Anda di halaman 1dari 60

TUGAS BESAR MORFOLOGI KOTA

“IDENTIFIKASI PENGARUH KONSEP MINAPOLITAN


TERHADAP POLA MORFOLOGI KOTA PROBOLINGGO”

Dosen Pengampu :

Dr. RR. Dewi Junita Koesoemawati, S.T., M.T

Ivan Agusta Farizka, S.T., M.T

Disusun oleh:

Yulistiana Sholiqhah Marli

(191910501012)

Kelas B

S1 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS JEMBER
TAHUN AKADEMIK 2019/2020

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
Identifikasi Pengaruh Konsep Minapolitan terhadap Pola Morfologi Kota
Probolinggo.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas dari Ibu Dr. RR. Dewi Junita Koesoemawati, S.T., M.T, dan Bapak Ivan
Agusta Farizka, S.T., M.T pada mata kuliah Morfologi Kota. Selain itu, makalah
ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang Identifikasi Pengaruh
Konsep Minapolitan terhadap Pola Morfologi Kota Probolinggo bagi para
pembaca dan juga bagi penulis. Ibu Dewi Junita Koesoemawati, S.T., M.T, dan
Bapak Ivan Agusta Farizka, S.T., M.T selaku dosen Morfologi Kota yang telah
memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan
sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni.

Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
ini.

Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan
demi kesempurnaan makalah ini.

Jember, 21 Maret 2020


 

Yulistiana Sholiqhah Marli


(191910501012)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................3
DAFTAR ISI............................................................................................................4
DAFTAR GAMBAR...............................................................................................5
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................8
1.1 Latar Belakang...................................................................................................8
1.2 Rumusan Masalah.............................................................................................12
1.3 Tujuan...............................................................................................................12
1.4 Ruang Lingkup Wilayah....................................................................................13
1.5 Sistematika Pengerjaan......................................................................................15
DAFTAR GAMBAR
Saya mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. RR. Dewi Junita

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kota yang berhari jadi tanggal 4 September 1359 ini, sejak dekade 80-
an, tersiar ke berbagai daerah sebagai salah satu kota pesisir yang terletak
di sebelah Timur dari Provinsi Jawa Timur dan biasa disebut Minapolitan
(Kota Perikanan). Kota Probolinggo terletak sekitar 100 km sebelah
tenggara Surabaya dan berbatasan dengan Selat Madura di sebelah utara,
sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Dringu, sebelah selatan
berbatasan dengan Kecamatan Leces dan Wonomerto, sebelah barat
berbatasan dengan Kecamatan Sumberasih Kabupaten Probolinggo. Kota
Probolinggo merupakan kota terbesar keempat di Jawa Timur
setelah Surabaya, Malang dan Kediri menurut jumlah penduduk. Kota ini
terletak di wilayah Tapal Kuda, Jawa Timur dan menjadi jalur utama
pantai utara yang menghubungkan Pulau Jawa dengan Pulau Bali.
Dilihat dari segi morfologi, jelas kota Probolinggo merupakan kota
yang dirancang secara sadar. Perencanaan kota ini mulai ditangani secara
serius sejak tahun 1850, pada jaman tanam paksa (1830-1870). Kedudukan
kota Probolinggo sebagai kota administratif Belanda makin ditangani lebih
serius terutama sesudah pembukaan perkebunan swasta secara besar-
besaran di daerah ujung Jawa Timur, setelah adanya undang-undang
agraria th.1870, dan dibukanya jaringan rel kereta api, yang
menghubungkan kota-kota penting di Jawa pada akhir abad ke 20.
Sebenarnya tata letak kota lama Probolinggo sendiri kebetulan sangat
mendukung untuk perkembangan perencanaannya Sumbu utama kota
yaitu kantor Asisten Residen Alun – alun, Stasiun kereta api, benteng,
pelabuhan, menunjukkan adanya dominasi kota untuk kepentingan
ekonomi kolonial. Penyebaran permukiman penduduk disesuaikan dengan
kepentingan tersebut diatas. Meskipun unsur-unsur tradisional setempat
seperti alun - alun, rumah Bupati, mesjid dan sebagainya dihadirkan dalam
pusat kotanya, tapi tidak dapat disangkal bahwa hal ini hanya sebagai
pelengkap saja. Gill (1995), menggolongkan kota Probolinggo sebagai :
Nieuwe Indische Stad (Kota Hindia Belanda Baru). Maksudnya, dimana
unsur-unsur Pribumi (alun-alun, mesjid, kantor Bupati, dsbnya) dan
elemen kolonial (kantor Residen dan Asisten Residen) sudah menjadi satu
kesatuan pada pusat kotanya. Probolinggo adalah kota administratif yang
merupakan kontrol atas hasil produksi (gula, kopi, tembakau dsb.nya) di
daerah hinterland (pedalamannya), yang nantinya didistribusikan ke
daerah lain. Hal ini tercermin dalam bentuk tata kotanya . Pemecahan tata
letak kotanya yang nyaris simetri, dengan sumbu utama Utara Selatan
(Heerenstraat- sekarang Jl. Suroyo), dimana pada ujung sebelah Utara
terdapat stasiun kereta api, disusul dibelakangnya dengan komplek
pergudangan, benteng dan diakhiri dengan pelabuhan,

Karena letaknya yang strategis dan penting terutama setelah Jawa


Timur berkembang tersebut, sejak th.1855, Probolinggo sudah menjadi
ibukota Karesidenan Probolinggo dan kemudian menjadi ibukota afdeling
(sederajat dengan kabupaten), yang termasuk Karesidenan Pasuruan.
Sampai th. 1855 daerah sudut Jawa Timur merupakan satu wilayah dengan
Besuki sebagai ibukotanya. Sesudah th. 1855, Pasuruan, Probolinggo,
Besuki dan Banyuwangi kemudian dijadikan ibukota Karesidenan dengan
nama Karesidenannya mengikuti nama-nama ibukotanya. Setelah undang-
undang desentralisasi th. 1903 dan disusul dengan pelaksanannya pada th.
1905, Probolinggo punya status sebagai gemeente (kotamadya). Tapi baru
pada th. 1918 kota tersebut mempunyai dewan kotamadya (gemeente
raad). Dan baru pada th. 1928, Probolinggo dipimpin oleh seorang Asisten
Residen, yang kemudian menjadi Walikotanya. Sekarang Probolinggo
berstatus Kotamadya sebagai ibukota Kabupaten Probolinggo

Minapolitan adalah konsepsi sebuah kota perikanan yang tumbuh dan


berkembang karena berjalannya system dan usaha perikanan serta mampu
melayani dan mendorong kegiatan pembangunan perikanan di wilayah
sekitarnya, dengan ciri utama kegiatan perikanan dan pengolahan hasil
perikanan yang terkonsep. Sistem minapolitan meliputi produksi,
pengolahan, dan pemasaran yang didukung dengan sarana dan prasarana
yang memadai. Konsep minapolitan juga mempengaruhi morfologi suatu
kota, dengan adanya konsep minapolitan yaitu pembangunan pelabuhan
dan sejenisnya dapat mempengaruhi pola struktur ruang pada masyarakat
sehingga menarik masyarakat untuk beraktifitas di sekitarnya. Komponen
pendukung dalam pengembangan kawasan minapolitan adalah karakter
social masyarakat pesisir dan aspek pendanaan.
Kota Probolinggo merupakan salah satu Kota yang telah dicanangkan
oleh pemerintah sebagai kawasan minapolitan (Kota Ikan) di lihat dari
potensi kelautan dan perikanan yang ada (Dedy M Sutisna, 2010).
Kecamatan Mayangan yang ada di Kota Probolinggo merupakan wilayah
yang akan di jadikan kawasan minapolitan, karena Kecamatan ini sangat
potensial di lihat dari potensi kelautan dan perikanan yang dimiliki daerah
tersebut dan menjadi sector perikanan untuk menggerakan perekonomian
Kota Probolinggo. Keseriusan pemerintah Kota Probolinggo terbukti
dengan pembangunan besar – besaran di bidang kelautan dan perikanan.
Dinas Perikanan dan Kelautan Jawa Timur membangun Pelabuhan
Perikanan Pantai (PPP) Mayangan, yang berlokasi di sisi timur Pelabuhan
Tanjung Tembaga. Pembangunannya dimulai tahun 2000 dan diresmikan
pada 2007 oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono.
Sejumlah satuan kerja pemerintah menunjang pengembangan PPP.
Dinas PU, misalnya, membangun akses jalan dan memperbaiki jalur
lingkar utara. Dinas Perhubungan memasang rambu jalan dan rambu suar.
Kementrian Kesehatan membangun poliklinik kesehatan masyarakat.
Kementrian Pendidikan Nasional membangun Pusat Diklat Nelayan dan
Pendidikan Keluarga Nelayan. PDAM, membangun reservoir air minum.
Dinas Kelautan dan Perikanan membangun pasar ikan dan pabrik es. Juga,
dibangun sentra dan pengembangan laboratoirum untuk meningkatkan
mutu olahan ikan. Sekarang ratusan kapal ikan, yang sebelumnya
bersandar di dermaga lama yakni Pelabuhan Tanjung Tembaga, Kota
Probolinggo berpindah ke PPP, serta dimulainya transaksi pelelangan ikan
di tempat itu. Seluruh transaksi perikanan tangkap berada di PPP
Mayangan. Selain itu Kecamatan Mayangan juga memiliki fasilitas
penunjang masyarakat seperti pelabuhan peti kemas,pengadaan cold
storage, pelabuhan umum, dermaga sheet phile, pengembangan wisata
bahari, dan lain-lain.
Babcock (1932) mengemukakan teori struktur ruang kota yakni teori
poros bahwa dalam teori ini menekankan jalur transportasi dapat
berpengaruh besar terhadap struktur ruang kota. Wilayah Probolinggo
memiliki garis pantai sepanjang 7 km yang membentang tambak mulai
dari Kelurahan Pilang Kecamatan Kademangan sampai dengan Kelurahan
Mangunharjo Kecamatan Mayangan dengan luas 164,5 Ha dan wilayah
perairan terletak di Selat Madura yang merupakan daerah penangkapan
dominan bagi nelayan di Kota Probolinggo serta berhubungan langsung
dengan Laut Jawa. Kota Probolinggo juga menjadi titik temu pelabuhan
regional yang penting dan memiliki hubungan infrastruktur yang baik
dengan kota – kota lain di Jawa Timur. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa Kota Probolinggo mempunyai potensi sangat besar di bidang
perikanan dan kelautan. Oleh karena itu penulis tertarik untuk mengkaji
“Identifikasi Pengaruh Konsep Minapolitan terhadap Pola Morfologi Kota
Probolinggo”.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas, adapun rumusan masalah yang akan
menjadi orientasi pembahasan dalam makalah ini antara lain :
1. Bagaimana sejarah morfologi pembentukan Kota Probolinggo?
2. Bagaimana aspek – aspek citra kota, dan struktur pola ruang di Kota
Probolinggo ditinjau berdasarkan konsep Minapolitan?
3. Bagaimana konsep pengembangan Kawasan Minapolitan di Kota
Probolinggo?

1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, adapun tujuan yang akan menjadi
orientasi pembahasan dalam makalah ini antara lain :
1. Untuk mengetahui bagaimana sejarah morfologi pembentukan Kota
Probolinggo.
2. Untuk mengetahui bagaimana aspek – aspek citra kota, dan struktur
pola ruang di Kota Probolinggo ditinjau berdasarkan Konsep
Minapolitan.
3. Untuk mengetahui bagaimana konsep pengembangan Kawasan
Minapolitan di Kota Probolinggo.

1.4 Ruang Lingkup Wilayah


Ruang Lingkup merupakan luasan subjek yang tercakup. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ruang lingkup juga berarti
batasan. Ruang lingkup juga dapat dikemukakan pada bagian variabel-
variabel yang diteliti, populasi atau subjek penelitian, dan lokasi
penelitian. Berikut ruang lingkup penelitian Kota Probolinggo.
Gambar 1.1 Ruang Lingkup Wilayah Deliniasi
Sumber : Data Primer

Wilayah deliniasi sendiri yaitu Kota Probolinggo merupakan


salah satu kota di Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Yang memiliki luas
56,667 km2 (2,188 sq mi). Berada di pada 7’ 43’ 41’’ sampai dengan 7’
49’ 04’’ Lintang Selatan, dan 113’ 10’ sampai dengan 113’ 15’ Bujur
Timur. Terletak sekitar 100 km sebelah tenggara Kota Surabaya. Kota
Probolinggo berbatasan dengan Selat Madura di sebelah utara, berbatasan
dengan Kabupaten Probolinggo di sebelah Timur, Selatan, dan Barat.
Probolinggo merupakan kota keempat yang tersebar di Jawa Timur setelah
Surabaya, Malang, dan Kediri menurut sensus jumlah penduduk yang
berjumlah 235.0211 jiwa ditahun 2018 lalu. Kota Probolinggo dilalui oleh
Grotepostweg (Jalan Raya Pos) yang merupakan jalan raya penghubung
Pantai Utara Jawa mulai dari Anyer di Jawa Barat sampai Panarukan di
Jawa Timur dan menghubungkan Pulau Jawa dengan Pulau Bali. Kota
Probolinggo termasuk di wilayah Tapal Kuda, Jawa Timur.

Pada pembahasan ini terfokus pada :


1. Aspek – aspek morfologi, citra kota, dan struktur pola ruang di Kota
Probolinggo ditinjau berdasarkan Konsep Minapolitan.
2. Sejarah pertumbuhan Kota Probolinggo berdasarkan pengaruh Konsep
Minapolitan.
3. Identifikasi citra atau identitas Kota Probolinggo berdasarkan pengaruh
Konsep Minapolitan.

1.5 Sistematika Pengerjaan


BAB I : Pendahuluan
Membahas tentang latar belakang terpilihnya Kota Probolinggo sebagai
wilayah penelitian, rumusan masalah pembuatan makalah, tujuan
pembuatan makalah, ruang lingkup wilayah dan sistematika pengerjaan.
BAB II : Tinjauan Pustaka
Memuat kajian terhadap beberapa teori dan referensi yang menjadi
landasan dalam mendukung penelitian di Kota Probolinggo.
BAB III : Metode Penelitian
Memuat secara rinci berkaitan penjelasan mengenai metode atau
teknik yang digunakan penulis untuk mencari dan menganalisis data
penelitian.
BAB IV : Pembahasan
Memuat secara rinci sistematika pembahasan melalui hasil analisis
penelitian dari data – data yang telah diperoleh
BAB V : Penutup
Bab ini berisi kesimpulan, saran-saran atau rekomendasi.
Kesimpulan menyajikan secara ringkas seluruh hasil makalah. Kesimpulan
diperoleh berdasarkan hasil analisis interpretasi data yang telah diuraikan
pada bab sebelumnya. Saran-saran dirumuskan berdasarkan hasil makalah,
berisi uraian mengenai langkah apa yang perlu diambil oleh pihak terkait
hasil makalah yang bersangkutan. Saran diarahkan pada dua hal yaitu :
1. Saran dalam usaha memperluas hasil makalah, misalnya disarankan
perlunya diadakan survei.
2. Saran untuk menentukan kebijakan di bidang-bidang terkait masalah
atau fokus makalah.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Kota

Dalam konteks ruang, kota merupakan suatu sistem yang tidak


berdiri sendiri. Secara internal kota merupakan satu kesatuan sistem
kegiatan fungsional didalamnya, sementara secara eksternal, kota
dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya (Pontoh, 2009:5) .Struktur kota
adalah tatanan beberapa bagian yang menyusun suatu kota yang
menunjukkan keterkaitan antar bagian. Penjabaran struktur kota
membentuk pola kota yang menginformasikan antara lain kesesuaian
lahan, kependudukan, guna lahan, sistem transportasi dan sebagainya,
dimana kesemuanya berkaitan satu sama lain. Unsur-unsur pembentuk
struktur tata ruang kota menurut Doxiadis dalam Pontoh (2009) terbagi
menjadi 4 unsur,antara lain :
1. Individu manusia (Antropos) dan masyarakat (Society) Di kota besar
dengan kepadatan tinggi, terdapat perbedaan komposisi umur dan jenis
kelamin, dalam struktur pekerjaan, dalam pembagian tenaga buruh dan
struktur social. Hal ini memaksa manusia untuk mengembangkan
karakteristik yang berbeda sebagai individual, kelompok, unit dan
komunitas.
2. Ruang kehidupan (Shells) Ruang kehidupan dari perumahan perkotaan
memiliki banyak karakteristik meskipun ukurannya bervariasi.
Semakin besar ukuran perumahan, semakin internasional
karakteristiknya; sementara semakin kecil ukurannya semakin
dipengaruhi oleh faktor-faktor lokal.
3. Jaringan (Network) Salah satu cara paling mendasar untuk
menggambarkan struktur permukiman adalah berhubungan dengan
jaringan dan terutama sistem sirkulasi – jalur transportasi dan titik-titik
pertemuan (nodal point).
4. Alam (Nature) Keadaan permukiman perkotaan berbeda dengan
permukiman pedesaan. Lansekap yang ada biasanya lebih luas dan
berlokasi di daerah dataran, dekat dengan danau, sungai atau laut dan
dekat dengan rute transportasi. Unsur pembentuk struktur tata ruang
kota dapat pula dipahami secara persepsional.

2.2 Morfologi Kota

Morfologi kota adalah bagian formasi sebuah objek bentuk kota


yang berupa skala lebih luas. Morfologi perkotaan merupakan penataan
atau formasi keadaan kota yang dijadikan objek dan system dan dapat
diselidiki secara struktural , fungsional, maupun visual. Tiga unsur
morfologi kota tersebut sebagai unsur – unsur penggunaan lahan, pola –
pola jalan, dan tipe – tipe bangunan. Berdasarkan undur tersebut munculah
istilah “Townscape”. Dari pengertian tersebut, morfologi kota secara
sederhana yaitu bentuk – bentuk fisik kota dengan diketahui melalui unsur
struktural, fungsional, dan visual. Morfologi kota satu dengan kota lainnya
dapat berbeda – beda sehingga morfologi kota ini sebagai pembentuk
karakteristik atau ciri khas suatu kota. Morfologi biasanya digunakan
untuk skala kota dan kawasan. Morfologi kota pada eksistensi
keruangan dari bentuk-bentuk wujud karakteristik kota yaitu analisa
bentuk kota dan faktor- faktor yang mempengaruhinya (Yunus, 2000).

Jadi morfologi kota tidak hanya sebatas menganalisa bentuk kota


tetapi juga mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi bentuk
kota tersebut. Birkhamshaw, Alex J and Whitehand (2012) menyatakan
bahwa dalam aspek- aspek urban morfologi, penetapan karakteristik
perkotaan dari berbagai jenis bentuk adalah hal yang mendasar
terutama dalam kaitannya untuk membedakan dan melakukan
pemetaan wilayah yang kebijakan setiap wilayah juga berbeda-beda.
Dengan adanya teori tersebut maka dalam suatu penelitian morfologi
kota, memerlukan kajian morfologi kota dengan berbagai jenis bentuk
atau aspek. Menurut Conzen dalam Birkhamshaw, Alex J and
Whitehand (2012), morfologi kota memiliki tiga komponen yaitu
Ground Plan (pola jalan, blok bangunan), bentuk bangunan (tipe
bangunan) dan utilitas lahan/bangunan.

2.2.1 Kajian Morfologi Kota

aktor-faktor yang
mempengaruhi bentuk kota
yaitu faktor bentang alam
atau geografis,
transportasi, sosial, ekonomi
dan regulasi. Morfologi kota
selain dilihat dari sisi bentuk
kota dan
faktor-faktor yang
mempengaruhinya juga dapat
dilihat berdasarkan tipe
morfologi kota (Urban
Morphology Type). Tipe
morfologi kota dapat dirinci
berdasarkan penggunaan
lahan utama/
Primary Land Use) (Philip
James dan Daniel Bound,
2009). Tipe morfologi kota
ini sering
dikenal sebagai penggunaan
lahan. Teori tipe morfologi
kota ini sering dikenal sebagai
fungsi
bangunan. Kajian morfologi
kota secara struktural,
fungsional dan visual serta
perancangan kota
dapat dijelaskan sebagai
berikut:
aktor-faktor yang
mempengaruhi bentuk kota
yaitu faktor bentang alam
atau geografis,
transportasi, sosial, ekonomi
dan regulasi. Morfologi kota
selain dilihat dari sisi bentuk
kota dan
faktor-faktor yang
mempengaruhinya juga dapat
dilihat berdasarkan tipe
morfologi kota (Urban
Morphology Type). Tipe
morfologi kota dapat dirinci
berdasarkan penggunaan
lahan utama/
Primary Land Use) (Philip
James dan Daniel Bound,
2009). Tipe morfologi kota
ini sering
dikenal sebagai penggunaan
lahan. Teori tipe morfologi
kota ini sering dikenal sebagai
fungsi
bangunan. Kajian morfologi
kota secara struktural,
fungsional dan visual serta
perancangan kota
dapat dijelaskan sebagai
berikut:
Morfologi kota selain dilihat dari sisi bentuk kota dan faktor-
faktor yang mempengaruhinya juga dapat dilihat berdasarkan tipe
morfologi kota (Urban Morphology Type). Tipe morfologi kota
dapat dirinci berdasarkan penggunaan lahan utama/ Primary Land
Use) (Philip James dan Daniel Bound, 2009). Tipe morfologi kota
ini sering dikenal sebagai penggunaan lahan. Teori tipe morfologi
kota ini sering dikenal sebagai fungsi bangunan. Kajian morfologi
kota secara struktural, fungsional dan visual serta perancangan kota
dapat dijelaskan sebagai berikut :

2.2.1.1 Kajian Morfologi Kota secara Struktural

Analisa struktural menyatakan adanya pemisahan


tingkatan-tingkatan yang dikaitkan dengan tastes,
preferences dan life styles. Seperti yang diungkapkan
oleh Alonso yang menggunakan pembagian zona
konsentris dari Burgess untuk menjelaskan spatial
distribution-residential mobility (dalam Yunus, 2000).

Gambar 2.1 Model Teori Struktural

Sumber: Data Sekunder

2.2.1.2 Kajian Morfologi Kota secara Fungsional


Pada tahun 1748 Giambattista Nolli (Zahnd, 1999),
seorang arsitek Italia, menemukan suatu cara analisa suatu
tekstur perkotaan dari segi fungsi massa dan ruang serta
bagaimana hubungannya secara fungsional. Adapun cara
yang harus dilakukan yaitu dengan menunjukkan secara
analitis semua massa dan ruang perkotaan yang bersifat
publik (dan semipublik) ke dalam suatu gambaran
figure/graund secara khusus. Cara analisa tersebut diberi
nama Nolli- plan yaitu semua massa yang bersifat publik
atau semipublik tidak lagi diekspresikan sebagai massa

Contoh analisis sebuah tekstur kawasan kota secara fungsional. Gedung yang bersifat publik dan semipublik menunjukkan struktur horizontal bangunan masing- masing
semiprivat massif. digambar secara

dilihat baik secara eksterm (ruang luar) maupun intern (ruang dalam), yang memiliki kaitan erat secara fungsional di dalam kota. (bagian dari Nolli-plan yang asli dari Roma, Italia, di buat oleh Giam

(dengan warna hitam), melainkan digolongkan bersama


tekstur ruang (warna putih).

Gambar 2.2 Analisa Nolli-Plan

Sumber: Data Sekunder

2.2.1.3 Kajian Morfologi Kota secara Visual


Kajian morfologi kota secara visual dapat dilihat
pada analisa linkage (penghubung) yang membahas
hubungan sebuah tempat dengan yang lain dari berbagai
aspek sebagai suatu generator (pengerak) perkotaan.
Dalam analisa linkage dikemukakan tiga pendekatan
diantaranya linkage visual. Dalam linkage yang visual dua
atau lebih banyak fragmen (bagian atau pecahan sesuatu)
kota dihubungkan menjadi satu kesatuan secara visual.
Lima elemen linkage visual yang menghasilkan hubungan
secara visual, yakni garis, koridor, sisi, sumbu, dan irama.

2.3 Citra Kota

Salah satu aspek penting yang biasa menjadi branding atau


tanda suatu kota adalah citra kota. Citra kota merupakan suatu gambaran
umum yang khas dan melekat pada kota dan dapat menciptakan
representasi kota bagi penduduk maupun pengunjung kota tersebut. Citra
kota pada umumnya dipengaruhi oleh aspek fisik kota dari tersebut.

Di dalam buku berjudul  Image of The City, yang ditulis oleh Kevin
Lynch mengungkapkan adanya 5 elemen pembentuk image kota secara
fisik
yaitu: path  (jalur), edge (tepian), distric (kawasan), nodes  (simpul),dan la
ndmark (penanda). Kelima elemen ini diyakini dapat mewakili cita rasa
dari suatu kawasan dan memberikan citra yang kuat terhadap kota tersebut.
Elemen tersebut juga digunakan untuk membentuk mental map (peta
mental) yang bertujuan memudahkan dalam mengingat atau merekam
elemen-elemen fisik dalam suatu kota

Gambar 2.3 Elemen Pembentuk Kota


Sumber : Data Sekunder (http://arsibook.blogspot.com/2016/11/elemen-
pembentuk-citra-kota-menurut.html)

Berikut merupakan pembagian kategori elemen pembentuk kota


beserta pembahasannya :
2.3.1 Elemen Path (Jalan/Jejalur)
Elemen Path adalah jalur-jalur dimana pengamat biasanya
bergerak dan melaluinya. Path dapat berupa seperti jalan raya,
trotoar, jalur transit, canal (parit), jalur kereta api. Menurut banyak
orang, ini adalah termasuk elemen dominan dalam gambaran
mereka. Orang mengamati kota sambil bergerak melaluinya, dan
sepanjang path elemen-elemen lingkungan lain diatur dan saling
berhubungan. Path (jalan) secara mudah dapat dikenali karena
merupakan koridor linier yang dapat dirasakan oleh manusia pada
saat berjalan mengamati kota. Struktur ini bisa berupa gang-gang
utama, jalan transit, jalan mobil/ kendaraan, pedestrian, sungai,
atau rel kereta api. Untuk kebanyakan orang, jalan adalah elemen
kota yang paling mudah dikenali, karena semua manusia
menikmati kota pada saat dia berjalan. Jadi didalam elemen ini
mengandung pengertian jalur transportasi linier yang dapat
dirasakan manusia.
Path adalah elemen yang paling penting dalam citra kota.
Kevin Lynch menemukan dalam risetnya bahwa jika identitas
elemen ini tidak jelas, maka kebanyakan orang meragukan citra
kota secara keseluruhan. Path seperti rute-rute sirkulasi yang
biasanya digunakan orang untuk melakukan pergerakan serta
aktivitas secara umum. Path mempunyai identitas yang lebih baik
kalau memiliki tujuan besar (misalnya ke stasiun, tugu, alun-alun,
dan lain-lain), serta ada penampakan yang kuat (misalnya fasad,
pohon, dan lain-lain), atau ada belokan yang jelas.

Gambar 2.4 Elemen Path (Jalan/Jejalur)


Sumber : Data Sekunder (http://arsibook.blogspot.com/2016/11/elemen-
pembentuk-citra-kota-menurut.html)

Orang yang mengetahui kota dengan lebih baik, biasanya


telah menguasai bagian dari struktur jalan; orang-orang ini
berpikir jauh dalam kaitannya dengan jalan-jalan tertentu dan
saling berhubungan. Mereka mengetahui kota dengan paling baik
dengan mengandalkan pada landmark kecil dan kurang
tergantung pada wilayah atau pith (pusat). Adanya kualitas ruang
mampu menguatkan citra jalan-jalan khusus, dengan cara yang
sangat sederhana yang dapat menarik perhatian, dengan
pengaturan kelebaran atau kesempitan jalan-jalan.  Kualitas ruang
kelebaran dan kesempitan mengambil bagian kepentingan mereka
dari kaitan umum jalan-jalan utama dengan kelebaran dan jalan-
jalan pinggir dengan kesempitan. Selain itu
karakteristik facade khusus juga penting untuk identitas path,
dengan menonjolkan sebagian karena facade-facade bangunan
yang membatasinya. Juga dengan pengaturan tekstur trotoar dan
pengaturan tanaman dapat menguatkan gambaran path dengan
sangat efektif.
2.3.2 Elemen Edges (Tepian)
Elemen Edges adalah elemen linear yang tidak digunakan
atau dipertimbangkan sebagai path oleh pengamat. Edges adalah
batas-batas antara dua wilayah, sela-sela linier dalam kontinuitas:
pantai, potongan jalur kereta api, tepian bangunan, dinding.
Edges juga merupakan elemen linier yang dikenali
manusia pada saat dia berjalan, tapi bukan merupakan jalur/paths.
Batas bisa berupa pantai, dinding, deretan bangunan, atau jajaran
pohon/ lansekap. Batas juga bisa berupa barrier antara dua
kawasan yang berbeda, seperti pagar, tembok, atau sungai. Fungsi
dari elemen ini adalah untuk memberikan batasan terhadap suatu
area kota dalam menjaga privasi dan identitas kawasan, meskipun
pemahaman elemen ini tidak semudah memahami paths.

Gambar 2.5 Elemen Edges (Tepian)


Sumber : Data Sekunder (http://arsibook.blogspot.com/2016/11/elemen-
pembentuk-citra-kota-menurut.html)

Lake Michigan merupakan contoh edge yang dapat dilihat


pada skala besar yang mengeskpos Metropolis untuk dilihat.
Bangunan-bangunan besar, taman, dan pantai-pantai privat kecil
semua mengarah pada edge air, yang dapat diakses dan dilihat bagi
semua. Edges berada pada batas antara dua kawasan tertentu dan
berfungsi sebagai pemutus linear. Edges merupakan penghalang
walaupun kadang-kadang ada tempat untuk masuk. Juga
merupakan pengakhiran dari sebuah district yang lebih baik jika
kontinuitas tampak jelas batasnya. Demikian pula fungsi batasnya
harus jelas; membagi atau menyatukan.
Edges sering merupakan path  juga. Jika pengamat tidak
berhenti bergerak pada path, maka image sirkulasi nampak
merupakan gambaran yang dominan. Unsur ini biasanya
digambarkan sebagai path, yang dikuatkan oleh karakteristik-
karakteristik perbatasan.
2.3.3 Elemen District (Distrik)
Distrik (district) adalah kawasan kota yang bersifat dua
dimensi dengan skala kota menengah sampai luas, dimana manusia
merasakan ’masuk’ dan ’keluar’ dari kawasan yang berkarakter
beda secara umum. Karakter ini dapat dirasakan dari dalam
kawasan tersebut dan dapat dirasakan juga dari luar kawasan jika
dibandingkan dengan kawasan dimana si pengamat berada.
Elemen ini adalah elemen kota yang paling mudah dikenali
setelah jalur/paths, meskipun dalam pemahaman tiap individu bisa
berbeda. Districts merupakan wilayah yang memiliki kesamaan
(homogen). Kesamaan tadi bisa berupa kesamaan karakter/ciri
bangunan secara fisik, fungsi wilayah, latar belakang sejarah dan
sebagainya.
Sebuah kawasan district memiliki ciri khas yang mirip (bentuk,
pola, wujudnya) dan khas pula dalam batasnya, dimana orang
merasa harus mengakhiri atau memulainya. District dalam kota
dapat dilihat sebagai referensi interior maupun eksterior. Distrik
mempunyai identitas yang lebih baik jika batasnya dibentuk
dengan jelas tampilannya dan dapat dilihat homogen, serta fungsi
dan posisinya jelas (introvert/ekstrovert atau berdiri sendiri atau
dikaitkan dengan yang lain).
Gambar 2.6 Elemen District (Distrik)
Sumber : Data Sekunder
(http://arsibook.blogspot.com/2016/11/elemen-pembentuk-citra-kota-
menurut.html)

Karakteristik - karakteristik fisik yang


menentukan district adalah kontinuitas tematik yang terdiri dari
berbagai komponen yang tidak ada ujungnya: yaitu tekstur, ruang,
bentuk, detail, simbol, jenis bangunan, penggunaan, aktivitas,
penghuni, tingkat pemeliharaan, topografi. Di sebuah kota yang
dibangun dengan padat, homogenitas facade merupakan petunjuk
dasar dalam mengidentifikasi district besar. Petunjuk tersebut tidak
hanya petunjuk visual: kebisingan dan ketidakteraturan bisa
dijadikan sebagai petunjuk. Nama-nama district  juga membantu
memberikan identitas, juga distrik-distrik etnik dari kota tersebut.
2.3.4 Elemen Nodes (Simpul)
Elemen Nodes  adalah titik-titik, spot-spot strategis dalam
sebuah kota dimana pengamat bisa masuk, dan yang merupakan
fokus untuk ke dan dari mana dia berjalan. Nodes bisa merupakan
persimpangan jalan, tempat break (berhenti sejenak) dari jalur,
persilangan atau pertemuan path, ruang terbuka atau titik
perbedaan dari suatu bangunan ke bangunan lain.
Elemen ini juga berhubungan erat dengan elemen district,
karena simpul-simpul kota yang kuat akan menandai karakter
suatu district. Untuk beberapa kasus, nodes bisa juga ditandai
dengan adanya elemen fisik yang kuat. Nodes menjadi suatu
tempat yang cukup strategis, karena bersifat sebagai tempat
bertemunya beberapa kegiatan/aktifitas yang membentuk suatu
ruang dalam kota.
Setiap nodes dapat memiliki bentuk yang berbeda-beda,
tergantung dengan pola aktifitas yang terjadi
didalamnya. Nodes merupakan simpul atau lingkaran daerah
strategis dimana arah atau aktivitasnya saling bertemu dan dapat
diubah ke arah atau aktivitasnya lain, misalnya persimpangan lalu
lintas, stasiun, lapangan terbang, jembatan, kota secara keseluruhan
dalam skala makro besar, pasar, taman, square, dan sebagainya.
Tidak setiap persimpangan jalan adalah sebuah nodes, yang
menentukan adalah citra place terhadapnya. Nodes adalah satu
tempat dimana orang mempunyai perasaan ‘masuk’ dan ’keluar’
dalam tempat yang sama. Nodes mempunyai identitas yang lebih
baik jika tempatnya memiliki bentuk yang jelas (karena lebih
mudah diingat), serta tampilan berbeda dari lingkungannya (fungsi,
bentuk).
Persimpangan jalan atau tempat berhenti sejenak dalam
perjalanan sangat penting bagi pengamat kota. Karena keputusan
harus dibuat dipersimpangan jalan-persimpangan jalan, masyarakat
meningkatkan perhatian mereka ditempat-tempat tersebut dan
melihat unsur-unsur terdekat dengan lebih jelas. Kecenderungan ini
dikonfirmasi dengan begitu berulang kali sehingga unsur-unsur
yang berada pada persimpangan otomatis dapat diasumsikan
mengambil kelebihan khusus dari lokasinya. Pentingnya persepsi
lokasi tersebut menunjukkan cara lain juga, ketika masyarakat
ditanya dimana kebiasaan mereka pertama kali di kota, banyak
yang memilih titik perhentian transportasi sebagai tempat kunci.
Stasiun-stasiun kereta utama adalah hampir selalu
menjadi node-node kota penting, sama halnya bandara udara.
Dalam teori, persimpangan jalan biasa adalah node-node, tetapi
umumnya mereka tidak mempunyai cukup keunggulan untuk
dibayangkan lebih dari sekedar simpang empat, karena tidak dapat
memuat banyak pusat nodes.

Gambar 2.7 Elemen Nodes (Simpul)


Sumber : Data Sekunder (http://arsibook.blogspot.com/2016/11/elemen-
pembentuk-citra-kota-menurut.html)

Boston mempunyai sangat banyak contoh, diantaranya


adalah sudut Jordan-Filene dan Louisburg Square. Sudut Jordan-
Filene berfungsi sebagai persimpangan antara Washington Street
dan Summer Street, dan berkaitan dengan perhentian kereta api di
bawah tanah tetapi ia dikenal sebagai pusat dari pusat kota. Itulah
sudut komersial “100%”, yang dilambangkan sampai tingkat yang
jarang terlihat di kota Amerika, tetapi sangat  akrab dengan orang-
orang Amerika. Ini merupakan inti: fokus dan simbol wilayah yang
penting.
2.3.5 Elemen Landmark  (Penanda)
Elemen Landmark adalah titik-acuan dimana si pengamat tidak
memasukinya, mereka adalah di luar. Landmark biasanya
merupakan benda fisik yang didefinisikan dengan sederhana
seperti: bangunan, tanda, toko, atau pegunungan.
Beberapa landmark adalah landmark-landmark jauh, dapat terlihat
dari banyak sudut dan jarak, atas puncak-puncak dari elemen yang
lebih kecil, dan digunakan sebagai acuan orintasi.
Landmark-landmark lain adalah yang bersifat lokal, hanya bisa
dilihat di tempat-tempat yang terbatas dan dari jarak tertentu. ini
adalah tanda-tanda yang tak terhitung, depan-depan toko, pohon-
pohon, gagang pintu, dan detail perkotaan lain, yang mengisi citra
dari sebagian besar pengamat. Mereka sering digunakan sebagai
petunjuk identitas dan bahkan struktur, dan diandalkan karena
perjalanan menjadi semakin familiar.
Landmark adalah elemen fisik suatu kota sebagai referensi kota
dimana pengamat tidak dapat masuk kedalamnya, tetapi penanda
bersifat eksternal terhadap pengamat. Biasanya dikenali melalui
bentuk fisik dominan dalam suatu kawasan kota seperti bangunan,
monumen, toko, atau gunung. Landmark sudah dikenali dalam
jarak tertentu secara radial dalam kawasan kota dan dapat dilihat
dari berbagai sudut kota; tetapi ada beberapa landmark yang hanya
dikenali oleh kawasan tertentu pada jarak yang relatif dekat. 
Landmark bisa terletak di dalam kota atau diluar kawasan kota
(bedakan antara gunung dan monumen). Elemen fisik yang bersifat
bergerak/mobile juga dapat dijadikan penanda, seperti matahari dan
bulan. Pada skala yang lebih kecil, penanda yang lebih detail,
seperti facade sebuah toko, lampu jalanan, reklame juga bisa
dijadikan penanda. Secara umum, landmark merupakan suatu
tanda dalam mengenali suatu kawasan.Landmark merupakan titik
referensi seperti elemen node, tetapi orang tidak masuk didalamnya
karena bisa dilihat dari luar letaknya. Landmark adalah elemen
eksternal dan merupakan bentuk visual yang menonjol dari kota.
Beberapa landmark letaknya dekat, sedangkan yang lainnya jauh
sampai di luar kota. Beberapa landmark hanya mempunyai arti di
daerah kecil dan dapat dilihat hanya di daerah itu,
sedangkan landmark lain mempunyai arti untuk keseluruhan kota
dan bisa dilihat dari mana-mana. Landmark adalah elemen penting
dari bentuk kota karena membantu orang untuk mengorientasikan
diri di dalam kota dan membantu orang mengenali suatu
daerah. Landmark mempunyai identitas yang lebih baik jika
bentuknya jelas dan unik dalam lingkungannya, dan ada sekuens
dari beberapa landmark (merasa nyaman dalam orientasi), serta
ada perbedaan skala masing-masing.

Gambar 2.8 Elemen Landmark (Penanda)


Sumber : Data Sekunder (http://arsibook.blogspot.com/2016/11/elemen-
pembentuk-citra-kota-menurut.html)
Piazza San Marcodi Venesia. berdiri kontras dengan
karakter umum kota yang sempit, mengelilingi ruang yang
berdekatan. Namun memiliki ikatan kuat dengan fitur utama kota,
dan memiliki bentuk untuk berorientasi yang menjelaskan arah dan
dari mana seseorang memasukinya. Hal ini sangat terstruktur dan
berbeda. Ruang ini begitu khas, sehingga orang yang belum pernah
ke Venesia pun akan segera mengenalinya dari foto.
2.4 Teori Struktur Ruang Kota
Hubungan interaksi antara manusia dengan lingkungannya
mengakibatkan adanya pola penggunahan lahan yang beraneka ragam. Hal
ini disebabkan karena situasi dan kondisi lahan yang berbeda-beda
sehingga menuntut manusia yang mengggunakannya harus menggunakan
cara penggunaan yang berbeda pula. Penggunaan alam sekitar harus
disesuaikan dengan kondisi lingkungan yang meliputi keadaan fisik
lingkungan, keadaan sosial dan keadaan dari segi ekonomi. Nah,
sehubungan dengan hal ini, munculah beberapa teori seperti teori
konsentris, sektoral, inti ganda,
Berikut merupakan pembagian kategori teori struktur ruang kota
beserta pembahasannya :
2.4.1 Teori Konsentris (Concentric Theory)
Teori tentang struktur ruang kota yang pertama adalah teori
konsentris yakni teori yang dikemukakan oleh Ernest W. Burgess,
seorang sosiolog asal Amerika Serikat yang meneliti kota Chicago
pada tahun 1920. Ia berpendapat bahwa kota Chicago telah
mengalami perkembangan dan pemekaran wilayah seiring
berjalannya waktu dan bertambahnya jumlah penduduk.
Perkembangan itu semakin meluas menjauhi titik pusat hingga
mencapai daerah pinggiran. Zona yang terbentuk akibat pemekaran
wilayah ini mirip sebuah gelang yang melingkar.
Teori ini memungkinkan terjadi pada daerah eropa dan
amerika seperti london, kalkuta, chicago dan Adelaide (Australia)
dimana lingkungannya yang sangat mudah untuk dibangunnya
jalur transportasi. Di Indonesia, teori seperti ini sangat sulit
terwujud (hanya di kota-kota besar) karena lingkungan di
Indonesia banyak yang merupakan daerah pegunungan, berlembah,
memiliki sungai besar dan daerah yang terpisah laut. Untuk lebih
jelasnya bisa dilihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 2.9 Struktur Kota menurut Teori Konsentris
Sumber : Data Sekunder ( https://www.siswapedia.com/teori-tentang-
struktur-ruang-kota/)

2.4.2 Teori Sektoral (Sector Theory)


Teori tentang struktur ruang kota yang kedua adalah teori
sektoral yakni teori yang dikemukakan oleh Hommer Hoyt dari
hasil penelitiannya yang dilakukannya pada tahun 1930-an di kota
Chicago. Hommer Hoyt berpendapat bahwa unit-unit kegiatan di
perkotaan tidak menganut teori konsentris melainkan membentuk
unit-unit yang lebih bebas. Ia menambahkan bahwa daerah dengan
harga tanah yang mahal pada umumnya terletak di luar kota
sedangkan harga tanah yang lebih murah biasanya merupakan
jalur-jalur yang bentuknya memanjang dari pusat kota (pusat
kegiatan) menuju daerah perbatasan. Untuk lebih jelasnya bisa
dilihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 2.10 Struktur Kota menurut Teori Sectoral
Sumber : Data Sekunder ( https://www.siswapedia.com/teori-tentang-
struktur-ruang-kota/)

2.4.3 Teori Inti Ganda (Multiple Nucleus Theory)


Teori tentang struktur ruang kota yang ketiga adalah teori inti
ganda yakni teori yang dikemukakan oleh dua orang ahli geografi
yang bernama Harris dan Ullman pada tahun 1945. Mereka berdua
berpendapat bahwa teori konsentris dan sektoral memang terdapat
di perkotaan namun apabila dilihat lebih dalam lagi, maka akan
didapati kenyataan yang lebih kompleks.

Kenyataan yang kompleks ini disebabkan karena dalam


sebuah kota yang berkembang akan tumbuh inti-inti kota yang baru
yang sesuai dengan kegunaan sebuah lahan, misalnya adanya
pabrik, universitas, bandara, stasiun kereta api dan sebagainya.
Nah, inti-inti kota tersebut akan menciptakan suatu pola yang
berbeda-beda karena kita tentunya akan tahu bahwa sebuah tempat
yang dibuka (misalnya pabrik), maka disekitarnya akan tumbuh
pemukiman kos-kosan, perdagangan kecil dan sebagainya yang
tentunya semua ini akan ikut mempengarui struktur ruang kota.
Biasanya faktor keuntungan dari segi ekonomilah yang melatar
belakangi munculnya inti-inti kota ini.

Gambar 2.11 Struktur Kota menurut Teori Inti Ganda


Sumber : Data Sekunder ( https://www.siswapedia.com/teori-tentang-struktur-
ruang-kota/)

2.4.4 Teori Konsektoral (Tipe Eropa)


Teori tentang struktur ruang kota yang keempat adalah teori
konsektoral (tipe Eropa) yakni teori yang dikemukakan oleh Peter
Mann di Inggris pada tahun 1965. Peter Mann mencoba untuk
menggabungkan teori konsentris dan sektoral, akan tetapi disini
teori konsentris lebih ditonjolkan.
Gambar 2.12 Struktur Kota menurut Teori Konsektoral
Sumber : Data Sekunder ( https://www.siswapedia.com/teori-tentang-struktur-
ruang-kota/)
2.4.5 Teori Konsektoral (Tipe Amerika Latin)
Teori tentang struktur ruang kota yang kelima adalah teori
konsektoral (tipe Amerika Latin) yakni teori yang dikemukakan
oleh Ernest Griffin dan Larry Ford saat melakukan penelitian di
Amerika Latin pada tahun 1980. Teori ini bisa Anda lihat
gambarannya seperti pada gambar berikut.

Gambar 2.13 Struktur Kota menurut Teori Konsektoral (Tipe Amerika Latin)
Sumber : Data Sekunder ( https://www.siswapedia.com/teori-tentang-struktur-
ruang-kota/)

2.4.6 Teori Poros


Teori tentang struktur ruang kota yang keenam adalah teori
poros yakni teori yang dikemukakan oleh Babcock pada tahun
1932. Teori ini menekankan bahwa jalur tranportasi dapat
memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap struktur ruang
kota.

Gambar 2.14 Struktur Kota menurut Teori Poros


Sumber : Data Sekunder ( https://www.siswapedia.com/teori-tentang-struktur-
ruang-kota/)

2.4.7 Teori Historis


Teori tentang struktur ruang kota yang terakhir yakni teori
historis yang dikemukakan oleh Alonso. Teorinya didasari atas
nilai sejarah yang berkaitan dengan perubahan tempat tinggal
penduduk di kota tersebut. Kita bisa melihat gambaranya di bawah
ini.
Gambar 2.15 Struktur Kota menurut Teori Historis
Sumber : Data Sekunder ( https://www.siswapedia.com/teori-tentang-struktur-
ruang-kota/)
Daerah yang menjadi pusat kegiatan dalam kurun waktu
yang lama akan mengalami kerusakan lingkungan, akibatnya
sejumlah penduduk akan pindah ke daerah pinggiran yang masih
asri dan alami (lihat garis yang menunjuk keluar). Kerusakan
lingkungan di daerah pusat kegiatan ini akan mengundang
pemerintah setempat untuk melakukan perbaikan sehingga ketika
dirasa telah lebih baik, hal ini akan mengundang sejumlah
masyarakat untuk tinggal di dekat wilayah pusat kegiatan.
Beberapa alasannya adalah karena mudahnya tranportasi,
banyaknya pusat perbelanjaan dan fasilitas umum lainnya (lihat
garis yang menunjuk ke dalam). Oleh karena itu, perbaikan terus di
lakukan dimana yang awalnya hanya di lakukan pada wilayah 1
(pusat kegiatan) kemudian merambat ke wilayah 2, 3 dan
seterusnya. Tentunya ini akan menarik masyarakat untuk
memindahkan tempat tinggalnya dari wilayah 1 ke wilayah yang
lebih tinggi sehingga terjadilah perubahan tempat tinggal.
Beberapa alasannya pada umumnya karena wilayah pusat kegiatan
sangat padat penduduk sehingga tidak begitu nyaman.

2.5 Konsep Bentuk Kota


Morfologi biasanya digunakan untuk skala kota dan kawasan.
Morfologi kota pada eksistensi keruangan dari bentuk-bentuk wujud
karakteristik kota yaitu analisa bentuk kota dan faktor- faktor yang
mempengaruhinya (Yunus, 2000). Birkhamshaw, Alex J and
Whitehand (2012) menyatakan bahwa dalam aspek- aspek urban
morfologi, penetapan karakteristik perkotaan dari berbagai jenis bentuk
adalah hal yang mendasar terutama dalam kaitannya untuk
membedakan dan melakukan pemetaan wilayah yang kebijakan setiap
wilayah juga berbeda-beda. Dengan adanya teori tersebut maka dalam
suatu penelitian morfologi kota, memerlukan kajian morfologi kota
dengan berbagai jenis bentuk atau aspek.

Menurut Conzen dalam Birkhamshaw, Alex J and Whitehand


(2012), morfologi kota memiliki tiga komponen yaitu Ground Plan
(pola jalan, blok bangunan), bentuk bangunan (tipe bangunan) dan
utilitas lahan/bangunan Analisa bentuk kota meliputi:
2.5.1 Bentuk - Bentuk Kompak
Terdiri atas bentuk bujur sangkar (the square cities),
bentuk empat persegi panjang (the rectangular cities), bentuk
kipas (fan shaped cities), bentuk bulat (rounded cities), bentuk
pita (ribbon shaped cities), bentuk gurita atau bintang
(octopus/star shaped cities), bentuk tidak berpola (unpatterned
cities).
2.5.1.1 Bujur Sangkar (Square Cities)
Bujur sangkar merupakan bentuk yang statis, netral,
dan tidak mempunyai arah tertentu. Bentuk kota seperti ini
bercirikan dengan pertumbuhan di sisi-sisi jalur transportasi
dan memiliki peluang untuk kota itu semakin meluas ke
segala arah yang relative seimbang dan kendala yang relatif
kecil. Dengan adanya jalur transportasi memungkinkan
terjadinya percepatan pertumbuhan suatu kota pada arah
jalur yang bersangkutan.
2.5.1.2 Bentuk 4 Persegi Panjang (Rectangular Cities)
Bentuk 4 Persegi Panjang ini pertumbuhannya
memanjang sedikit lebih besar dan melebar, hal ini
dimungkinkan karena adanya hambatan fisikal terhadap
perkembangan area kotapada salah satu sisi. Hambatan
tersebut antara lain dapat berupa perairan, lereng terjal,
hutan, gurun pasir, dan lain sebagainya. Bentuk seperti ini
memiliki space yang cukup besar untuk berkembang dan
melebar maupun memanjang.
2.5.1.3 Bulat (Rounded Cities)
Dari bentuk-bentuk kota yang lain, bentuk seperti
ini lah yang dapat dikatakan ideal. Karena bentuk seperti ini
memiliki kesempatan untuk berkembang ke segala arah dan
dapat dikatakan seimbang. Dapat dikatakan seimbang,
Karena jarak dari pusat kota kea rah bagian luarnya sama.
Pada sisi-sisi luar kotanya tidak ada kendala fisik yang
signifikan. Tidak semua kota memiliki bentuk bulat secara
rata, namun juga tidak memungkiri ada kota yang memiliki
bentuk bulat sempurna karena tercipta dengan adanya
perencanaan yang diimbangi dengan peraturan-peraturan
tata ruang yang baik.
2.5.1.4 Kipas (Fan Shapes)
Bentuk kipas ini sebenarnya merupakan bentuk dari
sebagian lingkaran. Bentuk seperti ini memiliki kesempatan
luar kota untuk berkembang secara seimbang. Oleh karena
sebab-sebab tertentu pada bagian lain dari bentuk seperti ini
memiliki beberapa hambatan perkembangan. Hambatan
tersebut diklasifikasikan menjadi 2 yaitu:
1. Hambatan alami seperti perairan dan pegunungan.
2. Hambatan artifikal yang berupa saluran buatan, zoning,
dan ring roads.

Pada bentuk kipas ini terdapat kendala-kendala yang


berada pada bagian dalam dari pada lingkaran, bagian luar
lingkaran, dan dapat juga terdapat di kedua bagian. Kota
yang terletak di dataran rendah seperti kota pelabuhan
daerah belakangnya relatif datar maka bentuk kipas seperti
setengah lingkaran.
2.5.1.5 Pita (Ribbon Shaped Cities)
Bentuk ini memiliki memiliki dimensi memanjang
yang jauh lebih besar daripada dimensi melebar, maka
bentuk ini berada pada klasifikasi tersendiri sehingga
menggambarkan bentuk pita. Pada peranan jalur
memanjang atau jalur transportasi yang sangat dominan
dalam mempengaruhi perkembangan area perkotaannya,
serta terjadi hambatan perluasan area kesamping sepanjang
lembah pegunungan dan sepanjang jalur transportasi darat
adalah bagian yang memungkinkan terciptanya bentuk
seperti ini.
2.5.1.6 Gurita/Bintang (Octopus/ Star Shape Cities)
Dalam bentuk ini sama halnya dengan bentuk pita,
yang mana jalur transportasi sangat berperan dalam
perkembangan bentuk kotanya. Namun, pada bentuk gurita
ini, jalur transportasi tak hanya satu arah. Hal seperti ini
hanya dimungkinkan apabila daerah “hitterland”dan
pinggirannya tidak memberikan halangan fisik yang sangat
berarti terhadap perekmbangan area kotanya.

2.5.2 Bentuk - Bentuk Tidak Kompak

Terdiri atas bentuk terpecah (fragmented cities), bentuk


berantai (chained cities), bentuk terbelah (split cities), bentuk
stellar (stellar cities).

2.5.1.7 Terpecah (Fragment Cities)


Bentuk kota terpecah ini merupakan jenis kota yang
awal bertumbuhnya mempunyai bentuk kompak dalam
skala wilayah yang lumayan kecil. Pada perkembanagn
selanjutnya perluasan yang terjadi pada area kota baru yang
tercipta ternyata tidak langsung menyatu dengan kota
induk. Kenampakan-kenampakan yang terjadi pada kota
baru dikelilingi oleh area pertanian dan dihubungkan
dengan kota induk yang lain dengan jalur transportasi yang
memadai.
2.5.1.8 Berantai (Chained Cities)
Bentuk berantai merupakan bentuk kota yang
terpecah, namun hanya karena terjadinya perkembangan
kota ini terjadi di sepanjang jalur tertentu, kota ini dapat
dikatakan seolah-olah mata rantai yang dihubungkan oleh
jalur transportasi. Karena jarak antar kota induk dengan
kenampakan kota yang baru berada pada posisi yang tidak
jauh, pada beberapa bagian membentuk kesatuan fungsional
yang sama, terlebih khusus pada bidang ekonomi. Pada
bentuk ini, jalur transportasi memiliki peranan yang sangat
penting dan dominan dalam perkembangan area kotanya.
Dan pada bentuk ini tidak menutup kemungkinan yang
kemudian sekali lagi akan membentuk “ribbon cities” yang
besar.

2.5.2.2 Terbelah (Split Cities)

Bentuk kota seperti ini merupakan jenis kota yang


tergolong kompak, namun karena ada perairan yang cukup
lebar membelah kota, maka seolah-olah kota tersebut terdiri
dari dua bagian yang terpisah. Dua bagian ini dihubungkan
oleh jembatan yang masing-masing bagian mempunyai
nama yang berbeda dengan bagian yang lain.
2.5.1.9 Satelit (Stellar Cities)
Bentuk kota seperti ini terdapat pada kota-kota
besar yang dikelilingi oleh kota-kota satelit. Terjadi
penggabungan antara kota besar utama dengan kota satelit
yang berada di sekitarnya. Dengan majunya sarana
transportasi dan telekomunikasi, dapat berperan dalam
pembentukan kenampakan kota ini. Pada proses yang terus
menerus akan tercipta kota megapolitan.

Gambar 2.16 Bentuk-bentuk Kota

Sumber: Data Sekunder

2.6 Minapolitan
Arti dari minapolitan, Minapolitan terdiri atas dua kata yakni kata
mina (perikanan) dan kata politan (kota).yang dapat diartikan sebagai
kluster kegiatan perikanan yang meliputi kegiatan produksi, pengolahan
dan pemasaran dalam sistem agribisnis terpadu di suatu wilayah atau lintas
wilayah perikanan dengan kelengkapan sarana prasarana serta pelayanan
seperti di perkotaaan (kelembagaan, sistem permodalan, transportasi, dan
lain-lain). Lengkapnya Minapolitan adalah kluster perikanan yang tumbuh
dan berkembang seiring berjalannya sistem dan usaha agribisnis yang
mampu melayani, mendorong, menarik dan menghela kegiatan
pembangunan perikanan di wilayah tersebut dan sekitarnya dengan ciri
utama kegiatan perikanan dan pengolahan dari hasil perikanan.
Adapun
secara makna, ada
beberapa definisi
minapolitan,
yaitu:
1.
Kawasan pedesaan yang disiapkan mempunyai kelengkapan sarana dan
prasarana yang memadai dan pelayanan perkotaan (infrastruktur
termasuk transportasi dan energi), dengan dukungan sistem
permodalan yang tepat guna sehingga masyarakat dapat
mengembangkan usaha dengan cepat.

2. Kawasan yang dikembangkan melalui pembentukan titik tumbuh suatu


kluster kegiatan perikanan dengan sistem agribisnis berkelanjutan yang
meliputi produksi, pengolahan dan pemasaran, proses produksi
terlaksana dari hulu sampai ke hilir sampai jasa lingkungan sebagai
sistem kemitraan di dalam satu wilayah.

3. Kawasan terintegrasi sebagai kluster kegiatan perikanan dimana


masyarakatnya tumbuh dan berkembang seiring dengan kemajuan
kelembagaan usaha yang didukung sumberdaya manusia berkualitas
melalui pendidikan yang maju sehingga dapat mengembangkan usaha
dan terus menemukan inovasi-inovasi yang sekiranya berguna untuk
mengembangkan usaha dan kawasan minapolitan menjadi lebih maju.

4. Sebuah konsep pembangunan kelautan dan perikanan berbasis


manajemen ekonomi kawasan dengan motor penggerak sektor kelautan
dan perikanan dalam rangka peningkatan pendapatan rakyat.
Pembangunan ekonomi kelautan dan perikanan dengan konsep
minapolitan dikembangkan melalui proses peningkatan efisiensi dan
juga optimalisasi keunggulan komparatif dan kompetitif daerah sesuai
dengan eksistensi kegiatan pra produksi, produksi, dan pemasaran,
serta jasa pendukung lainnya, yang dilakukan secara terpadu, holistik
dan berkelanjutan.

Program minapolitan ini pada prinsipnya merupakan suatu program


kegiatan yang berupaya untuk mensinergiskan kegiatan produksi bahan
baku, pengolahan dan pemasaran dalam satu rangkaian kegiatan besar
dalam satu kawasan atau wilayah. Dengan konsep Minapolitan
pembangunan sektor kelautan dan perikanan diharapkan dapat dipercepat.
Peluang yang biasanya ada di daerah perkotaan perlu pula dikembangkan
di daerah-daerah pedesaan, seperti prasarana, sistem pelayanan umum,
jaringan distribusi bahan baku dan hasil produksi di sentra-sentra produksi.
Sebagai sentra produksi, daerah pedesaan diharapkan dapat berkembang
sebagimana daerah perkotaan dengan dukungan prasarana, energi, jaringan
dstribusi bahna baku dan hasil produksi, transportasi, pelayanan publik,
akses permodalan, dan sumberdaya manusia yang memadai.

2.6.1 Unsur Minapolitan

Secara konseptual Minapolitan mempunyai dua unsur utama, yaitu;

1. Minapolitan sebagai konsep pembangunan sektor kelautan dan


perikanan berbasis wilayah.

2. Minapolitan sebagai kawasan ekonomi unggulan dengan


komoditas utama produk kelautan dan perikanan.

Secara ringkas Minapolitan dapat didefinisikan sebagai


suatu konsep pembangunan ekonomi kelautan dan perikanan
berbasis wilayah dengan pendekatan dan sistem manajemen
kawasan berdasarkan prinsip-prinsip integrasi, efisiensi, kualitas
dan akselerasian tinggi.Sementara itu, kawasan minapolitan adalah
kawasan ekonomi berbasis kelautan dan perikanan yang terdiri dari
sentra-sentra produksi kelautan dan perikanan yang terdiri dari
sentra-sentra produksi dan perdagangan jasa, pemukiman, dan
kegiatan lainnya yang saling terkait.

2.6.2 Konsep Minapolitan


Konsep Minapolitan didasarkan pada tiga azas, yaitu;
1. Demokratisasi ekonomi kelautan dan perikanan pro rakyat
2. Pemberdayaan masyarakat dan keberpihakan dengan intervensi
negara secara terbatas (limited state intervebtion)
3. Penguatan daerah dengan prinsip ; daerah kuat-bangsa dan
negara kuat
Ketiga prinsip tersebut menjadi landasan perumusan kebijakan
dan kegiatan pembangunan sektor kelautan dan perikanan agar
pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan benar-benar
untuk kesejahteraan rakyat dan menempatkan daerah pada posisi
sentral dalam pembangunan.

2.6.3 Kriteria Minapolitan


Kriteria dan persyaratan kawasan minapolitan yang akan
dikembangkan, disesuaikan dengan kondisi geografis dan potensi
yang dimiliki oleh masing-masing kawasan yang akan
dikembangkan.
2.6.3.1 Kriteria Umum
Kriteria umum pengembangan kawasan minapolitan harus
memenuhi kriteria di bawah ini, yaitu:
1. Penggunaan lahan untuk kegiatan perikanan harus
memanfaatkan potensi yang sesuai untuk peningkatan
kegiatan produksi dan wajib memperhatikan aspek
kelestarian lingkungan hidup serta mencegah
kerusakannya, karena biasanya pembudidaya
mengalirkan limbah hasil dari air bekas budidaya
langsung ke pembuangan umum yang tentu saja
berdampak buruk untuk lingkungan, harusnya air
tersebut diendapkan terlebih dahulu sebelum dialirkan
ke sungai misalnya, dan hasil endapan itu bisa kemudian
digunakan untuk pupuk kompos, sehingga tidak
mengotori lingkungan, tapi justru bermanfaat untuk
lingkungan.
2. Wilayah yang sudah ditetapkan untuk dilindungi
kelestariannya dengan indikasi geografis dilarang untuk
dialih fungsikan menjadi kawasan lain setelah di claim
sebagai kawasan minapolitan dan secara alami
memenuhi persyaratan untuk pengembangan produk
unggulan kelautan dan perikanan.
3. Kegiatan perikanan skala besar, baik yang
menggunakan lahan luas ataupun teknologi intensif
harus terlebih dahulu memiliki kajian Amdal sesuai
dengan ketentuan perundangan yang berlaku;
4. Kegiatan perikanan skala besar, harus diupayakan
menyerap sebesar mungkin tenaga kerja setempat.
Sehingga keberadaan kawasan minapolitan membawa
dampak yang riil dalam meningkatkan perekonomian
dan menekan tingginya angka pengangguran.
5. Pemanfaatan dan pengelolaan lahan yang harus
dilakukanberdasarkan kesesuaian dengan rencana
strategis, rencana tata ruang wilayah (RT/RW) rencana
zonasi pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil kabupaten/kota, serta rencana pengembangan
investasi jangka menengah daerah yang telah
ditetapkan.
6. Ketersediaan data dan informasi tentang kondisi dan
potensi kawasan minapolitan.
7. Terdapat unit produksi, pengolahan dan pemasaran atau
jaringan usaha yang aktif berproduksi, mengolah atau
memasarkan yang terkonsentrasi di suatu kawasan dan
mempunyai mata rantai pengolahan yang saling terkait.
8. Tersedianya fasilitas pendukung berupa aksesbilitas
terhadap pasar, permodalan, sarana dan prasarana
produksi, pengolahan dan pemasaran, keberadaan
lembaga lembag usaha dan fasilitas penyuluhan dan
pelatihan untuk meningkatkan skill dan kemampuan
para pembudidaya.
2.6.3.2 Kriteria Khusus
Sedangkan kriteria khusus pengembangan kawasan
perikanan budidaya antara lain adalah:
1. Memiliki kegiatan ekonomi yang dapat menggerakkan
pertumbuhan daerah;
2. Mempunyai sektor ekonomi unggulan yang mampu
mendorong kegiatan ekonomi sektor lain dalam
kawasan itu sendiri maupun di kawasan sekitarnya.
Semisal di kawasan minapolitan mendirikan sebuah
UKM yang mempunyai produk unggulan produk hasil
olahan perikanan, dengan begitu tidak hanya perikanan
yang maju tetapi juga perindustriannya, walaupun masih
dalam tahap kecil yang nantinya akan terus
dikembangkan;
3. Memiliki keterkaitan kedepan (daerah pemasaran
produk-produk yang dihasilkan) maupun ke belakang
(suplai kebutuhan sarana produksi) dengan beberapa
daerah pendukung;
4. Sumber daya manusia yang ada harus Memiliki
kemampuan untuk memelihara sumber daya alam
sehingga dapat dimanfaatkan secara sustainable dan
mampu menciptakan kesejahteraan ekonomi tanpa ada
ketimpangan bagi seluruh lini masyarakat.
5. Memiliki luasan areal budidaya eksisting minimal 200
Ha. Tidak hanya areal yang terdapat kolam namun tidak
terpakai namun harus kolam yang produktif dan
menghasilkan.
2.6.4 Ciri Minapolitan
Kawasan minapolitan memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Sebagian besar masyarakat di kawasan minapolitan
memperoleh pendapatan dari kegiatan yang berkaitan dengan
agribisnis perikanan,
2. Sebagian besar kegiatan di kawasan minapolitan didominasi
oleh kegiatan agribisnis perikanan. Karena di kawasan
minapolitan terjadi kegiatan perikanan dari hulu sampai ke
hilir.
3. Hubungan antar kota dan daerah-daerah sekitarnya
(hinterland) adalah hubungan timbal-balik yang harmonis dan
saling membutuhkan, dimana kawasan hinterland perikanan
mengembangkan produk primer dan produk olahan skala
rumah tangga, sebaliknya pusat kawasan menyediakan
fasilitas-fasilitas yang mendukung pengembangan usaha
budidaya, penangkapan dan usaha-usaha lain yang berkaitan.
4. Kehidupan masyarakat di kawasan minapolitan mirip dengan
suasana kota karena keadaan prasarana dan sarana yang ada di
kawasan minapolitan tidak jauh berbeda dengan di kota.
Persyaratan suatu kawasan dapat dikembangkan menjadi
kawasan minapolitan apabila kawasan tersebut memenuhi
kriteria sebagai berikut:
5. Memiliki sumberdaya lahan/perairan karena tidak dapat
dipungkiri, usaha perikanan budidaya sangat membutuhkan
banyak supply air untuk keberlangsungan produksi yang
sesuai untuk pengembangan komoditas perikanan yang dapat
dipasarkan atau telah mempunyai pasar (komoditas
unggulan), serta berpotensi atau telah berkembang
diversifikasi usaha komoditas unggulannya jadi walaupun
telah mempunyai satu produk unggulan tetap mengupayakan
untuk mempunyai produk unggulan lainnya. Pengembangan
kawasan tersebut tidak hanya menyangkut kegiatan perikanan
saja (on farm) tetapi juga kegiatan off farm-nya, yaitu mulai
dari pengadadaan sarana dan prasarana perikanan terutama
tekhnologi tepat guna yang nantinyaakan mempermudah
proses produksi perikanan, kegiatan pengolahan hasil
perikanan sampai dengan pemasaran hasil perikanan serta
kegiatan penunjang.
6. Memiliki berbagai sarana dan prasarana minabisnis yang
memadai untuk mendukung pengembangan sistem dan usaha
minabisnis tersebut adalah:
7. Pasar, (pasar hasil-hasil perikanan, pasar sarana dan
prasarana, maupun pasar jasa pelayanan termasuk pasar
lelang, cold storagge dan processing hasil perikanan sebelum
dipasarkan) dimana dalam proses cold storrage ini penting
menjaga rantai dingin untuk supaya ikan tetap dalam kondisi
baik saat diterima oleh konsumen.
8. Lembaga keuangan (perbankan maupun non perbankan) yang
diharapkan dapat membantu para pembudidaya untuk
menyediakan kebutuhan modal dengan biaya bunga yang
rendah sehingga tidak membebani dengan bunga tinggi yang
justru membuat pembudidaya semakin sulit.
9. Memiliki kelembagaan perikanan, berbentuk kelompok yang
apabila salah satu anggota dari kelompok menemui kesulitan
anggota kelompok lain dapat membantu, dan apabila
pembudidaya memiliki kelompok dari pihak pemerintah akan
lebih mudah untuk memantau dan memberikan bantuan,
karena pemerintah cenderung lebih memilih memberikan
bantuan kepada kelompok, karenan nantinya alat dapat
dimanfaatkan oleh kelompok dengan beberapa pembudidaya
di dalamnya.
10. Balai Benih Ikan. Ketersediaan benih ikan merupakan salah
satu problem yang penting untuk pembudidaya, karena seusai
masa panen tentunya memerlukan bibit, supaya proses
produksi terjadi secara berkelanjutan, namun terkadang benih
sulit didapatkan oleh karena itu perlu adanya balai benih ikan
yang mengupayakan benih dapat di budidayakan di kawasan
minapolitan itu sendiri.
11. Penyuluhan dan bimbingan teknologi. Teknologi saat ini
sudah menjadi salah satu yang tidak dapat terpisahkan dari
proses produksi, karena tekhnologi pasti memberikan
kemudahan dan meningkatkan hasil budidaya. Jadi
pembudidaya harus dibekali dengan pengetahuan tekhnologi
untuk menjawab tantangan zaman pada saat ini
12. Memiliki sarana dan prasarana penunjang yang memadai
seperti jalan, listrik, air bersih, dan lain-lain.
13. Memiliki sarana dan prasarana kesejahteraan
sosial/masyarakat yang memadai seperti kesehatan,
pendidikan, kesenian, rekreasi, perpusatakaan dan lain-lain.
14. Kelestarian lingkungan hidup baik kelestarian sumberdaya
alam, sosial budaya maupun kota terjamin. Peningkatan
produksi perikanan budidaya tersebut tidak terlepas dari
besarnya potensi pengembangan perikanan budidaya di
Indonesia dan keefektifan strategi peningkatan produksi
perikanan budidaya yang dijalankan oleh pemerintah. Satu
diantara strategi yang mendukung percepatan pembangunan
perikanan budidaya adalah pengembangan kawasan
minapolitan perikanan budidaya yang terintegrasi.
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi Penelitian


Lokasi Penelitian ini dilakukan di wilayah Kota Probolinggo. Kondisi
tata ruang yang baik di Kota Probolinggo tentunya akan mempengaruhi
bentuk pola morfologi di kota ini. Baik dari segi persebaran permukiman
maupun persebaran daerah-daerah pusat perekonomian dan pemerintahan.
Kondisi aksesibilitas yang baik juga mempengaruhi pola morfologi wilayah
perkotaan di Kota Probolinggo, sehingga masyarakat yang berkegiatan di
wilayah Kota Probolinggo dapat lebih fleksibel dalam menetukan tempat
permukiman. Lokasi penelitian dimulai dari pusat kota yaitu wilayah alun –
alun. Dikawasan alun –alun ini memiliki Pusat Kegiatan Pedidikan, Pusat
Perdagangan dan Jasa, dan pusat perkantoran baik swasta maupun
pemerintahan, serta unsur – unsur kota lainnya yang berada di Kota
Probolinggo. Letak strategis Kota Probolinggo yang berada di wilayah tapal
kuda Jawa Timur, persisnya diantara Kabupaten Probolinggo dan Selat
Madura. Kota ini juga menjadi kota transit dari kota bagian barat Jawa Timur
ke kota bagian timur..Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota
Probolinggo tahun 2009 - 2028 , disebutkan bahwa pembangunan Jalur
Lingkar Utara (JLU) Kota Probolinggo bertujuan untuk mengurangi
pergerakan kendaraan berat pada jalur Surabaya – Probolinggo - Situbondo
- Banyuwangi dan untuk mendukung pengembangan kegiatan industri dan
pergudangan di kawasan Pelabuhan Kota Probolinggo. . Adapun
pernyataan tentang Kota Probolinggo tersebut menjadi alasan bagi penulis
untuk melakukan penelitian di lokasi ini.
Gambar 3.1 Lokasi Penelitian
Sumber : Data Primer

3.2 Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan analisa deskriptif kualitatif dengan


maksud menganalisa berdasarkan karakteristik kegiatan-kegiatan dalam
ruang yang mempengaruhi faktor fisik suatu kota sebagai tempat
pelaksanaan kegiatan dan bentuk-bentuk fisik lingkungan yang
diakibatkan oleh faktor non fisik dari terbentuknya suatu morfologi kota.
Analisa ini dilakukan untuk mendapatkan suatu keluaran berupa usulan
suatu pola morfologi kota jika dilihat secara fisik. Untuk menemukan
keluaran tersebut, maka diperlukan beberapa analisa, diantaranya analisa
figure ground, linkage dan place. Dari ketiga analisa tersebut maka dapat
digunakan untuk menemukenali pola morfologi kota Probolinggo, yang
dilihat dari elemen pembentuk morfologi kota itu sendiri. Penelitian ini
bertujuan untuk mengungkapkan kejadian atau fakta, keadaan, fenomena,
variabel dan keadaan yang terjadi saat penelitian berlangsung dengan
menyuguhkan apa yang sebenarnya terjadi. Penelitian ini menafsirkan dan
menguraikan data dengan keadaan yang ada, perbedaan antar fakta yang ada
serta pengaruhnya terhadap suatu kondisi, dan sebagainya. Metode ini
melakukan analisis, idekntifikasi, deskripsi serta menyelidiki permasalahan
dengan tinjauan langsung ke lapangan (survey). Output yang dihasilkan dari
jenis penelitian ini berupa gambar, tabel, grafik serta peta yang berkaitan
dengan topik yang dibahas (morfologi, struktur, citra kota).

3.3 Metode Pengumpulan Data

Untuk mempermudah dalam melakukan penelitian, penulis


menggunakan beberapa metode pengumpulan data diantaranya adalah :

1. Data Citra

Metode pengumpulan data primer yang bersumber dari data citra satelit
adalah dengan cara interpretasi (melalui citra penginderaan jauh sesuai
dengan unsur-unsur interpretasinya) kenampakan obyek yang terekam
oleh satelit. Fungsi dari data citra adalah sebagai sumber untuk membuat
data turunan berupa pola morfologi wilayah kajian. Kenampakan objek
yang terekam adalah berupa kepadatan bangunan, sarana aksesibilitas,
bentuk fisik dari tata ruang yang telah ada dan kondisi topografi wilayah.
Kepadatan bangunan yang tergambar dari data penginderaan jauh
dianalisis dan diinterpretasi sebagai elemen utama dalam zonasi wilayah
berdasarkan tingkat kepadatannya. Hasil dari zonasi tersebut dapat
menggambarkan pola morfologi yang terbentuk dalam suatu wilayah.
Sarana aksesibilitas yang berupa jaringan jalan yang terekam oleh data
pengindaraan jauh dijadikan elemen atau parameter dalam melihat berapa
besarnya interaksi spasial yang terjadi antara suatu wilayah dengan
wilayah lain dalam kajian transportasi kota. Peran aksesibilitas dalam
terbentuknya morfologi kota sangat penting, adanya data aksesibilitas
yang didapatkan dari hasil pengolahan data pengindaraan jauh dapat
memudahkan dalam proses analisis penelitian ini. Bentuk fisik dari suatu
kota dapat tergambar di data pengindraan jauh dengan resolusi spasial
yang baik. Visualisasi dari citra tersebut mempermudah dalam proses
analisis interaksi spasial yang terjadi. Informasi tentang kondisi topografi
wilayah dapat dilihat menggunakan media pengindraan jauh. Data
kondisi topografi wilayah ini bertujuan untuk melihat seberapa besar
kondisi bentang lahan serta topografi wilayah dapat mempengaruhi dalam
perencanaan maupun pembentukan morfologi wilayah perkotaan.
2. Data Sekunder
Data Sekunder adalah data yang mengacu pada informasi yang
dikumpulkan dari sumber yang telah ada. Sumber data sekunder ini adalah
catatan atau dokumentasi perusahaan, publikasi pemerintahan, analisis
industri oleh media, situs web, internet dan seterusnya (Uma Sekaran,
2011). Data Sekunder merupakan data yang diperoleh secara tidak
langsung. Dalam penelitian ini penulis memperoleh data sekunder dari
instansi dan dinas terkait seperti Bappeda, ATR dan PU. Data ini
memudahkan penulis dalam mengidentifikasi Kota Probolinngo

3. Penelitian ini mengunakan jenis kualitatif, dengan pendekatan deskriptif.


Melalui metode kualitatif ini nantinya dapat menggambarkan tentang
objek yang diteliti dalam bentuk kalimat ataupun pernyataan sesuai dengan
data yang sudah dikumpulan dari data sekunder dengan tujuan mendapat
suatu kesimpulan.
4. Sumber Data berasal dari informasi dan dokumen, teknik pengumpulan
data data yakni: literatur laporan, jurnal, maupun bahan perkuliahan atau
sumber-sumber bacaan lainnya yang ada kaitannya dengan topik yang
diangkat, dengan memvalidasi informasi, data mentah (transkrip, data
lapangan, gambar,dsb). Mengelola dan mempersiapkan data untuk
dianalisis, membaca keseluruhan data, menghubungkan dan
menginterpretasikan data, tema-tema serta deskripsi yang ada.

3.4 Variabel Penelitian


Variabel merupakan gejala yang menjadi fokus dalam
penulisan makalah ini. Variabel dapat diukur secara kualitatif
maupun kuantitatif. Adapun variabel yang digunakan dalam
penulisan ini adalah sebagai berikut:
a. Aspek pembentuk morfologi Kota Probolinggo.
b. Aspek citra kota, dan struktur pola ruang Kota Probolinggo.
c. Aspek Kawasan Minapolitan di Kota Probolinggo.
3.5 Alur Penelitian
Tinjauan Input Proses Output

Morfologi Proses Analisis Mengetahui Penggunaan


Kota perkembangan Kota Deskriptif lahan di Kota Probolinggo.
Probolinggo. Kualitatif Pola jaringan jalan di Kota
Keadaan eksisting Probolinggo. Pola bangunan
Kota Probolinggo. di Kota Probolinggo
Aspek Mengetahui lima unsur
Proses Analisis
Pembentuk pembentuk citra kota (Path,
terbentuknya citra Deskriptif
Edges, District, Node dan
kota, dan struktur Kualitatif
Landmark), bentuk dasar
pola ruang di Kota
kota, dan penyebaran tata
Probolinggo
guna lahan di Kota
Probolinggo
Analisis Mengetahui penataan
Konsep Bentuk dan ciri
Deskriptif kawasan minapolitan di
Minapolitan fisik penataan
Kualitatif wilayah pesisir bagian utara
kawasan yang
Kota Probolinggo yang
menggambarkan
menjadi sektor penggerak
konsep Minapolitan
perekonomian Kota
Kota Probolinggo
Probolinggo

Tabel 3.1 Alur Penelitian

Sumber : Data Primer


3.6 Bagan Alur Pikir

LATAR BELAKANG

RUMUSAN MASALAH

TUJUAN

PENGUMPULAN DATA

STRUKTUR KOTA, MORFOLOGI KONSEP PENGEMBANGAN


CITRA KOTA KOTA KAWASAN MINAPOLITAN

DATA SEKUNDER

- Jurnal
- Literatur Laporan
- BAPPEDA

ANALISIS DESKRIPTIF KUALITATIF

MENGETAHUI KESELURUHAN TENTANG MORFOLOGI KOTA,


STRUKTUR, CITRA DAN KONSEP PENGEMBANGAN KAWASAN
MINAPOLITAN KOTA PROBOLINGGO

Anda mungkin juga menyukai