Anda di halaman 1dari 31

BAB I

KONSEP MEDIS

A. Definisi

Anemia aplastik definisikan sebagai kegagalan sumsum tulang untuk

memproduksi komponen sel-sel darah. Anemia aplastik adalah kondisi anemia

yang disertai oleh pansitopenia pada darah tepi yang disebabkan kelainan

primer pada sumsum tulang dalam bentuk aplasia atau hipoplasia tanpa adanya

infiltrasi, supresi atau pendesakan sumsum tulang. (Aplastic Anemia. American

Cancer Society,2011)

Anemia aplastik dapat pula didefinisikan sebagai keadaan yang

menggambarkan berkurangnya volume sel darah merah , volume hemoglobin

dan volume hematokrit per 100 ml darah. Hal ini dapat disebabkan antara lain

karena berkurangnya co-faktor untuk eritropoesis seperti asam folat, vitamin

B12 dan defisiensi besi. Hal lain yang dapat berperan dalam terjadinya anemia

adalah tekanan pada sumsum tulang karena tumor atau intoksikasi obat.

(Price,1996 dalam Mutaqqin, 2011)

Anemia aplastik adalah anemia yang normokromik normositer yang

disebabkan oleh disfungsi sumsum tulang, sedemikian sehingga sel darah yang

mati tidak diganti yang disebabkan terhentinya pembuatan sel darah oleh

sumsum tulang (kerusakan susum tulang). (Ngastiyah.2007)

1
Anemia aplastik merupakan keadaan yang disebabkan bekurangnya sel

hematopoetik dalam darah tepi seperti eritrosit, leukosit dan trombosit sebagai

akibat terhentinya pembentukan sel hemopoetik dalam sumsum tulang atau

dapat pula dsebabkan kegagalan anatomi dan fisiologi dari sumsum tulang

yang mengarah pada suatu penurunan nyata atau tidak adanya unsur

pembentukan darah dalam sumsum. (FKUI, 2005)

Pansitopenia sendiri adalah suatu keadaan yang ditandai oleh adanya

anemia, leukopenia, dan trombositopenia dengan segala manifestasinya.

Gejala-gejala yang timbul akan sesuai dengan jenis sel-sel darah yang

mengalami penurunan. Jika eritrosit yang menurun maka akan menimbulkan

gejala anemia dari ringan sampai berat, antara lain lemah, letih, lesu, pucat,

pusing, sesak nafas, penurunan nafsu makan dan palpitasi. (Paquette, 2011)

Bila terjadi leukositopenia maka terjadi peningkatan resiko infeksi,

penampakan klinis yang paling sering nampak adalah demam dan nyeri. Dan

bila terjadi trombositopenia maka akan mudah mengalami pendarahan seperti

perdarahan gusi, epistaksis, petekia, ekimosa dan lain-lain.Anemia aplastik

merupakan penyakit yang berat dan kasusnya jarang dijumpai. (AAACS,

2011).

The International Aplastic Anemia and Agranulocytosis Study tahun

2009 menemukan insiden terjadinya anemia aplastik di Eropa sekitar 2 dari

1.000.000 pertahun. Insiden di Asia 2 sampai 3 kali lebih tinggi dibandingkan

di Eropa. Di China insiden diperkirakan 7 kasus per 1.000.000 orang dan di

2
Thailand diperkirakan 4 kasus per 1.000.000 orang. Frekwensi tertinggi terjadi

pada usia 15 dan 25 tahun, puncak tertinggi kedua pada usia 65 dan 69 tahun

B. Etiologi

Penyebab anemia aplastik sendiri sebagian besar (50-70%) tidak

diketahui atau bersifat idiopatik disebabkan karena proses penyakit yang

berlangsung perlahan-lahan. Anemia aplastik biasanya disebabkan oleh dua

faktor penyebab yaitu faktor primer dan sekunder.

Untuk faktor primer disebabkan kelainan kongenital (Fanconi,

nonFaconi dan dyskeratosis congenital) dan idiopatik. Faktor sekunder yang

berasal dari luar tubuh, bisa diakibatkan oleh paparan radiasi bahan kimia dan

obat, ataupun oleh karena penyebab lain seperti infeksi virus (hepatitis, HIV,

dengue), radiasi, dan akibat kehamilan

C. Patofisiologi

Walaupun banyak penelitian yang telah dilakukan hingga saat ini,

patofisiologi anemia aplastik belum diketahui secara tuntas. Ada 3 teori yang

dapat menerangkan patofisiologi penyakit ini (AAACS, 2011) yaitu :

1. kerusakan sel hematopoitik

2. kerusakan lingkungan mikro sumsum tulang

3. proses imunologik yang menekan hematopoisis

Keberadaan sel induk hematopoitik dapat diketahui lewat petanda sel

yaitu CD 34, atau dengan biakan sel. Dalam biakan sel padanan induk

hematopoitik dikenal sebagai, longterm culture-initiating cell (LTC-IC), long-

term marrow culture (LTMC), jumlah sel induk/ CD 34 sangat menurun hingga

3
1-10% dari normal. Demikian juga pengamatan pada cobble-stone area

forming cells jumlah sel induk sangat menurun.

Bukti klinis yang yang menyokong teori gangguan sel induk ini adalah

keberhasilan transplantasi sumsum tulang pada 60-80% kasus. Hal ini

membuktikan bahwa dengan pemberian sel induk dari luar akan terjadi

rekonstruksi sumsum tulang pada pasien anemia aplastik. Beberapa sarjana

menganggap gangguan ini dapat disebabkan oleh proses imunologik.

Kemampuan hidup dan daya proliferasi serta diferensiasi sel induk

hematopoitik tergantung pada lingkungan mikro sumsum tulang yang terdiri

dari sel stroma yang menghasilkan berbagai sitokin perangsang seperti GM-

CSF, G-CSF dan IL-6 dalam jumlah normal. Sel stroma pasien anemia aplastik

dapat menunjang pertumbuhan sel induk, tapi sel stroma normal tidak dapat

menumbuhkan sel induk yang berasal dari pasien.

Berdasarkan temuan tersebut, teori kerusakan lingkungan mikro sumsum

tulang sebagai penyebab mendasar anemia apalstik makin banyak ditinggalkan.

Anemia aplasia sepertinya tidak disebabkan oleh kerusakan stroma atau

produksi faktor pertumbuhan.

Kerusakan ekstrinsik pada sumsum terjadi setelah trauma radiasi dan

kimiawi seperti dosis tinggi pada radiasi dan zat kimia toksik. Untuk reaksi

idiosinkronasi yang paling sering pada dosis rendah obat, perubahan

metabolisme obat kemungkinan telah memicu mekanisme kerusakan. Jalur

metabolisme dari kebanyakan obat dan zat kimia, terutama jika bersifat polar

dan memiliki keterbatasan dalam daya larut dengan air, melibatkan degradasi

4
enzimatik hingga menjadi komponen elektrofilik yang sangat reaktif (yang

disebut intermediate); komponen ini bersifat toxic karena kecenderungannya

untuk berikatan dengan makromolekul seluler.

Sebagai contoh, turunan hydroquinones dan quinolon berperan terhadap

cedera jaringan. Pembentukan intermediat metabolit yang berlebihan atau

kegagalan dalam detoksifikasi komponen ini kemungkinan akan secara genetic

menentukan namun perubahan genetis ini hanya terlihat pada beberapa obat;

kompleksitas dan spesifitas dari jalur ini berperan terhadap kerentanan suatu

loci dan dapat memberikan penjelasan terhadap jarangnya kejadian reaksi

idiosinkronasi obat.

Selain teori tersebut diatas, beberapa teori mengenai patofisiologi dari

anemia aplastik bisa disebabkan oleh dua hal yaitu kerusakan pada sel induk

pluripoten yaitu sel yang mampu berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel-

sel darah yang terletak di sumsum tulang dan karena kerusakan pada

microenvironment. Gangguan pada sel induk pluripoten ini menjadi penyebab

utama terjadinya anemia aplastik.

Sel induk pluripoten yang mengalami gangguan gagal membentuk atau

berkembang menjadi sel-sel darah yang baru. Umumnya hal ini dikarenakan

kurangnya jumlah sel induk pluripoten ataupun karena fungsinya yang

menurun. Penanganan yang tepat untuk individu anemia aplastik yang

disebabkan oleh gangguan pada sel induk adalah terapi transplantasi sumsum

tulang.

5
Kerusakan pada microenvironment, ditemukan gangguan pada

mikrovaskuler, faktor humoral (misalkan eritropoetin) maupun bahan

penghambat pertumbuhan sel. Hal ini mengakibatkan gagalnya jaringan

sumsum tulang untuk berkembang. Gangguan pada microenvironment berupa

kerusakan lingkungan sekitar sel induk pluripoten sehingga menyebabkan

kehilangan kemampuan sel tersebut untuk berdiferensiasi menjadi sel-sel

darah.

Selain itu pada beberapa penderita anemia aplastik ditemukan sel

inhibitor atau penghambat pertumbuhan sel. Hal ini dapat dibuktikan dengan

adanya limfosit T yang menghambat pertumbuhan sel-sel sumsum tulang

D. Klasifikasi Anemia

1. Klasifikasi anemia berdasarkan penyebabnya dapat dikelompokkan

menjadi tiga kategori yaitu:

a. Anemia karena hilangnya sel darah merah, terjadi akibat perdarahan

karena berbagai sebab seperti perlukaan, perdarahan gastrointestinal,

perdarahan uterus, perdarahan hidung, perdarahan akibat operasi.

b. Anemia karena menurunnya produksi sel darah merah, dapat

disebabkan karena kekurangan unsur penyusun sel darah merah (asam

folat, vitamin B12 dan zat besi), gangguan fungsi sumsum tulang

(adanya tumor, pengobatan, toksin), tidak adekuatnya eritropoitin (pada

penyakit ginjal kronik). Contohnya anemia defisiensi besi, anemia

megaloblastik, anemia defisiensi vitamin B12, anemia defisiensi asam

folat, anemia aplastik.

6
c. Anemia karena meningkatnya detruksi/kerusakan sel darah merah,

dapat terjadi karena overaktifnya Reticuloendothelia system (RES).

Contohnya anemia hemolitik, anemia sel sabit.

2. Klasifikasi anemia berdasarkan faktor morfologik sel darah merah

a. Normokromik normositik yaitu memilki ukuran dan bentuk normal

serta mengandung jumlah hemoglobin normal. Penyebab keadaan ini

adalah kehilangan darah akut, hemolisis, penyakit kronis yang meliputi

infeksi, gangguan endikrin, gangguan ginjal, kegagalan sumsum tulang,

dan penyakit-penyakit metastatik pada sumsum tulang.

b. Normokromik makrositik yaitu memilki ukran yang lebih besar dari

normal tetapi konsentrasi hemoglobin normal. Penyebab keadaan ini

adalah terganggunya atau terhentinya sintesis asam deoksirinonukleat

(DNA) seperti yang ditemukan pada defisiensi B12 atau asam folat,

atau pada pasien yang sedang mengalami kemoterapi.

c. Hipokromik mikrositik yaitu selnya kecil dan warnanya berkurang

karena jumlah hemoglobin yang kurang dari normal. Keadaan ini

mencerminkan insufisiensi sintesis heme atau kekurangan zat besi.

3. Klasifikasi anemia berdasarkan derajat anemianya (WHO, 2010)

a. Anemia ringan sekali Hb 10 g/dl- batas normal

b. Anemia ringan Hb 8 g/dl- <11 g/dl

c. Anemia sedang Hb 5 g/dl- <8 g/dl

d. Anemia berat Hb < 5g/dl

7
Sedangkan klasifikasi untuk anemia aplastik menurut International

granulocytosis and Aplastic Anemia Study Group (IAASG) adalah :

1. Eritroblastopenia (anemia hipoblastik) : aplasia yang mengenai system

eritropoetik

2. Agranulositosis (anemia hipoplastik) : aplasia yang mengenai system

agranulopoetik

3. Amegakaryositik (Schultz desease) : aplasia yang mengenai system

trombopoetik

4. Panmielopsitis (anemia aplastic) aplasia yang mengenai system

eritropoetik, agranulopoetik dan trombopoetik

E. Manifestasi Klinik

1. Lelah, capek

2. Demam berulang karena infeksi

3. Perdarahan berbagai manifestasi bila ada trombositopenia pada

pansitopenia

4. Konsentrasi kurang

5. Sakit kepala, pusing

6. Palpitasi

7. Pucat

8. Purpura, peteki, ekmosis

9. Takikardi

10. Infeksi mulut

11. Hepatosplenomegali

8
F. Diagnosis

Kriteria diagnosis anemia aplastik menurut International Agranulocytosis and

Aplastic Anemia Study Group (IAASG) adalah :

1. Satu dari tiga sebagai berikut:

a. Hemoglobin kurang dari 10 g/dL atau hematokrit kurang dari 30%

(hemoglobin normal 13,8 – 17,2 g/dL pada laki-laki dan 12- 15,6 g/dL

pada perempuan dan hematokrit pada laki-laki 41-50%, pada

perempuan 35-46%.) nilai tersebut dapat berbeda pada tiap klinik atau

rumah sakit.

b. Trombosit kurang dari 50x109/L (normalnya 150-450x109/L)

c. Leukosit kurang dari 3,5x109/L (normalnya 4,5-10x109/L)

2. Dengan retikolosit < 30x109/L (<1%)

3. Dengan gambaran sumsum tulang (harus ada specimen yang adekuat):

a. Penurunan selularitas dengan hilangnya atau menurunnya semua sel

hemopoetik atau selularitas normal oleh hyperplasia eritroid fokal

dengan deplesi seri granulosit dan megakariosit.

b. Tidak adanya fibrosis yang bermakna atau infiltrasi neoplastik

4. Pansitopenia karena obat sitostatika atau radiasi terapeutik harus dieklusi.

9
Setelah diagnosis ditegakkan, maka tentukan tingkat kaparahan dari

anemia aplastik. Untuk klasifikasi derajat keparahan dari anemia aplastik dapat

dibagi menjadi 3 tingkatan sebagai berikut :

1. Anemia aplastik tidak berat dimana sumsum tulang tidak hiposeluler

namun sitopenia atau pansitopenia tidak memenuhi kriteria berat.

2. Anemia aplastik berat dimana selulitas sumsum tulang < 25%, sitopenia

sedikitnya dua dari tiga seri sel darah yaitu hitung neutrofilnya <500/μL,

hitung trombosit < 20.000/μL, hitung retikulosit absolute< 60.000/μL.

3. Anemia aplastik sangat berat, sama seperti dengan kriteria anemia aplastik

berat kecuali neutrofilnya < 200/μL

G. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan laboratorium hematologis

Pemeriksaan laboratorium hematologis dilakukan secara bertahap sebagai

berikut:

a) Tes penyaring: tes ini dikerjakan pada tahap awal setiap kasus anemia.

Dengan pemeriksaan ini, dapat dipastikan adanya anemia dan bentuk

morfologi anemia tersebut. Pemeriksaan ini meliputi pengkajian pada

komponen-komponen berikut ini:

1) Kadar hemoglobin

2) Indeks eritrosit (MCV, MCH dan MCHC)

3) Apusan darah tepi

b) Pemeriksaan rutin merupakan pemeriksaan untuk mengetahui kelainan

pada sistem leukosit dan trombosit. Pemeriksaan yang dikerjakan

10
meliputi Laju Endap Darah (LED), hitung differensial, dan hitung

retikulosit

c) Pemeriksaan sumsum tulang: pemeriksaan ini harus dikerjakan pada

sebagian besar kasus anemia untuk mendapatkan diagnosis definitif

meskipun ada beberapa kasus yang diagnosisnya tidak memerlukan

pemeriksaan sumsum tulang

d) Pemeriksaan atas indikasi khusus: pemeriksaan ini akan dikerjakan jika

telah mempunyai dugaan diagnosis awal sehingga fungsinya adalah

untuk mengkonfirmasi dugaan diagnosis tersebut. Pemeriksaan tersebut

meliputi komponen berikut ini:

1) Anemia defisiensi besi: serum iron, TIBC, saturasi transferin dan

feritin serum

2) Anemia megaloblastik: asam folat darah/ eritrosit, vitamin B12

3) Anemia hemolitik: hitung retikulosit, tes coombs dan elektroforesis

Hb

4) Anemia pada leukemia akut biasanya dilakukan pemeriksaan

sitokimia

2. Pemeriksaan laboratorium non hematologis

Pemeriksaan laboratorium non hematologis meliputi:

a) Faal ginjal / hati

b) Faal endokrin

c) Asam urat

d) Biakan kuman

11
3. Pemeriksaan penunjang lain

Pada beberapa kasus anemia diperlukan pemeriksaan penunjang sebagai

berikut:

a. Biopsi kelenjar yang dilanjutkan dengan pemeriksaan histopatologi

b. Radiologi: thoraks, bone survey, USG, atau limfangiografi

c. Pemeriksaan sitogenetik

d. Pemeriksaan biologi molekuler (PCR= polymerasi Chain Reaction,

FISH= fluorescence in situ hybrydization)

MENURUT DOENGES 2010

a. Jumlah darah lengkap (JDL): hemoglobin dan hematokrit menurun

b. Jumlah eritrosit : menurun (AP), menurun berat (aplastik); MCV

(volume korpuskular rerata) dan MCH (hemoglobin korpuskular rerata)

menurun dan mikrositik dengan eritrosit hipokromik (DB), peningkatan

(AP). Pansitopenia (aplastik)

c. Jumlah retikulosit: bervariasi, misalnya; menurun (AP), meningkat

(respons sumsum tulang terhadap kehilangan darah/ hemolisis)

d. Pewarnaan SDM: mendeteksi perubahan warna dan bentuk (dapat

mengindikasikan tipe khusus anemia)

e. LED: peningkatan menunjukkan adanya reaksi inflamasi, mis:

peningkatan kerusakan SDM atau penyakit malignasi

f. Masa hidup SDM: berguna dalam membedakan diagnosa anemia, mis:

pada tipe anemia tertentu, SDM mempunyai waktu hidup lebih pendek

g. Tes kerapuhan eritrosit: menurun (DB)

12
h. SDP: jumlah sel total sama dengan SDM (differensial) mungkin

meningkat (hemolitik) atau menurun (aplastik)

i. Jumlah trombosit: menurun (aplastik); meningkat (DB); normal atau

tinggi (hemolitik)

j. Hemoglobin elektroforesis: mengidentifikasi tipe struktur hemoglobin

k. Bilirubin serum (tak terkonjugasi): meningkat (AP, hemolitik)

l. Folat serum dan vitamin B12: membantu mendiagnosa anemia

sehubungan dengan defisiensi masukan/ absorbsi

m. Besi serum: tak ada (DB); tinggi (hemolitik)

n. TIBC serum: meningkat (DB)

o. Feritin serum: menurun (DB)

p. Masa perdarahan: memanjang (aplastik)

q. LDH serum: mungkin meningkat (AP)

r. Tes schilling: penurunan ekskresi vitamin B12 urine (AP)

s. Guaiak: mungkin positif untuk darah pada urine, feses dan isi gaster,

menunjukkan perdarahan akut/ kronis (DB)

t. Analisa gaster: penurunan sekresi dengan peningkatan pH dan tak

adanya asam hidroklorik bebas (AP)

u. Aspirasi sumsum tulang/ pemeriksaan biopsi: sel mungkin tampak

berubah dalam jumlah, ukuran dan bentuk, membentuk membedakan

tipe anemia, mis: peningkatan megaloblas (AP), lemak sumsum dengan

penurunan sel darah (aplastik)

13
v. Pemeriksaan endoskopik dan radiografik: memeriksa sisi perdarahan;

perdarahan GI

H. Penatalaksanaan

1. Terapi Kausal

Terapi kausal adalah usaha untuk menghilangkan agen penyebab.

Hindarkan pemaparan lebih lanjut terhadap agen penyebab yang tidak

diketahui. Akan tetapi,hal ini sulit dilakukan karena etiologinya tidak jelas

atau penyebabnya tidak dapat dikoreksi.

2. Terapi suportif

Terapi suportif bermanfaat untuk mengatasi kelainan yang timbul akibat

pansitopenia. Adapun bentuk terapinya adalah sebagai berikut :

a. Untuk mengatasi infeksi

1) Hygiene mulut

2) Identifikasi sumber infeksi serta pemberian antibiotik yang tepat

dan adekuat/.

3) Transfusi granulosit konsertat diberikan pada sepsis berat.

b. Usaha untuk mengatasi anemia, Berikan transfusi packed red

cell  (PRC) jika hemoglobin < 7 gr/ atau tanda payah jantung atau

anemia yang sangat simptomatik. Koreksi Hb sebesar 9-10 g% tidak

perlu sampai normal karena akan menekan eritropoesis internal

c. Usaha untuk mengatasi perdarahan. Berikan transfusi konsertat

trombosit jika terdapat pedarahan mayor atau trombosit < 20.000/mm3.

14
d. Terapi untuk memperbaiki fungsi sumsum tulang, Obat untuk

merangsang fungsi sumsum tulang adalah sebagai berikut :

Anabolik steroid à dapat diberikan oksimetolon atau stanal dengan

dosis 2-3 mg/kgBB/hari. Efek terapi tampak setelah 6-8 minggu. Efek

samping yang dialami berupa virilisasi dan gangguan fungsi hati.

a) Kortikosteroid dosis rendah sampai menengah.

b) GM-CSF atau G-CSF dapat diberikan untuk meningkatkan jumlah

neutrofil.

e. Terapi Definitif

Terapi definitif merupakan terapi yang dapat memberikan kesembuhan

jangka panjang. Terapi definitif untuk anemia aplastik terdiri atas dua

jenis pilihan sebagai berikut :

1) Terapi imunosuprersif

a) Pemberian anti-lymphocyte globuline (ALG) atau anti-

thymocyte globuline (ATG) dapat menekan proses imunologis

b) Terapi imunosupresif lain, yaitu pemberian metilprednison dosis

tinggi

2) Transplantasi sumsum tulang

Transplantasi sumsum tulang merupakan terapi definitif yang

memberikan harapan kesembuhan, tetapi biayanya mahal.

15
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN (TEORI)

A. Pengkajian

Pengkajian adalah langkah awal dan dasar dalam proses keperawatan secara

menyeluruh. Pengkajian pasien dengan anemia meliputi :

1. Biodata

Mengkaji identitas klien dan penanggung yang meliputi : nama, umur,

agama, suku bangsa, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, perkawinan

ke-, lamanya perkawinan dan alamat

2. Aktifitas / Istirahat

a. Gejala : keletihan, kelemahan, malaise umum. Kehilangan

produktivitas, penurunan semangat untuk bekerja. Toleransi terhadap

latihan rendah. Kebutuhan untuk tidur dan istirahat lebih banyak.

b. Tanda : takikardia/ takipnae ; dispnea pada waktu bekerja atau istirahat.

Letargi, menarik diri, apatis, lesu, dan kurang tertarik pada sekitarnya.

Kelemahan otot, dan penurunan kekuatan. Ataksia, tubuh tidak tegak.

Bahu menurun, postur lunglai, berjalan lambat, dan tanda-tanda lain

yang menunujukkan keletihan.

3. Sirkulasi

a. Gejala : riwayat kehilangan darah kronik, misalnya perdarahan GI

kronis, menstruasi berat (DB), angina, CHF (akibat kerja jantung

berlebihan). Riwayat endokarditis infektif kronis. Palpitasi (takikardia

kompensasi).

16
b. Tanda : TD : peningkatan sistolik dengan diastolik stabil dan tekanan

nadi melebar, hipotensi postural. Disritmia : abnormalitas EKG, depresi

segmen ST dan pendataran atau depresi gelombang T; takikardia. Bunyi

jantung : murmur sistolik (DB). Ekstremitas (warna) : pucat pada kulit

dan membrane mukosa (konjuntiva, mulut, faring, bibir) dan dasar

kuku. (catatan: pada pasien kulit hitam, pucat dapat tampak sebagai

keabu-abuan). Kulit seperti berlilin, pucat (aplastik, AP) atau kuning

lemon terang (AP). Sklera : biru atau putih seperti mutiara (DB).

Pengisian kapiler melambat (penurunan aliran darah ke kapiler dan

vasokontriksi kompensasi) kuku : mudah patah, berbentuk seperti

sendok (koilonikia) (DB). Rambut : kering, mudah putus, menipis,

tumbuh uban secara premature (AP).

4. Integritas ego

a. Gejala : keyakinanan agama/budaya mempengaruhi pilihan pengobatan,

misalnya penolakan transfusi darah.

b. Tanda : depresi.

5. Eliminasi

a. Gejala : riwayat pielonefritis, gagal ginjal. Flatulen, sindrom

malabsorpsi (DB). Hematemesis, feses dengan darah segar, melena.

Diare atau konstipasi. Penurunan haluaran urine.

b. Tanda : distensi abdomen.

17
6. Makanan/cairan

a. Gejala : penurunan masukan diet, masukan diet protein hewani

rendah/masukan produk sereal tinggi (DB). Nyeri mulut atau lidah,

kesulitan menelan (ulkus pada faring). Mual/muntah, dyspepsia,

anoreksia. Adanya penurunan berat badan. Tidak pernah puas

mengunyah atau peka terhadap es, kotoran, tepung jagung, cat, tanah

liat, dan sebagainya (DB).

b. Tanda : lidah tampak merah daging/halus (AP; defisiensi asam folat dan

vitamin B12). Membrane mukosa kering, pucat. Turgor kulit : buruk,

kering, tampak kisut/hilang elastisitas (DB). Stomatitis dan glositis

(status defisiensi). Bibir : selitis, misalnya inflamasi bibir dengan sudut

mulut pecah. (DB).

7. Neurosensori

a. Gejala : sakit kepala, berdenyut, pusing, vertigo, tinnitus, ketidak

mampuan berkonsentrasi. Insomnia, penurunan penglihatan, dan

bayangan pada mata. Kelemahan, keseimbangan buruk, kaki goyah ;

parestesia tangan/kaki (AP) ; klaudikasi. Sensasi manjadi dingin.

b. Tanda : peka rangsang, gelisah, depresi cenderung tidur, apatis.

Mental : tak mampu berespons, lambat dan dangkal. Oftalmik :

hemoragis retina (aplastik, AP). Epitaksis : perdarahan dari lubang-

lubang (aplastik). Gangguan koordinasi, ataksia, penurunan rasa getar,

dan posisi, tanda Romberg positif, paralysis

18
8. Nyeri/kenyamanan

 Gejala : nyeri abdomen samar : sakit kepala

9. Pernapasan

a. Gejala : riwayat TB, abses paru. Napas pendek pada istirahat dan

aktivitas.

b. Tanda : takipnea, ortopnea, dan dispnea.

10. Keamanan

a. Gejala : riwayat pekerjaan terpajan terhadap bahan kimia,. Riwayat

terpajan pada radiasi; baik terhadap pengobatan atau kecelekaan.

Riwayat kanker, terapi kanker. Tidak toleran terhadap dingin dan panas.

Transfusi darah sebelumnya. Gangguan penglihatan, penyembuhan luka

buruk, sering infeksi

b. Tanda : demam rendah, menggigil, berkeringat malam, limfadenopati

umum. Ptekie dan ekimosis (aplastik).

11. Seksualitas

a. Gejala : perubahan aliran menstruasi, misalnya menoragia atau amenore

(DB). Hilang libido (pria dan wanita). Imppoten.

b. Tanda : serviks dan dinding vagina pucat.

19
B. Penyimpangan KDM
Defisit ko factor eritropoesis : Hematosis oleh aktivitas 1. Sumsum tulang tertekan
1. Defisiensi B12 system retikuloendotelia yang (tumor atau obat)
2. Defisiensi asam folat berlebihan 2. Kekurangan eritropoetin
3. Defisiensi iron 3. Abnormalitas produksi sel
Kehilangan cairan akut/kronis darah merah

Defisiensi sel darah merah

Penurunan suplai O2 ke jaringan

Hipoksia jaringan

Mekanisme kompensasi tubuh


Peningkatan Cardiac Output dan Respirasi
Peningkatan pelepasan O2 dari hemoglobin
Peningkatan volume plasma
Redistribusi aliran darah ke organ-organ vital

20
Peningkatan Peningkatan Frekuensi jantung Penurunan Perfusi Penurunan perfusi
Respirasi Rate jantung ke saluran cerna
Beban kerja jantung meningkat

Hipertrofi ventrikel
Pola nafas tidak
efektif
Penuruan loading LV Aliran darah sistemik Aliran darah tidak Anoreksia, nausea,
tidak adekuat adekuat ke jantung konstipasi, penurunan
Penurunan Cardiac Output dan otak Berat badan

Kondisi dan prognosis Kelemahan Fisik Sakit kepala, iskemia Nutrisi kurang dari
penyakit miokard kebutuhan
Iskemia miokard

Kecemasan
Gangguan pemenuhan Gangguan perfusi
aktivitas jaringan

Nyeri dada

21
C. Diagnosa Keperawatan

1. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan

konsentrasi hemoglobin untuk mengikat oksigen ke jantung dan otak

2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan respon hyperventilasi

3. Nyeri dada berhubungan dengan penurunan suplai oksigen ke miokard

4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan

dengan penurunan intake, mual dan anoreksia

5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai oksigen

ke jaringan

6. Cemas berhubungan dengan penurunan status kesehatan dan krisis situasi

22
D. Rencana Tindakan/ Intervensi Keperawatan

Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional


1. Ketidakefektifan perfusi Dalam waktu 2 x 24 jam perfusi 1. Kaji satus mental pasien secara Mengukur derajat hipoksia pada otak
jaringan perifer perifer meningkat periodic
berhubungan dengan Kriteria hasil :
penurunan konsentrasi 1. Pasien tidak mengeluh pusing 2. Beri support O2 3-4 lpm Menjaga patensi kebutuhan oksigen di otak
hemoglobin untuk 2. TD 110-120/ 70-90 mmHg
mengikat oksigen ke 3. Nadi 80-100 x/ menit 3. Kaji factor penyebab penurunan sel Diketahuinya defisiensi kofaktor
jantung dan otak 4. CRT < 3 detik darah merah eritropoesis

4. Kaji warna kulit, suhu, sianosis, Mengetahui derajat hipoksemia dan


nadi perifer dan diaphoresis secara peningkatan tahanan perifer
periodic

5. Pantau urine output Output < 600 cc/hari merupakan tanda syok
kardiogenik

6. Catat adanya keluhan pusing Merupakan manifestasi penurunan suplai


oksigen ke jaringan otak

7. Observasi irama dan frekuensi Perbahan yang terjadi menunjukkan


jantung komplikasi disritmia

8. Beri makanan kecil/ mudah Makanan besar meningkatkan kerja


dikunyah miokardium

23
9. Kolaborasi :
a. Pertahankan IV line adekuat Akses cepat pemberian obat emergency jika
b. Transfusi darah terjadi kegawatan dan akses tranfusi
Penilaian pasca intervensi
c. Pantau nilai laboratorium Menghentikan fungsi imunologis yang
d. Pemberian imunosupresif memperpanjang aplasia

Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional


2. Pola nafas tidak efektif Dalam waktu 1 x 24 jam tidak terjadi 1. Auskultasi bunyi nafas (crackles) Indikasi edema paru sekunder akibat
berhubungan dengan perbahan pola nafas atau pola nafas dekompensasi jantung
respon hyperventilasi kembali efektif
Kriteria hasil : 2. Kaji edema Menunjukkan tanda kongesti atau overload
1. Secara subjektif pasien cairan
melaporkan sesak berkurang
3. Ukur intake dan output urine
2. RR 18-20 x/menit Penurunan CO berakibat gangguan pada
3. Pengembangan paru optimal ginjal, retensi natrium/ air
4. Pertahankan asupan cairan 2000 cc/
24 jam dalam toleransi
kardiovaskuler
Memenuhi kebutuhan cairan tubuh orang
dewasa, namun tetap dalam pembatasan
5. Kolaborasi : terkait dekompensasi jantung
a. Diet tanpa garam
Natrium dapat meningkatkan retensi cairan
dan meningkatkan volume plasma yang
berdampak terhadap peningkatan beban
kerja jantung
b. Terapi diuretic

24
Menurunkan volume plasma dan retensi
cairan di jaringan

c. Pantau nilai laboratorium,


elektrolit

Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional


3. Nyeri dada berhubungan Dalam waktu 1 x 24 jam tidak ada 1. Catat karakteristik nyeri, lokasi, Variasi penampilan dan perilaku pasien
dengan penurunan suplai keluhan dan mendapatkan respon intensitas, durasi dan penjalaran karena nyeri
oksigen ke miokard penurunan nyeri dada. nyeri
Kriteria hasil :
1. Secara subjektif pasien 2. Anjurkan pada pasien untuk Nyeri berat dapat mengakibatkan syok
mengatakn penurunan rasa nyeri melaporkan nyeri dengan segera kardiogenik dengan dampak kematian
2. TD 110-120/ 70-90 mmHg
3. Nadi 80-100 x/ menit
4. Wajah rileks 3. Lakukan managemen nyeri :
5. Tidak terjadi penurunan perfusi a. Atur posisi fisiologis pasien Meningkatkan asupan O2 sehingga
perifer menurunkan nyeri sekunder dari iskemia
jaringan

Menurunkan kebutuhan O2 jaringan perifer


b. Istirahatkan pasien sehingga asupan ke miokardium lebih
optimal

Meningkatkan kandungan O2 jaringan dan


menghindarkan iskemia
c. Beri oksigen 2-3 lpm

25
Menurunkan stimulus nyeri eksternal dan
pembatasan pengunjung memungkinkan
pasien mendapatkan O2 maksimal
d. Managemen lingkungan :
tenang dan batasi pengunjung Meningkatkan asupan O2 dan
menghindarkan iskemia

Menurunkan stimulus dengan peningkatan


e. Ajarkan relaksasi nafas dalam
produksi endofrin dan ankefalin yang dapat
memblok reseptor nyeri

f. Ajarkan tehnik distraksi pada Bertujuan meningkatkan aliran darah dan


saat nyeri mengoptimalkan O2 ke miokardium

4. Kolaborasi pemberian terapi


antiangina

Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional


4. Ketidakseimbangan Dalam waktu 3 x 24 jam status 1. Jelaskan manfaat nutrisi untuk Pemahaman yang baik akan membuat
nutrisi kurang dari nutrisi adekuat kesehatan pasien kooperatif dalam mengikuti anjuran
kebutuhan tubuh Kriteria hasil :
berhubungan dengan 1. Secara subjektif pasien 2. Anjurkan pasien mengkonsumsi Menghindari makanan yang dapat
penurunan intake, mual termotivasi untuk meningkatkan makanan yang disediakan RS mengakibatkan komplikasi penyakitnya
dan anoreksia asupan nutrisi

26
2. Porsi makan meningkat 3. Sajikan makanan dalam keadaan Peningkatan selera makan dan mencegah
hangat, kecil dan diet TKTPRG mual

4. Libatkan keluarga dalam Memberikan perasaan positif pada pasien


pemenuhan nutrisi pasien seaan-akan makan ditengah keluarga

5. Beri motivasi dan dukungan Dukungan dan sugesti positif


psikologis

6. Kolaborasi :
a. Dengan nutrient tentang Pemenuhan kebutuhan vitamin dan
pemenuhan gizi pasien memperbaiki daya tahan tubuh
b. Pemberian multivitamin

Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional


5. Intoleransi aktivitas Dalam 4 x 24 jam aktivitas pasien 1. Catat frekuensi dan irama jantung Perubahan yang signifikan menunjukkan
berhubungan dengan sehari-hari terpenuhi. atau perubahan TD sebelum dan penurunan oksigen di miokard
ketidakseimbangan suplai Kriteria hasil : sesudah aktivitas
oksigen ke jaringan 1. Pasien beraktivitas tanpa ada
tanda-tanda terjadinya hipoksia 2. Tingkatkan istirahat, beri aktivitas Menurunkan kerja miokard
atau menunjukkan adaptasi ringan
yang adekuat

3. Anjurkan pasien untuk menghindari Dapat meningkatkan beban kerja jantung


peningkatan tekanan abdomen
(mengejan)

4. Jelaskan pola peningkatan aktivitas, Adaptasi jantung terhadap peningkatan

27
seperti : bangun dari kursi, bila kuat beban aktivitas
lakukan ambulasi lalu istirahat

5. Evaluasi TTV saat ada kemajuan Antisipasi fungsi jantung menurun


aktivitas
6. Beri waktu istirahat diantara Tidak memaksakan jantung bekerja terus
aktivitas menerus
7. Observasi frekuensi nafas, dysonea, Antisipasi dampak penurunnan fungsi
sianosis serta diaphoresis jantung

Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional


6. Cemas berhubungan Dalam waktu 1 x 24 jam kecemasan 1. Bantu pasien mengekspresikan Cemas berkepanjangan memberikan
dengan rasa takut akan pasien berkurang perasaan cemasnya dampak serangan jantung
kematian, penurunan Kriteria hasil
status kesehatan, situasi 1. Pasien menyatakan 2. Kaji tanda verbal dan non verbal Reaksi verbal/non verbal dapat
krisis dan ancaman kecemasannya berkurang kecemasan serta damping pasien menunjukkan rasa agitasi, marah dan
2. Pasien mampu mengidentifikasi gelisah
penyebab cemas
3. Pasien kooperatif terhadap Membangkitkan rasa marah dan
tindakan 3. Hindari konfrontasi menghilangkan BHSP
4. Wajah terlihat rileks
Beri informasi tentang kondisi pasien,
4. Tingkatkan control sensasi pasien hargai beri pujian yang wajar.

Menghilangkan ketegangan terhadap rasa


khawatir
5. Beri kesempatan pasien untuk
mengungkapkan kecemasannya

28
Keterlibatan orang terdekat memotivasi
pasien untuk tetap yakin dan bersemangat
6. Berikan privasi untuk pasien dan mengikuti proses pengobatannya
orang terdekatnya

29
E. Evaluasi

1. Perfusi Jaringan

a. Pasien mengatakan nyeri berkurang atau hilang

b. Perfusi jaringan adekuat : tidak ada sianosis, akral hangat kering merah,

tidak ada diaphoresis.

2. Nyeri dada

a. Pasien mengatakan nyeri dada tidak terjadi atau berkurang

b. Perfusi perifer adekuat

3. Pola nafas tidak efektif

a. Pasien mengatakan sesak berkurang

b. Respirasi Rate 16-20 kali/menit

c. Ekspansi paru optimal

4. Ketidakseimbangan nutrisi

a. Pasien mengatakan nafsu makannya meningkat

b. Porsi makan pasien bertambah

c. Nilai laboratorium (albumin 3,5 – 5,1)

d. Tidak terjadi perubahan berat badan

5. Cemas

a. Pasien mengatakan kecemasannya berkurang

b. Pasien menerima dan memahami kondisi penyakitnya

6. Intoleransi aktivitas

a. Pasien memperlihatkan aktivitas adaptif yang sesuai dengan kondisinya

b. Pasien mampu beraktivitas tanpa menimbulkan komplikasi

30
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth (2001), Keperawatan Medikal Bedah, Volume 3, Edisi 8, Unit

16. Editor : Smeltzer & Bare, Alih Bahasa : Agung Waluyo et al, Editor

bahasa Indonesia : Monica Ester. EGC, Jakarta.

Doenges, E. Maryllin (2010). Nursing Care Plans, Guidelines for Individualizing

Client Care Accros the Life Span. FA Davis Company, Philadelphia.

Mutaqqin, Arif (2011) Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan gangguan

system kardiovaskuler dan hematologi. Salemba Medika, Jakarta

Pierce, E. Evelyn (2011) Anatomi Fisiologi Untuk Paramedis. Alih bahasa : Sri

Yuliani H, Editor Bahasa Indonesia : dr. kartono M. Gramedia, Jakarta.

Price & Wilson, (2005), Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit,

Volume 2, Edisi 6. Alih Bahasa : Brahm U. Pedit et al; editor : Huriawati

Hartanto et al. EGC, Jakarta.

Silbernagi, S. & Florian, Lang (2006). Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi. Alih

Bahasa : Iwan S & Iqbal M, Editor Bahasa Indonesia : Titiek Resmisari,

EGC, Jakarta.

Wilkinson, Judith M. & Ahern Nancy R. (2011). Buku Saku Diagnosis Keperawatan

: diagnose NANDA, Intervensi NIC, Kriteria Hasil NOC. Edisi 9. Alih

Bahasa : Esty Wahyuningsih, Editor Bahasa Indonesia : Dwi Widiarti. EGC,

Jakarta.

31

Anda mungkin juga menyukai