Anda di halaman 1dari 12

Pemeriksaan Nervus Kranialis

Saraf otak:

i. Nervus olfaktorius
ii. Nervus optikus
iii. Nervus okulomotorius
iv. Nervus trokhlearis
v. Nervus trigeminus
vi. Nervus abdusen
vii. Nervus fasialis
viii. Nervus vestibulo-kokhlearis
ix. Nervus glosofaringeus
x. Nervus vagus
xi. Nervus aksesorius
xii. Nervus hipoglosus

NERVUS CR. 1 – OLFAKTORIUS

 Serabut saraf sensorik menghidu yang terdapat dalam mukosa hidung


 Cara pemeriksaan:
o Pastikan tiada sumbatan atau hambatan dihidung seperti hingus atau polyp
o Gunakan zat-zat yang dipakai setiap hari seperti kopi dan teh. Jangan pakai zat yang
merangsang mukosa hidung kerna sudah melibatkan nervus V (trigeminus)
 Pemeriksa harus menutup lubang hidung yang tidak diperiksa, kemudian
ambil zat perangsang dan letakkan sekitar 15 cm di bawah hidung.
 Tanyakan pada pasien adakah dia bisa menghidu bau tersebut dan
mengidentifikasi baunya apa.
 Kemudian lanjutkan pemeriksaan dengan membandingkan lubang hidung
kiri dan kanan.

 Interpretasi:
o Gangguan menghidu berarti ada kelainan di sekitar nervus i (olfaktorius). Lesi bisa
terjadi di bulbus atau di traktus olfaktorius.
o Antara contoh kelainan:
 Tumor (ex. meningioma), tumor di dasar lobus frontal menekan traktus
olfaktorius.
 Tumor di alur olfaktorius atau dipinggir tulang sphenoid.
 Infeksi (ex. meningitis basal)
 Trauma kapitis dapat menyebabkan terputusnya serabut olfaktorius.
NERVUS CR. II – OPTIKUS

 Serabut saraf khusus untuk melihat.


 Jalur penghantaran impuls di nervus optikus:

 Serabut bagian medial retina menyimpang ke sisi lainnya di kiasma optik.


 Dari kiasma optic serabut lanjut membentuk traktus optikus ke korpus genikulatum dan
berakhir di lobus oksipital.

 Tujuan pemeriksaan:
i. Mengukur ketajaman penglihatan
ii. Menentukan kelainan visus pada mata itu karena kelainan local atau kelainan saraf.
iii. Untuk memeriksa keadaan papil optik.

 Cara pemeriksaan:
i. Ketajaman penglihatan
1. Ketajaman penglihatan pasien dibandingkan dengan penglihatan pemeriksa
yang harusnya normal atau paling tidak pemeriksa telah megoreksi
penglihatannya (misalnya dengan kaca mata).
2. Pasien disuruh mengenali benda yang letaknya jauh (misalnya jam) dan
diminta untuk menyatakan pukul berapa.

ii. Lapangan pandang


1. Lapangan pandang penderita dibandingkan dengan lapangan pandang
pemeriksa yang dianggap normal (metode konfrontasi).
2. Penderita disuruh duduk berhadapan dengan pemeriksa dengan jarak kira-
kira 1 meter.
3. Jika mau memeriksa mata kanan penderita, maka mata kirinya harus
ditutup. Manakala pemeriksa harus menutup mata kanannya.
4. Penderita disuruh tetap melihat pemeriksa.
5. Kemudian pemeriksa menggerakkan jari tangannya antara penderita dengan
pemeriksa.
6. Jika penderita mulai melihat gerakan jari pemeriksa, ia harus memberitahu.
7. Bila ada gangguan lapangan pandang maka pemeriksa akan lebih dahulu
melihat gerakan tersebut.

iii. Ketajaman penglihatan


1. Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan Snellen Chart.
2. Penderita disuruh membaca Snellen Chart dari jarak 6 meter. Kemudian
ditentukan sampai barisan mana dapat dibaca.
3. Bila ia dapat membaca sampai barisan paling bawah interpretasinya 6/6.
Normal.
4. Jika tidak, maka visus nya tidak normal,hal ini dinyatakan dengan
menggunakan pecahan misalnya 6/20. (berarti bahwa huruf yang
seharusnya dapat dibaca dari jarak 20 meter hanya dapat dibaca dari jarak 6
meter)
5. Setelah ketahuan ada kelainan ketajaman penglihatan, kita lanjutkan
pemeriksaan untuk mengenal pasti samada kausa nya gangguan saraf atau
bukan saraf (oftalmik).

iv. Lapangan pandang


1. Pada pemeriksaan lapangan pandang, kita menentukan batas perifer dari
penglihatan, yaitu sampai mana benda dapat dilihat, jika mata difiksasi pada
satu titik.
2. Pemeriksaan lapangan pandang dilakukan dengan menggunakan
kampimeter atau perimeter.
3. Kampimeter adalah paapan hitam yang diletakkan didepan penderita pada
jarak 1 atau 2 meter, sebagai test object digunakan bundaran kecil
berdiameter 1 sampai 3mm. Mata pasien difiksasi di tengah dan benda
penguji digerakkan dari perifer ke tengah dari segala jurusan. Kita catat
tempat pasien mulai melihat test object.
4. Perimeter adalah setengah lingkaran yang dapat diubah-ubah letaknya pada
bidang meridiannya. Cara pemakaian serta cara melaporkan keadaan
sewaktu pemeriksaan serupa dengan kampimeter.

v. Pemeriksaan oftalmoskopik
1. Pemeriksaan oftalmoskopik merupakan pemeriksaan rutin neurologi.
2. Pada pemeriksaan oftalmoskopik, kita memerhatikan perubahan papil.
(papil adalah tempat serabut nervus ii memasuki mata).
3. Perubahan yang boleh berlaku adalah mengalami atrofi (primer atau
sekunder), atau sembab papil.
4. Kita perhatikan juga macula dan retina.
5. Papil normal: lonjong, warna jingga muda, bagian temporal agak pucat,
batas dengan retina jelas atau tegas, hanya bagian nasal agak kabur,
physiologic cup, perbandingan vena arteri – 3:2 atau 5:4.
6. Papil atrophy primer terlihat lamina kribosa, papil menjadi pucat, berbatas
tegas, dan pembuluh darah berkurang.
7. Papil atrophy sekunder tidak ditemukan lamina kribosa, warna papil pucat,
dan batasnya tidak tegas (kabur).

8. Sembab papil: dapat disebabkan pleh radang aktif atau bendungan.


 Kalau disebabkan oleh radang, disebut papilitis/neuritis optic.
Keadaan ini disertai dengan pemburukan visus yang hebat.
 Neuritis retrobulbular terjadi akibat bagian belakang nervus optic
terlibat inflamasi sedangkan papilnya baik.
 Chocked disk adalah keadaan aapabila sembab papil disebabkan
oleh bendungan atau tekanan intracranial yang meninggi. Pada
keadaan ini ketajaman visus tidak cepat memburuk kecuali bila
terjadi atrofi sekunder.

vi. Cara pemeriksaan oftalmoskopik:


1. Lensa oftalmoskopi disetel sampai puncak papil terlihat jelas, setelah itu
disetel lagi sampai retina terlihat jelas.
2. Pemeriksaan oftalmoskopi sebaiknya dilakukan dalam kamar yang gelap.
3. Untuk memeriksa mata kanan pasien sebaiknya kita menggunakan mata
kanan dan memegang oftalmoskop dengan tangan kanan. Begitu juga untuk
mata kiri.
4. Apabila melihat melalui oftalmoskop biasakan kedua-dua mata pemeriksa
terbuka.
5. Pasien disuruh melihat jauh kedepan dan tidak boleh menggerakkan bola
mata.
6. Apabila menemukan oembuluh darah ikuti sampai ketemu papil.
 Perhatikan warna papil
 Adanya lekuk fisiologis?
 Identifikasi pembuluh arteri yang tampaknya lebih tipis dan lebih
terang ketimbang pembuluh darah vena yang lebih tebal dan gelap.
 Perhatikan ada pulsasi vena di tempat vena melekuk di pinggiran
lekuk fisiologis.
 Kemudian cari macula.

vii. Interpretasi pemeriksaan oftalmoskopi:


o Pada sembab papil pembengkakan kepala nervus optikus dapat
disertai hiperemia pada diskus dan mangkok fisiologis menghilang,
dan kongesti vena. Jika perubahan masih baru dan akut mungkin
dijumpai perdarahan dari papil ke luar.
o Pelebaran dan pendalaman mangkok fisiologis dapat dijumpai pada
glaucoma yang kronis.
o Pada atrofi optic, papil tampak pucat. Akibat giosis pada kepala saraf
optic bersamaan dengan hilangnya beberapa pembuluh darah kecil.

 Antara penyebab gangguan nervus optikus:


o Neuritis optika
o Neuritis retrobulbaris
o Papilitis
o Tumor
o Aneurisma
o Karsinoma
o Defisiensi vitamin B1, B12

NERVUS CR. III, IV, IV – OKULOMOTORIUS, TROKHLEARIS, ABDUSEN

 Saraf iii – menginervasi m. rektus internus (medialis), m. rektus superior, m. rektus inferior,
m. levator palpebra; serabut visero-motoriknya mengurus m. sfingter pupile (kontraksi pupil)
dan m. siliare (mengatur lensa mata).
 Saraf otak iv – menginervasi m. oblikus superior (menyebabkan mata dapat melirik kea rah
bawah dan nasal.
 Saraf otak vi – menginervasi m. rectus externus (menyebakan mata boleh melirik kea rah
temporal.

 Cara pemeriksaan:
o Selagi menganemnesis pasien perhatikan kondisi mata pasien. Apakah ada ptosis
(kelopak mata jatuh dan mata tertutup tidak dapat dibuka), eksoftalmus,
enoftalmus, dan apakah ada strabismus. Serta apakah ia cenderung memejamkan
matanya yang kemungkinan disebabkan oleh diplopia. Setelah itu lakukan
pemeriksaan yang lebih teliti mengenai ptosis, besar pupil, reaksi cahaya pupil reaksi
akomodasi, kedudukan bola mata, gerakan bola mata dan nistagmus.
o Pupil:
 Perhatikan besarnya pupil pada mata kiri dan kanan, apakah sama (isokor),
atau tidak sama (anisokor).
 Perhatikan juga bentuk pupil apakah bundar dan rata tepinya (normal).
 Bila pupil mengecil = miosis, bila membesar = midriasis.

o Refleks pupil (reaksi cahaya):


 Reaksi cahaya pupil terdiri dari reflex cahaya langsung (RCL) dan tidak
lansung (RCTL).
 Pasien disuruh melihat jauh, kemudian matanya kita senter dan dilihat
apakah ada reaksi pupil. (normal = pupil mengecil = RCL +)
 Kemudian perhatikan pupil pada mata yang lainnya adakah ikut mengecil.
(normal = mengecil = RCTL +).
 Selama pemeriksaan pasien tidak boleh memfiksasikan matanya pada lampu
senter kerna akan terjadi reflex akomodasi.

o Reflex akomodasi:
 Penderita disuruh melihat jauh, kemudian ia disuruh melihat dekat, misalnya
jari kita ditempatkan dekat matanya.
 Reflex akomodasi positif apabila pupil mengecil.

o Kedudukan bola mata:


 Perhatikan bola mata, apakah mata menonjol (eksoftalmus) atau seolah-
olah masuk ke dalam (enoftalmus).
 Eksoftalmus, celah mata tampak lebih besar, sedangkan enoftalmus lebih
kecil.
 Selain itu, perhatikan bagaimana posisi bola mata dalam keadaan istirahat.
Bila satu otot mata lumpuh, hal ini mengakibatkan kontraksi atau tarikan
yang berlebihan dari otot antagonis nya, dan menyebabkan strabismus.

o Gerakan bola mata:


 Untuk pemeriksaan ini, penderita disuruh mengikuti jari-jari pemeriksa yang
digerakkan kearah lateral, medial atas, bawah dan kea rah yang miring,
yaitu: atas-lateral, bawah-medial, atas-medial, dan bawah-lateral.
 Perhatikan apakah mata pasien dapat mengikutinya, lancar dan mulus atau
kaku?

o Nistagmus:
 Pemeriksaan nistagmus dilakukan waktu memeriksakan gerakan bola mata.
 Nistagmus ialah gerakan bolak-balik bola mata yang involunter dan ritmik.
 Untuk ini penderita diminta melirik terus ke satu arah selama 5-6 detik.
Dalam jangka waktu tersebut akan kelihatan nistagmus.

NERVUS CR. V – TRIGEMINUS

 N. Trigeminus terdiri dari 2 bagian: bagian sensorik (porsio mayor), dan bagian motorik
(porsio minor)
 Motorik menguruskan otot-otot mengunyah, yaitu: m. massetter, m. temporalis
menggerakan rahang ke belakang, m. pterigoid medialis yang berfungsi menutup mulut, dan
m. pterigoideus lateralis yang berfungsi menggerakkan rahang bawah ke samping (lateral)
dan membuka mulut. Gabungan kontraksi m. pterigoideus lateralis dan m. pterigoideus
medialis menggerakkan rahang bawah kedepan.
 Bagian sensorik nervus trigeminus:
o Cabang oftalmik: sensibilitas dahi, mata, hidung, kening, selaput otak, sinus
paranasal, dan sebahagian mukosa hidung.
o Cabang maksilaris: sensibilitas rahang atas, gigi atas, bibir atas, pipi, palatum durum,
sinus maksilaris, dan mukosa hidung.
o Cabang mandibularis: sensibilitas rahang bawah, gigi bawah, bibir bawah, mukosa
pipi, 2/3 depan lidah dan sebahagian dari telinga (maetus), dan selaput otak.

 Cara pemeriksaan:
o Pasien disuruh merapatkan giginya sekuat mungkin dan kemudian kita raba m.
maseter dan m. temporalis. (perhatikan besarnya, tonus serta bentuknya).
o Kemudian pasien diminta untuk membuka mulut dan perhatikan ada tidak deviasi
rahang bawah (jika ada parese, rahang akan berdeviasi kearah yg lumpuh.
o Kekuatan otot saat menutup mulut dapat dinilai dengan menyuruh pasien menggigit
suatu benda dan dinilai tenaga gigitannya.
o Kemudian pasien disuruh menggerakkan rahang bawahnya ke samping kiri dan
kanan (untuk menilai m. pterigoideus lateralis). Jika terdapat parese, rahang bawah
tidak dapat digerakkan kearah yang bertentangan dengan bahagian parese.
o Untuk menentukan adanya lesi supranuklir diperiksa reflex rahang (jaw reflex).
 Pasien disuruh membuka mulut
 Kemudian pemeriksa meletakkan satu jari melintang dagu pasien.
 Setelah itu, jari pemeriksa diketok dengan palu reflex.
 Normal: sedikit saja gerakan atau tiada gerakan sama sekali. Bila gerakannya
hebat sehingga menyebabkan mulut tertutup, dikatakan reflex meninggi. =
lesi di supranuklir.
o Untuk bagian sensorik nervus V, diperiksa dengan menyelidiki rasa raba, nyeri, dan
suhu di daerah-daerah wajah yang di sarafi nervus V.

 Beberapa penyebab gangguan Nervus V:


o Neuralgia trigeminus idiopatis
o Trauma kapitis
o Infeksi herpes zoster
o Penyakit Sjogren

NERVUS CR, VII – FASIALIS

 Mengandungi 4 macam serabut yaitu:


o Serabut somato motorik: mensarafi otot-otot wajah (kecuali m levator palpebrae (N
iii), otot platisma, stilohiod, digastrikus bagian posterior dan stapedius di telinga
tengah.
o Serabut visero-motorik (parasimpatis): mengurus glandula dan mukosa faring,
palatum, rongga hidung, sinus paranasal, dan glandula submaksilar, serta sublingual
dan lakrimalis.
o Serabut visero-sensorik: menghantar implus dari alat pengecap 2/3 bagian depan
lidah.
o Serabut somato-sensorik: rasa nyeri (mungkin juga suhu dan perabaan) dari
sebahagian daerah kulit dan mukosa yang disarafi nervus trigeminus
o Daerah overlapping (disarafi lebih dari 1 saraf, tumpang tindih) initerdapat di lidah,
palatum, meatus akustikus eksterna dan bagian luar gegendang telinga.

 Cara pemeriksaan:
o Dalam memeriksa fungsi motorik, perhatikan muka penderita apakah simetris atau
tidak. Perhatikan kerutan pada dahi, pejaman mata, plika nasolabialis dan sudut
mulut. Bila asimetri dari muka jelas, maka ini disebabkan oleh kelumpuhan jenis
perifer.
Dalam hal ini kerutan dahi menghilang, mata kurang dipejamkan, plika nasolabialis
mendatar, dan sudut mulut menjadi rendah.
Kelumpuhan sentral (supranuklir), muka dapat simetris waktu istirahat, kelumpuhan
baru nyata bila penderita disuruh melakukan gerakan.

o Suruh penderita mengangkat alis dan mengerutkan dahi.


 Perhatikan apakah hal ini dapat dilakukan dan adakah asimetri.
 Pada kelumpuhan jenis supranuklir sesisi, penderita dapat mengangkat alis
dan mngerutkan dahinya, kerna otot-otot ini mendapat persarafan bilateral.
 Kelumpuhan perifer terlihat adanya asimetri.

o Suruh penderita memejamkan mata.


 Bila lumpuh berat penderita tidak dapat memejamkan mata; bila lumpuhnya
ringan tenaga pejamannya kurang kuat.
 Hal ini dinilai dengan mengangkat kelopak mata pasien dengan tangan
pemeriksa, sedangkan pasien disuruh tetap memejamkan mata.

o Suruh penderita menyeringa, mencucurkan bibir, mengembungkan pipi.


 Perhatikan apakah ini dapat dilakukan dan apakah ada asimetri.
 Perhatikan sudut mulutnya. Suruh penderita bersiul (tadinya dapat bersiul
menjadi tidak mampu lagi setelah adanya kelumpuhan.
 Pada penderita yang tidak kooperatif atau kesadarannya menurun, dapat
dibuatkan menyeringai bila kepadanya diberi rangsangan nyeri (menekan
pada sudut rahangnya (m. masseter).

o Fungsi pengecapan.
 Kerusakan nervus vii dapat menyebabkan ageusi pada 2/3 lidah bagian
depan.
 Untuk memeriksanya penderita disuruh menjulurkan lidah kemudian kita
taruh pada lidahnya bubuk gula, kina, asam sitrat atau garam. (penderita
tidak boleh menarik lidahnya ke dalam mulut).
 Penderita disuruh menyatakan pengecapannya dengan isyarat (contoh: 1
manis, 2 asin, dsb).

 Penyebab gangguan saraf vii


o Strok
o Meningitis viral
o Pasca influenza
o Merokok
o Miksedema
NERVUS CR. VIII – VESTIBULOKOKHLEARIS

 Saraf ini terdiri atas dua bagian, yaitu saraf kokhlearis dan saraf vestibularis. Saraf kokhlearis
mengurus pendengar dan saraf vestibularis mengurus keseimbangan
 Gangguan saraf kokhlearis
o Gangguan pada saraf kokhlearis dapat menyebabkan tuli, tinnitus atau hiperakusis.
o Ada 2 macam ketulian:
 Tuli perseptif atau tuli saraf
 Tuli konduktif, disebut juga tuli obstruktif atau tuli transmisi.

o Tuli saraf dapat disebabkan oleh lesi di:


 Reseptor di telinga dalam
 Nervus kokhlearis
 Inti-inti serta serabut pendengaran di batang otak
 Korteks auditif
o Tinnitus ialah persepsi bunyi berdenging di telinga, yang disebabkan oleh eksitasi
atau iritasi pada alat pendengaran, sarafnya inti serta pusat yang lebih tinggi. Tinitus
dapat juga terjadi pada tuli konduktif. Bunyi yang terdengar dapat berfrekuensi
tinggi atau rendah, dan penderita sering mengemukakan terdengar bunyi
berdenging atau berdesis.
o Hiperakusis atau meningginya ketajaman pendengaran yang bersifat patologis
didapatkan pada paralisis muskulus stapedius, pada migren, psikoneurosis dan dapat
juga merupakan aura dari epilepsy lobus temporalis.

 pemeriksaan saraf kokhlearis


o Ketajaman pedengaran:
 Ditentukan dengan menyuruh penderita mendengarkan suara bisiskan pada
jarak tertentu dan membandingkannya dengan orang yang normal.
 Bila ketajaman pendengaran berkurang, atau terdapat perbedaan antara
kedua telinga, kita lakukan pemeriksaan-pemeriksaan Schwabach, Rinne,
Weber dan audiogram.
 Tes Schwabach:
 Pendegaran penderita dibandingkan dengan pendengaran
pemeriksa yang dianggap normal.
 Garpu tala dibunyikan dan kemudian ditempatkan di dekat telinga
penderita. Setelah penderita tidak mendengarkan bunyi lagi, garpu
tala tersebut ditempatkan didekat telinga pemeriksa. Bila masih
terdengar bunyi oleh pemeriksa, maka dikatakan bahwa Schwabach
lebih pendek.
 Tes Rinne:
 Dibandingkan konduksi tulang dengan konduksi udara.
 Pada telinga yang normal konduksi udara lebih baik daripada
konduksi tulang.
 Pada tuli konduktif, konduksi tulang lebih baik daripada kondusi
udara.
 Tes Rinne kita gunakan garpu tala 128, 256, atau 512Hz. Garpu tala
dibunyikan dan pangkalnya ditekan pada tulang mastoid penderita.
Ia disuruh mendengarkan bunyi nya. Bila tidak didengarkan lagi,
garpu tala segera didekatkan pada telinga.Jika masih terdengar
bunyi, maka konduksi udara lebih baik daripada konduksi tulang
(Rinne positif).
 Tes Weber:
 Garpu tala yang dibunyikan ditekankan pangkalnya pada dahi
penderita, tepat dipertengahan. Penderita disuruh mendegar
bunyinya, dan menentukan pada telinga mana bunyinya lebih keras
terdengar.
 Normal, keras bunyinya sama pada telinga kiri dan kanan.
 Pada tuli saraf, bunyi lebih keras terdengar pada telinga yang sehat.
 Pada tuli konduktif bunyi lebih keras terdengar pada telinga yang
tuli.
 Gangguan saraf vestibularis
o Gangguan saraf vestibularis atau hubungannya dengan sentral dapat menyebabkan
terjadinya vertigo, rasa tidak stabil, kehilangan keseimbangan, nistagmus, dan salah
tunjuk.
 Pemeriksaan saraf vestibularis:
o Manuver Hallpike, pasien disuruh duduk di tempat-tidur-periksa. Kemudian ia
direbahkan sampai kepalanya tergantung di pinggir dengan sudut sekitar 30 derajat
di bawah horizon. Selanjutnya kepala ditolehkan ke kiri. Tes kemudian diulangi
dengan kepala melihat lurusdan diulangi lagi dengan menoleh ke kanan. Penderita
disuruh teteap membuka matanya agar pemeriksa dapat melihat sekitarnya muncul
nistagmus.
o Tes untuk menilai keseimbangan:
 Tes Romberg yang dipertajam, penderita berdiri dengan kaki yang satu
didepan kaki yang lainnya (tandem). Lengan dilipatkan pada dada dan mata
kemudian ditutup. Tes ini berguna menilai adanya disfungsi system
vestibular. Orang yang normal mampu berdiri dalam sikap Romberg yang
dipertajam selama 30 detik atau lebih.

NERVUS CR. IX – GLOSOFARINGEUS


NERVUS CR. X – VAGUS

 Nervus ix dan x diperiksa bersamaan, karena kedua saraf ini berhubungan erat. Gangguan
fungsiny jarang tersendiri kecuali pada bagian yang perifer sekali.
 Pembentukan suara (fonasi) dilakukan oleh pita suara yang disarafi oleh nervus laryngeus
rekurens (cabang nervus X).
 Motorik lain yang penting ialah system parasimpatis eferen visceral yang dari nucleus
motorik dorsal menginervasi otot polos traktus sirkulatorius, traktus respiratorius, dan
traktus digestivus.
 Perasaan daripada 1/3 bahagian belakang lidah, palatum molle, uvula dan dinding rongga
dihantar melalui nervus IX.
 Pengucapan (artikulasi) diuruskan oleh otot-otot mulut (maseter, pterygoideus lateralis,
orbikularis oris), otot lidah, laring, dan faring.
Artikulasi merupakan kerjasama antara saraf V, VII, IX, X dan XII.
Kelumpuhan saraf-saraf ini dapat mengakibatkan ketidak mampuan untuk mengucapkan
kata-kata dengan baik. (Disartria).

 Cara pemeriksaan:
o Fungsi motorik:
 Dalam memeriksa fungsi motorik, perhatikan kualitas suara pasien. Apakah
suaranya normal?apakah suaranya berkurang?, serak (disfonia) atau tidak
ada sama sekali (afonia)? – pasien disuruh menyebutkan ‘Aaaaaaa’.
Pada kelumpuhan cabang nervus X didapatkan disfonia.
 Kemudian penderita disuruh mengucapkan kata-kata misalnya:
“Ari lari di lororng-lorong lurus”.
Perhatikan adakah dia dapat menyebut kata-kata tersebut dengan baik.
 Untuk mengucapkan kata-kata dibutuhkan otot-otot artikulasi. Kelumpuhan
saraf-saraf yang menginervasi otot-otot ini dapat mengakibatkan penderita
tidak dapat mengucapkan kata-kata dengan baik. (Disartria).
 Perhatikan juga kalau pasien bicaranya sengau. Karena akibat kelumpuhan N
IX dan X, palatum molle tidak sanggup menutup jalan ke hidung waktu
berbicara.
 Penderita disuruh memakan makanan padat, lunak, dan menelan air. Kalau
ada salah telan (disfagia), ini adalah tanda kelumpuhan nervus IX dan X. Hal
ini sering dijumpai pada hemiparese duplex.
 Kemudian suruh pasien membuka mulut. Bila terdapat parese otot-otot
faring dan palatum molle, maka palatum molle, uvula, dan arkus faring sisi
yang lumpuh letaknya lebih rendah dari pada yang sehat.

NERVUS CR. XI – AKSESORIUS

 Saraf ini hanya terdiri dari serabut motorik.


 Saraf ini sering terlibat pada strok karena persarafannya yang unilateral.
 Saraf XI menginervasi otot sternokeidomastoideus dan otot trapezius

 Cara pemeriksaan:
o Perhatikan keadaan otot sternokeidomastoideus dalam keadaan istirahat dan
bergerak. Dalam keadaan istirahat kita dapat melihat kontur otot ini. Bila terjadi
parese perifer kita akan melihat ada atrofi.
o Untuk menentukan atau mengukur kekuatan otot dapat dilakukan:
 Pasien disuruh menggerakkan bagian badan yang digerakkan oleh otot yang
kita ingin periksa, dan kita tahan gerakan ini.
 Kita gerakkan bahagian badan pasien dan disuruh ia menahannya. Dengan
demikian kita peroleh kesan mengenai kekuatan otot.
o Untuk otot sternokleidomastoideus pemeriksa sering pakai cara pertama dengan
menyuruh pasien menoleh ke kanan. Kemudian kita menahan gerakan ini.
Bandingkan kekuatan otot kiri dan kanan.
o Pemeriksaan otot trapezius, perhatikan keadaan otot dalam keadaan istirahat dan
bergerak. Apakah ada atrofi atau fasikulasi? Bagaimana kontur otot? Posisi bahu,
adakah ada yang lebih rendah? (pada kelumpuhan otot trapezius bahu yang sakit
lebih rendah dari sisi yang sehat).
o Tenaga otot trapezius diperiksa dengan menempatkan tangan pemeriksa atas bahu
penderita. Kemudian penderita disuruh mengangkat bahunya dan kita tahan.
Dengan demikian kitav dapat menilai kekuatan otot.
o Pada kelumpuhan otot sternokeidomastoideus dan otot trapezius kepala cenderung
jatuh ke depan, dan penderita tidak dapat mengangkat dagunya.

NERVUS CR. XII – HIPOGLOSUS

 Saraf XII mengandungi serabut somato-motorik yang menginervasi otot ekstrinsik dan otot
intrinsic lidah.
 Fungsi otot ekstrinsik lidah ialah menggerakkan lidah.
 Fungsi otot intrinsic, mengubah-ubah bentuk lidah.

 Cara pemeriksaan:
o Suruh penderita membuka mulut dan perhatikan lidah dalam keadaan istirahat dan
bergerak. Kita perhatikan besarnya lidah, kesamaan bagian kiri dan kanan dan
adanya atrofi.
o Pada lesi perifer, didapatkan lidah atrofi dan berkerut.
o Perhatikan juga adakah lidah mencong. Pada parese satu sisi lidah yang dijulurkan
mencong ke sisi yang lumpuh
o Tremor lidah dapat dijumpai pada pasien yang sakit berat, demesia paralitika, dan
intoksikasi.
o Fasikulasi dijumpai pada lesi nuklir.
o Jik a terdapat kelumpuhan dua sisi, lidah tidak dapat di gerakkan atau dijulurkan.
Terdapat disartria dan kesukaran menelan. Selain itu, juga didapatkan kesukaran
bernafas, kerana lidah dapt terjatuh kebelakang, dan menghalangi jalan pernafasan.
o Untuk menilai tenaga lidah, kita suruh penderita menjulurkan lidah dan
menggerakkannya ke segala jurusan. Perhatikan kekuatan geraknya.

Anda mungkin juga menyukai