1
Bahan kuliah SISTEM POLITIK INDONESIA versi WAG, terkait penyelenggaraan kuliah tidak tatap muka di kelas,
karena kasus COPVID-19 (corona) Surat Rektor.
2
Dosen Mata Kuliah Sistem Poluitik Indonesia
penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil
maupun materiil)
Menurut Soltau, Partai politik adalah: A group of citizens more or less organized,
who act as a political unit and who, by the use of their voting power, aim to control the
government and carry out their general policies . (sekelompok warga Negara yang sedikit
banyak terorganisir, yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik dan yang --dengan
memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih-- bertujuan menguasai pemerintahan dan
melaksanakan kebijaksanaan umum mereka)
Sigmund Neumann memberi definisi: A political party is the articulate organization
of society’s active political agents, those who are concerned with the control of
governmental power and who compete for popular support with another group or groups
holding divergent views. (Partai politik adalah organisasi dari aktivis-aktivis politik yang
berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat atas
dasar persaingan dengan suatu golongan atau golongan –golongan lain yang mempunyai
pandangan yang berbeda)
Secara demikian partai politik berbeda dengan gerakan ( movement). Gerakan
lebih merupakan aksi kelompok atau golongan yang ingin mengadakan perubahan-
perubahan pada lembaga-lembaga politik atau kadang-kadang malahan ingin menciptakan
suatu tata masyarakat yang baru sama sekali, dengan memakai cara-cara politis.
Tujuannya lebih terbatas, sifatnya fundamental kadang-kadang ideologis. Orientasi ini
merupakan ikatan yang kuat di antara anggotanya dan dapat menumbuhkan suatu
identitas kelompok (group identity). Organisasinya kurang ketat, tidak mengadu nasib
dalam pemilu.
Adapun kelompok penekan (pressure group) atau istilah yang lebih banyak
dipakai dewasa ini kelompok kepentingan ( interest group) bertujuan memperjuangkan
“kepentingan” dengan cara mempengaruhi lembaga-lembaga politik (parpol, instansi
yang berwenang) agar mendapatkan keputusan yang menguntungkan, atau setidaknya
terhindar dari keputusan yang merugikan. Kelompok ini tidak berusaha menempatkan
wakilnya di DPR. Orientasinya lebih sempit dari parpol, dan karena mewakili pelbagai
golongan, ia banyak memperjuangkan kepentingan umum.
Pada negara demokrasi, pemikiran mengenai partisipasi rakyat mempunyai dasar
ideologis yang kuat: “bahwa rakyat berhak turut menentukan siapa saja yang akan menjadi
pemimpin dan nantinya menentukan kebijaksanaan umum (public policy).” Di negara-
negara totaliter, gagasan mengenai partisipasi rakyat didasari pandangan elite politiknya
bahwa rakyat perlu dibimbing dan dibina untuk mencapai stabilitas yang langgeng. Untuk
mencapai tujuan ini, partai politik merupakan alat yang paling dianggap efektif.
Pada awal perkembangannya di negara-negara Barat, seperti Inggris dan
Perancis, kegiatan politik dipusatkan pada kelompok-kelompok politik dalam parlemen.
Kegiatan ini mula-mula bersifat elitist dan aristokratis, mempertahankan kepentingan kaum
bangsawan terhadap tuntutan raja. Namun dengan meluasnya hak pilih, kegiatan politik
berkembang di luar parlemen dengan terbentuknya panitia-panitia pemilihan yang
mengatur pengumpulan suara para pendukungnya menjelang masa pemilihan umum.
Karena dirasa perlu memperoleh dukungan dari pelbagai golongan masyarakat,
kelompok-kelompok politik dalam parlemen lambat laun berusaha mengembangkan
organisasi massa. Dengan demikian terjalinlah suatu hubungan tetap antara kelompok-
kelompok politik dalam parlemen dengan panitia-panitia pemilihan yang sefaham dan
sekepentingan sekurang-kurangnya untuk terselenggaranya pemilu; lahirlah partai politik.
Partai semacam ini menekankan kemenangan dalam pemilihan umum dan dalam masa
antara dua pemilihan umum biasanya kurang aktif. Ia bersifat patronage party (partai
lindungan) yang biasanya tidak memiliki disiplin partai yang ketat.
Dalam perkembangan selanjutnya di dunia Barat timbul pula partai yang lahir di
luar parlemen. Partai-partai ini bersandar pada suatu pandangan hidup atau ideologi
tertentu seperti Sosialisme, Kristen Demokrat, dan sebagainya. Dalam partai semacam ini
disiplin partai lebih kuat, sedangkan pimpinan lebih bersifat terpusat.
Di negara-negara jajahan partai-partai politik sering didirikan dalam rangka
pergerakan nasional di luar dewan perwakilan rakyat colonial; malahan partai-partai
kadang-kadang menolak untuk duduk dalam badan itu, seperti pernah terjadi di India dan
Hindia Belanda. Setelah kemerdekaan dicapai dan dengan meluasnya proses urbanisasi,
komunikasi massa serta pendidikan umum, maka bertambah kuatlah kecenderungan
untuk berpartisipasi dalam proses politik melalui partai. Karenanya partai harus memiliki
kekuatan yang memadai.
Parpol memiliki kekuatan, manakala partai politik tersebut memang fungsional.
Jika tidak funsional, tentu parpol akan lemah tidak memiliki daya dan tidak memiliki
kontribusi untuk kepentingan negara. Seperti telah banyak diketahui, fungsi partai politik
meliputi:
David A. Apter, seperti dikutip Rusadi Kantaprawira (1988:54) Fungsi politik yang
ditunaikan oleh struktur politik masyarakat meliputi al:
a. Pendidikan Politik (Political education, political socialization, citizenship training) Yaitu
untuk meningkatkan pengetahuan politik rakyat dan agar mereka dapat berpastisipasi
secara maksimal dalam system politiknya. Sesuai dengan faham kedaulatan rakyat
atau demokrasi, rakyat harus mampu menjalankan tugas partisipasi. Termasuk pada
fungsi ini, parpol berfungsi sebagai sarana sosialisasi politik (instrument of political
socialization). Sosialisasi politik diartikan sebagai proses guna mengetahui sikap
dan orientasi seseorang terhadap phenomena politik di mana ia berada. Lumrahnya
proses ini berjalan secara berangsur-angsur dari masa kanak-kanak sampai dewasa.
Sosialisasi politik juga mencakup proses penyampaian norma-norma dan nilai-nilai
dari satu generasi ke generasi berikutnya. Proses sosialisasi politik ini
diselenggarakan melalui ceramah penerangan, kursus kader, kursus penataran, dan
sebagainya.
b. Agregasi kepentingan (Interest aggregation) yaitu menyalurkan segala hasrat/aspirasi
dan pendapat masyarakat kepada pemegang kekuasaan (regim) atau pemegang
kekuasaan yang berwenang (authorities) agar tuntutan (demands) atau dukungan
(support) menjadi perhatian dan menjadi keputusan politik. Pada masyarakat
modern, aspirasi seseorang atau kelompok akan hilang ketika tidak ditampung dan
digabung dengan pendapat orang lain yang senada. Proses ini dinamakan ” interest
aggregation” (penggabungan kepentingan).
c. Mempertemukan kepentingan (interest articulation) Sesudah digabung kemudian
diolah dan dirumuskan secara teratur. Proses ini disebut “ interest articulation”
(perumusan kepentingan). ini dimaksud agar kepentingan yang aneka ragam dan
nyata-nyata hidup dalam masyarakat dapat dipertemukan, sehingga terjadi
akomodasi (accommodation) atau penyesuaian (adaptation). Selanjutnya berbagai
kepentingan dirumuskan menjadi usul kebijaksanan yang dimasukkan dalam
program partai. Program ini disampaikan kepada pemerintah agar dijadikan
kebijaksanaan umum (public policy). Dengan demikian tuntutan dan kepentingan
masyarakat disampaikan kepada pemerintah melalui partai politik.
d. Seleksi kepemimpinan (political selection) yaitu menyelenggarakan pemilihan pemimpin
atau calon pemimpin bagi masyarakat. Partai politik berfungsi mencari dan
mengajak orang berbakat untuk turut aktif dalam kegiatan politik sebagai anggota
partai (political recruitment). Perluasan partisipasi politik ini melalui kontak pribadi,
persuasi dan lain-lain. rekrutmen politik ini juga diusahakan menarik golongan muda
untuk dididik menjadi kader mengganti pimpinan lama (selection of leadership).
e. Komunikasi politik (political communication) gunanya untuk menghubungkan pikiran
politik yang hidup dalam masyarakat, baik pikiran intra golongan, institut, asosiasi,
atau sector kehidupan politik masyarakat dengan sector pemerintahan. Ini dimaksud
untuk menyalurkan berbagai pendapat dan aspirasi masyarakat dan mengaturnya
sehingga kesimpangsiuran pendapat dalam masyarakat berkurang. Partai politik juga
memperbincangkan dan menyebarluaskan rencana-rencana dan kebijakan
pemerintah kepada masyarakat. Dengan demikian terjadi arus informasi dua arah.
Dalam menjalankan fungsi ini partai politik sering disebut sebagai broker (perantara)
dalam suatu bursa idée-idee “clearing house of ideas”. Bagi pemerintah, parpol
bertindak sebagai alat pendengar, bagi masyarakat sebagai pengeras suara.
Tidak dipungkiri bahwa sistem kepartaian Indonesia menganut multy party system.
Dan ini tentu saja merupakan kekuatan riil dalam kepolitikan Indonesia. Persoalannya
benarkah untuk kekuatan politik dalam menopang negara atau sebagai alat kekuassan
saja. Tentu setiap periode regim kekuatan dan posisi parrtai politikpun berbeda-beda.
Pemilu 1955 merupakan pemilu yang pertama dalam sejarah bangsa Indonesia.
sekitar tiga bulan setelah kemerdekaan dipro-klamasikan oleh Soekarno dan Hatta pada
17 Agustus 1945, pemerin-tah waktu itu sudah menyatakan keinginannya untuk bisa
menyele-nggarakan pemilu pada awal tahun 1946. Hal itu dicantumkan dalam Maklumat
X, atau Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta tanggal 3 Nopember 1945, yang berisi
anjuran tentang pembentukan par-tai-partai politik.
Maklumat tersebut menyebutkan, pemilu untuk me-milih anggota DPR dan MPR
akan diselenggarakan bulan Januari 1946. Kalau kemudian ternyata pemilu pertama
tersebut baru terselenggara hampir sepuluh tahun setelah kemudian tentu bukan tanpa
sebab. Tetapi, berbeda dengan tujuan yang dimaksudkan oleh Maklumat X, pemilu 1955
dilakukan dua kali. Yang pertama, pada 29 September 1955 untuk memlih anggota-
anggota DPR. Yang kedua, 15 Desember 1955 untuk memilih anggota-anggota Dewan
Konstituante.
Dalam Maklumat X hanya disebutkan bahwa pemilu yang akan diadakan Januari
1946 adalah untuk memilih angota DPR dan MPR, tidak ada Konstituante. Keterlambatan
tersebut bukan tanpa sebab pula. Ada kendala yang bersumber dari dalam negeri dan ada
pula yang berasal dari faktor luar negeri.
Sumber penyebab dari dalam antara lain ketidaksiapan pemerintah
menyelenggarakan pemilu, baik karena belum tersedianya perangkat perundang-
undangan untuk mengatur penyelenggaraan pemilu maupun akibat rendahnya stabilitas
keamanan negara. Dan yang tidak kalah pentingnya, penyebab dari dalam itu adalah sikap
pemerintah yang enggan menyelenggarakan perkisaran (sirkulasi) kekuasaan secara
teratur dan kompetitif.
Penyebab dari luar antara lain serbuan kekuatan asing yang mengharuskan
negara ini terlibat peperangan. Tidak terlaksananya pemilu pertama pada bulan Januari
1946 seperti yang diamanatkan oleh Maklumat 3 Nopember 1945, paling tidak disebabkan
2 (dua) hal : 1. Belum siapnya pemerintah baru, termasuk dalam penyusunan perangkat
UU Pemilu; 2. Belum stabilnya kondisi keamanan negara akibat konflik internal antar
kekuatan politik yang ada pada waktu itu, apalagi pada saat yang sama gangguan dari luar
juga masih mengancam.
Dengan kata lain para pemimpin lebih disibukkan oleh urusan konsolidasi. Namun,
tidaklah berarti bahwa selama masa konsolidasi kekuatan bangsa dan perjuangan
mengusir penjajah itu, pemerintah kemudian tidak berniat untuk menyelenggarakan
pemilu. Ada indikasi kuat bahwa pemerintah punya keinginan politik untuk menyelengga-
rakan pemilu. Misalnya adalah dibentuknya UU No. UU No 27 tahun 1948 tentang Pemilu,
yang kemudian diubah dengan UU No. 12 tahun 1949 tentang Pemilu. Di dalam UU No
12/1949 diamanatkan bahwa pemilihan umum yang akan dilakukan adalah bertingkat
(tidak langsung). Sifat pemilihan tidak langsung ini didasarkan pada alasan bahwa
mayoritas warganegara Indonesia pada waktu itu masih buta huruf, sehingga kalau
pemilihannya langsung dikhawatirkan akan banyak terjadi distorsi.
Kemudian pada paroh kedua tahun 1950, ketika Mohammad Natsir dari Masyumi
menjadi Perdana Menteri, pemerintah memutuskan untuk menjadikan pemilu sebagai
program kabinetnya. Sejak itu pembahasan UU Pemilu mulai dilakukan lagi, yang
dilakukan oleh Panitia Sahardjo dari Kantor Panitia Pemilihan Pusat sebelum kemudian
dilanjutkan ke parlemen. Pada waktu itu Indonesia kembali menjadi negara kesatuan,
setelah sejak 1949 menjadi negara serikat dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS).
Setelah Kabinet Natsir jatuh, 6 bulan kemudian pembahasan RUU Pemilu
dilanjutkan oleh pemerintahan Sukiman Wirjosandjojo, juga dari Masyumi. Pemerintah
ketika itu berupaya menyelenggarakan pemilu karena pasal 57 UUDS 1950 menyatakan
bahwa anggota DPR dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum. Tetapi pemerintah
Sukiman juga tidak berhasil menuntaskan pembahasan undang-undang pemilu tersebut.
Selanjutnya UU ini baru selesai dibahas oleh parlemen pada masa pemerintahan Wilopo
dari PNI pada tahun 1953. Maka lahirlah UU No. 7 Tahun 1953 tentang Pemilu. UU inilah
yang menjadi payung hukum Pemilu 1955 yang diselenggarakan secara langsung, umum,
bebas dan rahasia.
Dengan demikian UU No. 27 Tahun 1948 tentang Pemilu yang diubah dengan UU
No. 12 tahun 1949 yang mengadopsi pemilihan bertingkat (tidak langsung) bagi anggota
DPR tidak berlaku lagi. Patut dicatat dan dibanggakan bahwa pemilu yang pertama kali
tersebut berhasil diselenggarakan dengan aman, lancar, jujur dan adil serta sangat
demokratis. Pemilu 1955 bahkan mendapat pujian dari berbagai pihak, termasuk dari
negara-negara asing. Pemilu ini diikuti oleh lebih 30-an partai politik dan lebih dari seratus
daftar kumpulan dan calon perorangan.
Yang menarik dari Pemilu 1955 adalah tingginya kesadaran berkompetisi secara
sehat. Misalnya, meski yang menjadi calon anggota DPR adalah perdana menteri dan
menteri yang sedang memerintah, mereka tidak menggunakan fasilitas negara dan
otoritasnya kepada pejabat bawahan untuk menggiring pemilih yang menguntungkan
partainya. Karena itu sosok pejabat negara tidak dianggap sebagai pesaing yang licik, dan
pemilu kala itu dilakukan untuk dua keperluan; anggota DPR dan anggota Dewan
Konstuante:
3
Verifikasi persyaratan yang bersifat administrasi dilakukan oleh KPU dan yang bersifat yuridis dilakukan dan disahkan
oleh Mahkamah Agung.
No Nama Partai Politik No Nama Parpol
1 Partai Indonesia Baru 25 Partai Nahdlatul Ummat
Partai Nasional Indonesia –
2 Partai Kristen Nasional Indonesia 26
Front Marhaenis
Partai Ikatan Pendukung
3 Partai Nasional Indonesia 27
Kemerdekaan Indonesia
4 Partai Aliansi Demokrat Indonesia 28 Partai Republik
5 Partai Kebangkitan Muslim Indonesia 29 Partai Islam Demokrat
Partai Nasional Indonesia –
6 Partai Ummat Islam 30
Massa Marhaen
Partai Musyawarah Rakyat
7 Partai Kebangkitan Umat 31
Banyak
8 Partai Masyumi Baru 32 Partai Demokrasi Indonesia
9 Partai Persatuan Pembangunan 33 Partai Golongan Karya
10 Partai Syarikat Islam indonesia 34 Partai Persatuan
Partai Demokrasi Indonesia
11 35 Partai Kebangkitan Bangsa
Perjuangan
Partai Uni Demokrasi
12 Partai Abul Yatama 36
Indonesia
13 Partai Kebangsaan Merdeka 37 Partai Buruh Nasional
Partai Musyawarah
14 Partai Demokrasi Kasih Bangsa 38
Kekeluargaan Gotong Royong
15 Partai Amanat Nasional 39 Partai Daulat Rakyat
16 Partai Rakyat Demokrat 40 Partai Cinta Damai
Partai Syarikat Islam Indonesia – Partai Keadilan dan
17 41
1905 Persatuan
Partai Solidaritas Pekerja
18 Partai Katolik Demokrat 42
Seluruh Indonesia
Partai Nasional Bangsa
19 Partai Pilihan Rakyat 43
Indonesia
Partai Bhinneka Tunggal Ika
20 Partai Rakyat Indonesia 44
Indonesia
Partai Politik Islam Indonesia Partai Solidaritas Uni Nasional
21 45
Masyumi Indonesia
22 Partai Bulan Bintang 46 Partai Nasional Demokrat
Partai Umat Muslimin
23 Partai Solidaritas Pekerja 47
Indonesia
24 Partai Keadilan 48 Partai Pekerja Indonesia
Pemilu legislatif 1999 yang diikuti 48 Parpol, dari 135 lebih calon parpol yang
diverifikasi Komisi Pemilihan Umum itu dilanjutkan dengan Sidang Umum MPR.
Abdurrahman Wahid (Gusdur) terpilih sebagai Presiden dan Megawati Soekarno Puteri
sebagai Wakil Presiden. Namun hasil Pemilu 1999 ini hanya berlangsung kurang dari 3
tahun. Melalui Sidang Istimewa tahun 2002, MPR mencabut mandatnya dari
Abdurrahman Wahid. Melalui SU MPR berikutnya Megawati Soekarno Puteri terpilih
sebagai Presiden dan Hamzah Haz terpilih sebagai Wakil Presiden masa bakti 2002-2004,
atau menghabiskan masa jabatan presiden hasil MPR tahun 1999.
BIROKRASI
4
Enam Parpol lokal di Aceh adalah Partai Aceh Aman sejahtera, Partai Daulat Aceh, Partai Suara Independen Rakyat
Aceh, Partai Rakyat Aceh dan Partai Aceh.
Birokrasi seringkali diartikan sebagai officialdom atau kerajaan pejabat, yaitu suatu
kerajaan yang raja-rajanya adalah pejabat. Di dalamnya terdapat yurisdiksi dimana setiap
pejabat memiliki official duties. Mereka bekerja pada tatanan hierarki dengan
kompetensinya masing-masing. Pola komunikasinya sangat formal, didasarkan pada
dokumen tertulis.
Hegel berpendapat birokrasi adalah medium yang dapat dipergunakan untuk
menghubungkan kepentingan partikular dengan kepentingan general (umum). Karl Marx
memandang birokrasi dalam kerangka perjuangan kelas, krisis kapitalisme dan
pengembangan komunisme. Karl Marx menerima pemikiran Hegel, namun Karl Marx
berpendapat bahwa birokrasi merupakan instrumen yang dipergunakan oleh kelas yang
dominan untuk melaksanakan dominasi kekuasaannya atas kelas-kelas sosial lainnya.
Dengan kata lain birokrasi memihak kepada kelas partikular yang mendominasi tersebut.
Menurut teori liberal bahwa birokrasi pemerintah menjalankan kebijakan-kebijakan
pemerintah yang mempunyai akses langsung dengan rakyat melalui mandat yang
diperoleh dalam pemilihan umum. Birokrasi pemerintah bukan hanya diisi oleh para
birokrat, melainkan ada bagian-bagian tertentu yang diduduki oleh pejabat politik
(Carino,1994). Demikian pula sebaliknya bahwa di dalam birokrasi pemerintah itu bukan
hanya dimiliki oleh pemimpin politik dari partai politik melainkan juga ada pemimpin
birokrasi karier professional.
Adapun bureaucratic sublation didasarkan atas anggapan bahwa birokrasi
pemerintah sesuatu Negara itu bukanlah hanya berfungsi sebagai mesin pelaksana. Max
Weber mengenalkan bahwa birokrasi yang riil itu mempunyai kekuasaan yang terpisah
dari kekuasaan yang dilimpahkan oleh pejabat politik. Ciri-cirinya adalah:
Pertama, berbagai aktivitas regular yang diperlukan untuk mencapai tujuan-tujuan
organisasi yang didistribusikan dengan suatu cara yang baku sebagai kewajiban resmi,
(distribusi spesialisasi fungsi). Kedua, organisasi kantor mengikuti prinsip hierarki; setiap
kantor yang lebih rendah berada di bawah kontrol dan pengawasan kantor yang lebih
tinggi. Ketiga, operasi birokratis diselenggarakan melalui suatu sistem kaidah abstrak
yang konsisten dan terdiri atas penerapan kaidah ini terhadap kasus-kasus spesifik, dan
Keempat, pejabat yang ideal menjalankan kantornya berdasarkan impersonalitas
formalistic tanpa kebencian atau kegairahan, dan kerenanya tanpa antusiasme atau afeksi.
Namun tidak dipungkiri, dalam perjalananya birokrasi pemeriantahan di berbagai
negara justru sering menampilkan karakter dan tabiat buruk, dan tidak semestinya.
Birokratis, berbelit-belit, operlaving, tidak efisien, tidak rasional dan sebutan tendensius
yang mendiskrteditkan lainnya. Dari banyak kasus ini, makin kencanglah tuntutan
reformasi birokrasi.
Reformasi dimaksud adalah sebagai perubahan radikal untuk perbaikan di
berbagai bidang dalam suatu masyarakat atau negara. Reformasi birokrasi tentu dapat
dimaknai perubahan radikal dalam bidang pemerintahan. Belakangan, Good governance
sering diartikan sebagai sinyal terealisasikannya tuntutan reformasi birokrasi. Ini boleh
jadi karena partisipasi masyarakat, tegaknya supremasi hukum, transparansi, kepedulian
kepada stakeholder, berorientasi kepada konsensus, kesetaraan, efektifitas dan
efisiensi, akuntabilitas, dan visi strategis sebagai prinsip birokrasi tidak ditemukan pada
praktik birokrasi selama ini.
Memang, sejauh ini konsep Government atau pemerintahan yang dipraktikan di
berbagai negara semacam ditakdirkan menjadi institusi yang berposisi menguasai,
bahsa yang lebih santunnya ‘memerintah’. Rakyat adalah pihak yang diperintah. Interaksi
kedua kutub ini menjadi sangat kontras. Pola government sangat struktural hierarkis,
atasan dan bawahan. Yang memerintah senantiasa mengangkangi rakyat yang
diperintah.
1. Good governance
Realita seperti itu sebenarnya telah lama mengusik dunia untuk mencari format
baru yang adapatif terhadap dinamika perkembangan sosio politik. World Bank dan UNDP
menawarkan konsep governance sebagai pendaping government. Walau terjemahannya
sangat beragam, bahkan kata governance seakan menguburkan government itu
sendiri. Di Indonesia, istilah “governance” ada yang mengartikan “tata pemerintahan” juga
ada yang mengartikan “kepemerintahan”. Tidak masalah, sejauh ini nafas
pemaknaannya sama.
Ruh ‘Government’ dan ‘Governance’ sangat berbeda. Anatomi Government
lebih bermakna struktural hirarkis sehingga dipraktikkan menjadi sangat represif.
Sementara kata Governance bernuansa elegan tiga dimensi mendasar: struktur,
fungsi dan kultur. Menurut World Bank, Governance merupakan “the way state power is
used in managing economic and social resources for development society. Dan lebih
merupakan cara kekuasaan negara digunakan untuk mengelola sumberdaya, baik
ekonomi maupun sosial guna pembangunan masyarakat. Titik berat konsep
governance versi ini kepada hal yang lebih teknis.
UNDP memposisikan Governance sebagai “the exercise of political, economi
and administratif authority to manage a nation’s affair at all levels.” Artinya Governance
menunjuk pada penggunaan atau pelaksanaan, yakni penggunaan kewenangan politik,
ekonomi dan adminsitratif untuk mengelola persoalan bangsa pada semua tingkatan.
Tekanan governance yang disodorkan UNDP ini pada kewenangan, kekuasaan yang
legitimate, yang pada sisi lain bicara domain sektor publik.
Pada konsep UNDP, Governance ditopang oleh tiga pilar: politik, ekonomi dan
administratif:
Pertama; bahwa tata pemerintahan dibidang politik terkait dengan proses
pembuatan kebijakan politik, baik yang dilakukan oleh birtokrasi sendiri maupun
bersama-sama politisi (eksekutif dan legislatif). Pada pilar ini partisipasi masyarakat tidak
hanya para tataran implementasi kebijakan, tapi juga mesti terlibat pada formulasi dan
evaluasi kebijakan.
Kedua; di bidang ekonomi, meliputi berbagai proses pembuatan keputusan
untuk memfasilitasi aktivitas ekonomi di dalam negeri dan interaksi diantara penyelenggara
ekonomi. Pemerintah diharap tidak terlalu terjun langsung pada sektor ini, sebab dapat
menimbulkan distrorsi mekanisme pasar. Sedangkan pilar ketiga; di bidang administrasi,
berisi implementasi kebijakan yang telah dibuat oleh para pengambil keputusan.
Governance’ atau tata pemerintahan/kepemerintahan dijelaskan UNDP
memiliki tiga domain: Negara atau pemerintahan (state). Sektor suasta atau dunia usaha
(private sectror). Masyarakat (society). Pada tataran sosiologi, sebenarnya ketiga domain
ini bukan makhluk asing, ia sesungguhnya telah mengaliri kehidupan berbangsa,
bernegara dan bermasyarakat. Yang masih asing adalah manajemennya.
Diharap, pemerintahan memainkan peranan sebagai pembuat kebijakan dan
pengendalian. Suasta menjadi penggerak aktivitas di bidang ekonomi. Sedangkan
masyarakat merupakan objek sekaligus subjek dari pemerintahan maupun suasta.
Disinilah terjadi interaksi dan bahkan sisnegitasa di bidang politik, ekonomi, sosial budaya
yang secara kolegial berjalan simultan.
Governance yang diperankan tiga domain tersebut tidak sekedar jalan melainkan
harus pada kategori yang baik (good) berjalan, setara dan simultan. Perpaduan antara
kata good dan governance menimbulkan kosa kata; “good governance”. Guna penguatan
tata pemerintahahan agar menjadi baik ( good governance), UNDP merumuskan sembilan
karaktristik:
1. Participation (Partisipasi).
Setiap warga negara, sebagai pemilik kedaulatan, memiliki hak dan kewajiban ambil
bagian dalam bernegara, berpemerintahan dan bermnasyarakat. Baik dilakukan secara
langsung maupun melalui institusi intermediasi: DPRD, LSM, ormas dsb. Dalam bentuk
pikiran, dana, tenaga atau bentuk lainnya yang bermanfaat bagi pembangunan daerah.
Pada konsep UNDP, partisipasi tidak hanya dilakukan pada implementasi, tapi juga
secara menyeluruh mulai dari tahap formulasi, pelaksanaan, evaluasi kebijakan serta
pemanfaatan hasil-hasilnya. Ciri disebut partisipasi dalam kegiatan ini: 1) ada rasa
sukarela (tanpa paksaan). 2) ada keterlibatan secara emosional (rasa memiliki). 3)
memperoleh manfaat dari keterlibatannya. (merasakan manfaat). Sehubungan dengan ini
social engineering sangat penting.
3. Transparancy (keterbukaan).
Seiring dengan semangat zaman yang serba terbuka sebagai buah revolusi informasi.
Keterbukaan menjadi prasyarat good governance yang mencakup semua kegiatan yang
terkait dengan kepentingan publik. Mulai dari proses pengambilan keputusan,
penggunaan dana publik sampai tahapan audit dan evaluasi.
6. Equity (keadilan)
Setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk memperoleh kesejahteraan.Namun
karena kemampuan warga negara satu sama lain berbeda, maka sektor publik perlu
memainkan peran agar kesejahteraan dan keadilan dapat berjalan seiring dan terjadi
pendistribusian yang adil dan merata. Dengan kata lain merata dalam keadilan dan adil
dalam pemerataan.
8. Accountability (pertanggungjawaban)
Setiap aktivitas dipertanggungjawabkan kepada publik. Tanggung gugat dan tanggung
jawab tidak hanya diberikan kepada pemerintahan saja, melainkan para pemegang
saham yakni masyarakat. Secara teoritis pertanggungjawaban tersebut dikenal:
pertanggungjawaban organisasi administraif; legal; politik; profesional; dan
pertanggungjawaban moral.
9. Strategic Vision (Visi Strategis)
Tidak ada masa yang permanen, kepastian dalam sebuah era adalah perubahan itu
sendiri. Karenanya setiap doimain good governance harus memiliki visi strategis. Tanpa
visi suatu bangsa dipastikan mengalami kehancuran sedikitnya ketertinggalan. Hingga
hari ini, secara umum visi masih menganut ukuran waktu; jangka panjang (longtrerm
vision) antara 20-25 tahun (satu generasi), jangka pendek (short-term vision) sekitar lima
tahunan.
Kesembilan karakterisitik tersebut, merupakan sistem, saling terkait dan
memperkuat. Diantara sektor suasta dan sektor masyarakat dan sektor pemerintahan
memiliki keunggulan masing-masing. Pada saat yang dibutuhkan sektor yang paling kuat
itulah yang dikedepankan sebagai promotornya.
Dihubungkan dengan konsep good governance dari World Bank dan UNDP,
untuk penguatan penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, Pemerintahan RI telah
menerbitkan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Kalau dicermati, di
dalamnya telah ada konsep penguat governement. Diantara konsep itu banyak
kesamaan dari kartakteristik yang dibuat UNDP. Konsep dimaksud adalah “asas
umum penyelenggaraan negara” yang wajib dipedomani Pemerintahan daerah
kabupaten/Kota.
Boleh dikatakan aas umum penyelenggaraan negara itu merupakan good
governance versi Indonesia dengan karakteristik meliputi:
a) asas kepastian hukum;
b) asas tertib penyelenggaraan negara;
c) asas kepentingan umum;
d) asas keterbukaan;
e) asas proporsionalitas;
f) asas profesionalisme;
g) asas akuntabilitas;
h) asas efisisiensi; dan
i) asas efektivitas.
3) Birokrasi Di Indonesia
Kini lebih satu dasawarsa, hampir semua berpendapat bahwa tahun 1998 adalah
gerbang reformasi Indonesia yang dimaknai sebagai reformasi mendasar pada berbagai
aspek kehidupan berbangsa dan bernegara; politik, hukum, pemerintahan, ekonomi,
sosial, dan budaya. Pada aspek politik, hukum dan pemerintahan, reformasi birokrasi
merupakan issue yang paling nyaring. Ini boleh jadi karena birokrasi pemerintahan
Indonesia telah memberi andil yang sangat besar terhadap keterpurukan bangsa dalam
krisis multi dimensi yang berkepanjangan.
Kecuali keberhasilan pembangunan di berbagai bidang, birokrasi yang dibangun
pemerintah sebelum era reformasi telah menumbuhkembangkan kultur birokrasi yang
kental dengan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Kendati pemerintahan pasca
reformasipun ternyata tidak menjamin terjadi reformasi birokrasi dengan baik.
Kurangnya komitmen pemerintah pasca reformasi terhadap reformasi birokrasi ini tampak
berbanding lurus dengan kurangnya komitmen pemberantasan KKN. Sebagian
masyarakat memberikan cap negatif terhadap komitmen pemerintah pasca reformasi
dalam reformasi birokrasi.
Reformasi didefinisikan sebagai perubahan radikal untuk perbaikan di berbagai
bidang dalam suatu masyarakat atau negara. Pada sisi birokrasi ini yang ada adalah
perubahan radikal dalam bidang sistem pemerintahan. Hadirnya partai politik dalam sistem
pemerintahan akan berpengaruh terhadap sistem birokrasi pemerintah. Susunan birokrasi
pemerintah bukan hanya diisi oleh para birokrat karier tertapi juga yang berbasiskan partai
politik.
Reformasi
Gerakkan reformasi Indonesia 1998. yang mengakhiri Orde baru, dan ini tentu
saja harus menjadikan pengalaman sangat berharga dalam penyelenggaraan birokrasi
pemerintahan. Tentu bukan saja agar keterpurukan bangsa tidak terulang, tetapi justru
untuk perbaikan bangsa ke depan. Masih melakat dalam ingatan kita, bahwa gerakan
reformasi saat itu dilatari oleh krisis multi dimensi. Sebut saja krisis politik, krisis ekonomi,
krisis sosial yang kesemuanya berkubang pada muara krisis kepercayaan.
Krisis politik;
Meski Pemerintah orde baru mampu mengangkat Indonesia dari keterpurukan
ekonomi dan memberikan kemajuan, namun diakui atau tidak, Indonesia gagal membina
kehidupan politik yang demokratis, terbuka, adil, dan jujur. Pemerintah bersikap otoriter,
tertutup, dan personal. Kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis tidak pernah
terwujud. Pendapat kritis dituduh anti-pemerintah, menghina kepala negara, anti-
Pancasila, dan subversive dsb. Golkar sebagai kekuatan politik terbesar menjadi alat
pemerintah untuk mengamankan kehendak kekuasaan.
Korupsi, Kolusi dan Nepotismer (KKN) merajalela dan tidak mampu dicegah.
Anggota DPR tidak fungsional secara benar karena jadi anggotanyapun ditentukan dan
mendapat restu dari penguasa, sehingga banyak anggota yang bersikap ABS daripada
kritis. Sikap yang otoriter dan merebaknya KKN menimbulkan krisis kepercayaan. Gejala
ketidakpercayaan terlihat pada pemilu 1992, suara Golkar berkurang. Tahun 1996,
ketidakpuasan masyarakat terhadap orba mulai terbuka. Muncul tokoh vokal seperti Amien
Rais dan gerakan mahasiswa yang tidak terbendung dan makin memperbesar nyali
masyarakat.
KKN, praktik monopoli serta 5 paket UU politik dan dwifungsi ABRI menjadi
sorotan tajam para mahasiswa. Apalagi setelah Soeharto terpilih kembali sebagai Presiden
RI 1997-2002, suara menentangnya makin meluas dan terjadi di bebagai daerah. Puncak
perjuangan para mahasiswa terjadi ketika berhasil menduduki gedung MPR/DPR pada
bulan Mei 1998. Karena tekanan yang luar biasa dari para mahasiswa, tanggal 21 Mei
1998 Presiden menyatakan berhenti dan diganti oleh wakilnya BJ Habibie.
Krisis ekonomi;
Krisis moneter yang menimpa dunia dan Asia Tenggara merembet ke Indonesia
sejak Juli 1996. Nilai rupiah terhadap dollar Amerika sangat terpuruk. Banyak perusahaan
besar, kecil, home industri gulung tikar, tutup. Terjadi pengangguran dimana-mana,
jumlah masyarakat miskin bertambah. Daya beli menjadi rendah, kebutuhan pokok
menjadi langka dan sulit di dapat.
Sebagai upaya, pemerintah melikuidasi bank-bank yang bermasalah serta
mengeluarkan KLBI (Kredit Likuiditas Bank Indonesia) untuk menyehatkan bank-bank
yang ada di bawah pembinaan BPPN. Namun praktiknya, terjadi manipulasi besar-besaran
dalam KLBI sehingga pemerintah harus menanggung beban keuangan yang semakin
besar.
Kepercayaan dunia internasionalpun merosot sejalan dengan banyaknya
perusahaan swasta yang tak mampu membayar utang luar negeri sesuai jatuh tempo.
Untuk mengatasinya, pemerintah membentuk tim ekonomi. Sementara itu, beban
kehidupan masyarakat makin berat, terlebih 12 Mei 1998 pemerintah mengumumkan
kenaikan BBM. Imlikasinya barang kebutuhan ikut naik, kebutuhan hidup masyarakat
semakin sulit terpenuhi.
Krisis sosial;
Krisis politik dan ekonomi mendorong terjadinya krisis sosial. Ketidakpercayaan
masyarakat terhadap pemerintah mendorong munculnya perilaku negatif, bahkan
keberingasan massa, liarnya masyarakat. Kerusuhan di Jakarta dan Solo tanggal 13, 14,
dan 15 Mei 1998, perekonomian kedua kota tersebut lumpuh untuk beberapa waktu.
Tidak sedikit swalayan, pertokoan, pabrik dibakar, dirusak dan dijarah massa,
pengangguran makin bertrambah. Beban masyarakat yang semakin berat, tidak jelas
kapan berakhirnya krisis, masyarakatpun frustasi. Masyarakat mudah disulut, mudah
dihasut, mudah dikompori, dipropokasi dan diadu domba. Masyarakat menjadi sensitif dan
mudah marah dan anarkis.
3. ANGGAKATAN BERSENJATA
b) Lahirnya TNI
Lahirnya angkatan bersenjata Indonesia tidak jauh berbeda dengan di Aljazair.
Para pemimpin nasionalis tidak berhasil membentuk partai yang mempelopori perjuangan
mempertahankan kemerdekaan. Bahkan dengan segala hormat perintis kemerdekaan
Indonesia yang gigih berjuang, ternyata tidak cukup berhasil membina persatuan, meski
usaha ke arah itu beberapa kali dicoba. Dengan PPPKI (Permufakatan Perhimpunan-
Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia), dengan GAPI (Gabungan Politik Indonesia),
dan Kongres Rakyat Indonesia/Majelis Rakyat Indonesia.
Pada akhir zaman Jepang, PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia)
juga tidak dapat berfungsi sebagai sebuah Partai yang mempelopori, demikian juga
Komite Nasional indonesia. Usaha membentuk suatu partai dengan nama Partai Nasional
Indonesia juga tidak berhasil, karena partai itu lahir kemudian mati. Selain itu tentara
nasional juga tidak segera dibentuk, karena takut dengan kekuatan asing yaitu pasukan
Ingris mewakili serikat dan pasukan jepang yang sudah menyerah kakitangannya, yang
ssat itu ada di bumi Indonesia.
Menyaksikan politik low profile (rendah hati) pemimpin nasional pada awal
kemerdekaan ini, para pemuda tidak puas. Sebagian membentuk badan-badan
perjuangan seperti Angkatan Pemuda indonesia (API), Hizbullah, Barisan Pemberontak
Rakyat Indonesdia (BPRI) sebagai organisasi para militer. Sebagian lagi masuk Badan
Keamanan Rakyat (BKR) di berbagai daerah yang dibentuk pemerintah sebagai penggati
tentara sesungguhnya. Semua menjadi dirinya berjuang dengan senjata, juga dalam
politik praktis di tempat masing-masing, baik di dalam maupun di luar komite-komite
nasional.
Dalam waktu satu setengah bulan pertama kemerdekaan mulai terbentuk etos
pejuang, bidang politik dan bidang perjuangan bersenjata (militer) sekaligus. Tanggal 5
Oktober 1945 akhirnya pemerintah secara resmi membentuk tentara reguler dengan
nama Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Isi satuan-satuan TKR ini adalah kelompok-
kelompok BKR yang ditransformasi menjadi Tentara. Dan etos juang mereka tetap
hidup disamping status militer reguler.
Setelah hampir dua tahun, pemerintah memenuhi hasrat kalangan Tentara
Republik Indonesia (TRI) yang sejak januari 1946 namanya sudah berganti dari Tentara
Keamanan Rakyat menjadi Tentara Keselamatan Rakyat. Ini dimaksud untuk
menghilangkan dualisma antara tentara reguler dan satuan-satuan non reguler seperti
badan-badan pejuang dan laskar-laskar. Keinginan ini dilaksanakan Juni 1947 dengan
menggabungkan TRI dengan satuan-satuan non reguler menjadi Tentara Nasional
Indonesia (TNI). Dengan ini, TNI menjadi satu-satunya wadah bagi pejuang bersenjata
saat itu.
Pada Peringatan Hari Angkatan Perang, 5 oktober 1949, sebagai tahap akhir
perang kemerdekaan, Panglima Besar Jenderal Soedirman menyampaikan suatu perintah
harian yang intinya bahwa: “Angkatan Perang Republik Indonesia lahir di medan
perjuangan kemerdekaan nasional, di tengah-tengah dan dari revolusi rakyat dalam
pergolakan membela kemerdekaan. Karenanya Angkatan Perang Republkik Indonesia
adalah Tentara Nasional, Tentara Rakyat, Tentara Revolusi.”
Meski TNI adalah tentara reguler, namun anggota-anggotanya tetap menganggap
diri pejuang. Apalagi angota-anggota yang berasal dari badan-badan pejuang, yang
profesionalisme militernya lebih tipis dibanding anggota eks-BKR. Dalam eks-BKR
setidak-tidaknya dipimpin oleh mereka yang telah mengalami pendidikan militer, baik rai
Jepang maupun dari Belanda. Dengan demikian dapat dikonstatasi bahwa anggota TNI
pada awalnya terdiri atas tiga kategori: pertama, yang pernah menerima pendidikan/latihan
dari Belanda; kedua, yang pernah menerima pendidikan/latihan dari Jepang; ketiga,
mereka yang tidak pernah menerima pendidikan/latihan militer profesional.
Anggota yang tidak pernah menerima pendidikan atau latihan dari Belanda atau
Jepang, menurut Nugroho Notosusanto, setelah membandingkan seluruh jumlah anggota
TNI yang berasal dari PETA di Pulau Jawa, Giyugun di sumatra, mengutip A. H. Nasution
jauh lebih besar.
Jml. Jml
Kabinet %
Departemen
Ampera /eselon I 20 46,40 52
Pembangunan I/eselon I 18 39,17 41
PembangunanII/eselon II 17 39,65 46
Pembangunan III 17 44,99 55
Bahkan sebenarnya, sejak demokrasi parlementer, TNI selalu dilibatkan dalam
kabinet. TNI selalu terlibat secara luas dalam masalah sosial dan politik, baik dalam negeri
maupun luar negeri. Peningkatan personel TNI-AD ke dalam kabinet dan birokrasi meluas
tatkala negara dipimpin Soeharto.
Unsur Jml
Kabinet %
Militer
Pembangunan I 8 34 23
Pembangunan II 6 24 25
Pembangunan III 15 45 33
Pembangunan IV 17 42 40
Pembangunan V 14 34 41
Pembangunan VI 10 24 42
Dominasi TNI dan keterlibatannya di luar bidang Hankam, atau masuk dalam
birokrasi pada 1977 dan 1980 cenderung makin naik, terutama pada jabatan politik yang
merentang struktur dari pusat ke daerah.
5
Harian Umum Kompas 4 Mei 1995, tulisan Mulyana W.Kusumah
6
Sumber; Nugroho Notosusanto, 1984
Sumber
1 Angkatan darat 17.004 - 12.873 -
2 Angkatan laut 926 - 823 -
3 Angkatan Udara 698 - 777 -
4 Kepolisian 2.490 - 2.357 -
Kedua, dalam parlemen, TNI mempunyai jatah kursi atas pengangkatan Presiden,
75 sampai 100 orang (jumlah ini berubah sesuai kepentingan). Bahkan ketua DPR dan
MPR sebagian besar dari TNI-AD. Dalam parpol (Golkar) TNI-AD berkuasa, baik dominasi
langsung maupun tidak langsung. Sebagian besar ketua umum partai ini dipegang TNI-
AD, bahkan ketua Dewan Pimpinan Daerah (tingkat Provinsi) dan DPD (tingkat
kabuaten/Kota) dan DPC di daerah-daerah 60-70% dipegang oleh TNI-AD.
Dominasi tidak langsung adalah ketika para pemimpin parpol (Golkar, PPP, PDI)
selalu ada dalam evaluasi dan pengawasannya. Para tokoh yang kritis dan keras kepada
negara, sulit menjadi pimpinan parpol, demikian untuk menjadi anggota anggota DPR atau
DPRD ada secreening yang ketat.
Untuk kehidupan organisasi kemasyarakatan (orkemas) dan kelompok
kepentingan dikelola secara sistematis melalui kantor Sospol dan Direktorat Sospol.
Pimpinan atau ketua kedua lembaga ini adalah dari TNI-AD. Kehidupan LSM juga
dipantau oleh kantor ini bersama jajaran teritorial TNI-AD.
Ketiga, pada tingkatan massa, kontrol dan dominasi TNI- AD dilakukan melalaui
kebijakan massa mengambang. Negara membatasi Peranan dan pengaruh parpol, kecuali
Golkar sampai di Kecamatan.
Keempat, TNI-AD melebarkan pengaruhnya baik untuk kepentingan politik atau
kesejahteraan intern melalui bidang ekonomi dan bisnis secara langsung maupun tidak
langsung. Secara langsung TNI-AD menempatkan personel untuk menjadi pimpinan
BUMN. Dan jabatan inspektorat jenderal di birokrasi. Secara tidak langsung memiliki dan
terlibat bisnis dengan mendirikan perusahaan berbagai bidang.
7
Harian Umum Kompas (28) /7)
8
SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au
Menurut Dr Ikrar Nusa Bhakti bahwa reaktualisasi, reposisi dan redefinisi peran
TNI seperti didengungkan pimpinan ABRI atau TNI, tidak muncul atas kesadaran sendiri.
Karena itu politik kekerasan dan langkah represi masih digunakan. Walau di lapisan
bawah, prilaku TNI ya masih tetap tidak berubah. Kalau dia mau nembak, ya nembak saja.
Mereka seperti tak peduli dengan omongan pimpinannya.
Hanya dua bulan setelah Suharto lengser, ABRI mengutarakan pandangannya
tentang arah reformasi total hampir semua bidang kehidupan. Tetapi disisi lain, ABRI
masih menyatakan betapa pentingnya ABRI untuk tetap mendudukkan wakil-wakilnya di
DPR.
Anehnya, tambah Ikrar, pada-perayaan HUT ABRI 5 Oktober, Mabes ABRI
kembali mengeluarkan buku ABRI abad XXI: Redefinisi, Reposisi dan Reaktualisasi peran
ABRI dalam kehldupan bangsa. Empat butir paradigma baru ABRI dalam buku itu
menyebutkan, berusaha mengubah posisi dan metode tidak selalu harus di depan;
mengubah konsep dari menduduki menjadi mempengaruhi; mengubah dari cara
mempengaruhi secara langsung menjadi tidak langsung; bersedia melakukan role sharing
dengan komponen bangsa lain.
Dengan empat butir paradigma itu, kita kan bisa melihat bahwa ABRI tetap
menganggap dirinya paling hebat, paling tahu urusan negara. Sebetulnya itukan konsep
lama. Jika militer bicara tentang power sharing, kata Ikrar, yang ada di benak ABRI adalah
berbagi kekuasaan eksekutif, yudikatif dan legislatif dengan sipil. Tidak pernah mereka
berpikir bahwa power sharing artinya membiarkan sipil mengendalikan ketiga jenis
kekuagaan itu dan menjadikan ABRI alat pertahanan negara serta alat penjagaan
keamanan.
ORMAS