Anda di halaman 1dari 49

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM LAPORAN KASUS

SEPTEMBER 2019
FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

TB PARU + EFUSI PLEURA

Disusun Oleh :

Kartini S., S.Ked.

10542 0576 14

Pembimbing :

dr. Zakaria Mustari , Sp.PD

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR


2019

2
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Kartini S., S.Ked.


Stambuk : 10542 0576 14
Judul Laporan kasus : TB Paru + Efusi Pleura

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian


Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar.

Makassar, Juli 2019

Pembimbing

dr. Zakaria Mustari, Sp. PD

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT karena segala limpahan rahmat dan
hidayah-Nya serta segala kemudahan yang diberikan dalam setiap kesulitan
hamba-Nya sehingga penulis bisa menyelesaikan Laporan Kasus dengan judul TB
Paru + Efusi Pleura. Tugas ini ditulis sebagai salah satu syarat dalam
menyelesaikan Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Penyakit Dalam.

Berbagai hambatan dialami dalam penyusunan tugas Laporan Kasus ini,


namun berkat bantuan saran, kritikan, dan motivasi dari pembimbing serta teman-
teman sehingga tugas ini dapat terselesaikan.

Penulis sampaikan terima kasih banyak kepada, dr. Zakaria Mustari ,


Sp. PD, selaku pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu dengan tekun
dan sabar dalam membimbing, memberikan arahan dan koreksi selama proses
penyusunan tugas ini hingga selesai.

Penulis menyadari bahwa Laporan Kasus ini masih jauh dari yang
diharapkan oleh karena itu dengan kerendahan hati penulis akan senang menerima
kritik dan saran demi perbaikan dan kesempurnaan tugas ini. Semoga Laporan
Kasus ini dapat bermanfaat bagi pembaca umumnya dan penulis secara khusus.

Makassar, Juli 2019

Kartini S., S.Ked

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN i

KATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI iii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................1

BAB II LAPORAN KASUS ..........................................................................3

BAB III DISKUSI ...........................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) Paru adalah infeksi pada paru-paru dan kadang-kadang


pada struktur-struktur disekitarnya, yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium
tuberculosis.1,2 Penyakit ini merupakan suatu penyakit infeksi kronik yang sudah
sangat lama dikenal oleh manusia.2
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
penting di dunia. Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta
kasus baru tuberkulosis pada tahun 2002. 3,9 juta adalah kasus BTA positif.
Hampir sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis. TB
ekstra paru berkisar antara 9,7 sampai 46% dari semua kasus TB. Organ yang
sering terlibat yaitu limfonodi, pleura, hepar dan organ gastro intestinal lainnya,
organ genitourinarius, peritoneum, dan perikardium. Pleuritis TB merupakan TB
ekstraparu kedua terbanyak setelah limfadenitis TB. Angka kejadian pleuritis TB
dilaporkan bervariasi antara 4% di USA sampai 23% di Spanyol.1,2
Di Indonesia tuberculosis menempati ururtan ke-3 di dunia untuk jumalh
kasus TB terbesar setelah India dan China. Di Indonesia tuberculosis adalah
pembunuh nomor satu diantara penyakit-penyakit menular dan penyebab
kematian nomor ketiga setelah penyakit jantung dan pernapasan akut pada seluruh
kalangan usia. Sebanyak 80-85% kasus TB pru terjadi pada usia produktif yaitu
15-59 tahun.3

Pleura parietalis dan viseralis letaknya berhadapan satu sama lain dan
hanya dipisahkan oleh selapis tipis cairan serosa. Lapisan tipis ini memperlihatkan
adanya keseimbangan antara transudasi dari kapiler-kapiler pleura dan reabsorpsi
oleh vena visceral dan parietal dan saluran getah bening. Efusi pleura adalah
istilah yang digunakan untuk penimbunan cairan dalam rongga pleura. Efusi
pleura dapat berupa transudat atau eksudat.2,4 Pleura terdiri dari dua membran
yaitu pleura visceralis yang menutup permukaan paru dan pleura parietalis yang
menutup dinding dada bagian dalam dan diafragma. Keduanya bertemu di hilus

25
paru. Fungsi rongga antar pleura adalah supaya gerakan paru relatif lebih besar
dari dinding dada. Ruang antar pleura normal jaraknya berkisar antara 18-20
µm.2,3,4

Pleura dan rongga pleura dapat menjadi tempat sejumlah gangguan yang
dapat menghambat pengembangan paru atau alveolus atau keduanya. Reaksi ini
dapat disebabkan oleh penekanan pada paru akibat penimbunan cairan, darah atau
nanah dalam rongga pleura.. Efusi pleura dapat terjadi sebagai komplikasi dari
berbagai penyakit. Pendekatan yang tepat terhadap pasien efusi pleura
memerlukan pengetahuan insidens dan prevalensi efusi pleura. Penyakit jantung
kongestif dan sirosis hepatis merupakan penyebab tersering efusi transudatif
sedangkan keganasan dan TB merupakan penyebab tersering efusi eksudatif.3

25
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

TB Paru
A. Definisi

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh


kuman TB (Mycobacterium tuberculosis).5

B. Etiologi dan Epidemiologi

Tuberkulosis di Indonesia merupakan salah satu masalah utama kesehatan


masyarakat, dimana jumlah penderita TB di Indonesia merupakan urutan ke-3
terbanyak di dunia setelah India dan China.Indonesia menyumbang sekitar 10%
dari seluruh kejadian TB di dunia. Pada tahun 2004, diperkirakan terdapat
539.000 kasus baru dengan angka kematian 101.000 orang.5
Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001,
penyakit system pernapasan merupakan penyebab kematian kedua setelah
penyakit system sirkulasi, dan TB merupakan penyebab kematian pertama pada
golongan penyakit infeksi.6

Sekitar sepertiga penduduk dunia diperkirakan telah terinfeksi kuman TB.


Selain itu, diperkirakan 95% kasus TB dan 98% kasus kematian akibat TB terjadi
di negara berkembang. Saat ini, tingginya angka kejadian HIV/AIDS di dunia
meningkatkan angka kejadian TB secara signifikan. Di samping itu, masalah
resistensi kuman terhadap obat (multidrug resistance/ MDR) menjadi masalah
berat dalam menanggulangi dan menurunkan angka kejadian TB di dunia.5,6
C. Klasifikasi

1. a.) Pembagian secara patologis :7

 Tuberkulosis primer (childhood tuberculosis)

25
 Tuberkulosis post primer (adult tuberculosis)

b.) pembagian secara aktivitas radiologis. Tuberkulosis paru aktif, non


aktif, dan quiescent (bentuk aktif yang mulai menyembuh).6
c.) Pembagian secara radiologis (luas lesi)

a. Tuberculosis minimal. Terdapat sebagian kecil infiltrate non kavitas


pada satu paru maupun kedua paru tetapi jumlahnya tidak melebihi
satu lobus paru.
b. Moderately advanced tuberculosis. Ada kavitas dengan diameter tidak
lebih dari 4 cm. jumlah infiltrate bayangan halus tidak lebih dari satu
bagian paru. Bila bayangannya kasar tidak lebih dari sepertiga bagian
satu paru.
c. Far advanced tuberculosis. Terdapat infiltrate dan kavitas yang
melebihi keadaan pada moderately advanced tuberculosis.

2. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu pada


TB Paru:6

a. Tuberkulosis paru BTA positif.

a) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA


positif.

b) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks


dada menunjukkan gambaran tuberkulosis.
c) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB
positif.

d) 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen


dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif
dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
b. Tuberkulosis paru BTA negatif

Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif.


Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:

25
a) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negative

b) Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis.

c) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.

d) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan


3. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit.6

a. TB paru BTA negatif foto toraks positif dibagi berdasarkan tingkat


keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat
bila gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran kerusakan paru
yang luas (misalnya proses “far advanced”), dan atau keadaan umum
pasien buruk.
b. TB ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya,
yaitu:

1. TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis


eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan
kelenjar adrenal.
2. TB ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis,
peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus,
TB saluran kemih dan alat kelamin.
Catatan:

• Bila seorang pasien TB paru juga mempunyai TB ekstra paru,


maka untuk kepentingan pencatatan, pasien tersebut harus dicatat
sebagai pasien TB paru.
• Bila seorang pasien dengan TB ekstra paru pada beberapa organ,
maka dicatat sebagai TB ekstra paru pada organ yang penyakitnya
paling berat

25
D. Patofisiologi

Tuberkulosis Primer

Penularan TB Paru terjadi karena kuman dibatukkan atau


dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar kita. Partikel
infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam tergantung
pada ada atau tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk dan
kelembaban. Dalam suasana yang lembab dan gelap, kuman dapat bertahan
berhari-hari sampai berbulan-bulan. Bila partikel infeksi ini terhisap oleh
orang sehat, ia akan menempel pada saluran napas atau jaringan paru.
Partikel dapat masuk ke alveolar bila ukuran partikel <5 mikrometer.
Kuman akan direspon pertama kali oleh neutrofil, kemudian oleh
makrofag. Kebanyakan partikel ini akan mati atau dibersihkan oleh
makrofag keluar dari percabangan trakeobronkial bersama gerakan silia
dengan sekretnya.8
Bila kuman menetap di jaringan paru, berkembang biak dalam
sitoplasma makrofag. Disini ia dapat terbawa masuk ke organ tubuh yang
lain. Kuman yang bersarang di jaringan paru akan berbentuk sarang
tuberculosis pneumonia kecil dan disebut sarang primer atau afek primer
atau sarang (fokus) Ghon. Sarang primer ini terjadi di setiap bagian
jaringan paru. Bila menjalar sampai ke pleura, maka dapat terjadi efusi
pleura. Kuman dapat pula masuk melalui saluran pencernaan, jaringan
limfe, orofaring, dan kulit, terjadi limfadenopati regional kemudian bakteri
masuk ke dalam vena dan menjalar ke seluruh organ seperti paru, otak,
ginjal, tulang. Bila masuk ke arteri pulmonalis maka terjadi penjalaran ke
seluruh bagian paru menjadi TB milier.
Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening
menuju hilus (limfangitis local) dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah
bening hilus (limfadenitis regional). Sarang primer limfangitis local dengan
limfadenitis regional disebut kompleks primer (Ranke). Semua proses ini

32
membutuhkan waktu 3-8 minggu. Kompleks primer ini selanjutnya akan
menjadi :8
 Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat. Ini yang paling sering terjadi.

 Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis fibrotic,


kalsifikasi di hilus, keadaan ini terdapat pada lesi pneumonia yang luasnya
>5 mm dan sekitar 10% diantaranya dapat terjadi reaktivasi lagi karena
kuman yang dorman.

 Berkomplikasi dan menyebar secara :

a) perkontinuitatum, yakni menyebar ke sekitarnya,

b) secara bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun paru di


sebelahnya. Kuman dapat juga tertelan bersama sputum dan ludah sehingga
menyebar ke usus,

c) secara limfogen, ke organ tubuh lain,

d) secara hematogen, ke organ lain.


Tuberkulosis Pasca Primer (Tuberkulosis Sekunder)

Kuman yang dorman pada tuberculosis primer akan muncul bertahun-


tahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberculosis dewasa
(Tuberkulosis sekunder). Mayoritas reinfeksi mencapai 90%. Tuberkulosis
sekunder terjadi karena imunitas menurun seperti malnutrisi, alcohol,
penyakit maligna, diabetes, AIDS, gagal ginjal. Tuberculosis sekunder ini
dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di regio atas paru (bagian
apical-posterior lobus superior atau inferior). Invasinya adalah ke daerah
parenkim paru dan tidak ke nodus hilus paru. Sarang dini ini mula-mula
juga berbentuk sarang pneumonia kecil. Dalam 3-10 minggu sarang ini
menjadi tuberkel yakni suatu granuloma yang terdiri dari sel-sel Histiosit
dan sel Datia Langhans yang dikelilingi oleh sel-sel limfosit dan jaringan
ikat. TB sekunder juga dapat berasal dari infeksi eksogen dari usia muda
menjadi TB usia tua. Tergantung dari jumlah kuman, virulensi, dan
imunitas pasien, sarang dini ini menjadi :8

32
 Direabsorbsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat

 Sarang yang mula-mula meluas, tetapi segera menyembuh dengan sebukan


jaringan fibrosis. Ada yang membungkus diri menjadi keras, menimbulkan
perkapuran. Sarang dini yang meluas sebagai granuloma berkembang
menghancurkan jaringan ikat sekitarnya dan bagian tengahnya mengalami
nekrosis, menjadi lunak membentuk jaringan keju. Bila jaringan keju
dibatukkan keluar akan terjadilah kavitas. Kavitas ini mula-mula
berdinding tipis, lama-lama semakin menebal karena infiltrasi jaringan
fibrosis dalam jumlah besar sehingga menjadi kavitas sklerotik (kronik).
Terjadinya perkijuan dan kavitas adalah karena hidrolisis protein lipid dan
asam nukleat oleh enzim yang diproduksi oleh makrofag dan proses yang
berlebihan sitokin dengan TNF-nya. Bentuk perkijuan lain adalah cryptic
disseminate TB yang terjadi pada imunodefisiensi dan usia lanjut.
Kavitas dapat :
a) meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonia baru. Bila isi
kavitas ini masuk dalam peredaran darah arteri maka akan terjadi TB
milier. Dapat juga masuk ke paru sebelahnya atau tertelan masuk lambung
dan selanjutnya ke usus menjadi TB usus. Sarang ini selanjutnya mengikuti
perjalanan seperti sudah dijelaskan. Bisa juga terjadi TB endobronkial dan
TB endotrakeal atau empiema bila ruptur ke pleura,
b) memadat atau membungkus diri sehingga menjadi tuberkuloma.
Tuberkuloma ini dapat mengapur atau menyembuh atau dapat kembali
aktif menjadi cair dan jadi kavitas lagi.8
Secara keseluruhan akan terdapat 3 macam sarang :
1) sarang yang sudah sembuh. Sarang tipe ini tidak butuh pengobatan
lagi.
2) sarang aktif eksudatif. Sarang bentuk ini butuh pengobatan yang
lengkap dan sempurna,
3) sarang yang berada antara aktif dan sembuh. Sarang bentuk ini akan
sembuh spontan, tetapi sebaiknya diberikan pengobatan sempurna.8

32
E. Manifestasi Klinis

Penderita TB akan mengalami berbagai gangguan kesehatan, seperti batuk


berdahak kronis, demam subfebril, berkeringat tanpa sebab di malam hari,
sesak napas, nyeri dada, dan penurunan nafsu makan. Semuanya itu dapat
menurunkan produktivitas penderita bahkan kematian. Adapun gejala utama
penderita TB yaitu batuk terus- menerus dan berdahak selama dua sampai tiga
minggu atau lebih. Selain itu, gejala yang sering dijumpai yaitu dahak
bercampur darah, batuk darah, sesak nafas dan rasa nyeri dada, badan lemah,
nafsu makan menurun, berat badan menurun, rasa kurang enak badan (malaise),
berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan, dan demam meriang lebih dari
satu bulan.6,8

F. Diagnosis

Infeksi oleh Mycobacterium tuberculosis bisa menimbulkan efek


lokal di bagian tubuh mana pun atau efek sistemik infeksi kronis.

Anamnesis. Dalam melakukan anamnesis pada pasien TB,


diperlukan indeks kecurigaan yang tinggi terutama pada pasien dengan
imunosupresi atau dari daerah endernisnya. Orang yang terkena TB dpat
mengalami banyak gejala, baik gejala local maupun sistemik.
Berikut adalah gejala – gejala yang sering didapatkan dari
anamnesis pada penderita TB.
Gejala lokal:

 Batuk

 sesak napas

 hemoptisis

 limfadenopati

32
 ruam (rnisalnya lupus vulgaris)

 kelainan rontgen toraks

 gangguan GI.

Efek sistemik:

 Demam,

 keringat malam

 anoreksia

 penurunan berat badan


Riwayat penyakit dahulu . Pada pasien yang kita curigai menderita TB,
pertanyaan – pertanyaan berikut harus disertakan pada anamnesis riwayat
penyakit dulu.
 Pernahkah pasien berkontak dengan pasien TB?

 Apakah pasien mengalarni imunosupresi (kortikosteroid/HIV)?

 Apakah pasien pernah menjalani pemeriksaan rontgen toraks dengan hasil


abnormal?

 Adakah riwayat vaksinasi BeG atau tes Mantoux? Adakah riwayat diagnosis TB?
Obat-obatan

Pertanyaan mengenai obat- obatan juga perlu ditanyakan.

 Pemahkah pasien menjalani terapi TB?

 Jika ya, obat apa yang digunakan, berapa lama terapinya

 Bagaimana kepatuhan pasien mengikuti terapi, dan apakah dilakukan pengawasan


terapi?
Riwayat keluarga dan sosial

 Adakah riwayat TB di keluarga atau lingkungan sosial?

32
 Tanyakan konsumsi alkohol, penggunaan obat intravena?

 Riwayat bepergian ke luar negeri.

32
Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien sering ditemukan


konjunktiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu demam
(Subfebris), badan kurus atau berat badan menurun. Pada pemeriksaan fisis
pasien sering tidak menunjukkan suatu kelainan pun terutama pada kasus-kasus
dini atau yang sudah terinfiltrasi secara asimtomatik. Demikian juga bila sarang
penyakit terletak di dalam, akan sulit menemukan kelainan pada pemeriksaan
fisis, karena hantaran getaran/suara yang lebih dari 4 cm ke dalam paru sulit
dinilai seeara pal- pasi, perkusi dan auskultasi. Secara anamnesis dan
pemeriksaan fisis, TB paru sulit dibedakan dengan pneumonia biasa.
Tempat kelainan lesi TB paru yang paling dicurigai adalah bagian apeks
(puncak) paru. Bila dieurigai adanya infiltrat yang agak luas, maka didapatkan
perkusi yang redup dan auskultasi suara napas bronkial. Akan didapatkan juga
suara napas tambahan berupa ronki basah, kasar, dan nyaring. Tetapi bila
infiltrat ini diliputi oleh penebalan pleura, suara napasnya menjadi vesikular
melemah. Bila terdapat kavitas yang cukup besar, perkusi memberikan suara
hipersonor atau timpani dan auskultasi memberikan suara amforik.
Pada tuberkulosis paru yang lanjut dengan fibrosis yang luas sering
ditemukan atrofi dan retraksi otot-otot interkostal. Bagian paru yang sakit jadi
menciut dan menarik isi mediastinum atau paru lainnya. Paru yang sehat
menjadi lebih hiperinflasi. Bila jaringan fibrotik amat luas yakni lebih dari
setengah jumlah jaringan paru-paru, akan terjadi pe- ngecilan daerah aliran
darah paru dan selanjutnya meningkatkan tekanan arteri pulmonalis (hipertensi
pulmonal) diikuti terjadinya kor pulmonal dan gagal jantung kanan. Di sini
akan didapatkan tanda-tanda kor pulmonal dengan gagal jantung kanan seperti
takipnea, takikardia, sianosis, right ventricular lift, right atrial gallop, murmur
Graham-Steel, bunyi P2 yang mengeras, tekanan vena jugularis yang
meningkat, hepatomegali, asites, dan edema.
Bila tuberkulosis mengenai pleura, sering terbentuk efusi pleura. Paru
yang sakit terlihat agak tertinggal dalam pernapasan. Perkusi memberikan suara

32
pekak. Auskultasi memberikan suara napas yang lemah sampai tidak terdengar
sama sekali.
Dalam penampilan klinis, TB paru sering asimtomatik dan penyakit
baru dicurigai dengan didapatkannya kelainan radiologi ada pada pemeriksaan
rutin atau uji tuberkulin yang positif.6,8
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Radiologis
Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang praktis
untuk menemukan lesi tuberkulosis. Pemeriksaan ini memang membutuhkan
biaya lebih dibandingkan pemeriksaan sputum, tetapi dalam beberapa hal ia
memberikan keuntungan seperti pada tuberkulosis anak-anak dan tuberkulosis
milier. Pada kedua hal di atas diagnosis dapat diperoleh melalui pemeriksaan
radiologis dada, sedangkan pemeriksaan sputum hampir selalu negatif.
Lokasi lesi tuberkulosis umumnya di daerah apeks paru (segmen apikal
lobus atas atau segmen apikal lobus bawah), tetapi dapat juga mengenai lobus
bawah (bagian inferior) atau di daerah hilus menyerupai rumor paru (misalnya
pada tuberkulosis endobronkial). Pada awal penyakit saat lesi masih merupakan
sarang-sarang pneumonia, gambaran radiologis berupa bercak-bercak seperti
awan dan dengan batas-batas yang tidak tegas. Bila lesi sudah diliputi jaringan
ikat maka bayangan terlihat berupa bulatan dengan batas yang tegas. Lesi ini
dikenal sebagai tuberkuloma.
Pada kavitas bayangannya berupa cincin yang mula-mula berdinding
tipis, Lama-lama dinding jadi sklerotik dan terlihat menebal. Bila terjadi
fibrosis terlihat bayangan yang bergaris-garis. Pada kalsifikasi bayangannya
tampak sebagai bercak-bercak padat dengan densitas tinggi. Pada atelektasis
terlihat seperti fibrosis yang luas disertai penciutan yang dapat terjadi pada
sebagian atau satu lobus maupun pada satu bagian paru.
Gambaran tuberkulosis milier terlihat berupa bercak-bercak halus yang
umumnya tersebar merata pada seluruh lapangan paru.
Gambaran radiologis lain yang sering menyertai tuberkulosis paru
sdalah penebalan pleura (pleuritis), massa cairan di bagian bawah paru efusi

32
pleura/empiema), bayangan hitam radio-Iusen di pinggir paru pleura
pneumotoraks).
Pada satu foto dada sering didapatkan bermacam-macam bayangan
sekaligus (pada tuberkulosis yang sudah lanjut) seperti infiltrat, garis- garis
fibrotik, kalsifikasi, kavitas (non sklerotik/sklerotik) maupun atelektasis dan
emfisema. Tuberkulosis sering memberikan gambaran yang aneh-aneh,
terutama gambaran radiologis, sehingga dikatakan tuberculosis is the greatest
imitator. Gambaran infiltrasi dan tuberkuloma sering diartikan sebagai
pneumonia, mikosis paru, karsinoma bronkus atau karsinoma metastasis.
Gambaran kavitas sering diartikan sebagai abses paru. Di samping itu perlu
diingat juga faktor kesalahan dalam membaca foto. Faktor kesalahan ini dapat
mencapai 25%. Oleh sebab itu untuk diagnostik radiologi sering dilakukan juga
foto lateral, top lordotik, oblik, tomografi dan foto dengan proyeksi densitas
keras.

Adanya bayangan (lesi) pada foto dada, bukanlah menunjukkan


adanya aktivitas penyakit, kecuali suatu infiltrat yang betul-betul nyata. Lesi
penyakit yang sudah non-aktif, sering menetap selama hidup pasien. Lesi yang
berupa fibrotik, kalsifikasi, kavitas, schwarte, sering dijumpai pada orang-orang
yang sudah tua. Pemeriksaan khusus yang kadang-kadang juga diperlukan
adalah bronkografi, yakni untuk melihat kerusakan bronkus atau paru yang
disebabkan oleh tuberkulosis, Pemeriksaan ini umumnya dilakukan bila pasien
akan menjalani pembedahan paru.
Pemeriksaan radiologis dada yang lebih canggih dan saat ini sudah
banyak dipakai di rumah sakit rujukan adalah Computed Tomography Scanning
(CT Scan). Pemeriksaan ini lebih superior dibanding radiologis biasa.
Perbedaan densitas jaringan terlihat lebih jelas dan sayatan dapat dibuat
transversal.
Pemeriksaan lain yang lebih canggih lagi adalah Magnetic Resonance
Imaging (MRI), Pemeriksaan MRI ini tidak sebaik CT Scan, tetapi dapat
mengevaluasi proses- proses dekat apeks paru, tulang belakang, perbatasan
dada-perut, Sayatan bisa dibuat transversal, sagital dan koronal.6,

32
8

Pemeriksaan Laboratorium
Darah
Pemeriksaan ini kurang mendapat perhatian, karena hasilnya kadang-
kadang meragukan, hasilnya tidak sensitif dan juga tidak spesifik. Pada saat
tuberkulosis baru mulai (aktif) akan didapatkan jumlah leukosit yang sedikit
meninggi dengan hitung jenis pergeseran ke kiri. Jumlah lirnfosit masih di
bawah normal. Laju endap darah mulai meningkat. Bila penyakit mulai sembuh,
jumlah leukosit kembali normal dan jumlah limfosit masih tinggi. Laju endap
darah mulai turun ke arah normal lagi.
Hasil pemeriksaan darah lain didapatkan juga: 1). Anemia ringan dengan
gambaran normokrom dan normositer; 2). Gama globulin meningkat; 3). Kadar
natrium darah menurun, Pemeriksaan tersebut di atas nilainya juga tidak
spesifik, Pemeriksaan serologis yang pernah dipakai adalah reaksi Takahashi.
Pemeriksaan ini dapat menunjukkan proses tuberkulosis masih aktif atau
tidak. Kriteria positif yang dipakai di Indonesia adalah titer 1/128. Pemeriksaan
ini juga kurang mendapat perhatian karena angka-angka positif palsu dan
negatif palsunya masih besar

Sputum

Pemeriksaan sputum adalah penting karena dengan ditemukannya kuman


BTA, diagnosis tuberkulosis sudah dapat dipastikan. Di samping itu pemeriksaan
sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang sudah
diberikan. Pemeriksaan ini mudah dan murah sehingga dapat dikerjakan di
lapangan (puskesmas). Tetapi kadang- kadang tidak mudah untuk mendapat
sputum, terutama pasien yang tidak batuk atau batuk yang non produktif. Dalam
hal ini dianjurkan satu hari sebelum pemeriksaan sputum, pasien dianjurkan
minum air sebanyak + 2 liter dan diajarkan melakukan refleks batuk. Dapat juga
dengan mernberikan tambahan obat-obat mukolitik ekspektoran atau dengan
inhalasi larutan garam hipertonik selama 20-30 menit. Bila masih sulit, sputum
dapat diperoleh dengan cara bronkos-kopi diambil dengan brushing atau

38
bronchial washing atau BAL (broncho alveolar lavage). BTA dari sputum bisa
juga didapat dengan cara bilasan lambung. Hal ini sering dikerjakan pada anak-
anak karena mereka sulit mengeluarkan dahaknya. Sputum yang akan diperiksa
hendaknya sesegar rnungkin. .
Bila sputum sudah didapat, kuman BTA pun kadang-kadang sulit
ditemukan. Kuman baru dapat ditemukan bila bronkus yang terlibat proses
penyakit ini terbuka ke luar, sehingga sputum yang mengandung kuman BTA
mudah ke luar. Diperkirakan di Indonesia terdapat 50% pasien BTA positif
tetapi kurnan tersebut tidak ditemukan dalam sputum mereka,
Kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurang-kurangnya ditemukan
3 batang kuman BTA pada satu sediaan. Dengan kata lain diperlukan 5.000
kuman dalam I mL sputum.

Untuk pewarnaan sediaan dianjurkan memakai cara Tan Thiarn Hok yang
merupakan modifikasi gabungan cara pulasan Kinyoun dan Gabbet. Cara
perncriksaan sediaan sputum yang dilakukan adalah :
 Pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop biasa.

 Pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop fluoresens (pewarnaan


khusus)

 Pemeriksaan dengan biakan (kultur).

 Pemeriksaan terhadap resistensi obat.

Pemeriksaan dengan mikroskop fluoresens dengan sinar ultra violet


walaupun sensitivitasnya tinggi sangat jarang dilakukan, karena pewarnaan
yang dipakai (aurarnin-rho- damin) dicurigai bersifat karsinogenik.
Pada pemeriksaan dengan biakan, setelah 4-6 mmggu penanaman sputum
dalam medium biakan, koloni kuman tuberkuiosis mulai tampak. Bila setelah 8
minggu penanaman koloni tidak juga tampak, biakan dinyatakan negatif.
Medium biakan yang sering dipakai yaitu Lowenstein Jensen, Kudoh atau
Ogawa.
Saat ini sudah dikembangkan pemeriksa-an biakan sputum BTAdengan cara

38
Bactec (Bactec 400 Radiometric System), di mana kurnan sudah dapat dideteksi
dalam 7-10 hari. Di samping itu dengan teknik Polymerase Chain Reaction
(PCR) dapat dideteksi 0 A kuman TB dalam waktu yang lebih cepat atau
mendeteksi Mituberculosae yang tidak tumbuh pada sediaan biakan. Dari hasil
biakan biasanya dilaku kan juga pemeriksaan terhadap resistensi obat dan
idenrifikasi kuman.
Kadang-kadang dari hasil pemeriksaan mikroskopis biasa terdapat kuman
BTA (positif), tetapi pada biakan hasilnya negatif. lni terjadi pad a fenomen
dead bacilli atau non culturable bacilli yang disebabkan kcampuhan panduan
obat antituberkulosis jangka pendek yang cepat mcmatikan kuman BTA dalam
waktu pendek.
Untuk pemeriksaan BTA sediaan mikroskopis biasa dan sediaan biakan,
bahan-bahan selain sputum dapatjuga diambil dari bilasan bronkus, jaringan
paru, pleura, cairan pleura, cairan lambung, jaringan kelenjar, eairan
serebrospinal, urin, dan tinja.6,8

G. Tatalaksana
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan)
dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan
obat utama dan tambahan.

A. OBAT ANTI TUBERKULOSIS (OAT)

Obat yang dipakai:


1. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah:

· INH

-Rifampisin

· Pirazinamid

· Streptomisin

· Etambutol

38
2. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2)

· Kanamisin

· Amikasin

· Kuinolon

· Obat lain masih dalam penelitian yaitu makrolid dan amoksilin + asam
klavulanat

Beberapa obat berikut ini belum tersedia di Indonesia antara lain :

· Kapreomisin
· Sikloserino
· PAS (dulu tersedia)
· Derivat rifampisin dan INH
· Thioamides (ethionamide dan prothionamide)

38
Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal yang
penting untuk menyembuhkan pasien dan menghindari MDR TB
(multidrug resistant tuberculosis). Pengembangan strategi DOTS untuk
mengontrol epidemi TB merupakan prioriti utama WHO. International
Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUALTD) dan WHO
menyarakan untuk menggantikan paduan obat tunggal dengan kombinasi
dosis tetap dalam pengobatan TB primer pada tahun 1998. Dosis obat
tuberkulosis kombinasi dosis tetap berdasarkan WHO seperti terlihat pada
tabel 2.

41
Keuntungan kombinasi dosis tetap antara lain:

1. Penatalaksanaan sederhana dengan kesalahan pembuatan resep minimal

2. Peningkatan kepatuhan dan penerimaan pasien dengan penurunan


kesalahan pengobatan yang tidak disengaja
3. Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap penatalaksanaan yang
benar dan standar

4. Perbaikan manajemen obat karena jenis obat lebih sedikit

5. Menurunkan risiko penyalahgunaan obat tunggal dan MDR akibat


penurunan penggunaan monoterapi8,9

B. PADUAN OBAT ANTI TUBERKULOSIS

Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi:


a) TB paru (kasus baru), BTA positif atau pada foto toraks: lesi luas

Paduan obat yang dianjurkan : 2 RHZE / 4 RH atau 2 RHZE/ 6HE


atau 2 RHZE / 4R3H3 Paduan ini dianjurkan untuk:
- TB paru BTA (+), kasus baru

- TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologi lesi luas


(termasuk luluh paru)

Bila ada fasiliti biakan dan uji resistensi, pengobatan


disesuaikan dengan hasil uji resistensi
b) TB Paru (kasus baru), BTA negatif, pada foto toraks: lesi minimal

Paduan obat yang dianjurkan : 2 RHZE / 4 RH atau : 6 RHE atau 2 RHZE/


4R3H3

c) TB paru kasus kambuh

Sebelum ada hasil uji resistensi dapat diberikan 2 RHZES / 1 RHZE. Fase
lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi. Bila tidak terdapat hasil uji
resistensi dapat diberikan obat RHE selama 5 bulan.
d) TB Paru kasus gagal pengobatan

41
Sebelum ada hasil uji resistensi seharusnya diberikan obat lini 2 (contoh
paduan: 3-6 bulan kanamisin, ofloksasin, etionamid, sikloserin
dilanjutkan 15-18 bulan ofloksasin, etionamid, sikloserin). Dalam
keadaan tidak memungkinkan pada fase awal dapat diberikan 2 RHZES /
1 RHZE. Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi. Bila tidak
terdapat hasil uji resistensi dapat diberikan obat RHE selama 5 bulan.
Dapat pula dipertimbangkan tindakan bedah untuk mendapatkan hasil
yang optimal. Sebaiknya kasus gagal pengobatan dirujuk ke dokter
spesialis paru.
e) TB Paru kasus putus berobat

Pasien TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali


sesuai dengan kriteria sebagai berikut :

41
 Berobat > 4 bulan

i. BTA saat ini negatif

Klinis dan radiologi tidak aktif atau ada perbaikan maka pengobatan
OAT dihentikan. Bila gambaran radiologi aktif, lakukan analisis
lebih lanjut untuk memastikan diagnosis TB dengan
mempertimbangkan juga kemungkinan penyakit paru lain. Bila
terbukti TB maka pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat
yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama.
ii. BTA saat ini positif

Pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat
dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama.
 Berobat < 4 bulan

i. Bila BTA positif, pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat
yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama.
ii. Bila BTA negatif, gambaran foto toraks positif TB aktif pengobatan
diteruskan. Jika memungkinkan seharusnya diperiksa uji resistensi
terhadap OAT.
f) TB Paru kasus kronik

Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi,
berikan RHZES. Jika telah ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan hasil uji
resistensi (minimal terdapat 4 macam OAT yang masih sensitif) ditambah
dengan obat lini 2 seperti kuinolon, betalaktam, makrolid dll. Pengobatan
minimal 18 bulan. Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup.
Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan kemungkinan penyembuhan.
Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke dokter spesialis paru.

43
1. KATEGORI 1 (2HRZE/4H3R3)

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:

- Pasien baru TB paru BTA (+)

- Pasien TB paru BTA (-), foto toraks (+)

- Pasien TB ekstra paru

51
3 .OAT Sisipan (RHZE)

Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap
intensif kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari). 2

51
Efusi Pleura

A. Definisi

Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terjadi penumpukan cairan di dalam
rongga pleura.4,8

B. Epidemiologi

Estimasi prevalensi efusi pleura ada;ah 320 kasus per 100.000 orang
di negara-negara industri, dengan distribusi etiologi terkait dengan
prevalensi penyakit yang mendasarinya. Secara umum, kejadian efusi
pleura sama antara laki-laki dan perempuan. Namun, penyebab tertentu
memiliki kecenderungan seks.Sekitar dua per tiga efusi pleura ganas
terjadi pada perempuan.Efusi pleura ganas berhubungan secara signifikan
dengan keganasan payudara dan ginekologi.Efusi pleura yang terkait
dengan lupus eritematosus sistemik juga lebih sering terjadi pada wanita
dibanding pria.4

51
C. Etiologi dan Faktor Resiko

 Gagal jantung kongestif

 Sirosis hati

 Sindrom nefrotik

 Dialisis peritoneum

 Hipoalbuminemia oleh berbagai keadaan

 Perikarditis konstriktiva

 Keganasan

 Atelektasis paru

 Pneumotoraks.

 TB paru8
3.1.3 Patofisiologi

Patofisiologi terjadinya efusi pleura tergantung dari keseimbangan


antara cairan dan protein dalam rongga pleura. Dalam keadaan normal, cairan
pleura dibentuk secara lambat sebagai filtrasi melalui pembuluh darah kapiler.
Filtrasi ini terjadi karena perbedaan tekanan osmotik plasma dan jaringan
interstitial submesotelial, kemudian melalui sel mesotelial masuk kedalam
rongga pleura. Selain itu cairan pleura dapat melalui pembuluh limfe sekitar
paru. Efusi pleura dapat berupa transudat atau eksudat.8

Proses penumpukan cairan dapat disebabkan oleh peradangan. Bila


proses radang oleh kuman piogenik akan terbentuk pus / nanah, sehingga
terjadi empiema / piotoraks. Bila proses ini mengenai pembuluh darah sekitar
pleura dapat menyebabkan hemotoraks. Efusi cairan yang berupa transudat
terjadi apabila hubungan normal antara tekanan kapiler hidrostatik dan koloid
osmotik menjadi terganggu, sehingga terbentuknya cairan pada satu sisi pleura
akan melebihi reabsorpi oleh pleura lainnya. Biasanya hal ini terjadi pada:

17
1. Meningkatnya tekanan kapiler sistemik

2. Meningkatnya tekanan kapiler pulmoner

3. Menurunnya tekanan koloid osmotik dalam pleura

4. Menurunnya tekanan intrapleura

D. Klasifikasi 6

1. Transudat

– (filtrasi plasma yang mengalir menembus dinding kapiler yang


utuh) terjadi jika faktor-faktor yang mempengaruhi
pembentukan dan reabsorpsi cairan pleural terganggu sehingga
terjadi ketidakseimbangan tekanan hidrostatik atau onkotik.

– Biasanya hal ini terdapat pada:

• Meningkatnya tekanan kapiler sistemik

• Meningkatnya tekanan kapiler pulmonal

• Menurunnya tekanan koloid osmotik dalam pleura

• Menurunnya tekanan intra pleura

• Penyakit-penyakit yang menyertai transudat adalah:

– Gagal jantung kiri (terbanyak) Sindrom nefrotik

– Obstruksi vena cava superior

17
– Asites pada sirosis hati

• Eksudat

– merupakan cairan pleura yang terbentuk melalui membran


kapiler yang permeable abnormal dan berisi protein transudat
Penyakit yang menyertai eksudat, antara lain:

– infeksi (tuberkulosis, pneumonia) tumor pada


pleura,infark paru, karsinoma bronkogenik radiasi,
penyakit dan jaringan ikat/kolagen/ SLE (Sistemic
Lupus Eritematosis).

• Hidrotoraks dan pleuritis eksudativa terjadi karena infeksi

• Rongga pleura berisi darah  hemotoraks

• Rongga pleura berisi cairan limfe  kilotoraks

• Rongga pleura berisi pus/nanah  empiema/piotoraks

• Rongga pleura berisi udara  pneumotoraks

E. Manifestasi klinis

Gejala

 Sesak napas

 Batuk

 Nyeri dada, nyeri pleuritik biasanya mendahului


efusi jika penyakit pleura Tanda
 Pergerakan dada berkurang dan terhambat pada bagian yang

17
terkena

 Ruang interkostal menonjol (efusi yang berat)9

F. Diagnosis
 Sesak napas

 Batuk

• Nyeri dada, nyeri pleuritik biasanya mendahului


efusi jika penyakit pleura

Perlu ditanyakan faktor resiko dan gejala dari etiologi


penyakit, seperti gejala-gejala pada 8:
 Gagal jantung kongestif
 Sirosis hati
 Sindrom nefrotik
 Dialisis peritoneum
 Hipoalbuminemia oleh berbagai keadaan
 Perikarditis konstriktiva
 Keganasan

 Atelektasis paru

 Pneumotoraks.

 TB paru4,9
Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik paru, dapat didapatkan :

Inspeksi : pergerakan dada berkurang dan terhambat pada bagian


yang terkena. Ruang interkostal menonjol (efusi pleura berat)
Palpasi : fremitus vocal dan raba berkurang pada bagian yang terkena.

Perkusi : perkusi meredup di atas efusi pleura

17
Auskultasi : suara napas berkurang di atas efusi pleura4,9

Pemeriksaan Penunjang

Foto Thoraks (X-Ray)

Permukaan cairan yang terdapat dalam rongga pleura akan


membentuk bayangan seperti kurva dengan permukaan daerah lateral lebih
tinggi daripada bagian medial. Bila permukaannya horizontal dari lateral
ke medial pasti terdapat udara dalam rongga tersebut yang dapat berasal
dari luar atau dalam paru-paru sendiri. Terkadang sulit membedakan antara
bayangan cairan bebas dalam pleura dengan adhesi karena radang
(pleuritis). Perlu pemeriksaan foto dada dengan posisi lateral dekubitus,
cairan bebas akan mengikuti posisi gravitasi. Cairan dalam pleura juga
dapat tidak membentuk kurva karena terperangkap atau terlokalisasi.
Keadaan ini sering terdapat pada daerah bawah paru yang berbatasan
dengan permukaan atas diafragma. Cairan ini dinamakan efusi
subpulmonik. Cairan dalam pleura kadang-kadang menumpuk
mengelilingi lobus paru (biasanya lobus bawah) dan terlihat dalam foto
sebagai bayangan konsolidasi parenkim lobus, dapat juga mengumpul di
daerah paramediastinal dan terlihat dalam foto sebagai fisura interlobaris,
bisa juga terdapat secara parallel dengan sisi jantung sehingga terlihat
sebagai kardiomegali. Cairan seperti empiema dapat juga terlokalisasi,
gambaran seperti bayangan dengan densitas keras di atas diafragma,
keadaan ini sulit dibedakan dengan tumor paru. Hal lain yang dapat terlihat
dari foto dada pada efusi pleura adalah terdorongnya mediastinum pada
sisi yang berlawanan dengan cairan. Disamping itu, gambaran foto dada
dapat juga menerangkan asal mula terjadinya efusi pleura yakni bila
terdapat jantung yang membesar, adanya massa tumor, adanya densitas
parenkim yang lebih keras pada pneumonia atau abses paru.8

Torakosentesis

17
Aspirasi cairan pleura (torakosintesis) berguna sebagai sarana
untuk diagnostik maupun terapeutik. Pelaksanaannya sebaiknya dilakukan
pada pasien dengan posisi duduk. Aspirasi dilakukan pada bagian bawah
paru sela iga garis aksilaris posterior dengan memakai jarum abbocath
nomor 14 atau 16. Pengeluaran cairan pleura sebaiknya tidak melebihi
1000- 1500 cc pada sekali aspirasi. Aspirasi lebih baik dikerjakan
berulang-ulang daripada satu kali aspirasi sekaligus yang dapat
menimbulkan pleura shock (hipotensi) atau edema paru akut. Edema paru
dapat terjadi karena paru-paru mengembang terlalu cepat. Mekanisme
sebenarnya belum diketahui betul, tapi diperkirakan karena adanya tekanan
intrapleura yang tinggi dapat menyebabkan peningkatan aliran darah
melalui permeabilitas kapiler yang abnormal.8

Transudat Eksudat
Kadar protein dalam efusi (g/dl) <3 >3
Kadar protein dalam efusi <0.5 >0.5
Kadar protein dalam serum
Kadar LDH dalam efusi (I.U) <200 >200
Kadar LDH dalam efusi
<0.6 >0.6
Kadar LDH dalam serum
<1.016 >1.016
Berat jenis cairan efusi
Rivalta Negatif positif

G. Tatalaksana.
Tatalaksana pada efusi leura bertujuan untuk menghilangkan gejala
nyeri dan sesak yang dirasakan pasien, mengobati penyakit dasar,
mencegah fibrosis pleura, dan mencegah kekambuhan.13
a) Aspirasi cairan pleura

Aspirasi cairan pleura (torakosintesis) berguna sebagai sarana untuk


diagnostik maupun terapeutik.Berikut ini cara melakukan torakosentesis :

17
 Pasien dalam posisi duduk dengan kedua lengan merangkul atau diletakkan di
atas bantal. Jika tidak mungkin duduk, aspirasi dapat dilakukan dalam posisi
tidur terlentang.
 Lokasi penusukan jarum dapat didasarkan pada hasil foto toraks, atau di daerah
sedikit medial dari ujung scapula, atau pada linea aksilaris media di bawah
batas suara sonor dan redup.
 Setelah dilakukan anestesi secara memadai, dilakukan penusukan dengan jarum
ukuran besar, misalnya nomor 18.
 Pengeluaran cairan pleura sebaiknya tidak melebihi 1000- 1500 cc pada sekali
aspirasi. Aspirasi lebih baik dikerjakan berulang-ulang daripada satu kali
aspirasi sekaligus yang dapat menimbulkan pleura shock (hipotensi) atau
edema paru akut. Edema paru dapat terjadi karena paru- paru mengembang
terlalu cepat.8
Komplikasi torakosintesis adalah sebagai berikut:

- Pneumotoraks (paling sering udara masuk melalui jarum).

- Hemotoraks (karena trauma pada pembuluh darah interkostalis)

- Emboli udara (jarang terjadi)

- Laserasi pleura viseralis, tapi biasanya dapat sembuh sendiri dengan cepat. Bila
laserasinya cukup dalam, dapat menyebabkan udara dari alveoli masuk ke
vena pulmonalis, sehingga terjadi emboli udara.Untuk mencegah emboli ini
terjadi emboli pulmoner atau emboli sistemik, pasien dibaringkan pada sisi
kiri dibagian bawah, posisi kepala lebih rendah daripada leher, sehingga udara
tersebut dapat terperangkap diatrium kanan.

b) Pleurodesis
Tujuan utama tindakan ini adalah melekatkan pleura viseral dengan
pleura parietalis, dengan jalan memasukkan suatu bahan kimia atau kuman ke
dalam rongga pleura sehingga terjadi keadaan pleuritis obliteratif.Pleurodesis
merupakan penanganan terpilih pada efusi keganasan.Bahan kimia yang

17
lazim digunakan adalah sitostatika seperti kedtiotepa, bleomisin, nitrogen
mustard, 5-fluorourasil, adriamisin dan doksorubisin.Setelah cairan efusi
dapat dikeluarkan sebanyak-banyaknya, obat sitostatika (misalnya tiotepa 45
mg) diberikan dengan selang waktu 710 hari; pemberian obat tidak perlu
disertai pemasangan WSD. Setelah 13 hari, jika berhasil, akan terjadi pleuritis
obliteratif yang menghilangkan rongga pleura sehingga mencegah
penimbunan kembali cairan didalam rongga tersebut. Obat lain yang murah
dan mudah didapatkan adalah tetrasiklin. Pada pemberian obat ini, WSD
harus dipasang dan paru sudah dalam keadaan mengembang. Tetrasiklin 500
mg dilarutkan kedalam 3050 ml larutan garam faal, kemudian dimasukkan
kedalam rongga pleura melalui selang toraks, ditambah dengan larutan garam
faal, kemudian ditambah dengan larutan garam faal 1030 ml untuk membilas
selang serta 10 ml lidokain 2% untuk mengurangi rasa nyeri yang
ditimbulkan oleh obat ini.

c) Pembedahan
Pleurektomi jarang dikerjakan pada efusi pleura keganasan, oleh
karena efusi pleura keganasan pada umumnya merupakan stadium lanjut dari
suatu keganasan dan pembedahan menimbulkan resiko yang besar. Bentuk
operasi yang lain adalah ligasi duktus toraksikus dan pintas pleuroperitonium,
kedua pembedahan ini terutama dilakukan pada efusi pleura keganasan akibat
limfoma atau keganasan lain pada kelenjar limfe hilus dan mediastinum,
dimana cairan pleura tetap terbentuk setelah dilakukan pleurodesis

17
BAB III
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien : Ny. NI
Umur : 26 Tahun
Jenis Kelamin : perempuan
Alamat : Jl. DR.Wahidin
Tanggal lahir : 05/08/1993
Agama : Islam
Tanggal masuk : 23/8/2019
Ruangan : Perawatan 1

B. ANAMNESIS
Keluhan utama : Batuk Berdarah
Anamnesis terpimpin :
Pasien MRS dengan keluhan batuk darah bercampur lendir sejak 1
bulan yang lalu, memberat sejak 1 minggu terakhir. sesak bila batuk. Demam
sejak 1 minggu yang lalu. demam kadang naik turun dan disertai menggigil,
keringat malam (+), penurunan BB secara drastis selama 3 bulan terakhir,
nyeri kepala (-), nyeri pada dada bila batuk(+), nyeri ulu hati (+), nyeri tekan
epigastrium (+), mual (+), muntah (+), tidak ada keluhan BAB dan BAK.

Riwayat Penyakit Dahulu


- Riwayat infeksi sebelumnya (-)
- Hipertensi (-)
- DM (-)
- Asma (-)
- Penyakit Jantung (-)
- Riwayat minum obat TB (-)
Riwayat Penyakit Keluarga
- Tidak ada keluarga pasien dengan keluhan yang sama
C. KEADAAN UMUM
Sakit (Ringan/Sedang/Berat)
Kesadaran (Composmentis/Uncomposmentis)
Hygiene (Buruk/Sedang/Baik)
GCS (E4M6V5)
Status Gizi (Underweight/Normal/Overweight/Obesitas I/Obesitas II)
BB : 45,4 kg
TB : 157 cm
IMT : 18,4 (Normal)

D. TANDA VITAL
Tekanan Darah : 90/70 mmHg
Nadi :93x/menit Reguler, Kuat Angkat
Pernapasan : 26x/menit
Suhu : 36,7oC (Axilla)

E. PEMERIKSAAN FISIK
1. Kepala
Bentuk kepala : Normocephali
Simetris : Kiri - Kanan
Deformitas : -
2. Mata
Eksoptalmus/Enoptalmus : -
Konjungtiva : Anemis (-/-),
Sklera : Ikterus (-/-), perdarahan (-)
Pupil : Bulat Isokor kiri-kanan
3. Telinga
Pendengaran : Dalam Batas Normal
Nyeri tekan : (-/-)
4. Hidung
Bentuk : Simetris
Perdarahan : -
5. Mulut
Bibir : Kering (-), Sianosis (-)
Lidah kotor : (-)
Caries gigi : -
Perdarahan : (+)
6. Leher
Inspeksi : Simetris
Palpasi : Pembesaran KGB (-), Pembesaran tiroid (-)
DVS : R-4
Kaku Kuduk : (-)
7. Kulit
Hiperpigmentasi : (-)
Ikterus : (-)
Petekhie : (-)
Sianosis : (-)
Pucat : (-)
8. Thorax
Inspeksi : Simetris kiri dan kanan
Palpasi : Fokal Fremitus melemah pada lapangan paru kanan
Perkusi : Lapangan paru kanan redup. lapangan paru kiri sonor.
Auskultasi : Vesikuler, Rh (+/+) basah kasar (+), Wh (-/-)
9. Cor
Inspeksi : Iktus cordis tidak tampak
Palpasi : Iktus cordis tidak teraba
Perkusi : Batas kanan : Linea Parasternalis Dextra
Batas kiri : Linea Midclavicularis Sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II regular, Murmur (-), Gallop (-)
10. Abdomen
Inspeksi : Datar, simetris, mengikuti gerak napas, tidak ada
tanda- radang, benjolan (-), caput medusae (-)
Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal
Perkusi : Thympani, Asites (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-)
Lien : Tidak teraba
Ginjal : Tidak teraba
11. Punggung
Tampak dalam batas normal
Tidak terlihat kelainan bentuk tulang belakang
12. Genitalia
Tidak dievaluasi
13. Ekstremitas atas dan bawah
Superior Inferior
Penilaian
Kanan Kiri Kanan Kiri
Pucat Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Sianosis Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Edema Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Laboratorium :
a. Darah Rutin
WBC : 14.4 x 103/uL
HB : 11.7 gr/dl
PLT : 341 x 103/uL
2. Radiologi foto Thoraks :TB duplex lama aktif dan Efusi Pleura

dextra

3. Hasil TCM : MTB Not Detected

G. DIAGNOSIS KERJA

Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan


penunjang, pasien didiagnosis TB Paru + Efusi Pleura

H. PLANNING
Pengobatan :
 Diet Tinggi Kalori Tinggi Protein
 Infus RL 24 tpm
 Cefoperazon 1gr/12jam/iv
 Codein 10 mg 3x1
 Ifalmin 3x1
 Fiopraz /12jam/IV

I. PROGNOSIS
Dubia et bonam
J. HASIL FOLLOW UP

WAKTU HASIL PEMERIKSAAN INSTRUKSI DOKTER


ANALISIS DAN
TINDAK LANJUT
24-08-2019 S Batuk berlendir berwarna - Diet TKTP
Perawatan putih(+)tidak bercampur - IVFD RL 24 tpm
darah. pagi ini sudah tidak - Inj. Cefoperazone 1
sesak. gr/12 jam/iv
KU: Lemas. - Codein 10 mg 3x1
O TD: 90/60 mmHg - Fiopraz /12 jam/IV
Nadi: 78 x/ menit - Ifalmin 3x1
Pernapasan: 26 x/menit
Suhu: 36,50 C

TB paru

A
25-08-2019 S Batuk berlendir berwarna - Diet nasi
Perawatan putih(+)tidak bercampur - IVFD RL 24 tpm
darah. Pusing, penglihatan - Ifalmin
seperti berputar saat duduk. - Inj. Cefoperazone 1
KU: Lemas. gr/12 jam/iv
O - Codein 10 mg 3x1
TD: 110/80 mmHg
Nadi: 116 x/menit
Pernapasan: 18 x/menit
A Suhu: 38,2 ’C

TB paru
26-08-2019 S Batuk berlendir berwarna - Aff infus
Perawatan putih(+)tidak bercampur - MethylPrednisolon 4
darah. Demam (+) sakit mg 3x1/15 hari
kepala (+) nyeri dada (+) - Ifalmin 3x1/15hari
mual (-) muntah (+) 1 kali
O
TD :120/80 mmHg
Nadi: 115 x/menit
Pernapasan: 21 x/menit
Suhu: 38,5’C
A Foto Thotax : TB Paru dan
efusi pleura dextra

TB Paru + Efusi Pleura

K. RESUME

Pasien MRS dengan keluhan batuk darah bercampur lendir sejak 1 bulan
yang lalu, memberat sejak 1 minggu terakhir. sesak bila batuk. Demam sejak 1
minggu yang lalu. demam kadang naik turun dan disertai menggigil, keringat
malam, penurunan BB secara drastis selama 3 bulan terakhir, , nyeri pada dada
bila batuk, nyeri ulu hati, nyeri tekan epigastrium, mual , muntah, tidak ada
keluhan BAB dan BAK. Riwayat penyakit terdahulu disangkal. Riwayat penyakit
keluarga disangkal. Pada pemeriksaan fisis didapatkan status generalis, sakit
sedang. Status vitalitas didapatkan tekanan darah yang rendah, sesak,dan lainnya
dalam batas normal, status gizi normal. Pada pemeriksaan fisis lainnya yaitu focal
fremitus sebelah kanan melemah serta perkusi pada lapangan paru kanan dan
auskultasi didapatakan Auskultasi pada thorax Ronkhi basah kasar pada lapang
paru dextra. Dari hasil Pemeriksaan Penunjang yaitu pemeriksaan Laboratorium
didapatkan leukositosis dan lainnya normal. Pemeriksaan radiologi foto Thorax
didapatkan TB paru dan Efusi Pleura Dextra. Hasil TCM didapatkan pula MTB
Not Detected. Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang maka diagnosis dari pasien ini adalah TB Paru + Efusi pleura dextra.
Adapun penatalksanaan diberikan nonfarmakologi danfarmakologi. dimana
nonfarmakologi dianjurkan Diet TKTP(Tinggi Kalori Tinggi Protein)dan untuk
farmakologi Infus RL 24 tpm, Cefoperazon 1gr/12jam/iv, Codein 10 mg 3x1,
Ifalmin 3x1, Fiopraz /12jam/IV serta pemsangan O2 bila sesak.
J. Diagnosis Kerja
- Tb paru
- Efusi pleura

PEMBAHASAN

Dari hasil anamnesis pasien mengeluhkan batuk darah bercampur lendir yang
dirasakan 1 bulan yang lalu memberat 1 minggu yang lalu. . Demam sejak 1
minggu yang lalu. demam kadang naik turun dan disertai menggigil, keringat
malam, penurunan BB secara drastis selama 3 bulan terakhir, , nyeri pada dada
bila batuk, nyeri ulu hati, nyeri tekan epigastrium, mual , muntah, tidak ada
keluhan BAB dan BAK. Riwayat penyakit terdahulu disangkal. Riwayat penyakit
keluarga disangkal Pada pemeriksaan fisik thorax didapatkan inspeksi normal,
perkusi terdengar redup pada lapangan paru kanan, vocal fremitus kanan melemah
pada saat palpasi dilakukan, dan auskultasi terdengar suara nafas vesilkuler
melemah pada lapangan paru kanan. Beberapa hal yang mungkin menyebabkan
hal di atas antara lain, adanya cairan pada rongga pleura, atau terdapat massa di
paru kanan. Pada pasien ini pemeriksaan dikonfirmasi melalui rontgen thorax,
hasil pemeriksaan rontgen thorax menunjukkan adanya Tb paru dan efusi pleura
kanan maka kelainan pemeriksaan fisis di atas disebabkan oleh hal tersebut. Jika
dihubungkan dengan gejala yang terdapat pada pasien , pasien dengan batuk darah
dengan adanya penumpukan cairan di rongga paru dextra kemudian disertai
dengan adanya batuk berlendir hijau merupakan ada tanda-tanda infeksi pada paru
pasien, hal sesuai dengan teori penyebab dari Tb paru dan efusi pleura itu sendiri
dimana bisa disebabkan oleh adanya infeksi tuberkulosis. Bila penumpukan cairan
dalam rongga pleura disebabkan oleh peradangan. Bila proses radang oleh kuman
piogenik akan terbentuk pus/nanah, sehingga terjadi empiema/piotoraks. Bila
proses ini mengenai pembuluh darah sekitar pleura dapat menyebabkan
hemotoraks.

Pada hasil pemeriksaan Radiologi terdapat perselubungan homogen


hemithorax dextra yang menutupi sinus dan bercak berawan pada apex paru kanan
dengan kesan Tb paru dengan Efusi pleura dextra. Pada penatalaksanaan tentunya
terdapat terapi non farmakologi berupa istirahat yang cukup serta diet tinggi kalori
dan tinggi protein karena protein memiliki fungsi sebagai untuk mempertahankan
cairan di dalam pembuluh darag agar cairan tidak merembes ke jaringan lainnya

Pemberian cefoperazone sebagai antibiotik pada pasien tersebut karena


pasien tersebit memiliki gejala yang mengarah pada infeksi seperti batuk yang
disertai lendir berwarna hijau. Selain dari batuk lendir berwarna kecoklatan,
tanda-tanda infeksi lainnya yang dijadikan patokan untuk pemberian antibiotik
yaitu adanya leukositosis.

Pemberian Codein pada pasien guna meringankan gejala batuk yang


dialami oleh pasien dimana pemberian obat ini disertai dengan pemberian
Acetylsistein yang merupakan golongan mukolitik yang berfungsi mengencerkan
dahak yang menghalangi saluran napas pada pasien.

Pada pengobatan TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologi lesi luas
maka pengobatan yang akan diberikan Pengobatan yang sama dengan kasus TB
paru (kasus baru), BTA positif atau pada foto toraks dianjurkan : 2 RHZE / 4 RH
atau 2 RHZE/ 6HE atau 2 RHZE / 4R3H3.

DAFTAR PUSTAKA

1. Saputra, Lyndon. Intisari Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Binarupa Aksara


Publisher; 2010.
2. Aru W, Sudoyo, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Jakarta:
Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam; 2015.
3. Light RW. Pleural diseases. 5 ed. Baltimore: Williams and Wilkins; 2007.
p.412 .
4. Price, SA. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi ke-6.
Jakarta : EGC;2005.)
5. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, edisi 2. Jakarta :
DepartemeN Kesehatan RI, 2007
6. PDPI. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia,
Jakarta. 2002.
7. Carolyn J. Hildreth,et.al. Pleural Effusion. The Journal of the American
Medical Association. JAMA, January 21, 2009—Vol 301, No. 3
8. Halim, Hadi. Penyakit-Penyakit Pleura. Dalam : Sudoyo, Aru W Dkk. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi V. Hal 2329 - 2336. Jakarta:
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2009
9. Depkes RI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta.
Departemen Kesehatan RI. 2011.

Anda mungkin juga menyukai