Anda di halaman 1dari 12

PERILAKU SAKIT PADA MAHASISWA, SANTRI, dan PEMUDA yang

TIDAK KULIAH

Diajukan guna Memenuhi Tugas Pertemuan ke-7 Mata Kuliah Kesehatan


Msyarakat D3

Dosen pengampu :
Prof. Dr. Hadi Prayitno, M.Kes
Nip : 196106081988021001

Disusun oleh :
Nabilah Septa Damayanti
Nim : 190910301137

JURUSAN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL


FAKULTAS ILMU SOSIAL dan ILMU POLITIK
UNIVERSITAS JEMBER
TAHUN AKADEMIK 2020.2
Proses Perilaku Sakit Pada Mahasiswa

Perilaku sehat dapat memengaruhi kualitas hidup seorang mahasiwa/mahasiswi,


frekuesnsi makan yang baik dalah tiga kali sehari. Hal ini berarti sarapan pagi
hendaknya jangan ditinggalkan. Dari keseluruhan jumlah informan hampir semuanya
melewatkan sarapan pagi, sehingga tidak heran jika di kalangan mahasiswa muncul
istilah makan pagi jadi makan siang karena banyak yang menggabungkan makan pagi
dengan makan siang. Hal itu dikarenakan berbagai hal seperti tidak sempat sarapan
karena ada jadwal kuliah pagi, gangguan nafsu makan, sudah terbiasa tidak sarapan
sejak sebelum menjadi mahasiswa, sampai muncul istilah mager atau malas gerak.

Mager inilah yang mendasari informan malas melakukan aktivitas termasuk malas
untuk menyiapkan makan. Selain mager, perempuan juga memiliki pola makan tidak
teratur karena memiliki kebiasaan jajan dan ngemil sehingga mudah merasa kenyang
tanpa makan makanan pokok seperti nasi.

Kebanyakan orang mengetahui bahwa waktu istirahat yang cukup yaitu 7-8 jam.
Memiliki waktu istirahat yang cukup merupakan hal yang sangat bagus untuk dilakukan
agar badan kembali optimal untuk melakukan aktivitas di esok hari. Para informan
kurang memperhatikan lamanya waktu istirahat, karena mereka rata-rata tidur di atas
pukul 00.00. Beberapa informan perempuan memiliki kebiasaan begadang atau tidur
malam di atas pukul 00.00 dengan alasan mengerjakan tugas dan insomnia. Sedangkan
informan laki-laki memiliki alasan lain terkait kebiasaannya yang suka begadang
dikarenakan sudah terbiasa begadang.

Olahraga yang baik dan teratur merupakan sebuah tindakan yang harus dilakukan
demi mendapatkan badan yang bugar dan fit agar tidak mudah terserang penyakit. Hal
ini jarang dilakukan oleh informan khususnya informan perempuan. Hampir seluruh
informan perempuan jarang melakukan olahraga, bahkan ada yang mengungkapkan
sudah beberapa bulan tidak melakukan olahraga.

Suchman membagi 5 konsep yang berguna dalam memahami dan menganalisis


perilaku sakit, yaitu: shopping, fragmantation, procrastination, self medication, dan
discontinuity. Shopping yaitu proses mencari pertolongan medis dari berbagai sumber
atau pemberi layanan guna menemukan seorang yang dapat memberikan diagnosa dan
pengobatan yang sesuai dengan harapan dan keyakinan si sakit. Terdapat informan yang
melakukan self medication terlebih dahulu sebelum sampai pada tahap shopping.

1. SELF MEDIATION

Dapat diketahui bahwa sebelum mencapai pada tahap shopping, mahasiswa


melakukan self medication dengan membeli obat di apotek. Contohnya terjadi pada
kasus skabies yang dialami oleh Yanuar (21). Awalnya informan tidak mengetahui
bahwa gejala gatal-gatal yang diderita ialah gejala penyakit skabies. Sebelumnya
informan mengatasi hal tersebut dengan membeli obat di apotek, namun karena dengan
upaya tersebut tidak mampu menyembuhkan gatal-gatal yang diderita akhirnya
informan memutuskan untuk melakukan pemeriksaan di dokter spesialis kulit dan
barulah terdeteksi bahwa ia terserang skabies.

Sebelum mencapai tahap shopping, mahasiswa melakukan self medication dengan


membeli obat di warung/toko obat. Proses pengobatan di pelayanan kesehatan
dilakukan ketika penyakit sudah tidak bisa diatasi dengan cara pengobatan sendiri (self
medication) menggunakan obat warung. Hal ini seperti yang dialami oleh Devi (21)
ketika terserang maag. Langkah pertama yang dilakukan ketika mengatasi maag yaitu
self medication dengan mengonsumsi obat promag yang didapatkan dari warung. Ketika
obat tersebut tidak mampu untuk menyembuhkan maag yang diderita, baru akhirnya
informan melakukan pemeriksaan ke dokter. Biasanya informan memutuskan priksa ke
dokter ketika penyakit maag sudah diatasi dengan self medication namun sudah tiga hari
tidak kunjung sembuh dengan harapan untuk mencapai kesembuhan.

2. SHOPPING

Untuk mencapai proses shopping, mahasiswa langsung memilih pengobatan alternatif


ketika sakit tanpa melakukan diagnosa sendiri dengan melakukan self medication. Hal
itu dilakukan karena pengobatan alternatif ialah pengobatan yang paling tepat ketika
sakit. Pengobatan alterntif yang dipilih salah satu informan yaitu pengobatan tabib.
Pengobatan alternatif tersebut dipilih informan karena sudah merasa cocok dengan
pengobatan tersebut sehingga tidak perlu melakukan pemeriksaan di dokter, di mana
ketika berobat di dokter harus melalui proses rongen dahulu dan belum langsung
terindikasi jenis penyakitnya. Kunci kepercayaan masyarakat Jawa berobat ke
penyembuh tradisional seperti pengobatan tabib adalah pengaruh sugesti. Sugesti
muncul baik dari penderita maupun penyembuh. Selain itu faktor cocok, takut dengan
terapi dokter serta murah, mudah dan manjur juga menjadi pertimbangan pasien ke
pengobatan tradisional (Triratnawati, dkk: 2014).

3. FRAGMANTATION

Fragmantation adalah proses pengobatan atau penyembuhan oleh individu di


beberapa tempat pelayanan kesehatan dalam rangka kemantapan pengobatan untuk
mencapai kesembuhan. Proses pengobatan dapat dilakukan di berbagai pelayanan
kesehatan dengan mengonsumsi berbagai obat untuk menyembuhkan satu jenis
penyakit. Proses fragmantation yang dilakukan di pelayanan kesehatan dapat dilakukan
tidak hanya pada satu tempat pelayanan kesehatan untuk satu jenis penyakit yang sama.

Terdapat beragam upaya yang dilakukan oleh mahasiswa dalam menghadapi sebuah
penyakit. Untuk mencapai kesembuhan dari sebuah penyakit terkadang perlu adanya
pemeriksaan kesehatan tidak hanya pada satu dokter layanan praktek umum. Hal itu
dilakukan karena obat yang diberikan dari dokter layanan praktek umum pertama tidak
mampu menyembuhkan sebuah penyakit, sehingga perlu melakukan pemeriksaan
kembali ke dokter yang berbeda dari sebelumnya. Hal ini seperti yang dialami oleh
Fitria (20), ketika gatal-gatal karena alergi awalnya informan melakukan pemeriksaan di
layanan praktek dr. Dian, yang terletak tidak jauh dari rumah kostnya. Namun, karena
obat yang diberikan dr. Dian tidak memberikan efek kesembuhan akhirnya informan
melakukan pemeriksaan kembali di layanan praktek dokter umum viva generik. Hal itu
dilakukan dengan harapan agar penyakit yang diderita dapat sembuh.

4. PROCRASTINATION

Langkah perilaku sakit selanjutnya ialah Procrastination, yaitu penundaan pencarian


pengobatan karena tidak adanya sumber persediaan obat, sehingga perlu adanya
pencarian pengobatan terlebih dahulu untuk mendapatkan obat-obatan yang dapat
menyembuhkan penyakit yang diderita. Beberapa informan melakukan procrastination
karena ingin melakukan pengobatan yang ada di tempat tinggal mahasiswa.
Mahasiswa melakukan penundaan pengobatan sebelum melakukan pemeriksaan ke
dokter. Sebagian besar informan lebih memilih melakukan penundaan pengobatan
dengan melakukan pemeriksaan di pelayanan kesehatan yang ada di tempat tinggal
mereka, karena mereka lebih percaya melakukan pemeriksaan di rumah dan merasa
cocok dengan obat yang diberikan dari dokter tersebut. Bahkan, jika penyakit yang
diderita termasuk penyakit yang berat, mereka lebih memilih untuk pulang dan
melakukan pengobatan di rumah.

Mahasiswa melakukan penundaan pengobatan sebelum melakukan self medication.


Penundaan tersebut dilakukan dengan memperbaiki perilaku sehat seperti istirahat yang
cukup. Hal itu dilakukan sekaligus untuk memberi jangka waktu sebelum melakukan
pengobatan dengan pertimbangan apakah penyakit yang diderita perlu untuk diobati.
Jika dengan memperbaiki waktu istirahat sudah dapat menyembuhkan sebuah penyakit,
maka informan tidak perlu melakukan pengobatan. Namun, jika dengan memperbaiki
waktu istirahat tidak dapat menyembuhkan sebuah penyakit, maka informan akan
melakukan pengobatan dengan membeli obat bebas yang dijual di warung-warung
terdekat dari rumah kost. Berdasarkan pada Bagan 5, selain melakukan procrastination,
mahasiswa juga terdapat self medication yang dilakukan dengan mengonsumsi obat
bebas seperti bodrex yang banyak dijual di warung/toko obat.

Self medication atau yang biasa disebut swamedikasi merupakan usaha untuk
mengobati sendiri penyakit yang diderita dengan pengetahuannya sendiri dengan
menggunkan berbagai ramuan atau obat yang dianggap tepat. Obatnya pun biasanya
dipastikan aman. Namun, sebagian besar informan tidak mengatahui apa itu obat bebas
dan obat bebas terbatas.

5. DISCONTINUITY

Langkah terakhir dari konsep perilaku sakit Suchman ialah Discontinuity, yakni
membatalkan atau menghentikan pengobatan. Terdapat beberapa alasan yang
menyebabkan seseorang membatalkan atau menghentikan pengobatan. Pada tahap ini,
informan membatalkan atau menghentikan pengobatan ketika penyakit yang diderita
sudah sembuh. Alasan lain yang dikemukakan informan yaitu karena merasa tidak
cocok dengan obat yang diberikan oleh dokter.
Untuk mencapai pada tahap descontinuity, mahasiswa melakukan pengobatan di
beberapa dokter dari sumber pelayanan kesehatan. Hal itu dilakukan untuk mencapai
kesembuhan, meskipun dengan upaya tersebut tidak dapat menyembuhkan sebuah
penyakit seperti yang dialami oleh Eva (21) ketika terserang faringitis atau radang
tenggorokan. Langkah awal yang dilakukan dalam menghadapi sebuah penyakit yaitu
dengan melakukan pemeriksaan ke dokter. Namun, karena langkah tersebut tidak dapat
menyembuhkan sebuah penyakit maka perlu adanya pemeriksaan kembali pada dokter
yang berbeda. Tetapi dengan upaya tersebut, belum juga dapat menyembuhkan sebuah
penyakit. Pada akhirnya, informan memutuskan untuk menghentikan pengobatan. Obat
adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk
mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka
penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan
kontrasepsi, untuk manusia (Menkes RI, 2010).
Proses Perilaku Sakit Pada Santri

Dari hasil penelitian yang di lakukan penulis pada jurnal Faktor-Faktor yang
Berhubungan dengan Perilaku Pencarian Pelayanan Kesehatan (Health Seeking
Behavior) pada Santri di Pondok Pesantren Al Bisyri Tinjomoyo Semarang didapatkan
informasi bahwa ketika merasa sakit, santri yang ada di Pondok Pesantren Al Bisyri
hanya beristirahat di kamar saja. Penyakit yang sering diderita oleh santri selama
setahun terakhir antara lain adalah batuk, influenza dan demam. Sedangkan penyakit
yang berbasis lingkungan juga ditemukan di Pondok Pesantren Al Bisyri seperti kudis
(scabies) sebanyak 17 kasus dan diare sebanyak 29 kasus.

Meskipun di pondok pesantren sudah ada poskestren, akan tetapi belum ada
tenaga kesehatan atau dokter yang bertugas menjaga poskestren tersebut, sehingga
membuat santri merasa kesulitan untuk melakukan pencarian pengobatan ketika sakit.
Hanya sebagian kecil yang mengakses pelayanan kesehatan di luar pondok pesantren.
Hal ini dikarenakan jarak pondok pesantren yang jauh dari tempat pelayanan kesehatan.
Apabila santri merasa penyakitnya berat dan tidak kunjung sembuh barulah mereka
pergi ke tempat pelayanan kesehatan seperti puskesmas atau klinik yang ada di sekitar
pondok pesantren. Penyakit yang di derita oleh para santri tersebut dapat mengganggu
aktivitas mereka seperti beribadah dan belajar di pondok pesantren. Oleh sebab itu,
seharusnya apabila para santri merasa sakit, maka segera berobat ke pelayanan
kesehatan. Hal ini penting untuk diperhatikan dan dilaksanakan oleh para santri di
pondok pesantren.

Namun, kenyataannya dilapangan masih banyak ditemukan santri-santri yang


kurang peduli dengan kesehatannya, khususnya masalah health seeking behavior. Masih
banyak santri yang memilih beristirahat di kamar ketika merasa sakit dibandingkan
pergi berobat ke pelayanan kesehatan. Mereka akan pergi berobat ke pelayanan
kesehatan apabila penyakitnya dirasa berat dan tidak kunjung sembuh.

Littik menjelaskan bahwa masyarakat lebih memilih untuk mengabaikan


keluhan kesehatan yang ada dibanding mencari pengobatan ke fasilitas kesehatan
dikarenakan kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai kegunaan pelayanan
kesehatan, pengobatan dan informasi lainnya mengenai akibat dari penyakit yang
diderita mereka apabila mereka tidak segera berobat.

Hendrawan bahwa terdapat hubungan antara faktor kepercayaan kepada sarana


pengobatan dengan pemilihan upaya pengobatan.Sedangkan Anderson menyebutkan
bahwa setiap individu mempunyai kecenderungan menggunakan pelayanan kesehatan
yang berbeda-beda yang disebabkan karena adanya perbedaan keyakinan penyembuhan
penyakit.Namun apabila kepercayaan tidak di dukung oleh faktor lain, misalnya
ketersediaan sarana pelayanan kesehatan dan akses pelayanan kesehatan yang mudah,
maka tidak dapat diwujudkan dalam bentuk tindakan atau perbuatan.

Keterjangkauan/jarak merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi


pemanfaatan pelayanan kesehatan. Kondisi geografis yang sulit dengan jarak tempuh
yang jauh dapat menjadi suatu halangan bagi seseorang untuk mencapai sarana
kesehatan yang ada. Sedangkan Model McGarthy dalam Saifudin, akses terhadap
pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh lokasi dan kondisi geografis, jenis pelayanan
yang tersedia, kualitas pelayanan, transportasi, dan akses terhadap informasi.

Sukiswoyomenyimpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara


keparahan sakit dengan praktek pencarian pengobatan. Hal ini dikarenakan apabila
responden merasa penyakitnya masih ringan, maka tidak akan melakukan pencarian
pengobatan. Sedangkan apabila responden merasa penyakitnya sudah parah, maka akan
melakukan pencarian pengobatan.
Proses Perilaku Sakit Pada Pemuda yang Tidak Kuliah

Kuliah merupakan jenjang pendidikan tertinggi setelah kita tamat sekolah


menengah atas. Namun, kuliah bukan satu satunya tempat untuk mencari ilmu dan
pengalaman, banyak pemuda yang memilih tidak kuliah dikarenakan berbagai faktor
yang menghambat mereka untuk berkuliah. Yaitu, faktor keterbatasan biaya, keinginan
diri untuk tidak berkuliah, keinginan orang tua yang mengarahkan langsung kepada
pekerjaan agar segera mendapatkan penghasilan.

Dari kondisi-kondisi tersebut pemuda yang tidak kuliah mungkin memiliki


tingkat kemandirian yang lebih tinggi namun rendah dalam nilai edukasi. Harus diakui
perguruan tinggi ialah salah stau tempat memperbaiki perilaku sekaligus wadah untuk
mengaplikasikan ilmu pada masyarakat. Oleh karenanya, pemuda yang tidak kuliah
mungkin memiliki pengetahuan kesehatan yang lebih rendah. Berlatar belakang dari
pendidikan yang lebih rendah, mereka memiliki dasar pendidikan yang juga rendah.
Berikut perilaku sakit pada pemuda yang tidak kuliah

1. Pemuda yang tidak berkuliah karena keterbatasan biaya


Pada tipe ini pemuda cenderung akan mengabaikan sakit yang dideritanya
untuk beberapa waktu kedepan, jika penyakit yang dirasakannya masih
belum sembuh juga maka pemuda akan mencari obat dengan mudah ia
dapatkan dan tentunya tanpa resep dokter seperti membeli obat di warung,
terkadang apabila memang dirasa belum merasa lebih baik maka cara
selanjutnya dengan membeli obat alternatif seperti jamu. Apabila penyakit
yang di deritanya cukup parah pemuda ini akan melakukan pengobatan ke
puskesmas terdekat dengan kartu jaminan kesehatan seperti BPJS yang
merupakan bantuan kesehatan, sehingga tidak perlu mengeluarkan biaya
yang berlebihan.
2. Pemuda yang tidak kuliah namun tinggal bersama orang tua
Jika pemuda yang masih tinggal bersama orang tua, tidak menutup
kemungkinan pada tahap awal pemuda akan mengabaikan sakitnya, namun
jika masih dalam lingkungan keluarga maka pemuda tersebut masih akan
mendapatkan perhatian tambahan dari anggota keluarga. Pemuda akan
mengeluh, kemudian anggota keluarga membantunya dengan mengantarnya
ke pusat layanan kesehatan.
3. Pemuda yang tidak kuliah namun memiliki penghasilan
Apabila pemuda tipe ini memiliki pemikiran yang terbuka tentang kesehatan
dan pengetahuan yang cukup untuk kesehatan maka pemuda jenis ini akan
datang ke layanan kesehatan untuk kesembuhannya. Namun, jika
pengetahuannya minim dan tingkat keperdulian diri terhadap kesehatan
rendah maka kemungkinan yang terjadi maka pemuda akan memilih jalan
kesembuhan nonmedis.
Persamaan dan Perbedaan Status Sosial Tentang Perilaku sakit

Persamaan

1. Persamaan pada ketiga status sosial di atas yaitu, sama sama akan menahan
rasa sakit yang di deritanya, kemudian mengalihkan perhatian tentang kondisi
kesehatannya kepada hal-hal lain.
2. Menggunakan obat alternatif ketika perawatan diri telah mereka lakukan.

Perbedaan

1. Mahasiswa akan mudah mendatangi fasilitas kesehatan apabila merasa perlu


ada penanganan lebih lanjut atas kondisi sakitnya. Hal tersebut terjadi karena
latar belakang pemahaman, pemikiran, dan pengalaman mengajarkan seorang
mahasiswa untuk dapat berpikir rasional dengan memilih perilaku sakit secara
medis sebagai solusi kesembuhan. Mahasiswa akan lebih percaya apabila
penanganan yang diberikan bersifat ilmiah.
2. Santri akan mendatangi fasilitas kesehatan apabila kondisinya memburuk,
karena mekanismme bertahan seorang santri lebih kuat dibandingkan status
sosial lainnya. Hal ini dikarenakan pembiasaan hidup mandiri sejak kecil
yang telah tertanam pada diri seorang santri. Mereka juga cenderung percaya
dengan kekuatan supranatural seperti doa kiyai dan lain sebagainya. Santri
dalam berperilaku sakit akan mengikuti arahan ustadz atau kiyai sebagai
seorang yang dipercayai dan sangat dihormati.
3. Pada pemuda yang tidak kuliah enggan mendatangi fasilitas kesehatan karena
banyak faktor seperti biaya dan pendidikan yang rendah sehingga
menyebabkan mereka awam terhadap fasilitas kesehatan. Pengobatan non
medis menjadi pilihan utama untuk mendapatkan kesembuhan. Mendatangi
dukun, mencari kesembuhan dari ramu-ramuan dari alam, jamu dari rempah-
rempah dan sebagainya. Ramu-ramuan dan jamu-jamuan tersebut belum
dapat diketahui manfaatnya karena belum terbukti secara ilmiah. Mereka
hanya meyakini bahwa ramu-ramuan tersebut memiliki khasiat dari nenek
moyang mereka.
Solusi Untuk Perilaku Sakit yang Tidak Sesuai dengan Teori

Sikap bertahan pada rasa sakit, tindakan pengalihan perhatian terhadap sakit
yang dideritanya, menggunakan metode pengobatan non medis, meruapakan tindakan
yang sangat tidak sesuai dengan teori perilaku sakit.

Solusi yang dapat dilakukan yaitu :

1. Memberikan sosialisasi yang dapat dilakukan dari lingkungan terkecil


terlebih dahulu tentang tindakan yang perlu di lakukan saat pertama kali
seseorang merasakan gejala sakit, terutama kepada masyarakat yang
memiliki pendidikan rendah, masyarakat dengan ekonomi rendah, dan lanjut
usia .
2. Penyebaran pelayanan kesehatan yang merata agar seluruh masyarakat dapat
menikmati akses pelayanan kesehatan.
3. Petugas kesehatan memberikan edukasi mengenai pengobatan terbaik harus
melalui tenaga medis.
4. Bantuan layanan kesehatan yang di lakukan pemerintah berupa kartu BPJS
agar masyarakat dengan mudah mendapatkan pengobatan di layanan
kesehatan terdekat.
5. Penambahan tenaga medis di tiap-tiap pusat layanan kesehatan agar
memaksimalkan penanganan kepada masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai