Anda di halaman 1dari 50

ASUHAN KEPERAWATAN GERONTIK PADA LANSIA

YANG MENGALAMI INKONTINENSIA URINE

OLEH :

NI PUTU AYU JUNIANTARI 18E10007

NI PUTU AYU MITHA PRATAMA DEWI 18E10008

KADEK AYU RATNA DEWI 18E10009

NI LUH DIAH ANGGRENI 18E10011

DEWA AYU KOMANG DIAN SUMISEPTIARI 18E10012

IDA AYU DWINAYANTI 18E10013

PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN

INSTITUT TEKNOLOGI DAN KESEHATAN BALI

TAHUN AJARAN 2020/2021


TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teori Proses Menua

1. Konsep Dasar Lansia

a. Pengertian Menua

Menua atau menjadi tua adalah suatu keadaan yang terjadi dalam

kehidupan manusia. Proses menua merupakan proses sepanjang hidup, tidak

hanya dimulai dari suatu waktu tertentu, tetapi dimulai sejak permulaan

kehidupan. Menjadi tua merupakan proses yang alamiah, yang berarti

seseorang telah melalui tiga tahap kehidupannya, yaitu anak, dewasa dan tua.

Tiga tahap ini berbeda, baik secara biologis maupun psikologis. Memasuki

usia tua berarti mengalami kemunduran, misalnya kemunduran fisik yang

ditandai dengan kulit yang mengendur, rambut memutih, gigi ompong,

pendengaran kurang jelas, pengelihatan semakin memburuk, gerakkan lambat

dan figure tubuh yang tidak professional.(Nugroho, W. 2016).

Proses penuaan merupakan proses yang berhubungan dengan umur

seseorang. Manusia mnegalami perubahan sesuai dengan bertambahnya umur

tersebut. Semakin bertambahnya umur semakin berkurangnya fungsi-fungsi

organ tubuh. Hal ini dapat kita lihat dari perbandingan struktur dan fungsi

organ antara manusia yang berumur 70 tahun dengan mereka yang berumur 30

tahun, yaitu berat otak pada lansia 56%, aliran darah ke otak 80%, cardiac

output 70%, jumlah glomerulus 56%, glomerulus filtration rate 69%, vital

capacity 56%, asupan O2 selama olahraga 40%, jumlah dari axon pada syaraf

spinal 63%, kecepatan pengantar impuls saraf 90%, dan berat badan 88%.
Adapun faktor yang memepengaruhi proses penuaan tersebut dapat dibagi atas

dua bagian. Pertama, faktor genetik, yang melibatkan perbaikan DNA, respons

terhadap stress, dan pertahanan terhadap antioksidan. Kedua, faktor

lingkungan, yang meliputi, pemasukan kalori, berbagai macam penyakit, dan

stress dari luar, misalnya radiasi atau bahan-bahan kimia.(Sunaryo, dkk.

2016).

Menurut World Health Organization (WHO) dan Undang-Undang No

13 Tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia pada pasal 1 ayat 2 yang

menyebutkan bahwa umur 60 tahun adalah usia permulaan tua. Menua

bukanlah suatu penyakit, akan tetapi merupakan proses yang berangsur-angsur

mengakibatkan perubahan yang kumulatif, merupakan proses menurunnya

daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam dan luar tubuh

yang berakhir dengan kematian.

Jadi proses penuaan merupakan proses alami yang tidak dapat

dihindari, penuaan bukan suatu penyakit tetapi sebuah penurunan bertahap

dalam  kekuatan fisik maupun penurunan dalam fungsi organ tubuh.

b. Klasifikasi Lanjut Usia

Menurut organisasi kesehtan dunia WHO (dalam Nugroho, W. 2016)

ada empat tahap yakni :

a) Usia pertengahan (middle age) usia 45 - 59 tahun

b) Lanjut usia (elderly) usia 60 dan 74 tahun

c) Lanjut usia tua (old) berusia antara 75 sampai 90 tahun

d) Usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun

c. Teori Proses Menua (Aging Process)


Ada beberapa teori tentang penuaan, sebagaimana di kemukakan oleh

Maryam, dkk. 2008 dalam Sunaryo, dkk. 2016 yaitu teori biologi, teori

psikologi, teori kultural, teori sosial, teori genetika, teori rusaknya sistem imun

tubuh, teori menua akibat metabolisme, dan teori kejiwaan sosial. Berdasarkan

pengetahuan yang berkembang dalam pembahasaan tentang teori proses

menjadi tua (menua) yang hingga saat ini dianut oleh gerontologis, maka

dalam tingkatan kompetensinya, perawat perlu mengembangkan konsep dan

teori keperawatan sekaligus praktik keperawatan yang didasarakan atas teori

proses menjadi tua (menua) tersebut.

1. Teori Biologis

Teori biologis dalam proses menua mengacu pada asumsi bahwa

proses menua merupakan perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi

tubuh selama masa hidup. Teori ini lebih menekankan pada perubahan

kondisi tingkat struktural sel/organ tubuh, termasuk didalamnya adalah

pengaruh agen patologis. (Zairt, 1980 dalam Sunaryo dkk, 2016).

Menurut Sunaryo, dkk (2016) Teori biologis dapat dibagi menjadi dua

bagian, yaitu teori stokastik/stochastic theories dan teori

nonstokastik/nonstokastik theories

a. Teori Stokastik/Stochastik Theories

Teori ini mengatakan bahwa penuaan merupakan suatu

kejadian yang terjadi secara acak atau random dan akumulasi setiap

waktu. Termasuk teori menua dalam lingkup proses menua biologis

dan bagian dari teori stokastik/stochastic theories adalah teori

kesalahan (error theory), Teori keterbatasan hayflick, Teori pakai dan

usan, Teori imunitas, Teori radikal bebas dan teori ikatan silang
1) Teori Kesalahan (Error Theory)

Teori Kesalahan didasarkan pada gagasan manakala kesalahan

dapat terjadi dalam rekaman sintesis DNA (Goldteris dan

Brocklehurt, 1989 dalam Sunaryo dkk, 2016). Jika proses

transkripsi dari DNA terganggu, maka akan mempengaruhi suatu

sel dan akan terjadi penuaan yang berakibat pada kematian. Sejalan

dengan perkembangan umur sel tubuh, maka terjadi beberapa

perubahan alami pada sel DNA dan RNA, yang merupakan

substansi pembangun/pembentuk sel baru. Peningkatan usia

mempengaruhi perubahan sel dimana sel – sel nucleus menjadi

lebih besar tetapi tidak diikuti dengan peningkatan jumlah

substansi DNA.

2) Teori Keterbatasan Hayflick

Teori ini menekankan bahwa perubahan kondisi fisik pada

masusia dipengaruhi oleh adanya kemampuan reproduksi dan

fungsional sel organ yang menurun sejalan dengan bertambahnya

usia tubuh setelah usia tertentu. (Haiflick, 1987 dalam Suryano

dkk, 2016).

3) Teori Pakai dan Usang

Teori ini memandang bahwa proses menua merupakan proses

pra program yaitu proses yang terjadi akibat akumulasi stress dan

injuri dari trauma. Menua dianggap sebagai “Proses fisiologis yang

ditentukan oleh sejumlah penggunaan dan keusangan dari organ

seseorang yang terpapar dengan lingkungan”.(Matesson & Mc.

Connell, 1988 dalam Sunaryo dkk, 2016).


4) Teori Imunitas

Dalam teori ini, penuan dianggap disebabkan oleh adanya

penuruanan fungsi sistem imun.

5) Teori Radikal Bebas

Teori ini kemukakan oleh Cristiansen dan Grzybowsky (1993)

yang menyatakan bahwa penuaan disebabkan oleh akumulasi

kerusakan ireversibel akibat senyawa pengoksidan.

6) Teori Ikatan Silang

Teori ini menekankan pada postulat bahwa proses menua

terjadi sebagai akibat adanya ikatan–ikatan dalam kimiawi tubuh.

Teori ini menyebutkan bahwa secara normal, struktur melekul dari

sel berikatan secara bersama–sama membentuk reaksi

kimia.Termasuk di dalamnya adalah kolagen yang merupakan

rantai molekul yang relative panjang dan dihasilkan oleh fibrolast.

Dengan terbentuknya jaringan baru, maka jaringan tersebut akan

bersinggungan dengan jaringan yang lama dan membentuk ikatan

silang kimiawi. Hasil akhir dari proses ikatan silang ini adalah

peningkatan densitas kolagen dan penurunan kapasitas untuk

transport nutrient serta untuk membuang produk–produk sisa

metabolisme dari sel.(J. Bjorksten, 1942 dalam Sunaryo dkk,

2016).

b. Teori Nonstokastik /Nonstochatic Theories


Teori ini kemukakan oleh John Wiley and Sons dalam Ross

(1996). Dalam teori ini dikatakan bahwa proses penuaan disesuaikan

menurut waktu tertentu.(Cristiasen dan Grzybowsky, 1993). Termasuk

teori meunua lingkup proses menua biologis dan bagian dari teori

Nonstokasik/Nonstochatic Theories adalah Programmed Theory dan

Immunity Theory.

1) Programmed Theory

Dikemukakan oleh Baratawidjaya K.G.(1993), Teori ini

mengemukakan bahwa pembelahan sel dibatasi oleh waktu

sehingga suatu saat tidak dapat regenerasi kembali.

2) Immunity Theory

Teori ini mengemukakan bahwa mutasi yang berulang atau

perubahan protein pascatranslasi, dapat menyebabkan

berkurangnya kemampuan sistem imun tubuh mengenali dirinya

sendiri. Mutasi somatic menyebabkan terjadinya kelainan pada

antigen permukaan sel. Hal ini dapat menyebabkan sistem imun

tubuh mengalami perubahan dan dapat dianggap sebagai sel asing.

Hal inilah yang menjadi dasar terjadinya peristiwa autoimun. Di

lain pihak, daya pertahanan sistem imun tubuh sendidi mengalami

penurunan pada proses penuaan dan daya serangnya terhadap sel

kanker mengalami penurunan.

2. Teori Psikologi

Teori ini menjelaskan bagaimana seseorang merespon pada tugas

perkembangannya. Pada dasarnya perkembangan seseorang akan terus


berjalan meskipun orang tersebut telah menua. (Birren dan Jenner, 1977

dalam Sunaryo, 2016).

3. Teori Kultural

Teori ini dikemukakan oleh Blakemore dan Boneham (1992) dalam

Sunaryo, 2016, ahli antropologi menjelaskan bahwa tempat kelahiran

seseorang berpengaruh pada budaya yang dianut seseorang. Dipercayai

bahwa kaum tua tidak dapat mengabaikan sosial budaya mereka.

4. Teori Sosial

Teori ini dikemukakan oleh Lemon (1972). Teori social meliputi teori

aktivitas, teori pembebasan, dan teori kesinambungan. Teori aktivitas

menyatakan lanjut usia yang sukses adalah mereka yang aktif dan

mengikuti banyak kegiatan manusia. Sedangkan teori pembebasan

menerapkan bahwa dengan berubahnya usia seseorang, secara berangsur-

angsur orang tersebut mulai melepaskan diri dari kehidupan sosialnya. Dan

teori kesinambungan yaitu teori yang mengemukakan adanya

kesinambungan dalam siklus kehidupan lansia. Peran lansia yang hilang

tak perlu diganti dan lansia dimungkinkan untuk memilih berbagai cara

adaptasi.

5. Teori Genetika

Teori genetika dikemukakan oleh Hayflick (1965) dalam Sunaryo,

dkk., 2016. Dalam teori ini, proses penuaan kelihatannya mempunyai

komponen genetik. Hal ini dapat dilihat dari pengamatan bahwa anggota

keluarga yang sama cenderung hidup pada umur yang sama dan mereka

mempunyai umur yang rata-rata sama, tanpa mengikutsertakan meninggal

akibat kecelakaan dan penyakit. Mekanisme penuaan yang jelas secara


genetic belumlah jelas, tetapi hal penting yang harus menjadi catatan

bahwa lamanya hidup kelihatannya diturunkan mellaui garis wanita dan

seluruh mitokondria mamalia berasal dari telur dan tidak ada satupun

dipindahkan melaui spermatozoa. Pengalaman kultur sel sugestif bahwa

beberapa gen yang memengaruhi penuaan terdapat pada kromosom 1,

tetapi bagaimana cara mereka mempengaruhi penuaan masih belum jelas.

Di samping itu, terdapat juga “eksperimen alami” yang baik di mana

beberapa manusia dengan kondisi genetic yang jarang (progerias), seperti

sindroma Werner, menunjukkan penuaan yang premature dan meninggal

akibat penyakit usai lanjut, seperti atheroma derajat berat pada usianya

yang masih belasan tahun atau permulaan remaja. Serupa dengan itu, pada

penderita Sindroma Down pada umumnya proses penuaan lebih cepat

dibandingkan dengan populasi lain. Di samping itu, fibroblasnya mampu

membelah dalam jumlah lebih sedikit dalam kultur dibandingkan dengan

kontrol pada kebanyakan orang dengan umur sama. Akan tetapi, hal ini

masih sangat jauh dari bukti akhir bahwa penuaan merupakan kondisi

genetik.Hal ini hanya menunjukkan kepada kita bahwa beberapa bentuk

dipengaruhi oleh mekanisme genetik.

6. Teori Rusaknya Sistem Imun Tubuh

Teori ini dikembangkan oleh Haylick (1965) yang menyatakan bahwa

mutasi yang terjadi secara berulang mengakibatkan kemampuan system

imun untuk mengenali dirinya berkurang (self recognition), menurun

mengakibatkan kelainan pada sel dan dianggap se lasing sehingga

dihancurkan. Perubahan inilah yang disebut terjadinya peristiwa autoimun.


7. Teori Menua Akibat Metabolisme

Teori ini dikemukakan oleh Hadi Martono (2006), pada zaman dulu

pendapay tentang lanjut usia adalah botak, mudah bingung, pendengaran

sangat menurun atau disebut “budeg’’, menjadi bungkuk, dan sering

dijumpai kesulitan dalam menahan buang air kecil (beser atau

inkontinensia urin).

8. Teori Kejiwaan Sosial

Teori ini dikembangkan oleh Boedhi-Darmojo (2010), meliputi

Activity theory, Continuity theory, dan Disengagement theory. Activity

theory mengatakan bahwa lanjut usia yang sukses adalah mereka yang

aktif dan mengikuti banyak kegiatan social. Continuity theory mengatakan

bahwa perubahan yang terjadi pada lansia sangat dipengaruhi oleh tipe

personality yang dimilikinya. Sedangkan Disengagement theory

mengatakan bahwa bertambahnya usia seseorang secara berangsur-angsur

dia mulai melepaskan diri dari pergaulan sosialnya atau menarik diri dari

pergaulan sosialnya atau menarik diri dari pergaulan sekitarnya.

d. Perubahan – Perubahan yang Terjadi Akibat Proses Menua

Perubahan – perubahan yang terjadi pada lansia meliputi perubahan

fisik, yang meliputi sel, sistem pernafasan, sistem persyarafan, sistem

pendengaran, penglihatan, sistem kardiovaskuler, sistem urinaria, sistem

endokrin dan metabolic, sistem pencernaan, sistem muskuloskeletal, sistem

kulit dan jaringan ikat, sistem reproduksi dan kegiatan seksual, dan sistem

pengaturan tubuh, serta perubahan mental, dan perubahan psikososial.


1. Perubahan pada semua sistem

a. Sel

Jumlah pada sel lansia lebih sedikit, ukurannya lebih besar, jumlah

cairan intraseluler berkurang, proporsi protein di otak, otot, ginjal,

darah, dan hati menurun. Di samping itu jumlah sel di otak juga

menurun, otak menjadi trofis beratnya berkurang 5-10%.(Sunaryo,

dkk. 2016).

b. Perubahan Pada Sistem Sensori

Sensori mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhubungan

dengan orang lain dan untuk memelihara atau untuk membentuk

hubungan baru, berespon terhadap bahaya, dan menginterprestasikan

masukan sensoris dalam aktivitas kehidupan sehari – hari. Lansia yang

mengalami penurunan persepsi sensori. Akan merasakan enggan

bersosialisasi karena kemunduran fungsi–fungsi sensoris yang di

miliki. Indera yang dimiliki, seperti penglihatan, pendengaran,

pengecapan, penciuman dan perabaan merupakan kesatuan integrasi

dari persepsi sensori (Sunaryo dkk, 2016).

1) Penglihatan

Perubahan penglihatan dan fungsi mata yang dianggap

normal dalam proses penuaan termasuk penurunan kemampuan

dalam melakukan akomodasi, konstraksi pupil, akibat penuaan

dan perubahan warna serta kekeruhan lensa mata, yaitu katarak.

Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada penglihatan

akibat proses menua sebagai berikut.


(1) Pertama, terjadi awitan presbiopi dengan kehilangan

kemampuan akomidasi. Kerusakan ini terjadi karena otot-

otot siliaris menjadi lebih lemah dan kendur dan lensa

kristalin mengalami sklerosis dengan kehilangan elastisitas

dan kemampuan untuk memusatkan penglihatan jarak

dekat.

(2) Kedua, penurunan ukuran pupil atau miosis pupil terjadi

karena sfingkter pupil mengalami sklerosis.

(3) Ketiga, perubahan warna dan meningkatnya kekeruhan

lensa kristal yang terakumulasi dapat menimbulkan katarak.

Implikasinya yaitu penglihatan menjadi kabur, kesukaran

dalam membaca, dan peningkatan sensitivitas terhadap

cahaya

(4) Keempat, penurunan produksi air mata. Implikasinya yaitu

mata berpotensi terjadi sindrom mata kering.

2) Pendengaran

Penurunan pendengaran merupakan kondisi yang secara

dramatis dapat mempengaruhi kualitas hidup. Berikut ini

merupakan perubahan yang terjadi pada pendengaran akibat

proses menua.

(1) Pertama, pada telinga bagian dalam dan komponen saraf

tidak berfungsi dengan baik sehingga terjadi perubahan

konduksi.
(2) Kedua, pada telinga bagian tengah terjadi pengecilan daya

tangkap membrane timpani, pengapuran dari tulang

pendengaran, otot dan ligament menjadi lemah dan kaku.

(3) Ketiga, pada telinga bagian luar, rambut menjadi panjang

dan tebal, kulit menjadi lebih tipis dan kering, dan

peningkatan keratin.

3) Perabaan

Perabaan merupakan sistem sensoris pertama yang

menjadi fungsional apabila terdapat gangguan pada penglihatan

dan pendengaran

4) Pengecapan

Hilangnya kemampuan menikmati makanan seperti

pada saat sesorang bertambah tua mungkin dirasakan sebagai

kehilangan salah satu kenikmatan dalam kehidupan. Perubahan

yang terjadi pada pengecapan akibat proses menua yaitu

penurunan jumlah dan kerusakan papilla atau kuncup-kuncup

perasa lidah.

5) Penciuman

Sensasi penciuman bekerja akibat stimulasi reseptor

olfaktorius oleh zat kimia yang mudah menguap. Perubahan

yang terjadi pada penciuman akibat proses menua merupakan

penurunan atau kehilangan sensasi penciuman karena penuaan

dan usia
c. Sistem Integumen

Menurut Artinawati, S. 2014 mengatakan bahwa terdapat 6 ciri-ciri

pada sistem integument yang dialami oleh lansia yaitu:

1) Keriput serta kulit kepala dan rambut menipis

2) Rambut dalam hidung dan telinga menebal

3) Elastisitas menurun

4) Vaskularisasi menurun

5) Kuku keras dan rapuh

6) Kuku kaki tumbuh berlebihan seperti tanduk

d. Sistem Muskuloskletal

Menurut Artinawati, S. 2014 mengatakan bahwa terdapat 4 ciri-ciri

pada sistem muskuloskletal yang dialami oleh lansia yaitu :

1) Cairan tulang menurun sehingga mudah rapuh (osteoporosis)

2) Bungkuk (kifosis)

3) Persendian membesar dan menjadi kaku

4) Kram, tremor, tendon mengerut dan mengalami sclerosis

e. Sistem Persyarafan

Menurut Artinawati, S. 2014 mengatakan bahwa terdapat 4 ciri-ciri

pada sistem persyarafan yang dialami oleh lansia yaitu:

1) Saraf panca indra mengecil sehingga fungsinya menurun serta

lambat dalam merespon dan waktu bereaksi khususnya yang

berhubungan dengan stress,

2) Defisit memori

3) Kurang sensitive terhadap sentuhan


4) Berkurangnya atau hilangnya lapisan myelin akson, sehingga

menyebabkan berkurangnya respon motorik atau reflex

f. Sistem Kardiovaskuler

Menurut Artinawati, S. 2014 mengatakan bahwa sistem

kardiovaskuler dibagi menjadi 4 yaitu:

1) Katup jantung

2) Kemampuan memompa darah menurun ( menurunnya kontraksi

dan volume)

3) Elastisitas pembuluh darah menurun

4) Meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer sehingga tekanan

darah meningkat

g. Sistem Respirasi

Menurut Artinawati, S. 2014 mengatakan bahwa sistem respirasi

dibagi menjadi 4 yaitu :

1) Otot pernafasan kekuatannya menurun dan kaku, elastisitas paru

menurun, kapasitas residu meningkat sehingga menarik nafas lebih

barat

2) Alveoli melebar dan jumlahnya menurun

3) Kemampuan batuk menurun

4) Penyempitan pada bronkus

h. Sistem Endokrin

Menurut Artinawati, S. 2014 mengatakan bahwa Kelenjar endokrin

adalah kelenjar buntu dalam tubuh manusia yang memproduksi

hormone. Hormone berperan sangat penting dalam pertumbuhan,


pematangan pemeliharaan dan metabolism organ tubuh. Dimana pada

lansia akan mengalami penurunan

i. Sistem Genitourinaria

Menurut Artinawati, S. 2014 mengatakan bahwa pada sistem

genitourinaria terdapat 4 bagian yaitu :

a) Ginjal : Ginjal mengecil, aliran darah ke ginjal menurun,

penyaringan di glomelurus menurun dan fungsi tubulus menurun

sehingga kemampuan mengonsentrasi urin ikut menurun

b) Vesika Urinaria: Otot-oto melemah, kapasitasnya menurun dan

resistensi urin

c) Prostat : Hipertrofi pada 75% lansia

d) Vagina : Selaput lendir mongering dan sekresi menurun

j. Sistem Pencernaan

Menurut Artinawati, S. 2014 mengatakan bahwa pada sistem

pencernaan terjadi 7 permasalahan seperti :

1) Kehilangan gigi, penyebab utama periodontal disease yang biasa

terjadi setelah umur 30 tahun. Penyebab lain meliputi kesehatan

gigi dan gizi yang buruk

2) Indra pengecap menurun, adanya iritasi selaput lendir yang kronis,

atrofi indra pengecap (±80%) hilangnya sensitivitas saraf pengecap

dilidah terutama rasa manis dan asin

3) Esophagus melebar

4) Peristaltic melemah dan biasa timbul konstipasi

5) Rasa lapar menurun, asam lambung menurun, motilitas dan waktu

pengosongan lambung menurun


6) Fungsi absorbs melemah ( daya absorbs terganggu terutama

karbohidrat)

7) Hati semakin mengecil dan tempat penyimpanan menurun, aliran

darah berkurang.

k. Sistem Reproduksi

Menurut Artinawati, S.,2014 pada sistem pencernaan dibagi

menjadi 2, pada wanita dan pria sebagai berikut:

1) Pada Wanita

(1) Vagina mengalami kontraktur dan mengecil

(2) Ovarium menciut, uterus mengalami atrofi

(3) Atrofi payudara

(4) Atrofi vulva

(5) Selaput lendir vagina menurun, permukaan menjadi halus,

sekresi berkurang, sifatnya menjadi alkali dan terjadi perubahan

warna.

2) Pada Pria

(1) Testis masih dapat memproduksi spermatozoa, meskipun ada

penurunan secara berangsur-angsur

(2) Dorongan seksual menetap sampai usia diatas 70 tahun, asal

kondisi kesehatannya baik, yaitu :

1. Kehidupan seksual dapat diupayakan sampai masa lanjut

usia

2. Hubungan seksual secara teratur membantu

mempertahankan kemampuan seksual

3. Tidak perlu cemas karena prosesnya alamiah


4. Sebanyak ±75% pria usia diatas 65 tahun mengalami

pembesaran prostat.

2. Perubahan Mental

Dari segi mental perubahannya yang terjadi antara lain sering muncul

perasaan pesimis, timbulnya perasaan tidak aman dan cemas, ada

kekacauan mental akut, merasa terancam akan timbulnya suatu penyakit,

takut ditelantarkan karena merasa tidak berguna lagi,serta munculnya

perasaan kurang mampu untuk mandiri, serta cenderung entrover.

(Sunaryo, dkk. 2016 )

3. Perubahan Psikososial

Masalah-masalah serta reaksi individu terhadapnya akan sangat

beragam, tergantung pada kepribadian individu yang bersangkutan. Saat

ini orang yang telah menjalani kehidupannya dengan bekerja mendadak

diharapkan dapat menyesuaikan dirinya dengan masa pensiun. Bila cukup

beruntung dengan bijaksana, orang telah mempersiapkan diri untuk

pensiun, dengan menciptakan bagi dirinya berbagai bidang untuk

memanfaatkan sisa hidupnya. (Sunaryo, dkk. 2016 )

4. Perubahan Spiritual

Ada beberapa pendapat tentang perubahan spiritual pada lansia.

Menurut Muray & Zentner ( dalam wahit Iqbal Mubarak dkk., 2006)

dalam Sunaryo, dkk., 2016 bahwa kehidupan keagamaan lansia semakin

matang. Hal ini dapat dilihat dari cara berfikir dan bertindak sehari-hari.
e. Tipe-tipe Lanjut Usia

Menurut Nugroho, W. (2016) mengatakan bahwa di zaman sekarang

(zaman pembangunan), banyak ditemukan bermacam- macam tipe lanjut usia.

Yang menonjol antara lain:

1) Tipe arif bijaksana: lanjut usia ini kaya dengan hikmah pengalaman,

menyusaikan diri dengan perubahan zaman, mempunyai kesibukan,

bersikap ramah, rendah hati, sederhana, dermawan, menerima undangan,

dan menjadi panutan.

2) Tipe mandiri: lanjut usia ini senang mengganti kegiatan yang hilang

dengan kegiatan baru, selektif dalam mencari perkejaan dan teman

pergaulan, serta memenuhi undangan.

3) Tipe tidak puas: lanjut usia ini yang selalu mengalami konflik lahir batin,

menentang proses penuaan, yang menyebabkan kehilangan kecantikan,

kehilangan daya tarik jasmani, kehilangan kekuasaan, status, teman yang

disayangi, pemarah, tidak sabar, mudah tersinggung, menuntut, sulit

dilayani, dan pengkritik.

4) Tipe pasraru lanjut usia yang selalu menerima dan menunggu nasib baik,

mempunyai konsep habis (“habis gelap terbitlah terang), mengikuti

kegiatan beribadah, ringan kaki, pekerjaan apa saja dilakukan

5) Tipe bingung: lanjut usia ini yang kagetan, kehilangan kepribadian,

mengasingkan diri, merasa minder, menyesal, pasif, acuh tak acuh.

f. Permasalahan Yang Terjadi Pada Lansia


Menurut Hardiwinoto & Setiabudi 2005 ( dalam Suryono, dkk., 2016)

berbagai permasalahan yang berkaitan dengan pencapaian kesehjahtraan lanjut

usia antara lain:

1) Permasalahan Umum

a) Makin besar jumlah lansia yang berada dibawah garis kemiskinan

b) Makin melemahnya nilai kekerabatan sehingga anggota keluarga yang

berusia lanjut kurang diperhatikan, dihargai, dan di hormati

c) Lahirnya kelompok masyarakat industri

d) Masih rendahnya kuantitas dan kualitas tenaga professional pelanyanan

lanjut usia

e) Belum membudaya dan melembaganya kegiatan pembinaan

kesehjahtraan lansia.

2) Permasalah Khusus

a) Berlangsungnya proses menua yang berakibat timbulnya masalah baik

fisik, mental ataupun social

b) Berkurangnya integrasi social lanjut usia

c) Rendahnya prosuktifitas kerja lansia

d) Banyaknya lansia yang miskin, terlantar, dan catat

e) Berubanya nilai social masyarakat yang mengarah pada tatanan

masyarakat individualistic

f) Adanya dampak negatif dari proses pembangunan yang dapat

menganggu kesehatan fisik lansia

2. Konsep Inkontinensia Urine

a. Pengertian Inkontinensia Urine


Inkontinensia urine adalah eleminasi urin dari kandung kemih tidak

terkendali atau terjadi di luar keinginan (Brunner & Sudart,2002; Aspiani,2014)

Inkontinensia urin adalah kondisi ketika dorongan berkemih tidak mampu

dikontrol oleh sfingter eksternal. (Mubarak dan Chayatin Nurul,2007;

Aspiani,2014).

Inkontinensia urin adalah ketidakmampuan otot sfingter eksternal sementara

atau menetap untuk mengontrol ekresi urin. (Wartonah Tarwoto,2003; Aspiani,2014).

b. Klarifikasi Inkontinensia Urine

Inkontinensia urin dapat di klasifikasikan menjadi 2 yaitu

a. Inkontinensia urine akut (Transient incontinence) : Inkontinensia urin

ini merupakan terjadi secara mendadak, terjadi kurang dari 6 bulan dan

biasanya berkaitan dengan kondisi sakit akut atau masalah iatrogenik

menghilang jika kondisi akut teratasi. Penyebab umum dari

Inkontinensia Urin Transien ini sering disingkat DIAPPERS, yaitu:

1) D Delirium atau kebingungan - pada kondisi berkurangnya

kesadaran baik karena pengaruh dari obat atau operasi, kejadian

inkontinensia dapat dihilangkan dengan mengidentifikasi dan

menterapi penyebab delirium.

2) I Infection – infeksi saluran kemih seperti urethritis dapat

menyebabkan iritasi kandung kemih dan timbul frekuensi,

disuria dan urgensi yang menyebabkan seseorang tidak mampu

mencapai toilet untuk berkemih.


3) A Atrophic Uretritis atau Vaginitis – jaringan teriritasi dapat

menyebabkan timbulnya urgensi yang sangat berespon terhadap

pemberian terapi estrogen.

4) P Pharmaceuticals – dapat karena obat-obatan, seperti terapi

diuretik yang meningkatkan pembebanan urin di kandung

kemih.

5) P Psychological Disorder – seperti stres, depresi, dan

anxietas.

6) E Excessive Urin Output – karena intake cairan, alkoholisme

diuretik, pengaruh kafein.

7) R Restricted Mobility – dapat penurunan kondisi fisik lain

yang mengganggu mobilitas untuk mencapai toilet.

8) S Stool Impaction – dapat pengaruh tekanan feses pada

kondisi konstipasi akan mengubah posisi pada kandung kemih

dan menekan saraf.

b Inkontinensia urin kronik (persisten): Inkontinensia urin tidak berkaitan

dengan kondisi akut dan berlangsung dengan lama (lebih dari 6 bulan)

ada 2 penyebab Inkontinensia urin kronik (persisten) yaitu:

menurunnya kapasitas kandung kemih akibat hiperaktif dan karena

kegagalan pengosongan kandung kemih akibat lemahnya kontraksi

otot detrusor. Inkontinensia urin kronik ini dikelompokkan lagi

menjadi 4 tipe (stress, urge, overflow , fungsional). Berikut ini adalah

penjelasan masing-masing tipe Inkontinensia urin kronik atau

persisten:
1) Inkontinensia urin tipe stress: Inkontinensia urin terjadi

apabila urin dengan secara tidak terkontrol keluar akibat

peningkatan tekanan di dalam perut, melemahnya otot dasar

panggul, operasi dan penurunan estrogen. Pada gejalanya

antara lain kencing sewaktu batuk, mengedan, tertawa,

bersin, berlari, atau hal yang lain yang meningkatkan

tekanan pada rongga perut. Pengobatan dapat dilakukan

dengan tanpa operasi (misalnya dengan Kegel exercises,

dan beberapa jenis obat-obatan), maupun dengan operasi.

2) Inkontinensia urin tipe urge: timbulnya pada keadaan otot

detrusor kandung kemih yang tidak stabil, di mana otot ini

bereaksi secara berlebihan Inkontinensia urin dapat ditandai

dengan ketidakmampuan menunda berkemih setelah sensasi

berkemih muncul manifestasinya dapat merupa perasaan

ingin kencing yang mendadak (urge), kencing berulang kali

(frekuensi) dan kencing di malam hari (nokturia).

3) Inkontinensia urin tipe overflow : pada keadaan ini urin

mengalir keluar dengan akibat isinya yang sudah terlalu

banyak di dalam kandung kemih, pada umumnya akibat

otot detrusor kandung kemih yang lemah. Biasanya hal ini

bisa dijumpai pada gangguan saraf akibat dari penyakit

diabetes, cedera pada sumsum tulang belakang, dan saluran

kencing yang tersumbut. Gejalanya berupa rasanya tidak

puas setelah kencing (merasa urin masih tersisa di dalam


kandung kemih), urin yang keluar sedikit dan pancarannya

lemah.

4) Inkontinensia urin tipe fungsional: dapat terjadi akibat

penurunan yang berat dari fungsi fisik dan kognitif

sehingga pasien tidak dapat mencapai ketoilet pada saat

yang tepat. Hal ini terjadi pada demensia berat, gangguan

neurologic, gangguan mobilitas dan psikologik (Setiati,

2007; Cameron, 2013).

c. Patofisiologi Inkontinensia Urine

Inkontinensia urine bisa disebabkan oleh karena komplikasi dari penyakit

infeksi saluran kemih, kehilangan kontrol spinkter atau terjadinya perubahan

tekanan abdomen secara tiba-tiba. Inkontinensia bisa bersifat permanen misalnya

pada spinal cord trauma atau bersifat temporer pada wanita hamil dengan struktur

dasar panggul yang lemah dapat berakibat terjadinya inkontinensia urine.

Meskipun inkontinensia urine dapat terjadi pada pasien dari berbagai usia,

kehilangan kontrol urinari merupakan masalah bagi lanjut usia.

Proses berkemih normal merupakan proses dinamis yang memerlukan

rangkaian koordinasi proses fisiologik berurutan yang pada dasarnya dibagi

menjadi 2 fase. Pada keadaan normal selama fase pengisian tidak terjadi

kebocoran urine, walaupun kandung kemih penuh atau tekanan intra-abdomen

meningkat seperti sewaktu batuk, meloncat-loncat atau kencing dan peningkatan

isi kandung kemih memperbesar keinginan ini. Pada keadaan normal, dalam hal

demikian pun tidak terjadi kebocoran di luar kesadaran. Pada fase pengosongan,

isi seluruh kandung kemih dikosongkan sama sekali. Orang dewasa dapat

mempercepat atau memperlambat miksi menurut kehendaknya secara sadar, tanpa


dipengaruhi kuatnya rasa ingin kencing. Cara kerja kandung kemih yaitu sewaktu

fase pengisian otot kandung kemih tetap kendor sehingga meskipun volume

kandung kemih meningkat, tekanan di dalam kandung kemih tetap rendah.

Sebaliknya otot-otot yang merupakan mekanisme penutupan selalu dalam keadaan

tegang. Dengan demikian maka uretra tetap tertutup. Sewaktu miksi, tekanan di

dalam kandung kemih meningkat karena kontraksi aktif otot-ototnya, sementara

terjadi pengendoran mekanisme penutup di dalam uretra. Uretra membuka dan

urine memancar keluar. Ada semacam kerjasama antara otot-otot kandung kemih

dan uretra, baik semasa fase pengisian maupun sewaktu fase pengeluaran. Pada

kedua fase itu urine tidak boleh mengalir balik ke dalam ureter (refluks).

Proses berkemih normal melibatkan mekanisme dikendalikan dan tanpa

kendali. Sfingter uretra eksternal dan otot dasar panggul berada dibawah control

volunter dan disuplai oleh saraf pudenda, sedangkan otot detrusor kandung kemih

dan sfingter uretra internal berada di bawah kontrol sistem safar otonom,yang

mungkin dimodulasi oleh korteks otak. Kandung kemih terdiri atas 4 lapisan,

yakni lapisan serosa, lapisan otot detrusor, lapisan submukosa dan lapisanmukosa.

Ketika otot detrusor berelaksasi, pengisian kandung kemih terjadi dan bila otot

kandung kemih berkontraksi pengosongan kandung kemih atau proses berkemih

berlangsung. otot detrusor adalah otot kontraktil yang terdiri atas beberapa lapisan

kandung kemih. Mekanisme detrusor meliputi otot detrusor,saraf pelvis, medula

spinalis dan pusat saraf yang mengontrol berkemih. Ketikakandung kemih

seseorang mulai terisi oleh urin, rangsangan saraf diteruskan melalui saraf pelvis

dan medula spinalis ke pusar saraf kortikal dan subkortikal. Pusat subkortikal

(pada ganglia basal dan serebelum) menyebabkan kandung kemih berelaksasi

sehingga dapat mengisi tanpa menyebabkan seseorang mengalami desakan untuk


berkemih. Ketika pengisian kandung kemih berlanjut,rasa penggebungan kandung

kemih disadari, dan pusat kortikal (pada lobusfrontal), bekerja menghambat

pengeluaran urin. Gangguan pada pusat kortikaldan subkortikal karena obat atau

penyakit dapat mengurangi kemampuan menunda pengeluaran urin. Komponen

penting dalam mekanisme sfingter adalah hubungan urethra dengan kandung

kemih dan rongga perut. Mekanisme sfingter berkemih memerlukan agulasi yang

tepat antara urethra dan kandung kemih.Fungsi sfingter urethra normal juga

tergantung pada posisi yang tepat dari urethra sehiingga dapat meningkatkan

tekanan intra-abdomen secara efektif ditrasmisikan ke uretre. Bila uretra pada

posisi yang tepat, urin tidak akan keluar pada saat tekanan atau batuk yang

meningkatkan tekanan intra-abdomen. Mekanisme dasar proses berkemih diatur

oleh refleks-refleks yang berpusat dimedula spinalis segmen sakral yang dikenal

sebagai pusat berkemih. Pada fase pengisian kandung kemih, terjadi peningkatan

aktivitas saraf otonom simpatis yang mengakibatkan penutupan leher kandung

kemih, relaksasi dinding kandung kemih serta penghambatan aktivitas

parasimpatis dan mempertahankan inversisomatik pada otot dasar panggul. Pada

fase pengosongan, aktivitas simpatis dan somatik menurun, sedangkan

parasimpatis meningkat sehingga terjadi kontraksi otot detrusor dan pembukaan

leher kandung kemih. Proses reflek ini dipengaruhi oleh sistem saraf yang lebih

tinggi yaitu batang otak, korteks serebri dan serebelum. Pada usia lanjut biasanya

ada beberapa jenis inkontinensia urin yaitu ada inkontinensia urin tipe stress,

inkontinensia tipe urgensi, tipe fungsional dan tipe overflow.

Inkontinensia urine dapat terjadi dengan berbagai manifestasi, antara lain:

Fungsi sfingter yang terganggu menyebabkan kandung kemih bocor bila batuk

atau bersin. Terjadi hambatan pengeluaran urine dengan pelebaran kandung


kemih, urine banyak dalam kandung kemih sampai kapasitas berlebihan. Seiring

dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada anatomi dan fungsi

organ kemih, antara lain : melemahnya otot dasar panggul akibat kehamilan

berkali-kali, kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk kronis. Ini mengakibatkan

seseorang tidak dapat menahan air seni. Selain itu, adanya kontraksi (gerakan)

abnormal dari dinding kandung kemih, sehingga walaupun kandung kemih baru

terisi sedikit, sudah menimbulkan rasa ingin berkemih. Penyebab Inkontinensia

Urine (IU) antara lain terkait dengan gangguan di saluran kemih bagian bawah,

efek obat-obatan, produksi urin meningkat atau adanya gangguan

kemampuan/keinginan ke toilet. Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa

karena infeksi. Inkontinensia Urine juga bisa terjadi karena produksi urine

berlebih karena berbagai sebab. Misalnya gangguan metabolik, seperti diabetes

melitus, yang harus terus dipantau

Selain hal-hal yang disebutkan diatas inkontinensia urine juga terjadi

akibat kelemahan otot dasar panggul, karena kehamilan, pasca melahirkan,

kegemukan (obesitas), menopause, usia lanjut, kurang aktivitas dan operasi

vagina. Penambahan berat dan tekanan selama kehamilan dapat menyebabkan

melemahnya otot dasar panggul karena ditekan selama sembilan bulan. Proses

persalinan juga dapat membuat otot-otot dasar panggul rusak akibat regangan otot

dan jaringan penunjang serta robekan jalan lahir, sehingga dapat meningkatkan

risiko terjadinya inkontinensia urine. Dengan menurunnya kadar hormon estrogen

pada wanita di usia menopause (50 tahun ke atas), akan terjadi penurunan tonus

otot vagina dan otot pintu saluran kemih (uretra), sehingga menyebabkan

terjadinya inkontinensia urine. Faktor risiko yang lain adalah obesitas atau

kegemukan, riwayat operasi kandungan dan lainnya juga berisiko mengakibatkan


inkontinensia. Semakin tua seseorang semakin besar kemungkinan mengalami

inkontinensia urine, karena terjadi perubahan struktur kandung kemih dan otot

dasar panggul.

1. Etilogi

Terdapat sejumlah alasan terjadinya inkontinensia, baik yang disebabkan

oleh semua factor diatas maupun masalah klinis yang berhubungan. Alasan

utama pada lansia adalah adanya “ ketidakstabilan kandung kemih “. Beberapa

kerusakan persyarafan mengakibatkan sesorang tidak mampu mencegah

kontraksi otot kandung kemih secara efektif ( otot detrusor ) dan mungkin juga

dipersulit oleh masalah lain, seperti keterbatasan gerak atau konfusi. Keinginan

untuk miksi datang sangat cepat dan sangat mendesak pada seseorang sehingga

penderita tidak sempat pergi ke toilet, akibatnya terjadi inkontinensia, kejadian

yang sama mungkin dialami pada saat tidur.

Pada wanita, kelemahan otot spingter pada outlet sampai kandung kemih

seringkali disebabkan oleh kelahiran multiple sehingga pengeluaran urine dari

kandung kemih tidak mampu dicegah selama masa peningkatan tekanan pada

kandung kemih. Adanya tekanan di dalam abdomen, seperti bersin, batuk, atau

saat latihan juga merupakan factor konstribusi.

Pembesaran kelenjar prostat pada pria adalah penyabab yang paling

umum terjadinya obstruksi aliran urine dari kandung kemih. Kondisi ini

menyebabkan inkontinensia karena adanya mekanisme overflow. Namun,

inkontinensia ini dapat juga disebabkan oleh adanya obstruksi yang berakibat

konstipasi dan juga adanya massa maligna ( cancer ) dalam pelvis yang dialami

oleh pria dan wanita. Akibat dari obstruksi, tonus kandung kemih akan
menghilang sehingga disebut kandung kemih atonik. Kandung kemih yang

kondisinya penuh gagal berkontraksi, akan tetapi kemudian menyebabkan

overflow, sehingga terjadi inkontinensia. Apapun penyebabnya, inkontinensia

dapat terjadi saat tekanan urine di dalam kandung kemih menguasai kemampuan

otot spingter internal dan eksternal ( yang berturut – turut baik secara sadar

maupun tidak sadar ) untuk menahan urine, tetap berada dalam kandung kemih.

2. Proses Terjadi

3. Manifestasi klinis

1) Inkontinensia stress : Keluarnya urin selama batuk, mengedan, dan

sebagainya. Gejala-gejala ini sangat spesifik untuk inkontinensia stress.

2) Inkontinensia urgensi : ketidak mampuan menahan keluarnya urin dengan

gambaran seringnya terburu-buru untuk berkemih.

3) Enuresis nocturnal : 10% anak usian 5 tahun dan 5% anak usia 10 tahun

mengompol selama tidur. Mengompol pada anak yang lebih tua merupakan

sesuatu yang abnormal dan menunjukan adanya kandung kemih yang tidak

stabil.

4) Gejala infeksi urine (frekuensi, disuria, nokturia), obstruksi(pancara lemah,

menetes), trauma (termasuk pembedahan, misalnya reseksi

abdominoperineal), fistula (menetes terus menerus), penyakit neurologis

(disfungsi seksual atau usus besar) atau penyakit sistemik (misalnya

diabetes) dapat menunjukan penyakit yang mendasari.

5) Ketidak nyamanan daerah pubis.

6) Distensi vesika urinaria.

7) Ketidak sanggupan untuk berkemih.


8) Sering berkemih, saat vesika urinaria berisi sedikit urine (20-50 ml)

9) Ketidak seimbangan jumlah urine yang dikeluarkan dengan asupannya.

10) Meningkatkan keresahan dan keinginanan berkemih.

11) Adanya urine sebanyak 3000-4000 ml dalam kandung kemih.

12) Tidak merasakan urine keluar.

13) Kandung kemih terasa penuh walaupun telah buang air kecil.

4. Komplikasi

Penderita dengan penyakit inkotinensia urine biasanya dapat menyebabkan antara

lain :

1) Infeksi saluran kemih

2) Ulkus pada Kulit

3) Problem tidur

4) Depresi dan kondisi medis lainnya

d. Pemeriksaan diagnostic

a. Urinallisis, digunakan untuk melihat apakan ada bakteri, darah dan glukosa

dalam urine.

b. Uroflowmetry digunakan untuk mengevaluasi pola berkemih dan menunjukkan

obstruksi pintu bawah kandung kemih dengan mengukur laju aliran ketika

pasien berkemih.

c. Cysometri digunakan untuk mengkaji fungsi neuromuscular kandung kemih

dengan mengukur efisiensi reflex otot detrusor, tekanan dan kapasitas

intravesikal dan reaksi kandung kemih terhadap rangsangan panas.


d. Urografi ekskretorik, disebut juga pielografi intravena, digunakan untuk

mengevaluasi struktur dan fungsi ginjal, ureter, dan kandung kemih.

e. Volding cystourethrography digunakan untuk mendeteksi ketidaknormalan

kandung kemih dan uretra serta mengkaji hipertrofi lobus prostat, striktur uretra,

dan tahap gangguan uretra prostatic stenosis ( pada pria ).

f. Uretrografi retrograde, digunakan hampir secara ekslusif pada pria, membantu

diagnosis striktur dan obstruksi orifisium uretra.

g. Elektromiografi sfingter pada pasien pria dapat menunjukkan pembesaran

prostat atau nyeri, kemungkinan menanndakan hipertrofi prostat jinak atau

infeksi. Pemeriksaan tersebut juga dapat menunjukkan impaksi yang mungkin

menyebabkan inkontinensia.

h. Pemeriksaan vagina dapat memperlihatkan kekeringan vagina atau vaginitis

atrofi, yang menandakan kekuranagn estrogen.

i. Katerisasi residu pescakemih digunakan untuk menentukan luasnya

pengosongan kandung kemih dan jumlah urine yang tersisa dalam kandung

kemih setelah pasien berkemih.

e. Penatalaksanaan Medis

Ada beberapa cara untuk menangani pasien dengan kasus inkontinensia urin.

Umumnya dapat berupa tatalaksana farmakologis, non-farmakologis maupun

pembedahan. Prinsipnya adalah penderita inkontinensia tidak dapat ditangani hanya

dengan satu modalitas terapi, tetapi melalui serangkaian terapi yang dilakukan secara

simultan. Spektrum modalitas terapi yang dilakukan meliputi:

a. Terapi non farmakologis, yaitu:


1) Terapi suportif non-spesifik (edukasi, manipulasi lingkungan, pakaian dan

pads tertentu)

2) Intervensi tingkah laku (latihan otot dasar panggul, latihan kandung kemih,

penjadwalan berkemih)

b. Terapi medika mentosa

c. Operasi

d. Kateterisasi

Keberhasilan penanganan pasien inkontinensia sangat bergantung pada

ketepatan diagnosis dalam penentuan tipe inkontinensia, faktor yang berkontribusi

secara reversibel dan problem medik akut yang dialami.

Intervensi pada tingkah laku pasien sangat memerlukan kerja sama yang baik

dari pasien tersebut. Secara umum yang dapat kita lakukan ialah meliputi edukasi

pada pasien dan pengasuhnya. Intervensi perilaku yang dapat meliputi bladder

training, habit training, prompted voiding dan latihan dasar otot panggul. Sedangkan

teknik yang menggunakan alat seperti stimulasi elektrik, biofeedback dan

neuromodulasi dapat melengkapi teknik perilaku ini.

Apa saja intervensi tingkah laku yang dapat dilakukan? Berikut adalah daftar

hal yang dapat dilakukan dalam terapi non farmakologis ini.

1) Bladder training

Merupakan suatu jenis terapi yang cukup efektif dibanding teknik non

farmakologik lainnya. Terapi ini bertujuan memperpanjang interval berkemih yang

normal sehingga hanya mencapai 6-7 kali sehari atau 3-4 jam sekali. Pasien

diharapkan dapat menahan sensasi untuk berkemih. Misalnya awalnya interval waktu

satu jam, kemudian ditingkatkan perlahan hingga 2-3 jam. Agar tidak lupa, dapat
dibuat catatan harian untuk berkemih. Apabila pasien tidak mampu lagi menahan

sensasi kemihnya, maka ia diperbolehkan berkemih sebelum waktunya namun akan

dicatat dalam catatan hariannya. Sebisa mungkin catat volume urin yang keluar pada

saat miksi dan jumlah urin yang bocor.Fakta yang menarik yang penulis dapatkan

ialah bila seseorang tergoda untuk segera ke kamar kecil untuk muncul dorongan

berkemih, maka kandung kemihnya dapat terangsang dengan gerakan yang tergesa-

gesa tersebut. Latihan kandung kemih ini terbukti efektif terhadap inkontinensia tipe

stress maupun tipe urgensi.

2) Latihan dasar otot panggul

Merupakan suatu jenis latihan yang dikembangkan oleh Arnold Kegel pada tahun

1884. Berdasarkan penelitiannya, Arnold Kegel menemukan tingkat perbaikan dan

kesembuhan pada 84% subjek penelitian yaitu wanita yang menderita inkontinensia

berbagai tipe. Latihan yang dilakukan oleh Arnold Kegel ini sekarang lebih dikenal

dengan nama Senam Kegel.

Seperti yang kita ketahui bersama, otot pelvis seperti otot lainnya dapat

mengalami kelemahan akibat bertambahnya usia,. Latihan pada otot pelvis dapat

memperkuat otot-otot yang lemah di sekitar kandung kemih. Secara sederhana latihan

yang dapat dilakukan dideskripsikan mirip dengan usaha otot kita sewaktu menahan

untuk tidak flatus.

Latihan ini dapat dilakukan beberapa kali sehari dengan waktu 10 menit untuk

tiap kali latihan. Dapat dipraktikkan dimana saja, paling baik saat berbaring di tempat

tidur. Pada saat melakukan latihan, usahakan bernapas dengan normal dan tidak

menggunakan otot paha, betis dan perut. Setelah melakukan latihan ini selama 4-6

minggu, diharapkan akan ada perbaikan kondisi yaitu berkurangnya kebocoran urin.
3) Latihan untuk menahan dorongan berkemih

Untuk mengurangi rasa ingin berkemih, cara ini dapat digunakan bila dorongan

tersebut muncul:

a) Berdiri tenang maupun duduk diam, lebih baik jika kaki disilangkan agar

mencegah rangsang berlebihan dari kandung kemih.

b) Tarik napas teratur dan relaks.

c) Kontraksikan otot dasar panggul beberapa kali. Ini akan membantu

penutupan uretra dan menenangkan kandung kemih.

d) Bila rangsang berkemih sudah menurun, jangan ke toilet sebelum tiba

waktunya.

Latihan yang ada diatas membutuhkan waktu yang cukup lama. Namun bila

dilakukan dengan sabar, hasilnya cukup memuaskan. Sedangkan terapi biofeedback

dapat digunakan agar pasien mampu menahan kontraksi involunter otot detrusor dari

kandung kemih. Stimulasi elektrik menggunakan kejutan kontraksi otot pelvis dengan

alat bantu pada vagina dan rektum. Neuromodulasi merupakan terapi yang

menggunakan stimulasi saraf sakral. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa

neuromodulasi merupakan salah satu cara yang dapat menangani kandung kemih yang

hiperaktif dengan baik.

Terapi yang menggunakan obat (farmakologis) merupakan terapi yang terbukti

efektif terhadap inkontinensia urin tipe stress dan urgensi. Terapi ini dapat

dilaksanakan bila upaya terapi non-farmakologis telah dilakukan namun tidak dapat

mengatasi masalah inkontinensia tersebut.

Berikut adalah obat-obat yang dapat digunakan pada pasien dengan inkontinensia urin

:
Obat Yang Digunakan Untuk Inkontinensia Urin
Obat Dosis Tipe Inkontinensia Efek Samping
Hyoscamin 3 x 0,125 mg Urgensi atau Mulut kering, mata kabur,

campuran glaukoma, derilium, konstipasi


Tolterodin 2 x 4 mg Urgensi atau OAB Mulut kering, konstipasi
Imipramin 3 x 25-50 Urgensi Derilium, hipotensi ortostatik

mg
Pseudoephedri 3 x 30-60 Stress Sakit kepala, takikardi,

n mg hipertensi
Topikal Urgensi dan Stress Iritasi lokal

estrogen
Doxazosin 4 x 1-4 mg BPH dengan Hipotensi postural

Urgensi
Tamsulosin 1 x 0,4-0,8

mg
Terazosin 4 x 1-5 mg

Penggunaan fenilpropanolamin sabagai obat inkontenensia urin tipe stress

sekarang telah dihentikan karena hasil uji klinik yang menunjukkan adanya resiko

stroke pasca penggunaan obat ini. Sebagai gantinya digunakan pseudoefedrin. Namun

penggunaan pseudoefedrin pun jarang ditemukan pada usia lanjut karena adanya

masalah hipertensi, aritmia jantung dan angina.

Pembedahan merupakan langkah terakhir yang dilakukan untuk masalah

inkontinensia bila terapi secara farmakologis dan non-farmakologis tidak berhasil

dilakukan. Pembedahan yang sering dilakukan ialah berupa pemasangan kateterisasi

yang menetap. Namun penggunaan kateterisasi ini harus benar-benar dibatasi pada

indikasi yang tepat. Misalnya adanya ulkus dekubitis yang terganggu

penyembuhannya karena adanya inkontinensia urin ini. Komplikasi yang dapat timbul

sebagai efek dari penggunaan kateter ialah timbulnya batu saluran kemih, abses ginjal

bahkan proses keganasan pada saluran kemih.


Pada laki-laki dengan obstruksi saluran kemih akibat hipertrofi prostat dapat

dilakukan pembedahan untuk mencegah timbulnya inkontinensia tipe overflow di

kemudian hari. Selain itu, ada pula teknik pembedahan yang bertujuan melemahkan

otot detrusor misalnya dengan menggunakan pendekatan postsakral maupun

paravaginal. Teknik pembedahan ini contohnya ialah transeksi terbuka kandung

kemih, transeksi endoskopik, injeksi penol periureter dan sitolisis.

B. Tinjauan Asuhan Keperawatan Pada Lansia Dengan Inkontinensia Urine

1. Pengkajian

Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan suatu

proses pengumpulan data yang sistematis dari berbagai sumber untuk

mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan pasien. (Nursalam, 2013).

Adapun data-data yang akan di kumpulkan dikaji pada asuhan

keperawatan pasien dengan diagnosa medis inkontinensia urine :

a. Identitas pasien

Meliputi nama, jenis kelamin, umur, agama/kepercayaan, status perkawinan,

pendidikan, pekerjaan, suku bangsa, alamat, diagnosa medis

b. Keluhan utama

Pada kelayan inkontinensia urine keluhan-keluhan yang ada adalah nokturia,

urgence, disuria, poliuria, oliguri, dan strategi

c. Riwayat penyakit sekarang

Memuat tentang perjalanan penyakit sekarang sejak timbul keluhan, usaha

yang telah dilakukan untuk mengatasi keluhan

d. Riwayat penyakit dahulu


Adanya penyakit yang berhubungan dengan ISK ( infeksi saluran kemih )

yang berulang, penyakit kronis yang pernah di derita

e. Riwayat penyakit keluarga

Apakah ada penyakit keturunan dari salah satu anggota keluarga yang

menderita penyakit inkontinensia urine, adakah anggota keluarga yang

menderita DM, hipertensi.

f. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik yang digunakan adalah B1-B6 :

1) B1 (breathing)

Kaji adanya pernafasan adanya gangguan pada palo nafas, sianosis karena

suplai oksigen menurun. Kaji ekspansi dada, adakah kelainan pada perkusi

2) B2 (blood)

Terjadi peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan gelisah

3) B3 (brain)

Kesadaran biasanya sadar penuh

4) B4 (bladder)

Inspeksi : periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau menyengat

karena adanya aktifitas mikroorganisme (bakteri) dalam kandung kemih

serta disertai keluhan keluarnya darah apabila ada lesi pada bladder,

pembesaran daerah supra pubik lesi pada neatus uretra, banyak kencing

dan nyeri saat berkemih mendadah disurea akibat dari infeksi, apakah

klien terpasang kateter sebelumnya.

Palpasi : rasa nyeri disapat pada daerah supra pubik atau pelvis, seperti

rasa terbakar di uretra luar sewaktu kencing atau dapat juga diluar waktu

kencing.
5) B5 (bowel)

Bising usus adalah peningkatan atau penurunan, adanya nyeri tekan

abdomen, adanya ketidaknormalan perkusi, adanya ketidaknormalan

palpasi pada ginjal.

6) B6 (bone)

Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkan dengan ekstremitas yang

lain, adakah nyeri pada persendian.

2. Diagnosa Keperawatan

Menurut NANDA NIC-NOC 2018 menyatakan bahwa diagnose keperawatan

yang sering muncul pada pasien dengan inkontinensia urine adalah:

a. Hambatan eliminasi urine berhubungan dengan tidak adanya sensasi untuk

berkemih dan kehilangan kemampuan untuk menghambat kontraksi kantung

kemih.

b. Risiko syok berhubungan dengan ketidakmampuan elektrolit kedalam sel

tubuh, hipovolemia

c. Risiko infeksi berhubungan dengan pemasangan kateter dalam waktu yang

lama.

d. Risiko kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan irigasi kontras oleh

urine

e. Retensi urin berhubungan dengan inkomplit pengosongan kantung kemih,

spingter kuat dan poliuria

f. Risiko defisien volume cairan berhubungan dengan intake yang adekuat

g. Keletihan

h. Resiko Jatuh

i. Defisiensi Pengetahuan
3. Perencanaan Keperawatan

Berdasarkan NANDA NIC-NOC 2018 perencanaan tindakan keperawatan

adalah sebagai berikut:

1) Prioritas masalah

a) Hambatan eliminasi urine

b) Risiko Jatuh

c) Defisiensi Pengetahuan

d) Risiko defisien volume cairan

e) Risiko syok

f) Risiko kerusakan integritas jaringan

g) Resiko infeksi

h) Retensi urin

i) Keletihan

2) Rencana keperawatan

1) Hambatan eliminasi urine berhubungan dengan tidak adanya sensasi untuk

berkemih dan kehilangan kemampuan untuk menghambat kontraksi kantung

kemih.

a) Tujuan :

Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pasien akan bisa

melaporkan suatu pengurangan / penghilangan inkontinesia.

b) Kriteria Hasil :

Pasien dapat menjelaskan penyebab inkontinesia dan rasional penatalaksaan.

c) Intervensi dan Rasional :


(1) Kaji kebiasaan pola berkemih dan gunakan catatan berkemih sehari.

Rasional : Berkemih yang sering dapat mengurangi dorongan beri

distensi kandung kemih

(2) Ajarkan untuk membatasi masukan cairan selama malam hari

Rasional : Pembatasan cairan pada malam hari dapat mencegah

terjadinya enurasis

(3) Bila masih terjadi inkontinesia kurangi waktu antara berkemih yang

telah direncanakan

Rasional : Kapasitas kandung kemih mungkin tidak cukup untuk

menampung volume urine sehingga diperlukan untuk lebih sering

berkemih.

(4) Instruksikan pasien batuk dalam posisi litotomi, jika tidak ada

kebocoran, ulangi dengan posisi pasien membentuk sudut 45, lanjutkan

dengan pasien berdiri jika tidak ada kebocoran yang lebih dulu.

Rasional : Untuk membantu dan melatih pengosongan kandung kemih.

(5) Pantau pemasukan dan pengeluaran, pastikan pasien mendapat

masukan cairan 2000 ml, kecuali harus dibatasi.

Rasional : Dehidrasi optimal diperlukan untuk mencegah ISK dan batu

ginjal

(6) Kolaborasi dengan dokter dalam mengkaji efek medikasi dan tentukan

kemungkinan perubahan obat, dosis/ jadwal pemberian obat untuk

menurunkan frekuensi inkontinensia.

2) Risiko syok berhubungan dengan ketidakmampuan elektrolit kedalam sel tubuh,

hipovolemia

a) Tujuan :
Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan resiko syok pada pasien

tidak terjadi

b) Kriteria hasil :

(1) Nadi dalam batas yang diharapkan

(2) Irama jantung dalam batas yang diharapkan

(3) Frekuensi nafas dalam batas yang diharapkan

(4) Irama nafas dalam batas yang diharapkan

c) Intervensi dan Rasional

(1) Monitor tanda awal syok

Rasional: Melihat adanya gejala awal syok agar dapat ditangani lebih

dini.

(2) Monitor suhu dan pernapasan

Rasional: Monitor ttv pada pasien untuk mendeteksi adanya

ketidaknormalan pada pasien sehingga dapat dilakuakan tindakan

segera.

(3) Ajarkan keluarga dan pasien tentang tanda dan gejala datangnya syok

dan tentang langkah untuk mengatasi gejala syok

Rasional: Pasien dan keluarga perlu mengerti tanda dan gejala syok

agar dapat mengatasi gejala syok dan memebrikan pertolongan

pertama.

3) Resiko infeksi berhubungan dengan inkontinesia, imobilitas dalam waktu yang

lama.

a) Tujuan :

Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pasien dapat berkemih

dengan nyaman.
b) Kriteria Hasil :

Urine jernih, urinalisis dalam batas normal, kultur urine menunjukan tidak

adanya bakteri.

c) Intervensi dan Rasional :

(1) Berikan perawatan perineal dengan air sabun setiap shift. Jika pasien

inkontinensia, cuci daerah perineal segera mungkin.

Rasional : Untuk mencegah kontaminasi uretra .

(2) Jika dipasang kateter indwelling, berikan perawatan kateter 2x sehari

(Merupakan bagian dari waktu mandi pagi dan pada waktu akan tidur)

dan setelah buang air besar.

Rasional : Kateter memberikan jalan pada bakteri untuk memasuki

kandung kemih dan naik ke saluran perkemihan.

(3) Ikuti kewaspadaan umum (cuci tangan sebelum dan sesudah kontak

langsung, pemakaian sarung tangan), bila kontak dengan cairan tubuh

atau darah yang terjadi (Memberikan perawatan perineal, pengosongan

kantung drainase urine, penampungan spesimen urine). Pertahankan

teknik aseptik bila melakukan kateterisasi, bila mengambil contoh

urine dari kateter Indwelling.

Rasional : Untuk mencegah kontaminasi silang

(4) Kecuali dikontra indikasikan, ubah posisi pasien setiap 2 jam dan

anjurkan masukan sekurang-kurangnya 2400ml / hari. Bantu

melakukan ambulasi sesuai dengan kebutuhan .

Rasional : Untuk mencegah stasis urine.

(5) Lakukan tindakan untuk memelihara asam urine.

(a) Tingkatkan masukan sari buah berri .


(b) Berikan obat-obat, untuk meningkatkan asam urine.

Rasional : Asam urine menghalangi tumbuhnya kuman . Karena

jumlah sari buah berri diperlukan untuk mencapai dan memelihara

keasaman urine. Peningkatan masukan cairan sari buah dapat

berpengaruh dalam pengobatan infeksi saluran kemih.

4) Resiko kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan irigasi kontras oleh

urine

a) Tujuan :

Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan kerusakan integritas

kulit teratasi.

b) Kriteria hasil :

(1) Jumlah bakteri <100.000/ml

(2) Kulit periostomal penuh

(3) Suhu 37c

(4) Urine jernih dengan sendimen minimal.

c) Intervensi dan Rasional :

(1) Pantau penampilan kulit periostomal setiap 8 jam

Rasional : untuk mengindetifikasi kemajuan atau penyimpanan dari

hasil yang diharapkan

(2) Ganti wafer stomehesif setiap minggu atau bila bocor terdefekasi.

Yakinkan kulit bersih dan kering sebelum memasang wafer yang baru.

Potong lubang wafer kira-kira setengah inci lebih besar dan diameter

stoma untuk menjamin ketepatan ukuran kantung yang benar-benar

menutupi kulit periastomal. Kosongkan kantung urostomi bila telah

seperempat sampai setengah penuh.


Rasional : peningkatan berat urine dapat merusak segel

periostomal,memungkinkan kebocoran urin. Pemajanan menetap pada

kulit periostomal terhadap asam urin dapat menyebabkan kerusakan

kulit dan peningkatan resiko infeksi.

5) Retensi urin berhubungan dengan inkomplit pengosongan kantung kemih, spingter

kuat dan poliuria

a) Tujuan :

Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan pola eleminasi klien

kembali lancar

b) Kriteria hasil :

(1) Kandung kemih kosong secara penuh

(2) Tidak ada residu urine >100-200 cc

(3) Bebas dari ISK

(4) Tidak ada spasme bleder

(5) Balance cairan seimbang

c) Intervensi dan Rasional :

(1) Monitor intake dan output cairan.

Rasional: Melihat balance cairan yang masuk ketubuh agar dapat

dinilai jumlah urine yang dikeluarkan.

(2) Instruksikan pada pasien dan keluarga untuk mancatat output urine.

Rasional: Melihat balance cairan yang masuk ketubuh agar dapat

dinilai jumlah urine yang dikeluarkan.

(3) Stimulasi reflex bladder dengan kompres dingin pada abdomen.


Rasional: Memberikan kompres dingin pada abdomen untuk stimulasi

reflex bladder.

(4) Monitor tanda dan gejala ISK (panas, hematuria, perubahan bau dan

konsistensi urine).

Rasional: Monitor gejala dan tanda ISK agar dapat ditemukan segera

dan diobati segera.

6) Resiko defisien volume cairan tubuh berhubungan dengan intake yang adekuat

a) Tujuan :

Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan volume cairan

seimbang

b) Kriteria Hasil :

Pengeluaran urine tepat, berat badan 50 kg

c) Intervensi dan rasional :

(1) Awasi tanda-tanda vital

Rasional : pengawasan invasive diperlukan untuk mengkaji volume

intravaskular, khususnya pada pasien dengan fungsi jantung buruk.

(2) Catat pemasukan dan pengeluaran

Rasional : untuk menentukan fungsi ginjal, kebutuhan penggantian

cairan dan penurunan resiko kelebihan cairan.

(3) Awasi berat jenis urine

Rasional : untuk mengukur kemampuan ginjal dalam

mengkonsestrasikan urine

(4) Berikan minuman yang disukai sepanjang 24 jam

Rasional : membantu periode tanpa cairan meminimalkan kebosanan

pilihan yang terbatas dan menurunkan rasa haus


(5) Timbang BB setiap hari

Rasional : untuk mengawasi status cairan

7) Keletihan

a) Tujuan :

Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan keletihan pasien

teratasi

b) Kriteria Hasil :

(1) Memverbalisasikan peningkatan energy dan merasa lebih baik

(2) Menjelaskan penggunaan energy untuk mengatasi keletihan

(3) Kecemasan menurun

(4) Kualitas hidup meningkat

(5) Istirahat cukup

(6) Mempertahankan kemampuan untuk berkosentrasi

c) Intervensi dan Rasional :

(1) Observasi adanya pembatasan pasien dalam melakukan aktivitas

Rasional: Membatasi aktivitas agar pasien tidak banyak mengeluarkan

energy untuk beraktifitas dan mengurangi adanya efek keletihan.

(2) Kaji adanya faktor yang menyebabkan kelelahan

Rasional: Dengan dapat diketahuinya faktor penyebab kelelahan maka

akan dapat segera ditangani dan keletihan tidak akan terjadi.

(3) Monitor pola tidur dan lamanya tidur/ istirahat pasien

Rasional: Manfaatkan adanya energy yang adekuat untuk membantu

dalam aktifitas.
(4) Dukung pasien dan keluarga untuk mengungkapkan perasaan,

berhubungan dengan perubahan hidup yang disebabkan keletihan

Rasional: Dengan bantuan saat beraktifitas dapat membantu

meringankan keletihan pada pasien tetapi harus juga dimandirikan jika

keletihan pada pasien sudah tidak terjadi.

(5) Konsultasi dengan ahli gizi untuk meningkatkan asupan makanan yang

berenergi tinggi

Rasional: Asupan makanan yang tinggi gizi dapat meningkatkan

energy untuk aktifitas dan keletihan tidak akan terjadi.

8) Resiko jatuh berhubungan dengan penurunan sensori (tidak mampu melihat).

a) Tujuan :

Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan dapat menurunkan resiko

jatuh pada diri pasien

b) Kriteria Hasil :

(1) Mengidentifikasi bahaya lingkungan yang dapat meningkatkan

kemungkinan cedera

(2) Mengidentifikasi tindakan preventif atas bahaya tertentu

(3) Melaporkan penggunaan cara yang tepat dalam melindungi diri dari

cedera.

c) Intervensi dan Rasional :

(1) Kaji ulang adanya faktor-faktor resiko jatuh pada pasien

Rasional : untuk mengetahui fakto-faktor risiko jatuh pada pasien

(2) Lakukan modifikasi lingkungan agar lebih aman (memasang pinggiran

tempat tidur dll) sesuai hasil pengkajian bahaya jatuh pada poin 1.
Rasional : modifikasi lingkungan dapat menurunkan resiko jatuh pada

pasien.

(3) Ajarkan pasien tentang upaya pencegahan cedera (menggunakan

pencahayaan yang baik, memasang penghalang tempat tidur,

menempatkan benda berbahaya ditempat yang aman).

Rasional : Meningkatkan kemandirian pasien untuk mencegah risiko

jatuh

(4) Kolaborasi dengan dokter untuk penatalaksanaan vertigo pada pasien

Rasional : kolaborasi dengan dokter untuk memberikan terapi yang

sesuai dengan penyakit yang diderita pasien.

9) Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan kognitif

a) Tujuan :

Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan dapat menunjukan

pengetahuan tentang proses penyakit

b) Kriteria Hasil :

(1) Pasien dan keluarga menyatakan pemahaman tentang penyakit, kondisi,

prognosis dan program pengobatan

(2) Pasien dan keluarga mampu melaksanakan prosedur yang dijelaskan

secara benar

(3) Pasien dan keluarga mampu menjelaskan kembali apa yan dijelaskan

perawat/tim kesehatan lainnya

c) Intervensi dan Rasional :

(1) Kaji tingkat pengetahuan pasien dan keluarganya


Rasional : Untuk mengetahui tingkat pengetahuan pasien dan keluarga

pada resiko jatuh

(2) Gambarkan tanda dan gejala yang bisa muncul pada penyakit dengan cara

yang tepat

Rasional : Agar mengetahui tanda dan gejala yang dapat muncul pada

penyakit tesebut.

(3) Memberikan informasi yang tepat dan akurat sesuai dengan kebutuhan

pasien

Rasional : Informasi yang tepat dari tenaga kesehatan akan membuat

pasien merasa dirinya memiliki sumber informasi yang terpercaya

(4) Menginstrusikan kepada pasien untuk bertanya kepada penyedia layanan

kesehatan manapun tentang segala hal yang berhubungan dengan

kesehatannya.

Rasional : Kadang kala pasien merasa tidak berani untuk bertanya karena

belum terbina hubungan dekat dengan penyedia layanan kesehatan.

4. Implementasi

Menurut Gordon, 1994 dalam Sunaryo, dkk 2016 mengatakan bahwa

pelaksanaan / implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan

oleh perawat untuk membantu pasien dari masalah status kesehatan yang dihadapi, ke

status kesehatan yang baik yang menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan. Oleh

karena itu ukuran intervensi keperawatan yang diberikan kepada pasien terkait dengan

dukungan, pengobatan, tindakan untuk memperbaiki kondisi, pendidikan untuk pasien-

keluarga, atau tindakan untuk mencegah masalah kesehatan yang muncul di kemudian

hari
5. Evaluasi

Evaluasi merupakan rangkaian dari proses keperawatan sehingga untuk dapat

melakukan evaluasi perlu melihat langkah-langkah proses keperawatan sejak

pengkajian, perumusan diagnosis, perencanaan, dan implementasi. Selanjutnya, pada

tahap akhir perawat mengevaluasi kemajuan pasien terhadap tindakan dalam

pencapaian tujuan dan bila tujuan belum atau tidak tercapai, maka perlu melakukan

revisi data dasar serta memperbaharui diagnosis keperawatan maupun perencanaan.

(Sunaryo, dkk 2016)

Anda mungkin juga menyukai