Disusun Oleh:
Ari Aprianto, S.Ked 1810211168
Pembimbing:
Dr. Didiet Pratignyo, Sp.PD, FINASIM
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan berkah-Nya
penulis dapat menyelesaikan laporan kasus kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit
Dalam di RSUD Kota Cilegon yang berjudul “Chronic Kidney Injury on HD
Anemia Anemia Hipotensi Gastrohipotermia”
Tujuan dari penyusunan laporan kasus ini adalah untuk memenuhi tugas
yang didapat saat kepaniteraan di RSUD Cilegon. Dari laporan kasus ini saya
mendapat banyak hal dan dapat lebih memahami terapi dan keadaan pasien.
Dalam menyusun laporan kasus ini tentunya tidak lepas dari pihak-pihak yang
membantu saya. Saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
Dr. Didiet Pratignyo, Sp.PD FINASIM atas bimbingan, saran, kritik dan
masukannya dalam menyusun laporan kasus ini. Saya juga mengucapkan terima
kasih kepada orangtua yang selalu mendoakan dan teman-teman serta pihak-pihak
yang telah mendukung dan membantu dalam pembuatan laporan kasus ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan laporan kasus
ini, kesalahan dan kekurangan tidak dapat dihindari, baik dari segi materi maupun
tata bahasa yang disajikan. Untuk itu penulis memohon maaf atas segala
kekurangan dan kekhilafan yang dibuat. Semoga laporan kasus ini dapat
bermanfaat, khususnya bagi penulis dan pembaca dalam memberikan sumbang
pikir dan perkembangan ilmu pengetahuan di dunia kedokteran.
Akhir kata, dengan mengucapkan Alhamdulillah, semoga Allah SWT
selalu merahmati kita semua.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
PENDAHULUAN ...................................................................................................
1
IDENTIFIKASI KASUS .........................................................................................
2
RESUME ...............................................................................................................
13
FOLLOW UP .........................................................................................................
16
ANALISA KASUS ................................................................................................
20
TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................
25
KESIMPULAN ......................................................................................................
42
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................
43
iii
PENDAHULUAN
I. Identitas Pasien
Nama : Tn. J
Agama : Islam
No. CM : 01-**-**
Pembiayaan : BPJS
o Keluhan Utama:
Pasien mengeluh nyeri pada luka di kaki kanan.
o Keluhan Tambahan:
Pasien mengeluh lemas 5 hari SMRS, nyeri kepala (+), mual (+),
muntah (-), demam (-), kesemutan dan baal pada kaki (+), bernanah (+)
sedikit, bau (-), sudah pernah dilakukan debridement pada 1 Mei, mata buram
(+), mudah lapar (+), sering BAK (+), mudah haus (+).
- Riwayat penyakit DM sejak 8 tahun yang lalu saat terdapat ulkus pada kaki
pasien, dan pasien belum mengetahui terdapat DM sebelumnya. Pasein
sebelumnya memiliki pola diet yang kurang sehat, yaitu sering
mengkonsumsi minuman kemasan dan makanan tinggi lemak, pasien juga
mengalami penurunan berat badan sebelumnya.
3
- Riwayat luka di kaki sebelumnya (+) pada tahun 2011 sudah dilakukan
debridement, dan pada tahun 2017 dilakukan amputasi
pada metatarsophalangeal I sinistra.
o Anamnesis Sistem:
Tanda checklist (+) menandakan keluhan pada sistem tersebut. Tanda strip (-)
menandakan keluhan di sistem tersebut disangkal oleh pasien.
1. Kepala
(-) Trauma (+) Nyeri kepala
(-) Sinkop (-) Nyeri sinus
2. Mata
(-) Nyeri (-) Sekret
(-) Radang (-) Gangguan penglihatan
(-) Sklera Ikterus (+) Penurunan ketajaman
penglihatan
(+) Conjungtiva Anemis
3. Telinga
(-) Nyeri (-) Tinitus
(-) Sekret (-) Gangguan pendengaran
4
(-) Kehilangan pendengaran
4. Hidung
(-) Trauma (-) Gejala penyumbatan
(-) Nyeri (-) Gangguan penciuman
(-) Sekret (-) Pilek
(-) Epistaksis
5. Mulut
(-) Bibir (-) Lidah
(-) Gusi (-) Gangguan pengecapan
(-) Selaput (-) Stomatitis
6. Tenggorokan
Leher
(-) Nyeri tenggorok (-) Perubahan suara
7.
8. Dada (Jantung/Paru)
(-) Nyeri dada (+) Sesak nafas
(-) Berdebar-debar (-) Batuk darah
(-) Ortopnoe (-) Batuk kering
9. Abdomen
(-) Rasa kembung (-) Perut membesar
(+) Mual (-) Wasir
(-) Muntah (-) Mencret
5
(-) Muntah darah (-) Melena
(-) Sukar menelan (-) Tinja berwarna dempul
(-) Nyeri perut (-) Benjolan
12. Ekstremitas
(+) Ulkus (-) Deformitas
(-) Nyeri sendi (-) Sianosis
13. Kulit
(+) Pus /Nanah (-) Rambut (-) Keringat malam
(-) Kuku (-) Ikterus (-) Sianosis
6
VITAL SIGNS:
- Kesadaran : Compos mentis
- Keadaan Umum : Sakit sedang
- Tekanan Darah : 140/70 mmHg
- Nadi : 76 kali/menit, regular
- Respirasi : 20 kali/menit
- Suhu : 37,30 C
- Saturasi Oksigen : 97%
STATUS GENERALIS
Kepala
Bentuk kepala normal, simetris.
Ø Rambut
Hitam & putih, lebat, tidak mudah dicabut.
Ø Alis
Hitam, tumbuh lebat, tidak mudah dicabut.
Mata
Pupil bulat isokor, konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik -/-,
eksoftalmus -/-, RCL +/+, RTCL +/+, tidak terdapat benda asing.
Hidung
Tidak terdapat nafas cuping hidung, septum tidak deviasi, tidak ada
sekret, dan tidak hiperemis.
Telinga
Bentuk normal, liang telinga luas, tidak ada sekret, tidak ada darah,
tidak ada tanda radang.
Leher
Tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening pada submentalis,
pre-aurikula, post-aurikula, oksipital, sternokleidomastoideus, dan
supraklavikula. Tidak terdapat pembesaran tiroid, trakea tidak deviasi.
Thoraks
Simetris kiri dan kanan, tidak terdapat retraksi sela iga.
Paru-paru
a. Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris kanan dan kiri
tidak terdapat retraksi
7
b. Palpasi : Massa(-), krepitasi (-), fremitus taktil simetris,
fremitus vokal simetris
c. Perkusi : Sonor pada seluruh lapangan paru kanan dan kiri
d. Auskultasi : VBS +/+, ronkhi -/- dan wheezing -/-
Jantung
a. Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
b. Palpasi : Iktus kordis teraba di sela iga V linea midklavikula
sinistra
c. Perkusi : Batas jantung normal, batas kanan atas ICS II
parasternalis dextra, batas kanan bawah ICS IV parasternalis
dextra, batas kiri atas ICS II parasternalis sinistra, batas kiri bawah
ICS IV midclavicularis sinistra
d. Auskultasi : Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-) dan gallop
(-)
Abdomen
a. Inspeksi : Tampak simetris, tidak terdapat kelainan kulit, tidak
ditemukan adanya spider nevy, tidak ada pelebaran vena.
b. Auskultasi : Bising usus (+), bising aorta abdominalis tidak
terdengar.
c. Palpasi : Supel, turgor baik, nyeri tekan epigastrium(+),
massa(-), hepatomegali(-), splenomegali(-), ballotement
(-), undulasi(-).
d. Perkusi : Suara timpani di keempat kuadran, shifting dullness
(-).
Ekstremitas
Akral hangat(+), edema (-) pada tungkai bawah
8
STATUS LOKALIS
Terdapat ulkus pada sebagian plantar dan dorsum pedis dextra, nanah (+),
bau (-), nyeri sedikit (+), edema (-), kesemutan dan baal (+).
9
Jumlah Leukosit 28,01 (H) 23,13 (H) 17,36 (H) 19,8 (H)
Jumlah Trombosit 618 (H) 612 (H) 608 (H) 600 (H)
Hemostasis 19/6/19
Masa Perdarahan 2
Masa Pembekuan 11
Imunoserologi 19/6/19
HbSAg Non Reaktif
Anti HIV Non Reaktif
10
Berat Jenis 1,030
pH 6
Protein -
Glukosa -
Keton -
Darah -
Bilirubin -
Nitrit -
Urobilinogen -
Sedimen
Leukosit 5-10
Eritrosit 0-1
Silinder -
Sel epitel 1+
Kristal Amorf 3+
Bakteria -
b. Sleeding Scale
Tanggal Jam GDS
24/6/19 06.00 92
24.00 259 (Novorapid 8 unit)
25/6/19 06.00 91
26/6/19 06.00 92
28/6/19 01.00 155
11
c. EKG
Interpretasi EKG :
• Irama : Sinus, Reguler
• HR : 72 kali/menit
• R-R : Reguler
• Gel T : Peak and Tall T
d. USG DOPPLER
Konklusi
• Sistem arteri : Artherosklerosis a. femoralis, a. tibialis anterior dan
posterior kanan serta a. dorsalis pedis dengan stenosis bermakna (7090%)
pada a. femoralis, a. poplitea, a. tibialis anterior dan posterior stenosis
bermakna (50-60%) pada a. dorsalis pedis.
• Sistem vena : Suspek gambaran insufisiensi katup (CVI) setinggi v.
poplitea kanan.
V. Resume
Pasien Tn. J berusia 61 tahun dateng ke RSUD Cilegon dengan keluhan
nyeri luka pada kaki sebelah kanan. Keluhan tambahan didapatkan mual dan
sakit kepala disertai badan lemas. Awalnya terdapat luka kecil yang tidak
diketahui penyebabnya di sekitar jari kelima kaki kanan, sudah dilakukan
debridement di RSUD Cilegon pada bulan Mei namun luka semakin meluas
sampai hampir sebagian kaki kanan pasien. Sakit kepala (+), mual (+),
12
muntah (-), demam (-), mudah lapar (+), sering BAK (+), mudah haus (+).
Pada pemeriksaan fisik ditemukan TD : 140/70, denyut nadi : 76 kali/menit,
frekuensi napas : 20 kali/menit, suhu : 37,30 C. Status lokalis terdapat ulkus
pada sebagian plantar dan dorsum pedis dextra, nanah (+), bau (-), nyeri
sedikit (+), edema (-), kesemutan dan baal (+). BAB normal, BAK lancar,
warna kuning, darah (-), batu (-). Riwayat DM sejak 8 tahun yang lalu,
diketahui saat terdapat luka pada kaki pasien, dan tidak diketahui
sebelumnya, dan juga pasien mengalami penurunan berat badan. Pada
pemeriksaan laboratorium didapatkan leukosistosis, anemia, hiponatremi,
hipoalbumin, serta terdapat stenosis pada beberapa arteri pedis dextra. Dari
hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, maka
pasien didiagnosa dengan Diabetes Melitus Tipe II dengan Ulkus
Diabetikum pada Kaki.
VII. Diagnosis
Diabetes Melitus tipe II dengan Komplikasi Ulkus Diabetikum stadium V
13
• Inj. Ranitidine 2x1 IV • Obs TTV dan KU
• Inj. Ketorolac 3x1 IV • Monitor tanda-tanda dehidrasi
• Inj. Ondansetron 2x1 IV • Monitor urin output
• PO. Metronidazole drip • Monitor asupan oral
3x500mg • Cek GDS / 24jam
• PO. Kapsul garam 3x1 tab • Ganti Verban 2 kali / hari
• PO. Prorenal 3x1 tab • Diet DM 1700 kkal
• Rawat Inap Farmakologis :
• IVFD Nacl 25 tpm
• Inj. Cefotaxim 2x1
• Inj. Ranitidine 2x1
• Inj. Ketorolac 3x1
• Inj. Ondansetron 2x1
• Inj. Metronidazole 3x500mg
• PO. Prorenal 3x1
• PO. Kapsul Garam 3x1
• PO. Bicnat 3x1
• PO. Spironolakton 1x12,5mg
• PO. Aspilet 1x80mg
X. Prognosis
- Quo ad vitam : dubia ad bonam
- Quo ad functionam : dubia ad malam
- Quo ad sanactionam : dubia ad malam
14
Follow Up 25 Juni 2019
S O A P
Pasien KS: CM DM II dengan IVFD Nacl 20 tpm
mengeluh TD: 130/70 komplikasi Inj. Cefotaxim
nyeri pada
luka di kaku N: 92x/menit ulkus 2x1
kanannya, RR: 20x/menit diabetikum + Inj. Ranitidine 2x1
mual (+), 0
S: 36,9 C AKI dd acute Inj. Ketorolac 3x1
muntah (+),
pusing (+), Kepala: Normocephal on CKD + k/p
lemas(+) Mata: CA +/+ SI -/- Hipertensi + Inj. Ondansetron
THT: DBN Anemia + 2x1
Wajah: DBN Hiponatremi Inj. Metronidazole
Cor: S1-S2 reguler, G (-), 3x500mg
M (-) Inj. Tramadol 2x1
Pulmo: VBS +/+, rh -/-, Inj. Antrain 3x1
wh -/- PO. Prorenal 3x1
Abd: Supel, BU (+), NTE PO. Kapsul
(+) Garam 3x1
Eks: Akral hangat (+), PO. Bicnat 3x1
pus (+), ulkus diabetikum PO. Spironolakton
dorsum dan plantar pedis 1x12,5mg
dextra Cek GDS / 24 jam
GV 2x
Input cairan: 2200
Output cairan: 1800
Balance cairan:
+300
15
nyeri pada N: 92x/menit ulkus Inj. Cefotaxim
luka di kaku RR: 16x/menit diabetikum + 2x1
kanannya,
mual (-), S: 36,80 C AKI dd acute Inj. Ranitidine 2x1
muntah (-), Kepala: Normocephal on CKD + Inj. Ketorolac 3x1
pusing (-),
Mata: CA +/+ SI -/- Anemia + k/p
lemas(-),
post THT: DBN Hipertensi + Inj. Ondansetron
amputasi Hiponatremi + 2x1
Wajah: DBN
pedis dextra post amputasi
Cor: S1-S2 reguler, G (-), pedis dextra Inj. Metronidazole
M (-) 3x500mg
Pulmo: VBS +/+, rh -/-, Inj. Tramadol 2x1
wh -/- Inj. Antrain 3x1
Abd: Supel, BU (+), NTE PO. Prorenal 3x1
(+) PO. Kapsul
Eks: Akral hangat (+), Garam 3x1
post amputasi pedis PO. Bicnat 3x1
dextra PO. Spironolakton
1x12,5mg
Cek GDS / 24 jam
GV 2x
Input cairan: 2000
Output cairan: 1700
Balance cairan:
+300
16
muntah (-), Mata: CA +/+ SI -/- Anemia + Inj. Ondansetron
pusing (-), THT: DBN 2x1
Hipertensi +
lemas(-),
Wajah: DBN Hiponatremi + Inj. Metronidazole
post
post amputasi
amputasi Cor: S1-S2 reguler, G (-), pedis dextra 3x500mg
pedis dextra
M (-) Inj. Tramadol 2x1
Pulmo: VBS +/+, rh -/-, Inj. Antrain 3x1
wh -/- PO. Prorenal 3x1
Abd: Supel, BU (+), NTE PO. Kapsul
(+) Garam 3x1
Eks: Akral hangat (+), PO. Bicnat 3x1
post amputasi pedis PO. Spironolakton
dextra 1x12,5mg
PO. Aspilet
1x80mg
Cek GDS / 24 jam
GV 2x
Input cairan: 2800
Output cairan: 1500
Balance cairan:
+300
ANALISA KASUS
18
anamnesis juga pasien tidak mengetahui penyebab luka pada kakinya
tersebut.
Ø Pemeriksaan Fisik
• Kaki terasa kesemutan dan baal
• Terdapat ulkus pada kaki kanan pasien
Ø Pemeriksaan Penunjang
• Terdapat peningkatan leukosit
• Terdapat peningkatan glukosa darah sewaktu pada pasien yaitu 259
(>200) pada tanggal 24 Juni 2019 pukul 24.00, mudah lapar, sering
BAK, mudah haus, dan penurunan berat badan
• Ulkus diabetikum grade V karena ulkus terdapat pada hampir seluruh
kaki.
20
Tingkat 0
Tidak ada ulserasi tetapi beresiko tinggi untuk menjadi kaki
diabetik. Penderita dalam kelompok ini perlu mendapat perhatian
khusus. Pengamatan berkala dan perawatan kaki yang baik serta
penyuluhan penting untuk mencegah ulserasi.
Tingkat 1
Ulkus superfisial tanpa infeksi disebut juga ulkus Neuropatik. Oleh
karena itu lebih sering ditemukan pada daerah kaki yang banyak
mengalami tekanan berat badan yaitu didaerah ibu jari kaki dan plantar.
Sering terlihat adalnya kallus.
Tingkat 2
Ulkus dalam disertai sellulitis tanpa absess atau kelainan tulang.
Adanya ulkus dalam sering disertai infeksi tetapi tanpa adanya kelainan
tulang.
Tingkat 3 Ulkus dalam disertai kelainan kulit dan abses luar yang
dalam Tingkat 4
Gangren terbatas. Yaitu hanya pada ibu jari kaki, tumit. Penyebab
utama adalah iskemik. Oleh karena itu, ulkus iskemi terbatas pada
daerah tertentu.
Tingkat 5
Gangren seluruh kaki. Biasanya oleh karena sumbatan arteri besar
tetapi juga ada kelainan neuropati dan infeksi.
21
6. Mengapa pasien ini terdapat hipoalbumin?
Hipoalbumin pada pasien ini terjadi bukan karena dari penurunan sintesis
albumin saja tetapi melibatkan proses multifactorial seperti sintesis,
pemecahan, kebocoran ke ruang ekstravaskuler dan asupan protein. Dalam
hal ini kebocoran albumin melalui kapiler merupakan penyebab
hipoalbumin yang penting dalam kasus ulkus diabetikum.
22
Ø Hiperfiltrasi masih dianggap sebagai awal dari mekanisme patogenik
dalam laju kerusakan ginjal. Pada stadium paling dini penyakit ginjal
kronik, terjadinya kehilangan daya cadang ginjal, pada keadaan LFG
masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan akan
terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif yang ditandai dengan
peningkatan kada urea dan kreatinin serum.
Ø Hiperglikemi juga menyebabkan terjadinya peningkatan dari ekspresi
Transforming Growth Factor 𝛽 (TGF- 𝛽) pada glomerulus dan matriks,
serta adanya Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) yang
berkontribusi terhadap hipertrofi, meningkatkan sintesis kolagen, dan
menginduksi perubahan vaskular. Aktivasi protein C kinase akibat
hiperglikemi juga berkontribusi terhadap penyakit ginjal dan berbagai
komplikasi vaskular diabetes.
9. Apa hubungan DM tipe II dengan hipertensi pada pasien ini? Salah satu
komplikasi makroangiopati diabetes dapat terjadi karena perubahan kadar
gula darah, gula darah yang tinggi akan menempel pada dinding pembuluh
darah. Selain itu terjadi proses oksidasi dimana gula darah bereaksi dengan
protein dari dinding pembuluh darah sehingga menimbulkan Advanced
Glycosylated Endproducts (AGEs). Keadaan ini merusak dinding bagian
dalam dari pembuluh darah, dan menarik kolesterol menempel pada dinding
pembuluh darah, sehingga reaksi inflamiasi terjadi. Leukosit, trombosit,
serta bahan lainnya ikut menyatu menjadi bekuan plak, yang membuat
aterosklerosis dan akhirnya timbul hipertensi.
23
Tergantung dari kepatuhan pasien dalam berobat dan perawatan luka
24
TINJAUAN PUSTAKA
26
dari arteri femoralis profunda, arteri poplitea, arteri tibialis dan arteri
digitalis pedis. Akibatnya perfusi jaringan distal dari tungkai menjadi
kurang baik dan timbul ulkus yang kemudian dapat berkembang menjadi
nekrosis/gangren yang sangat sulit diatasi dan tidak jarang memerlukan
amputasi (Soetjahjo. 1998).
Perubahan viskositas darah dan fungsi trombosit, penebalan
membrana basalis serta penurunan produksi prostasiklin (vasodilator dan
anti platelet aggregating agent) akan memacu terbentuknya mikrotrombus
dan penyumbatan mikrovaskuler. Peristiwa ini mengakibatkan timbulnya
iskemia organ dan/atau jaringan yang bersangkutan, termasuk serabut saraf
perifernya (Soetjahjo. 1998).
Proses angiopati menyebabkan sumbatan arteri yang berlangsung
secara kronik hingga menimbulkan gejala klinik yang menurut Fontaine
dibagi menjadi stadium sebagai berikut: I. rasa kram/kebal, II. claudicatio
intermitten, III. resting pain, IV. iskemia/infark dan/atau gangren
(Soetjahjo. 1998).
2. Neuropati
Gangguan mikrosirkulasi dan neuropati punya hubungan yang erat
dengan patogenesis kaki diabetik. Neuropati diabetik pada fase awal
menyerang saraf halus terutama di ujung-ujung kaki. Hal ini disebut
sebagai fenomena dying back, di mana ada teori yang menyatakan bahwa
semakin panjang saraf maka semakin rentan untuk diserang. Jadi
dibandingkan dengan ekstremitas atas, ternyata ekstremitas bawah yang
lebih dulu terkena (Soetjahjo. 1998).
Gangguan mikrosirkulasi selain menurunkan aliran darah dan hantaran
oksigen pada serabut saraf (keadaan ini bersama dengan proses jalur
sorbitol dan mekanisme lain akan mengakibatkan neuropati) juga akan
menurunkan aliran darah ke perifer sehingga aliran tidak cukup dan
menyebabkan iskemia dan bahkan gangren (Soetjahjo. 1998).
Neuropati diabetik disebabkan oleh gangguan jalur poliol akibat
kekurangan insulin. Pada jaringan saraf, terjadi penimbunan sorbitol dan
fruktosa serta penurunan kadar mioinositol yang menimbulkan neuropati.
Perubahan biokimia dalam jaringan saraf akan mengganggu kegiatan
metabolik sel-sel Schwann dan menyebabkan hilangnya akson. Kecepatan
konduksi motorik akan berkurang pada tahap dini perjalanan neuropati.
27
Selanjutnya timbul nyeri, parestesia, berkurangnya sensasi getar dan
proprioseptik, dan gangguan motorik yang disertai hilangnya refleks-
refleks tendon dalam, kelemahan otot, dan atrofi. Neuropati dapat
menyerang sarafsaraf perifer (mononeuropati dan polineuropati), saraf-
saraf kranial, atau sistem saraf otonom. T erserangnya sistem saraf otonom
dapat disertai diare nokturnal, keterlambatan pengosongan lambung
dengan gastroparesis, hipotensi postural, dan impotensi. Pasien dengan
neuropati otonom diabetik dapat menderita infark miokardial akut tanpa
nyeri. Pasien ini juga dapat kehilangan respons katekolamin terhadap
hipoglikemia dan tidak menyadarireaksi-reaksi hipoglikemia (Soetjahjo.
1998).
a) Neuropati motorik
Kerusakan saraf motorik akan menyebabkan atrofi otot-otot
intrinsik yang menimbulkan kelemahan pada kaki dan keterbatasan
gerak sendi akibat akumulasi kolagen di bawah dermis hingga terjadi
kekakuan periartikuler. Deformitas akibat atrofi otot dan keterbatasan
gerak sendi menyebabkan perubahan keseimbangan pada sendi kaki,
perubahan cara berjalan, dan menimbulkan titik tumpu baru pada
telapak kaki serta berakibat pada mudahnya terbentuk kalus yang tebal
(claw foot). Seiring dengan berlanjutnya trauma, di bagian dalam
kalus tersebut mudah terjadi infeksi yang kemudian berubah jadi ulkus
dan akhirnya gangren (Soetjahjo. 1998).
Charcot foot merupakan deformitas kaki diabetik akibat neuropati
yang klasik dengan 4 tahap perkembangan (Soetjahjo. 1998):
1) Adanya riwayat trauma ringan disertai kaki panas, merah dan
bengkak.
2) Terjadi disolusi, fragmentasi, dan fraktur pada persendian
tarsometatarsal.
3) Terjadi fraktur dan kolaps persendian.
4) Timbul ulserasi plantaris pedis.
b) Neuropati sensorik
Kehilangan fungsi sensorik menyebabkan penderita kehilangan
daya kewaspadaan proteksi kaki terhadap rangsangan dari luar. Nilai
ambang proteksi dari kaki ditentukan oleh normal tidaknya fungsi
saraf sensoris kaki. Pada keadaan normal sensasi yang diterima
28
menimbulkan refleks untuk meningkatkan reaksi pertahanan dan
menghindarkan diri dari rangsangan yang menyakitkan dengan cara
mengubah posisi kaki untuk mencegah terjadinya kerusakan yang
lebih besar. Sebagian impuls akan diteruskan ke otak dan di sini sinyal
diolah kemudian respon dikirim melalui saraf motorik (Soetjahjo.
1998).
29
3. Fokus infeksi
Infeksi dimulai dari kulit kaki dan dengan cepat menyebar melalui
jalur muskulofasial. Selanjutnya infeksi menyerang kapsul/sarung tendon
dan otot, baik pada kaki maupun pada tungkai hingga terjadi selulitis. Kaki
diabetik klasik biasanya timbul di atas kaput metatarsal pada sisi plantar
pedis. Sebelumnya, di atas lokasi tersebut terdapat kalus yang tebal dan
kemudian menyebar lebih dalam dan dapat mengenai tulang. Akibatnya
terjadi osteomielitis sekunder. Sedangkan kuman penyebab infeksi pada
penderita diabetes biasanya multibakterial yaitu gram negatif, gram positif,
dan anaerob yang bekerja secara sinergi (Soetjahjo. 1998).
Infeksi sering berlangsung agresif dan cepat meluas serta mudah
terbentuk gangren yang selanjutnya merupakan ancaman hilangnya kaki.
Di samping itu, 50% dari kasus ulkus/gangren diabetes akan mengalami
infeksi akibat munculnya lingkungan gula darah yang subur untuk
berkembangnya bakteri patogen (Soetjahjo. 1998).
Jika kadar gula darah tidak terkontrol maka infeksi akan jadi lebih
serius. Hal ini disebabkan karena pada infeksi akan disekresi hormon
kontra insulin (seperti katekolamin, kortisol, homon pertumbuhan, dan
glukagon) yang menyebabkan meningkatnya kadar gula darah.
Peningkatan kadar gula darah juga menyebabkan gagalnya fungsi neutrofil
dan gangguan sistem imunologi. Sebagaimana diketahui, dalam
melaksanakan fagositosis sel PMN membutuhkan energi dari glukosa
eksogen untuk mempertahankan aktivitasnya. Dengan bantuan insulin
yang melekat erat pada sel PMN, glukosa ekstrasel dapat dipakai sebagai
sumber energi. Sumber energi ini akan berkurang pada pasien diabetes
yang mengalami kekurangan insulin (Soetjahjo. 1998).
30
5. Tatalaksana Ulkus Diabetikum A. Pencegahan Primer
Pencegahan primer meliputi pencegahan terjadinya kaki diabetik
dan terjadinya ulkus, bertujuan untuk mencegah timbulnya perlukaan
pada kulit. Pencegahan primer ini juga merupakan suatu upaya edukasi
kepada para penyandang DM baik yang belum terkena kaki diabetik,
maupun penderita kaki diabetik untuk mencegah timbulnya luka lain
pada kulit (Waspadji. 2015).
Keadaan kaki penyandang DM digolongkan berdasarkna risiko
terjadinya dan risiko besarnya masalah yang mungkin timbul.
Penggolongan kaki diabetik berdasarkan risiko terjadinya masalah
(Frykberg) yaitu (Waspadji. 2015):
1) Sensasi normal tanpa deformitas
2) Sensasi normal dengan deformitas atau tekanan plantar tinggi
3) Insensitivitas tanpa deformitas
4) Iskemia tanpa deformitas
5) Kombinasi/complicated
a) Kombinasi insensitivitas, iskemia, dan/atau deformitas
b) Riwayat adanya tukak, deformitas Charcot.
Pengelolaan kaki diabetik terutama ditujukan untuk pencegahan
terjadinya tukak, disesuaikan dengan keadaan risiko kaki. Berbagai
31
usaha pencegahan dilakukan sesuai dengan tingkat besarnya risiko
tersebut. Dengan memberikan alas kaki yang baik, berbagai hal terkait
terjadinya ulkus karena faktor mekanik akan dapat dicegah (Waspadji.
2015).
Penyuluhan diperlukan untuk semua kategori risiko tersebut. Untuk
kaki yang insensitif, alas kaki perlu diperhatikan benar, untuk
melindungi kaki yang insensitif tersebut. Jika sudah ada deformitas,
perlu perhatian khusus mengenai alas kaki yang dipakai, untuk
meratakan penyebaran tekanan pada kaki. Untuk kasus dengan
permasalahan vaskular, latihan kaki perlu diperhatikan benar untuk
memperbaiki vaskularisasi kaki. Untuk ulkus yang complicated, akan
dibahas lebih lanjut pada upaya pencegahan sekunder (Waspadji. 2015).
B. Pencegahan Sekunder
Dalam pengelolaan kaki diabetik, kerja sama multi-disipliner
sangat diperlukan. Berbagai hal yang harus ditangani dengan baik agar
diperoleh hasil pengelolaan yang maksimal dapat digolongkan sebagai
berikut, dan semuanya harus dikelola bersama (Waspadji. 2015).
1. Mechanical control (pressure control)
Kaki diabetik terjadi oleh karena adanya perubahan
weightbearing area pada plantar pedis. Daerah-daerah yang
mendapat tekanan lebih besar tersebut akan rentan terhadap
timbulnya luka. Berbagai cara untuk mencapai keadaan weight-
bearing dapat dilakukan antara lain dengan removable cast walker,
total contant casting, temporary shoes, felt padding, crutches,
wheelchair, electric carts, maupun cradled insoles (Waspadji.
2015).
Berbagai cara surgikal juga dapat dipakai untuk
mengurangi tekanan pada luka, seperti dekompresi ulkus/abses
dengan insisi abses dan prosedur koreksi bedah (misalnya operasi
untuk hammer toe, metatarsal head resection, Achilles tendon
lengthening, dan partial calcanectomy) (Waspadji. 2015).
2. Wound control
Perawatan luka sejak pertama kali pasien datang merupakan
hal yang harus dikerjakan dengan baik dan teliti. Evaluasi luka
harus dikerjakan secermat mungkin. Klasifikasi ulkus PEDIS
32
dilakukan setelah debridement yang adekuat. Debridement yang
baik dan adekuat akan sangat membantu mengurangi jaringan
nekrotik yang harus dikeluarkan tubuh, dengan demikian akan
sangat mengurangi produksi cairan/pus dari ulkus/gangren
(Waspadji. 2015).
Berbagai terapi topical dapat dimanfaatkan untuk
mengurangi mikroba pada luka, seperti cairan salin sebagai
pembersih luka, atau iodine encer, senyawa perak sebagai bagian
dari dressing, dll. Demikian pula berbagai cara debridement non
surgikal dapat dimanfaatkan untuk mempercepat pembersihan
jaringan nekrotik luka, seperti preparat enzim (Waspadji. 2015).
Selama proses inflamasi masih ada, proses penyembuhan
luka tidak akan beranjak pada proses selanjutnya, yaitu proses
granulasi dan epitelisasi. Untuk menjaga suasana kondusif bagi
kesembuhan luka, dapat pula dipakai kasa yang dibasahi dengan
salin. Cara tersebut saat ini umum dipakai di berbagai tempat
perawatan kaki diabetik (Waspadji. 2015).
3. Microbiological control (infection control)
Data mengenai pola kuman perlu diperbaiki secara berkala
untuk setiap daerah yang berbeda. Antibiotik yang dianjurkan
harus selalu disesuaikan dengan hasil biakan kuman dan
resistensinya. Sebagai acuan, dari penelitian tahun 2004 di RSUPN
dr. Cipto Mangunkusumo, umumnya didapatkan pola kuman yang
polimikrobial, campuran Gram positif dan Gram negatif serta
kuman anaerob untuk luka yang dalam dan berbau. Karena itu
untuk lini pertama pemberian antibiotik harus diberikan antibiotik
spektrum luas, mencakup kuman Gram positif dan negatif
(misalnya golongan sefalosporin), dikombinasikan dengan obat
yang bermanfaat terhadap kuman anaerob (misalnya metronidazol)
(Waspadji. 2015).
4. Vascular control
Keadaan vaskular yang buruk tentu akan menghambat
kesembuhan luka. Berbagai langkah diagnostik dan terapi dapat
dikerjakan sesuai keadaan dan kondisi pasien. Umumnya kelainan
pembuluh darah perifer dapat dikenali melalui berbagai cara
33
sederhana seperti warna dan suhu kulit, perabaan arteri dorsalis
pedis, arteri tibialis posterior, arteri poplitea, dan arteri femoralis,
serta pengukuran tekanan darah. Di samping itu, saat ini juga
tersedia berbagai fasilitas mutakhir untuk mengevaluasi keadaan
pembuluh darah dengan cara noninvasif maupun invasif dan
semiinvasif, seperti pemeriksaan ankle brachial index, ankle
pressure, toe pressure, TcPO2, dan pemeriksaan echo Doppler
serta arteriografi (Waspadji. 2015).
Setelah dilakukan diagnosis keadaan vaskularnya, dapat
dilakukan pengelolaan untuk kelainan pembuluh darah perifer dari
sudut vaskular, yaitu berupa (Waspadji. 2015):
Modifikasi Faktor Risiko
• Stop merokok
• Memperbaiki faktor risiko terkait aterosklerosis
(hiperglikemia, hipertensi, dislipidemia)
Terapi Farmakologis
Jika mengacu pada berbagai penelitian yang sudah dikerjakan
pada kelainan akibat aterosklerosis di tempat lain (jantung, otak),
mungkin obat seperti aspirin dan lain sebagainya yang jelas
dikatakan bermanfaat, akan bermanfaat pula untuk pembuluh darah
kaki penyandang DM; tetapi sampai saat ini belum ada bukti yang
cukup kuat untuk menganjurkan pemakaian obat secara rutin guna
memperbaiki patensi pada penyakit pembuluh darah kaki
penyandang DM.
Revaskularisasi
Jika kemungkinan kesembuhan luka rendah atau jika ada
klaudikasio intermiten yang hebat, tindakan revaskularisasi dapat
dianjurkan. Sebelum tindakan revaskularisasi, diperlukan
pemeriksaan angiografi untuk mendapatkan gambaran pembuluh
darah yang lebih jelas.
Untuk oklusi yang panjang dianjurkan operasi bedah pintas
terbuka. Untuk oklusi yang pendek dapat dipikirkan untuk prosedur
endovaskular (PTCA). Pada keadaan sumbatan akut dapat pula
dilakukan tromboarterektomi.
34
Dengan berbagai teknik bedah tersebut, vaskularisasi daerah
distal dapat diperbaiki, sehingga hasil pengelolaan ulkus
diharapkan lebih baik, sehingga kesembuhan luka tinggal
bergantung pada berbagai faktor lain yang turut berperan.
Selain itu, terapi hiperbarik dilaporkan juga bermanfaat untuk
memperbaiki vaskularisasi dan oksigenasi jaringan luka pada kaki
diabetik sebagai terapi adjuvant. Walaupun demikian, masih
banyak kendala untuk menerapkan terapi hiperbarik secara rutin
pada pengelolaan umum kaki diabetik.
5. Metabolic control
Keadaan umum pasien harus diperhatikan dan diperbaiki.
Kadar glukosa darah diusahakan agar selalu senormal mungkin,
untuk memperbaiki berbagai faktor terkait hiperglikemia yang
dapat menghambat penyembuhan luka. Umumnya diperlukan
insulin untuk menormalisasi kadar gula darah. Status nutrisi harus
diperhatikan dan diperbaiki. Nutrisi yang baik akan membantu
kesembuhan luka. Berbagai hal lain juga harus diperhatikan dan
diperbaiki, seperti kadar albumin serum, kadar Hb dan derajat
oksigenasi jaringan serta fungsi ginjal (Waspadji. 2015).
6. Educational control
Edukasi sangat penting untuk semua tahap pengelolaan kaki
diabetik. Dengan penyuluhan yang baik, penyandang DM dan
ulkus/gangren diabetik maupun keluarganya diharapkan akan dapat
membantu dan mendukung berbagai tindakan yang diperlukan
untuk kesembuhan luka yang optimal (Waspadji. 2015).
1. Fibrinolis
Fibrin yang terbentuk pada luka kronis dapat dengan cepat
dihilangkan (fibrinolitik) oleh netrofil dan sel endotel dalam
suasana lembab.
2. Angiogenesis
Keadaan hipoksi pada perawatan tertutup akan lebih meransang
cepat angiogenesis dan mutu pembuluh darah kapiler.
Angiogenesis akan bertambah dengan terbentuknya heparin dan
tumor necrosis factor- alpha (TNF-alpha).
3. Kejadian infeksi lebih rendah dibandingkan dengan perawatan
kering (2,6% vs 7,1%).
4. Pembentukan growth factor yang berperan pada proses
penyembuhan dipercepat pada suasana lembab.
5. Percepatan pembentukan sel aktif
6. Invasi netrofil yang diikuti oleh makrofag, monosit dan limfosit ke
daerah luka berfungsi lebih dini.
Menurut Wound Care Association waktu yang dibutuhkan selama
perawatan dalam penyembuhan ulkus diabetikum adalah 2-3 minggu
untuk stadium I, 3 minggu-2 bulan untuk stadium II, ≥2 bulan untuk
37
stadium III, dan 3-7 bulan untuk stadium IV. Meskipun ada taksiran
waktu dalam proses penyembuhan luka hal tersebut masih bersifat
relatif karena masih ada hal lain yang mempengaruhi, seperti keadaan
hygiene luka, terdapat infeksi luka atau tidak, penggantian balutan, serta
teraturnya pasien dalam melakukan perawatan luka (Yunus. 2015).
5. Jadwal perawatan luka
Dalam hal penyembuhan luka, perawatan luka sangatlah penting
karena mendorong kemajuan dari perkembangan penyembuhan luka.
Jadwal perawatan luka ditetapkan berdasarkan tingkat keparahan luka,
sebagai contoh dapat kita angkat dari sisi balutan misalnya saat lukanya
mengandung banyak eksudat penggantian balutan berselang 2 hari,
sedangkan luka yang mengandung sedikit ekdudat penggantian balutan
berselang 3-4 hari. Kepatuhan terhadap jadwal perawatan luka yang
telah ditetapkan oleh terapis merupakan salah satu langkah untuk
mempertahankan kondisi lingkungan luka yaitu tetap mempertahankan
suasana lembab pada luka bila dipandang dari sisi balutan luka (Yunus.
2015).
Luka yang terlampau lama dibalut tanpa penggantian balutan dapat
menimbulkan maserasi pada luka tersebut serta pada kulit, sedangkan
pada luka yang rentang waktu penggantian balutannya sangat dekat
dapat menyebabkan efektifitas topical teraphy pada luka tidak
maksimal. Terhadap jadwal perawatan pun dapat meningkatkan kontrol
terhadap ulkus diabetikum yang diderita serta edukasi terhadap pasien
dan keluarganya (Yunus. 2015).
38
8. Perawatan Kaki pada Penderita Diabetes Melitus
Seorang penderita DM harus selalu memperhatikan dan menjaga
kebersihan kaki, melatihnya secara baik walaupun belum terjadi komplikasi.
Jika tidak dirawat, khawatir suatu saat kaki penderita akan mengalami
gangguan peredaran darah dan kerusakan syaraf yang menyebabkan
berkurangnya sensitivitas terhadap rasa sakit, sehingga penderita mudah
mengalami cidera tanpa disadari (Hidayat & Nurhayati. 2014).
Di bawah ini ada beberapa langkah dalam melakukan perawatan kaki,
antara lain sebagai berikut (Hidayat & Nurhayati. 2014):
1. Area Pemeriksaan Kaki
a. Kuku jari: periksa adanya kuku tumbuh di bawah kulit (ingrown
nail), robekan atau retakan pada kuku
b. Kulit: periksa kulit di sela-sela jari (dari ujung hingga pangkal jari),
apakah ada kulit retak, melepuh, luka, atau perdarahan
c. Telapak kaki: Periksa kemungkinan adanya luka pada telapak kaki,
apakah terdapat kalus (kapalan), palantar warts, atau kulit telapak
kaki yang retak (fisura)
d. Kelembaban kulit: periksa kelembaban kulit dan cek kemungkinan
adanya kulit berkerak dan kekeringan kulit akibat luka
e. Bau: periksa kemungkinan adanya bau dari beberapa sumber pada
daerah kaki
2. Perawatan (mencuci dan membersihkan) kaki
a. Menyiapkan air hangat: uji air hangat dengan siku untuk mencegah
cedera
b. Cuci kaki dengan sabun yang lembut (sabun bayi atau sabun cair)
untuk menghindari cedera ketika menyabun.
c. Keringkan kaki dengan handuk bersih, lembut. Keringkan sela-sela
jari kaki, terutama sela jari kaki ke-3-4 dan ke-4-5.
d. Oleskan lotion pada semua permukaan kulit kaki untuk menghindari
kulit kering dan pecah pecah
e. Jangan gunakan lotion di sela- sela jari kaki. Karena akan
meningkatkan kelembapan dan akan menjadi media yang baik untuk
berkembangnya mikroorganisme (fungi).
3. Perawatan kuku kaki
39
a. Potong dan rawat teratur. Bersihkan hari pada waktu berikan cream
kuku secara kuku setiap mandi dan pelembab kuku.
b. Gunting kuku kaki lurus mengikuti bentuk normal jari kaki, tidak
terlalu pendek atau terlalu dekat dengan kulit, kemudian kikir agar
kuku tidak tajam. Jika ragu, Anda bisa meminta bantuan keluarga
atau dokter untuk memotong kuku Anda.
c. Hindarkan terjadinya luka pada jaringan sekitar kuku. Bila kuku
keras, sulit dipotong, rendam kaki dengan air hangat selama ± 5
menit.
4. Senam kaki pada penderita diabetes
Senam kaki dapat membantu memperbaiki peredaran darah yang
terganggu dan memperkuat otot-otot kecil kaki pada pasien diabetes
dengan neuropati. Selain itu dapat memperkuat otot betis dan otot
paha, mengatasi keterbatasan gerak sendi dan mencegah terjadinya
deformitas. Keterbatasan jumlah insulin pada penderita DM
mengakibatkan kadar gula dalam darah meningkat hal ini
menyebabkan rusaknya pembuluh darah, saraf dan struktur internal
lainnya sehingga pasokan darah ke kaki semakin terhambat, akibatnya
pasien DM akan mengalami gangguan sirkulasi darah pada kakinya.
40
KESIMPULAN