Anda di halaman 1dari 7

BAB 2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hakikat Matematika


Matematika sebagai salah satu ilmu dasar, mempunyai peranan penting dalam
upaya penguasaan IPTEK karena matematika merupakan sarana yang penting dalam
meningkatkan kemampuan dan keterampilan intelektual.
Matematika merupakan mata pelajaran yang menjadi salah satu prioritas
pemerintah untuk dikembangkan. Hal ini dibuktikan bahwa matematika merupakan
mata pelajaran wajib yang dipelajari dari tingkat dasar hingga tingkat menengah atas.
Matematika memiliki peranan penting dalam kehidupan karena matematika memiliki
hubungan dengan bidang ilmu lainnya seperti ilmu pengetahuan alam, sosial,
kedokteran, ekonomi dan sebagainya.
Pada dasarnya, matematika bertujuan untuk membantu melatih pola pikir
siswa agar mampu memecahkan masalah baik masalah dalam bidang matematika
maupun masalah dalam kehidupan sehari-hari, namun kebanyakan siswa tidak
berminat belajar matematika karena siswa memandang matematika sebagai bidang
studi yang abstrak. Terkadang ada beberapa siswa yang memandang bahwa
matematika hanya mampu dikuasai oleh siswa yang jenius saja. Salah satu upaya
yang dapat dilakukan oleh guru dalam melatih pola pikir siswa yaitu dengan
menumbuhkan minat belajar siswa dalam pembelajaran matematika.

2.2 Model Pembelajaran


Joyce dan Weil (1980) dalam Suharno dkk (1997:25) merumuskan model
pembelajaran adalah suatu rencana atau pola yang dapat digunakan untuk
membentuk kurikulum (suatu rencana pembelajaran jangka panjang) merancang
bahan-bahan pembelajaran, dan membimbing pembelajaran di kelas atau yang
lain. Law dan Kelton (1991: 5) dalam Wowo Sunaryo dkk (2007)
mendefinisikan model sebagai representasi suatu sistem yang dipandang dapat

6
mewakili sistem yang sesungguhnya. Mils (1989: 4) dalam Wowo Sunaryo dkk
(2007) berpendapat bahwa model adalah bentuk representasi akurat sebagai
proses aktual yang memungkinkan seseorang atau sekelompok orang mencoba
bertindak berdasarkan model itu. Model pengajaran disusun untuk mencapai
tujuan pendidikan tertentu. Model pembelajaran tersebut juga dapat dijadikan
pola pilihan, artinya guru boleh memilih model pembelajaran yang sesuai dan
efisien untuk mencapai tujuan pendidikannya. Secara khusus istilah ”model”
diartikan sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam
melakukan suatu kegiatan. Dengan demikian model pembelajaran didefinisikan
sebagai kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam
mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu dan
berfungsi sebagai pedoman bagi para pengajar dalam merencanakan dan
melaksanakan aktivitas pembelajaran (Winataputra, 2000:3). Menurut Joice dan Weil
(dalam Winataputra, 2000:5) mengatakan bahwa setiap model belajar mengajar
memiliki unsur-unsur sebagai berikut.
a. Sintakmatik adalah tahap-tahap dari kegiatan model
b. Sistem sosial adalah situasi atau suasana dan norma yang berlaku dalam
model
c. Prisip reaksi adalah pola kegiatan yang menggambarkan bagaimana guru
melihat dan memperlakukan para pelajar, termasuk bagaimana seharusnya
pengajar memberi respon terhadap mereka
d. Sistem pendukung adalah segala sarana, bahan dan alat yang diperlukan untuk
melaksanakan model
e. Dampak instruksional dan dampak pengiring
Dampak instruksional adalah hasil belajar yang dicapai langsung dengan cara
mengarahkan para pelajar pada tujuan yang diharapkan. Sedangkan dampak
pengiring adalah hasil belajar lain yang dihasilkan oleh suatu proses belajar
mengajar, sebagai akibat terciptanya suasana belajar yang dialami oleh para
pelajar tanpa pengarahan langsung dari pengajar.
Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran
adalah penggambaran kerangka konseptual dengan prosedur yang sistematis dalam
menggorganisasikan pengalaman belajar dan berfungsi sebagai pedoman bagi para
pengajar dalam melaksanakan aktivitas belajar mengajar.

2.3 Model Pembelajaran Kolaboratif


Mengkolaborasikan adalah mengerjakan sesuatu dengan pihak lain. Dalam
pembelajaran kolaboratif siswa belajar berpasangan atau membentuk kelompok
kecil dalam mencapai tujuan. Mereka membentuk kelompok belajar, tidak belajar
sendiri (Barkley,2007:4).
Setiap kelompok memiliki struktur yang khusus dan mendapatkan tugas
yang sama dari guru. Masing-masing kelompok saling membantu dan memiliki
tanggung jawab yang sama. Pembelajaran kolaboratif dirancang untuk
melaksanakan belajar tuntas. Pembelajaran tidak akan berhasil jika masing-masing
siswa tidak memahami tujuan atau kompetensi pembelajaran. Dalam mencapai tujuan
siswa melakukan konsultasi atau sharing dengan guru
(Barkley,2007:5).
Collaborative classrooms operate on three important principles :
1. Cooperative skill are taught, practiced and feedback is given on how
well the skills were used.
2. The class is encouraged to operated as a cohesive group.
3. Individuals are given responsibility for their own learning and
behaviour. (Susan Hill dan Tim Hill, 1996: 7)
Pembelajaran kolaboratif dilaksanakan dengan tiga prinsip, yaitu; 1)
kemampuan bekerjasama dalam berfikir, bertindak, dan merespon. 2) Suasana
kelas selalu didorong untuk saling mengikat. 3) Tiap individu bertanggungjawab
secara pribadi maupun sosial.
Pengajaran kolaboratif mempunyai 6 langkah utama (Joyce & Weil, 1996)
yaitu :
1. Penyampaian tujuan dan memotivasi peserta didik;
2. Penyajian informasi dalam bentuk demonstrasi atau melalui bahan bacaan;
3. Pengorganisasian peserta didik ke dalam kelompok-kelompok belajar;
4. Membimbing kelompok bekerja dan belajar;
5. Assesmen tentang apa yang sudah dipelajari sehingga masing-masing
kelompok mempresentasikan hasil kerjanya;
6. Memberikan penghargaan baik secara kelompok maupun individu.
Kebanyakan ahli pendidikan merujuk pada ahli kamus bahwa antara
pembelajaran kooperatif dan kolaboratif memiliki kesamaan arti, jika keduanya
diterapkan dalam kelompok belajar. Beberapa penulis menggunakan istilah ini
secara bergantian untuk mengartikan para murid yang sedang belajar kelompok.
Penulis lain tetap membedakan secara tegas antara cooperative dengan
collaborative learning (Bruffee, 1995 dalam Barkley, 2007 : 5).
Cooperative learning menggunakan kelompok atau group yang turut
membantu sistem pembelajaran untuk tetap dalam garis tradisional secara klasikal
(Flannery, 1994 dalam Barkley, 2007 : 5). Cooperative learning adalah sub
kategori sederhana dari kolaboratif learning (Cuseo,1992 dalam Barkley, 2007: 5)
Penulis lain menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif merupakan
bagian dari pembelajaran kolaboratif yang menggunakan pendekatan yang
sensible, pembelajaran kooperatif diposisikan sebagai sebuah kontinum dan
struktur dalam kooperatif menjadi struktur kolaboratif (Millis dan Cottel, 1998
dalam Barkley, 2007 : 5). Semenjak munculnya beberapa argumen maka istilah
cooperative learning dan collaborative learning dibedakan secara tajam.
Hasil belajar dapat dijelaskan dengan memahami dua kata yang
membentuknya yaitu hasil dan belajar. Dalam KBBI (1998) dijelaskan pengertian
hasil adalah sesuatu yang diadakan (dibuat, dijadikan, dsb.) oleh usaha. Pengertian
lain menurut Purwanto (2009) hasil (product) menunjuk pada suatu perolehan akibat
dilakukannya suatu aktivitas atau proses yang mengakibatkan berubahnya input
secara fungsional. Dapat disimpulkan bahwa hasil yang ingin dicapai perlu adanya
usaha berupa proses maupun aktivitas.
Belajar adalah proses perubahan tingkah laku sebagai akibat pengalaman
atau latihan (Sabri, 2007). Selain itu juga belajar dapat diartikan sebagai tahapan
perubahan seluruh tingkah laku individu yang relatif menetap sebagai hasil
pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang melibatakan proses kognitif
(Syah, 2004). Dalam definisi lain Slameto (2010) menyatakan bahwa belajar adalah
suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan
tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri
dalam interaksi dengan lingkungannya. Dari beberapa definisi mengenai belajar dapat
disimpulkan bahwa belajar adalah proses perubahan tingkah laku sebagai akibat dari
pengalaman atau latihan dan proses berpikir.
Hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa
setelah ia menerima pengalaman belajarnya (Sudjana, 2006). Hasil belajar merupakan
prestasi belajar peserta didik secara keseluruhan yang menjadi indikator kompetensi
dasar dan derajat perubahan perilaku yang bersangkutan (Mulyasa,2009). Sedangkan
menurut Dimyati dan Mudjiono (2002) hasil belajar adalah apa yang diperoleh oleh
siswa setelah dilakukan aktivitas belajar.
Menurut Mulyasa (2008) dalam pembelajaran, tugas guru yang paling utama
adalah mengkondisikan lingkungan agar menunjang terjadinya perubahan perilaku
bagi peserta didik. Umumnya pelaksanaan pembelajaran mencakup tiga hal: pre-test,
proses, dan pos-test. Ketiga hal tersebut dijelaskan berikut ini.
a. Pre-test (tes awal)
Pada umumnya pelaksanaan proses pembelajaran dimulai dengan pre-test.
Pre-test ini memiliki banyak kegunaan dalam menjajagi proses pembelajaran
yang akan dilaksanakan. Oleh karena itu pre-test memegang peranan yang
cukup penting dalam proses pembelajaran.
b. Proses
Proses disini dimaksudkan sebagai kegiatan dari pelaksanaan proses
pembelajaran, yakni bagaimana tujuan-tujuan belajar direalisasikan melalui
modul. Kualitas pembelajaran dapat dilihat dari segi proses dan dari segi
hasil. Dari segi proses pembelajaran dikatakan berkualitas apabila seluruhnya
atau setidak-tidaknya sebagian besar 75% peserta didik terlihat secara aktif,
baik fisik, mental maupun, sosial dalam proses pembelajaran. Sedangkan dari
segi hasil proses pembelajaran dikatakan berhasil apabila terjadi perubahan
perilaku yang positif pada diri peserta didik seluruhnya atau setidaktidaknya sebagian
besar 75%. Lebih lanjut proses pembelajaran dikatakan berhasil dan
berkualitas apabila masukan merata menghasilkan output yang banyak dan
bermutu tinggi, serta sesuai dengan kebutuhan, perkembangan masyarakat
dan pembangunan.
c. Post-test
Pada umumnya pelaksanaan pembelajaran diakhiri dengan post-test. Post-test
memiliki banyak pengetahuan terutama dalam melihat keberhasilan
pembelajaran. Dari berbagai pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa hasil belajar
merupakan suatu pencapaian untuk mengukur seberapa jauh belajar yang siswa
peroleh setelah melalui serangkaian proses belajar mengajar yang bertujuan untuk
mengukur suatu hasil pada pencapaian tujuan indikator pembelajaran yang telah
ditentukan.
Dari berbagai penjelasan diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa hasil
belajar bukan hanya diukur dari hasil kognitif akan tetapi membawa ke aspek yang
lain pula diantaranya aspek afektif yang mana aspek ini melihatkan perubahan sikap
dan nilai, dan juga membawa kepada aspek psikomotor berkaitan pada keterampilan
dan kemampuan baik secara bertingkah laku, fisik dan psikologis.
2.4 Ketuntasan Hasil Belajar Siswa
Belajar merupakan kegiatan setiap orang yang ingin memperoleh pengetahuan
dan ketrampilan, karena itu seseorang dikatakan belajar bila didalam dirinya terjadi
proses kegiatan yang mengakibatkan perubahan tingkah laku. Hal ini sesuai dengan
pendapat Sudjana (1989:22) hasil belajar adalah yang dimiliki siswa setelah ia
menerima pengalaman belajarnya atau pada hakekatnya hasil belajar adalah
perubahan tingkah laku setelah melakukan kegiatan belajar yang biasanya
ditunjukkan berupa nilai atau skor. Ketuntasan Belajar adalah tingkat atau batas
standar kompetensi yang harus dicapai oleh siswa permata pelajaran (Pusat
Kurikulum Balitbang DEPDIKNAS). Ketuntasan hasil belajar adalah pencapaian
taraf penguasaan minimal yang ditetapkan bagi setiap unit bahan ajar, baik secara
perorangan maupun kelompok. Untuk mengetahui ketuntasan hasil belajar siswa
diperoleh dari nilai tes akhir (post -test).
Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) hasil belajar ditentukan masing-masing
sekolah. Syarat Ketuntasan Belajar Minimal (SKBM) mata pelajaran Matematika
MTs Negeri 1 Medan adalah nilai 76 Ketuntasan hasil belajar secara klasikal
ditentukan menggunakan rumus persentase ketuntasan hasil belajar. Suatu kelas
dinyatakan tuntas apabila terdapat minimal 75% siswa didalam kelas telah mencapai
ketuntasan individual dengan nilai  76.

2.5 Hipotesis Tindakan


Berdasarkan rumusan permasalahan yang ada, maka hipotesis yang diajukan
pada penelitian ini sebagai berikut: Melalui model pembelajaran Kolaboratif dapat
meningkatkan prestasi belajar pada mata pelajaran Matematika siswa kelas VII-5 di
MTs Negeri 1 Medan.

Anda mungkin juga menyukai