Saya ingin mengawali tulisan ini dengan ungkapan terima kasih dari saya
yang sebesar-besarnya teruntuk lembaga yang saya tengah berada di dalamnya
yaitu STAIN Kudus yang memberikan saya kesempatan untuk menimba banyak
pelajaran di RSU Fastabiq melalui PPL ini. Kemudian kepada ibu Farida Ulyani,
M. Pd. selaku DPL kami yang tidak bosan-bosannya membimbing dan
mengarahkan kami selama masa PPL, serta bapak Arova Bachtiar, S. ThI., ibu
Mareta Puspitasari, S. Psi., bapak dr. Aldila S Al Arfah, MMR., bu Mif, pak Heru
dan keluarga besar RSU Fastabiq yang telah sabar mengajari kami dan tidak segan
berbagi hal baru dengan kami. Tidak lupa saya ucapkan terima kasih teruntuk
rekan-rekan PPL tercinta yang selalu membuat suasana PPL lebih menyenangkan.
Saat pertama saya tahu lokasi PPL saya di RSU Fastabiq rasanya rumah
senang karena yang pertama lokasinya tidak terlalu jauh dari rumah saya, hanya
butuh waktu kurang lebih 15 menit saja. Alasan yang kedua karena saya sering
kesana, tapi untuk menjenguk orang sakit. Berbeda dengan kedatangan saya
ketika PPL dimana saya sudah dianggap sebagai bagian dari keluarga besar RSU
Fastabiq sehingga turut bertanggung jawab untuk aktivitas di dalamnya. Terhitung
mulai tanggal 16 Juni 2017 sampai dengan tanggal 12 Juli 2017 kami memulai
kegiatan PPL di RSU Fastabiq. Tentu saja banyak pengalaman berkesan yang
kami alami. Berikut ini saya rangkum pengalaman saya selama disana.
RSU Fastabiq merupakan rumah sakit yang baru berdiri dua tahun
terakhir. Sebagai rumah sakit yang berbasis Dakwah Islamiyyah, saya banyak
menemukan hal baru disana. Yang pertama adalah konsistensi terhadap label
dakwah yang diusungnya sejak awal. Hal itu tampak dari aktivitas kesehariannya
mulai dari pagi hari sebelum memulai pekerjaan, setiap karyawan mengikuti do’a
pagi. Ini hal baru untuk saya karena baru saya dapati kali ini dalam suatu instansi
menjadwalkan waktu khusus untuk berdoa bersama. Jam 07:15 tepat doa pagi
harus sudah di mulai. Caranya pun berbeda, jika biasanya ada orang yang bertugas
membaca doa saya hanya menjawab “amin”, disini petugas membacakan doa
beserta artinya, ayat Al-Qur’an beserta terjemahnya dan ditirukan oleh hadirin
dilanjutkan dengan mutiara pagi atau sejenis kultum yang bisa diisi dengan materi
apa saja misalnya tafsir ayat-ayat dalam Al-Qur’an, Fiqih Muamalah, dan lain
sebagainya. Dilanjutkan dengan simulasi cuci tangan dan menyanyikan lagu Mars
Muhammadiyah atau Mars Rumah Sakit Fastabiq Sehat.
“Bina rohani adalah nyawa dari rumah sakit” begitu pernyataan dari pak
Arovah (DPL Lokasi). Petugas bina rohani dikatakan sebagai nyawa dari rumah
sakit karena yang menghidupkan kegiatan keagamaan disana adalah staf bagian
bina rohani. Misalnya menghidupkan sholat jamaah, tadarus Al-Qur’an, dsb.
Melihat begitu pentingnya tugas bina rohani, maka secara tidak langsung petugas
bina rohani dituntut untuk berpengetahuan luas utamanya untuk masalah agama.
Oleh sebab itu sebelum kami terjun langsung untuk melakukan bina rohani pasien,
pak Arova (DPL Lokasi) membekali kami dengan berbagai doa serta langkah-
langkah dasar bina rohani untuk pasien. Setelah mendapat training beberapa kali
dari DPL lokasi akhirnya kami diijinkan untuk terjun langsung menjadi petugas
bina rohani pasien. Ini merupakan pengalaman pertama saya memasuki ruang
pasien bukan hanya sekedar untuk menjenguk akan tetapi lebih dari itu, saya ikut
mendoakan, menghibur, memberi semangat serta menjembatani keluhan pasien
terhadap rumah sakit dengan membawa nama “Petugas Bina Rohani RSU
Fastabiq Sehat”.
Saya mendapat banyak pelajaran dari sana, saya banyak bertemu orang-
orang baru dengan berbagai macam keluhan yang dialami. Pernah saya temui
pasien yang ternyata istri dari guru saya sewaktu MA yang tentu saja wawasannya
lebih luas daripada saya yang tidak ada apa-apanya, tapi demikian saya tetap
mendapat respon yang baik dari beliau. Adapula pasien yang sampai menangis
entah karena doa yang saya bacakan atau karena menahan sakit. Walaupun
demikian, saya mulai menikmati interaksi yang terjadi antara saya dengan pasien.
Hal yang membuat saya puas ketika menjadi petugas bina rohani adalah ketika
pasien menanggapi apa yang saya sampaikan dan menyampaikan keluhannya
kepada saya.
Ada banyak hal yang perlu saya benahi dan lebih banyak belajar kembali.
Melihat kebanyak pasien berusia lebih tua dari saya, saya termotivasi untuk
belajar bahasa Jawa ‘krama’ kembali karena jujur saja untuk penggunaan bahasa
krama saya masih jauh dari kata sempurna. Kemudian saya menyadari betul
keterbatasan saya dalam hal agama sangat kurang apalagi untuk menjadi seorang
petugas bina rohani. Dari sana pula saya menyadari bahwasannya dakwah tidak
hanya identik dengan mimbar, akan tetapi lebih luas lagi dakwah adalah tentang
pribadi keseharian kita, lingkungan sosial, lingkungan kerja yang dapat menjadi
lahan dakwah kita.