategori yang baik (good) berjalan, setara dan simultan. Perpaduan antara
kata good dan governance menimbulkan kosa kata; “good governance”. Guna penguatan
tata pemerintahahan agar menjadi baik ( good governance), UNDP merumuskan sembilan
karaktristik:

1. Participation (Partisipasi).
Setiap warga negara, sebagai pemilik kedaulatan, memiliki hak dan kewajiban ambil
bagian dalam bernegara, berpemerintahan dan bermnasyarakat. Baik dilakukan secara
langsung maupun melalui institusi intermediasi: DPRD, LSM, ormas dsb. Dalam bentuk
pikiran, dana, tenaga atau bentuk lainnya yang bermanfaat bagi pembangunan daerah.
Pada konsep UNDP, partisipasi tidak hanya dilakukan pada implementasi, tapi juga
secara menyeluruh mulai dari tahap formulasi, pelaksanaan, evaluasi kebijakan serta
pemanfaatan hasil-hasilnya. Ciri disebut partisipasi dalam kegiatan ini: 1) ada rasa
sukarela (tanpa paksaan). 2) ada keterlibatan secara emosional (rasa memiliki). 3)
memperoleh manfaat dari keterlibatannya. (merasakan manfaat). Sehubungan dengan ini
social engineering sangat penting.

2. Rule of Law (penegakan hukum).


Good governance dilaksanakan dalam rangka demokratisasi berbangsa dan bernegara.
Salah satu syarat demokrasi adalah adanya penegakan hukum yang adil dan
dilaksanakan tanpa pandang bulu sehingga tidak terjadi anarkhis. Tanpa penegakan
hukum yang tegas dan adil, orang secara bebas berupaya mencapai tujuannya tanpa
mengindahkan kepentingan orang lain, hingga menghalalkan segara cara. Sehubungan
dengan ini, membangun sistem hukum yang sehat, software, hardware, humanware
merupakan hal yang sangat penting.

3. Transparancy (keterbukaan).
Seiring dengan semangat zaman yang serba terbuka sebagai buah revolusi informasi.
Keterbukaan menjadi prasyarat good governance yang mencakup semua kegiatan yang
terkait dengan kepentingan publik. Mulai dari proses pengambilan keputusan,
penggunaan dana publik sampai tahapan audit dan evaluasi.

4. Responsiveness (daya tanggap).


Good governance, mensyaratkan pemerintahan memiliki daya tanggap terhadap
berbagai aspirasi dan keluhan para pemegang saham (stake holders), terutama yang
terkait dengan sektor publik yang selama ini cenderung tertutup, arogan serta berorientasi
pada kakuasaan. Untuk mengetahui kepuasan masyarakat terhadap pelayanan yang
diberikan oleh sektor publik, secara periodik perlu dilakukan penelitian atau apapun
sebutannya untuk mengetahui tingkat kepuasan konsumen (cotumer satisfaction)

5. Consensus Orientation (berorientasi pada konsensus)


Kegaiatan bernegara, berpemerintahan dan bermasyarakat semuanya bermuara dan
merupakan aktivitas politik yang didalamnya terjadi dua kecenderungan; konflkik dan
konsensus. Di dalam good governance, pengambilan keputusan maupun pemecahan
masalah bersama lebih diutamakan berdasakan konsensus, yang dilajutkan dengan
kesediaan untuk konsisten melakasnakannya.

6. Equity (keadilan)
Setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk memperoleh kesejahteraan.Namun
karena kemampuan warga negara satu sama lain berbeda, maka sektor publik perlu
memainkan peran agar kesejahteraan dan keadilan dapat berjalan seiring dan terjadi
pendistribusian yang adil dan merata. Dengan kata lain merata dalam keadilan dan adil
dalam pemerataan.

7. Effectiveness and Efficiency (efektivitas dan efisiensi)


Karena aktivitas sektor publik bersifat monopolistik, maka agar mampu berkompetisi
secara sehat dalam percaturan yang kian mengglobal, kegiatan ketiga domain good
governance harus senantiasa mengkalkulasi efektivitas dan efisisnesi pada setiap
kegiatan.

8. Accountability (pertanggungjawaban)
Setiap aktivitas dipertanggungjawabkan kepada publik. Tanggung gugat dan tanggung
jawab tidak hanya diberikan kepada pemerintahan saja, melainkan para pemegang
saham yakni masyarakat. Secara teoritis pertanggungjawaban tersebut dikenal:
pertanggungjawaban organisasi administraif; legal; politik; profesional; dan
pertanggungjawaban moral.
9. Strategic Vision (Visi Strategis)
Tidak ada masa yang permanen, kepastian dalam sebuah era adalah perubahan itu
sendiri. Karenanya setiap doimain good governance harus memiliki visi strategis. Tanpa
visi suatu bangsa dipastikan mengalami kehancuran sedikitnya ketertinggalan. Hingga
hari ini, secara umum visi masih menganut ukuran waktu; jangka panjang (longtrerm
vision) antara 20-25 tahun (satu generasi), jangka pendek (short-term vision) sekitar lima
tahunan.
Kesembilan karakterisitik tersebut, merupakan sistem, saling terkait dan
memperkuat. Diantara sektor suasta dan sektor masyarakat dan sektor pemerintahan
memiliki keunggulan masing-masing. Pada saat yang dibutuhkan sektor yang paling kuat
itulah yang dikedepankan sebagai promotornya.
Dihubungkan dengan konsep good governance dari World Bank dan UNDP,
untuk penguatan penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, Pemerintahan RI telah
menerbitkan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Kalau dicermati, di
dalamnya telah ada konsep penguat governement. Diantara konsep itu banyak
kesamaan dari kartakteristik yang dibuat UNDP. Konsep dimaksud adalah “asas
umum penyelenggaraan negara” yang wajib dipedomani Pemerintahan daerah
kabupaten/Kota.
Boleh dikatakan aas umum penyelenggaraan negara itu merupakan good
governance versi Indonesia dengan karakteristik meliputi:
a) asas kepastian hukum;
b) asas tertib penyelenggaraan negara;
c) asas kepentingan umum;
d) asas keterbukaan;
e) asas proporsionalitas;
f) asas profesionalisme;
g) asas akuntabilitas;
h) asas efisisiensi; dan
i) asas efektivitas.

Kecuali sembilan asas di atas, dalam menyelenggarakan pemerintahan,


pemerintah menggunakan asas desentralisasi, tugas pembantuan, dan dekonsentrasi
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah, pemerintah daerah menggunakan asas otonomi dan tugas
pembantuan.

3) Birokrasi Di Indonesia
Kini lebih satu dasawarsa, hampir semua berpendapat bahwa tahun 1998 adalah
gerbang reformasi Indonesia yang dimaknai sebagai reformasi mendasar pada berbagai
aspek kehidupan berbangsa dan bernegara; politik, hukum, pemerintahan, ekonomi,
sosial, dan budaya. Pada aspek politik, hukum dan pemerintahan, reformasi birokrasi
merupakan issue yang paling nyaring. Ini boleh jadi karena birokrasi pemerintahan
Indonesia telah memberi andil yang sangat besar terhadap keterpurukan bangsa dalam
krisis multi dimensi yang berkepanjangan.
Kecuali keberhasilan pembangunan di berbagai bidang, birokrasi yang dibangun
pemerintah sebelum era reformasi telah menumbuhkembangkan kultur birokrasi yang
kental dengan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Kendati pemerintahan pasca
reformasipun ternyata tidak menjamin terjadi reformasi birokrasi dengan baik.
Kurangnya komitmen pemerintah pasca reformasi terhadap reformasi birokrasi ini tampak
berbanding lurus dengan kurangnya komitmen pemberantasan KKN. Sebagian
masyarakat memberikan cap negatif terhadap komitmen pemerintah pasca reformasi
dalam reformasi birokrasi.
Reformasi didefinisikan sebagai perubahan radikal untuk perbaikan di berbagai
bidang dalam suatu masyarakat atau negara. Pada sisi birokrasi ini yang ada adalah
perubahan radikal dalam bidang sistem pemerintahan. Hadirnya partai politik dalam sistem
pemerintahan akan berpengaruh terhadap sistem birokrasi pemerintah. Susunan birokrasi
pemerintah bukan hanya diisi oleh para birokrat karier tertapi juga yang berbasiskan partai
politik.

4) Catatan Birokrasi Indonesia


Disamping keberhasilan pembangunan di baerbagai bidang, sejarah birokrasi di
Indonesia memiliki raport yang tidak terlalu mulus. Khusus semasa Orde Baru yang
menjadikan birokrasi sebagai mesin politik. rusaknya layanan birokrasi ini berimplikasi
kepada apapun urusan masyarakat menjadi serba tidak pasti: tidak pasti biaya, in
efisien/boros, biaya mahal. Ketidakpastian waktu, ketidakpastian siapa yang
bertanggung jawab.
Celakanya, pelayanan birokrasi itu dari berbagai sisi justru menjadi salah satu
pintu masuk terhadap maraknya korupsi, kolusi, nepotisme. Pejabat politik yang mengisi
birokrasi pemerintah sangat dominan. Kondisi ini cukup lama terbangun sehingga
membentuk sikap, perilaku, dan opini bahwa pejabat politik dan pejabat birokrat tidak
dapat dibedakan.
Dengan pengalaman menyaksikan dan mungkin merasakan, beralasan kalau
Kamus Besar Bahasa Indonesia mengidentifikasi bahwa Birokrasi adalah sistem
pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang pada
hierarki dan jenjang jabatan. Atau dalam definisinya yang lain birokrasi adalah cara bekerja
atau susunan pekerjaan yang serba lamban, serta menurut tata aturan yang banyak liku-
likunya.
Fenomena birokrasi di Indonesia, menurut Surbakti, kewenangan besar dimiliki
birokrat sehingga hampir semua aspek kehidupan masyarakat ditangani birokrasi.
Kewenangan yang terlalu besar itu bahkan akhirnya menonjolkan peran birokrasi sebagai
pembuat kebijakan ketimbang pelaksana kebijakan, lebih bersifat menguasai daripada
melayani masyarakat. Wajar jika kemudian birokrasi lebih dianggap sebagai sumber
masalah atau beban masyarakat ketimbang sumber solusi bagi masalah yang dihadapi
masyarakat.
Fenomena itu terjadi karena tradisi birokrasi yang dibentuk lebih sebagai alat
penguasa untuk menguasai masyarakat dan segala sumber dayanya. Dengan kata lain,
birokrasi lebih bertindak sebagai pangreh praja daripada pamong praja. Bahkan kemudian
terjadi politisasi birokrasi. Pada rezim Orde Baru, birokrasi menjadi alat mempertahankan
kekuasaan.

Reformasi
Gerakkan reformasi Indonesia 1998. yang mengakhiri Orde baru, dan ini tentu
saja harus menjadikan pengalaman sangat berharga dalam penyelenggaraan birokrasi
pemerintahan. Tentu bukan saja agar keterpurukan bangsa tidak terulang, tetapi justru
untuk perbaikan bangsa ke depan. Masih melakat dalam ingatan kita, bahwa gerakan
reformasi saat itu dilatari oleh krisis multi dimensi. Sebut saja krisis politik, krisis ekonomi,
krisis sosial yang kesemuanya berkubang pada muara krisis kepercayaan.

Krisis politik;
Meski Pemerintah orde baru mampu mengangkat Indonesia dari keterpurukan
ekonomi dan memberikan kemajuan, namun diakui atau tidak, Indonesia gagal membina
kehidupan politik yang demokratis, terbuka, adil, dan jujur. Pemerintah bersikap otoriter,
tertutup, dan personal. Kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis tidak pernah
terwujud. Pendapat kritis dituduh anti-pemerintah, menghina kepala negara, anti-
Pancasila, dan subversive dsb. Golkar sebagai kekuatan politik terbesar menjadi alat
pemerintah untuk mengamankan kehendak kekuasaan.
Korupsi, Kolusi dan Nepotismer (KKN) merajalela dan tidak mampu dicegah.
Anggota DPR tidak fungsional secara benar karena jadi anggotanyapun ditentukan dan
mendapat restu dari penguasa, sehingga banyak anggota yang bersikap ABS daripada
kritis. Sikap yang otoriter dan merebaknya KKN menimbulkan krisis kepercayaan. Gejala
ketidakpercayaan terlihat pada pemilu 1992, suara Golkar berkurang. Tahun 1996,
ketidakpuasan masyarakat terhadap orba mulai terbuka. Muncul tokoh vokal seperti Amien
Rais dan gerakan mahasiswa yang tidak terbendung dan makin memperbesar nyali
masyarakat.
KKN, praktik monopoli serta 5 paket UU politik dan dwifungsi ABRI menjadi
sorotan tajam para mahasiswa. Apalagi setelah Soeharto terpilih kembali sebagai Presiden
RI 1997-2002, suara menentangnya makin meluas dan terjadi di bebagai daerah. Puncak
perjuangan para mahasiswa terjadi ketika berhasil menduduki gedung MPR/DPR pada
bulan Mei 1998. Karena tekanan yang luar biasa dari para mahasiswa, tanggal 21 Mei
1998 Presiden menyatakan berhenti dan diganti oleh wakilnya BJ Habibie.

Krisis ekonomi;
Krisis moneter yang menimpa dunia dan Asia Tenggara merembet ke Indonesia
sejak Juli 1996. Nilai rupiah terhadap dollar Amerika sangat terpuruk. Banyak perusahaan
besar, kecil, home industri gulung tikar, tutup. Terjadi pengangguran dimana-mana,
jumlah masyarakat miskin bertambah. Daya beli menjadi rendah, kebutuhan pokok
menjadi langka dan sulit di dapat.
Sebagai upaya, pemerintah melikuidasi bank-bank yang bermasalah serta
mengeluarkan KLBI (Kredit Likuiditas Bank Indonesia) untuk menyehatkan bank-bank
yang ada di bawah pembinaan BPPN. Namun praktiknya, terjadi manipulasi besar-besaran
dalam KLBI sehingga pemerintah harus menanggung beban keuangan yang semakin
besar.
Kepercayaan dunia internasionalpun merosot sejalan dengan banyaknya
perusahaan swasta yang tak mampu membayar utang luar negeri sesuai jatuh tempo.
Untuk mengatasinya, pemerintah membentuk tim ekonomi. Sementara itu, beban
kehidupan masyarakat makin berat, terlebih 12 Mei 1998 pemerintah mengumumkan
kenaikan BBM. Imlikasinya barang kebutuhan ikut naik, kebutuhan hidup masyarakat
semakin sulit terpenuhi.

Krisis sosial;
Krisis politik dan ekonomi mendorong terjadinya krisis sosial. Ketidakpercayaan
masyarakat terhadap pemerintah mendorong munculnya perilaku negatif, bahkan
keberingasan massa, liarnya masyarakat. Kerusuhan di Jakarta dan Solo tanggal 13, 14,
dan 15 Mei 1998, perekonomian kedua kota tersebut lumpuh untuk beberapa waktu.
Tidak sedikit swalayan, pertokoan, pabrik dibakar, dirusak dan dijarah massa,
pengangguran makin bertrambah. Beban masyarakat yang semakin berat, tidak jelas
kapan berakhirnya krisis, masyarakatpun frustasi. Masyarakat mudah disulut, mudah
dihasut, mudah dikompori, dipropokasi dan diadu domba. Masyarakat menjadi sensitif dan
mudah marah dan anarkis.

Kronologi mengakhiri Orde Baru


 5 Maret 1998, Dua puluh mahasiswa Universitas Indonesia mendatangi
Gedung DPR/MPR untuk menyatakan penolakan terhadap pidato
pertanggungjawaban presiden yang disampaikan pada Sidang Umum MPR dan
menyerahkan agenda reformasi nasional. Mereka diterima Fraksi ABRI.
 11 Maret 1998, Soeharto dan BJ Habibie disumpah menjadi Presiden dan
Wakil Presiden 14 Maret 1998 Soeharto mengumumkan kabinet baru yang dinamai
Kabinet Pembangunan VII.
 15 April 1998 Soeharto meminta mahasiswa mengakhiri protes dan kembali
ke kampus karena sepanjang bulan ini mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi
swasta dan negeri melakukan unjukrasa menuntut dilakukannya reformasi politik.
 18 April 1998 Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima ABRI Jendral
Purn. Wiranto dan 14 menteri Kabinet Pembangunan VII mengadakan dialog dengan
mahasiswa di Pekan Raya Jakarta namun cukup banyak perwakilan mahasiswa dari
berbagai perguruan tinggi yang menolak dialog tersebut.
 1 Mei 1998 Soeharto melalui Menteri Dalam Negeri Hartono dan Menteri
Penerangan Alwi Dachlan mengatakan bahwa reformasi baru bisa dimulai tahun
2003.
 2 Mei 1998 Pernyataan itu diralat dan kemudian dinyatakan bahwa Soeharto
mengatakan reformasi bisa dilakukan sejak sekarang (tahun 1998).
 4 Mei 1998 Mahasiswa di Medan, Bandung dan Yogyakarta menyambut
kenaikan harga bahan bakar minyak (2 Mei 1998) dengan demonstrasi besar-
besaran. Demonstrasi itu berubah menjadi kerusuhan saat para demonstran terlibat
bentrok dengan petugas keamanan. Di Universitas Pasundan Bandung, misalnya, 16
mahasiswa luka akibat bentrokan tersebut.
 5 Mei 1998 Demonstrasi mahasiswa besar - besaran terjadi di Medan yang
berujung pada kerusuhan.
 9 Mei 1998 Soeharto berangkat ke Kairo, Mesir untuk menghadiri pertemuan
KTT G -15. Ini merupakan lawatan terakhirnya keluar negeri sebagai Presiden RI.
 12 Mei 1998 Aparat keamanan menembak empat mahasiswa Trisakti yang
berdemonstrasi secara damai. Keempat mahasiswa tersebut ditembak saat berada di
halaman kampus.
 13 Mei 1998 Mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Jakarta, Bogor,
Tangerang, dan Bekasi datang ke Kampus Trisakti untuk menyatakan duka cita.
Kegiatan itu diwarnai kerusuhan.
 14 Mei 1998 Soeharto seperti dikutip koran, mengatakan bersedia
mengundurkan diri jika rakyat menginginkan. Ia mengatakan itu di depan masyarakat
Indonesia di Kairo. Sementara itu kerusuhan dan penjarahan terjadi di beberapa
pusat perbelanjaan di Jabotabek seperti Supermarket Hero, Super Indo, Makro, Goro,
Ramayana dan Borobudur. Beberapa dari bangunan pusat perbelanjaan itu dirusak
dan dibakar. Sekitar 500 orang meninggal dunia akibat kebakaran yang terjadi selama
kerusuhan terjadi.
 15 Mei 1998 Soeharto tiba di Indonesia setelah memperpendek kunjungannya
di Kairo. Ia membantah telah mengatakan bersedia mengundurkan diri. Suasana
Jakarta masih mencekam. Toko-toko banyak ditutup. Sebagian warga pun masih
takut keluar rumah.
 16 Mei 1998 Warga asing berbondong-bondong kembali ke negeri mereka.
Suasana di Jabotabek masih mencekam.
 19 Mei 1998 Soeharto memanggil sembilan tokoh Islam seperti Nurcholis
Madjid, Abdurrahman Wahid, Malik Fajar, dan KH Ali Yafie. Dalam pertemuan yang
berlangsung selama hampir 2,5 jam (molor dari rencana semula yang hanya 30
menit) itu para tokoh membeberkan situasi terakhir, dimana eleman masyarakat dan
mahasiswa tetap menginginkan Soeharto mundur.
Permintaan tersebut ditolak Soeharto. Ia lalu mengajukan pembentukan Komite
Reformasi. Pada saat itu Soeharto menegaskan bahwa ia tak mau dipilih lagi menjadi
presiden. Namun hal itu tidak mampu meredam aksi massa, mahasiswa yang datang
ke Gedung MPR untuk berunjukrasa semakin banyak.
Sementara itu Amien Rais mengajak massa mendatangi Lapangan Monumen
Nasional untuk memperingati Hari Kebangkitan Nasional.
 20 Mei 1998 Jalur jalan menuju Lapangan Monumen Nasional diblokade
petugas dengan pagar kawat berduri untuk mencegah massa masuk ke komplek
Monumen Nasional namun pengerahan massa tak jadi dilakukan. Pada dinihari
Amien Rais meminta massa tak datang ke Lapangan Monumen Nasional karena ia
khawatir kegiatan itu akan menelan korban jiwa. Sementara ribuan mahasiswa tetap
bertahan dan semakin banyak berdatangan ke gedung MPR / DPR. Mereka terus
mendesak agar Soeharto mundur.
 21 Mei 1998 Di Istana Merdeka, Kamis, pukul 09.05 Soeharto mengumumkan
mundur dari kursi Presiden dan saat yang sama BJ. Habibie disumpah menjadi
Presiden RI ketiga.

3. ANGGAKATAN BERSENJATA

Secara sosiologis, negara dapat dimaknai sebagai organisasi manusia yang


hidup dengan berbagai keterbatasan. Secara umum tujuan negara sama. Yaitu untuk
menciptakan kebahagiaan bagi rakyatnya. Walau benar, tujuan khusus setiap negara
satu sama lain dapat berbeda. Ini terjadi karena berbagai latar belakang, ideologi, haluan
negara dan kondisi lain dari negara itu yang berbeda. Pada negara berhaluan
marxisme-Leninisme umpamanya, tentu tujuan negara dalam rangka membangun dan
menciptakan masyarakat komunis.
Secara umum tujuan semua negara adalah:
1) melaksanakan penertiban (law and order). Negara berusaha mencegah terjadinya
bentrokan di dalam masyarakat. Fungsi negara pada konteks ini sebagai stabilisator.
2) mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya.
3) menyelenggarakan pertahanan dan keamanan. Ini dimaksudkan untuk menjaga
kemungkinan serangan dari luar. Pada Fungsi ini negara dilengklapi alat pertahanan
yang disebut militer.
4) negara bertujuan menegakkan keadilan, fungsi ini dilaksanakan oleh badan
pengadilan.

Untuk mencapai tujuan tersebut Menurut Charles E. Merriam, maka negara


harus fungsional untuk menciptakan: 1) keamanan ekstern; 2) ketertiban intern; 3)
keadilan, 4) kesejahteraan umum; dan 5) kebebasan. Atas pendapat ini kita sering
menyebut bahwa secara umum tujuan semua negara apapun ideologinya, haluannya,
falsafahnya atau latar lainnya adalah: Pertama, mempertahankan keamanan dari luar
(eksternal scurity). Kedua, menciptakan ketertiban dalam negeri (internal order).
Ketiga, menciptakan keadilan (justice). Keempat, menciptakan kesejehteraan umum
(social welfare) dan kelima, memahami dan mengakui kekebasan atau kemerdekaan
individu (individual freedom).
Apa yang dirumuskan para ilmuan hari ini, ”mata air” pemikirannya telah ada
sejak sebelum masehi Adalah Plato, seorang murid Socrates telah bicara tentang
negara dan manusia. Ia menarik garis simetris antara negara dan manusia. Pada
manusia nampak tiga sifat yang sejajar dengan negara, yaitu: akal, keberanian dan
kebutuhan. Sejajar dengan sifat itu, di dalam Negara Ideal ada tiga golongan/kelas
warganegara yang terlibat dalam penyelenggaraan negara:
1) Kelas yang memerintah (“the rules”, “bestuurders”). Pemimpin ini harus terdiri dari
ahli fikir atau para filsuf yang tinggi pengetahuan dan banyak akalnya.
2) Kelas pengawal negara, yakni orang yang menjaga keselamatan dan keamanan
negara, yang harus mendapat didikan khusus untuk tugas-tugasnya itu (“the
guardians”, “krijgslieden”). Kelas ini terdiri dari orang-orang yang memiliki keberanian.
3) Kelas golongan pengusaha, seperti petani, pekerja, pedagang dan semacamnya (“the
artisans”, “werklieden”) yang menjamin makanan dan kebutuhan materiil lainnya bagi
kedua golongan tersebut di atas. Kelas ini merupakan golongan yang menghasilkan
benda-benda untuk keperluan pemenuhan kebutuhan manusia.
Utuk mencapai tujuan seperti di atas, sangat tidak mungkin kalau keadaan di
dalam negara sendiri sedang kacau, di masyarakat terjadi bentrokan dan tidak stabil,
kalau negara terancam oleh negara lain dan sebagainya. Untuk menciptakan masyaratak
yang tertib, untuk menciptakan stabilitas, untuk menghalau ancaman dari luar, maka
harus ada “Kelas pengawal negara, yakni orang yang menjaga keselamatan dan
keamanan negara, yang harus mendapat didikan khusus untuk tugas-tugasnya itu (“the
guardians”, “krijgslieden”). Kelas ini terdiri dari orang-orang yang memiliki keberanian. Kita
identifikasi, sebut saja militer atau angkatan bersenjata.
Pada konteks militer ini, Machiavelli yang sampai sekarang masih dipandang
sama jahatnya dengan Mephistopeles, raja segala setan dalam legenda Faust, bicara,
bahwa dasar kekuatan Negara adalah hukum yang bewibawa dan angkatan bersenjata
yang kuat. Kepada negara baru berdiri dan situasi belum memadai, dia menyarankan
“sebaiknya angkatan bersenjata dibangun dahulu.” Hukum tidak akan dipatuhi apabila
kekuatan militer tidak didukungnya. Bisa dipastikan sebuah Negara dengan tentara yang
kuat, hukum akan berjalan baik. Kerajaan Roma dan Sparta kuat dan bertahan lama
justru karena memiliki tentara yang tangguh.
Kuatnya suatu negara, kata Machiavelli terukur dari kemandiriannya saat
menghadapi berbagai ancaman; dari luar maupun dari dalam, dan menyelesaikan
sutuasi kritis. Makin kecil bantuan pihak lain menghadapi sutuasi ini, makin mandiri
negara tersebut. Dikatakannya, salah satu syarat menjadi negara mandiri adalah
memiliki angkatan bersenjata yang kuat, atau memiliki harta banyak untuk merekrut
pasukan bayaran. Sekalipun kekecewaan biasanya dialami penyewa pasukan ini.
Sebab watak umum tentara ini adalah sulit disatukan, haus kekuasaan, tidak disiplin dan
tidak setia. Mereka berjuang bukan tanggung jawab dan cinta pada tanah air, tetapi demi
uang dan kemasyhuran,
Kekecewaan yang sama akan dialami penguasa yang mempercayakan
keamanan negara kepada tentara bantuan. Tentara ini sebenarnya pasukan handal,
terlatih di medan perang, sangat disiplin dan patuh kepada pimpinanya. Justru karena
solidnya ini, terkadang berbahaya. Sewaktu-waktu mereka bisa berubah menjadi
ancaman. Jalan terbaik bagi negara adalah membangun angkatan bersenjata atas
dukungan rakyat sendiri (tentara rakyat).
Apa yang disampaikan Machiavelli bukan tanpa alasan, dia menjadi saksi hidup
konflik dan perang diantara negara kota di Italia. Suasana tenang dan damai di Firenze
yang menjadi pusat perdagangan internasional, pusat perbankan, tonggak
perekonomian, pusat perkembangan gerakan Renaisance, gudang seniman besar,
tempat berdirinya Akademi Plato yang menjadi pusat studi pemikiran Yunani dan Romawi
yang juga sebagai pusat studi sarjana-sarajana dari Eropa, sekaligus tempat lahirnya
Machiavelli ini ternyata tidak bertahan lama.
Sejak 1489 Girolamo Savonarolla, biarawan Ordo Dominican mulai memimpin
gerakkan perlawanan, dan dengan keran mengecam pemerintahan tangan besi Lorenzo II
Magnifico. Savonarola dan para pengikutnya menganggap Firenze telah dilanda
kemerosotan moral yang parah, masyarakat terlalu mengagungkan hal-hal keduniawian.
Mereka bercita-cita mengembalikan Firenza berdasar pada kesucian nilai agama.
Gerakkan ini dengan cepat memperoleh banyak simpati, terlebih ketika Lorenzo II
Magnifico digantikan puteranya Piero (1471-1503) yang dinilai kurang becus memerintah
Firenze. Dengan bantuan Fransesco Valeri, Pemimpin Partai Rakyat dan pasukan raja
charles VIII dari Prancis, Savonarolla berhasil menjungkirkan kekuasaan wangsa Medici,
tahun 1495. Firenze pun dipimpin oleh pemerintahan Teokratis.
Masuknya pasukan Perancis di italia 1494 berikutnya 1496 menjadi titik balik
kemajuan dan perdamaian di wilayah semenanjung itu. Walau diduga motif serangan itu
demi kemegahan Raja Prancis, Charles VIII (1470-1498). Serbuan pasukan prancis
hampir tidak mengalami kesulitan karena didukung bebarapa penguasa di Italia. Paus
yang takut serangan itu membantu Pasukan Prancis untuk masuk ke wilayah selatan dan
agar menjauh dari Roma. Di Firenze, Girolamo Savonarolla dan Lodovico Sforza
bersekeongkol dengan Charles VIII untuk menggulingkan kekuasaan Piero Medici.
Tahun 1500 Itali kembali diserang oleh Raja Louis XII (1462-1515), pengganti
Charles VIII. Bersamaan dengan itu pasukan Spanyol dipimpin raja Aragon menyerbu
Napoli. Pasukan Prancis dan Spanyol berhasil menaklukan wilayah Lombardia, kemudian
Napoli. Pada awalnya dua kekuatan paling besar dan paling ganas di Eropa ini berdamai
dan setuju membagi napoli menjadi dua lewat perjanjian rahasia November 1501. Namun
setahun kemudian keduanya terlibat perang dan saling berebut wilayah kekuasaan. Italia
bergolak panas, penuh dengan perang, kekerasan dan darah 50 tahun lebih.
”perimbangan kekuatan” yang berhasil dijalankan polis-polis Italia lewat Perjanjian Lodi,
berantakan.
Pada pergolakan itu Machiavelli menjadi saksi tragisnya nasib bangsanya,
setelah dikuasai Prancis dan Spanyol. Kekecewaan Machiavelli, karena Italia tidak
membangun pasukan bersenjata sendiri dan terlalu percaya dengan jalan diplomasi.
Angkatan perang di sebagian besar negara Italia adalah pasukan bayaran. Para
penguasa Italia lebih percaya kepada para diplomat yang diyakini bisa membujuk Prancis
dan Spanyol untuk tidak menyerang Italia lewat meja perundingan. Ketika tentara Prancsi
dan Spanyol mendadak menyerang, mereka kaget dan kocar kacir.
Semenjak itulah tertanam di benak Machiavelli, jalan terbaik bagi sebuah negara
untuk bertahan adalah membentuk pasukan perang sendiri.

a) Lahirnya Angkatan Bersenjata


Entah justifikasi atas pendapat Machiavelli yang dibenci berabad-abad, atau
sesuatu yang natural, atau suatu kebutuhan, namun yang pasti bahwa semua negara
termasuk yang baru dibentuk atau baru merdeka sekalipun setidaknya berusaha memiliki
yang disebut angkatan bersenjata, pasukan perang, tentara atau apapun sebutannya.
Menurut Nogroho Notosusanto, dari lebih kurang 50 negara baru yang lahir
sesudah Perang Dunia (PD) II berakhir, hanya ada empat yang mencapai
kemerdekaannya dengan perjuangan bersenjata, selebihnya menerima kemerdekaan
dengan baik-baik dari penjajahnya. Keempat bangsa yang melakukan perjuangan
bersenjata ini adalah Indonesia, Vietnam, Israel dan Aljazair.
Israel tidak melalkukan pejuangan bersenjata dengan penjajah, tetapi terhadap
Inggris yang memegang mandat atas Palestina. Perjuanggannya berupa aspek moral yang
menentang resolusi PBB yang membagi Palestina atas suatu Negara Arab dan Yahudi.
Angkatan bersenjata di empat negara tersebut lahir kerena perjuangan
bersenjata. Dalam terminology Janowitz, keempat angkatan bersenjata ini digolongkan
kepada jenis “tentara pembebasan nasional” (armies of national liberation). Walau kempat
angkatan bersenjata ini satu sama lain memiliki sifat yang berbeda. Angkatan bersenjata
Indonesia dan Aljajair memainkan peranan politik disamping fungsi militernya. Sedangkan
Angkatan bersenjata Vietnam dan Israel terdapat supremasi sivil (civilian supremacy).
Perjuangan di Vietnam dan Israel dilakukan oleh partai pelopornya masing-
masing. Pimpinan militer Veitnam berasal dari kader-kader partai politik. Di Israel
pemimpin militernya berasal dari aktivis gerakan Zionis (komite Aksi Zionis). Dengan
demikian difahami bahwa angkata bersenjata Vietnam dan Israel lahir dari rahim partai
atau gerakkan yang memoloporinya. Karena ini pendahulu tertara Israel, yakni Iskandar
Haganah, sejak menjadi suatu organiasi militer dibawah suatu komando tertinggi sipil.
Di Alhjazair, pemimpin nasionalis tidak berhasil membentuk suatu partai yang
kuat dan berwibawa. Ini menimbulkan kekecewaan di kalangan nasionalis muda. Mereka
kemudian membentuk organisi para militer ”organisation secret” (OS). Setelah OS
digulung tentara kolonial Prancis, pemimpin-pemimin yang tidak tertangkap kemudian
membentuk badan para militer ”Comite Revolutionaire pour I’Unite et I’Action”. Badan
inilah yang memutuskan pemberontakan bersenjata terhadap Perancis.
Pada Comite ini anggota sipil dan militer tidak jelas. Semuanya meng-klaim
sebagai pejuang kemerdekaan; ada yang berjuang di politik ada yang di militer. bidang
perjuangan inipun dapat dipindah ketika situasi memerlukan. Karenanya pemimpin milter
Aljazair yang kemudian membentuk tentara Aljazair tidak merasa dibawah pimpinan sipil.
Karena keduanya dilahirkan langsung oleh revolusi, dari perjuangannya sendiri, tidak
merasa lahir dari rahim partai.

b) Lahirnya TNI
Lahirnya angkatan bersenjata Indonesia tidak jauh berbeda dengan di Aljazair.
Para pemimpin nasionalis tidak berhasil membentuk partai yang mempelopori perjuangan
mempertahankan kemerdekaan. Bahkan dengan segala hormat perintis kemerdekaan
Indonesia yang gigih berjuang, ternyata tidak cukup berhasil membina persatuan, meski
usaha ke arah itu beberapa kali dicoba. Dengan PPPKI (Permufakatan Perhimpunan-
Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia), dengan GAPI (Gabungan Politik Indonesia),
dan Kongres Rakyat Indonesia/Majelis Rakyat Indonesia.
Pada akhir zaman Jepang, PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia)
juga tidak dapat berfungsi sebagai sebuah Partai yang mempelopori, demikian juga
Komite Nasional indonesia. Usaha membentuk suatu partai dengan nama Partai Nasional
Indonesia juga tidak berhasil, karena partai itu lahir kemudian mati. Selain itu tentara
nasional juga tidak segera dibentuk, karena takut dengan kekuatan asing yaitu pasukan
Ingris mewakili serikat dan pasukan jepang yang sudah menyerah kakitangannya, yang
ssat itu ada di bumi Indonesia.
Menyaksikan politik low profile (rendah hati) pemimpin nasional pada awal
kemerdekaan ini, para pemuda tidak puas. Sebagian membentuk badan-badan
perjuangan seperti Angkatan Pemuda indonesia (API), Hizbullah, Barisan Pemberontak
Rakyat Indonesdia (BPRI) sebagai organisasi para militer. Sebagian lagi masuk Badan
Keamanan Rakyat (BKR) di berbagai daerah yang dibentuk pemerintah sebagai penggati
tentara sesungguhnya. Semua menjadi dirinya berjuang dengan senjata, juga dalam
politik praktis di tempat masing-masing, baik di dalam maupun di luar komite-komite
nasional.
Dalam waktu satu setengah bulan pertama kemerdekaan mulai terbentuk etos
pejuang, bidang politik dan bidang perjuangan bersenjata (militer) sekaligus. Tanggal 5
Oktober 1945 akhirnya pemerintah secara resmi membentuk tentara reguler dengan
nama Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Isi satuan-satuan TKR ini adalah kelompok-
kelompok BKR yang ditransformasi menjadi Tentara. Dan etos juang mereka tetap
hidup disamping status militer reguler.
Setelah hampir dua tahun, pemerintah memenuhi hasrat kalangan Tentara
Republik Indonesia (TRI) yang sejak januari 1946 namanya sudah berganti dari Tentara
Keamanan Rakyat menjadi Tentara Keselamatan Rakyat. Ini dimaksud untuk
menghilangkan dualisma antara tentara reguler dan satuan-satuan non reguler seperti
badan-badan pejuang dan laskar-laskar. Keinginan ini dilaksanakan Juni 1947 dengan
menggabungkan TRI dengan satuan-satuan non reguler menjadi Tentara Nasional
Indonesia (TNI). Dengan ini, TNI menjadi satu-satunya wadah bagi pejuang bersenjata
saat itu.
Pada Peringatan Hari Angkatan Perang, 5 oktober 1949, sebagai tahap akhir
perang kemerdekaan, Panglima Besar Jenderal Soedirman menyampaikan suatu perintah
harian yang intinya bahwa: “Angkatan Perang Republik Indonesia lahir di medan
perjuangan kemerdekaan nasional, di tengah-tengah dan dari revolusi rakyat dalam
pergolakan membela kemerdekaan. Karenanya Angkatan Perang Republkik Indonesia
adalah Tentara Nasional, Tentara Rakyat, Tentara Revolusi.”
Meski TNI adalah tentara reguler, namun anggota-anggotanya tetap menganggap
diri pejuang. Apalagi angota-anggota yang berasal dari badan-badan pejuang, yang
profesionalisme militernya lebih tipis dibanding anggota eks-BKR. Dalam eks-BKR
setidak-tidaknya dipimpin oleh mereka yang telah mengalami pendidikan militer, baik rai
Jepang maupun dari Belanda. Dengan demikian dapat dikonstatasi bahwa anggota TNI
pada awalnya terdiri atas tiga kategori: pertama, yang pernah menerima pendidikan/latihan
dari Belanda; kedua, yang pernah menerima pendidikan/latihan dari Jepang; ketiga,
mereka yang tidak pernah menerima pendidikan/latihan militer profesional.
Anggota yang tidak pernah menerima pendidikan atau latihan dari Belanda atau
Jepang, menurut Nugroho Notosusanto, setelah membandingkan seluruh jumlah anggota
TNI yang berasal dari PETA di Pulau Jawa, Giyugun di sumatra, mengutip A. H. Nasution
jauh lebih besar.

c) TNI Pada Lingkar Kekuasaan


Menuju demokrasi suatu bangsa adalah proses yang pelik, komprehensif dan
seringkali penuh ketegangan politik. Proses ini umumnya berhadapan dengan kekuatan
otoritarian regim sebelumnya yang sistematis dan represif. Menurut Huntington, proses
perubahan politik dari otoritarian ke demokrasi penuh ketegangan dan tidak jarang
diberangi dengan upaya kudeta militer. Pengalaman negara-negara Amerika Latin, Afrika
dan Asia, salah satu kekuatan represif dalam regim otoritarian adalah militer. Bahkan
Militer tampil menjadi kekuatan politik utama pada regim otoriter. Dalam banyak kasus
mereka menjadi kekuatan represif dan hegemonik bagi masyarakat sipil. Karenanya
proses menuju demokrasi sedikit banyak terkait dengan perspektif masa depan posisi
militer sebagai salah satu kekuatan politik penting suatu negara.
Selama 32 tahun (1965-1998) Tentara nasional Indonesia telah berkembang
menjadi kekuatan dominan, sekaligus hegemonik bagi Bangsa Indonesia. Supremasi
kekuatan TNI diberbagai bidang kehidupan masyarakat pada regim Soeharto
menyebabkan banyak orang menyebut, regim Soeharto adalah regim militer. Regim ini
adalah koalisi besar; TNI, Birokrasi, Teknokrat, Politisi dan kemudian berandil besar
melahirkan birokratik otoriter. Pada format orde baru sangat kasat mata bahwa TNI
merupakan salah satu kekuatan politik kunci.
Kekuatan TNI dalam regim Soeharto telah menggurita pada lingkar kekuasan
yang sangat besar dan kuat. Menurut Ariwibowo, TNI pada masa orde baru menguasai
berbagai macam bidang kehiduapan; politik, sosial, ekonomi dan olah raga, kekuasaan
politik di lembaga kepresidenan, menteri-menteri terlebih yang strategis seperti Mendagri,
dan Polkam, direjen, irjen, gubernur, bupati, walikota, camat, lurah, parpol, jurnalistik,
serikat buruh, nelayan, lembaga olah raga, BUMN, perguruan tinggi dan lain-lain.
Menurut tim peneliti LIPI (1999), TNI telah menentukan state formation. TNI pada
pemerintahan Soeharto memegang domonasi atas bebarapa hal: Pertama stuktur politik
Indonesia, khususnya pada lembaga birokrasi, terutama departemen dalam negeri. Dari
Menteri Dalam Negeri, Gubernur, Bupati, Walikota sebagaian besar dikuasi TNI,
khusunya Angakatan Darat. Disamping Presidennya dari TNI-AD juga beberapa pos
kementrian penting selalu dipegang TNI-AD.

Personel TNI Pada Kabinet Awal Orba

Jml. Jml
Kabinet %
Departemen
Ampera /eselon I 20 46,40 52
Pembangunan I/eselon I 18 39,17 41
PembangunanII/eselon II 17 39,65 46
Pembangunan III 17 44,99 55
Bahkan sebenarnya, sejak demokrasi parlementer, TNI selalu dilibatkan dalam
kabinet. TNI selalu terlibat secara luas dalam masalah sosial dan politik, baik dalam negeri
maupun luar negeri. Peningkatan personel TNI-AD ke dalam kabinet dan birokrasi meluas
tatkala negara dipimpin Soeharto.

Personel TNI Pada Kabinet Pembangunan 5

Unsur Jml
Kabinet %
Militer
Pembangunan I 8 34 23
Pembangunan II 6 24 25
Pembangunan III 15 45 33
Pembangunan IV 17 42 40
Pembangunan V 14 34 41
Pembangunan VI 10 24 42

Dominasi TNI dan keterlibatannya di luar bidang Hankam, atau masuk dalam
birokrasi pada 1977 dan 1980 cenderung makin naik, terutama pada jabatan politik yang
merentang struktur dari pusat ke daerah.

Jumlah Anggota TNI-Polri di luar Bidang Hankam 6


Nov
No Jabatan/penggolongan Mei 1977 % %
1980
Pusat pemerintahan
1 Menteri/pimpinan lembaga 17 42,2 19 47,5
tinggi
2 Sekretaris jenderal 14 73,6 14 73,6
3 Inspektur Jenderal 18 29,5 18 29,5
4 Direktur jenderal 15 78,9 15 78,9
5 Kepala lermbaga Non Dep. 8 44,4 8 44,4
6 Sekret/as. Menteri (setingkat) 21 84 21 84
Jumlah 76 53,5 76 53,5
Kepala daerah
7 Gubernur 19 70,3 19 70,3
8 Bupati 136 56,4 137 56,6
9 Walikota 19 31,6 20 33,3
Luar negeri
10 Duta Besar 24 41 28 44,4
11 Kuasa Usaha 1 50 1 50
12 Konsul jenderal 4 25 4 25

5
Harian Umum Kompas 4 Mei 1995, tulisan Mulyana W.Kusumah
6
Sumber; Nugroho Notosusanto, 1984
Sumber
1 Angkatan darat 17.004 - 12.873 -
2 Angkatan laut 926 - 823 -
3 Angkatan Udara 698 - 777 -
4 Kepolisian 2.490 - 2.357 -

Kedua, dalam parlemen, TNI mempunyai jatah kursi atas pengangkatan Presiden,
75 sampai 100 orang (jumlah ini berubah sesuai kepentingan). Bahkan ketua DPR dan
MPR sebagian besar dari TNI-AD. Dalam parpol (Golkar) TNI-AD berkuasa, baik dominasi
langsung maupun tidak langsung. Sebagian besar ketua umum partai ini dipegang TNI-
AD, bahkan ketua Dewan Pimpinan Daerah (tingkat Provinsi) dan DPD (tingkat
kabuaten/Kota) dan DPC di daerah-daerah 60-70% dipegang oleh TNI-AD.
Dominasi tidak langsung adalah ketika para pemimpin parpol (Golkar, PPP, PDI)
selalu ada dalam evaluasi dan pengawasannya. Para tokoh yang kritis dan keras kepada
negara, sulit menjadi pimpinan parpol, demikian untuk menjadi anggota anggota DPR atau
DPRD ada secreening yang ketat.
Untuk kehidupan organisasi kemasyarakatan (orkemas) dan kelompok
kepentingan dikelola secara sistematis melalui kantor Sospol dan Direktorat Sospol.
Pimpinan atau ketua kedua lembaga ini adalah dari TNI-AD. Kehidupan LSM juga
dipantau oleh kantor ini bersama jajaran teritorial TNI-AD.
Ketiga, pada tingkatan massa, kontrol dan dominasi TNI- AD dilakukan melalaui
kebijakan massa mengambang. Negara membatasi Peranan dan pengaruh parpol, kecuali
Golkar sampai di Kecamatan.
Keempat, TNI-AD melebarkan pengaruhnya baik untuk kepentingan politik atau
kesejahteraan intern melalui bidang ekonomi dan bisnis secara langsung maupun tidak
langsung. Secara langsung TNI-AD menempatkan personel untuk menjadi pimpinan
BUMN. Dan jabatan inspektorat jenderal di birokrasi. Secara tidak langsung memiliki dan
terlibat bisnis dengan mendirikan perusahaan berbagai bidang.

d) Kritik Terhadap TNI


Pasca Reformasi (TNI atau ABRI) sempat diragukan untuk melepaskan
dwifungsinya. Sehingga sangat mungkin praktek politik seperti di masa Orde Baru kembali
terulang. Reformasi internal yang digembar-gemborkan TNI tak lebih sebagai lip service
agar dwifungsi ABRI tetap diterima masyarakat 7.Demikian terungkap pada diskusi ABRI
dam Gerakan Reformasi: Reformasi Setengah Hati, yang mempresentasikan hasil
penelitian delapan Peniliti LIPI, dengan dikoordinator Dr Ikrar Nusa Bhakti, Selasa (27/7).
Diskusi dengan moderator Hermawan Sulistyo itu, menghadirkan Dr Marsilam Simanjuntak
SH sebagai pembahas. Lebih jelasnya sbb: 8

1) ABRI Alat Pertahanan Negara

7
Harian Umum Kompas (28) /7)
8
SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au
Menurut Dr Ikrar Nusa Bhakti bahwa reaktualisasi, reposisi dan redefinisi peran
TNI seperti didengungkan pimpinan ABRI atau TNI, tidak muncul atas kesadaran sendiri.
Karena itu politik kekerasan dan langkah represi masih digunakan. Walau di lapisan
bawah, prilaku TNI ya masih tetap tidak berubah. Kalau dia mau nembak, ya nembak saja.
Mereka seperti tak peduli dengan omongan pimpinannya.
Hanya dua bulan setelah Suharto lengser, ABRI mengutarakan pandangannya
tentang arah reformasi total hampir semua bidang kehidupan. Tetapi disisi lain, ABRI
masih menyatakan betapa pentingnya ABRI untuk tetap mendudukkan wakil-wakilnya di
DPR.
Anehnya, tambah Ikrar, pada-perayaan HUT ABRI 5 Oktober, Mabes ABRI
kembali mengeluarkan buku ABRI abad XXI: Redefinisi, Reposisi dan Reaktualisasi peran
ABRI dalam kehldupan bangsa. Empat butir paradigma baru ABRI dalam buku itu
menyebutkan, berusaha mengubah posisi dan metode tidak selalu harus di depan;
mengubah konsep dari menduduki menjadi mempengaruhi; mengubah dari cara
mempengaruhi secara langsung menjadi tidak langsung; bersedia melakukan role sharing
dengan komponen bangsa lain.
Dengan empat butir paradigma itu, kita kan bisa melihat bahwa ABRI tetap
menganggap dirinya paling hebat, paling tahu urusan negara. Sebetulnya itukan konsep
lama. Jika militer bicara tentang power sharing, kata Ikrar, yang ada di benak ABRI adalah
berbagi kekuasaan eksekutif, yudikatif dan legislatif dengan sipil. Tidak pernah mereka
berpikir bahwa power sharing artinya membiarkan sipil mengendalikan ketiga jenis
kekuagaan itu dan menjadikan ABRI alat pertahanan negara serta alat penjagaan
keamanan.

2) Harus Dipaksa Keluar


Marsilam Simanjuntak sebagai pembahas antara lain mengemukakan bahwa
ABRI atau TNI tidak kompatibel dengan demokrasi. Padahal reformasi yang digerakkan
mahasiswa ingin mengembalikan hak demokrasi rakyat. Jadi, memang susah menyatukan
sesuatu yang asalnya sudah berbeda.
Menurut Simanjuntak, konsep dwifungsi merupakan konsep yang dilekatkan
pada sebuah kenyataan yang sudah ada. Saya ingat Bung Karno pernah bilang bahwa
ABRI itu adalah alat dari kekuasaan. kalau dengan berdalih dwifungsi kemudian ABRI
merambah kemana-mana, apakah itu bisa disebut alat?
Masuknya ABRI ke dunia politit Menurut SimanJuntak lewat cara-cara coercive
(paksaan), yaitu setelah negara dinyatakan dalam keadaan darurat perang (SOB) dan
pada tahun 1958 ABRI memiliki wakil di Konstituante pada tahun 1959, Presiden Sukarno
mengeluarkan dekrit 5 Juli, bukan atas nama Presidens tetapi atas nama Panglima
Tertinggi APRI. Kalau masuknya ABRI ke politik dilakukan secara paksa, maka keluarnya
pun memang harus dipaksa.
Sikap tidak mengedepankan dialog--padahal dialog itu inti demokrasi, tampak
dari peneriman pasukan ke daerah yang dianggap rawan di Indonesia. Ini kan sama sekali
tidak mendukung proses demokratisasi, kata Simanjuntak.

3) Kesalahan Menyikapi Reformasi


Dalam pada itu, Ketua Pusat penelitian pembangunan politik LIPI, Dr Mokhtar
Pabotinggi menegaskan bahwa ABRI punya kesalahan dalam menyikapi reformasi.
Penggunaan kata stabilisator dan dinamisator menganggap krisis ekonomi sebagai
penyebab utama krisis politik, mempermasalahkan sistem pemilu proporsional, kembali
ingin mengaktualkan dwifungsi ABRI dan tidak menyinggung amandemen UUD 1945.
Munculnya RUU Keselamatan Negara itu, akan menyiratkan bahwa kita akan
kembali ke format politik lama, politik darurat monopolistik dan tidak percaya kepada
rakyat. Begitu juga kehadiran 38 anggota ABRI di DPR, itu kan lambang pemerintah belum
percaya pada rakyat.
Jika ada yang mempersoalkan politisi sipil, kata Pabotinggi, harus disadari
bahwa semua politisi yang ada masih merupakan produk Orde Baru. Kalau sekarang
mereka belum becus, yang harus ditekankan meraka masih kepanjangan Orba.

a. Sepuluh Kesalahan Politik


Tampaknya latar belakang dari penilaian para peniliti LIPI tsb, karena LIPI telah
mencatat paling tidak ada 10 kesalahan politik yang dilakukan TNI dalam kurun waktu tiga
tahun terakhir. Kesepuluh kesalahan politik TNI tsb 9:
Pertama; penculikan sejumlah aktifis pro-demokrasi. Tindakan ini menurut Ikrar
menunjukkan TNI bersikap sangat represif dan brutal. Adalah gerakan mahasiswa dan
para aktifis itu hanya ditujukan untuk mengoreksi rezim Orde Baru, yang sangat otoriter.
Melihat sanksinya hanya berupa pencopotan dan hukuman administratif, rakyat jadi
bartanya-tanya: kenapa hukum tentara tidak berlaku untuk yang berpangkat tinggi.
Kedua; keterlibatan aparat militer dalam pengambil alihan kantor DPP PDI di
jalan Diponegoro Jakarta, pada tangsal 27 Juli 1996. Indikasinya jelas sekali, karena ada
keterlibatan aparat Kodim dan Kadit serta kakansospol di berbagai daerah di Indonesia
untuk membuat pernyataan dan mengirim paserta Munas pro Suryadi ke Medan. Lebih
aneh lagi, karena yang diadili adalah mereka yang mempertahankan dan bukan yang
menyerbu.
Ketiga; TNI, berdasarkan hasil penelitian LIPI telah jadi "kuda troya" rezim
Suharto. TNI digunakan oleh Suharto menjadi alat efektif untuk membatasi partisipasi
politik rakyat, baik yang legal maupun yang ilegal.
Keempat; TNI selama ini telah menjadi alat pembungkam oposisi terhadap
negara dan pemerintah. Dengan cara ini, TNI menjadi bagian politik ketakutan masyarakat.
Alasan yang digunakan adalah TNI tidak dapat mentolerir terjadinya perpecahan dalam
masyarakat, karena dapat mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.
Kelima; LIPI menilai cara kekerasan yang digunakan TNI selama ini
menyebabkan kepatuhan rakyat berbalik menjadi ketakutan yang memunculkan
gelombang demonstrasi besar-besaran. Kejadian ini mirip dengan efek bola salju, yaitu
perubahan dari koreksi terhadap Orde Baru menjadi Orde Baru.
Keenam; terbunuhnya 4 mahasiswa Trisakti pada tanggal 12 Mei, dan belum
adanya kejelasan pengusutan menjadikan masyarakat tidak percaya lagi pada
kemampuan TNI untuk menjaga stabilitas. Ini menunjukkan bahwa upaya TNI untuk
mengamankan Suharto mesti dibayar mahal dengan nyawa mahasiswa dan ribuan orang
lainnya.
9
Harian Umum Rakyat Merdeka (28/7)
Ketujuh; pernyataan Jenderal Wiranto sesaat setelah Suharto lengser, malah
seakan menjadi bumerang untuk TNI sendiri. Bahwa TNI akan melindungi Suharto dan
keluarganya, dinilai LIPI Balah semakin menunjukkan bahwa TNI adalah pendukung Orde
Baru.
Kedelapan; rencana pembentukan sejumlah Kodam di berbagai wilayah rawan
kerusuhan bukan dianggap rakyat sebagai upaya menyelesaikan persoalan malah
sebaliknya. Rakyat menganggap hal itu sebagai cara lain untuk menguasai politik daerah
melalui fungsi teritorial.
Kesembilan; tuntutan agar dwifungsi ABRI dicabut, ternyata tak sesuai dengan
kenyataannya. Walau jenderal Wiranto mengatakan bahwa TNI tidak akan terlibat dalam
day to day politics, tetapi mengapa masih ada 38 kursi TNI di DPR dan 10 persen kursi di
setiap DPRD I dan II. Selain itu mengapa pula masih ada keinginan TNI untuk mengajukan
calonnya untuk jabatan Wapres atau bahkan presiden.
Kesepuluh;TNI tidak konsisten terhadap pencabutan DOM di Aceh dan Irian
Jaya. Meskipun Aceh bukan lagi daerah DOM, tetapi nyatanya korban di kalangan sipil
dan militer terus berjatuhan. Militer masih terus melakukan tindakan represif dan
pembunuhan. Cara yang dikedepankan bukan dialog dan penyelesaian damai secara
terbuka, melainkan sekedar dialog tertutup di antara pihak pemerintah. Demikian catatan
LIPI atas kesalahan politik TNI dalam kurun waktu tiga tahun terakhir.

b. UUD 1945 Tak Mengenal Dwifungsi ABRI


Dengan mencermati hasil penelitian LIPI di atas, bertambah jelas kiranya bahwa
TNI belum sepenuhnya ingin kembali ke jati dirinya sebagai alat negara, sesuai dengan
ketentuan UUD 1945. Seperti diketahui UUD 1945 tidak mengenal dwifungsi ABRI.
Sekiranya TNI benar-benar hendak kembali ke jati dirinya sebagai alat negara,
tentu TNI akan menolak atau tidak menerima 38 kursi gratis di DPR dan 10% di DPRD-
DPRD I dan II . Menerima berarti mereka menyetujui diperkosa fasal 27 UUD 1945 yang
menganggap semua warga negara bersamaan kedudukannya di depan hukum dan
pemerintahan,serta waJib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tiada kecuali-
nya. Artinya kalau bagi TNI ada kursi gratis di DPR, maka bagi non-TNI juga harus ada
kursi gratis. Baru adil. Bila tidak, itu ada diskriminasi dan itu bertentangan dengan UUD
1945.

c. TNI Hanya Mengenal Komando


Dengan mencermati hasil penelitian LIPI di atas, bertambah jelas bahwa TNI
hanya mengenal komando dari atas dan bawahan harus patuh pada atasan. Tak ada
demokrasi dalam TNI. Untuk menyelesaikan persoalan, hanya dengan komando. Dalam
menyelesaikan persoalan TNI bisa menghalalkan segala cara demi tujuan. Misalnya
menculik para aktivis pro-demokrasi yang beroposisi kepada Suharto, memobilisasi Pam
Swakarsa untuk dihadapkan dengan mahasiswa yang melakukan unjuk rasa menentang
SI MPR 1998.
Ini sesuai dengan apa yang dikatakan sesepuh TNI, Letjen(Purn) Hasnan Habib
dalam Rakyat Merdeka (29/7) bahwa tentara tidak mungkin menjadi leader untuk menuju
perubahan kehidupan yang lebih demokratis, karena kultur demokrasi tidak biasa
dilakukan TNI.Jadi, kalau ada yang mengataiman bahwa TNI bisa membangun kehidupan
lebih demokrasi adalah sesuatu yang sangat impossible.
Menurut Hasnan Hadib kultur TNI dalam memberlakukan segala keputusan
adalah dengan sistem komando, yaitu mulai dari atasan turun hingga keseluruh
bawahannya. Sementara sistem demokrasi bertentangan dengan kultur mekanisme
komando.
Demokrasi itu sistemnya justru dari bawah ke atas. Komando adalah hasil
sebaliknya. Jadi, demokrasi adalah hal yang sangat bertolak belakang dengan kehidupan
tentara .
Lebih jauh Hasnan mengemukakan dalam era reformasi seperti saat ini, TNI
tidak dapat diharapkan melakukan perubahan dengan sendirinya. Perubahan yang
dilakukan TNI, menurutnya, mau atau tidak mau dilakukan sebagai reaksi atas dorongan
yang amat kuat dari publik.
Apa yang dikemukakan Hasnan Habib ini, sesungguhnya 6 tahun yang lalu,
telah dikemukakan juga oleh mantan Gubernur Lemhamnas Soebijakto dalam
wawancaranya dengan Forum Keadilan (No 13 thn ke II, 14 Okt.1993). Soebijakto antara
lain mengatakan bahwa peran sosial politik ABRI untuk mewujudkan demokrasi, memang
sulit, karena ABRI memang tidak mempunyai pengalaman dalam kegiatan demokrasi.
bagaimana ABRI bisa berprestasi sebagai pendorong demokrasi dan ahli demokrasi?
Wong pengalaman pun nggak punya.
Selanjutnya Soebijakto mengatakan karena ABRI tidak mempunyai pengalaman
berdemokrasi, sebaiknya urusan politik dan demokrasi diserahkan kepada sipil. Sedans
ABRI cukup mengamankan perJuangannnya. Sebab kalau turut campur nggak ada
relevansinya.
Jadi Reposisi, redefinisi dan reaktualisasi peran TNI dalam kehidupan bangsa,
seperti dikemukakan Wiranto, bukanlah untuk TNI kembali kejati dirinya sebagai alat
negara, melainkan sebagai lip service, hanya sekedar respon terhadap kritikan dan
hujatan masyarakat atas tindakan kekerasan TNI di masa lalu. Sebab Wiranto masih tetap
ingin berbagi kekuasaan eksekutif, yudikatif dan legislatif dengan komponen bangsa,
dengan sipil.

ORMAS

Ormas dimaksud adalah organisasi kemasayarakatan. Di dalamnya ada ormas


kepemudaan, ormas keagamaan, organisasi keprofesian, dan organisasi kemasyarakatan
lain baik terkait dengan kependidikan, kebudayaan, kedaerahan, kesenian dan
sebagainya. Pada kepolitikan Indonesia, ormas ini memiliki kekuatan luar biasa.
Perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak lepas dari peran ormas ini, termasuk bahkan
terutama ormas keagamaan. Sebut saja ormas Islam dengan peran para ulama, kiyai dan
santrinya.
Pada perkembangannya ormas-ormas itu, termasuk ormas keagamaan juga
menampilkan diri dengan mendirikan partai politik, baik partai yang dibentuk untuk
menghadapi penjajah maupun parpol keagamaan yang dibentuk untuk ikut menjadi
peserta pemilihan umum dan duduk di parlemen. Hal ini terlihat sejak pemilu tahun 1955
parpol-parpol keagamaan teutama parpol-parpol Islam senantiasa mewarnai kepolitikan
Indonesia .
Lahirnya Sumpah Pemuda tahun 1928, tidak bisa dipisahkan dari perjuangan
politik pemuda/ gagasan dicetuskan oleh kalangan muda yang sinergis dengan politik
revolusioner Bung Karno. Ketika Bung Karno aktif melakukan berbagai kegiatan lewat
PNI (dua tahun kemudian Bung Karno ditangkap Belanda dan diajukan di depan
pengadilan Bandung, di mana ia mengucapkan pidato pembelaannya yang terkenal
“Indonesia Menggugat”).
Dalam sejarah perjuangan bangsa, sudah terjadi banyak perlawanan terhadap
kolonialisme Belanda yang dilakukan oleh berbagai suku di berbagai daerah, baik di
Sumatera, Jawa, Sulawesi, Maluku dan pulau-pulau lainnya. Namun, perjuangan dan
perlawanan itu sporadis --memang sesuai dengan setting yang dihendendaki Belanda,
dengan memecah belah lalu menguasai (de vide et impera)-- sebagian besar bersifat
lokal dan kesukuan, karenanya banyak mengalami kegagalan.
Tanggal 28 Oktober 1928, adalah puncaknya kesadaran untuk menyatukan
bukan saja perjuangan melawan kolonialisme Belanda, tapi juga perjuangan membangun
konstruksi nasionalisme permanen, bahwa Indonersia yang terdiri atas ribuan pulau,
etnik, bahasa, namun Indonesia milik bersama, Indonesia harus menyatu dan harus
terintegrasi dalam satu kesatuan. Gagasan penyelenggaraan Kerapatan atau Kongres
Pemuda II Indonesia ini dari Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), sebuah
organisasi pemuda yang beranggota pelajar dari seluruh Indonesia. Teknisnya, kongres
dilaksanakan di tiga tempat berbeda dan dibagi tiga sesi.
Sesi pertama, Sabtu, 27 Oktober 1928, di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond
(KJB), Waterlooplein (sekarang Lapangan Banteng). Dalam sambutannya, ketua PPI
Sugondo Djojopuspito berharap kongres ini dapat memperkuat semangat persatuan dalam
sanubari para pemuda. Dilanjutkan uraian Moehammad Yamin tentang arti dan hubungan
persatuan dengan pemuda. Menurutnya, ada lima faktor yang bisa memperkuat persatuan
Indonesia yaitu sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan.
Sesi kedua, Minggu, 28 Oktober 1928, di Gedung Oost-Java Bioscoop, bahas
masalah pendidikan. Pembicara, Poernomowoelan dan Sarmidi Mangoensarkoro.
Keduanya berpendapat bahwa anak harus mendapat pendidikan kebangsaan, harus pula
ada keseimbangan antara pendidikan di sekolah dan di rumah. Anak juga harus dididik
secara demokratis.
Pada sesi penutup, di gedung Indonesische Clubgebouw di Jalan Kramat Raya
106, Sunario menjelaskan pentingnya nasionalisme dan demokrasi selain gerakan
kepanduan. Sedangkan Ramelan mengemukakan, gerakan kepanduan tidak bisa
dipisahkan dari pergerakan nasional. Gerakan kepanduan sejak dini mendidik anak-anak
disiplin dan mandiri, hal-hal yang dibutuhkan dalam perjuangan.
Kongres dihadiri berbagai wakil organisasi kepemudaan: Jong Java, Jong Batak,
Jong, Celebes, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Jong Ambon, dsb serta
pengamat dari pemuda tiong hoa seperti Kwee Thiam Hong, John Lauw Tjoan Hok, Oey
Kay Siang dan Tjoi Djien Kwie.
Rumusan Sumpah Pemuda ditulis Moehammad Yamin pada kertas ketika Mr.
Sunario, sebagai utusan kepanduan tengah berpidato pada sesi terakhir kongres. Sumpah
tersebut awalnya dibacakan oleh Soegondo dan kemudian dijelaskan panjang-lebar oleh
Yamin.
Isi Sumpah Pemuda Hasil Kongres yang sangat sarat dengan spirit kemerdekaan
dan nasionalisme, apinya jiwa revolusioner itu ditulis dan dibacakan:
Pertama : Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mengakoe Bertoempah Darah Jang Satoe,
Tanah Indonesia. (Kami Putra dan Putri Indonesia, Mengaku Bertumpah Darah
Yang Satu, Tanah Indonesia).
Kedoea : Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mengakoe Berbangsa Jang Satoe, Bangsa
Indonesia. (Kami Putra dan Putri Indonesia, Mengaku Berbangsa Yang Satu,
Bangsa Indonesia).
Ketiga : Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mendjoendjoeng Bahasa Persatoean,
Bahasa Indonesia. (Kami Putra dan Putri Indonesia, Menjunjung Bahasa
Persatuan, Bahasa Indonesia).
Sebelum kongres ditutup atas saran Sugondo kepada W.R Supratman lagu
“Indonesia Raya” karyanya diperdengarkan. Dengan biola tanpa syair, lagu tersebut
disambut dengan sangat meriah oleh peserta kongres. Teksnya dipublikasikan lewat
media cetak, surat kabar Sin Po, sekaligus menegaskan bahwa lagu itu adalah lagu
kebangsaan Indonesia. Ini adalah moment sejarah pertamakalinya lagu Indonesia Raya
diperdengarkan. Kongres ditutup dengan mengumumkan rumusan hasil kongres. Oleh
para pemuda yang hadir, rumusan itu diucapkan sebagai Sumpah Setia. Belanda tidak
senang, lagu ini sempat dilarang, namun pada setiap kesempatan para pemuda tetap
mengumandangkannya.

1) Bentuk Perjuangan dan Manifesto


Perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajah, melalui berbagai bentuk dan
cara, diantaranya melalui pergerakkan Budi Utomo, Sarekat Islam, Sarekat Dagang Islam,
Indische Party, ISDV, PKI, PNI, GAPI serta Gerindo dan bentuk perlawanan lainnya.
Bahwa Sumpah Pemuda adalah tonggak dan puncak sejarah yang sangat penting bagi
perjalanan bersama bangsa ini. Banyak tokoh lokal dan nasional dari berbagai suku,
agama maupun aliran politik yang telah ikut serta. Ada yang dari kalangan Islam, kristen
Katolik dan Protestan, nasionalis, sosialis, komunis dan humanis. Mereka bersatu dalam
Sumpah Pemuda, dan juga dalam berbagai perjuangan melawan Belanda, sampai
lahirnya kemerdekaan tahun 1945.
Perjuangan bergai organisasi untuk melawan penjajah bukan saja terjadi di tanah
air. Di luar negeripun anak bangsa ini terus berjuang untuk kemerdekaan indonesia.
Bahkan tahun 1925, Perhimpunan Indonesia di negeri Belanda mengeluarkan Manifesto
Politik. Prof Sartono Kartodirdjo, seperti dikutip, Sejarawan LIPI, Dr. Asvi Warman
Adam10, meyakini bahwa Manifesto Politik yang dikeluarkan Perhimpunan Indonesia di
negeri Belanda itu lebih fundamental dari Sumpah Pemuda 1928.
Manifesto Politik 1925 intinya berisi prinsip perjuangan yakni unity (persatuan),
equality (kesetaraan), dan liberty (kemerdekaan). Sementara Sumpah Pemuda
sebagaimana ada pada memori kolektif bangsa ini menonjolkan persatuan. Paling tidak
demikianlah yang tertanam dalam memori kolektif masyarakat Indonesia selama ini melalui
slogan populer "satu nusa, satu bangsa, satu bahasa".
Tulisan ini tentu tidak memasalahnya apalagi mempertentangkan Manifesto Politik
1925 dengan sumpah pemuda 1928. Saya memahami, itu adalah cikal bakal yang terus
mengalir dalam darah dan jiwa bangsa Indonseia. Namun bahwa lokasi kelahairan ikrar ini
berbeda, yang satu di belanda (negara yang menjajah) dan satu di jakarta (indonesia
sebagai negeri yang diajajah), secara psikologis mungkin ini beropengaruh kepada
10
Harian Umum Kompas 28 Oktober 2002 (Dr Asvi Warman Adam, Sejarawan),
gereget, nyali dan semangatnya. Namun kedua-duanya merupakan nyawa perjuangan,
api revolusi untuk memerdekakan Indonesia. Saya saya tertarik, kartena ternyata ada
tokoh dibalik dua peristiwa ini yang terkubur dari publikasi.
Satu-satunya tokoh yang aktif dan berperan pada dua peristiwa (1925 dan 1928-
pen) yang menjadi tonggak sejarah nasional itu, seperti ditulis Asvi adalah Prof Mr
Sunario. Ketika Manifesto Politik itu dicetuskan ia menjadi Pengurus Perhimpunan
Indonesia bersama Hatta. Sunario menjadi Sekretaris II, Hatta bendahara I. Setelah
meraih gelar Meester in de rechten, Desember 1925, ia kembali ke Indonesia. Sebagai
pengacara, ia membela para aktivis pergerakan yang berurusan dengan polisi Hindia
Belanda. Ia menjadi penasihat panitia Kongres Pemuda II tahun 1928 yang kemudian
melahirkan Sumpah Pemuda. Dalam kongres itu Sunario menjadi pembicara dengan
makalah "Pergerakan Pemuda dan Persatuan Indonesia".
Menurut Kepala Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial (Pussis) Universitas
Negeri Medan (Unimed) Phil Ichwan Azhari 11, Sumpah Pemuda tidak ada dokumen
sejarahnya yang otentik. Apabila teks asli hasil kongres pemuda 28 Oktober 1928 diteliti,
tidak akan ditemukan kata sumpah pemuda, melainkan “Poetoesan Congres”. Dari mana
kata Sumpah Pemuda?
Pada 28 Oktober 1954 Presiden Soekarno dan Muhammad Yamin membuka
Kongres Bahasa Indonesia II di Medan, Sumatra Utara. Saat itu, Soekarno dan Yamin
tengah membangun simbol yang menjadi bagian dari susunan ideologi sebuah bangsa
dan negara. Pilihannya jatuh pada 28 Oktober 1928, saat itu pula “Poetoesan Congres”
menjadi “Sumpah Pemuda”.

2) Hatta dan Sunario


Hatta yang lahir di Bukit Tinggi 12 agustus 1902 dan Sunario yang lahir di
Madiun 28 Agustus 1902 –usianya terpaut kuarng lebih dua minggu-- sama sama aktivis
dan pengurus Perhimpunan Indonesia tahun 1925. Pada tahun inilah ketika sama-sama
sekolah di negeri belanda, Perhimpunan Pemuda mengeluarkan Manifesto Politik.
Setelah Indonesia merdeka, Hatta menjadi wakil presiden, sedangkan Sunario
menjadi anggota Badan Pekerja KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat). Kedua tokoh
ini sama-sama pernah menjadi Menteri Luar Negeri (Menlu). Hatta merangkap Menlu pada
pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS- 20 Desember 1949 - 6 September 1950).
Sunario menjadi Menlu semasa kabinet Ali Sastroamidjojo (30 Juli 1953-12 Agustus 1955).
Hatta adalah penggagas politik luar negeri yang bebas aktif. Pidato terkenalnya
“Mendayung di antara Dua Karang”. Politik luar negeri yang bebas aktif dijabarkan
Sunario secara nyata ketika menjadi Menlu dilangsungkan KAA (Konferensi Asia Afrika) di
Bandung tahun 1955 dan menghasilkan Dasa Sila Bandung. Sunario juga
menandatangani Perjanjian tentang Dwi Kewarganegaraan etnis Cina dengan Chou En
Lai. -- persoalan yang sampai sekarang tetap krusial.
Hatta mundur sebagai Wakil Presiden, Desember 1956. Pada tahun yang sama
Sunario ditunjuk menjadi Duta Besar di Inggris (sampai tahun 1961). Setelah itu Sunario
diangkat sebagai Guru Besar Politik dan Hukum Internasional, lalu menjadi Rektor
Universitas Diponegoro, Semarang (1963-1966). Setelah sama-sama pensiun, kedua
tokoh ini kembali bertemu dalam Panitia Lima tahun 1974. Panitia itu dibentuk pemerintah,
untuk mengklarifikasi siapa sebetulnya penggali Pancasila. Panitia ini diketuai Bung Hatta.
11
(http://berita.liputan6.com)
Anggota lainnya adalah Ahmad Subardjo, AA Maramis, Sunario, dan AG Pringgodigdo.
Ketiga anggota pertama adalah tokoh yang ikut merumuskan Piagam Jakarta tahun 1945.
Tahun 1925 diterbitkan buku Uraian Pancasila oleh Panitia Lima. Bung Karno
diakui sebagai tokoh yang pertama berpidato dan mengungkapkan nama Pancasila
sebagai dasar negara. Namun, dalam pidato Soekarno, sila Ketuhanan itu tercantum pada
urutan terakhir. Itulah yang di balik dalam perumusan naskah Pancasila oleh founding
fathers kita. Sila Ketuhanan (ditambah ungkapan Yang Maha Esa) diletakkan pada urutan
pertama. Sila-sila lain hanya menyangkut perubahan istilah. Panitia Lima termasuk Bung
Hatta dan Sunario menganggap, sila pertama merupakan fundamen moral sedangkan
keempat sila lainnya adalah fundamen politik. Sendi moral harus ditempatkan di atas sendi
politik. Bukan sebaliknya, sebagaimana terjadi terutama belakangan ini.
Salah satu hal yang menjadi obsesi tokoh nasionalis; Sunario ini adalah
persatuan bangsa. Sejak dari negeri Belanda sampai proklamasi kemerdekaan, Sunario
adalah tokoh yang konsisten dengan pandangan tentang negara kesatuan. Ia keberatan
dengan dengan negara federal. Pidatonya dalam Kongres Pemuda mengutip filsuf
Perancis Ernest Renant yang kemudian pernah disitir Bung Karno. Artikel Qu'est-ce qu'une
nation? itu, lalu diterjemahkan Sunario ke dalam bahasa Indonesia menjadi Apakah
Bangsa Itu?
"Bangsa itu adalah hasil historis yang ditimbulkan deretan kejadian yang semua
menuju ke satu arah. Setelah menguraikan masalah ras, bahasa, agama, persekutuan
kepentingan bersama, keadaan alam, Renant menyimpulkan, bangsa itu merupakan
keinginan untuk hidup bersama (le desir de vivre ensemble)."
"Bangsa itu seperti individu-individu merupakan hasil masa silam yang penuh
usaha, pengorbanan, dan pengabdian. Jadi bangsa itu adalah suatu solidaritas besar yang
terbentuk karena adanya kesadaran bahwa orang telah berkorban banyak dan bersedia
untuk memberikan pengorbanan lagi."

Anda mungkin juga menyukai