Anda di halaman 1dari 37

PRODUKSI SEDIAAN STERIL

Ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Farmasi Industri

Disusun Oleh:
Kelompok 1

Dewi Astriyanti 260112150511


Dwi Sefrianty 260112150525
Mahardias Fadilah S 260112150596
Novia Eka Putri 260112150582
Restu Noor H 260112150535

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini guna memenuhi tugas mata
kuliah Farmasi Industri, Fakultas Farmasi, Universitas Padjadjaran. Kami juga
berterimakasih pada Bapak Dudi Runadi, M.Si., Apt. yang telah memberikan tugas
ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini sangat berguna dalam menambah wawasan
serta pengetahuan kita mengenai Produksi Sediaan Steril, meliputi sediaan injeksi
kering dan injeksi cair. Kami menyadari bahwa terdapat banyak kekurangan dan jauh
dari sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran, dan usulan demi
perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang, meningat tidak
ada sesuatu yang sempurna tanpa saran membangun. Semoga makalah ini dapat
dipahami bagi siapapun yang membacanya.

Bandung, April 2016

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.........................................................................................................ii
Daftar Isi...................................................................................................................iii
BAB I Pendahuluan..................................................................................................1
1.1........................................................................................................ Latar Belakang
...............................................................................................................................1
1.2................................................................................................... Rumusan Masalah
...............................................................................................................................2
1.3.................................................................................................... Tujuan Penulisan
...............................................................................................................................2
BAB II Produksi Sediaan Steril..............................................................................3
2.1. Prinsip Produksi.................................................................................................3
2.2. Validasi................................................................................................................5
2.3. Proses Sterilisasi..................................................................................................5
2.4. Klasifikasi Ruang Produksi Steril.....................................................................14
2.5. Evaluasi Sediaan Steril......................................................................................15
2.6. Alur Produksi Sediaan Injeksi Kering...............................................................17
2.7. Alur Produksi Sediaan Injeksi Cair...................................................................19
2.8. Kualifikasi Tenaga Kerja...................................................................................23
2.9. Sanitasi dan Higiene..........................................................................................29
BAB III Kesimpulan...............................................................................................33
3.1. Kesimpulan........................................................................................................33
Daftar Pustaka........................................................................................................34

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Dengan adanya sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), penggunaan obat
menjadi semakin banyak, guna meningkatkan kualitas hidup pasien. Salah satu
sediaan yang digunakan dalam proses pengobatan adalah sediaan injeksi. Menurut
Farmakope Indonesia Edisi III, injeksi adalah sediaan steril berupa larutan, emulsi,
suspensi atau serbuk yang harus dilarutkan atau disuspensikan terlebih dahulu
sebelum digunakan, yang disuntikkan dengan cara merobek jaringan ke dalam kulit
atau melalui kulit atau melalui selaput lendir (Depkes, 1979). Sedangkan menurut
Farmakope Indonesia Edisi IV, injeksi adalah injeksi yang dikemas dalam wadah 100
mL atau kurang. Umumnya hanya larutan obat dalam air yang bisa diberikan secara
intravena. Suspensi tidak bisa diberikan karena berbahaya yang dapat menyebabkan
penyumbatan pada pembuluh darah kapiler (Depkes, 1995).
Sediaan injeksi dapat berupa larutan, suspensi, maupun serbuk (injeksi
kering). Untuk zat aktif yang mudah larut dalam air injeksi (aqua pro injection),
dibuat dalam larutan. Untuk zat aktif yang kurang larut dalam air injeksi (aqua pro
injection), dibuat dalam suspensi. Suspensi injeksi biasanya tidak diberikan dalam
rute intravena. Untuk zat aktif yang kurang stabil dalam air (mudah terurai dalam air),
dibuat dalam serbuk injeksi, atau disebut juga injeksi kering. Yang mana dalam
penggunaannya dilarutkan dengan air steril (aqua pro injection) beberapa saat
sebelum diberikan pada pasien. Tidak seperti sediaan yang digunakan dalam rute
peroral, sediaan injeksi memiliki persyaratan steril dalam proses produksinya.
Dengan meminimalkan cemaran mikroba, memperhatikan tonisitas, dan membuat
formulasi yang sesuai, sangat memungkinkan produk injeksi efektif, aman, dan efek
terapinya relatif lebih cepat daripada rute pemberian obat lainnya.
Proses produksi sediaan injeksi telah diatur dalam Cara Pembuatan Obat yang
Baik (CPOB) Indonesia, dengan memperhatikan standar-standar mutu, sehingga

1
kualitas sediaan dapat terjamin selama waktu yang telah ditentukan (sebelum tanggal
kadaluarsa). Setiap memproduksi satu bets, ada dokumen-dokumen yang harus
dilengkapi untuk mencapai standar sediaan yang efektif dan aman.
Setiap proses produksi sediaan farmasi diawasi oleh apoteker, karenanya
pengetahuan tentang produksi sediaan farmasi harus dipahami oleh apoteker,
sehingga apoteker dapat memastikan mutu suatu sediaan farmasi.

1.2. Rumusan Masalah


1.2.1. Bagaimana produksi sediaan injeksi kering?
1.2.2. Bagaimana produksi sediaan injeksi cair?
1.2.3. Bagaimana persyaratan personalia dalam pembuataan sediaan steril?
1.2.4. Bagaimana penerapan sanitasi dan higiene di industri farmasi?

1.3. Tujuan Penulisan


1.3.1. Mengetahui produksi sediaan injeksi kering.
1.3.2. Mengetahui produksi sediaan injeksi cair.
1.3.3. Mengetahui persyaratan personalia dalam pembuataan sediaan steril.
1.3.4. Mengetahui penerapan sanitasi dan higiene di industri farmasi.

2
BAB II
PRODUKSI SEDIAAN STERIL

2.1. Prinsip Produksi


Produksi hendaklah dilaksanakan dengan mengikuti prosedur yang telah
ditetapkan dan memenuhi ketentuan CPOB yang menjamin senantiasa menghasilkan
produk yang memenuhi persyaratan mutu serta memenuhi ketentuan izin pembuatan
dan izin edar (registrasi). Secara umum proses produksi yang ditetapkan oleh CPOB
adalah sebagai berikut (BPOM, 2006):
1. Produksi hendaklah dilakukan dan diawasi oleh personil yang kompeten.
2. Penanganan bahan dan produk jadi, seperti penerimaan dan karantina,
pengambilan sampel, penyimpanan, penandaan, penimbangan, pengolahan,
pengemasan dan distribusi hendaklah dilakukan sesuai dengan prosedur atau
instruksi tertulis dan bila perlu dicatat.
3. Seluruh bahan yang diterima hendaklah diperiksa untuk memastikan
kesesuaiannya dengan pemesanan. Wadah hendaklah dibersihkan dan bilamana
perlu diberi penandaan dengan data yang sesuai. Kerusakan wadah dan masalah
lain yang dapat berdampak merugikan terhadap mutu bahan hendaklah diselidiki,
dicatat dan dilaporkan kepada Bagian Pengawasan Mutu.
4. Bahan yang diterima dan produk jadi hendaklah dikarantina secara fisik atau
administratif segera setelah diterima atau diolah, sampai dinyatakan lulus untuk
pemakaian atau distribusi.
5. Produk antara dan produk ruahan yang diterima hendaklah ditangani seperti
penerimaan bahan awal.
6. Semua bahan dan produk jadi hendaklah disimpan secara teratur pada kondisi
yang disarankan oleh pabrik pembuatnya dan diatur sedemikian agar ada
pemisahan antar bets dan memudahkan rotasi stok.

3
7. Pemeriksaan jumlah hasil nyata dan rekonsiliasinya hendaklah dilakukan
sedemikian untuk memastikan tidak ada penyimpangan dari batas yang telah
ditetapkan.
8. Pengolahan produk yang berbeda hendaklah tidak dilakukan secara bersamaan
atau bergantian dalam ruang kerja yang sama kecuali tidak ada risiko terjadinya
campur baur ataupun kontaminasi silang.
9. Tiap tahap pengolahan, produk dan bahan hendaklah dilindungi terhadap
pencemaran mikroba atau pencemaran lain.
10. Bila bekerja dengan bahan atau produk kering, hendaklah dilakukan tindakan
khusus untuk mencegah debu timbul serta penyebarannya. Hal ini terutama
dilakukan pada penanganan bahan yang sangat aktif atau menyebabkan
sensitisasi.
11. Selama pengolahan, semua bahan, wadah produk ruahan, peralatan atau mesin
produksi dan bila perlu ruang kerja yang dipakai hendaklah diberi label atau
penandaan dari produk atau bahan yang sedang diolah, kekuatan (bila ada) dan
nomor bets. Bila perlu, penandaan ini hendaklah juga menyebutkan tahapan
proses produksi.
12. Label pada wadah, alat atau ruangan hendaklah jelas, tidak berarti ganda dan
dengan format yang telah ditetapkan. Label yang berwarna seringkali sangat
membantu untuk menunjukkan status (misalnya: karantina, diluluskan, ditolak,
bersih dan lain-lain).
13. Pemeriksaan perlu dilakukan untuk memastikan pipa penyalur dan alat lain untuk
transfer produk dari satu ke tempat lain yang telah terhubung dengan benar.
14. Penyimpangan terhadap instruksi atau prosedur sedapat mungkin dihindarkan.
Bila terjadi penyimpangan maka hendaklah ada persetujuan tertulis dari kepala
bagian Pemastian Mutu dan bila perlu melibatkan bagian Pengawasan Mutu.
15. Akses ke bangunan dan fasilitas produksi hendaklah dibatasi hanya untuk personil
yang berwenang.

4
16. Pada umumnya pembuatan produk non obat hendaklah dihindarkan dibuat di area
dan dengan peralatan yang khusus untuk produk obat.

2.2. Validasi
Studi validasi hendaklah memperkuat pelaksanaan CPOB dan dilakukan
sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan. Hasil validasi dan kesimpulan
hendaklah dicatat. Sebelum suatu Prosedur Pengolahan Induk diterapkan, hendaklah
diambil langkah untuk membuktikan prosedur tersebut cocok untuk pelaksanaan
produksi rutin, dan bahwa proses yang telah ditetapkan dengan menggunakan bahan
dan peralatan yang telah ditentukan, akan senantiasa menghasilkan produk yang
memenuhi persyaratan mutu. Hendaklah secara rutin dilakukan validasi dan/atau
peninjauan ulang secara kritis terhadap proses dan prosedur produksi untuk
memastikan bahwa proses dan prosedur tersebut tetap mampu memberikan hasil yang
diinginkan (BPOM, 2006).

2.3. Proses Sterilisasi


Steril adalah kondisi alat, bahan, atau sediaan yang bebas dari segala bentuk
mikroorganisme, baik yang patogen (yang dapat menimbulkan penyakit) maupun
yang nonpatogen, beserta sporanya. Sedangkan sterilisasi adalah suatu proses atau
cara untuk menghilangkan semua bentuk kehidupan, baik bentuk patogen, non
patogen, vegetatif, maupun non vegetatif dari suatu objek atau materia. Hal tersebut
dapay dicapai dengan panas, penyaringan, panas basah, atau dengan cara lain hingga
tidak ada organisme hidup yang tertinggal.
Untuk melakukan suau sterilisasi diperlukan metode sterilisasi. Metode sterilisasi
terbagis atas 3 yaitu secara fisika, kimia, dan mekanis (Lachman, 1994).

N Metode Sterilisasi Prinsip Kerja Mekanisme alat yang

5
o alat mematikan bisa
mikroba disterilisasi

1 Fisik Panas Pemijaran


a Kering

Udara Proses Dimana udara Sterilisasi


Panas setrilisasi panas akan panas kering
panas kering mengoksidasi biasa
terjadi melaui protein pada digunakan
mekanisme mikroorganis untuk alat-
konduksi me sehingga alat atau
panas. Panas mikroorganis bahan
akan me mengalami dengan uap
diabsorbsi dehidrasi dan yang tidak
oleh mati dapat
permuakaan berpenetrasi
luar alat yang secara
disterilkan, mudah atau
lalu merambat untuk
kebagian peralatan
dalam yang terbuat
permukaan dari kaca.
sampai
akhirnya suhu
untuk
sterilisasi
tercapai

6
Panas Air Zat-zat yang Dimana panas Alat-alat
Basah Mendidih tahan akan membuat bedah
pengurain protein
pada penyusun
temperatur tubuh mikroba
diatas kira2- akan
kira 140 ºC mengalami
(284 F) bisa koagulasi dan
dibuat steril denaturasi
dengan cara
pamanasan.
Pemaparan
selama 2 jam
pada
temperatur
180 ºC atau 45
menit pada
260 ºC,
biasanya dapat
diharapkan
memhunuh
spora dan
bentuk
vegetaif dan
semua
mikroorganis
me.

Uap Air Sterilisasi uap Sel bakteri Metode ini

7
Berteka- dilakukan dengan kadar dipergunakan
nan dalam autoklaf air besar untuk larutan
dan umumnya dalam
menggunakan lebih mudah jumlah besar,
uap air dibunuh. alat-alat
dgengan Spora-spora gelas,
tekanan. yang kadar pembalut
Sebagian besar airnya relatif operasi dan
produk rendah lebih instrumen
farmasi tidak sukar
tahan panas dihancurkn.
dan tidak Mekanisme
dapat penghancuran
dipanaskn bakteri
degan aman Beberapa
pada protein
temperatur esensial
yang organisme
dibutuhkan tersebut.
untuk Adanya uap
sterilisasi air yang panas
panas kering dalam sel
(lebih kurang mikroba
170 ºC) karena menimbulkan
tidak kerusakan pada
memungkinka temperatur
n mendaptkan yang relatif
uap air dgn rendah.

8
temperatur Kematian oleh
diatas 100 pemanasan
derajat ºC) pd kering timbul
kondisi karena sel
atmosfer, mikroba
maka tekanan mengalami
digunakan dehidrasi
untuk diikuti dengan
mencapai proses
temperatur oksidasi.
yang tinggi

Pasteu- Terdiri dari Dimana panas Tidak


risasi pemanasan akan membuat mensterilisa
susu pada suhu protein asi alat tapi
62 ºC, penyusun larutan pelat,
mempertahank tubuh mikroba susu, bir dan
an suhu akan asinan pada
tersebut mengalami suhu 62,8 ºC
serlama 30 koagulasi dan selama 8
menit, denaturasi menit atau
kemudian 71,5 ºC
mendinginkan selama 15
secepat menit
mungkin.
Tyndalisa Pemenasan Sterilisasi Untuk
si matrial yang dilakukan sterilisasi
akan berulang- media peka

9
disterilkan ulang karena panas seperti
selama bakterinya beberapa
beberapa tidak langsung biakan
menit pada mati. mengandung
suhu 100 ºC, Sterililasi zat nitrogen
kemudian pertama spora bersama
didinginkan bakteri tidak gula
pada suhu mati tapi (sekarang
kamar selama diubah dalam tidak
18-24 jam bentuk digunakan
sesudah vegetatif. lagi karena
pemanasan, Sterilisasi memerlukan
merangsang kedua waktu lama).
germinasi. selanjutnya
akan
membunuh
bentuk
vegetatifnya.

Memasak
dengan
bakterisid
a
Radias Menggunakan radiasi Radiasi Digunakan
i energi tinggi yang pengionan untuk
Pengio terpancar dari isotop menghancurka mensterilisas
n radioaktif sapaerti Co-60 n i alat-alat
(sinar gamma) atau yg mikroorganis yang tidak
dihasilkan oleh percepatan me dengan tahan

10
mekanis elektron sampai menghentikan dengan
kecepatan dan energi reproduksi setrilisasi
sangat tinggi (sinar katoda, sebagai akibat menggunaka
sinar beta) mutasi letal. n panas.
Mutasi ini
diakibatkan
oleh tranfer
energi sinar
radiasi
menjadi
molekul, di
mana panjang
gelombang
UV 200-310
nm dan
panjang
gelombang
efektif yang
digunakan
adalah 265
nm.

2 Kimi Bahan
a Kimia
Gas Bahan yang Etilen oksida Etilen
akan dianggap oksida
dietrilisasi di menghasilkan dipakai
dalam ruangan efek letal secara luas
yang terhadap terhadap

11
dipaparkan mikroorganis bahan
dalam me dengan plastik,
kelembapan mengalkilasi barang-
relatif sampai metabolit barang dari
98% selama esensial yang karet, dan
60 menit atau terutama alat-alat
lebih. mempengaruh optik yang
Kemudian i proses halus,
ditempatkan reproduktif. perangkat
dalam ruang Alkilasi ini parenteral,
yang sudah terjadi dengan jarum
dipanaskan menghilangka suntik, alat
sampai kira- n hidrogen suntik
kira aktif pada plastik, dan
kira 55 0C gugus beberapa
(131 0F) dan sulhidril, bahan terkait
dipasang suatu amino, yangtertutup
vakum awal karboksil, atau dalam
kira-kia 27 hidroksil kemasan
inci hg. Etilen dengan satu distribusi
oksida radikal dngan kardus
kemudian hidroksietil kertas atau
dialirkan metabolit yang plastik.
bersama uap telah diubah
air untuk tidak tersedia
membentuk bagi
kelembabapan mikroorganis
relatif 50-60 % me, sehingga

12
dalam tekanan mikroorganis
yang me ini mati
diperlukan tanpa
untuk reproduksi.
membuat
konsentrasi
etilen oksida
yang
diinginkan

3 Meka Filtrasi Larutan Memisahkan Metode ini


-nik dialirkan partikel- tidak
melalui partikel, mensterilisas
serangkaian termasuk i alat, tetapi
dua penyaring mikroorganis bahan-bahan
dengan me dari berupa
prositas 0,2 larutan dan larutan atau
mikron atau gas tanpa gas.
dengan menggunakan
menggunakan panas
penyaring
dengan
porositas 0,1
mikron, karena
penyaring
membran,
terutrama
berfungsi atau
bekerja

13
dengan
mengayak,
maka segala
jenis partikel
dalam larutan
tertahan di
permukaan

2.4. Klasifikasi Ruang Produksi Steril


Pada pembuatan produk steril dibedakan 4 Kelas kebersihan:
1. Kelas A: Zona untuk kegiatan yang berisiko tinggi, misal zona pengisian, wadah
tutup karet, ampul dan vial terbuka, penyambungan secara aseptis. Umumnya
kondisi ini dicapai dengan memasang unit aliran udara laminar (laminar air flow)
di tempat kerja. Sistem udara laminar hendaklah mengalirkan udara dengan
kecepatan merata berkisar 0,36 – 0,54 m/detik (nilai acuan) pada posisi kerja
dalam ruang bersih terbuka. Keadaan laminar yang selalu terjaga hendaklah
dibuktikan dan divalidasi. Aliran udara searah berkecepatan lebih rendah dapat
digunakan pada isolator tertutup dan kotak bersarung tangan.
2. Kelas B: Untuk pembuatan dan pengisian secara aseptis, Kelas ini adalah
lingkungan latar belakang untuk zona Kelas A.
3. Kelas C dan D: Area bersih untuk melakukan tahap proses pembuatan yang
mengandung risiko lebih rendah.
Ruang bersih dan sarana udara bersih diklasifikasikan sesuai dengan EN ISO
14644-1.Klasifikasi hendaklah dibedakan dengan jelas dari pemantauan lingkungan
pada saat operasional. Jumlah maksimum partikulat udara yang diperbolehkan untuk
tiap Kelas kebersihan adalah sebagai berikut:

14
Gambar. Klasifikasi ruang bersih dan sarana udara bersih

2.5. Evaluasi Sediaan Steril


Evaluasi merupakan hal yang sangat penting dilakukan sebelum sediaan
injeksi didistribusikan. Evaluasi dilakukan setelah sediaan disterilkan dan sebelum
wadah dipasang etiket dan dikemas. Evaluasi terdiri atas:
1. Evaluasi Fisika
a. Penetapan pH .   (FI ed. IV, hal 1039-1040)
b. Bahan Partikulat dalam Injeksi  <751>  ( FI> ed IV, hal. 981-984).
c. Penetapan Volume Injeksi Dlam Wadah <1131>  (FI ed. IV Hal 1044).
d. Uji Keseragaman Bobot dan Keseragaman Volume (FI ed III hal.   19)
e. Uji Kejernihan Larutan  (FI ED. IV, hal 998)
f. Uji Kebocoran ( Lachman, 1994). Pada pembuatan kecil-kecilan hal ini dapat
dilakukan dengan mata tetapi untuk produksi skala besar hal ini tidak
mungkin dikerjakan. Wadah-wadah takaran tunggal yang masih panas setelah
selesai disterilkan dimasukkan kedalam larutan biru metilen 0,1%. Jika ada
wadah-wadah yang bocor maka larutan biru metilen akan dimasukkan
kedalamnya karena perbedaan tekanan di luar dan di dalam wadah tersebut.
Cara ini tidak dapat dilakukan untuk larutan-larutan yang sudah berwarna.
Wadah-wadah takaran tunggal disterilkan terbalik, jika ada kebocoran maka
larutan ini akan keluar dari dalam wadah. Wadah-wadah yang tidak dapat
disterilkan, kebocorannya harus diperiksa dengan memasukkan wadah-wadah

15
tersebut ke dalam eksikator yang divakumkan. Jika ada kebocoran akan
diserap keluar.
g. Uji Kejernihan dan Warna ( Lachman, 1994): Umumnya setiap larutan suntik
harus jernih dan bebas dari kotoran-kotoran. Uji ini sangat sulit dipenuhi bila
dilakukan pemeriksaan yang sangat teliti karena hampir tidak ada larutan
jernih. Oleh sebab itu untuk uji ini kriterianya cukup jika dilihat dengan mata
biasa saja yaitu menyinari wadah dari samping dengan latar belakang
berwarna hitam dan putih. Latar belakang warna hitam dipakai untuk
menyelidiki kotoran-kotoran berwarna muda, sedangkan latar belakang putih
untuk menyelidiki kotoran-kotoran berwarna gelap.
2. Evaluasi Biologi
a. Uji Efektivitas Pengawet Antimikroba <61> (FI ed IV, HAL 854-855)
b. Uji Sterilitas  <71> (FI ed. IV, HAL 855-863)
c. Uji Endotoksin Bakteri <201> (FI ed. IV, HAL 905-907)
d. Uji Pirogen <231> (FI ed. IV, HAL. 908-909)
e. Uji Kandungan Zat Antimikroba <441> (FI ed. IV, HAL. 939-942)
3. Evaluasi Kimia
a. Uji Identifikasi (Sesuai dengan monografi sediaan masing-masing)
b. Penetapan Kadar (Sesuai dengan monografi sediaan masing-masing

2.6. Alur Produksi Sediaan Injeksi Kering


Injeksi kering atau serbuk injeksi adalah sediaan steril dan bebas substansi
pirogen. Karena ketidakstabilan bahan aktif dalam lingkungan berair, serbuk injeksi
tidak dapat disediakan dalam bentuk larutan. Sehingga ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan pada serbuk ineksi ini antara lain (Bansal, 2002):
1. Serbuk injeksi harus dilarutkan terlebih dahulu dalam pelarut yang sesuai
sebelum digunakan. bentuk sediaannya dapat berupa larutan atau suspense

16
2. Molekul zat aktif yang dibuat dalam bentuk serbuk injeksi termasuk beta
laktam, sefalosporin, dan acyclovir.

Tahapan produksi sediaan injeksi kering adalah sebagai berikut (Bhattacharya


dkk, 2015):
1. Pemantauan Area: kategori sediaan steril injeksi kering membutuhkan
perhatian besar untuk pemantauan areanya. sampling udara biasa dilakukan
dengan metode sampel udara dan metode plate. Metode plate dilakukan
selama 20 sampai 30 menit di area yang berbeda.
2. Decartoning dan cuci : botol / ampul yang decartens di ruang decarten . vial
atau ampul disimpan dimuat pada wadah berukuran berbeda dan kemudian
dicuci dengan mesin jet cuci . Setiap vial atau ampul dicuci tiga kali. Mesin
jet diisi dengan air demineralisasi dan dikompresi dan udara. air
demineralisasi datang dari tangki disimpan di bagian atas konduktivitas
bangunan air.
3. Pengeringan & Sterilisasi : ampul dan vial yang berada pada nampan yang
telah dicuci kemudian disterilisasi panas kering . Setiap sterilisasi panas
kering memiliki kapasitas rata-rata 48 nampan, atau sekitar sekitar 24.000
ampul per proses. Setiap proses terdiri dari 3 tahap yaitu penguapan, sterilisasi
dan pendinginan . Penguapan dilakukan pada suhu 120 ° C ini mengarah ke
pengeringan botol dan ampul. Suhu meningkat menjadi 350 ° dan
dipertahankan selama 45 menit . Ini untuk mencapai sterilisasi botol dan
ampul . Setelah ini vial dan ampul didinginkan
4. Pengisisan dan penyegelan : botol yang telah kering dan steril diletakkan
dalam alat yang kemudian botol tersebut akan diisi dengan volume yang
diperlukan. Selanjutnya dilakukan penyegelan. Seluruh proses dilakukan
dengan menggunakan mesin
5. Pemeriksaan dan Pelabelan : botol ampul yang telah diisi dan disterilisasi
akan dilakukan pemeriksaan visual.

17
6. Pengemasan: vial/ampul dimasukkan dalam dus kecil dan dilengkapi dengan
brosur . kemudian dimasukkan dalam individual box, diberi kartu kontrol dan
dimasukkan ke dalam master box, dan disegel.

Gambar proses produksi sediaan serbuk injeksi

18
Pemantauan Area

Dekortoning vial

Pencucian dan pengeringan vial

Sterilisasi

Penyiapan bahan pengemas

Penyegelan wadah

Pengamatan viual

Labeling dan pengemasan

Gambar Diagram Alir Produksi Injeksi Kering

2.7. Alur Produksi Sediaan Injeksi Cair


Injeksi cair merupakan sediaan steril yang bebas substansi pirogen. Secara
umum, metode pembuatan sediaan steril dibagi menjadi 2 yaitu sterilisasi akhir dan
aseptis. Sterilisasi akhir adalah semua bahan (zat aktif dan tambahan) dicampur,
kemudian disterilisasi di akhir dengan menggunakan metode panas-kering (oven),
panas-lembab (autoklaf), radiasi (sinar gamma/uv) atau filtrasi (penyaringan dengan
menggunakan membran). Metode ini menjadi pilihan utama, dikarenakan metode ini
lebih menjamin sterilitas dari sediaan tersebut dan metode kerjanya lebih mudah
dibandingkan dengan metode aseptis. Sedangkan metode sterilisasi aseptis adalah
metode sterilisasi untuk zat yang tidak tahan panas atau metode sterilisasi akhir tidak
mungkin dilakukan (BPOM RI, 2013).

19
Contoh sediaan yang menggunakan metode sterilisasi aseptis yaitu pembuatan
sediaan vaksin yang mengandung bahan biologis. Kelemahan metode ini yaitu proses
kerjanya rumit dan harus memastikan bahwa seluruh aspek (kebersihan, sirkulasi
udara, suhu, kelembapan, jumlah partikel, dll) memenuhi persyaratan, sehingga
menjamin tidak terjadinya kontaminasi. Pemilihan metode pembuatan sediaan steril
harus disesuaikan dengan sifat dan stabilitas dari zat aktif.

Tahapan produksi sediaan injeksi cair, yaitu:


1. Penyiapan bahan pengemas
2. Pencucian dan Sterilisasi wadah
Botol/ampul dicuci dan disterilkan dalam satu rangkaian alat/mesin otomatis
dengan ban berjalan. Sedangkan untuk tutup karet (vial) dicuci dengan
pengocokkan mekanik dalam suatu tangki yang berisi larutan deterjen panas
yang dilanjutkan dengan pembilasan menggunakan air untuk injeksi dan
disterilkan dalam autoklaf.
3. Penyiapan bahan baku
4. Sterilisasi bahan baku
Sterilisasi bahan baku harus disesuaikan dengan sifat dan stabilitas dari bahan
baku yang akan dilakukan sterilisasi. Hal ini sangat penting karena untuk
menjamin bahwa sediaan yang akan dibuat bersih dari kontaminasi
mikroorganisme.
5. Pencampuran produk
Produk dicampur pada kondisi lingkungan tertentu. Preparat steril dibuat
dengan persyaratan khusus agar memperkecil resiko pencemaran mikroba.
Personil yang bekerja di area bersih dan steril harus dipilih dengan seksama
untuk memastikan bahwa personil tersebut dapat bekerja dengan disiplin, tidak
menderita penyakit atau dalam kondisi kesehatan yang dapat menimbulkan
bahaya bagi produk.
6. Penyaringan larutan

20
7. Pengisian
Pengisian larutan steril dilakukan secara otomatis dengan menggunakan mesin
pengisi. Mesin ini harus di desain secara khusus agar dapat memberikan
ketepatan/keakuratan volume larutan yang akan diisi ke dalam wadah.
8. Penyegelan wadah
Penyegelan ampul dilakukan dengan menggunakan mesin filling and sealing.
Cara penyegelan ampul yaitu dengan melelehkan leher gelas, sehingga
membentuk segel dengan nyala api gas oksigen bersuhu tinggi. Sedangkan
penyegelan vial dilakukan secara manual dengan menggunakan pinset steril
secara cermat dan hati-hati. Tutup karet pada vial harus cocok dengan mulut
wadah kemudian di-seal dengan alumunium.
9. Pengamatan visual
Pengamatan visual merupakan suatu pengamatan yang menggunakan indra
penglihatan. Pengamatan visual bertujuan untuk mengamati produk jadi dari
suatu sediaan. Hal-hal yang dapat diamati secara visual yaitu kelarutan,
kejernihan serta warna.
10. Pelabelan dan pengemasan
Pelabelan berfungsi untuk menandakan suatu produk agar tidak tertukar dan
memudahkan dalam proses dokumentasi suatu produk. Sedangkan pengemasan
berfungsi untuk membagi dan mengemas produk ruahan menjadi produk jadi.
Pengemasan aseptis harus memenuhi pernyaratan: produk harus steril, wadah
pengemas harus steril, lingkungan tempat pengisian produk ke dalam wadah
harus steril dan wadah pengepak harus rapat agar mencegah terjadinya
kontaminasi. Vial/ampul dimasukkan dalam dus kecil dan dilengkapi dengan
brosur. kemudian dimasukkan dalam individual box, diberi kartu kontrol,
dimasukkan ke dalam master box dan disegel.
11. Produk akhir

21
Gambar Diagram Alir Produksi Injeksi Cair (Sterilisasi Aseptis)

22
2.8. Kualifikasi Tenaga Kerja
Suatu industri farmasi bertanggung jawab menyediakan personil yang sehat,
terkualifikasi dan dalam jumlah yang memadai agar proses produksi dapat berjalan
dengan baik. Semua personil harus memahami prinsip CPOB agar produk yang
dihasilkan bermutu (BPOM, 2009). Kesehatan personil hendaklah dilakukan pada
saat perekrutan, sehingga dapat dipastikan bahwa semua calon karyawan (mulai dari
petugas kebersihan, pemasangan dan perawatan peralatan, personil produksi
dan pengawasan hingga personil tingkat manajerial) memiliki kesehatan fisik dan
mental yang baik sehingga tidak akan berdampak pada mutu produk yang dibuat. Di
samping itu hendaklah dibuat dan dilaksanakan program pemeriksaan kesehatan
berkala yang mencakup pemeriksaan jenis-jenis penyakit yang dapat berdampak pada
mutu dan kemurnian produk akhir. Untuk masing-masing karyawan hendaklah ada
catatan tentang kesehatan mental dan fisiknya (BPOM, 2009).
Dalam kualifikasi dan pengalaman personil yang diperlukan untuk tiap posisi
hendaklah ditetapkan secara tertulis yang disimpan oleh bagian SDM, tapi juga dapat
ditampilkan pada uraian tugas masing-masing (BPOM, 2009). Jumlah personil yang
memadai sangat mempengaruhi proses produksi. Kekurangan jumlah personil
cenderung mempengaruhi kualitas obat, karena tugas akan dilakukan secara tergesa-
gesa dengan segala akibatnya. Di samping itu, kekurangan jumlah karyawan biasanya
mengakibatkan kerja lembur sering dilakukan yang dapat menimbulkan kelelahan
fisik dan mental baik  bagi operator ataupun supervisor atau malahan bagi personil
pada tingkat lebih atas yang melakukan evaluasi dan/atau mengambil keputusan
(BPOM, 2009).
Kategori personil kunci bergantung pada kebijakan perusahaan/industri
apakah terbatas hanya pada Kepala Bagian Produksi, Kepala Bagian Pengawasan
Mutu dan Kepala Bagian Manajemen Mutu (Pemastian Mutu). Industri dapat
menentukan posisi lain yang lebih tinggi, sama atau lebih rendah dicakup dalam
kategori personil kunci. Yang harus dipertahankan adalah semua Kepala Bagian

23
Produksi dan Kepala Bagian Manajemen Mutu (Pemastian Mutu)/Kepala Bagian
pengawasan Mutu harus independen satu terhadap yang lain (BPOM, 2009).
Jumlah karyawan di semua tingkatan hendaklah cukup serta memiliki
pengetahuan, keterampilan dan kemampuan sesuai dengan tugasnya. Mereka
hendaklah juga memiliki kesehatan mental dan fisik yang baik sehingga mampu
melaksanakan tugasnya secara profesional dan sebagaimana mestinya. Mereka
hendaklah mempunyai sikap dan kesadaran tinggi untuk mewujudkan CPOB (BPOM,
2001).
Dalam banyak hal, mutu produksi dalam satu bagian mempunyai pengaruh
yang penting bagi bagian pekerjaan lainnya, karena itu karyawan harus dilatih supaya
mengerti keterkaitan seperti itu. Melatih karyawan harian dalam lingkungan
pembuatan sangat penting, karena karyawan mendapatkan dirinya dalam lingungan
yang relatif teknis, berurusan dengan bahan kimia, dan bekerja menggunakan sistem
berat dan ukuran yang belum biasa bagi mereka. Pelatihan buat karyawan juga
berguna untuk memberikan pengetahuan tentang perkembangan yang terjadi,
pengetahuan tentang alat baru, meningkatkan kemampuan kinerja, da sbagainya
(Dhadhang, 2009).
Hal yang perlu diperhatikan dalam personalia:
 Setiap bagian dalam organisasi perusahaan, dipimpin oleh orang yang berlainan.
Mereka tidak boleh mempunyai kepentingan lain diluar organisasi pabrik yang
dapat membatasi tanggungjawabnya atau dapat menimbulkan pertentangan
kepentingan pabrik dan finansial.
 Manajer produksi dan pengawasan mutu haruslah seorang apoteker yang cakap,
terlatih, dan berpengalaman di bidang farmasi dan keterampilan dalam
kepemimpinan.
 Setiap karyawan atau mereka yang secara langsung ikut serta dalam kegiatan
pembuatan obat, hendaklah mengikuti latihan mengenai prinsip CPOB.

24
 Setelah pelatihan, dinilai prestasi karyawan apakah telah memiliki kualifikasi
yang memadai dalam melaksanakan tugas yang akan diberikan atau tidak.

2.8.1. Prinsip
 Industi farmasi bertanggung jawab untuk menyediakan personil yang
terkualifikasi dalam jumlah yang memadai untuk melaksanakan semua tugas.
Seluruh personil hendaklah memahami prinsip CPOB dan memperoleh pelatihan
awal dan berkesinambungan, termasuk instruksi mengenai hygiene yang
berkaitan dengan pekerjaan (BPOM, 2006).
 Industri farmasi hendaklah memiliki personil yang terkualifikasi
dan berpengalaman dan praktis dan dalan jumlah yang memadai (BPOM, 2006).
 Industri farmasi harus memiliki struktur organisasi. Tugas spesifik dan
kewenangan dari personil pada posisi penanggung jawab hendaklah dicantumkan
dalam uraian tugas tertulis. Tugas mereka boleh didelegasikan kepada wakil yang
ditunjuk serta memiliki tingkat kulifikasi yang memadai (BPOM, 2006).

2.8.2. Personil Kunci


Personil kunci mencangkup kepala bagian produksi, kepala bagian
Pengawasan Mutu dan kepala bagian Menajemen Mutu (Pemastian Mutu). Posisi
utama di jabat oleh personil purna waktu (BPOM, 2006).

2.8.3. Organisasi, Kualifikasi dan Tanggung Jawab


Struktur organisasi hendaklah sedemikian rupa sehingga bagian produksi,
menajemen mutu (Pemastian Mutu)/pengawasan mutu dipimpin oleh orang berbeda
serta tidak saling bertanggung jawab satu terhadap yang lain (BPOM, 2006). Kepala
bagian produksi hendaklah seorang apoteker yang terdaftar dan terkualifikasi,
memperoleh pelatrihan yang sesuai, memiliki pengalaman praktis yang memadai
dalam bidang pembuatan obat dan keterampilan menejerial sehingga memungkinkan

25
untuk melaksakan tugas secara professional. Kepala bagian produksi hendaklah diberi
kewenangan dan tanggung jawab.
1. Memastikan bahwa obat di produksi dan di simpan sesuai prosedur agar
memenuhi persyaratan. Mutu yang di tetapkan.
2. Memberikan persetujuan petunjuk kerja yang terkait dengan produksi dan
memastikan bahwa petunjuk kererja di terapkan secara tepat.
3. Memastikan bahwa catatan produksi telah di evaluasi dan ditanda tangani oleh
kepala bagian produksi sebelum di serahkan kepada kepala menejemen mutu
(pemastian mutu).
4. Memeriksa pemeliharaan bangunan dan fasilitas serta peralatan di bagian
produksi.
5. Memastikan bahwa validasi yang sesuai telah di laksanakan.
6. Memastikan bahwa pelatihan awal dan berkesinambungan bagi personil dan
depertemennya dilaksanakan dan diterapkan sesuai kebutuhan (BPOM, 2006).

Kepala Bagian Pengawasan Mutu hendaklah seorang Apoteker. Kepala


Bagian Pengawasan Mutu memiliki wewenang dan tanggung jawab:
1. Menyetujui menolak bahan awal, bahan pengemas, produk antara, produk
ruahan dan produk jadi.
2. Memastikan bahwa seluruh pengujian yang diperlukan telah dilaksanakan.
3. Memberi persetujuan terhadap spesifikasi, petunjuk kerja pengambilan
contoh, metode pengujian dan prosedur  pengawasan mutu lain.
4. Memberi persetujuan dan memantau semua kontrak analisis.
5. Memeriksa pemeliharaan bangunan dan fasilitas serta peralatan dibagian
pengawasan mutu.
6. Memastikan bahwa validasi yang sesuai telah dilaksanakan.
7. Memastikan bahwa pelatihan awal dan berkesinambungan bagi personil di
departemennya dilaksanakan dan diterapkan sesuai kebutuhan (BPOM, 2006).

26
Kepala Bagian Manajemen Mutu (Pemastian Mutu) hendaklah seorang
Apoteker yang terdaftar dan terkualifikasi, memiliki pengalaman praktis yang
memadai dan kemampuan manajerial.
1. Memastikan penerapan (dan bila diperlukan membentuk) sistem mutu.
2. Ikut serta dalam atau memprakarsai pembentukan acuan mutu perusahaan
3. Memprakarsai dan mengawasi audit internal atau inspeksi diri berkala
4. Melakukan pengawasan terhadap fungsi bagian PengawasanMutu
5. Memprakarsai dan berpartisipasi dalam pelaksanaan audit eksternal (audit
terhadap pemasok)
6. Memprakarsai dan berpartisipasi dalam program validasi
7. Memastikan pemenuhan persyaratan teknik atau peraturan Otoritas
Pengawasan Obat (OPO) yang berkaitan dengan mutu produk jadi
8. Mengevaluasi/mengkaji catatan bets
9. Meluluskan atau menolak produk jadi untuk penjualan dengan
mempertimbangkan semua faktor terkait (BPOM, 2006).

Masing-masing kepala bagian Produksi, Pengawasan Mutu (Pemastian Mutu)


memiliki tanggung jawab bersama dalam menerapkan semua aspek yang berkaitan
dengan mutu:
1. Otoritas prosedur tertulis dan dokumen lain, termasuk amandemen
2. Pemantauan dan pengendalian lingkungan pembuatan obat
3. Higiene pabrik
4. Validasi proses
5. Pelatihan
6. Persetujuan dan pemantauan terhadap pemasok bahan
7. Persetujuan dan pemantauan terhadap pembuat obat atas dasar kontrak
8. Penetapan dan pemantauan kondisi penyimpanan bahan dan produk
9. Penyimpanan catatan
10. Pemantauan pemenuhan terhadap persyaratan CPOB

27
11. Inspeksi, penyelidikan dan pengambilan sampel
12. Pemantauan faktor yang mungkin berdampak terhadap mutu produk (BPOM,
2006).

2.8.4. Pelatihan
 Industri farmasi hendaklah memberikan pelatihan bagi seluruh personil yang
tugasnya harus berada didalam produksi, gudang penyimpanan atau laboratorium
(termasuk personil teknik perawatan dan petugas kebersihan), dan bagi personil
lain yang kegiatannya dapat berdampak pada mutu produk.
 Disamping pelatihan dasar dalam teori dan praktik CPOB, personil baru
hendaklah mendapat pelatih sesuai dengan tugas yang diberikan. Pelatihan
berkesinambungan hendaklah juga diberikan, dan efektifitas juga  dinilai secara
berkala. Hendaklah tersedia  program pelatihan yang masing masing catatan
pelatih hendaklah disimpan.
 Pelatihan spesifik hendaklah diberikan kepada personil yang berkerja di area
dimana pencemaran merupakan bahaya, misal area bersih atau area penanganan
bahaya berpotensi tinggi toksik atau bersifat sensitif.
 Pengunjungan atau personil yang tidak mendapat pelatihan sebaiknya tidak
masuk area produksi dan laboratorium pengawasan mutu. Bila tidak dapat
dihindarkan hendaklah mereka diberi penjelasan terlebih dahulu, teruatama 
mengenai hygiene perorangan dan pakaian pelindung yang dipersyaratkan serta 
diawasi dengan ketat.
 Konsep pemastian mutu dan semua tindakan yang tepat untuk meningkatkan
pemahaman dan penerapannya hendaklah dibahas secara mendalam selama
pelatihan
 Pelatihan hendaklah diberikan oleh orang yang berkualifikasi.
Seluruh karyawan yang langsung ikut serta dalam kegiatan pembuatan obat
diberikan pelatihan mengenai kegiatan tertentu yang sesuai dengan tugasnya maupun

28
mengenai prinsip CPOB. Pelatihan sesuai tugas yang diberikan, pelatihan
berkesinambungan dan efektifitas penerapan dinilai secara berkala. Pelatihan
diberikan bagi personel yang berada pada:
1. Area produksi
2. Gudang penyimpanan atau Lab.
3. Personel yang kegiatannya berpengaruh pada mutu produk
4. Area dimana pencemaran merupakan faktor resiko, misal pada daerah aseptis.

2.9. Sanitasi dan Higiene


Sanitasi adalah cara pengawasan masyarakat yang menitikberatkan kepada
pengawasan terhadap berbagai faktor lingkungan yang mungkin mempengaruhi
derajat kesehatan masyarakat (Azwar,1998). Sedangkan, Higiene menyangkut dua
aspek yaitumenyangkut individu (personal hygiene) dan menyangkut lingkungan
(environment).  Kebersihan adalah konsep yang berhubungan dengan obat-obatan
serta praktek perawatan pribadi dan profesional terkait dengan sebagian besar aspek
hidup meskipun paling sering dikaitkan dengan kebersihan dan langkah-langkah
pencegahan (Prescott, 2002).
Tingkat sanitasi dan higiene yang tinggi hendaklah diterapkan pada setiap
aspek pembuatan obat. Ruang lingkup sanitasi dan higiene meliputi personil,
bangunan, peralatan dan perlengkapan, bahan produksi serta wadahnya dan segala
sesuatu yang merupakan sumber pencemaran produk. Sumber pencemaran potensial
hendaklah dihilangkan melalui suatu program sanitasidan higiene yang menyeluruh
dan terpadu (BPOM, 2006).

Higiene Perorangan (BPOM, 2006):


a. Setiap personil yang masuk ke area pembuatan hendaklah mengenakan pakaian
pelindung yang sesuai dengan kegiatan yang dilaksanakannya.

29
b. Prosedur higiene perorangan termasuk persyaratan untuk mengenakan pakaian
pelindung hendaklah diberlakukan untuk personil baik karyawan purna waktu,
maupun paruh waktu.
c. Untuk menjamin perlindungan produk dari pencemaran pakaian kerja kotor dan
lap pembersih kotor hendaklah disimpan dalam wadah tertutup hingga saat
pencucian.
d. Program higiene yang rinci dibuat dan diadaptasikan terhadap berbagai kebutuhan
di dalam area pembuatan.
e. Semua personil menjalani pemeriksaan kesehatan pada saat direkrut, sebelum,
dan selama bekerja, dan pemeriksaan secara berkala.
f. Semua personil menerapkan hygiene perorangan yang baik.
g. Tiap personil yang mengidap penyakit atau yang dapat merugikan mutu produk
dilarang menangani bahan awal.
h. Semua personil diperintahkan dan didorong untuk melaporkan kepada atasan
langsung tiap keadaan.
i. Dihindarkan persentuhan langsung antara tangan operator dengan bahan awal.
j. Personil diintruksikan supaya menggunakan sarana mencuci tangan sebelum
memasuki daerah produksi.
k. Merokok, makan, minum, mengunyah, memelihara tanaman, menyimpan
makanan minuman hanya diperbolehkan di area tertentu.
l. Persyaratan khusus untuk pembuatan produk steril dicakup dalam aneks 1.

Sanitasi Bangunan dan Fasilitas (BPOM, 2006):


a. Bangunan yang digunakan untuk pembuatan obat di desain dan di kontruksi
dengan tepat.
b. Hendaklah tersedia dalam jumlah yang cukup, sarana toilet dengan ventilasi yang
baik.
c. Disediakan sarana yang memadai untuk penyimpanan pakaian personil dan milik
pribadinya di tempat yang tepat.

30
d. Penyiapan penyimpanan dan konsumsi dibatasi di area khusus.
e. Sampah tidak boleh dibiarkan menumpuk.
f. Rodentisida, insektisida, agen fumigasi dan bahan sanitasi tidak boleh mencemari
peralatan bahan awal, bahan pengemas, bahan yang sedang diproses.
g. Pada prosedur tertulis untuk pemakaian rodentisida, insektisida, fungisida, agen
fumigasi, pembersih dan sanitasi yang tepat.
h. Prosedur tertulis yang menunjukkan penanggung jawab untuk sanitasi mengenai
jadwal, metode, peralatan, dan bahan pembersih yang harus digunakan.
i. Prosedur sanitasi berlaku untuk pekerjaan yang dilaksanakan oleh kontraktor.
j. Segala praktek tidak higienis di area pembuatan dapat merugikan mutu produk.
k. Persyaratan khusus untuk pembuatan produk steril dicakup dalam aneks1.

Pembersihan dan Sanitasi Peralatan (BPOM, 2006):


a. Setelah digunakan peralatan dibersihkan baik bagian luar maupun dalam sesuai
prosedur.
b. Metode pembersihan dengan cara vakum atau cara basah lebih dianjurkan.
c. Pembersihan dan penyimpanan peralatan yang dapat dipindah-pindahkan dan
penyimpanan bahan pembersih dilaksanakan dalam ruangan terpisah dari ruangan
pengelolaan.
d. Prosedur tertulis yang cukup rinci untuk pembersihan dan sanitasi peralatan yang
digunakan dalam pembuatan obat dibuat divalidasi dan ditaati.
e. Catatan mengenai pelaksanaan pembersihan, sanitasi, sterilisasi, dan inspeksi
sebelum penggunaan peralatan disimpan secara benar.
f. Disinfektan dan deterjen dipantau terhadap pencemaran mikroba.

Validasi Prosedur Pembersian dan Sanitasi (BPOM, 2006):


Prosedur pembersihan, sanitasi dan higiene hendaklah divalidasi dan
dievaluasi secara berkala untuk memastikan evektivitas prosedur memenuhi
persyaratan. Lima hal pokok yang harus diperhatikan, yaitu :

31
(1) Prosedur tertulis tentang operasi standar yang relevan,
(2) Prosedur evaluasi kebersihan alat,
(3) Bagaimana cara menentukan kadar residu,
(4) Nilai batas kadar cemaran, dan
(5) Protokol validasi.

Langkah pelaksanaan validasinya, yaitu:


(1) Membentuk komite validasi yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan
validasi di industry farmasi yang bersangkutan,
(2) Menyusun rencana validasi yaitu dokumen yang menguraikan secara garis besar
pedoman pelaksanaan validasi,
(3) Pelaksanaan validasi, dan
(4) Melaksanakan peninjauan periodik, change control, dan revalidasi.

32
BAB III
KESIMPULAN

3.1. Kesimpulan
Dari pemaparan tersebut, dapat disimpulkan bahwa:
a. Produksi sediaan injeksi kering dilakukan dengan alur pemantauan area,
decartoning, pengeringan dan sterilisasi, pengisian dan penyegelan,
peeriksaan dan pelabelan, diakhiri dengan pengemasan.
b. Produksi sediaan injeksi cair dilakukan dengan alur penyiapan bahan
pengawas, pencucian dan sterilisasi wadah, penyiapan bahan baku,
sterilisasi bahan baku, pencampuran produk, penyaringan larutan,
pengisisan, penyegelan, pengamatan visual, pelabelan dan diakhiri dengan
pengemasan.
c. Persyaratan personalia dalam pembuataan sediaan steril yang utama
adalah kepala bagian produksi, kepala bagian Pengawasan Mutu dan
kepala bagian Menajemen Mutu (Pemastian Mutu). Posisi utama di jabat
oleh personil purna waktu.
d. Penerapan sanitasi dan higiene di industri farmasi harus sesuai dengan
CPOB Indonesia.

33
DAFTAR PUSTAKA

Azwar, Azrul. Dr. 1998. Kesehatan Masyarakat Indonesia. Ikatan Ahli Kesehatan


Masyarakat Indonesia : Jakarta.

Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2001. Pedoman Cara Pembuatan Obat yang
Baik. BPOM. Jakarta.

Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2006. Pedoman Cara Pembuatan Obat yang
Baik. BPOM. Jakarta.

Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2008. Cara Pembuatan Obat yang Baik.
BPOM. Jakarta.

Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2009. Pedoman Cara Pembuatan Obat yang
Baik. BPOM. Jakarta.

Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2013. Petunjuk Operasional Penerapan


Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik Aneks 1 Pembuatan Produk
Steril. BPOM RI, Jakarta, Indonesia.

Bansal, A.K., 2002, Product Development Issues of Powders for Injection,


Pharmaceutical Technology

Bhattacharya, S.S., Bharti, N., dan Banerjee, S., 2014, Process Validation of
Ceftriaxone and Sulbactam Dry Powder Injection, J Chem Eng Process
Technol, 5-211

Dhadhang, K. 2009. Teknologi Sediaan Farmasi. Graha Ilmu. Purwokerto.

Dirjen POM. 1979. Farmakope Indonesia edisi III. Jakarta : Departemen Kesehatan
RI.

Dirjen POM. 1995. Farmakope Indonesia edisi IV. Jakarta : Departemen Kesehatan
RI.

Lachman dkk. 1994. Teori Dan Praktek Farmasi Industri. Jakarta : UI Press

Prescott, L.M., Harley, J.P. dan Klein, D.A. 2002. Microbiology. fifth edition. Mc
Graw Hill: New York.

Priyambodo, B. 2007. Manajemen Farmasi Industri. Edisi Pertama. Global Pustaka


Utama. Yogyakarta.

34

Anda mungkin juga menyukai