Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Oleh karena berdasarkan pertimbangan biaya dan manfaat, auditor tidak mungkin
melakukan pemeriksan atas semua transaksi yang ercermindalam laporan keuangan, auditor
terlebih dahulu harus menggunakan konsep materialitas dan konsep resiko audit dalam
menyatakan pendapat atas laporan kauangan auditan. Konsep materialitas ini berkaitan
dengan seberapa besar salah saji yang terdapat dalam asersi dapat di terima oleh auditor agar
pemakai laporan keuangn tidak terpengaruh oleh besarnya salah saji tersebut. Konsep resiko
audit berkaitan dengan resiko resiko kegaga;an auditor dalam mengubah pendapatnya atas
laporan keuangan yang sebenaarnya berisi salah saji material.
Hal tersebut lah yang membuat adanya hubungan antara tingkat materialitas , resiko
audit dan bukti audit sehingga seorang auditor harus memilih strategi audit awal dalam
perencaaan audit atas asersi individual atau sekelompok asersi.
Sehingga, dalam Makalah ini di jelaskan tiga langkah tambahan dalam perencanaan
audit. Pertama, dijelaskan konsep materialitas yangn digunakan dalam auditing dan faktor-
faktor yang di pertimbangkan oleh auditor dalam pertimbangan awal tentang materialitas.
Kedua, dijelaskan konsep resiko audit dan tiga komponen resiko audit. serta pembahasan
tentang strategi audit yang dapat digunakan dala perencanaan audit atas asersi tertentu dalam
laporan keuangan.
Dengan demikian di harapkan tingkat salah saji yang materialitas dan resiko yang di
hadapi oleh audit dapat di minimalkan dengan adanya strategi awal untuk seorng auditor
sebelum mengaudit.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang di maksud dengan materialitas?
2. Bagaimana hubungan antara materialitas sengan bukti audit?
3. Apa yang di maksudresiko audit?
4. Bagaimana model risiko audit?
5. Bagaimana hubungan antara materialitas, resiko audit dan bukti audit?
6. Apa strategi awal yang dapat audit terapkan?

C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui tingkat materialitas dalam audit
2. Untuk mnetahui hubungan natara materialitas dengan bukti audit
3. Untuk mngetahui arti resiko dalam audit
4. Untuk mngetahui model risiko audit
5. Untuk mengetahui hubungan antara materialitas, resiko audit dan bukti audit
6. Untuk mngetahui strategi awal yang dapat di lakukan pada saat mengaudit
BAB II
PEMBAHASAN
A. MATERIALITAS
Materialitas merupakan dasar penerapan auditing, terutama standar pekerjaan lapangn
dan standar pelaporan. Oleh karena itumaterialitas mempunyai pengarh yang mencakup
semua aspek audit dalam audit atas laporan keuangan. Sehingga mengahuskan auditor untuk
mempertimbangkan materialitas dalam (1) perencanaan audit dan (2) penilaian terhadap
kewajaran laporan keuangan secara keseluruhan sesuai dengna prinsip akuntansi yang ada di
indonesia.
1. Konsep materialitas
Materialitas adalah besarnya nilai yang di hilangkan atau salah saji informasi akuntansi
yang di lihat dari keadaan yang melingkupinya, dapat mengakibatkan perubahan atas atau
pengaruh terhadap pertimbangan orang yang meletakkan kepercayaan terhadap informasi
tersebut, karena adanya penghilangan atau salah saji tersebut.
Financial Accounting Standard Board (FASB) mendefinisikan materialitas
sebagai:“Besarnya suatu penghapusan atau salah saji informasi keuangan yang, dengan
memperhitungkan situasinya, menyebabkan pertimbangan yang dilakukan oleh orang yang
mengandalkan pada informasi tersebut akan berubah atau terpengaruh oleh penghapusan
atau salah saji tersebut.”
Definisi materialitas tersebut mengharuskan audito untuk mempertimbangkan keadaan
yang berkaitan dengan entitas dan kebutuhan informasi pihak yang akan meletakkan
kepercayaan atas laporan keuangan auditan. Sebagai contoh, suatu jumlah yang material
dalam laporan keuangan entitas tertentu mungkin tidak material dalam laporan keuangan lain
yang mmiliki ukuran dan sifat yang berbeda. Begitu juga kemungkinan terjadi perubahan
materialitas dalam laporan keuangan entitas tertentu dari periode akuntansi yang satu ke
periode akuntansi yang lain. Oleh karena itu auditor dapat menyimpulkan bahwa tingkat
materialitas akun modal kerja harus lebih rendah bagi perusahaan yang berada dalam situasi
bangkrut bila di bandingkan dengan perusahaan yang memiliki current ratio4:1. Dalam
mempertimbangkan kebutuhan informasi pemakai informasi keuangan , semestinya harus di
anggap, sebagai contoh, bahwa pemakai informasi keuangan adalah para investor yang perlu
mendapatkan informasi memadai sebagai dasar untuk pengambilan keputusan mereka.
2. Pentingnya konsep materialitas
Konsep materialitas dalam audit atas laporan keuangan di maksudkan bahwa auditor
tidak memberikan jaminan bagi klien atau pemakai laporan keuangan yang lain, bahwa
laporan auditan yang di hasilkan akurat. Karena auditor pun tidak memeriksa transaksi secara
menyeluruh dalam tahun yang di audit dan tidak menentukan apakah semua transaksi yang
terjadi telah di catat, diringkas, digolongkan, dan di kompilasi secara semestinya ke dalam
laporam keuangan .
Oleh karen aitu dalam audit atas laporan keuangan , auditor memberika keyakinan
(assurance) berikut ini:
a. Auditor dapat memberikan keyakinan bahwa jumlah-jumlah yang di sajikan dalam
laporan keuangan beserta pegungkapannya telah di catat, diringkas, digolongkan
dan dikompilasi
b. Auditor dapat memberikan keyakinan bahwa ia telah mengumpulkan bukti audit
kompeten yang cukup sebagai dasar memadai untuk memberikan pendapat atas
laporan keuangan auditan.
c. Auditor dapat memberikan keyakinan dalam bentuk pendapat (atau memberikan
informasi dalam hal terdapat pengecualian), bahwa laporan keuangn sebagai
keseluruhan di sajikan secara wajar dan tidak terdapat salah aji material karena
kekeliruan dan kecurangan.
Dengan demikian ada dua konsep yang melandasi kayakinan yang di berikan oleh
auditor yaitu konsep materialitas dan konsep resiko audit. Karena uuditor tidak memeriksa
transaksi yang di cerminkan dalam laporan keunagn , maka ia harus bersedia memerima
beberapa jumlah kekeliruan kecil. Konsep materialitas menunjukkan seberapa besar salah saji
yang dapat di terima oleh auditor agar pemakai laporan keuangan tidak terpengaruh oleh
salah saji tersebut.
3. Pertimbangan awal materialitas
Auditor melakukan pertimbangan awal tentang tingkat materialitas dalam
perencanaan auditnya. Pertimbangan materialitas mencakup pertimbangan kuantitatif yang
berkaitan dengan hubungan salah saji dengan jumlah kunci tertentu dalam laporan keuangan
dan kualitatif yang berkaitan dengan penyebab salah saji. Suatu salah saji yang secara
kuantitatif tidak material dapat secara kualitatif material, karena penyebab yang
menimbulkan salah saji tersebut.
Berikut ini di sajikan contoh pertimbangan kuantitatif dan kualitatif yang di lakukan
oleh auditor dalam pertimbangan materialitas.
a. Hubungan salah saji dengan jumlah kunci tertentu dalam laporan seperti:
• Laba bersih sebelum pajak dalam laporan keuangan
• Total aktiva dalam neraca
• Toal aktiva lancar dalam neraca
• Total ekuitas pemegang saham dalam neraca
b. Faktor kualitatif seperti:
• Kemungkinan terjadinya pembayaran yang melanggar hukum
• Kemungkinan terjadinya kecurangan
• Syarat yang tercantum dalam perjanjian penarikan kredit dari bank yang
mengharuskan klien untuk mempertahankan beberapa rasio keuangan pada
tingkat minimum tertentu
• Adanya gangguan dalam trend laba
• Sikap manajemen terhadap integritas laporan keuangan
Dalam perencanaan suatu audit, auditor harus menetapkan materialitas pada dua tingkat
berikut ini :
a. Tingkat laporan keuangan, karena pendapat auditor atas kewajaran mencakup laporan
keuangan sebagai keseluruhan.
b. Tingkat saldo akun, karena auditor memverifikasi saldo akun dalam mencapai
kesimpulan menyeluruh atas kewajaran laporan keuangan.
Sedangkan Faktor yang harus dipertimbangkan dalam melakukan pertimbangan awal
tentang materialitas pada setiap tingkat dijelaskan berikut ini :
a. Materialitas pada Tingkat Laporan Keuangan
Auditor menggunakan dua cara dalam menerapkan materialitas. Pertama,
auditor menggunakan materialitas dalam perencanaan audit dan kedua, pada saat
mengevaluasi bukti audit dalam pelaksanan audit. Pada saat merencanakan audit,
auditor perlu membuat estimasi materialitas karena terdapat hubungan terbalik antara
jumlah dalam laporan keuangan yang dipandang material oleh auditor dengan jumlah
pekerjaan audit yang diperlukan untuk menyatakan kewajaran laporan keuangan.
Laporan keuangan mengandung salah saji material jika laporan tersebut berisi
kekeliruan atau kecurangan yang dampaknya, secara individual atau secara gabungan,
sedemikian signifikan sehingga mencegah penyajian secara wajar laporan keuangan
tersebut sesuai dengan prinsip akuntansi berterima umum. Dalam keadaan ini, salah
saji dapat terjadi sebagai akibat penerapan secara keliru prinsip akuntansi berterima
umum di Indonesia, penyimpangan dari fakta, atau penghilangan informasi yang
diperlukan.
Dalam perencanaan audit, auditor harus menyadari bahwa terdapat lebih dari
satu tingkat materialitas yang berkaitan dengan laporan keuangan. Kenyataannya,
setiap laporan keuangan dapat memiliki dari satu tingkat materialitas. Untuk laporan
laba-rugi, materialitasnya dapat dihubungkan dengan total pendapatan, laba bersih
usaha, laba bersih sebelum pajak, atau laba bersih setelah pajak. Untuk neraca,
materialitas dapat didasarkan pada total aktiva, aktiva lancar, modal kerja, atau modal
saham.
Pertimbangan awal auditor tentang materialitas seringkali dibuat enam sampai
dengan sembilan bulan sebelum tanggal neraca. Oleh karena itu, pertimbangan
tersebut dapat didasarkan atas data laporan keuangan yang dibuat tahunan. Sebagai
alternatif, pertimbangan tersebut dapat didasarkan atas hasil keuangan satu tahun atau
lebih yang telah lalu, yang disesuaikan dengan perubahan terkini, seperti keadaan
ekonomi umum dan trend industri.
Sampai dengan saat ini, tidak terdapat panduan resmi yang diterbitkan oleh
Ikatan Akuntan Indonesia tentang ukuran kuantitatif materialitas. Berikut ini
diberikan contoh beberapa panduan kuantitatif yang digunakan dalam praktik :
• Laporan keuangan dipandang mengandung salah saji material jika terdapat
salah saji 5 % sampai 10 % dari laba sebelum pajak.
• Laporan keuangan di pandang mengandung salah saji material jika terdapat
salah saji ½ % sampai 1 % dari total aktiva.
• Laporan keuangan di pandang mengandung salah saji material jika terdapat
salah saji 1 % dari total pasiva.
• Laporan keuangan di pandang mengandung salah saji material jika terdapat
salah saji ½ % sampai 1 % dari pendapatan bruto.
b. Materialitas pada Tingkat Saldo Akun
Materialitas pada tingkat saldo akun adalah salah saji minimum yang mungkin
terdapat dalam saldo akun yang dipandang sebagai salah saji material. Konsep
materialitas pada timgkat saldo akun tidak boleh dicampuradukkan dengan istilah
saldo akun material. Saldo akun material adalah besarnya saldo akun yang tercatat,
sedangkan konsep materialitas berkaitan dengan jumlah salah saji yang dapat
mempengaruhi keputusan pemakai informasi keuangan.
Saldo suatu akun yang tercatat umumnya mencerminkan batas atas lebih saji
(overstatement) dalam akun tersebut. Oleh krena itu, akun dengan saldo yang jauh
lebih kecil dibandingkan materialitas seringkali disebut sebagai tidak material
mengenai risiko lebih saji. Namun, tidak ada batas jumlah kurang saji dalam suatu
akun dengan saldo tercatat yang sangat kecil. Oleh karena itu, harus disadari oleh
auditor, bahwa akun yang kelihatannya bersaldo tidak material, dapat berisi kurang
saji (understatement ) yang melampaui materialitasnya.
Dalam mempertimbangkan materialtas pada tingkat saldo akun auditor harus
mempertimbangkan hubungan antara materialitas tersebut dengan materialitas laporan
keuangan. Pertimbangan ini mengarahkan auditor untuk merencanakan audit guna
mendeteksi salah saji yang kemungkinan tidak material secara individual. Namun jika
di gabungkan dengan salah saji dalam saldo akun yang lain , dapat maerial terhadap
laporan keuangan secara keseluruhan.
c. Alokasi Materialitas Laporan Keuangan ke Akun
Bila pertimbangan awal auditor tentang materialitas laporan keuangan
dikuantifikasikan, penaksiran awal tentang materialitas untuk setiap akun dapat
diperoleh dengan mengalokasikan materialitas laporan keuangan ke akun secara
individual. Pengalokasian ini dapat dilakukan baik untuk akun neraca maupun akun
laba-rugi. Namun karena hampir semua salah saji laporan laba-rugi juga
mempengaruhi neraca dan karena akun neraca lebih sedikit, banyak auditor yang
melakukan aloksai atas dasar akun neraca.
Dalam melakukan alokasi, auditor harus mempertimbangkan kemungkinan
terjadinya salah saji dalam akun tertentu dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk
memverifikasi akun tersebut.
Sebagai contoh, salah saji lebih (overstatemen) kemungkinan lebih besar
terdapat dalam sediaan dibandingkan dengan aktiva tetap, dan umumnya biaya untuk
mengaudit sediaan lebih mahal di bandingkan dengan biaya untuk mengaudit aktiva
tetap.
Untuk menggambarakan materialitas tersebut, misalnya PT X memiliki
komposisi aktiva sebagai berikut:
Kas Rp 500.000
Piutang usaha 1.500.000
Sediaan 3.000.000
Aktiva tetap 5.000.000
Jumlah aktiva Rp 10.000.000
Auditor memperkirakan salah saji dalam akunkas dan aktiva tetap kemungkinannya
kecil terjadi dan salah saji dala akun piutang usaha dan sediaan kemungkinan lebih banyak
terjadi, berdasarkan pengalama sebelumnya dengan klien, auditor memperkirakan akun
dengan sedikit salah saji akan sangat murah biayanya ntuk mengaudit dibandingkan dengan
akun lain. Misalnya jika prakiraan awal mterialitas lapora keuangan adalah 1% dari total
aktiva atau Rp100.000 auditor trsebut dapat mempertimbangkan dua laternatif dalam
mengalokasikan mterialtas laporan keuangan ke akn secara individual sebagai berikut:

Alokasi Materialitas
Akun alternatif A % alternatif B %
Kas Rp5.000 5 Rp2.000 2
pitang usaha 15.000 15 18.000 18
sediaan 30.000 30 50.000 50
aktiva tetap 50.000 50 30.000 30

Total Rp100.000 100 Rp100.000 100

Dalam alternatif A, materialitas di alokasika secara proporsional kedalam setiap akun, tanpa
memperhatikan taksiran salah saji moneter dan biaya audit untuk mendeteksi salah saji
tersebut, dalam alternatif B, alokasi materialitas lebih besar di lakukan ke dalam akun piutang
usaha dan sediaan, yang di perkirakan lebih banyak salah sajinya di bandinkan dengan
akunlain dan biaya untuk mendeteksinya diperkirakan lebih besar. Oleh karena itu ukti yang
diperlukan untuk akun-akun piutang usaha dan sediaan tersebut berkurang, di bandingkan
dengan alternatif A, karena terdapat hubungan terbalik antara materialitas saldo akun dan
bukti audit. Sebagai akibatnya auditor tersebut secara sederhana membiarkan proporsi yang
lebih besar dari total salah saji, ttap dalm akun yang memerlukan biaya mahal untuk
mendeteksi salah saji. Meskipun laoksai materialitas lebih kecil untk kas dan aktiva tetap
akan berakibat meningkatkan jumlah bukti yang diperlukan untuk akun-akun tersebut,
kenyataannya bahwa akun-akun tersebut, kenyataannya bahwa kaun-akun tersebut
memerlukan biaya murah untuk mengauditnya, secara keseluruhan akan menghasilkan
penghematan biaya audit.
Alokasi taksiran awal mateialitas dapat direvisi setelah dilaksanakannya pekerjan
lapangan . sebgai contoh , jika ditemukan ahaya Rp8.000 salah saji dalam verifikasi akun
piutang usaha , jumlah Rp10.000 yang tidak dipakai dalam alternatif B dapat di alokasikan ke
akun sediaan.
Meskipun dalam bontoh tersebut di atas kelihatan diperlukan ketepatan alokasi
materialitas laporan keuangan ke akun, analisis akhir proses alokasi tersebut sangat
tergantung pada pertimbangan subjektif auditor.

4. Penggunaan materialitas dalam mengevaluasi Bukti Audit


Jika pada tahap perencanaan audit, auditor menaksir bahwa salah saji Rp 9.000.000 di
pandang material untuk total aktiva, jumlah ini kemudian di pakai oleh auditor untuk
mengevaluasi bukti audit yang dikumpulkan dalam membuktikan berbagai asersi yang
terkndung dalam akun-akun aktia dalam neraca. Misalnya auditor kemudian menemukan
salah saji sebesar Rp3.000.000 dalam akun sediaan. Apakah dengan penemuaan ini auditor
kemudian mengambil kesimpulan bahwa laporam keuangan sebagai keseluruhan berisi salah
saji material? Tidak semudah itu pertimangannya. Auditor akan menjumlah berbagai
kekeliruan yang ditemukan dalam audit atas berbagai akun yang termasuk daalm kelompok
aktiva. Misalnya auditor mengumpulkan salah saji yang terdapat dalam akun-akun yang
termasuk daalm kelompok aktiva berikut ini:
Salah saji adalam akun sediaan Rp3.000.000
Salah saji dalan akun-akun aktiva lain Rp8.000.000
Jumlah salah saji Rp11.000.000
ada dua kemungkinan yang ditempuh oleh auditor dalam menyimpulkan materialitas;
a. Dengan berbagai alasan tertentu, auditor dapat menaikkan batas materialitas yang
ditentukan dari jumlah Rp9.000.000 pada tahap perencanaan auditnya menjadi
Rp11.000.000 untuk mengevaluasi bukti audit. Hal ini kemungkinan disebabkan
jumlah aktiva yang di pakai sebagai dasar penentuan materialitas pada tahap
perencanaan berbeda dengan jumlah aktiva yang terdapat dalam laporan keuangan
akhir. Sehingga presentase materialitas di terapkan pada jumlah yang berbeda. Dalam
contoh ini, auditor memandang bahwa laporan keuangan tidak berisi salah saji
material, karena adanya gabungan salah saji sebesar Rp11.000.000 tersebut. Karena
batas salah saji yang digunakan untuk mengevaluasi bukti audit telah di naikkan
menjadi Rp11.000.000,-
b. Auditor berkesimpulan bahwa laporan kauangan sebagai keseluruhan tidak di sajikan
secara wajar akrena salah saji Rp11.000.000 melebihi jumlah aterialitas Rp9.000.000.
oleh karena itu, berdasarkan pertimanag materialitas ini, aditor dapat meyakinkan
kliennya untuk melakukan koreksi atsa jumlah salah saji yang terdapat dalam akun-
akun yang bersangkutan atau jika klien menolah untuk melakukan koreksi, auditor
mengubah pendapatnya dari pendapat wajar tanpa pengecualian menjadi pendapat
wajar dengan pengecualian atau pendapat tidak wajar.

B. HUBUNGAN ANTARA MATERIALITAS DENGAN BUKTI AUDIT


Materialitas merupakan satu di antara berbagai faktor yang mempengaruhi
pertimbangan auditor tentang kuantitas (kecukupan) bukti audit. Dalam membuat generalisasi
hubungan antara materialitas dengan bukti audit, perbedaan istilah materialitas dan saldo
akun material harus tetap diperhatikan. Semakin rendah tingkat materialitas, semakin besar
jumlah bukti yang diperlukan. (hubungan terbalik). Semakin besar atau semakin signifikan
suatu saldo akun, semakin banyak jumlah bukti yang diperlukan.

C. RESIKO AUDIT
Risiko audit adalah risiko bagi auditor untuk membuat kesalahan dalam memberikan
pendapat atas laporan keuangan, karena gagal mengungkap salah saji material.
Dalam perencanaan audit, auditor harus mempertimbangkan risiko audit. Menurut SA
Seksi 312 Risiko Audit dan Materialitas dalam Pelaksanaan Audit, risiko audit adalah risiko
yang terjadi dalam hal auditor, tanpa disadari, tidak memodifikasi pendapatnya sebagaimana
mestinya, atas suatu laporan keuangan yang mengandung salah saji material. Semakin pasti
auditor dalam menyatakan pendapatnya, semakin rendah risiko audit yang auditor bersedia
untuk menanggungnya.
Auditor merumuskan suatu pendapat atas laporan keuangan sebagai keseluruhan atas
dasar bukti yang diperoleh dari verifikasi asersi yang berkaitan dengan saldo akun secara
individual atau golongan transaksi. Tujuannya adalah untuk membatasi risiko audit pada
tingkat saldo akun sedemikian rupa sehingga pada akhir proses audit, risiko audit dalam
menyatakan pendapat atas laporan keuangan sebagai keseluruhan akan berada pada tingkat
yang rendah.

1. Risiko Audit pada Tingkat Laporan Keuangan dan Tingkat Saldo Akun
Kenyataan bahwa auditor tidak dapat memberikan jaminan tentang ketepatan informasi
yang disajikan oleh klien dalam laporan keuangan mengharuskan auditor mempertimbangkan
baik materialitas maupun risiko audit, tanpa disadari, tidak memodifikasi pendapatnya
sebagaimana mestinya, atau suatu laporan keuangan yang mengandung salah saji material.
Risiko audit, seperti materialitas, dibagi menjadi dua bagian:
a. Risiko Audit Keseluruhan
Pada tahap perencanaan auditnya, auditor pertama kali harus menentukan risiko audit
keseluruhan yang direncanakan, yang merupakan besarnya risiko yang dapat
ditanggung oleh auditor dalam menyatakan bahwa laporan keuangan disajikan secara
wajar, padahal kenyataannya, laporan keuangan tersebut berisi salah saji material.
b. Risiko Audit Individual
Karena audit mencakup pemeriksaan terhadap akun-akun secara individual, risiko
audit keseluruhan harus dialokasikan kepaada akun-akun yang berkaitan. Risiko audit
individual perlu ditentukan untuk setiap akun karena akun tertentu seringkali sangat
penting karena besar saldonya atau frekuensi transaksi perubahan.

2. Unsur Risiko Audit


Terdapat tiga unsur risiko audit: (1) risiko bawaan, (2) risiko pengendalian, (3) risiko
deteksi.
a. Risiko Bawaan,
yakni risiko bawaan adalah kerentanan suatu saldo akun atau golongan transaksi
terhadap suatu salah saji material, dengan asumsi bahwa tidak terdapat pengendalian
intern yang terkait. Risiko salah saji demikian adalah lebih besar pada saldo akun atau
golongan transaksi tertentu dibandingkan dengan yang lain. Sebagai contoh,
perhitungan yang rumit lebih mungkin disajikan salah jika dibandingkan dengan
perhitungan yang sederhana. Uang tunai lebih mudah dicuri daripada sediaan batu
bara. Akun yang terdiri dari jumlah yang berasal dari estimasi akuntansi cenderung
mengandung risiko lebih besar dibandingkan dengan akun yang sifatnya relatif rutin
dan berisi data berupa fakta. Faktor ekstern juga mempengaruhi risiko bawaan.
Penilaian risiko bawaan merupakan pertimbangan mengenai hal-hal yang
mungkin memiliki dampak yang mendalam terhadap asersi-asersi untuk semua atau
banyak akun dan hal-hal ang hanya berkaitan dengan asersi spesitifk untk suatu akun
spesifik.
Risiko bawaan muncul secara independent dari audit laporan keuangan. Oleh
karena itu, auditor tidak dapat mengubah tingkat actual dari risiko bawaan. Akan
tetapi, auditor dapat mengubah tingkat risiko bawaan yang dinilai.
b. Risiko Pengendalian,
yakni Risiko pengendalian adalah risiko yang terjadinya salah saji material dalam
suatu asersi yang tidak dapat dicegah atau dideteksi secara tepat waktu oleh
pengendalian intern entitas. Risiko ini ditentukan oleh evektifitas kebijakan dan
prosedur pengendalian intern untuk mencapai tujuan umum pengendalian intern yang
relevan dengan audit atas laporan keuangan entitas. Risiko pengendalian tertentu akan
selalu ada karena keterbatasan bawaan dalam setiap pengendalian intern. Sebagai
contoh, pengendalian intern mungkin menjadi tidak evektif karena kelalayan manusia
akibat ceroboh atau bosan atau karena adanya kolosi diantara personel pelaksanaan.
c. Risiko Deteksi,
yakni Risiko yang disebabkan oleh kegagalan auditor dalam mendeteksi salah saji
material, setelah audit dilaksanakan sesuai dengan standar auditing. Atau Risiko ini
timbul sebagian karena ketidakpastian yang ada pada waktu auditor tidak memeriksa
100% saldo akun atau golongan transaksi, dan sebagian lagi karena ketidakpastian
lain yang ada, walaupun saldo akun atau golongan transaksi tersebut diperiksa 100%.
Ketidakpastian lain semacam itu timbul karena auditor mungkin memilih suatu
prosedur audit yang tidak sesuai, menerapkan secara keliru prosedur yang semestinya,
atau menafsirkan secara keliru hasil audit. Ketidakpastian lain ini dapat dikurangi
sampai pada tingkat yang dapat diabaikan melalui perencanaan dan supervisi
memadai dan pelaksanaan praktik audit yang sesuai dengan standar pengendalian
mutu.

3. Hubungan Antar unsur Risiko


Risiko bawaan, risiko pengendalian, dan risiko deteksi. Kedua risiko yang disebut
terdahulu ada, terlepas dari dilakukan atau tidaknya audit atas laporan keuangan, sedangkan
risiko deteksi berhubungan dengan prosedur audit dan dapat diubah oleh keputusan auditor
itu sendiri. Risiko deteksi mempunyai hubungan yang terbalik dengan risiko bawaan dan
risiko pengendalian. Semakin kecil risiko bawaan dan risiko pengendalian yang diyakini oleh
auditor, semakin besar risiko deteksi yang dapat diterima. Sebaliknya, semakin besar adanya
risiko bawaan dan risiko pengendalian yang diyakini auditor, semakin kecil tingkat risiko
deteksi yang dapat diterima.
Komponen risiko audit ini dapat ditentukan secara kuantitatif, seperti dalam bentuk
persentase atau secara nonkuantitatif yang berkisar, misalnya, dari minimum sampai dengan
maksimum. Resiko Deteksi adalah satu-satunya resiko yang bisa dipengaruhi/diatur oleh
auditor, lewat banyak atau sedikitnya bukti dengan penambahan atau pengurangan prosedur
audit . Apabila auditor ingin resiko deteksi kecil, maka perlu lebih banyak bukti
audit/prosedur audit, dan sebaliknya.

D. MODEL RISIKO AUDIT


Model risiko audit dapat dinyatakan secara kuantitatif sebagai berikut :
AR = IR × CR × DR
Di mana :
AR = Risiko audit (Audit Risk)
IR = Risiko bawaan (Inherent Risk)
CR = Risiko pengendalian (Control Risk)
DR = Risko deteksi (Detection Risk)
Untuk menggambarkan penggunaan model tersebut, asumsikan bahwa auditor
membuat pertimbangan professional untuk asersi tertentu, seperti asersi penilaian atau asersi
penilaian atau alokasi untuk piutang usaha sebagai berikut :
AR = 5%, IR = 90%, dan CR = 20%
Risko deteksi dapat ditentukan dengan menyelesaikan model tersebut sebagai berikut :
DR = (AR)/(IR × CR)
= 0,05/(0,9 × 0,2)
= 0,28

E. HUBUNGAN ANTARA MATERIALITAS, RISIKO AUDIT DAN BUKTI


AUDIT
Di muka telah diuraikan bahwa terdapat hubungan berlawanan antara materialitas dan
bukti audit. Jika materialitas rendah-jumlah salah saji yang kecil saja dapat mempengaruhi
keputusan pemakai informasi keuangan-auditor perlu mengumpulkan bukti audit kompeten
dalam jumlah banyak. Sebaliknya, jika materialitas tinggi-jumlah salah saji besar baru dapat
mempengaruhi keputusan pemakai informasi keuangan-auditor hannya perlu mengumpulkan
bukti audit komponen dalam jumlah sedikit. Demikian pula hubungan antara risiko audit
dengan bukti audit. Semakin rendah risiko audit-auditor bersedia untuk menanggung risiko
audit rendah sehingga tingkat kepastian yang diinginkan oleh auditor adalah tinggi-auditor
perlu mengumpulkan bukti audit kompenen dalam jumlah banyak. Sebaliknya, semakin
tinggi risiko audit-auditor bersedia untuk menanggung risiko audit tinggi sehingga tingkat
kepastian yang diinginkan oleh auditor adalah rendah-auditor perlu mengumpulkan bukti
audit kompenen dalam jumlah kecil saja.
Berbagai kemungkinan hubungan antara materialitas, bukti audit, dan risiko audit
digambarkan sebagai berikut:
• Jika auditor mempertahankan risiko audit konstan dan tingkat materialitas
dikurangi, auditor harus menambah jumlah bukti audit yang dikumpulkan.
• Jika auditor mempertahankan tingkat materialitas konstan dan mengurangi
jumlah bukti audit yang dikumpulkan, risiko audit menjadi meningkat.
• Jika auditor menginginkan untuk mengurangi risiko audit.
F. PERINGATAN AKAN ADANYA RESIKO AUDIT
Secara periodik,staf AICPA dalam berkonsultasi dengan Auditing Standards
Board,menerbitkan peringatan adanya resiko audit.Tujuan mereka adalah memberikan
suatu tinjauan mengenai perkembangan ekonomi baru-baru ini kepada auditor,perkembangan
profesional dan perkembangan peraturan yang mungkin akan mempengaruhi audit untuk
klien dalam banyak industri.Selain peringatan akan adanya resiko audit umum,baru-baru ini
diterbitkan peringatan berkenaan dengan perkembangan yang berhubungan dengan industri
tertentu.
G. STRATEGI AWAL AUDIT
Tujuan utama auditor dalam perencanaan dan pelaksanaan audit adalah untuk
mengurangi resiko audit hingga tingkat rendah yang sesuai untuk mendukung suatu pendapat
apakah laporan keuangan telah disajikan secara wajar dalam segala hal yang material. Hal ini
dicapai dengan mengumpulkan dan mengevaluasi bukti berkenaan dengan arsersi-arsersi
yang terdapat dalam laporan keuangan manajemen.
Karena hubungan timbal balik antara bukti,materialitas dan komponen resiko audit
dan stategi awal audit,auditor dapat memilih diantara stategi awal audit pendahuluan
alternatif dalam merencanakan audit untuk arsersi individual atau sekelompok arsersi.

H. KOMPONEN STRATEGI AUDIT PENDAHULUAN


Dalam mengembangkan strategi audit pendahuluan untuk arsersi-arsersi,auditor ada
empat komponen sebagai berikut:
(a) Tingkat resiko bawaan yang dinilai
(b) Tingkat resiko pengendalian yang direncanakan untuk dinilai dengan
mempertimbangkan :
• Luas pemahaman mengenai pengendalian intern yang diperoleh
• Pengujian pengendalian yang dilaksanakan dalam mengukur resiko
pengendalian
(c) Tingkat resiko prosedur analitis yang direncanakan untuk dinilai dengan
mempertimbangkan:
• Luas pemahaman tentang bisnis dan industri yang diperoleh
• Prosedur analitis yang akan dilaksanakan yang menyediakan bukti mengenai
penyajian wajar dari suatu arsersi
(d) Tingkat pengujian rincian yang direncanakan, apabila dikombinasikan dengan
prosedur lain,mengurangi resiko audit hingga tingkat rendah yang sesuai.

Pedoman audit AICPA mengenai Consideration of Internal Control Structure in a


Financial Statement Audit memperkenalkan dua strategi audit yang ekuivalen dengan
menggunakan (1) suatu pendekatan substantif utama yang menekankan pengujian
rincihan dan (2) suatu tingkat resiko pengendalian yang dinilai lebih rendah lebih
dahulu,diikuti dengan dua strategi audit dari suatu rangkaian kemungkinan keputusan
mengenai :
• Tingkat resiko pengendalaian yang direncanakan untuk dinilai
• Luasnya pemahaman mengenai pengendalaian intern
• Keyakinan yang diinginkan dari pengujian bukti pengendalian
• Tingkat pengujian substantif yang direncanakan akan dilaksanakan untuk
mengurangi resiko audit hingga suatu tingkat yang sesuai
I. SUATU PENDEKATAN SUBSTANTIF UTAMA DENGAN PENEKANAN
TERHADAP PENGUJIAN TERINCI (Primarily substantive approach
emphasizing test of details)
Auditor menspesifikasikan komponen-komponen strategi audit sebagai berikut :
➢ Gunakan tingkat resiko prosedur analitis yang direncanakan untuk dinilai pada
tingkat yang tinggi.
➢ Gunakan tingkat resiko pengendalian yang direncanakan untuk dinilai pada
tingkat yang tinggi (atau pada tingkat yang maksimum)
➢ Rencanakan untuk memperoleh pemahaman minimum mengenai bagian-bagian
yang relevan dari pengendalian intern.
➢ Rencanakan sedikit, jika ada, pengujian pengendalian.
➢ Rencanakan pengujian substantif yang luas atas transaksi dari saldo berdasarkan
pada tingat resiko deteksi yang direncanakan dapat diterima yang rendah
Strategi ini dapat dipilih ketika auditor menyimpulkan bahwa biaya melaksanakan
prosedur tambahan untuk memperoleh suatu pemahaman yang lebih mendalam mengenai
pengendalian intern dan pengujian pengendalian untuk mendukung tingkat resiko
pengendalian yang lebih rendah akan melebihi biaya pelaksanaan pengujian substantif yang
lebih luas. Kondisi tersebut dapat berhubungan dengan asersi untuk akun-akun yang memiliki
populasi relatif kecil atau transaksi yang tidak sering terjadi. Contohnya termasuk asersi yang
berhubungan dengan aktiva tetap, hutang obligasi, atau modal saham.
J. SUATU TINGKAT RESIKO PENGENDALIAN YANG DINILAI LEBIH
RENDAH (Lower assessed level of control risk)
Auditor menspesifikasikan komponen-komponen dari strategi audit sebagai berikut :

➢ Gunakan tingkat resiko prosedur analitis yang direncanakan untuk dinilai pada
tingkat yang tinggi.
➢ Gunakan tingkat resiko pengendalian yang direncanakan untuk diniliak pada
tingkat sedang dan rendah.
➢ Rencanakan pengujian pengendalian, mungkin pengujian pengendalian
komputer yang berada dalam sistem klien.
➢ Rencanakan pengujian substantif atas transaksi atau saldo yang terbatas
berdasarkan tingkat resiko deteksi yang direncanakan untuk diterima pada
tingkat sedang atau tinggi.
Auditor dapat memilih strategi ini ketika pengendalian yang berhubungan dengan
suatu asersi telah dirancang dengan baik dan berjalan dengan sangat efektif. Hal ini sering
terjadi pada asersi yang berkenaan dengan akun-akun yang dipengaruhi oleh volume
transaksi rutin yang tinggi seperti penjualan, piutang usaha, persediaan, pembelian, hutang
usaha, dan beban gaji.
K. PENDEKATAN SUBSTANTIF UTAMA YANG MENEKANKAN PADA
PROSEDUR ANALITIS ( a primarily substantive approach emhasizing analytical
procedures)
Auditor menspesifikasikan komponen-komponen strategi audit sebagai berikut :
➢ Memperoleh pengetahuan yang luas mengenai proses bisnis klien yang relevan
dan asersi.
➢ Auditor mengantisipasi bahwa dia dapat memperoleh bukti kompeten dari
prosedur analitis untuk mendukung suatu penilaian resiko sedang atau rendah dari
bukti tersebut.
➢ Gunakan suatu tingkat resiko pengendalian yang direncanakan untuk dinilai pada
tingkat yang tinggi (atau pada tingkat maksimum)
➢ Rencanakan untuk memperoleh suatu pemahaman minimum mengenai bagian
relevan dari pengendalian intern.
➢ Rencanakan sedikit, jika ada, pengujian pengendalian.
➢ Rencanakan pengujian substatif atas transaksi dan saldo yang lebih sempit sebagai
akibat dari pengurangan resiko yang diberikan prosedur analitis.
Auditor dapat memilih pendekatan ini karena penekanan dalam penggunaan pengetahuan
auditor mengenai bisnis dan industri untuk mendukung prosedur analitis, strategi ini
menempatkan auditor dalam banyak prosedur yang mendukung pemberian jasa bernilai
tambah lainnya. Sebagai contoh, prosedur yang dilaksanakan untuk memahami tujuan
penjualan manajemen dan menilai resiko bisnis yang akan membawa manajemen mencapai
tujuan tersebut akan membuat auditor untuk (1) memperoleh keyakinan mengenai kewajaran
penyajian penjualan dan (2) menasehati klien mengenai kemungkinan resiko pasar yang tidak
terlihat.
L. PENEKANAN PADA RESIKO BAWAAN DAN PROSEDUR ANALITIS
(emphasis on inherent risk and analytical procedures)
Auditor menspesifikasikan komponen-komponen strategi audit sebagai berikut :
➢ Risiko bawaan dinilai pada tingkat dibawah maksimum.
➢ Gunakan tingkat risiko prosedur analitis yang direncanakan untuk dinilai
serendah mungkin.
➢ Gunakan tingkat risiko pengendalin yang direncanakan untuk dinilai pada tingkat
yang tinggi (atau tingkat maksimum)
➢ Rencanakan untuk memperoleh pemahaman minimum mengenai bagian yang
relevan dari pengendalian intern.
➢ Rencanakan sedikit, jika ada , pengujian pengendalian,
➢ Rencakan pengujian substantif atas transaksi dan saldo yang lebih sempit sebagai
akibat dari pengurangan risiko yang diperoleh dari risiko bawahan dan prosedur
analitis yang lebih rendah.
Auditor dapat memilih strategi ini ketika resiko bawaan berada di bawah maksimum
dan auditor dapat mengembangkan ekspektasi yang dapat diandalkan berkenaan dengan saldo
akun. Auditor seringkali memperoleh pemahaman yang signifikan mengenai bisnis dan
pemicu ekonomi yang mendasari bisnis tersebut ketika memperoleh pemahaman tentang
bisnis dan industri. Auditor sering menggunakan informasi ini ketika mengembangkan
ekspektasi berkenaan dengan saldo akun.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Materialitas adalahbesarnya suatu penghapusan atau salah saji informasi keuangan yang,
dengan memperhitungkan situasinya, menyebabkan pertimbangan yang dilakukan oleh orang
yang mengandalkan pada informasi tersebut akan berubah atau terpengaruh oleh
penghapusan atau salah saji tersebut. Materialitas merupakan satu di antara berbagai faktor
yang mempengaruhi pertimbangan auditor tentang kecukupan bukti audit.
Risiko audit adalah risiko yang terjadi dalam hal auditor, tanpa disadari, tidak
memodifikasi pendapatnya sebagaimana mestinya, atas suatu laporan keuangan yang
mengandung salah saji material. Semakin pasti auditor dalam menyatakan pendapatnya,
semakin rendah risiko audit yang auditor bersedia untuk menanggungnya. Berbagai
kemungkinan hubungan antara materialitas, bukti audit, dan risiko audit, yakni (1) Jika
auditor mempertahankan risiko audit konstan dan tingkat materialitas dikurangi, auditor harus
menambah jumlah bukti audit yang dikumpulkan. (2) Jika auditor mempertahankan tingkat
materialitas konstan dan mengurangi jumlah bukti audit yang dikumpulkan, risiko audit
menjadi meningkat. (3) Jika auditor menginginkan untuk mengurangi risiko audit.

B. SARAN
DAFTAR PUSTAKA

Mulyadi, Auditing, Jakarta, Salemba Empat, 2013.


Agoes sukrisno, Auditing, Jakarta, Salemba Empat, 2012.
http://hyumindheade.blogspot.com/2012/05/materialitas-dan-resiko-audit.html, diakses
jum’at 25-10-2016 jam 12.47 WIB
Boynton,Johnson,kell,Moderen Auditing,Jakarta,Erlangga,2003

Anda mungkin juga menyukai