Anda di halaman 1dari 26

ABAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sistemik Lupus Eritematosus (SLE atau Lupus), adalah penyakit
multiorgan yang berdasarkan kelainan imunologik. Insidens LES pada anak
secara keseluruhan mengalami peningkatan, sekitar 15-17%. Penyakit LES
jarang terjadi pada usia di bawah 5 tahun dan menjelang remaja. Perempuan
lebih sering terkena dibanding laki-laki, dan rasio tersebut juga meningkat
seiring dengan pertambahan usia.
Mendiagnosis SLE pada anak juga tidaklah mudah. Pada banyak kasus,
dapat muncul gejala seperti demam, nyeri sendi, arthritis, ruam kulit, nyeri
otot, lelah, dan kehilangan berat badan yang nyata. Semua gejala ini tentunya
tidak spesifik. Dibutuhkan beberapa pemeriksaan laboratorium untuk
mendukung maupun menyingkirkan diagnosisnya. Diagnosis dini sangat
penting dalam menentukan terapi yang tepat untuk meminimalkan
kemungkinan komplikasi yang dapat timbul. SLE pada anak biasanya lebih
parah daripada pada orang dewasa, dari segi onset dan perjalanan penyakit.
Meskipun diagnosis dan terapi SLE sama untuk semua umur, namun ada
beberapa pertimbangan yang harus diperhitungkan dalam menangani anak
dengan SLE. Diantaranya keparahan penyakit, presentase penyakit,
pemeriksaan lab yang menunjang, imunisasi, faktor psikososial dari pasien
tersebut. Hal terpenting dalam menangani anak dengan SLE adalah bagaimana
terapi terbaik untuk pasien dengan mempertimbangkan keadaan fisik,
intelektual dan emosinya yang sedang berkembang. Pasien harus
diinformasikan mengenai perjalanan penyakitnya, pengobatan dan efek-efek
sampingnya, serta hasil pengobatan yang mungkin terjadi. Semua informasi
ini sebaiknya disampaikan kepada pasien dan keluarganya, tentunya
disesuaikan dengan usia pasien dan kemampuannya dalam mengerti tentang
pertumbuhannya, keadaan penyakitnya, serta kemampuan dalam mengambil
keputusan..

1
B. Tujuan Makalah
1. Untuk mengetahui pengertian Sistemik Lupus Eritematosus
2. Untuk mengetahui penyebab Sistemik Lupus Eritematosus
3. Untuk mengetahui klasifikasi dari Sistemik Lupus Eritematosus
4. Untuk mengetahui gejala dari Sistemik Lupus Eritematosus
5. Untuk mengetahui patofisiologi dari Sistemik Lupus Eritematosus
6. Untuk mengetahui penatalaksanaan yang diberikan pada Sistemik Lupus
Eritematosus
7. Untuk mengetahui pencegahan Sistemik Lupus Eritematosus
8. Untuk mengetahui komplikasi Sistemik Lupus Eritematosus
9. Untuk mengetahui penatalaksanaan yang diberikan pada Sistemik Lupus
Eritematosus
10. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang Sistemik Lupus Eritematosus
11. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada Sistemik Lupus Eritematosus

2
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Konsep Dasar Medis


1. Pengertian Sistemik Lupus Eritematosus
SLE (Sistemik Lupus Eritematosus) adalah suatu penyakit
autoimun akibat tubuh memproduksi antibodi berlebihan yang
menyerang jaringan tubuh sendiri di berbagai organ. Kerusakan organ
selanjutnya akan menyebabkan berbagai keluhan dan gejala. Penyakit
ini lebih banyak mengenai anak perempuan, dan angka kejadiannya
meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Pada anak, sebagian
besar penderita lupus berusia  9-15 tahun (masa pubertas).
Sistemik Lupus Eritematosus adalah sebuah penyakit autoimun
yang menyerang berbagai jaringan dan organ tubuh. Istilah ’lupus
eritematosus sistemik’ dapat diartikan secara bahasa sebagai ’gigitan
serigala’, mungkin istilah ini muncul dari adanya gejala klinis yaitu
ruam pada wajah penderita SLE yang perjalanan penyakitnya sudah
lama dan belum menda.pat terapi. Secara istilah, SLE dapat
didefinisikan sebagai suatu penyakit yang bersifat episodik,
multisistem dan autoimun ditandai dengan adanya proses inflamasi
yang meluas pada pembuluh darah dan jaringan ikat, serta munculnya
antinuklear-antibodi (ANA) pada pemeriksaan penunjang, terutama
antibodi untuk double-stranded DNA (dsDNA). Karena beragamnya
organ yang dapat terkena, dan karena sulitnya dalam menegakkan
diagnosis, SLE seringkali disebut sebagai penyakit seribu wajah
(masquerader, The Great Imitators).
Pada anak, insidens SLE mencapai 10-20 kasus per 100.000 anak
dan umumnya lebih sering ditemukan pada anak perempuan di atas
usia 10 tahun. Secara keseluruhan, gejala klinis pasien SLE, 15%-17%
timbul pada umur di bawah 16 tahun dengan puncak insidens pada

3
umur 10-14 tahunm sangat jarang muncul di bawah usia 4 tahun.
Insidens pasti SLE pada anak sulit ditentukan, (missed-diagnosis) (Sari
Pediatri, 2016).

2. Penyebab Sistemik Lupus Eritematosus


Sampai saat ini penyebab SLE belum diketahui. Diduga faktor
genetik, infeksi dan lingkungan ikut berperan pada patofisiologi SLE.
Sistem imun tubuh kehilangan kemampuan untuk membedakan
antigen dari sel dan jaringan tubuh sendiri. Penyimpangan reaksi
imunologi ini akan menghasilkan antibodi secara terus menerus.
Antibody ini juga berperan dalam pembentukan kompleks imun
sehingga mencetuskan penyakit inflamasi imun sistemik dengan
kerusakkan multiorgan. Dalam keadaan normal, sistem kekebalan
berfungsi mengendalikan pertahanan tubuh dalam melawan infeksi.
Faktor predisposisi dapat berperan dalam patogenesis terjadinya
penyakit ini. Diantara beberapa faktor predisposisi tersebut, sampai
saat ini belum diketahui faktor yang paling dominan berperan dalam
timbulnya penyakit ini. Berikut ini beberapa faktor predisposisi yang
berperan dalam timbulnya penyakit SLE menurut Musai (2010):
a. Faktor Genetik
Mempunyai peranan yang sangat penting dalam kerentanan
dan ekspresi penyakit SLE. Sekitar 10% – 20% pasien SLE
mempunyai kerabat dekat (first degree relative) yang menderita
SLE. Angka kejadian SLE pada saudara kembar identik (24-
69%) lebih tinggi daripada saudara kembar non-identik (2-9%).
Penelitian terakhir menunjukkan bahwa banyak gen   yang
berperan antara lain haplotip MHC terutama HLA-DR2 dan
HLA-DR3, komponen komplemen yang berperan pada fase awal
reaksi pengikatan komplemen yaitu C1q, C1r, C1s, C3, C4, dan
C2, serta gen-gen yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin,
dan sitokin (Albar, 2003) . Faktor genetik mempunyai peranan

4
yang sangat penting dalam kerentanan dan ekspresi penyakit
SLE. Sekitar 10% – 20% pasien SLE mempunyai kerabat dekat
(first degree relative) yang menderita SLE. Angka kejadian SLE
pada saudara kembar identik (24-69%) lebih tinggi daripada
saudara kembarn non-identik (2-9%).
b. Faktor Hormonal
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu
terjadinya LE. Beberapa studi menemukan korelasi antara
peningkatan risiko lupus dan tingkat estrogen yang tinggi. Studi
lain juga menunjukkan bahwa metabolisme estrogen yang
abnormal dapat dipertimbangkan sebagai faktor resiko terjadinya
SLE.
c. Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai
antigen yang bereaksi dalam tubuh dan berperan dalam
timbulnya SLE. Faktor lingkungan tersebut terdiri dari:
1) Infeksi virus dan bakteri
Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan
dalam timbulnya SLE. Agen infeksius tersebut terdiri dari
Epstein Barr Virus (EBV), bakteri Streptococcus dan
Clebsiella.
2) Paparan sinar ultra violet
Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem
imun, sehingga terapi menjadi kurang efektif dan penyakit
SLE dapat kambuh atau bertambah berat. Hal ini
menyebabkan sel pada kulit mengeluarkan sitokin dan
prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut
secara sistemik melalui peredaran pembuluh darah.
3) Stres
Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien
yang sudah memiliki kecenderungan akan penyakit ini. Hal

5
ini dikarenakan respon imun tubuh akan terganggu ketika
seseorang dalam keadaan stres. Stres sendiri tidak akan
mencetuskan SLE pada seseorang yang sistem
autoantibodinya tidak ada gangguan sejak awal.
4) Obat-obatan
Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka
waktu tertentu dapat menyebabkan Drug Induced Lupus
Erythematosus (DILE). Jenis obat yang dapat menyebabkan
DILE diantaranya kloropromazin, metildopa, hidralasin,
prokainamid, dan isoniazid. (Musai, 2010).

3. Patofisiologi Sistemik Lupus Eritematosus


Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang
menyebabkan peningktan auto antibodi yang berlebihan. Gangguan
imonoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor
genetik, hormonal (sebagian terbukti oleh awitan penyakit yang
biasanya terjadi pada selama usia reproduksi ) dan lingkungan (cahaya
matahari, luka bakar termal) obat-obat tertentu seperti hidralasin,
prokainamid, isoniasid, klorpromasin dan beberapa preparat anti
konsulfan disamping makanan seperti kecambah alfalfah turut terlibat
dalam penyakit SLE akibat senyawa kimia atau obat-obatan.
Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi
akibat fungsi sel-T supresor yang abnormal sehingga timbul
penumpukan kompleks bimun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan
menstimulasi antigen yang selanjutnya serangan antibodi tambahan
dan siklus tersebut berulang kembali.

6
4. Manifestasi Klinik Sistemik Lupus Eritematosus
a. Demam
Mengutip laman resmi Ikatan Dokter Anak Indonesia
(IDAI), anak dengan SLE sering datang ke rumah sakit dengan
keluhan demam ringan yang hilang dan timbul, namun dalam
tempo yang lama. Bahkan durasinya bisa berminggu-minggu dan
berbulan-bulan. Penyebabnya juga tak diketahui dengan jelas.
b. Sensitif Terhadap Cahaya
Cahaya yang dimaksud sinar ultraviolet seperti cahaya
dari matahari atau lampu neon. Dilansir laman Kid’s Health,
sebagian besar anak dengan SLE biasanya sensitif terhadap
cahaya, sehingga cahaya matahari dapat memperparah penyakit
mereka.
c. Selalu Merasa Letih
SLE membuat anak selalu merasa letih, tidak aktif dan
tampak malas beraktivitas. Anak selalu merasa lelah meski sudah
beristirahat lama.
d. Muncul ruam pada wajah dan sekujur tubuh
Ruam dapat muncul di wajah berbentuk seperti sayap
kupu-kupu atau yang disebut dengan butterfly rash (bercak
malar). Selain di wajah, IDAI juga menjelaskan, ruam sebagai
gejala lupus berbentuk bulat dan dapat muncul pada leher, lengan
dan tungkai. Jika ciri ini muncul pada si kecil, maka segeralah
bawa ia ke dokter, karena kemungkinan ia mengalami SLE.
e. Nyeri dan bengkak pada sendi
Anak sering mengeluh nyeri dan bengkak pada persendian,
umumnya di sendi-sendi besar seperti siku dan lutut.
f. Rambut rontok
Anak dengan SLE juga kerap mengalami kerontokan
rambut. Perhatikan jika rambut si kecil rontok lebih dari 100 helai
per hari, bawa ke dokter untuk pemeriksaan lebih lanjut.

7
g. Masalah Ginjal
Ginjal adalah salah satu organ yang diserang jika antibodi
diproduksi berlebihan. Masalah ginjal yang umum bisa ringan
atau parah, namun hanya setengah dari penderita mengalami
kerusakan ginjal permanen. Masalah ginjal ini ditandai dengan
bengkak pada kelopak mata dan tungkai bawah, serta lebih jarang
buang air kecil.

5. Pemeriksaan Penunjang Sistemik Lupus Eritematosus


a. Patologi Anatomi
a) Hasil yang didapatkan pada penderita SLE
b) Epidermis atrofi
c) Degenerasi pada junction dermal-epidermal
d) Dermis edema
e) Infiltrat limfositosis dermal
f) Degeneratif fibrinoid dari jaringan konektif dan dinding
pembuluh darah.
b. Imunofluoresensi Kulit
Pada tes imunofluoresensi langsung didapatkan antibodi
intraseluler tipe IgG dan C3. Pada tes imunofluoresensi secara
langsung didapatkan antibodi pemphigus tipe IgG. Tes pertama
lebih terpercaya daripada tes kedua, karena telah positif pada
penuaan penyakit. Kadar titernya pada umumnya sejajar dengan
beratnya penyakit dan akan menurun dan menghilang dengan
pengobatan kortikosteroid.
c. Serologi
Pemeriksaan serologi adalah pemeriksaan yang
menggunakan serum. Pemeriksaan serologi mempunyai hasil
yang sangat bervariasi tergantung pada respon imun saat
pemeriksaan laboratorium dilakukan dan lamanya kelainan yang

8
dialami penderita. Pada pemeriksaan ini, penderita SLE sering
menunjukkan hasil berupa:
a) ANA Positif
b) Anti double strand DNA antibodies
c) Anti-Sm antibodies dan rRNP antibodies specific
d) Anti-kardiolipin auto anti-bodi.
d. Hematologi
Penderita SLE akan menunjukkan hasil pemeriksaan
hematologi sebagai berikut:
a) Anemia
b) Limpopenia
c) Trombositopenia
d) Elevasi ESR
e) Urinalisasi
Akan menunjukkan hasil berupa:
 Proteinuria.

6. Pencegahan Sistemik Lupus Eritematosus


a. Terapkan pola hidup sehat pada anak dengan mengkonsumsi
makanan yang memiliki gizi seimbang
b. Hindari stress pada anak
c. Kurangi kontak langsung yang berlebihan dengan sinar matahari,
terutama pada siang hari pukul 10.00 – 12.00, anak SLE sensitif
pada sinar matahari kare itu dapat memperparah penyakitnya
d. Menghindari anak dari asap rokok

7. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Medis
Tujuan dari pengobatan SLE adalah untuk mengurangi
gejala penyakit, mencegah terjadinya inflamasi dan kerusakan
jaringan, memperbaiki kualitas hidup pasien, memperpanjang

9
ketahanan pasien, memonitor manifestasi penyakit, menghindari
penyebaran penyakit, serta memberikan edukasi kepada pasien
tentang manifestasi dan efek samping dari terapi obat yang
diberikan. Karena banyaknya variasi dalam manifestasi klinik
setiap individu maka pengobatan yang dilakukan juga sangat
individual tergantung dari manifestasi klinik yang muncul.
Pengobatan SLE meliputi terapi nonfarmakologi dan terapi
farmakologi (Herfindal et al., 2000).
1. Terapi Nonfarmakologi
a) Pada sinar matahari ketika akan beraktivitas di luar
rumah Delafuente, 2002). Gejala yang sering muncul
pada anak penderita SLE adalah lemah sehingga
diperlukan keseimbangan antara istirahat dan
aktivitasnya. Penggunaan sunblock (SPF 15) dan
menggunakan pakaian tertutup untuk anak penderita
SLE sangat disarankan untuk mengurangi paparan
sinar UV.
b) Diet Restriksi diet ditentukan oleh terapi yang
diberikan. Sebagian besar pasien memerlukan
kortikosteroid, dan saat itu diet yang diperbolehkan
adalah yang mengandung cukup kalsium, rendah
lemak, dan rendah garam.
c) Pasien SLE sebaiknya tetap beraktivitas normal.
Olahraga dan bermain tetap diperlukan anak untuk
mempertahankan densitas tulang dan berat badan
normal. Tetapi tidak boleh berlebihan karena lelah
dan stress sering dihubungkan dengan kekambuhan.
2. Terapi Farmakologi
a) NSAID
Merupakan terapi utama untuk manifestasi SLE
yang ringan termasuk salisilat dan NSAID yang lain

10
(Delafuente, 2002). NSAID memiliki efek antipiretik,
antiinflamasi, dan analgesik (Neal, 2002). NSAID
dapat dibedakan menjadi nonselektif COX inhibitor
dan selektif COX-2 inhibitor. Nonselektif COX
inhibitor menghambat enzim COX-1 dan COX-2 serta
memblok asam arakidonat. COX-2 muncul ketika
terdapat rangsangan dari mediator inflamasi termasuk
interleukin, interferon, serta tumor necrosing factor
sedangkan COX-1 merupakan enzim yang berperan
pada fungsi homeostasis tubuh seperti produksi
prostaglandin untuk melindungi lambung serta
keseimbangan hemodinamik dari ginjal. COX-1
terdapat pada mukosa lambung, sel endotelial
vaskular, platelet, dan tubulus collecting renal
(Katzung, 2002). Efek samping penggunaan NSAID
adalah perdarahan saluran cerna, ulser, nefrotoksik,
kulit kemerahan, dan alergi.
b) Obat lainnya
Obat-obat lain yang digunakan pada terapi
penyakit SLE antara lain adalah azatioprin, intravena
gamma globulin, monoklonal antibodi, terapi
hormon, mikofenolat mofetil dan pemberian
antiinfeksi.
b. Penatalaksanaan Keperawatan
1) Pendidikan terhadap pasien
Pasien diberikan penjelasan mengenai penyakit
yang dideritanya (perjalanan penyakit, komplikasi,
prognosis), sehingga dapat bersikap positif terhadap
penanggulangan penyakit.
2) Monitoring yang teratur
3) Penghematan energy

11
Pada kebanyakan pasien kelelahan merupakan
keluhan yang menonjol. Diperlukan waktu istirahat yang
terjadwal setiap hari dan perlu ditekankan pentingnya
tidur yang cukup.

4) Fotoproteksi
Kontak dengan sinar matahari harus dikurangi atau
dihindarkan. Dapat juga digunakan lotion tertentu untuk
mengurangi kontak dengan sinar matahari langsung.
5) Mengatasi infeksi
Pasien SLE rentan terhadap infeksi. Jika ada demam
yang tak jelas sebabnya, pasien harus memeriksanya. 

8. Komplikasi Sistemik Lupus Eritematosus


SLE adalah penyakit yang mengganggu sistem kekebalan,
sehingga banyak sistem atau jaringan tubuh lain yang mengalami
gangguan. Ada beberapa komplikasi yang mungkin terjadi pada anak
dengan SLE, yaitu:
a. Gagal Ginjal
b. Gangguan pada darah, seperti anemia
c. Vaskulitis, peradangan pada pembuluh darah
d. Kejang
e. Masalah pada paru-paru, contohnya peradangan pada selaput
paru-paru dan pneumonia
f. Mudah terserang berbagai penyakit infeksi.

12
B. Konsep Dasar Keperawatan
1. Pengkajian
a. Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik
di fokuskan pada gejala sekarang dan gejala yang pernah di
alami. Seperti keluhan mudah lelah, lemah, nyeri, kaku, demam
/ panas, anoreksia efek gejala tersebut terhadap gaya hidup
serta citra diri pasien.
b. Kulit
Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka
atau leher.
c. Kardiovaskuler
Friction rup perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi
pleura, lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi
nekrosis menunjukan gangguan vaskuler terjadi di ujung jari
tangan, siku, jari kaki dan permukaan ekstensor lengan bawah
atau sisi lateral tangan.
d. Sistem musculoskeletal
Pembengkakan sendi, nyeri tekan ketika bergerak, rasa kaku
pada pagi hari.
e.   Sistem integumen
Lesi akut pada kulit yang terdiri tas ruam yang berbentuk kupu-
kupu yang melintang pangkal hidung dan pipi.
f. Sistem pernapasan
Pleuritis atau efusipleura.
g. Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi
papuler, eritomatous dan parpura di ujung jari kaki, tangan,
siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral
tangan dan berlanjut nekrosit.
h. Sistem renal
Edema dan hematuria.

13
i. Sistem syaraf
Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-
kejang, korea atau manifestasi SPP lainnya.

14
3. Diagnosa Keperawatan
1) Gangguan Integritas Kulit/Jaringan
2) Nyeri Akut
3) Intoleransi Aktivitas
4) Pola Napas Tidak Efektif
5) Gangguan Tumbuh Kembang
6) Risiko Defisit Nutrisi

4. Intervensi keperawatan
DIAGNOSA TUJUAN DAN
INTERVENSI
NO KEPERAWATAN KRITERIA HASIL
(SIKI)
(SDKI) (SLKI)
1 Gangguan Setelah dilakukan Perawatan Integritas
Integritas Kulit tindakan keperawatan Kulit
selama 3x24 jam, Observasi
maka gangguan 1. Indentifikasi penyebab
integritas kulit gangguan integritas
meningkat dengan kulit
krieria hasil : Terapeutik
1. Kerusakan 2. Ubah posisi tiap 2 jam
jaringan menurun jika tirah barin
2. Kerusakan lapisan 3. Lakukan pemijatan
kuli menurun pada area penonjolan
3. Perfusi jaringan tulang, jika perlu
meningkat 4. Bersihkan parineal
4. Suhu kulit dengan air hangat,
membaik terutama selama periode
5. Nyeri menurun diare
5. Gunakan produk
berbahan petroleum
atau minyak pada kulit
kering
6. Gunakan produk
berbahan ringan/alami
dan hipoalergik pada
kulitt sensitif
7. Hindari produk
berbahan dasar alkohol
pada kulit kering
Edukasi
8. Anjurkan menggunakan
pelembab
9. Anjurkan minum air
yang cukup
10. Anjurkan meningkatkan
asupan nutrisi
11. Anjurkan meningkatkan
asupan buah dan sayur
12. Anjurkan menghindari
terpapar suhu ekstrem
13. Anjurkan menggunakan
tabir surya SPF minimal
30 saat berada dirumah
14. Anjurkan mandi dan
menggunakan sabun
secukupnya
2 Nyeri Akut Setelah dilakukan Manajemen Nyeri
tindakan keperawatan Observasi
selama 3x24 jam, 1. Identifikasi
maka nyeri akut karakteristik, durasi,
menurun dengan frekuensi, kualitas,
krieria hasil : intensitas nyeri
1. Keluhan nyeri 2. Identifikasi skala nyeri
menurun 3. Identifikasi respons
2. Meringis menurun nyeri non verbal
3. Sikap protektif 4. Identifikasi faktor yang
menurun memperberat dan
4. Gelisah menurun memperingan nyeri
5. Kesulitan tidur 5. Identifikasi
menurun pengetahuan dan
keyakinan tentang nyeri
6. Identifikasi pengaruh
buadaya terhadap
respon nyeri
7. Identifikasi pengaruh
nyeri pada kualitas
hidup
8. Monitor keberhasilan
terapi komplementer
yang sudah diberikan
9. Monitor efek samping
penggunaan analgetik
Terapeutik
10. Berikan teknik
nonarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
11. Kontrol lingkungan
yang memperberat rasa
nyeri
12. Fasilitas istrahat dan
tidur
13. Pertimbangkan jenis
dan sumber nyeri dalam
pemilihan strategi
meredakan nyeri
Edukasi
14. Jelaskan penyebab,
periode, dan pemicu
nyeri
15. Jelaskan strategi
meredakan nyeri
16. Anjurkan memonitor
nyeri secara mandiri
17. Anjurkan menggunakan
analgetik secara tepat
18. Ajarkan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
19. Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu
3 Pola Napas Tidak Setelah dilakukan Manajemen Jalan Napas
Efektif tindakan keperawatan Observasi
selama 3x24 jam, 1. Monitor pola napas
maka pola napas tidak 2. Monitor bunyi napas
efektif membaik tambahan
dengan krieria hasil : 3. Monitor sputum
1. Dispnea menurun Terapeutik
2. Penggunaan otot 4. Pertahankan kepatenan
bantu napas jalan napas dengan
menurun head-tilt dan chin lift
3. Pemanjangan fase 5. Posisikan semi-Fowler
ekspirasi menurun dan Fowler
4. Frekuensi napas 6. Berikan minum hangat
membaik 7. Lakukan fisioterapi
5. Kedalaman napas dada, jika perlu
membaik 8. Lakukan penghisapan
lendir kurang dari 15
detik
9. Lakukan
hiperoksigenasi
sebelum penghisapan
endotrakeal
10. Keluarkan sumbatan
benda padat dengan
forsep McGill
11. Berikan oksigen, jika
perlu
Edukasi
12. Anjurkan asupan cair
2000 ml/hari, jika tidak
konraindikasi
13. Ajarkan teknik batuk
efektif
Kolaborasi
14. Kolaborasi pemberian
bronkodilator,
ekspektoran, mukolitik,
jika perlu
4 Gangguan Tumbuh Setelah dilakukan Perawatan Perkembangan
Kembang tindakan keperawatan Observasi
selama 3x24 jam, 1. Identifikasi tugas
maka gangguan perkembangan anak
tumbuh kembang 2. Identifikasi isyarat
membaik dengan perilaku dan fisiologis
krieria hasil : yang ditunjukkan bayi
1. Keterampilan/peri Terapeutik
laku sesuai usia 3. Pertahankan sentuhan
meningkat seminimal mungkin
2. Kemampuan pada bayi premature
melakukan 4. Berikan sentuhan yang
perawatan diri bersifat gentle dan tidak
meningkat ragu-ragu
3. Respon social 5. Minimalkan nyeri
meningkat 6. Minimalkan kebisingan
4. Kontak mata ruangan
meningkat 7. Pertahankan lingkungan
yang mendukung
perkembangan optimal
8. Motivasi anak
berinteraksi dengan
anak lain
9. Sediakan aktivitas yang
memotivasi anak
berinteraksi dengan
anak lainnya
10. Fasilitasi anak berbagi
dan bergantian/bergilir
11. Dukung anak
mengekspresikan diri
melalu penghargaan
positif atau umpan balik
atas usahanya
12. Pertahankan
kenyamanan anak
13. Fasilitasi anak melatih
keterampilan
pemenuhan kebutuhan
secara mandiri
14. Bernyanyi bersama
anak lagu-lagu yang
disukai
15. Bacakan cerita atau
dongeng
16. Dukung partisipasi anak
disekolah,
ekstrakurikuler dan
aktivitas komunitas
Edukasi
17. Jelaskan orang tua
dan/atau pengasuh
tentang milestone
perkembangan anak dan
perilaku anak
18. Anjurkan orang tua
menyentuh dan
menggendong bayinya
19. Anjurkan orang tua
berinteraksi dengan
anaknya
20. Ajarkan anak teknik
asertif
Kolaborasi
21. Rujuk untuk konseling,
jika perlu
5 Resiko Defisit Setelah dilakukan Manajemen Nutrisi
Nutrisi tindakan keperawatan Observasi
selama 3x24 jam, 1. Identifikasi status
maka resiko defisit nutrisi
nutrisi membaik 2. Identifikasi alergi dan
dengan krieria hasil : intoleransi makanan
1. Porsi makan yang 3. Identifikasi makanan
dihabiskan yang disukai
meningkat 4. Identifikasi kebutuhan
2. Berat badan kalori dan jenis nutrien
membaik 5. Identifikasi perlunya
3. Indeks Massa penggunaan selang
Tubuh (IMT) nasogastrik
membaik 6. Monitor asupan makan
4. Frekuensi makan 7. Monitor berat badan
membaik 8. Monitor hasil
5. Nafsu makan pemeriksaan
membaik laboratorium
Terapeutik
9. Lakukan oral hygiene
sebelum makan, jika
perlu
10. Fasilitasi menentukan
pedoman diet
11. Sajikan makanan secara
menarik dan suhu yang
sesuai
12. Berikan makanan tinggi
serat unuk mencegah
konstipasi
13. Berikan makanan tinggi
kalori dan tinggi protein
14. Berikan suplemen
makanan, jika perlu
15. Hentikan pemberian
makan melalui selang
nasogatrik jika asupan
oral dapat ditoleransi
Edukasi
16. Anjurkan posisi duduk,
jika mampu
17. Ajarkan diet
diprogramkan
Kolaborasi
18. Kolaborasi pemberian
medikasi sebelum
makan
19. Kolaborasi dengan ahli
gizi untuk menentukan
jumlah kalori dan jenis
nutrient yang
dibutuhkan, jika perlu
BAB III

PEMBAHASAN

A. Apa itu SLE (Sistemik Lupus Eritematosus) ?


SLE adalah suatu penyakit autoimun akibat tubuh memproduksi
antibodi berlebihan yang menyerang jaringan tubuh sendiri di berbagai
organ. Kerusakan organ selanjutnya akan menyebabkan berbagai keluhan
dan gejala. Penyakit ini lebih banyak mengenai anak perempuan, dan
angka kejadiannya meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Pada
anak, sebagian besar penderita lupus berusia  9-15 tahun (masa pubertas).

B. Berapa jumlah SLE, apa saja ?


Sistemik Lupus Eritematosus (SLE atau Lupus), adalah penyakit
multiorgan yang berdasarkan kelainan imunologik. Insidens LES pada
anak secara keseluruhan mengalami peningkatan, sekitar 15-17%.
Penyakit LES jarang terjadi pada usia di bawah 5 tahun dan menjelang
remaja. Perempuan lebih sering terkena dibanding laki-laki, dan rasio
tersebut juga meningkat seiring dengan pertambahan usia.
Pada anak, insidens SLE mencapai 10-20 kasus per 100.000 anak
dan umumnya lebih sering ditemukan pada anak perempuan di atas usia 10
tahun. Secara keseluruhan, gejala klinis pasien SLE, 15%-17% timbul
pada umur di bawah 16 tahun dengan puncak insidens pada umur 10-14
tahunm sangat jarang muncul di bawah usia 4 tahun. Insidens pasti SLE
pada anak sulit ditentukan, (missed-diagnosis) (Sari Pediatri, 2016).

C. Apa saja tanda dan gejala SLE ?


 Demam lebih dari 37˚ Celcius
 Tubuh lemah dan nafsu makan menurun
 Nyeri otot dan pembengkakan pada sendi
 Rambut rontok
 Muncul ruam pada hidung dan pipi yang berbentuk kupu-kupu
yang disebut malar
 Adanya luka dimulut atau hidung

D. Apa yang meningkatkan risiko SLE pada anak ?


 Memiliki riwayat penyakit autoimun
 Jenis kelamin, karena SLE cenderung lebih sering terjadi pada
wanita
 Sering berjemur atau terpapar sinar matahari dalam waktu yang
lama

E. Bagaimana SLE pada anak di diagnosis ?


Untuk mendapatkan diagnosis yang tepat, anak yang terkena SLE harus
menjalani serangkaian tes, mulai dari pengecekan riwayat kesehatan,
pemeriksaan fisik, serta pencitraan. Tes untuk mendiagnosis SLE yang
terjadi pada anak umumnya, meliputi :
 Tes darah dan urine untuk menguji antibody dan menilai fungsi
ginjal.
 Tes pelengkap untuk mengetahui kadar komplemen darah dan
protein dalam darah.
 Rontgen (pemindaian dengan sinar X untuk mengetahui kondisi
organ vital, jaringan internal, dan tulang.
 Tes C- reactive protein (CRP) untuk mengetahui tingkat
peradangan dalam tubuh.
 Tes laju sedimentasi eritrosit (ESR) untuk mengukur kecepatan sel
darah merah untuk menggumpal.

F. Bagaimana pencegahan SLE ?


 Terapkan pola hidup sehat pada anak dengan mengkonsumsi
makanan yang memiliki gizi seimbang
 Hindari stress pada anak
 Kurangi kontak langsung yang berlebihan dengan sinar matahari,
terutama pada siang hari pukul 10.00 – 12.00, anak SLE sensitif
pada sinar matahari kare itu dapat memperparah penyakitnya
 Menghindari anak dari asap rokok
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
SLE adalah suatu penyakit autoimun akibat tubuh memproduksi
antibodi berlebihan yang menyerang jaringan tubuh sendiri di berbagai
organ. Kerusakan organ selanjutnya akan menyebabkan berbagai keluhan
dan gejala. Penyakit ini lebih banyak mengenai anak perempuan, dan
angka kejadiannya meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Pada
anak, sebagian besar penderita lupus berusia  9-15 tahun (masa pubertas).
Sistemik Lupus Eritematosus adalah sebuah penyakit autoimun
yang menyerang berbagai jaringan dan organ tubuh. Istilah ’lupus
eritematosus sistemik’ dapat diartikan secara bahasa sebagai ’gigitan
serigala’, mungkin istilah ini muncul dari adanya gejala klinis yaitu ruam
pada wajah penderita SLE yang perjalanan penyakitnya sudah lama dan
belum mendapat terapi. Secara istilah, SLE dapat didefinisikan sebagai
suatu penyakit yang bersifat episodik, multisistem dan autoimun ditandai
dengan adanya proses inflamasi yang meluas pada pembuluh darah dan
jaringan ikat, serta munculnya antinuklear-antibodi (ANA) pada
pemeriksaan penunjang, terutama antibodi untuk double-stranded DNA
(dsDNA). Karena beragamnya organ yang dapat terkena, dan karena
sulitnya dalam menegakkan diagnosis, SLE seringkali disebut sebagai
penyakit seribu wajah (masquerader, The Great Imitators).

B. Saran
Pembaca diharapkan banyak membaca referensi lain terkait
masalah Sistemik Lupus Eritematosus. Hal ini dimaksudkan agar pembaca
lebih memahami terkait masalah klien. Selain itu pembaca juga dapat
mencari informasi terkait jurnal penatalaksanaan terbaru pada klien
dengan masalah Sistemik Lupus Eritematosus.
DAFTAR PUSTAKA

Alatas, Husein, dkk. 2004. Buku Ajar Nefrologi Anak Edisi 2. Jakarta: Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Malleson, Pete dan Jenny Tekano. 2007. Diagnosis and Management of
Systemic Lupus Erythematosus in Children. From: Journal of Pediatric and
Child Health 18:2. Published by Elsevier Ltd.
Gitelman, Marisa Klein, etc. 2002. Systemic Lupus Erythematosus in
Childhood. From Journal: Rheumatic Disease Clinics of North America.
Published by WBS.
Rudolph, Abraham M, etc. 1996. Rudolph Pediatrics. USA: Appleton &
Lange.
Webb, Nicholas and Robert Postlethwaite. 2003. Clinical Paediatric
Nephrology 3rd Edition. USA: Oxford University.
Kusuma, Anak Agung Ngurah Jaya. 2007. Lupus Eritematosus Sistemik pada
Kehamilan. Dari: Jurnal Penyakit Dalam vol 8 no. 2. Diterbitkan oleh: Divisi
Feto Maternal SMF Obstetri dan Ginekologi FK Unud/RSUP Sanglah,
Denpasar.

Anda mungkin juga menyukai