Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN

NEONATAL HIPERBILIRUBINEMIA

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Praktik Klinik Keperawatan Anak
Dosen Pengampu : Hj. Sri Ramdaniati, Skep. Ners. M.Kep.

Disusun oleh :

Erika Nada P17320118104

Tingkat 3C

PRODI D-III KEPERAWATAN BANDUNG


POLTEKKES KEMENKES BANDUNG
2020
TINJAUAN TEORI

A. KONSEP DASAR PENYAKIT

1. Pengertian
Hiperbilirubinemia adalah suatu keadaan dimana kadar bilirubin dalam
darah mencapai suatu nilai yang mempunyai potensi untuk menimbulkan
kernikterus jika tidak segera ditangani dengan baik. Kernikterus adalah suatu
kerusakan otak akibat peningkatan bilirubin indirek pada otak terutama pada
corpus striatum, thalamus, nukleus thalamus, hipokampus, nukleus merah dan
nukleus pada dasar ventrikulus ke-4. Kadar bilirubin tersebut berkisar antara 10
mg/dl pada bayi cukup bulan dan 12,5 mg / dl pada bayi kurang bulan (Ngastiyah,
2005).
Hiperbilirubinemia adalah ikterus dengan konsentrasi bilirubin serum yang
menjurus ke arah terjadinya kern ikterus atau ensefalopati bilirubin bila kadar
bilirubin tidak dikendalikan(Mansjoer, 2008).
Hiperbilirubinemia fisiologis yang memerlukan terapi sinar, tetap
tergolong non patologis sehingga disebut ‘Excess Physiological Jaundice’.
Digolongkan sebagai hiperbilirubinemia patologis (Non Physiological Jaundice)
apabila kadar serum bilirubin terhadap usia neonatus >95% menurut Normogram
Bhutani (Etika et al,2006).

2. Epidemiologi / Insiden Kasus


Pada sebagian besar neonatus, ikterik akan ditemukan dalam minggu
pertama kehidupannya. Dikemukan bahwa angka kejadian iketrus terdapat pada
60 % bayi cukup bulan dan 80 % bayi kurang bulan. Ikterus ini pada sebagian
penderita dapat berbentuk fisiologik dan sebagian lagi patologik yang dapat
menimbulkan gangguan yang menetap atau menyebabkan kematian.

1
3. Penyebab / Faktor Predisposisi

Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat
disebabkan oleh beberapa faktor. Secara garis besar, ikterus neonatarum dapat
dibagi :
a. Produksi yang berlebihan Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk
mengeluarkannya, misalnya pada hemolisis yang meningkat pada
inkompatibilitas Rh, ABO, golongan darah lain, defisiensi G6PD, piruvat
kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
b. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar Gangguan ini dapat
disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk konjugasi
bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau
tidak terdapatnya enzim glukorinil transferase (Sindrom Criggler-Najjar).
Penyebab lain adalah defisiensi protein Y dalam hepar yang berperanan
penting dalam uptake bilirubin ke sel hepar.
c. Gangguan transportasi Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian
diangkut ke hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh
obat misalnya salisilat, sulfarazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih
banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah
melekat ke sel otak.
d. Gangguan dalam eksresi Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam
hepar atau di luar hepar. Kelainan di luar hepar biasanya diakibatkan oleh
kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau
kerusakan hepar oleh penyebab lain. (Hassan et al.2005).

4. Patofisiologi

Bilirubin adalah produk penguraian heme. Sebagian besar (85-90%)


terjadi dari penguraian hemoglobin dan sebagian kecil (10-15%) dari senyawa
lain seperti mioglobin. Sel retikuloendotel menyerap kompleks haptoglobin
dengan hemoglobin yang telah dibebaskan dari sel darah merah. Sel-sel ini

2
kemudian mengeluarkan besi dari heme sebagai cadangan untuk sintesis
berikutnya dan memutuskan cincin heme untuk menghasilkan tertapirol bilirubin,
yang disekresikan dalam bentuk yang tidak larut dalam air (bilirubin tak
terkonjugasi, indirek). Karena ketidaklarutan ini, bilirubin dalam plasma terikat ke
albumin untuk diangkut dalam medium air. Sewaktu zat ini beredar dalam tubuh
dan melewati lobulus hati, hepatosit melepas bilirubin dari albumin dan
menyebabkan larutnya air dengan mengikat bilirubin ke asam glukoronat
(bilirubin terkonjugasi, direk) (Sacher,2004).
Dalam bentuk glukoronida terkonjugasi, bilirubin yang larut tersebut
masuk ke sistem empedu untuk diekskresikan. Saat masuk ke dalam usus,
bilirubin diuraikan oleh bakteri kolon menjadi urobilinogen. Urobilinogen dapat
diubah menjadi sterkobilin dan diekskresikan sebagai feses. Sebagian
urobilinogen direabsorsi dari usus melalui jalur enterohepatik, dan darah porta
membawanya kembali ke hati. Urobilinogen daur ulang ini umumnya
diekskresikan ke dalam empedu untuk kembali dialirkan ke usus, tetapi sebagian
dibawa oleh sirkulasi sistemik ke ginjal, tempat zat ini diekskresikan sebagai
senyawa larut air bersama urin (Sacher, 2004).
Pada dewasa normal level serum bilirubin 2mg/dl dan pada bayi yang baru
lahir akan muncul ikterus bila kadarnya >7mg/dl (Cloherty et al, 2008).
Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh pembentukan bilirubin yang melebihi
kemampuan hati normal untuk ekskresikannya atau disebabkan oleh kegagalan
hati (karena rusak) untuk mengekskresikan bilirubin yang dihasilkan dalam
jumlah normal. Tanpa adanya kerusakan hati, obstruksi saluran ekskresi hati juga
akan menyebabkan hiperbilirubinemia. Pada semua keadaan ini, bilirubin
tertimbun di dalam darah dan jika konsentrasinya mencapai nilai tertentu (sekitar
2- 2,5mg/dl), senyawa ini akan berdifusi ke dalam jaringan yang kemudian
menjadi kuning. Keadaan ini disebut ikterus atau jaundice (Murray et al,2009).

3
4
5. Klasifikasi

Terdapat dua jenis ikterus, yaitu ikterus fisiologis dan ikterus patologis :

a. Ikterus Fisiologis

Ikterus fisiologi adalah tidak mempunyai dasar patologi atau tidak


mempunyai potensi menjadi kernikterus. Biasanya timbul pada hari ke dua
dan ke tiga. Kadar bilirubin serum total 6-8 mg/dL, bahkan hingga 12
mg/dL pada bayi cukup bulan, masih dianggap fisiologis (Mishra dkk.,
2007). Penurunan kadar bilirubin total akan terjadi secara cepat dalam 2-3
hari, kemudian diikuti penurunan lambat sebesar 1 mg/dL selama 1- 2
minggu. Pada bayi kurang bulan kadar bilirubin serum total 10-12 mg/dL,
bahkan dapat meningkat hingga 15 mg/dL dengan tanpa adanya gangguan
pada metabolism bilirubin (Mishra dkk., 2007). Kadar bilirubin total yang
aman untuk bayi kurang bulan sangat bergantung pada usia kehamilan.

b. Ikterus Patologis

Ikterus patologis biasanya terjadi sebelum umur 24 jam. Kadar


bilirubin serum total meningkat > 0,5 mg/dL/jam. Ikterus biasanya bertahan
setelah 8 hari pada bayi cukup bulan dan 14 hari pada bayi kurang bulan.
Keadaan klinis bayi tidak baik seperti muntah, letargis, malas menetek,
penurunan berat badan yang cepat, suhu tubuh yang tidak stabil, apnea
(Martin dan Cloherty, 2004).

6. Gejala Klinis

Bayi baru lahir (neonatus) tampak kuning apabila kadar bilirubin


serumnya kira-kira 6mg/dl (Mansjoer at al, 2007). Ikterus sebagai akibat
penimbunan bilirubin indirek pada kulit mempunyai kecenderungan
menimbulkan warna kuning muda atau jingga. Sedangkan ikterus obstruksi

5
(bilirubin direk) memperlihatkan warna kuningkehijauan atau kuning kotor.
Perbedaan ini hanya dapat ditemukan pada ikterus yang berat (Nelson, 2007).
Gambaran klinis ikterus fisiologis :
a. Tampak pada hari ke 3 atau 4
b. Bayi tampak sehat (normal)
c. Kadar bilirubin total <12mg%
d. Menghilang paling lambat 10-14 hari
e. Tak ada faktor resiko
f. Sebab : proses fisiologis (berlangsung dalam kondisi fisiologis)
(Sarwono et al, 2005).

Gambaran klinik ikterus patologis :


a. Timbul pada umur <36 jam
b. Cepat berkembang
c. Bisa disertai anemia
d. Menghilang lebih dari 2 minggu
e. Ada faktor resiko
f. Dasar : proses patologis (Sarwono et al, 2005).
Tampak ikterus pada sklera, kuku, dan sebagian besar kulit serta
membran mukosa. Jaundice yang tampak dalam 24 jam pertama sejak bayi
lahir disebabkan oleh penyakit hemolitik, sepsis atau ibu dengan diabetik dan
infeksi. Jaundice yang tampak pada hari ke-2 atau ke-3 dan mencapai puncak
pada hari ke-3 sampaike-4 serta menurun pada hari ke-5 sapai hari ke-7
biasanya merupakan jaundice fisiologis.
Gejala kernikterus berupa kulit kuning kehijauan, muntah, anorexia,
fatique, warna urine gelap, warna tinja seperti dempul, letargi (lemas),
kejang, tak mau menetek, tonus otot meninggi dan akhirnya opistotonus.
(Ngastiyah, 2005).

6
7. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik didapatkan pemeriksaan derajat ikterus, ikterus


terlihat pada sclera, tanda-tanda penyakit hati kronis yaitu eritema palmaris, jari
tubuh (clubbing), ginekomastia (kuku putih) dan termasuk pemeriksaan organ
hati (tentang ukuran, tepid an permukaan); ditemukan adanya pembesaran limpa
(splenomegali), pelebaran kandung empedu, dan masa abdominal, selaput
lender, kulit nerwarna merah tua, urine pekat warna teh, letargi, hipotonus,
reflek menghisap kurang/lemah, peka rangsang, tremor, kejang, dan tangisan
melengking

8. Diagnosis/ Kriteria Diagnosis

Sebagai diagnosis banding dari ikterus yaitu : atresia bilier, breast milk
jaundice, kolestasis, anemia hemolitik pada bayi baru lahir, hepatitis B, dan
hipotiroid.

9. Pemeriksaan diagnostik/Penunjang

Secara klinis, ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau
setelah beberapa hari. Amati ikterus pada siang hari dengan lampu sinar yang
cukup. Ikterus akan terlihat lebih jelas dengan sinar lampu dan bisa tidak terlihat
dengan penerangan yang kurang, terutama pada neonatus yang berkulit gelap.
Penilaian ikterus akan lebih sulit lagi apabila penderita sedang mendapatkan
terapi sinar (Etika et al, 2006).
Salah satu cara memeriksa derajat kuning pada neonatus secara klinis,
mudah dan sederhana adalah dengan penilaian menurut Kramer (1969). Caranya
dengan jari telunjuk ditekankan pada tempat-tempat yang tulangnya menonjol
seperti tulang hidung,dada,lutut dan lain-lain. Tempat yang ditekan akan tampak
pucat atau kuning.

7
Pemeriksaan serum bilirubin (direk dan indirek) harus dilakukan pada
neonatus yang mengalami ikterus. Terutama pada bayi yang tampak sakit atau
bayi-bayi yang tergolong resiko tingggi terserang hiperbilirubinemia berat.
Pemeriksaan tambahan yang sering dilakukan untuk evaluasi menentukan
penyebab ikterus antara lain adalah golongan darah dan ‘Coombs test’, darah
lengkap dan hapusan darah, hitung retikulosit, skrining G6PD dan bilirubin
direk. Pemeriksaan serum bilirubin total harus diulang setiap 4-24 jam
tergantung usia bayi dan tingginya kadar bilirubin. Kadar serum albumin juga
harus diukur untuk menentukan pilihan terapi sinar atau transfusi tukar(Etika et
al, 2006).

10. Penatalaksanaan

Pada dasarnya, pengendalian bilirubin adalah seperti berikut :


a. Stimulasi proses konjugasi bilirubin menggunakan fenobarbital. Obat ini
kerjanya lambat, sehingga hanya bermanfaat apabila kadar bilirubinnya
rendah dan ikterus yang terjadi bukan disebabkan oleh proses hemolitik.
Obat ini sudah jarang dipakai lagi.
b. Menambahkan bahan yang kurang pada proses metabolisme bilirubin
(misalnya menambahkan glukosa pada hipoglikemi) atau (menambahkan
albumin untuk memperbaiki transportasi bilirubin). Penambahan albumin
bisa dilakukan tanpa hipoalbuminemia. Penambahan albumin juga dapat
mempermudah proses ekstraksi bilirubin jaringan ke dalam plasma. Hal
ini menyebabkan kadar bilirubin plasma meningkat, tetapi tidak
berbahaya karena bilirubin tersebut ada dalam ikatan dengan albumin.
Albumin diberikan dengan dosis tidak melebihi 1g/kgBB, sebelum
maupun sesudah terapi tukar.

c. Mengurangi peredaran enterohepatik dengan pemberian makanan oral


dini.

8
d. Memberi terapi sinar hingga bilirubin diubah menjadi isomer foto yang
tidak toksik dan mudah dikeluarkan dari tubuh karena mudah larut dalam
air.
e. Mengeluarkan bilirubin secara mekanik melalui transfusi tukar (Mansjoer
et al, 2007).

Pada umunya, transfusi tukar dilakukan dengan indikasi sebagai berikut:


a. Pada semua keadaan dengan kadar bilirubin indirek ≤20mg%
b. Kenaikan kadar bilirubin indirek yang cepat yaitu 0,3-1mg%/jam
c. Anemia yang berat pada neonatus dengan gejala gagal jantung
d. Bayi dengan kadar hemoglobin tali pusat <14mg% dan uji Coombs
direct positif (Hassan et al, 2005).

Dalam perawatan bayi dengan terapi sinar,yang perlu diperhatikan sebagai


berikut :
a. Diusahakan bagian tubuh bayi yang terkena sinar dapat seluas mungkin
dengan membuka pakaian bayi.
b. Kedua mata dan kemaluan harus ditutup dengan penutup yang dapat
memantulkan cahaya agar tidak membahayakan retina mata dan sel
reproduksi bayi.
c. Bayi diletakkan 8 inci di bawah sinar lampu. Jarak ini dianggap jarak
yang terbaik untuk mendapatkan energi yang optimal.
d. Posisi bayi sebaiknya diubah-ubah setiap 18 jam agar bagian tubuh bayi
yang terkena cahaya dapat menyeluruh.
e. Suhu bayi diukur secara berkala setiap 4-6 jam.
f. Kadar bilirubin bayi diukur sekurang-kurangnya tiap 24 jam.
g. Hemoglobin harus diperiksa secara berkala terutama pada bayi dengan
hemolisis.

9
11. Komplikasi

Kadar bilirubin indirek yang sangat tinggi dapat menembus sawar otak
dan sel-sel otak, hal ini dapat menyebabkan terjadinya disfungsi saraf bahkan
kematian. Mekanisme dan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya
disfungsi saraf ini masih belum jelas. Bilirubin ensefalopati adalah manifestasi
klinis yang timbul akibat efek toksik bilirubin pada sistem saraf pusat yaitu basal
ganglia dan pada beberapa nuklei batang otak (Lauer dan Nancy, 2011).
Kern ikterus adalah perubahan neuropatologi yang ditandai oleh deposisi
pigmen bilirubin pada beberapa daerah di otak terutama di ganglia basalis, pons
dan serebelum. Akut bilirubin ensefalopati terdiri dari 3 fase yaitu:
a. Fase Inisial: ditandai dengan letargis, hipotonik, berkurangnya gerakan bayi
dan reflek hisap buruk.
b. Fase Intermediate: tanda-tanda kardinal fase ini adalah moderate stupor,
iritabilitas dan peningkatan tonus (retrocollis dan opisthotonus). Demam
muncul selama fase ini.
c. Fase Lanjut: ditandai dengan stupor yang dalam atau koma, peningkatan
tonus, tidak mampu makan, high-pitch cry dan kadang kejang. Manifestasi
klinis kernikterus: pada tahap kronis bilirubin ensefalopati, bayi yang
selamat biasanya menderita gejala sisa berupa bentuk athetoid cerebral
palsy yang berat, gangguan pendengaran, paralisis upward gaze dan
displasia dentalenamel (American Academy of Pediatrics, 2004).

B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

1. PENGKAJIAN (DATA OBJEKTIF DAN SUBJEKTIF)

a. Pengumpulan Data
1) Riwayat Penyakit

10
Perlunya ditanyakan apakah dulu pernah mengalami hal yang sama,
apakah sebelumnya pernah mengkonsumsi obat-obat atau jamu tertentu baik
dari dokter maupun yang di beli sendiri, apakah ada riwayat kontak denagn
penderiata sakit kuning, adakah rwayat operasi empedu, adakah riwayat
mendapatkan suntikan atau transfuse darah. Ditemukan adanya riwayat
gangguan hemolissi darah (ketidaksesuaian golongan Rh atau darah ABO),
polisitemia, infeksi, hematoma, gangguan metabolisme hepar, obstruksi
saluran pencernaan dan ASI, ibu menderita DM.
2) Riwayat orang tua :
Ketidakseimbangan golongan darah ibu dan anak seperti Rh, ABO,
Polisitemia, Infeksi, Hematoma, Obstruksi Pencernaan dan ASI.
3) Pengkajian Psikososial :
Dampak sakit anak pada hubungan dengan orang tua, apakah orang
tua merasa bersalah, masalah Bonding, perpisahan dengan anak.
4) Pengetahuan Keluarga meliputi :
Penyebab penyakit dan pengobatan, perawatan lebih lanjut, apakah
mengenal keluarga lain yang memiliki yang sama, tingkat pendidikan,
kemampuan mempelajari Hiperbilirubinemia .
5) Pola Kebutuhan sehari-hari.
a) Data dasar klien: 
 Aktivitas / istirahat : Latergi, malas 
 Sirkulasi  : Mungkin pucat, menandakan anemia. 
 Eliminasi  : Bising usus hipoaktif, Pasase mekonium mungkin
lambat, Feses lunak/coklat kehijauan selama pengeluaran
bilirubin,Urine gelap pekat, hitam kecoklatan (sindrom bayi
bronze)
 Makanan/cairan : Riwayat perlambatan/makan oral buruk, ebih
mungkin disusui dari pada menyusu botol, Palpasi abdomen dapat
menunjukkan perbesaran limfa, hepar. 

11
 Neurosensori  : Hepatosplenomegali, atau hidropsfetalis dengan
inkompatibilitas Rh berat. Opistetanus dengan kekakuan lengkung
punggung,menangislirih, aktivitas kejang (tahap krisis). 
 Pernafasan  : Riwayat afiksia 
 Keamanan  : Riwayat positif infeksi/sepsis neonatus , Tampak
ikterik pada awalnya di wajah dan berlanjut pada bagian distal
tubuh, kulit hitam kecoklatan sebagai efek fototerapi. 
 Penyuluhan/Pembelajaran : Faktor keluarga, misal: keturunan
etnik, riwayat
hiperbilirubinemia pada kehamilan sebelumnya,
penyakithepar,distrasias darah (defisit glukosa-6-fosfat
dehidrogenase (G-6-PD). Faktor ibu, mencerna obat-obat (misal:
salisilat), inkompatibilitas Rh/ABO. Faktor penunjang
intrapartum, misal: persalinan pratern. 
6) Pemeriksaan Fisik :
Pada pemeriksaan fisik didapatkan pemeriksaan derajat ikterus,
ikterus terlihat pada sclera, tanda-tanda penyakit hati kronis yaitu eritema
palmaris, jari tubuh (clubbing), ginekomastia (kuku putih) dan termasuk
pemeriksaan organ hati (tentang ukuran, tepid an permukaan); ditemukan
adanya pembesaran limpa (splenomegali), pelebaran kandung empedu, dan
masa abdominal, selaput lender, kulit nerwarna merah tua, urine pekat
warna teh, letargi, hipotonus, reflek menghisap kurang/lemah, peka
rangsang, tremor, kejang, dan tangisan melengking.

7) Pemeriksaan Diagnostik 
 Golongan darah bayi dan ibu, mengidentifikasi inkompatibilitas ABO. 
 Bilirubin total: kadar direk bermakna jika melebihi 1,0 – 1,5 mg/dL
kadar indirek tidak boleh melebihi peningkatan 5 mg/dL dalam 24 jam,

12
atau tidak boleh lebih 20 mg/dL pada bayi cukup bulan atau 15 mg/dL
pada bayi pratern. 
 Darah lengkap: Hb mungkin rendah (< 1 mg/dL) karena hemolisis.
 Meter ikterik transkutan: mengidentifikasi bayi yang
memerlukan penentuan bilirubin serum. 

b. Pengelompokan Data 
1) Data Subjektif 
 Riwayat afiksia
 Riwayat trauma lahir 
2) Data Objektif 
 Tampak ikterik pada awalnya di wajah dan berlanjut pada bagian
distal tubuh. 
 Kulit hitam kecoklatan sebagai efek fototerapi 
 Hepatosplenomegali. 
 Tahap krisis: epistetanus, aktivitas kejang 
 Urine gelap pekat 
 Bilirubin total: 
 Kadar direk > 1,0 – 1,5 mg/dL 
 Kadar indirek > 5 mg/dL dalam 24 jam, atau < 20 mg/dL pada bayi
cukup bulan atau 15 mg/dL pada bayi pratern. 
 Protein serum total: < 3,0 g/dL
 Golongan darah bayi dan ibu inkompatibilitas ABI, Rh. 

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin Muncul :

13
a. Risiko/ defisit volume cairan berhubungan dengan tidak adekuatnya intake
cairan, serta peningkatan Insensible Water Loss (IWL) dan defikasi sekunder
fototherapi.
b. Risiko /gangguan integritas kulit berhubungan dengan ekskresi bilirubin, efek
fototerapi.
c. Risiko hipertermi berhubungan dengan efek fototerapi.
d. Gangguan parenting (perubahan peran orang tua) berhubungan dengan
perpisahan dan penghalangan untuk gabung.
e. Kecemasan meningkat berhubungan dengan therapi yang diberikan pada bayi.
f. Risiko tinggi injury berhubungan dengan efek fototherapi
g. Risiko tinggi komplikasi (trombosis, aritmia, gangguan elektrolit, infeksi)
berhubungan dengan tranfusi tukar.
h. PK : Kern Ikterus

3. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN MELIPUTI TUJUAN KEPERAWATAN,


INTERVENSI DAN RASIONAL TINDAKAN
Diagnosa Tujuan dan Kriteria
No Intervensi Rasional
Keperawatan Hasil
1 Risiko Setelah
/defisit diberikan tindakan 1. Kaji reflek hisap 1. mengetahui
volume cairan b/d perawatan selama bayi kemampuan hisap
tidak adekuatnya 3x24 jam diharapkan 2. Beri minum per bayi
intake cairan serta tidak terjadi deficit oral/menyusui bila 2. menjamin
peningkatan IWL volume cairan dengan reflek hisap adekuat keadekuatan intake
dan defikasi kriteria : 3. Catat jumlah intake 3. mengetahui
sekunder -          Jumlah intake dan output , kecukupan intake
fototherapi dan output seimbang frekuensi dan 4. turgor menurun, suhu
-          Turgor kulit konsistensi faeces meningkat HR
baik, tanda vital dalam 4. Pantau turgor kulit, meningkat adalah
batas normal tanda- tanda vital tanda-tanda dehidrasi

14
-          Penurunan BB (suhu, HR) setiap 4 5. mengetahui
tidak lebih dari 10 % jam kecukupan cairan dan
BBL 5. Timbang BB setiap nutrisi
hari
2 Risiko/hipertermi
Setelah diberikan tindakan 1. Observasi suhu 1. suhu terpantau secara
berhubungan perawatan selama tubuh ( aksilla ) rutin
dengan efek 3x24 jam diharapkan setiap 4 - 6 jam 2. mengurangi pajanan
fototerapi tidak terjadi 2. Matikan lampu sinar sementara
hipertermi dengan sementara bila 3. Memberi terapi lebih
kriteria suhu aksilla terjadi kenaikan dini atau mencari
stabil antara 36,5-37 0 suhu, dan berikan penyebab lain dari
kompres dingin serta hipertermi
ekstra minum
3. Kolaborasi dengan
dokter bila suhu
tetap tinggi

3Risiko /Gangguan
Setelah diberikan tindakan 1. Kaji warna kulit tiap 1. mengetahui adanya
integritas kulit perawatan selama 8 jam perubahan warna kulit
berhubungan 3x24 jam diharapkan 2. Ubah posisi setiap 2 2. mencegah penekanan
dengan ekskresi tidak terjadi gangguan jam kulit pada daerah
bilirubin, efek integritas kulit dengan 3. Masase daerah yang tertentu dalam waktu
fototerapi kriteria : menonjol lama
 tidak terjadi 4. Jaga kebersihan 3. melancarkan
decubitus kulit bayi dan peredaran darah
 Kulit bersih berikan baby oil sehingga mencegah
dan lembab atau lotion luka tekan di daerah

15
pelembab. tersebut
5. Kolaborasi untuk 4. mencegah lecet
pemeriksaan kadar 5. untuk mencegah
bilirubin, bila kadar pemajanan sinar yang
bilirubin turun terlalu lama
menjadi 7,5 mg%
fototerafi dihentikan
4    Gangguan Setelah diberikan 1. Bawa bayi ke ibu 1. mempererat kontak
parenting tindakan perawatan untuk disusui sosial ibu dan bayi
( perubahan peran selama 3x24 jam 2. Buka tutup mata 2. untuk stimulasi sosial
orangtua) diharapkan orang tua saat disusui dengan ibu
berhubungan dan bayi menunjukan 3. Anjurkan orangtua 3. mempererat kontak
dengan tingkah laku untuk mengajak dan stimulasi social
perpisahan dan “Attachment” , orang bicara anaknya 4. meningkatkan peran
penghalangan tua dapat 4. Libatkan orang tua orangtua untuk
untuk gabung. mengekspresikan dalam perawatan merawat bayi
ketidak mengertian bila memungkinkan 5. mengurangi beban
proses Bounding. 5. Dorong orang tua psikis orangtua
mengekspresikan
perasaannya
5 Risiko Setelah
tinggi diberikan tindakan 1. Tempatkan neonatus 1. mencegah iritasi yang
injury perawatan selama pada jarak 40-45 cm berlebihan
berhubungan 3x24 jam diharapkan dari sumber cahaya 2. mencegah paparan
dengan efek tidak terjadi injury 2. Biarkan neonatus sinar pada daerah
fototherapi akibat fototerapi dalam keadaan yang sensitive
( misal ; telanjang, kecuali 3. pemantauan dini
konjungtivitis, pada mata dan terhadap kerusakan
kerusakan jaringan daerah genetal serta daerah mata
kornea ) bokong ditutup 4. memberi kesempatan
dengan kain yang pada bayi untuk

16
dapat memantulkan kontak mata dengan
cahaya usahakan ibu
agar penutup mata 5. memberi rasa aman
tidak menutupi pada bayi
hidung dan bibir
3. Matikan lampu,
buka penutup mata
untuk mengkaji
adanya
konjungtivitis tiap 8
jam
4. Buka penutup mata
setiap akan
disusukan.
5. Ajak bicara dan beri
sentuhan setiap
memberikan
perawatan
6 Risiko Setelah
tinggi dilakukan tindakan 1. Catat kondisi 1. menjamin
terhadap perawatan selama umbilikal jika vena keadekuatan akses
komplikasi 1x24 jam diharapkan umbilikal yang vaskuler
berhubungan tranfusi tukar dapat digunakan 2. mencegah trauma
dengan tranfusi dilakukan tanpa 2. Basahi umbilikal pada vena umbilical
tukar komplikasi dengan NaCl selama 3. mencegah aspirasi
30 menit sebelum 4. mencegah hipotermi
melakukan tindakan 5. mencegah tertukarnya
3. Puasakan neonatus 4 darah dan reaksi
jam sebelum tranfusi yang
tindakan berlebihan 0
4. Pertahankan suhu 6. Meningkatkan

17
tubuh sebelum, kewaspadaan
selama dan setelah terhadap komplikasi
prosedur dan dapat melakukan
5. Catat jenis darah ibu tindakan lebih dini
dan Rhesus 7. dapat melakukan
memastikan darah tindakan segera bila
yang akan terjadi kegawatan
ditranfusikan adalah
darah segar
6. Pantau tanda-tanda
vital, adanya
perdarahan,
gangguan cairan dan
elektrolit, kejang
selama dan sesudah
tranfusi
7. Jamin ketersediaan
alat-alat resusitatif

18
19

Anda mungkin juga menyukai