Anda di halaman 1dari 117

MODUL

PRAKTIK LABORATORIUM KMB 3


PROGRAM SARJANA KEPERAWATAN

1
2
3
VISI MISI PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN

VISI PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


Menjadi penyelenggara pendidikan profesional keperawatan yang terkemuka di
Jawa Tengah, menghasilkan lulusan berwawasan global dan unggul di
pelayanan keperawatan komunitas pada tahun 2032.

MISI
1. Penyelenggara pendidikan Program Studi Profesi Ners yang professional
dalam bentuk pembelajaran dengan model Students Centered. Problem
Based Leraning, Integrasi dan Interpersonal, Community Based Efective
dan Systematic Approach (SPICES) dengan teknologi informasi yang
inovatif dan unggul dalam pelayanan keperawatan dengan masalah
kesehatan di pedesaan.
2. Pelaksanaan penelitian oleh seluruh civitas akademik berbasiskan Evidence
Based Practice (EBP) khususnya dalam masalah kesehatan pedesaan.
3. Pelaksanaan pengabdian masyarakat oleh seluruh civitas akademik sesuai
dengan kebutuhan masyarakat untuk mengatasi masalah-masalah kesehatan,
khususnya masalah kesehatan di pedesaan.
4. Peningkatan jejaring kerjasama yang luas baik secara nasional maupun
internasional yang berfokus dalam pelayanan keperawatan dengan masalah
kesehatan di pedesaan.
5. Penggunaan teknologi informasi yang inovatif dan penggunaan Bahasa
Inggris dan bahasa internasional lainnya untuk membekali lulusan dalam
pencapaian kompetensi keperawatan professional yang berwawasan global.

KATA PENGANTAR

4
Puji syukur penulis panjatkan kepada Alloh SWT yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis untuk menyusun dan merancang , modul
Praktikum KMB 3. Penyusunan modul ini semoga dapat membantu mahasiswa
untuk mengikuti kegiatan pembelajaran, melatih pola berpikir kritis dan logis,
melatih ketrampilan dan melatih sikap profesional melalui berbagai
pengalaman belajar yang bertujuan memberikan kesempatan kepada
mahasiswa untuk menerapkan ilmu pengetahuan, sikap, dan ketrampilan yang
didapat melalui pengalaman belajar ceramah, diskusi, dan laboratorium. Buku
panduan ini dilengkapi dengan ringkasan teori serta SOP (Standar Operasional
Prosedur), sehingga pengajar dan mahasiswa mempunyai bahan acuan dalam
pembelajaran. Pendekatan yang diterapkan dalam melaksanakan praktek (skill
lab) adalah pendekatan SCL (Student Center Learning), dimana mahasiswa
dituntut secara aktif mencapai kompetensi yang diharapkan. Penyusun
berharap bahwa buku panduan ini dapat dipergunakan bersama dengan buku
panduan lain untuk menjadi pegangan dalam menempuh proses pembelajaran
di Universitas Harapan Bangsa.
Buku ini masih jauh dari kesempurnaan, sehingga penulis
mengharapkan masukan dan saran dari pengguna maupun pembaca untuk
kemajuan proses pembelajaran Universitas Harapan Bangsa.

Purwokerto, 2018
Penyusun

5
DAFTAR ISI

Halaman Judul 1
SK Modul 2
Lembar Pengesahan 4
Visi Misi Program Studi Sarjana Keperawatan 5
Kata Pengantar 6
Daftar Isi 7
BAB I Materi Modul ( 8-116
A. Modul 1 Pemeriksaan Pendengaran
B. Modul 2 Pemeriksaan Neurologis
C. Modul 3 Pemeriksaan Kekuatan Otot
D. Modul 4 ROM
E. Modul 5 Mobility dan Penggunaan Alat Bantu
Jalan
F. Modul 6 Perawatan Luka
Daftar Pustaka 117

6
BAB I
MATERI MODUL

Program Studi : Sarjana Keperawatan Pertemuan ke : 3,7,9


Nama Mata Kuliah : Keperawatan Medikal
Bedah III

MODUL 1
PEMERIKSAAN PENDENGARAN

A. CASE STUDY
Laki-lak usia 45 tahun mengeluh sejak beberapa hari ini bila tidur ke sisi kiri
telinga terasa sakit dan sering terasa gemrebeg. Pendengaran juga jadi menurun.
Lakukan pemeriksaan pendengaran sederhana.

B. URAIAN MATERI
1. Anatomi Telinga
a. Anatomi Telinga Luar
Telinga luar terdiri dari daun telinga (aurikula), liang telinga
(meatus acusticus eksterna) sampai membran timpani bagian lateral.
Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit yang berfungsi
mengumpulkan gelombang suara, sedangkan liang telinga
menghantarkan suara menuju membrana timpani.
Liang telinga berbentuk huruf S dengan panjang 2,5-3 cm.
Sepertiga bagian luar terdiri dari tulang rawan yang banyak
mengandung kelenjar serumen dan rambut, sedangkan dua pertiga
bagian dalam terdiri dari tulang dengan sedikit serumen.

b. Anatomi Telinga Tengah


Telinga tengah berbentuk kubus yang terdiri dari membrana
timpani, cavum timpani, tuba eustachius, dan tulang pendengaran.
Bagian atas membran timpani disebut pars flaksida (membran

7
Shrapnell) yang terdiri dari dua lapisan,yaitu lapisan luar merupakan
lanjutan epitel kulit liang telinga dan lapisan dalam dilapisi oleh sel
kubus bersilia. Bagian bawah membran timpani disebut pars tensa
(membran propria) yang memiliki satu lapisan di tengah, yaitu lapisan
yang terdiri dari serat kolagen dan sedikit serat elastin.
Tulang pendengaran terdiri atas maleus (martil), inkus (landasan),
dan stapes (sanggurdi) yang tersusun dari luar ke dalam seperti
rantai yang bersambung dari membrana timpani menuju rongga
telinga dalam. Prosesus longus maleus melekat pada membran
timpani, maleus melekat pada inkus, dan inkus melekat pada stapes.
Stapes terletak pada tingkap lonjong yang berhubungan dengan koklea.
Hubungan antara tulang-tulang pendengaran merupakan persendian.
Tuba eustachius menghubungkan daerah nasofaring dengan telinga
tengah.
Prosessus mastoideus merupakan bagian tulang temporalis yang
terletak di belakang telinga. Ruang udara yang berada pada bagian
atasnya disebut antrum mastoideus yang berhubungan dengan rongga
telinga tengah. Infeksi dapat menjalar dari rongga telinga tengah
sampai ke antrum mastoideus yang dapat menyebabkan mastoiditis .

c. Anatomi Telinga Dalam


Telinga dalam terdiri dari dua bagian, yaitu labirin tulang dan
labirin membranosa. Labirin tulang terdiri dari koklea, vestibulum, dan
kanalis semisirkularis, sedangkan labirin membranosa terdiri dari
utrikulus, sakulus, duktus koklearis, dan duktus semisirkularis. Rongga
labirin tulang dilapisi oleh lapisan tipis periosteum internal atau endosteum,
dan sebagian besar diisi oleh trabekula (susunannya menyerupai spons).
Koklea (rumah siput) berbentuk dua setengah lingkaran. Ujung
atau puncak koklea disebut helikotrema, menghubungkan perilimfa skala
vestibuli (sebelah atas) dan skala timpani (sebelah bawah). Diantara
skala vestibuli dan skala timpani terdapat skala media (duktus koklearis).
Skala vestibuli dan skala timpani berisi perilimfa dengan konsentrasi K4
8
mEq/l dan Na 139 mEq/l, sedangkan skala media berisi endolimfa
dengan konsentrasi 144 mEq/l dan Na 13 mEq/l. Hal ini penting untuk
pendengaran. Dasar skala vestibuli disebut membrana vestibularis
(Reissner’s Membrane) sedangkan dasar skala media adalah membrana
basilaris. Pada membran ini terletak organ corti yang mengandung
organel-organel penting untuk mekanisme saraf perifer pendengaran. Organ
Corti terdiri dari satu baris sel rambut dalam yang berisi 3000 sel dan
tiga baris sel rambut luar yang berisi 12000 sel. Ujung saraf aferen dan
eferen menempel pada ujung bawah sel rambut. Pada permukaan sel-sel
rambut terdapat stereosilia yang melekat pada suatu selubung di atasnya
yang cenderung datar, dikenal sebagai membran tektoria. Membran tektoria
disekresi dan disokong oleh suatu panggung yang terletak di medial disebut
sebagai limbus.
Nervus auditorius atau saraf pendengaran terdiri dari dua bagian, yaitu:
nervus vestibular (keseimbangan) dan nervus kokhlear (pendengaran).
Serabut- serabut saraf vestibular bergerak menuju nukleus vestibularis yang
berada pada titik pertemuan antara pons dan medula oblongata, kemudian
menuju cerebelum. Sedangkan, serabut saraf nervus kokhlear mula-mula
dipancarkan kepada sebuah nukleus khusus yang berada tepat dibelakang
thalamus, kemudian dipancarkan lagi menuju pusat penerima akhir dalam
korteks otak yang terletak pada bagian bawah lobus temporalis.

9
Gambar 1 : Anatomi Telinga

2. Fisiologi Pendengaran
Daun telinga mengumpulkan suara dan menyalurkannya ke saluran
telinga luar kemudian membrana timpani bergetar sewaktu terkena getaran
suara. Daerah- daerah gelombang suara yang bertekanan tinggi dan rendah
berselang-seling menyebabkan gendang telinga yang sangat peka tersebut
menekuk keluar masuk seirama dengan frekuensi gelombang suara. Telinga
tengah memindahkan gerakan bergetar membrana timpani ke cairan
di telinga dalam. Pemindahan ini dipermudah oleh tulang-tulang
pendengaran (maleus, inkus, dan stapes) yang berjalan melintasi telinga
tengah. Ketika membrana timpani bergetar sebagai respons terhadap
gelombang suara, rantai tulang-tulang tersebut juga bergerak dengan
frekuensi yang sama, memindahkan frekuensi gerakan tersebut dari
membrana timpani ke jendela oval. Tekanan di jendela oval akibat setiap
getaran yang dihasilkan menimbulkan gerakan seperti gelombang pada
cairan telinga dalam dengan frekuensi yang sama dengan frekuensi
gelombang suara semula. Namun, diperlukan tekanan yang lebih besar

10
untuk menggerakkan cairan. Tekanan tambahan ini cukup untuk
menyebabkan pergerakan cairan koklea (Sherwood L., 2001).

Gerakan cairan di dalam perilimfe ditimbulkan oleh getaran jendela


oval mengikuti dua jalur : (1) gelombang tekanan mendorong
perilimfe pada membrana vestibularis ke depan kemudian mengelilingi
helikotrema menuju membrana basilaris yang akan menyebabkan jendela
bundar menonjol ke luar dan ke dalam rongga telinga tengah untuk
mengkompensasi peningkatan tekanan, dan (2) “jalan pintas” dari skala
vestibuli melalui membrana basilaris ke skala timpani. Perbedaan kedua
jalur ini adalah transmisi gelombang tekanan melalui melalui membrana
basilaris menyebabkan membran ini bergetar secara sinkron dengan
gelombang tekanan (Farrell, 2014).
Organ corti menumpang pada membrana basilaris, sehingga sel-sel
rambut juga bergerak naik turun sewaktu membrana basilaris bergetar.
Rambut-rambut tersebut akan membengkok ke depan dan ke belakang
sewaktu membrana basilaris menggeser posisinya pada membran tektorial
sehingga menyebabkan saluran-saluran ion gerbang-mekanis terbuka dan
tertutup secara bergantian. Hal ini mengakibatkan perubahan potensial
berjenjang di reseptor, yang menimbulkan perubahan potensial berjenjang
di reseptor, sehingga terjadi perubahan pembentukan potensial aksi yang
merambat ke otak. Gelombang suara diterjemahkan menjadi sinyal saraf
yang dipersepsikan otak sebagai sensasi suara (Sherwood L., 2001)

11
Gambar 2 : Transmisi Gelombang Suara (Sherwood L., 2001)

12
13
Gangguan pendengaran atau ketulian dapat bersifat
sementara atau menetap, parsial atau total. Ketulian ada tiga jenis, yaitu
tuli konduktif (hantaran), tuli sensorineural (saraf), dan tuli campuran,
bergantung mekanisme pendengaran yang kurang berfungsi secara adekuat
.
Gangguan pendengaran atau ketulian dibagi menjadi 2 tipe : (1)
disebabkan oleh kerusakan koklea atau nervus auditorius (tuli saraf) dan (2)
disebabkan oleh kerusakan struktur fisik telinga yang menjalarkan suara ke
dalam koklea (tuli konduktif). Jika koklea atau nervus auditorius rusak,
maka seseorang akan mengalami tuli permanen. Sedangkan, jika koklea
dan nervus tetap utuh tetapi sistem tulang pendengaran-timpani telah
hancur atau mengalami ankilosis, gelombang suara masih dapat
dikonduksikan ke dalam koklea melalui konduksi tulang dari
pembangkit suara yang diletakkan pada kepala di atas telinga (Guyton &
Hall, 2008).

3. Gangguan Pendengaran
a. Definisi gangguan Pendengaran
Gangguan pendengaran merupakan istilah yang digunakan untuk
menggambarkan kehilangan pendengaran di satu atau kedua telinga
(WHO,
2006). Gangguan pendengaran adalah perubahan tingkat pendengaran yang
mengakibatkan kesulitan dalam melaksanakan kehidupan normal, biasanya
dalam hal memahami pembicaraan .

Normalnya telinga manusia dapat mendengar suara berfrekuensi


20 -
20000 Hz dengan intensitas dibawah 80 dB. Jika seseorang secara terus-
menerus mendengarkan suara di atas ambang normal, maka akan merusak
fungsi sel-sel rambut sehingga terjadi gangguan pendengaran .

14
b. Klasifikasi Derajat Gangguan Pendengaran
Tabel 1: Klasifikasi derajat gangguan pendengaran menurut ISO
(International Standard Organization) dan ASA
(American Standard Association)

Derajat Gangguan Pendengaran ISO (dB) ASA (dB)


Pendengaran Normal 10-25 10-15
Ringan 26-40 16-29
Sedang 41-55 30-44
Sedang Berat 56-70 45-59
Berat 71-90 60-79
Sangat Berat > 90 > 80

c. Jenis gangguan pendengaran

1) Gangguan Pendengaran Konduktif

Gangguan pendengaran konduktif terjadi apabila terdapat


kerusakan di telinga luar atau telinga tengah sehingga gelombang suara
tidak dapat dihantarkan untuk menggetarkan cairan di telinga dalam
(Sherwood L., 2001)

Gangguan pendengaran konduktif bisa disebabkan oleh gangguan


pada telinga luar atau telinga tengah. Gangguan pada telinga luar yang
dapat menyebabkan tuli konduktif misalnya atresia liang telinga,
sumbatan oleh serumen, otitis eksterna sirkumskripta, osteoma liang
15
telinga. Sedangkan gangguan pada telinga tengah yang dapat
menyebabkan tuli konduktif adalah tuba katar/ sumbatan tuba eustachius,
otitis media, otosklerosis, timpanosklerosis, hemotimpanum, dan dislokasi
tulang pendengaran.

Pada pemeriksaan fisik atau otoskopi dijumpai adanya sekret dalam


kanal telinga luar, perforasi gendang telinga, ataupun keluarnya cairan dari
telinga tengah. Pada tes fungsi pendengaran, yaitu tes berbisik, dijumpai
penderita tidak dapat mendengar suara berbisik pada jarak lima meter dan
sukar mendengar kata-kata yang mengandung nada rendah (Soetirto I.,
Hendarmin H., Bashiruddin J., 2007).

2) Gangguan Pendengaran sensorineural

Pada gangguan pendengaran sensorineural gelombang suara dapat


disalurkan ke telinga dalam, tetapi tidak diterjemahkan menjadi sinyal saraf
yang diinterpretasikan oleh otak sebagai sensasi suara yang disebabkan
adanya kerusakan pada organ Corti (Sherwood L., 2001).

Gangguan pendengaran sensorineural dibagi dua, yaitu gangguan


pendengaran sensorineural koklea dan retrokoklea. Gangguan pendengaran
sensorineural koklea disebabkan oleh aplasia (kongenital), labirinitis
(bakteri/ virus), intoksikasi streptomisin, kanamisin, garamisin,
neomisin,kina, asetosal atau alkohol. Selain itu, bisa juga disebabkan oleh
tuli mendadak (sudden deafness), trauma kapitis, trauma akustik, dan
pajanan bising. Sedangkan gangguan pendengaran sensorineural
retrokoklea disebabkan oleh neuroma akustik, tumor sudut pons

16
serebellum, mieloma multiple, cedera otak, perdarahan otak, dan kelainan
otak lainnya .
Pada pemeriksaan fisik atau otoskopi dijumpai kanal telinga luar
dan selaput gendang telinga tampak normal. Pada tes berbisik dijumpai
penderita tidak dapat mendengar suara berbisik pada jarak lima meter dan
sukar mendengar kata-kata yang mengandung nada tinggi.

Tabel 2: Hasil pemeriksaan pendengaran dengan menggunakan garpu


tala

Tes Rinne Tes Weber Tes Swabach Diagnosis


Positif Tidak ada lateralisasi Sama dengan Normal
pemeriksa
Negatif Lateralisasi ke telinga yang Memanjang Tuli konduktif
sakit
Positif Lateralisasi ke telinga yang Memendek Tuli sensorineural
sehat

Catatan : pada tuli konduktif < 30 dB, Rinne bisa masih positif

3) Gangguan Pendengaran Campuran

Gangguan pendengaran campuran merupakan kombinasi antara


gangguan pendengaran konduktif dan sensorineural. Gejala yang timbul
juga merupakan kombinasi kedua gangguan pendengaran tersebut. Pada
pemeriksaan fisik atau otoskopi dijumpai tanda-tanda seperti gangguan
pendengaran sensorineural. Pada tes berbisik dijumpai penderita tidak
dapat mendengar suara berbisik pada jarak lima meter dan sukar
mendengar kata-kata bernada rendah maupun bernada tinggi. Tes garpu
tala Rinne positif, Weber lateralisasi ke telinga yang sehat, dan Swabach
memendek (Bashiruddin J, 2009).

d. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap gangguan pendengaran

17
Gangguan pendengaran dapat disebabkan oleh pekerjaan
(occupational hearing loss), misalnya akibat kebisingan, trauma akustik,
dapat juga bukan disebabkan oleh pekerjaan (non-occupational hearing
loss). Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap gangguan pendengaran
akibat pekerjaan adalah intensitas suara yang terlalu tinggi, usia karyawan,
gangguan pendengaran yang sudah ada sebelum bekerja, tekanan dan
frekuensi kebisingan, lama masa kerja, jarak dari sumber suara, gaya hidup
pekerja di luar tempat kerja.

4. Pemeriksaan/ Tes Fungsi Pendengaran


Ada beberapa tes yang dapat digunakan dalam menilai fungsi pendengaran.
Salah satu tes yang biasa digunakan di Klinik adalah Tes Bisik dan
Tes Garpu Tala. Tes ini selain mudah dilakukan, tidak rumit , cepat, alat
yang dibutuhkan sederhana juga memberikan informasi yang
terpercaya mengenai kualitas dan kuantitas ketulian.

Test Suara Bisik


Test ini amat penting bagi dokter umum terutama yang bertugas di
puskesmas-puskesmas, dimana peralatan masih sangat terbatas untuk
keperluan test pendengaran. Persyaratan yang perlu diingat dalam
melakukan test ini ialah :
a. Ruangan Test. Salah satu sisi atau sudut menyudut ruangan harus
ada jarak sebesar 6 meter. Ruangan harus bebas dari kebisingan.
Untuk menghindari gema diruangan dapat ditaruh kayu di dalamnya.
b. Pemeriksa. Sebagai sumber bunyi harus mengucapkan kata-kata
dengan menggunakan ucapan kata-kata sesudah expirasi normal. Kata-
kata yang dibisikkan terdiri dari 2 suku kata (bisyllabic) yang terdiri
dari kata-kata sehari-hari. Setiap suku kata diucapkan dengan
tekanan yang sama dan antara dua suku kata bisyllabic “Gajah
Mada P.B.List” karena telah ditera keseimbangan phonemnya untuk
bahasa Indonesia.

18
c. Penderita. Telinga yang akan di test dihadapkan kepada pemeriksa
dan telinga yang tidak sedang ditest harus ditutup dengan kapas atau oleh
tangan si penderita sendiri. Penderita tidak boleh melihat gerakan mulut
pemeriksa.

Cara pemeriksaan.
Sebelum melakukan pemeriksaan penderita harus diberi instruksi yang
jelas misalnya anda akan dibisiki kata-kata dan setiap kata yang didengar
harus diulangi dengan suara keras. Kemudian dilakukan test sebagai berikut
:
a. Mula-mula penderita pada jarak 6 meter dibisiki beberapa kata
bisyllabic. Bila tidak menyahut pemeriksa maju 1 meter (5 meter dari
penderita) dan test ini dimulai lagi. Bila masih belum menyahut
pemeriksa maju 1 meter, dan

demikian seterusnya sampai penderita dapat mengulangi 8 kata-kata dari


10 kata-kata yang dibisikkan. Jarak dimana penderita dapat
menyahut 8 dari 10 kata diucapkan di sebut jarak pendengaran.
b. Cara pemeriksaan yang sama dilakukan untuk telinga yang lain
sampai ditemukan satu jarak pendengaran.
Evaluasi test.
a. 6 meter - normal
b. 5 meter - dalam batas normal
c. 4 meter - tuli ringan
d. 3 – 2 meter - tuli sedang
e. 1 meter atau kurang - tuli berat

Dengan test suara bisik ini dapat dipergunakan untuk memeriksa secara
kasar derajat ketulian (kuantitas). Bila sudah berpengalaman test suara
bisik dapat pula secara kasar memeriksa type ketulian misalnya :
a. Tuli konduktif sukar mendengar huruf lunak seperti n, m, w
(meja dikatakan becak, gajah dikatakan kaca dan lain-lain).

19
b. Tuli sensori neural sukar mendengar huruf tajam yang
umumnya berfrekwensi tinggi seperti s, sy, c dan lain-lain (cicak
dikatakan tidak, kaca dikatakan gajah dan lain-lain).

Test Garpu Tala


Test ini menggunakan seperangkat garpu tala yang terdiri dari 5 garpu tala
dari nada c dengan frekwensi 2048 Hz,1024 Hz, 512Hz,256 Hz dan 128
Hz. Keuntungan test garpu tala ialah dapat diperoleh dengan cepat
gambaran keadaan pendengaran penderita.Kekurangannya ialah tidak
dapat ditentukan besarnya intensitas bunyi karena tergantung cara
menyentuhkan garpu tala yaitu makin keras sentuhan garpu tala makin
keras pula intensitas yang didengar. Sentuhan garpu tala harus lunak tetapi
masih dapat didengar oleh telinga normal. Di poliklinik dapat dilakukan
empat macam test garpu tala yaitu :
a. Test garis
pendengaran
b. Tets Weber
c. Tets Rinne
d. Test Schwabach
Tes garis pendengaran.
Tujuan test ini adalah untuk mengetahui batas bawah dan batas atas
ambang pendengaran. Telinga kanan dan kiri diperiksa secara terpisah.
Cara pemeriksaan.
Semua garpu tala satu demi satu disentuh secara lunak dan diletakkan
kira- kira 2,5 cm di depan telinga penderita dengan kedua kakinya berada
pada garis penghubung meatus acusticus externus kanan dan kiri. Penderita
diinstruksikan untuk mengangkat tangan bila mendengarkan bunyi.Bila
penderita mendengar, diberi tanda (+) pada frekwensi yang bersangkutan
dan bila tidak mendengar diberi tanda (-) pada frekwensi yang
bersangkutan.

20
Contoh hasil pemeriksaan Garis
pendengaran : Ka Frekwensi
Ki
- 2.048 +
- 1.024 +
- 512 +
- 256 -
+ 128 -

telinga kanan tidak mendengar frekwensi 2. 048 Hz dan 1. 024Hz


sedang frekwensi-frekwensi lain dapat didengar, telinga kiri tidak
mendengar frekwensi 128 Hz dan 256 Hz, sedangkan frekwensi-
frekwensi lain dapat didengar.
Evaluasi test garis pendengaran. Pada contoh di atas telinga kanan
batas atasnya menurun berarti telinga kanan menderita tuli
sensorineural. Pada telinga kiri batas bawahnya meningkat berarti
telinga kiri menderita tuli konduktif.

Test Weber.
Prinsip test ini adalah membandingkan hantaran tulang telinga kiri
dan kanan. Telinga normal hantaran tulang kiri dan kanan akan sama.
Cara pemeriksaan. Garpu tala 256 Hz atau 512 Hz yang telah disentuh
diletakkan pangkalnya pada dahi atau vertex. Penderita ditanyakan apakah
mendengar atau tidak. Bila mendengar langsung ditanyakan di telinga
mana didengar lebih keras. Bila terdengar lebih keras di kanan disebut
lateralisasi ke kanan.
Evaluasi Tets Weber. Bila terjadi lateralisasi ke kanan maka ada beberapa
kemungkinan
1) Telinga kanan tuli konduktif, kiri normal
2) Telinga kanan tuli konduktif, kiri tuli sensory neural
3) Telinga kanan normal, kiri tuli sensory neural

21
4) Kedua telinga tuli konduktif, kanan lebih berat
5) Kedua telinga tuli sensory neural, kiri lebih berat
Dengan kata lain test weber tidak dapat berdiri sendiri oleh karena tidak
dapat menegakkan diagnosa secara pasti.

Test Rinne.
Prinsip test ini adalah membandingkan hantaran tulang dengan hantaran
udara pada satu telinga. Pada telinga normal hantaran udara lebih panjang
dari hantaran tulang. Juga pada tuli sensorneural hantaran udara lebih
panjang daripada hantaran tulang. Dilain pihak pada tuli konduktif hantaran
tulang lebih panjang daripada hantaran udara.
a. Cara pemeriksaan. Garpu tala 256 Hz atau 512 Hz disentuh secara
lunak pada tangan dan pangkalnya diletakkan pada planum mastoideum
dari telinga yang akan diperiksa. Kepada penderita ditanyakan apakah
mendengar dan sekaligus di instruksikan agar mengangkat tangan bila
sudah tidak mendengar. Bila penderita mengangkat tangan garpu tala
dipindahkan hingga ujung bergetar berada kira-kira 3 cm di depan
meatus akustikus eksternus dari telinga yang diperiksa. Bila penderita
masih mendengar dikatakan Rinne (+). Bila tidak mendengar dikatakan
Rinne (-).
b. Evaluasi test rinne. Rinne positif berarti normal atau tuli
sensorineural. Rinne negatif berarti tuli konduktif.
c. Rinne Negatif Palsu. Dalam melakukan test rinne harus selalu hati-
hati dengan apa yang dikatakan Rinne negatif palsu. Hal ini terjadi
pada tuli sensorineural yang unilateral dan berat.
Pada waktu meletakkan garpu tala di Planum mastoideum getarannya
di tangkap oleh telinga yang baik dan tidak di test (cross
hearing). Kemudian setelah garpu tala diletakkan di depan
meatus acusticus externus getaran tidak terdengar lagi sehingga
dikatakan Rinne negatif

Test Schwabach.

22
Prinsip tes ini adalah membandingkan hantaran tulang dari
penderita dengan hantaran tulang pemeriksa dengan catatan bahwa telinga
pemeriksa harus normal.
a. Cara pemeriksaan. Garpu tala 256 Hz atau 512 Hz yang telah
disentuh secara lunak diletakkan pangkalnya pada planum mastoiedum
penderita. Kemudian kepada penderita ditanyakan apakah mendengar,
sesudah itu sekaligus diinstruksikan agar mengangkat tangannya bila
sudah tidak mendengar dengungan. Bila penderita mengangkat tangan
garpu tala segera dipindahkan ke planum mastoideum pemeriksa. Ada 2
kemungkinan pemeriksa masih mendengar dikatakan schwabach
memendek atau pemeriksa sudah tidak mendengar lagi. Bila
pemeriksa tidak mendengar harus dilakukan cross yaitu garpu tala
mula-mula diletakkan pada planum mastoideum pemeriksa kemudian
bila sudah tidak mendengar lagi garpu tala segera dipindahkan ke
planum mastoideum penderita dan ditanyakan apakah penderita
mendengar dengungan. Bila penderita tidak mendengar lagi
dikatakan schwabach normal dan bila masih mendengar dikatakan
schwabach memanjang.
b. Evaluasi test schwabach
1) Schwabach memendek berarti pemeriksa masih
mendengar dengungan dan keadaan ini ditemukan pada tuli
sensory neural
2) Schwabach memanjang berarti penderita masih
mendengar dengungan dan keadaan ini ditemukan pada tuli
konduktif
3) Schwabach normal berarti pemeriksa dan penderita sama-sama
tidak mendengar dengungan. Karena telinga pemeriksa normal
berarti telinga penderita normal juga.

23
C. STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR

FASE PRA INTERAKSI KOMPETEN


Kompeten Tidak Ket
Kompeten
1. Siapkan diri perawat
2. Cek rekam medic pasien, identifikasi
tindakan pemeriksaan pada rencana tindakan
3. Cuci Tangan

24
4. Siapkan alat
a. Garpu tala
b. Alat tulis
FASE ORIENTASI KOMPETEN
Kompeten Tidak Ket
Kompeten
1. Ucapkan salam
2. Perkenalkan diri
3. Identifikasi min 2 identitas pasien (untuk
pasien safety)
4. Jelaskan maksud dan tujuan tindakann
5. Jelaskan prosedur
6. Menanyakan kesiapan pasien
FASE KERJA KOMPETENTEN
Kompeten Tidak Ket
Kompeten

A. TES BISIK
1) Menerangkan cara dan tujuan pemeriksaan
2) Mempersiapkan alat dan bahan yang akan
digunakan untuk pemeriksaan
3) Mengatur posisi duduk dengan pasien
4) Dengan menggunakan sisa udara
ekspirasi pemeriksa membisikkan
beberapa kata bisyllabic pada jarak 6 meter
5) ila tidak menyahut pemeriksa maju 1
meter (5 meter dari penderita) dan test ini
dimulai lagi. Bila masih belum menyahut
pemeriksa maju 1 meter, dan demikian
seterusnya sampai penderita dapat
mengulangi 8 kata-kata dari 10 kata- kata
yang dibisikkan.
6) Catat hasil yang diperoleh dan
interpretasinya.
B. TES GARPU TALA
1) Menerangkan cara dan tujuan pemeriksaan
2) Mempersiapkan alat yang akan digunakan
untuk pemeriksaan
3) Mengatur posisi duduk dengan pasien

25
5. Tes Garis Pendengaran
a) Getarkan garpu dengan lembut,
kemudian posisikan kira-kira 2,5– 3 cm
di depan telinga penderita
b) Penderita diinstruksikan untuk
mengangkat tangan bila mendengar
bunyi dari garpu tala
c) Pindahkan garpu tala ke depan telinga
yang sedang diperiksa bilapenderita
sudah tidak mendengar
d) Tes dilakukan pada kedua telinga
e) Catat hasil yang diperoleh kemudian
interpretasikan
f) Lakukan mulai dari gapu tala frekwensi
rendah sampai tinggi
6. Tes Rinne
a) Getarkan garpu tala frekwensi 256 atau
512 Hz dengan lembut.
b) Letakkan pada planum mastoid
Tes dilakukan pada kedua telinga
c) Penderita diinstruksikan untuk
Catat hasil yang diperoleh kemudian
mengangkat tangan bila sudah tidak
interpretasikan
mendengar bunyi dari garpu tala atau
sebaliknya
d) Pindahkan garpu tala ke depan telinga
7. Tes yang sedang diperiksa bila penderita
Weber
Getarkansudah tidak
garpu talamendengar
frekwensi 256 atau 512 Hz
dengan lembut.pada kedua telinga
Tes dilakukan
Letakkan
Catat hasilpada
yangdahi atau vertex
diperoleh kemudian
Penderita diinstruksikan untuk menyebutkan
interpretasikan
telinga mana yang lebih jelas mendengar bunyi
7. Tes Catat hasil yang diperoleh kemudian
Schwabach
1)interpretasikan
Getarkan garpu tala frekwensi 256 atau 512 Hz
dengan lembut.
2) Letakkan pada planum mastoid.
3) Penderita diinstruksikan untuk mengangkat
tangan bila sudah tidak mendengar bunyi dari
garpu tala atau sebaliknya
4) Pindahkan garpu tala ke planum mastoid
pemeriksa bila penderita sudah tidak mendenga

26
8.Tes Bing
1) Getarkan garpu tala frekwensi 256 atau 512 Hz
dengan lembut.
2) Letakkan pada planum mastoid
3) Penderita diinstruksikan untuk menyebutkan
mana yang lebih jelas mendengar bunyi pada
saat liang telinga tertutup atau terbuka
4) Tes ini untuk memastikan gangguan konduktif

FASE TERMINASI KOMPETEN


Kompete Tidak Ket
n Kompeten
1. Sampaikan hasil pemeriksaan kepada pasien
2. Evaluasi perasaan pasien terhadap tindakan
dan hasil tindakan
3. Rapikan pasien
4. Rapihkan alat
5. Beri reinforcement positif
6. Kontak waktu berikutnya
7. Berpamitan
8. Cuci tangan
9. Dokumentasi
10. Sikap perawat saat melakukan tindakan
11. Kemampuan komunikasi
12. Ketenangan dalam melakukan tindakan

27
Program Studi : Sarjana Keperawatan Pertemuan ke : 3,7,9
Nama Mata Kuliah : Keperawatan Medikal
Bedah III

MODUL 2

PEMERIKSAAN NEUROLOGIS

A. CASE STUDY
Laki-laki 50 tahun dirawat hari pertama dengan stroke haemoraghik. Saat ini
pasien masih mengalami penurunan kesadaran dan terlihat gelisah. Ektremitas
kanan baik atas maupun bawah terlihat sangat lemah.

B. URAIAN MATERI
Sistem saraf terdiri dari dua divisi: sistem saraf pusat (SSP), termasuk otak
dan sumsum tulang belakang, dan sistem saraf tepi (Peripheral Neural System),
yang meliputi tengkorak dan saraf tulang belakang. PNS dapat dibagi lagi
menjadi sistem saraf somatic (dibawah kesadaran) dan sistem saraf otonom
(diluar kesadaran). Fungsi sistem saraf adalah untuk mengendalikan aktivitas
motorik, sensorik, otonom, kognitif dan perilaku. Otak itu sendiri mengandung
lebih dari 100 miliar sel yang menghubungkan jalur motorik dan sensorik,
memantau proses tubuh, merespons lingkungan internal dan eksternal,
mempertahankan homeostasis dan mengarahkan semua aktivitas psikologis,
biologis, dan fisik melalui kompleks.

Sel-sel sistem saraf

Unit fungsional dasar otak adalah neuron (lihat Gambar 55-1). Ini terdiri dari
sel tubuh, dendrit dan akson. Badan sel saraf yang terjadi dalam kelompok disebut
ganglia atau nuklei. Sekelompok badan sel dengan fungsi yang sama disebut
pusat (mis. Pusat pernapasan). Dendrit adalah struktur tipe cabang untuk
menerima pesan elektrokimia. Akson adalah proyeksi panjang yang membawa

28
impuls listrik dari tubuh sel. Beberapa akson memiliki selubung mielin yang
meningkatkan kecepatan konduksi.

Neurotransmiter

Neurotransmitter mengkomunikasikan pesan dari satu neuron ke neuron lain


atau dari neuron ke sel target, seperti sel otot atau endokrin. Neurotransmitter
diproduksi dan disimpan dalam vesikula sinaptik, dan sebagai aksi potensial
listrik bergerak sepanjang akson, mencapai terminal saraf, neurotransmitter
dilepaskan ke sinaps. Dimana neurotransmitter diangkut melintasi sinapsis yang
mengikat ke reseptor di membran sel postsinaptik. Tindakan neurotransmitter
adalah untuk mempotensiasi, menghentikan atau memodulasi tindakan tertentu
dan dapat merangsang atau menghambat aktivitas sel target. Biasanya ada
beberapa neurotransmiter yang bekerja di sinaps saraf. Sumber dan aksi
neurotransmiter utama dijelaskan pada Tabel 55-1 (Hickey, 2014, daam Farrel,
2016). Ada dua jenis reseptor: langsung dan tidak langsung. Reseptor langsung
juga dikenal sebagai inotropik karena mereka terkait dengan saluran ion dan
memungkinkan lewatnya ion ketika dibuka.

Sistem syaraf pusat

1. Otak
Otak dibagi menjadi tiga area utama: otak besar, batang otak dan otak kecil.
Serebrum terdiri dari dua belahan, thalamus, hipotalamus dan ganglia basal.
Batang otak meliputi otak bagian tengah, pons, dan medula. Otak kecil terletak di
bawah otak besar dan di belakang batang otak (lihat Gambar 55-2).

2. Batang otak
Batang otak terdiri dari otak tengah, pons, dan medula oblongata (lihat
Gambar 55-2). Otak tengah menghubungkan pons dan otak kecil dengan belahan
otak; ini berisi jalur sensorik dan motorik dan berfungsi sebagai pusat refleks
pendengaran dan visual. Saraf kranial III dan IV berasal dari otak tengah. Pons
terletak di depan otak kecil antara otak tengah dan medula dan merupakan
jembatan antara dua bagian cerebellum, medula dan otak tengah. Saraf kranial V

29
hingga VIII berasal dari pons. Pons berisi jalur motorik dan sensorik. Bagian pons
juga mengendalikan jantung, pernapasan, dan tekanan darah. Medula oblongata
mengandung serabut motorik dari otak ke medula spinalis dan serabut sensoris
dari medula spinalis ke otak. Sebagian besar serat ini bersilangan pada tingkat ini.
Saraf kranial IX hingga XII berasal dari medula. Pusat refleks untuk pernapasan,
tekanan darah, detak jantung, batuk, muntah, menelan dan bersin juga terletak di
medula.

3. Otak kecil
Cerebellum dipisahkan dari belahan otak oleh lipatan dura mater, tentorium
cerebelli. Otak kecil mengintegrasikan informasi sensorik untuk memberikan
gerakan terkoordinasi yang lancar. Ia mengendalikan gerakan, keseimbangan, dan
posisi (postural) akal atau proprioception (kesadaran akan posisi bagian-bagian
tubuh tanpa melihatnya) (Farrell, 2014).

a. Pengkajian Pasien dengan Masalah Gangguan Neurologi


Anamnesis yang baik, memiliki kerangka yang terdiri dari beberapa
komponen yaitu identitas pasien, anamnesis keluhan utama, anamnesis riwayat
penyakit sekarang, anamnesis riwayat penyakit terdahulu, anamnesis riwayat
penyakit keluarga, dan anamnesa terhadap pola fungsional gordon.

Informasi yang terdapat pada komponen-komponen ini haruslah digali


dengan seksama dan saling dihubungkan satu sama lain, dengan tetap mengacu
pada pengetahuan klinis yang dimiliki. Berikut ini akan diuraikan komponen-
komponen anamnesis penyakit gangguan neurologi beserta cara-cara menggali
informasi yang terkandung di dalamnya.

1) Identitas Pasien
Pengkajian terhadap identitas pasien penting untuk diketahui, karena pada
penyakit dengan gangguan neurologi terkadang terdapat hubungan antara data
identitas dengan epidemiologi, atau insidensi (angka kejadian) penyakit.

Identitas yang dikaji meliputi :

a) Nama
30
b) Umur
c) Jenis Kelamin
d) Alamat
e) Agama
f) Bangsa / Suku
g) Status Perkawinan
h) Pekerjaan

Misalnya mengenai umur, penyakit gangguan peredaran darah otak


(GPDO). Angka kejadiannya cenderung meningkat pada usia sekitar 50 tahun.
Angka kejadian juga berbeda-beda menurut jenis dari GPDO. GPDO karena
perdarahan (stroke hemoragik, yang terbagi atas perdarahan intraserebral, dan
perdarahan subarakhnoid) umumnya terjadi pada rentang usia 40 tahun, hingga
usia 75 tahun. Sedangkan GPDO bukan karena perdarahan (stroke iskemik),
insidensinya meningkat pada rentang usia di atas 50 tahun.

Contoh lainnya adalah nyeri kepala tipe tegang, atau tension headache, yang
pada umumnya ditemukan pada pasien berjenis kelamin wanita, dengan rentang
usia antara 20-40 tahun, atau pada kasus nyeri punggung karena hernia nukleus
pulposus yang lebih sering ditemukan pada pasien pria, dengan angka kejadian
tertinggi antara usia 40-50 tahun.

2) Anamnesa Keluhan Utama


Keluhan utama adalah keluhan yang dirasakan pasien sehingga dirinya datang
berobat. Pengertian ini haruslah dicermati dengan baik, karena seringkali keluhan
utama tidak dapat ditentukan dengan baik karena kesalahan sewaktu
menanyakannya pada pasien.

Untuk menentukan keluhan utama, perawat harus menanyakan apa keluhan


yang dirasakan paling mengganggu saat ini, yang menyebabkan pasien datang
berobat. Keluhan utama tidak boleh diabaikan, walaupun seandainya setelah
dilakukan pemeriksaan lebih lanjut ternyata ada masalah lain.

31
Beberapa keluhan utama yang sering utarakan pasien pada penyakit gangguan
neurologi, diantaranya adalah sebagai berikut:sakit kepala, lemas dan lemah pada
ekstremitas, kelumpuhan pada ekstremitas, bicara pelo, sakit punggung, kejang seluruh
tubuh, demam disertai kejang, dan penurunan kesadaran.

Dalam penulisan keluhan utama juga harus ditanyakan sudah berapa lama
pasien mengalami keluhan tersebut. Misalnya sakit kepala sejak setahun yang
lalu, atau kelemahan pada lengan dan tungkai sejak 2 jam yang lalu. Selain
menanyakan keluhan utama, tanyakan juga apakah ada keluhan lain yang
dirasakan pasien yang merupakan keluhan tambahan, seperti sakit kepala, muntah,
dan lain sebagainya.

3) Riwayat Penyakit Sekarang


Riwayat penyakit sekarang atau riwayat perjalanan penyakit merupakan
uraian rinci mengenai keadaan kesehatan pasien sejak sebelum keluhan utama,
sampai saat pasien datang berobat. Untuk menggali informasi lebih dalam
terutama yang berkaitan dengan keluhan utama, dapat digunakan komponen-
komponen pertanyaan yang berpedoman kepada Macleod’s Clinical Examination
(metode OLDCART dan OPQRST).

Contoh penggunaan metode OLDCART untuk menggali informasi. 1) Dapat


ditanyakan bagaimana mula terjadinya keluhan atau gejala klinis (onset). 2)
Lokasi dimana pasien merasakan keluhan (location). 3) Sudah berapa lama
keluhan dirasakan oleh pasien (duration). 4) Bagaimana sifat keluhan
yang dirasakan pasien (character). 5) Adakah faktor-faktor yang dapat
memperberat atau meringankan keluhan (alleviating atau aggravating factor).
6) Apakah keluhan hanya terbatas pada organ tubuh tertentu, atau menyebar ke
bagian-bagian tubuh lainnya (radiation). 7) Apakah keluhan timbul pada
waktu-waktu tertentu, atau terjadi setiap saat, atau tidak menentu (time).

Selain metode OLDCART, dapat digunakan metode OPQRST untuk menggali


informasi pada keluhan utama. Contoh penggunaan metode OPQRST, 1)
Keluhan atau gejala klinis terjadi secara tiba-tiba atau perlahan-lahan (onset). 2)
Adakah pencetus yang menimbulkan keluhan (palliating/provoking factor). 3)
32
Sifat dan beratnya serangan atau gejala klinis yang terjadi, apakah terjadi secara
terus menerus atau hilang timbul, apakah gejala klinis yang timbul cenderung
bertambah berat atau berkurang (quality). 4) Penyebaran dari keluhan
(radiation). 5) Apakah keluhan timbul saat pasien berada pada tempat tertentu
(site). 6) Kapan keluhan timbul, apakah keluhan paling dirasakan pada waktu
tertentu, misalnya pada pagi, atau malam, setiap saat, atau tidak menentu (time)
(Sarwono, 2010).

4) Riwayat Penyakit Terdahulu


Pada bagian ini ditanyakan kepada pasien tentang penyakit yang telah
pernah dideritanya sejak masih kanak-kanak sampai dewasa (saat sebelum
menderita penyakit sekarang ini) yang mungkin mempunyai hubungan dengan
penyakit yang dialami pasien saat ini. Misalnya kepada pasien atau keluarga
pasien penyakit gangguan peredaran darah otak dapat ditanyakan ada tidaknya
riwayat penyakit hipertensi, diabetes mellitus, dan penyakit jantung terutama
penyakit jantung koroner, yang merupakan faktor predisposisi penyakit ini. Pada
kasus GPDO, tanyakan juga apakah sebelumnya pasien pernah mengalami
penyakit yang sama (riwayat TIA, dan stroke) sebelumnya.

Contoh lain pada kasus infeksi intrakranial, misalnya ensefalitis, atau


meningitis, dapat ditanyakan ada tidaknya penyakit-penyakit yang menjadi
faktor predispoisi, seperti otitis media, mastoiditis, sinusitis, tuberkulosis paru,
sifilis, dan lain-lain.

5) Riwayat Penyakit Keluarga


Dalam anamnesis riwayat penyakit keluarga, dokter menanyakan ada tidaknya
anggota keluarga dekat pasien (sedarah) secara garis keturunan vertikal, seperti
ayah kandung, ibu kandung, kakek, nenek, paman, dan bibi, yang menderita
penyakit yang sama dengan penyakit yang diderita pasien. Hal ini ditanyakan pada
kasus penyakit yang dapat diturunkan secara genetik. Pada anamnesis ini,
dapat juga ditanyakan kepada pasien adakah anggota keluarganya yang
menderita penyakit yang penularannya melalui kontak langsung, misalnya pada
kasus infeksi intrakranial.

33
Penyakit GPDO, terutama stroke hemoragik, dan nyeri kepala tipe tegang,
merupakan contoh penyakit gangguan neurologi yang memiliki kecenderungan
untuk diturunkan secara genetik. Pada penyakit infeksi intrakranial, khususnya
pada meningitis tuberkulosis, yang umumnya terjadi pada anak usia 6 bulan
hingga 5 tahun, dapat ditemukan adanya riwayat paparan dengan anggota
keluarga dekat, atau tetangga yang menderita tuberkulosis paru. Pada anamnesis
ditanyakan juga adakah anggota keluarga yang mengalami sakit yang sama
dengan pasien. Bila ada yang telah meninggal dunia, tanyakanlah sebab
kematiannya.
6) Anamnesa terhadap Pola Kesehatan Fungsional Gordon
a) Pola Persepsi dan Pemeliharaan Kesehatan
Bagaimana persepsi dan pemelihhaarn kesehatan pasien terkait dengan
masalah neurology yang dialaminya, baik sebelum sakit maupun
sesudah sakit. Pola tersebut dinilai oleh perawat adakah persepsi dan
pemelihaaran kesehatan yang bertentangan dengan maslaah yang
dihadapi saat ini atau tidak. Sejauh mana pola tersebut dapat membuat
kondisi semakin parah.

b) Pola Nutrisi
Bagaimana pola makan pasien baik sebelum sakit atau sesudah sakit.
Pola makan dapat berkaitan dengan muncunya masalah neurologi atau
akibat dari adanya masalah neurologi. Sehingga hal tersebut perlu
dikaji untuk melihat faktor risko masalah dan agar dapat dilakukan
tindakan untuk memnimlakna atau menghilangkan faktor risiko
berkaitan dengan pola makan

c) Pola Eliminasi
Bagaimana pola eliminasi pasien baik sebelum sakit atau sesudah
sakit. Pola eliminasi dapat berkaitan dengan muncunya masalah
neurologi atau akibat dari adanya masalah neurologi. Sehingga hal
tersebut perlu dikaji untuk melihat tanda gejala, faktor risko masalah
dan agar dapat dilakukan tindakan untuk meminimalkan atau
34
menghilangkan faktor risiko dan juga tanda tanda gejala berkaitan
dengan pola eliminasi.

d) Pola Aktifitas dan latihan


Bagaimana pola aktifitas dan latihan pasien baik sebelum sakit atau
sesudah sakit. Pola aktifitas dan latihan dapat berkaitan dengan
munculnya masalah neurologi sebagai tanda dan gejala. Sehingga hal
tersebut perlu dikaji untuk melihat tanda gejala, faktor risko masalah
dan agar dapat dilakukan tindakan untuk meminimalkan atau
menghilangkan faktor risiko dan juga tanda tanda gejala berkaitan
dengan pola aktifitas dan latihan.

e) Pola Istrahat dan Tidur


Bagaimana pola istirahat dan tidur pasien baik sebelum sakit atau
sesudah sakit. Pola istirahat dan tidur dapat berkaitan dengan
munculnya masalah neurologi dan sebagai tanda dan gejala atau akibat
yang ditimbulkan dari adanya masalah neurologi. Sehingga hal
tersebut perlu dikaji untuk melihat tanda gejala, faktor risko masalah
dan agar dapat dilakukan tindakan untuk meminimalkan atau
menghilangkan faktor risiko dan juga tanda tanda gejala berkaitan
dengan pola tersebut

f) Pola Hubungan dan Peran


Bagaimana pola hubungan pasien dengan keluarganya dan teman
teman terdekatnya. Pola hubungan tersebut dapat menstimulus
berbagai faktor risiko terjadinya gangguan neurologis. Dan adanya
gangguan neurologis tersebut juga bisa mempengaruhi hubungan dan
peran pasien tersebut.

g) Pola Persepsi dan Konsep Diri


Bagaimana persepsi pasien terhadap gangguan neurologisnya dapat
mempengaruhi konsep diri. Konsep diri yang buruk dapat
35
mempengaruhi psikologis pasien yang tentunya akan berpengaruh juga
terhadap penerimaan akan sakitnya dan dapat memperparah kondisi
fisiknya.

h) Pola Persepsi sensori dan Kognitif


Pola persepsi sensori dan kognitif dapat terpengaruh dengan adanya
gangguan neurologis, yang tentunya dapat berdampak terhadap
kualitas hidupnya.

i) Pola reproduksi seksual


Pola reproduksi seksual dapat terpengaruh dengan adanya gangguan
neurologis, yang tentunya dapat berdampak terhadap kualitas
hidupnya.

j) Pola Stres dan Koping


Dengan adanya gangguan neurologis dapat sebagai faktor pemicu
munculnya stress bagi pasien dan juga keluarga. Stress yang dialami
pasien dapat mempengaruhi kondisi fisiknya. Sehingga bagaimana
koping pasien dalam mengahadap sakitnya saat ini juga perlu dikaji,
agar dapat digunakan sebagai dasar dalam meminimalkan atau
mengatasi masalah.

k) Pola tata nilai dan kepercayaan

Tata nilai dan kepercayaan dapat mempengaruhi pasien dalam


menerima sakitnya, sehingga hal tersebut perlu dikaji agar perawat
dapat meningkatkan kepercayaan nya tersebut untuk membatu
mengatasi masalah pasien.

b. Pemeriksaan Fungsi Luhur dan Tingkat Kesadaran

36
Fungsi luhur mencirikan manusia. Sifat-sifat kemanusiaan yang
dinamakan watak atau karakter, inteligensia, personalitas, kebijakan
dan sebagainya terdiri dari komponen fungsi luhur atau fungsi mental.

Pengetahuan fungsi kortikal luhur (FKL) mengaitkan prilaku


(behaviour) manusia dengan susunan saraf pusat (SSP). Fungsi kortikal
luhur sering disebut juga dengan psikoneurologi atau neurologi prilaku,
dimana pengamatan prilaku dimulai dari yang sederhana sampai yang
kompleks dilakukan secara meluas untuk mendapat gambaran atau
kesimpulan tentang keadaan susunan saraf. Gangguan yang terjadi pada
fungsi kortikal luhur berkaitan dengan neuro-anatomi.

1) Fungsi Kortikal
Luhur
Fungsi kortikal luhur secara artefisial untuk memudahkan
pemahamannya terbagi dalam 5 komponen, yaitu : a) kemempauan bernaasa,
b) kemampuan daya ingat, c) kemampuan visiospasial, d) emosi atau
kepribadian dan e) kemampuan kognisi.

a) Persiapan Pemeriksaan & Pasien


Sebelum melakukan pemeriksaan fungsi luhur dan tingkat kesadaran,
pastikanlah keadaan ruangan pemeriksaan tertutup, sehingga dapat menjamin
kerahasiaan pasien, serta memiliki penerangan yang baik. Melakukan fungsi
luhur hendaknya tidak sendirian. Perawat dapat melakukan pemeriksaan
fungsi luhur dengan perawat yang lain atau saat mendampingi dokter. Hal
tersebut dilakukan agar dapat bertindak sebagai saksi untuk menghindari
perlakuan yang tidak benar, ditinjau dari pihak pemeriksa, maupun pasien.

b) Sindrom Hemisfer Kiri

1.1.Sindrom Afasia
Jenis sindrom afasia ditentukan menurut kemampuan berbagai modalitas bahasa
berikut : a) berbicara spontan, b) Pengertian Bahasa, c) pengulangan, d)
penambahan kata benda, e) Membaca, f) Menulis.
37
1) Sindrom Afasia Broca.
I. Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan pemeriksa berada di sisi
kanan pasien. Mintalah pasien berbicara secara spontan atau
perhatikanlah pasien saat berbicara secara spontan apakah
bahasanya dapat dimengerti atau tidak, mintalah pasien
untuk mengulang kata yang diucapkan oleh pemeriksa,
menambahkan kata benda pada perkataan, membaca dan menulis.
II. Interpretasi : sindrom afasia broca dikatakan positif (+) jika pasien
berbicara spontan yang tidak lancar, nonfluen, terbata-bata, tata
bahasanya kurang sempurna, kemampuan modalitas bahasa lainnya
jelek, tidak dapat mengulang kata yang diucapkan oleh pemeriksa,
tidak dapat menambahkan kata benda pada perkataan, tidak dapat
menulis.
III. Biasanya disertai hemiparesis kanan.
IV. Pada keadaan berat bisa terjadi mutisme.

2) Sindrom Afasia Wernicke.

i. Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan pemeriksa berada di sisi


kanan pasien.
ii. Mintalah pasien berbicara secara spontan atau perhatikanlah pasien
saat berbicara secara spontan apakah bahasanya dapat dimengerti
atau tidak, mintalah pasien untuk mengulang kata yang
diucapkan oleh pemeriksa, menambahkan kata benda pada perkataan,
membaca dan menulis.
iii. Interpretasi : sindrom afasia wernicke dikatakan positif (+) jika
pasien berbicara spontan lancar, fluen, namun sering kali berlebihan
(logorea) dan tidak dapat dimengerti, pengertian bahasa dan
kemampuan modalitas bahasa lainnya jelek, tidak dapat mengulang
kata yang diucapkan oleh pemeriksa, tidak dapat menambahkan kata
benda pada perkataan, tidak dapat membaca dan menulis.

38
iv. Biasanya tidak disertai gejala hemiparesis, sehingga luput dari
diagnosa afasia, bahkan dianggap sebagai kasus psikiatrik.
v. Pada keadaan berat disebut afasia jargon.

3) Sindrom Afasia Global.

i. Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan pemeriksa berada di sisi


kanan pasien.
ii. Mintalah pasien berbicara secara spontan atau perhatikanlah pasien
saat berbicara secara spontan apakah bahasanya dapat dimengerti
atau tidak, mintalah pasien untuk mengulang kata yang
diucapkan oleh pemeriksa, menambahkan kata benda pada perkataan,
membaca dan menulis.
iii. Interpretasi : sindrom afasia global dikatakan positif (+) jika pasien
berbicara spontan mutisme, modalitas bahasa lainnya buruk,
bahasanya tidak dapat dimengerti, tidak dapat mengulang kata yang
diucapkan oleh pemeriksa, tidak dapat menambahkan kata benda pada
perkataan, tidak dapat membaca dan menulis.
iv. Sindrom Afasia Global merupakan sindrom afasia yang paling berat.

4) Sindrom Afasia Konduksi.


I. Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan pemeriksa berada di sisi
kanan pasien.
II. Mintalah pasien berbicara secara spontan atau perhatikanlah pasien
saat berbicara secara spontan apakah bahasanya dapat dimengerti
atau tidak, mintalah pasien untuk mengulang kata yang
diucapkan oleh pemeriksa, menambahkan kata benda pada perkataan,
membaca dan menulis.
III. Interpretasi : sindrom afasia konduksi dikatakan positif (+) jika
kemampuan mengulang kata pasien jelek namun modalitas bahasa
lainnya baik.

39
5) Sindrom Afasia Anomik

I. Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan pemeriksa berada di sisi


kanan pasien.
II. Mintalah pasien berbicara secara spontan atau perhatikanlah pasien
saat berbicara secara spontan apakah bahasanya dapat dimengerti
atau tidak, mintalah pasien untuk mengulang kata yang
diucapkan oleh pemeriksa, menambahkan kata benda pada perkataan,
membaca dan menulis.
III. Interpretasi : sindrom afasia anomik dikatakan positif (+) jika semua
modalitas baik kecuali penamaan kata-kata benda yang jelek.
IV. Merupakan sindrom yang relatif paling ringan.
Dengan menentukan jenis sindrom dapat ditetapkan letak lesi. Secara garis
besar dibagi menjadi 4 golongan yaitu :

1) Sindrom Afasia Perisylvian.


Terdiri dari sindrom afasia Broca, Wernicke dan konduksi. Letak lesi
disekitar fisura sylvian dihemisfer dominan kiri, yang diperdarahi oleh
arteri serebri media.
2) Sindrom Afasia Perbatasan.
Terdiri dari sindrom afasia Broca, Wernicke dan konduksi. Kemampuan
pengulangan yang baik. Area ini terletak pada perbatasan vaskular
yang disuplai darah oleh arteri serebri media dan arteri serebri
anterior atau posterior. Sindrom ini terdiri dari afasia motorik
transkortikal dan afasia sensorik transkortikal.
3) Sindrom Afasia Subkortikal.
Terdiri dari sindrom yang disebabkan oleh lesi yang letaknya di
subkortikal (afasia talamus dan afasia striatum). Sindrom ini tidak
mempunyai gejala yang nyata. Diagnosis berdasarkan CT Scan atau MRI

4) Sindrom Afasia Tak Terlokalisasikan.

40
Mencakup sindrom afasia hlobal dan anomik. Keduanya tidak
menunjukkan lokalisasi tertentu.
1.2 Apraksia

Apraksia adalah ketidakmampuan melakukan suatu gerakan motorik


terampil, tanpa adanya gangguan motorik, sensorik dan ataksia. Lesinya
terutama di lobus parietal di hemisfer dominan kiri, namun dapat juga di
hemisfer kanan.

a) Apraksia Ideomotor
1) Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan pemeriksa berada
di sisi kanan pasien.
2) Mintalah pasien untuk menjulurkan lidah.
3) Interpretasi : apraksia ideomotor dikatakan positif (+)
jika pasien tidak dapat melakukan gerakan menjulurkan
lidah jika diperintah akan tetapi dapat melakukan
gerakan tersebut secara spontan.
b) Apraksia Ideasional
1) Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan pemeriksa berada di
sisi kanan pasien.
2) Mintalah pasien untuk melipat sebuah surat kemudian
memasukkan ke dalam amplop dan menempel perangko di
atasnya.
3) Interpretasi : apraksia ideasional dikatakan positif (+) jika pasien
tidak dapat melipat sebuah surat kemudian memasukkan ke dalam
amplop dan menempel perangko di atasnya jika diperintah akan
tetapi dapat melakukan gerakan tersebut secara spontan.
b) Sindrom Hemisfer Kanan

1) Pengabaian (neglect)

I. Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan pemeriksa berada di sisi


kanan pasien.

41
II. Mintalah pasien untuk mengamati ruangan pemeriksaan dan
mengatakan apa saja yang diamatinya.
III. Interpretasi : pengabaian (neglect) dikatakan positif (+) jika
pasien mengabaikan ruangan sisi kiri (hemineglect).
2) Gangguan Visuospasial

a) Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan pemeriksa berada di sisi


kanan pasien.
b) Tanyakan kepada pasien dimana dia sekarang berada.
c) Interpretasi : gangguan visuospasial dikatakan positif (+) jika pasien
tidak mengenal tempat disekitarnya dan gangguan pengenalan wajah.
3) Gangguan Visuomotor
3.1 Apraksia Kontruksi
I. Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan pemeriksa berada
di sisi kanan pasien.
II. Mintalah pasien untuk menggambar atau mencontoh
membuat sebuah gambar, menyusun bentuk-bentuk dengan
batang korek api atau menyusun balok-balok atas permintaan
pemeriksa.
III. Interpretasi : apraksia kontruksi dikatakan positif (+) jika
pasien tidak mampu menggambar atau membuat copy gambar,
tidak mampu menyusun bentukbentuk dengan batang korek
api atau tidak mampu menyusun balok-balok atas
permintaan pemeriksa.
3.2. Apraksia Berpakaian
I. Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan pemeriksa berada
di sisi kanan pasien.
II. Mintalah pasien untuk membuka dan mengenakan kembali
pakaiannya.
III. Interpretasi : apraksia berpakaian dikatakan positif (+) jika
pasien tidak mampu mengenakan pakaian.
4) Afek dan Prosodi
42
I. Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan pemeriksa berada di sisi
kanan pasien.
II. Pemeriksa membuat ekspresi wajah yang berbeda-beda (marah,
gembira, sedih atau terkejut) lalu mintalah pasien untuk
memperhatikan dan mengatakan perubahan ekspresi wajah yang dia
liat, mintalah pasien untuk menyanyikan bait lagu yang ditulis oleh
pemeriksa, mintalah pasien untuk mendengarkan musik yang sedang
diputar kemudian mengatakan jenis musiknya.
III. Interpretasi : afek dan prosodi dikatakan positif (+) jika pasien
tidak mengenal perubahan wajah seseorang yang marah, gembira,
sedih atau terkejut, pasien tidak dapat melagukan kalimat dan tidak
mengenal ritme dan musik.

c) Gangguan Memori
1) Gangguan Memori Jangka Pendek atau Memori Baru
I. Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan pemeriksa berada di
sisi kanan pasien.
II. Mintalah pasien untuk mengingat apa saja yang baru saja
dilakukannya.
III. Interpretasi : gangguan memori jangka pendek atau memori baru
dikatakan positif (+) jika pasien tidak ingat hal-hal yang baru saja
terjadi.

2) Gangguan Memori Jangka Panjang atau Memori Lama


I. Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan pemeriksa berada di
sisi kanan pasien.
II. Mintalah pasien untuk mengingat apa saja yang dilakukannya
dalam satu minggu terakhir ini.
III. Interpretasi : gangguan memori jangka panjang atau memori
lama dikatakan positif (+) jika pasien lupa akan hal-hal yang telah
terjadi.
2.1. Amnesia Retrogard
43
I. Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan pemeriksa berada
di sisi kanan pasien.
II. Mintalah pasien untuk mengingat apa saja yang dilakukannya
sebelum suatu insult atau kejadian terjadi.
III. Interpretasi : amnesia retrogard dikatakan positif (+) jika
pasien lupa suatu periode sebelum suatu insult atau
kejadian, contohnya : pasien lupa semua hal yang pernah
dialaminya sebelum trauma capitis.
2.2. Amnesia Anterogard

I. Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan pemeriksa berada di


sisi kanan pasien.
II. Mintalah pasien untuk mengingat apa saja yang dilakukannya
sesudah suatu insult atau kejadian terjadi.
III. Interpretasi : amnesia anterogard dikatakan positif (+) jika
pasien lupa suatu periode setelah suatu kejadian atau insult,
contohnya : pasien lupa semua hal yang dialaminya sesudah
trauma capitis.

d) Gangguan Kognisi
I. Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan pemeriksa berada di sisi
kanan pasien.
II. Mintalah pasien untuk memahami suatu cerita, mengartikan suatu
pribahasa, mengemukakan persamaan kata, melakukan perkalian.
III. Interpretasi : gangguan kognisi dikatakan positif (+) jika pasien
mengalami gangguan cara berfikir, tidak dapat menjabarkan
peribahasa, tidak mampu mengenal persamaan, kalkulasi dan konsep.
2) Pemeriksaan Tingkat Kesadaran dan Fungsi Koordinasi

Kesadaran mempunyai arti yang luas. Secara neurologi klinis kesadaran


didefinisikan sebagai keadaan yang mencerminkan pengintegrasian impuls
44
aferen dan eferen. Keseluruhan dari impuls aferen disebut imput susunan saraf
pusat dan keseluruhan impuls eferen disebut output susunan saraf pusat.
Kesadaran yang sehat dan adekuat dikenal sebagai awas, waspada, dimana aksi
dan reaksi terhadap apa yang diserap (dilihat, didengar, dihirup, dikecap
dan lainnya) sesuai dan tepat. Keadaan dimana aksi sama sekali tidak dibalas
dengan reaksi disebut koma.

Apabila terjadi gangguan kesadaran secara psikiatrik disebut perubahan


kesadaran, dan bila terjadi gangguan kesadaran secara neurologik disebut
penurunan kesadaran. Penurunan kesadaran ada yang bersifat kualitatif dan
kuantitatif. Tingkat Kesadaran berdasarkan kwalitas, meliputi:

1) Compos mentis(kesadaran normal).


I. Posisikan pasien dalam keadaan duduk atau berbaring, pemeriksa
berada di sisi kanan pasien.
II. Pemeriksa menanyakan identitas pribadi pasien, keberadaan pasien
saat ini dan mengapa dia ada disitu serta menanyakan tahun, bulan
dan hari penanggalan.
III. Interpretasi : dikatakan compos mentis jika pasien menyadari
seluruh asupan dari panca indera (aware atau awas) dan bereaksi
secara optimal terhadap seluruh rangsangan baik dari luar maupun
dari dalam (arousal atau waspada), atau dalam keadaan awas dan
waspada dimana pasien dapat menerangkan identitas dirinya,
keberadaan saat pemeriksaan dilakukan, dan waktu saat dilkukan
pemeriksaan dengan baik dan benar.
2) Obtundasi (kesadaran yang tumpul).
I. Posisikan pasien dalam keadaan duduk atau berbaring, pemeriksa
berada di sisi kanan pasien.
II. Pemeriksa menanyakan identitas pribadi pasien, keberadaan pasien
saat ini dan mengapa dia ada disitu serta menanyakan tahun, bulan
dan hari penanggalan.

45
III. Interpretasi : dikatakan obtundasi jika pasien tidak begitu
waspada, perhatian untuk sekeliling berkurang dan cenderung
mengantuk tanpa memikirkan apa-apa.
3) Binggung atau Confused.
I. Posisikan pasien dalam keadaan duduk atau berbaring,
pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
II. Pemeriksa memperkenalkan diri lalu menanyakan identitas
pribadi pasien, keberadaan pasien saat ini dan mengapa dia
ada disitu, menanyakan kembali siapakah pemeriksa serta
menanyakan tahun, bulan dan hari penanggalan.
III. Interpretasi : dikatakan binggung atau confused jika pasien
menunjukkan kebinggungan dalam waktu dan pengenalan
tempat/orang (disorientasi waktu, ruang dan orang).
4) Delirium.
I. Posisikan pasien dalam keadaan duduk atau berbaring, pemeriksa
berada di sisi kanan pasien.
II. Pemeriksa menanyakan identitas pribadi pasien, keberadaan pasien saat
ini dan mengapa dia ada disitu serta menanyakan tahun, bulan dan hari
penanggalan.
III. Interpretasi : dikatakan delirium jika pasien menunjukkan
kekacauan secara mental karena mengalami ilusi dan halusinasi,
bereaksi sesuai dengan kekacauan pikirannya.
5) Apatia.
I. Posisikan pasien dalam keadaan duduk atau berbaring, pemeriksa
berada di sisi kanan pasien.
II. Pemeriksa menanyakan identitas pribadi pasien, keberadaan pasien
saat ini dan mengapa dia ada disitu serta menanyakan tahun, bulan
dan hari penanggalan.
III. Interpretasi : dikatakan apatia jika pasien kurang waspada, tidak
tidur atau mengantuk namun tidak mau memperhatikan,
menghiraukan dirinya dan sekelilingnya. Pasien tidak bicara dan
pandangannya hampa
46
Penurunan kesadaran yang bersifat kualitatif, yaitu :

1) Somnole,drowsiness,clouding of consciousness, letargia atau


mengantuk (derajat 1).
I. Posisikan pasien dalam keadaan berbaring, pemeriksa berada di
sisi kanan pasien.
II. Pemeriksa memberikan stimuli baik motorik maupun verbal
kepada pasien.
III. Interpretasi : dikatakan somnolen jika pasien memberikan respon
terhadap stimuli yang dilakukan oleh pemeriksa namun tampak
cenderung menutup mata (terlena lagi), sedikit binggung, pasien
dapat bergerak (seperti gelisah motor) tetapi juga bisa tidur
tenang tanpa banyak bergerak dan tidak mendengkur atau
mengeram serta orientasi terhadap sekitarnya menurun.
2) Stuporatau sopor (derajat 2).
I. Posisikan pasien dalam keadaan berbaring, pemeriksa berada di sisi
kanan pasien.
II. Pemeriksa memberikan stimuli verbal (auditorik keras ), dengan
rangsangan nyeri, taktil dan visual kuat kepada pasien.
III. Interpretasi : dikatakan stupor atau sopor jika pasien memberikan
respon terhadap stimuli yang dilakukan oleh pemeriksa namun
jawaban verbal yang diberikan terbatas pada satu atau dua kata
ataupun terbatas pada bahasa isyarat mengelengkan kepala
menyatakan ’tidak’ dan anggukan kepala menyatakan ’iya’ dan mata
pasien tertutup.

3) Semikoma atau soporokoma (derajat 3).


I. Posisikan pasien dalam keadaan berbaring, pemeriksa berada di sisi
kanan pasien.

47
II. Pemeriksa memberikan stimuli verbal (auditorik keras ), dengan
rangsangan nyeri (menusuk anggota gerak pasien), taktil dan visual
kuat kepada pasien.
III. Interpretasi : dikatakan semikomaatau soporokoma jika pasien
tidak memberikan respon verbal terhadap stimuli yang dilakukan
oleh pemeriksa tetapi reaksi terhadap perangsangan kasar (jawaban
motorik: hanya berupa gerakan primitif) masih ada walaupun hanya
bersifat adaptif atau menghindari rangsangan nyari.
4) Koma(derajat 4).
I. Posisikan pasien dalam keadaan berbaring, pemeriksa berada di sisi
kanan pasien.
II. Pemeriksa memberikan stimuli verbal (auditorik keras ), dengan
rangsangan nyeri (menusuk anggota gerak pasien), taktil dan visual
kuat kepada pasien.
III. Interpretasi : dikatakan koma jika pasien tidak memberikan respon
terhadap stimuli apa pun, baik dalam hal membuka mata, bicara,
maupun reaksi motorik (merupakan penurunan kesadaran yang paling
rendah).
Penurunan kesadaran yang bersifat kuantitatif diukur dengan menggunakan
skala koma Glasgow, sebagai berikut :

1) Reaksi Membuka Mata (tanggapan psiko-motorik).


I. Posisikan pasien dalam keadaan duduk atau berbaring,
pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
II. Pemeriksa memperhatikan gerakan membuka mata spontan
pasien, membuka mata saat diberikan stimuli verbal (perintah
membuka mata karena dipanggil), dan membuka mata saat
diberi rangsangan nyeri (menusuk anggota gerak pasien).
III. Interpretasi :
(i) Membuka mata secara spontan = 4
(ii) Membuka mata mengikuti perintah pangilan = 3
(iii) Membuka mata terhadap rangsang nyeri = 2

48
(iv) Tidak ada reaksi terhadap rangsangan nyeri = 1
2) Reaksi Verbal/Bicara.
I. Posisikan pasien dalam keadaan duduk atau berbaring,
pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
II. Pemeriksa melakukan komunikasi dengan pasien (mengajak pasien
berbicara) kemudian pemeriksa memperhatikan tanggapan verbal
pasien apakah ucapan pasien berorientasi (pasien sadar akan diri
dan sekelilingnya, mengapa ia berada di tempat itu, tahu tahun,
bulan dan hari penanggalan), kacau (disorientasi), ucapan tidak
senonoh (misal : mengeluarkan kata-kata kutukan, berteriak dan
tidak menghiraukan jalan percakapan), dan ucapan yang tidak
dapat dimengerti (hanya berupa suara mengeram dan merintih).
III. Interpretasi :
i) Tanggapan verbal berorientasi baik = 5
ii) Tanggapan verbal disorientasi/binggung = 4
iii) Tanggapan verbal tidak sesuai/satu kata saja = 3
iv) Tanggapan verbal tidak dimengerti/suara saja = 2
v) Tidak ada suara sama sekali = 1
3) Reaksi Motorik.
I. Posisikan pasien dalam keadaan duduk atau berbaring,
pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
II. Mintalah pasien untuk melakukan gerakan (atas perintah)
kemudian perhatikan dan nilai apakah pasien dapat melakukan
gerakan atas tersebut; pemeriksa memberikan rangsangan pada
tangan pasien kemudian perhatikan dan nilai apakah tangan yang
dirangsang berfleksi pada sendi pergelangan tangan; berfleksi pada
sendi bahu, sendi siku, dan sendi pergelangan tangan secara
serempak (tanggapan motorik fleksor); pemeriksa mengaduksikan
lengan pasien sambil berotasi ke dalam pada sendi bahu yang
sedang dalam keadaan lurus dan lengan bawah berpronasi secara
berlebihan (tanggapan motorik ekstensor) .
III. Interpretasi :
49
i) Gerakan mengikuti perintah/bertujuan = 6
ii) Gerakan menepis rangsang nyeri = 5
iii) Gerakan menghindari nyeri = 4
iv) Gerakan fleksi dekortikasi = 3
v) Gerakan ekstensi deserebrasi = 2
vi) Tidak ada gerakan sama sekali = 1
Tabel 2. Skala Koma Glasgow

Komponen Indikator Skor/Nilai


Respon Pembukaan Membuka mata secara spontan 4
Mata Membuka mata mengikuti perintah 3
pangilan
Membuka mata terhadap rangsang 2
nyeri
Tidak ada reaksi terhadap rangsangan 1
nyeri
Respon Verbal Tanggapan verbal berorientasi baik 5
Tanggapan verbal 4
disorientasi/binggung
Tanggapan verbal tidak sesuai/satu 3
kata saja
Tanggapan verbal tidak 2
dimengerti/suara saja
Tidak ada suara sama sekali 1
Respon Motorik Gerakan mengikuti perintah/bertujuan 6
Gerakan menepis rangsang nyeri 5
Gerakan menghindari nyeri 4
Gerakan fleksi dekortikasi 3
Gerakan ekstensi deserebrasi 2
Tidak ada gerakan sama sekali 1

FUNGSI KOORDINASI

Fungsi koordinasi bermanfaat untuk menilai adanya gangguan pada


serebelum, sereberal, dan sistem vestibulum sentral dan perifer. Gejala yang
muncul dapat berupa ataksi.

50
3) Prosedur Pemeriksaan Fungsi Koordinasi

i. Tes Romberg

a) Mintalah pasien untuk berdiri tegak dengan kedua kakinya


secara berdampingan, dan sikap tangan berada di sisi samping
tubuh, kepala dan badan tegak (biarkan pasien berdiri seperti ini
dengan mata terbuka dan tertutup masing-masing selama 10-30
detik)
b) Beritahukan kepada pasien bahwa pemeriksa siap menangkapnya
apabila pasien terjatuh terjatuh (pastikan pemeriksa siap).
c) Jika pasien jatuh duluan dengan mata terbuka, pemeriksa tidak
dapat meneruskan tes.
d) Namun jika tidak, mintalah pasien untuk menutup kedua matanya.
Amatilah pasien saat berdiri dengan mata terbuka dan tertutup.
e) Bila pasien dapat berdiri dengan mata terbuka dan berdiri
dengan mata tertutup, ini berarti Tes Romberg Negatif – normal
f) Bila pasien dapat berdiri dengan mata terbuka, tetapi jatuh
dengan mata tertutup, ini berarti Tes Romberg positif – kelainan
sensasi posisi sendi.
g) Bila pasien tidak dapat berdiri dengan mata terbuka dan kedua kaki
secara berdampingan, ini berarti terjadi ketidakseimbangan yang
berat – umumnya disebabkan oleh: sindrom sereberal, sindrom
vestibular sentral dan perifer.
h) Bila pasien dapat berdiri dengan mata terbuka tetapi sempoyongan
ke belakang dan ke depan dengan mata tertutup, ini berarti
kemungkinan sindrom serebelum.
i) Tes ini tidak dapat dilakukan pada pasien yang tidak dapat berdiri
sendiri dan Tes Romberg tidak dapat dikatakan
memberikan nilai positif pada gangguan serebelum.

51
ii) Tes Romberg Dipertajam

a) Mintalah pasien untuk berdiri tegak dengan posisi tumit kaki kanan berada
dan menyentuh ujung ibu jari kaki kiri, dan sikap tangan berada di sisi
samping tubuh, kepala dan badan tegak (biarkan pasien berdiri seperti ini
dengan mata terbuka dan tertutup masing-masing selama 10-30 detik)
b) Beritahukan kepada pasien bahwa pemeriksa siap menangkapnya
apabila pasien terjatuh terjatuh (pastikan pemeriksa siap).
c) Jika pasien jatuh duluan dengan mata terbuka, pemeriksa tidak dapat
meneruskan tes.
d) Namun jika tidak, mintalah pasien untuk menutup kedua matanya.
Amatilah pasien saat berdiri dengan mata terbuka dan tertutup.
e) Bila pasien dapat berdiri dengan mata terbuka dan berdiri dengan
mata tertutup, ini berarti Tes Romberg Negatif – normal
f) Bila pasien dapat berdiri dengan mata terbuka, tetapi jatuh dengan
mata tertutup, ini berarti Tes Romberg positif – kelainan sensasi posisi
sendi.
g) Bila pasien tidak dapat berdiri dengan mata terbuka dan kedua kaki secara
berdampingan, ini berarti terjadi ketidakseimbangan yang berat –
umumnya disebabkan oleh: sindrom sereberal, sindrom vestibular
sentral dan perifer.
h) Bila pasien dapat berdiri dengan mata terbuka tetapi sempoyongan ke
belakang dan ke depan dengan mata tertutup, ini berarti kemungkinan
sindrom serebelum.
i) Tes ini tidak dapat dilakukan pada pasien yang tidak dapat berdiri
sendiri dan Tes Romberg tidak dapat dikatakan memberikan
nilai positif pada gangguan serebelum.
j) Lakukan kembali tes tersebut secara bergantian.
iii. Tes Tumit Lutut

a) Mintalah kepada pasien untuk berbaring telentang.

52
b) Mintalah pasien untuk mengangkat salah satu tungkainya hingga
meletakkan tumitnya di atas lutut tungkai yang lain (sebaiknya pemeriksa
harus memperagakan terlebih dahulu kepada pasien).
c) Mintalah agar pasien menggerakkan tumitnya ke bawah dari proksimal
menuju distal di sepanjang permukaan ventral tungkai bawah yang lancip
(sebaiknya pemeriksa harus memperagakan terlebih dahulu kepada
pasien). Kesalahan umum: membiarkan pasien menggeserkan telapak
kakinya di sepanjang tungkai bawah.
d) Mintalah pasien untuk mengetukkan tumit salah satu kakinya ke lutut
kaki yang lain (seolah-olah sedang mendengarkan musik yang cepat).
e) Mintalah pasien untuk duduk dari posisi berbaring tanpa
menggunakan tangannya dengan sikap tumit salah satu kaki berada di lutut
kaki lainnya, serta amati apakah pasien jatuh ke satu sisi.
f) Jika pasien dapat melakukan semua gerakan tes tersebut dengan mata
terbuka maka instruksikan untuk melakukan gerakan tersebut dengan
kedua mata tertutup.
g) Tes tumit lutut dikatakan positif – Normal apabila dapat melakukan semua
gerakan tes tersebut, dan sebaliknya dikatakan negatif apabila tidak dapat
melakukan semua gerakan tersebut.
h) Lakukan kembali tes tersebut secara bergantian.
iv. Tes Telunjuk Hidung

a) Mintalah pasien untuk duduk atau berbaring dan posisi tangan berada di
sisi samping tubuh.
b) Mintalah kepada pasien untuk membuka kedua matanya kemudian
menyentuh hidungnya dengan jari telunjuk kanan dan kiri secara
bergantian, cepat, dan akurat.
c) Jika pasien dapat melakukannya dengan mata terbuka maka instruksikan
untuk melakukan gerakan tersebut dengan kedua mata tertutup.
d) Amati pasien selama melakukan tes tersebut. Bila pasien dapat
melakukannya dikatakan positif – Normal. Akan tetapi bila pasien tidak

53
dapat menyentuh hidung dengan jari telunjuknya secara akurat ataupun
dengan gerakan sangat lambat maka dikatakan negatif.

C. STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR


Langkah / Kompeten
ANAMNESIS PENYAKIT
Tugas GANGGUAN Ya Tidak
No.
NEUROLOGI
Gangguan Peredaran Darah Otak (stroke iskemik)
FASE ORIENTASI
1. Mengucapkan salam
2. Memperkenalkan diri
3. Menjelaskan maksud dan tujuan
4. Kontrak waktu dan menanyakan kesiapan pasien
FASE KERJA
1. Memposisikan pasien senayaman mungkin dan
a. menjaga
Keluhanprivasi
Utama
1. Menanyakan nama, usia, agama, status
pernikahan, suku bangsa, alamat dan pekerjaan
pasien
2. Menanyakan keluhan u t a m a pasien yang
membuat dirinya datang berobat, dan sudah
berapa lama keluhan dirasakan.
3. Meminta pasien menceritakan bagaimana mula
terjadinya keluhan yang dirasakan pasien.
4. Menanayakn apakah keluahan utama yang
dirasakan terjadi mendadak, atau sebelumnya
keluahan sudah pernah dirasakan , namun tidak
5. Menanyakan apakah pasien mengalami masalah/
seberat sekarang
keluhan yang lain bersamaan dengan munculnya
keluhan utama
6. Menanyakan fraktor yang memprovokasi
munculnya keluhan utama
7. Mennayakan masalah/keluhan yang dirasakan
sebelum munculnya keluhan utama/ keluahan
penyerta yang mendahului munculnya keluhan
utama
8. Menanyakan sifat dari keluahn apakah muncul
langsung/serentak ataukah bertahap
9. Mennayakan apakah keluahan yang dirasakan saat
ini sama beratnya, atau lebih parah atau telah
berkurang dibandingkan dengan keluhan utama
saat pertama kali muncul
b. Keluhan Tambahan
54
1. Menanayakan keluhan tambahan yang dirasakan
2. pasien
Menanyakan apakah keluahan tambahan yang
dirasakan muncul bersamaan dengan keluhan
utama, atau sebelumnya atau sesudahnya
3. Meminta pasien untuk mendeskripsikan keluhan
tambahan yang drasakan pasien
c. Riwayat Penyakit sebelumnya
1. Menanayakan riwayat penyakit sebelumnya yang
pernah dialami
2. Menanyakan riwayat berobat dan mengontrol
penyakit yang pernah dalami sebelumnya
3. Menanyakan riwayat kebiasaan menghindari
faktor risiko dari penyakit yang pernah dialami
sebelumnya riwayat peobatan dan kemungkinan
4. Menanyakan
alergi terhadap obat dan makanan
d. Riwayat Penyakit Keluarga
1. Menanyakan Apakah ada anggota keluarga atau
saudara yang mempunyai penyakit yang sama
2. Menanyakan riwayat penyakit yang pernah
dialami oleh anggota keluarga yang telah
meninggal.
e. Pola Fungsional Kesehatan
1. Pola Persepsi dan pemeliharaan kesehatan
2. Pola Nutrisi dan kebutuhan cairan
3. Pola Eliminasi
4. Pola aktifitas dan istirahat
5. Pola persepsi sensorik dan kognitif
6. Pola istirahat dan tidur
7. Pola Konsep diri
8. Pola hubungan dan peran
9. Pola reproduksi sexsual
10. Pola tata nilai dan kepercayaan
11. Pola stress dan Koping

FASE TERMINASI
1. Menyampaikan hasil pengkajian
2. Evaluasi perasaan pasien

55
3. Berikan reinforcement postif
4. Kontrak waktu berikutnya
5. Berpamitan
6. Cuci tangan
7. Dokumentasi

56
Program Studi : Sarjana Keperawatan Pertemuan ke : 3,7,9
Nama Mata Kuliah : Keperawatan Medikal
Bedah III

MODUL 3
PEMERIKSAAN REFLEKS FISIOLOGIS DAN PATOLOGIS

A. CASE STUDI
Tn A (41 thn) dirawat dengan stroke haemoraghic hari pertama. Tn A
mengeluh sakit kepala dengan skala 10. Hasil pemeriksan fisik: kesadaran
somnolen, gelisah, tekanan darah 200/130 mmHg, nadi 135 x/ menit, RR : 28
x/ menit dan suhu 37oC, pupil isokor, reflek kornea positif, kekuatan otot
ektremitas kiri atas 3 kiri bawah 3, reflek Babinski positif. Hasil CT scan
diperoleh informasi perdarahan intraventrikuler 1, 2, 3 dan 4.

B. URAIAN MATERI
Kata refleks secara sederhana berarti jawaban atas rangsangan. Jalur saraf
yang dapat menimbulkan refleks ini disebut lengkung refleks (reflex arc). Lengkung
refleks ini terdiri dari reseptor (panca indera), serat saraf aferen,
interneuron, serat saraf eferen, dan efektor (organ). Interneuron ini berupa
susunan saraf pusat terutama pada system piramidalis. Apabila lengkung refleks
rusak maka refleks tidak akan terjadi atau refleks meninggi.

Gambar 3.1. Lengkung Refleks Sederhana


Ket : 1) reseptor, 2) saraf aferen, 3) ganglion spinal, 4) Interneuron, 5) saraf eferen, 6) efektor

57
Refleks terdiri dari dua jenis yaitu: refleks superfisial dan refleks dalam.
Refleks mengakibat superfisial timbul akibat stimulus pada mukosa atau kulit
yang mengakibatkan kontraksi otot yang ada dibawahnya atau sekitarnya.
Contoh reflek adalah reflek kornea, reflek dinding perut supervisial, reflek
kremaster dll. Sedangkan refleks dalam timbul akibat teregangnya otot oleh stimulus
yang diberikan yang mengakibatkan kontraksi otot yang ada dibawahnya atau
sekitarnya. Regangan ini diterima oleh reseptor propioseptik. Banyak istilah lain dari
refleks dalam, antara lain: refleks regang otot, refleks tendon, refleks periostal, dan
refleks miotatik. Contoh refleks ini ialah refleks kuadrisep femoralis, glabela, rahang
bawah, biseps brachii, triseps brachii, brachioradialis, ulna, otot dinding perut,
fleksor jari-jari, dan tendon archilles (triseps sure). Sebenarnya banyak refleks
dalam yang dapat dibangkitkan. Setiap otot yang diketuk pada insersionya akan
berkontaksi menimbulkan reflex.
Pemeriksaan refleks ini sangat penting untuk menilai adanya lesi pada traktus
piramidalis. Penilaian refleks ini sangatlah objektif karena tidak membutuhkan
kooperatif dari pasien. Sehingga pemeriksaan refleks ini dapat dilakukan pada pasien
yang mengalami penurunan kesadaran, bayi, anak, intelegensia rendah, dan
gangguan cemas.
A. Reflek Superfisil
1. Reflek Kornea
a. Kornea mata disentuh dengan sepotong kapas yang ujungnya dipilin
hingga runcing.
b. Interpretasi: Refleks Kornea dikatakan positif (+) jika terjadi gerakan
menutup mata dan dikatakan negatif (-) jika terjadi gerakan tersebut.
c. Refleks kornea menghilang atau berkurang menandakan gangguan
nervus Trigeminus sensorik cabang optalmik (nervus kranialis V1)
ataupun gangguan nervus Fasialis (nervus kranialis VII).

2. Reflek Dinding Perut Supervisial


a. Gores dinding perut dengan ujung gagang reflex hammer (benda yang
agak runcing) pada region epigastrium, supraumbilikal, umbilical, dan
intraumbilikal dari lateral ke medial.
58
b. Interpretasi: Refleks Dinding Perut Superfisial dikatakan positif (+)
jika tampak umbilicus bergerak ke arah otot yang berkontraksi
(muskulus rektus abdominis dan dikatakan negatif (-) jika tidak terjadi
gerakan tersebut.
3. Reflek Kremaster
a. Permukaan medial paha digores dengan ujung gagang reflex
hammer (benda yang agak runcing) dari proksimal ke distal.
b. Interpretasi: Refleks Kremaster dikatakan positif (+) jika tampak
elevasi testis ipsilateral akibat kontraksi muskulus kremaster dan
dikatakan negatif (-) jika tidak terjadi gerakan tersebut.

4. Reflek Gluteal
a. Lakukan goresan atau tusukan ringan dengan ujung gagang
reflex hammer (benda yang agak runcing) pada regio gluteal.
b. Interpretasi: Refleks Gluteal dikatakan positif (+) jika tampak gerakan
kontraksi muskulus glutealis ipsilateral dan dikatakan negatif (-) jika
tidak terjadi gerakan.

5. Reflek Anus Suprvisial


a. Pasien dalam posisi litotomi, kemudian pemeriksa berada di sisi kanan
pasien.
b. Lakukan goresan atau tusukan ringan dengan ujung gagang
reflex hammer (benda yang agak runcing) pada region perianal (sekitar
anus).
c. Interpretasi: Refleks Anus Superfisial dikatakan positif (+) jika tampak
gerakan kontraksi muskulus spincter ani eksternus dan dikatakan
negatif (-) jika tidak terjadi gerakan tersebut.

6. Reflek Plantar/ Telapak Kaki


a. Tangan kiri pemeriksa memegang salah satu pergelangan kaki pasien
dan sedikit diangkat ke atas agar kaki tetap pada tempatnya dan tidak
menyetuh dasar tempat tidur.
b. Pada pada telapak kaki yang akan diperiksa, lakukan goresan secara
perlahan dengan menggunakan gagang runcing reflex hammer mulai
dari daerah tumit menuju ke bagian pangkal jari tengah kaki.
c. Goresan dilakukan secara perlahan, jangan sampai menimbulkan
rasa nyeri karena dapat menimbulkan refleks menarik kaki (flight
réflex).
d. Interpretasi: Refleks Plantar dikatakan (+) jika terjadi gerakan
plantarfleksi jari- jari kaki ipsilatera dan dikatakan (-) jika terjadi
gerakan tersebut.
59
B. Reflek Dalam
1. Reflek Glabela
a. Ketuk dengan menggunakan jari tengah kanan pemeriksa pada regio glabella
atau sekitar regio antara kedua supraorbitalis.
a. Interpretasi: Refleks Glabella dikatakan positif (+) jika terjadi
gerakan kontraksi singkat kedua muskulus orbikularis okuli dan
dikatakan negatif (-) jika terjadi gerakan tersebut.
b. Refleks glabella menghilang atau berkurang menandakan
gangguan nervus fasialis dan meningkat pada sindroma parkinson.
c. Pusat refleks ini terletak di pons.

2. Reflek Rahang Bawah/ Jaw reflex


a. Mintalah pasien sedikit membuka mulut dan jari telunjuk kiri
pemeriksa melintang di dagu.
b. Ketuk dengan menggunakan reflex hammer pada jari telunjuk kiri
pemeriksa.
c. Interpretasi: Refleks Rahang Bawah dikatakan positif (+) jika
tampak mulut merapat akibat kontraksi muskulus maseter dan
dikatakan negatif (-) jika tidak terjadi gerakan tersebut.
d. Pusat refleks ini terletak di pons.

3. Reflek Bisep
a. Mintalah lengan bawah pasien semifleksi dan pronasi rileks di
atas paha, kemudian ibu jari kiri pemeriksa menekan tendon biseps
di fossa cubitti.
b. Ketuk dengan menggunakan reflex hammer pada ibu jari kiri
pemeriksa.
c. Interpretasi: Refleks Biseps dikatakan positif (+) jika terjadi
gerakan fleksi lengan bawah dan dikatakan negatif (-) jika tidak
terjadi gerakan tersebut.
d. Pusat refleks ini terletak di C5-C6.

4. Reflek Trisep

60
a. Mintalah lengan bawah pasien semifleksi dan pronasi rileks di atas
paha.
b. Ketuk dengan menggunakan reflex hammer pada tendon triseps
dari belakang sekitar 5 cm diatas siku.
c. Interpretasi: Refleks Triseps dikatakan positif (+) jika terjadi
gerakan ekstensi lengan bawah dan dikatakan negatif (-) jika tidak
terjadi gerakan tersebut.
d. Lengkung refleks ini melalui nervus radialis dan berpusat di C6-C8.
5. Reflek Brachioradialis (Reflek Radial)
a. Mintalah lengan bawah pasien semifleksi pada posisi diantara
pronasi dan supinasi rileks di atas paha.
b. Ketuk dengan menggunakan reflex hammer pada prosesus
stiloideus ossis radius.
c. Interpretasi: Refleks Brakhioradialis dikatakan positif (+) jika
terjadi gerakan fleksi dan supinasi lengan bawah dan dikatakan
negatif (-) jika tidak terjadi gerakan tersebut.
d. Lengkung refleks ini melalui nervus radialis dan berpusat di C5-
C6.

6. Reflek Ulna
a. Mintalah lengan bawah pasien semifleksi dan semipronasi rileks di
atas paha.
b. Ketuk dengan menggunakan reflex hammer pada prosesus
stiloideus ossis ulnae.
c. Interpretasi: Refleks Ulna dikatakan positif (+) jika terjadi
gerakan pronasi lengan bawah, kadang juga gerakan adduksi pada
pergelangan tangan dan dikatakan negatif (-) jika tidak terjadi
gerakan tersebut

7. Reflek Fleksor jari-jari tangan


a. Mintalah tangan pasien diletakkan pada dasar yang agak keras
pada posisi supinasi dan jari-jari tangan sedikit difleksikan,
61
kemudian jari telunjuk kiri pemeriksa diletakkan menyilang pada
permukaan volar jari-jari.
b. Ketuk dengan menggunakan reflex hammer pada jari telunjuk kiri
pemeriksa.
c. Interpretasi: Refleks Fleksor Jari-Jari Tangan dikatakan positif (+)
jika terjadi gerakan fleksi ringan jari-jari tangan dan dikatakan
negatif (-) jika tidak terjadi gerakan tersebut.
d. Pada lesi piramidalis, refleks ini (+) meningkat dan asimetris
antara jari-jari tangan kanan dan kiri.
e. Lengkung refleks ini melalui nervus medianus dan nervus ulnaris
dan berpusat di C6-T6.

8. Reflek Triseps Sure (Archiles Pees Reflex/APR)


a. Pegang ujung kaki pasien dengan menggunakan tangan kiri
pemeriksa untuk memberikan sikap dorsofleksi ringan pada kaki.
b. Alihkan perhatian pasien dengan menyuruh menarik pada kedua
tangannya yang tercekam bersilangan.
c. Ketuk dengan menggunakan reflex hammer pada tendon archilles.
d. Interpretasi: Refleks Triseps Sure dikatakan positif (+) jika terjadi
gerakan plantarfleksi pada kaki akibat kontraksi muskulus Triseps
Sure dan dikatakan negatif (-) jika tidak terjadi gerakan tersebut.
e. Lengkung refleks ini melalui S1-S2.

9. Reflek Patela (Knee Pes Reflex/ KPR)


a. Posisikan pasien dalam keadaan duduk dimana tungkai sedikit
difleksikan pada sendi panggul dan sendi lutut, serta tungkai bawah
tergantung dengan rileks, kemudian pemeriksa berada di sisi kanan
pasien
b. Jika pasien tidak dapat duduk dapat dilakukan dalam keadaan
berbaring supinasi dengan tungkai bawah semifleksi dan lengan
bawah kiri pemeriksa menyilang dibawah sendi lutut pasien agar
tungkai rileks.
62
c. Alihkan perhatian pasien dengan menyuruh menarik pada kedua
tangannya yang tercekam bersilangan.
d. Ketuk dengan menggunakan reflex hammer pada tendon patella.
e. Interpretasi: Refleks Patella dikatakan positif (+) jika terjadi
gerakan ekstensi tungkai bawah akibat kontraksi muskulus
kuadriseps femoris dan dikatakan negatif (-) jika tidak terjadi
gerakan tersebut.
f. Lengkung refleks ini melalui L2-L4.

10. Reflek Dinding Perut Dalam


a. Posisikan pasien dalam keadaan berbaring supinasi dan pemeriksa
berada di sisi kanan pasien.
b. Tempatkan jari telunjuk kiri pemeriksa sedikit menekan dinding
perut.
c. Ketuk dengan menggunakan reflex hammer pada jari telunjuk kiri
pemeriksa dan lakukan pada regio yang berbeda
(epigastrium, supraumbilikal, umbilical, dan intraumbilikal).
d. Interpretasi: Refleks Dinding Perut Dalam dikatakan positif (+) jika
tampak umbilikus bergerak ke arah otot yang berkontraksi
(muskulus rektus abdominis) dan dikatakan negatif (-) jika tidak
terjadi gerakan tersebut.
e. Pada orang penggeli refleks ini bisa meningkat. Namun, bila
disertai disertai refleks dinding perut superfisial bernilai (-) akan
menandakan adanya lesi piramidalis pada tempat yang lebih atas
C6.

63
Gambar Pemeriksaan Reflek

Sumber; Google

C. STANDAR OPERSIOANL PROSEDURE PEMERIKSAN REFLEK


FISIOLOGIS

Kompeten
No Langkah
Ya Tidak
A Fase Pra Interaksi
1. Cek rekam medis pasien, terkait data yang
akan dikaji
2. Siapkan diri perawat
3. Siapkan alat
a. Reflek hamer
b. Alat tulis
4. Cuci tangan sebelm menemui pasien
B Fase Orientasi
1. Mengucapkan salam dan memperkenalkan diri
2. Mengidentifikasi min 2 identitas pasien
3. Menyaipakn maksud dan tujuan
4. Menjelaskan prosedur
5. Menanyakan kesiapan pasien

64
C Fase Kerja
1. Cuci tangan
2. Siapkan ruangan senyaman mungkin untuk
privacy pasien
3. Siapkan pasien senyaman mungkin
4. Pemeriksaan Reflek Suprfisial
a. Pemeriksaan Reflek Kornea
1) Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan
pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
2) Mintalah pasien melirik ke arah berlawanan
dengan arah datangnya stimulus.
3) Kornea mata disentuh dengan sepotong kapas
yang ujungnya dipilin hingga runcing.
4) Interpretasi: Refleks Kornea dikatakan positif
(+) jika terjadi gerakan menutup mata dan
dikatakan negatif (-) jika tidak terjadi
gerakan tersebut.
5) Refleks kornea menghilang atau berkurang
menandakan gangguan nervus Trigeminus
sensorik cabang optalmik (nervus kranialis
V1) ataupun gangguan Nervus Fasialis (nervus
kranialis VII).
b. Pemeriksaan reflek dinding perut superfisial
1) Posisikan pasien dalam keadaan berbaring
supinasi dan pemeriksa berada di sisi kanan
pasien.
2) Gores dinding perut dengan ujung gagang
reflex hammer (benda yang agak runcing)
pada regio epigastrium, supraumbilikal,
umbilical, dan intraumbilikal dari lateral ke
medial.
3) Interpretasi: Refleks Dinding Perut Superfisial
dikatakan positif (+) jika tampak umbilikus
bergerak ke arah otot yang berkontraksi
(muskulus rektus abdominis) dan dikatakan
negatif (-) jika tidak terjadi gerakan tersebut.
c. Reflek Kremaster
1) Posisikan pasien dalam keadaan berbaring
supinasi dan paha sedikit abduksi, kemudian
pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
2) Permukaan medial paha digores dengan ujung
gagang reflex hammer (benda yang agak
runcing) dari proksimal ke distal.
3) Permukaan medial paha digores dengan ujung
gagang reflex hammer (benda yang agak
runcing) dari proksimal ke distal.
4) Interpretasi: Refleks Kremaster dikatakan
positif (+) jika tampak
5) elevasi testis ipsilateral akibat kontraksi
muskulus kremaster dan dikatakan negatif (-)
jika tidak terjadi gerakan tersebut.
d. Reflek Gluteal
65
1) Posisikan pasien dalam keadaan berbaring
pronasi (telungkup) dan paha sedikit abduksi,
pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
2) Lakukan goresan atau tusukan ringan dengan
ujung gagang reflex hammer (benda yang
agak runcing) pada regio gluteal.
3) Interpretasi: Refleks Gluteal dikatakan
positif (+) jika tampak gerakan kontraksi
muskulus glutealis ipsilateral dan
dikatakan negatif (-) jika tidak terjadi gerakan
tersebut.
e. Reflek Anus
1) Pasien dalam posisi litotomi, kemudian
pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
2) Lakukan goresan atau tusukan ringan dengan
ujung gagang reflex hammer (benda yang
agak runcing) pada region perianal (daerah
sekitar anus).
3) Interpretasi: Refleks Anus Superfisial
dikatakan positif (+) jika tampak gerakan
kontraksi muskulus spincter ani eksternus
dan dikatakan negatif (-) jika tidak terjadi
gerakan tersebut.
f. Reflek Plantar
1) Posisikan pasien dalam keadaan berbaring
supinasi dan istirahat dengan merilekskan
seluruh otot-otot kaki dan kedua tungkai
diluruskan, kemudian posisi pemeriksa berada
di sisi kaudal pasien.
2) Tangan kiri pemeriksa memegang salah satu
pergelangan kaki pasien dan sedikit diangkat
ke atas agar kaki tetap pada tempatnya dan
tidak menyetuh dasar tempat tidur.
3) Pada pada telapak kaki yang akan diperiksa,
lakukan goresan secara perlahan dengan
menggunakan gagang runcing reflex hammer
mulai dari daerah tumit menuju ke bagian
pangkal jari tengah kaki.
4) Goresan dilakukan secara perlahan, jangan
sampai menimbulkan rasa nyeri karena dapat
menimbulkan refleks menarik kaki (flight
réflex).
5) Interpretasi: Refleks Plantar dikatakan (+)
jika terjadi gerakan plantarfleksi jari-jari
kaki ipsilatera dan dikatakan (-) jika terjadi
gerakan tersebut.
5. Pemeriksaan Reflek dalam
a. Refleks Glabella
1) Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan
pemeriksa berada di hadapan pasien.
2) Mintalah pasien melirik ke arah depan.
3) Ketuk dengan menggunakan jari tengah kanan
pemeriksa pada region glabella atau sekitar
66
regio antara kedua supraorbitalis.
4) Interpretasi: Refleks Glabella dikatakan
positif (+) jika terjadi gerakan kontraksi
singkat kedua muskulus orbikularis okuli
dan dikatakan negatif (-) jika terjadi gerakan
tersebut.
5) Refleks glabella menghilang atau berkurang
menandakan gangguan nervus fasialis dan
meningkat pada sindroma parkinson.
b. Refleks Rahang Bawah (Jaw Reflex)
1) Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan
pemeriksa berada di hadapan pasien.
2) Mintalah pasien sedikit membuka mulut
dan jari telunjuk kiri pemeriksa melintang di
dagu.
3) Ketuk dengan menggunakan reflex hammer
pada jari telunjuk kiri pemeriksa.
4) Interpretasi: Refleks Rahang Bawah
dikatakan positif (+) jika tampak mulut
merapat akibat kontraksi muskulus maseter
dan dikatakan negatif (-) jika tidak terjadi
gerakan tersebut.
c. Refleks Biseps
1) Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan
pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
2) Mintalah lengan bawah pasien semifleksi dan
pronasi rileks di atas paha, kemudian ibu jari
kiri pemeriksa menekan tendon biseps di
fossa cubitti.
3) Ketuk dengan menggunakan reflex hammer
pada ibu jari kiri pemeriksa.
4) Interpretasi: Refleks Biseps dikatakan positif
(+) jika terjadi gerakan fleksi lengan bawah
dan dikatakan negatif (-) jika tidak terjadi
gerakan tersebut. Pusat refleks ini terletak di
C5-C6.
d. Refleks Triseps
1) Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan
pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
2) Mintalah lengan bawah pasien semifleksi dan
pronasi rileks di atas paha.
3) Ketuk dengan menggunakan reflex hammer
pada tendon triseps dari belakang sekitar 5 cm
diatas siku.
4) Interpretasi: Refleks Triseps dikatakan positif
(+) jika terjadi gerakan ekstensi lengan bawah
dan dikatakan negatif (-) jika tidak terjadi
gerakan tersebut.
e. Refleks Brakhioradialis (Refleks Radialis)
1) Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan
pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
2) Mintalah lengan bawah pasien semifleksi
pada posisi diantara pronasi dan supinasi

67
rileks di atas paha.
3) Ketuk dengan menggunakan reflex hammer
pada prosesus stiloideus ossis radius.
4) Interpretasi: Refleks Brakhioradialis dikatakan
positif (+) jika terjadi gerakan fleksi dan
supinasi lengan bawah dan dikatakan negatif
(-) jika tidak terjadi gerakan tersebut.
5) Lengkung refleks ini melalui nervus radialis
dan berpusat di C5-C6.
f. Refleks Ulna
1) Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan
pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
2) Mintalah lengan bawah pasien semifleksi dan
semipronasi rileks di atas paha.
3) Ketuk dengan menggunakan reflex hammer
pada prosesus stiloideus ossis ulnae.
4) Interpretasi: Refleks Ulna dikatakan positif
(+) jika terjadi gerakan pronasi lengan
bawah, kadang juga gerakan adduksi
pada pergelangan tangan dan dikatakan
negatif (-) jika tidak terjadi gerakan tersebut.
g. Refleks Fleksor Jari-Jari Tangan
1) Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan
pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
2) Mintalah tangan pasien diletakkan pada dasar
yang agak kers pada posisi upinasi dan jari-
jari tangan sedikit difleksikan, kemudian jari
telunjuk kiri pemeriksa diletakkan menyilang
pada permukaan volar jari-jari.
3) Ketuk dengan menggunakan reflex hammer
pada jari telunjuk kiri pemeriksa.
4) Interpretasi: Refleks Fleksor Jari-Jari Tangan
dikatakan positif (+) jika terjadi gerakan
fleksi ringan jari-jari tangan dan dikatakan
negatif (-) jika tidak terjadi gerakan tersebut.
5) Pada lesi piramidalis, refleks ini (+)
meningkat dan asimetris antara jari-jari tangan
kanan dan kiri.
h. Refleks Triseps Sure (Archilles Pees Reflex/APR)
1) Posisikan pasien dalam keadaan duduk
dimana tungkai sedikit difleksikan pada
sendi panggul dan sendi lutut, serta tungkai
bawah tergantung dengan rileks, kemudian
pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
2) Pegang ujung kaki pasien dengan
menggunakan tangan kiri pemeriksa untuk
memberikan sikap dorsofleksi ringan pada
kaki.
3) Alihkan perhatian pasien dengan menyuruh
menarik pada kedua tangannya yang tercekam
bersilangan.
4) Ketuklah dengan menggunakan reflex hammer
pada tendon archilles.
68
5) Interpretasi: Refleks Triseps Sure dikatakan
positif (+) jika terjadi gerakan plantarfleksi
pada kaki akibat kontraksi muskulus Triseps
Sure, dan dikatakan negatif (-) jika tidak terjadi
gerakan tersebut.
Refleks Patella (Knee Pees Reflex/KPR)
1) Posisikan pasien dalam keadaan duduk
dimana tungkai sedikit difleksikan pada
sendi panggul dan sendi lutut, serta tungkai
bawah tergantung dengan rileks, kemudian
pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
2) Jika pasien tidak dapat duduk dapat
dilakukan dalam keadaan berbaring supinasi
dengan tungkai bawah semifleksi dan lengan
bawah kiri pemeriksa menyilang dibawah
sendi lutut pasien agar tungkai rileks.
3) Alihkan perhatian pasien dengan menyuruh
menarik pada kedua tangannya yang tercekam
bersilangan.
4) Ketuk dengan menggunakan reflex hammer
pada tendon patella.
5) Interpretasi: Refleks Patella dikatakan positif
(+) jika terjadi gerakan ekstensi tungkai
bawah akibat kontraksi muskulus
kuadriseps femoris dan dikatakan negatif (-)
jika tidak terjadi gerakan tersebut.
Refleks Dinding Perut Dalam
1) Posisikan pasien dalam keadaan berbaring
supinasi dan pemeriksa berada di sisi kanan
pasien.
2) Tempatkan jari telunjuk kiri pemeriksa
sedikit menekan dinding perut.
3) Ketuk dengan menggunakan reflex hammer
pada jari telunjuk kiri pemeriksa dan
lakukan pada regio yang berbeda
(epigastrium, supraumbilikal, umbilical, dan
intraumbilikal).
4) Interpretasi : Refleks Dinding Perut Dalam
dikatakan positif (+) jika tampak umbilikus
bergerak ke arah otot yang berkontraksi
5) (muskulus rektus abdominis) dan dikatakan
negatif (-) jika tidak terjadi gerakan tersebut.
6) Pada orang penggeli refleks ini bisa
meningkat. Namun, bila disertai disertai
refleks dinding perut superfisial bernilai
negatif (-) akan menandakan adanya lesi
piramidalis pada tempat yang lebih atas C6.
C Fase Terminasi
1. Sampaikan hasil pemeriksaan
2. Evaluasi perasaan pasien
3. Lakukan kontrak untuk pertemuan
selanjutnya

69
4. Berikan penghargaan atas pencapaian
pasien dan kerja samanya
5. Berpamitan
6. Rapihkan alat
7. Cuci tangan
8. dokumentasi

70
Program Studi : Sarjana Keperawatan Pertemuan ke : 14
Nama Mata Kuliah : Keperawatan Medikal
Bedah III

MODUL 4
RANGE-OF-MOTION (ROM) EXERCISES

A. Case Study
Tn A (41 thn) dirawat dengan stroke haemoraghic hari pertama. Tn A
mengeluh sakit kepala dengan skala 10. Hasil pemeriksan fisik: kesadaran
somnolen, gelisah, tekanan darah 200/130 mmHg, nadi 135 x/ menit, RR : 28
x/ menit dan suhu 37oC, pupil isokor, reflek kornea positif, kekuatan otot
ektremitas kiri atas 3 kiri bawah 3, reflek Babinski positif. Hasil CT scan
diperoleh informasi perdarahan intraventrikuler 1, 2, 3 dan 4.
B. Uraian Materi
Mobility mengacu pada kemampuan bergerak bebas, sedangkan imobilitas
mengacu pada ketidakmampuan seseorang untuk bergerak bebas. Mobilitas
dan imobilitas paling baik dipahami sebagai titik akhir pada sebuah
kontinum, dengan banyak derajat mobilitas parsial di antaranya. Beberapa
pasien bergerak bolak-balik pada kontinum mobilitas-imobilitas sebagai
akibat dari penyakit atau cedera. Seorang ppasien dapat mengalami untuk
masa yang tidak terbatas (Biley, 2004).
Tingkat mobilitas memiliki dampak signifikan pada kesejahteraan
fisiologis, psikologis dan perkembangan individu (Janelli et al., 2009, dalam
Potter dan Perry, 2014). Mobilitas yang terganggu dapat mengakibatkan
perubahan fungsi kardio-vaskuler, gangguan fungsi metabolism,
peningkatan risiko komplikasi paru, peningkatan risiko ulcer pressure, dan
perubahan eliminasi urin (Huether dan McCance 2008; Lewis et al., 2011,
dalam Potter dan Perry, 2014).
Tingkat keparahan gangguan mobilitas tergantung pada usia pasien,
status kesehatan keseluruhan, status gizi, dan tingkat pengalaman imobilitas.
Misalnya, efek nyata imobilitas berkembang lebih cepat pada orang dewasa

71
yang lebih tua dengan penyakit kronis daripada pada pasien yang lebih muda
(Touhy et al., 2010, dalam Potter dan Perry, 2014). Orang dewasa yang lebih
tua lebih besar risiko untuk mengembangkan hipotensi ortostatik, sinkop,
kebingungan, peningkatan risiko fraktur, dan inkontinensia fungsional
sebagai hasilnya mobilitas menurun dari tirah baring (Craig et al., 2010;
Johnson et al., 2009, dalam Potter dan Perry, 2014). Peningkatan aktivitas
dan olahraga dapat mengurangi lama rawat dan biaya untuk orang dewasa
yang dirawat di rumah sakit.
Perubahan dalam mobilitas mungkin memiliki dampak psikososial yang
mendalam dan efek terhadap perkembangan. Imobilisasi sering mengarah
pada emosi, perubahan intelektual, sensorik, dan sosial budaya. Untuk anak
muda dan orang dewasa yang lebih tua, imobilitas dapat mengubah
pekerjaan, fungsi peran keluarga dan interaksi sosial. Perubahan seperti itu
dapat menyebabkan perubahan konsep diri, penurunan harga diri, dan
depresi. Anak-anak juga begitu, mereka dipengaruhi immobilisasi. Aktivitas
bagi anak-anak adalah cara untuk melepaskan energi dan mengekspresikan
diri. Ketika mereka kekurangan aktifitas fisik, anak-anak menjadi gelisah dan
bahkan mungkin menunjukkan tanda-tanda kemarahan dan agresi
(Hockenberry dan Wilson, 2011, dalam Potter and Perry, 2014).
Perubahan mobilitas pasien disebabkan oleh berbagai macam masalah
kesehatan. Sebagai contoh, kondisi muskuloskeletal seperti fraktur
ekstremitas atau keseleo otot, kondisi neurologis seperti trauma tulang
belakang, kondisi neurologis degeneratif seperti myasthenia gravis, dan
cedera kepala.
Pada beberapa pasien immobilisasi dilakukan karena alasan terapetik
(mis., istirahat di tempat tidur yang ditentukan atau dikurangi aktivitas).
Upaya keperawatan berusaha untuk mempertahankan dan / atau
memulihkan pada mobilitas yang optimal dan mengurangi bahaya yang
terkait dengan immobilisasi. Sering kali reposisi (perubahan posisi) latihan
pernafasan dan latihan batuk, latihan otot dan sendi, peningkatan asupan

72
cairan, dan diet asupan makanan yang mengandung serat adalah contoh
tindakan yang membantu untuk mengurangi bahaya imobilitas.

PRAKTEK BERBASIS BUKTI


Orang dewasa yang lebih tua mengalami penurunan aktivitas fisik dan
beberapa perubahan pada persendian yang dapat membuat mereka rentan
terhadap masalah mobilitas. Dalam sebuah studi baru-baru ini, waktu yang
dihabiskan dalam aktivitas fisik aktif, bahkan 12 jam per hari, menghasilkan
risiko kematian yang secara signifikan lebih rendah (15% hingga 35%)
dibandingkan dengan tidak ada waktu dalam kegiatan aktif (Paganini-Hill et
al., 2011, dalam Potter dan Perry, 2014). Ada bukti kuat bahwa olahraga dan
aktivitas fisik membantu orang dewasa yang lebih tua mempertahankan gaya
hidup aktif, meningkatkan kualitas hidup, dan mencegah cedera (lihat
Pedoman Prosedural 10-1).
a. Melaksanakan dan menyediakan sumber daya untuk rencana program
latihan yang direncanakan. Latihan menahan beban dan latihan
resistensi memperlambat kejadian keropos tulang dan mencegah patah
tulang pada orang dewasa yang lebih tua dengan osteoporosis (De Kam
et al., 2009; Touhy et al., 2010, dalam Potter dan Perry, 2014).
b. Rekomendasikan program pelatihan resistensi dan ketangkasan. Ini
bentuk latihan mengurangi rasa takut jatuh dan meningkatkan rasa
kesejahteraan pada orang dewasa yang lebih tua (De Kam et al., 2009;
Sherrington et al., 2008, dalam Potter dan Perry, 2014).
c. Konsultasikan dengan penyedia layanan kesehatan sebelum memulai
program latihan, khususnya pada pasien penyakit jantung atau paru-
paru dan penyakit kronis lainnya (Chodzko-Zajko et al., 2009, dalam
Potter dan Perry, 2014).
d. Ketika mengembangkan program olahraga untuk orang dewasa yang
lebih tua, Pertimbangkan tidak hanya pada tingkat aktivitas pribadi saat
ini, rentang gerak, kekuatan dan tonus otot, dan respons terhadap

73
aktivitas fisik, tetapi juga perlu dipertimbangkan minat, kapasitas, dan
keterbatasan mereka.

PERAWATAN BERBASIS PASIEN


Nilai harapan setiap pasien mengenai aktivitas dan olahraga dan tentukan
persepsinya tentang apa yang normal atau dapat diterima adalah sangat
penting. Misalnya, salah satu faktor yang mempengaruhi aktivitas fisik
adalah terbebasnya dari rasa sakit. Jika berolahraga menyakitkan atau
melelahkan bagi pasien, maka komitmen untuk intervensi yang diinginkan
mungkin kurang. Oleh karenanya penting untuk mempertimbangkan bahwa
beberapa pasien puas dengan aktivitas fisik dan kebugaran mereka saat ini
dan tidak merasa perlu untuk perbaikan.
Saat membantu dengan latihan rentang gerak atau ambulasi, perlu diingat
bahwa kegiatan ini dapat menempatkan pasien pada posisi yang dapat
membuat pasien merasa pada posisi yang tidak nyaman, atau dapat
membuat mereka malu. Oleh karenanya perlu diperhatikan privacy pasien,
missal dengan kenakan pasien pakaian yang menutupi atau pelindung yang
dapat melindungi privacy pasien. Banyak budaya menekankan kerendahan
hati, dan pasien dari budaya ini mungkin tidak berpartisipasi dalam tindakan
pengobatan karena takut terpapar. Misalnya, perempuan Muslim perlu
sepenuhnya ditutupi ketika di depan umum karena penekanan pada jilbab,
atau kesopanan wanita (Simpson et al., 2008, daam Potter dan Perry, 2014).

Pedoman Keamanan
a. Siapkan alat yang akan digunakan dan perkenalkan pasien terhadap alat
yang akan digunakan tersbut. Pengetahuan tentang persiapan yang
tepat dan penggunaan perangkat yang diperlukan dan mengajarkan
pasien tentang persiapan dan cara menggunakan alat tersebut dapat
memastikan pasien untuk menggunakannya dengan aman dan benar.

74
b. Persiapkan pasien. Pastikan mereka beristirahat dan tidak lelah.
Dapatkan personel tambahan untuk membantu; gunakan alat pengaman
dan flat, sepatu nonskid untuk pasien.
c. Atasi rasa takut pasien terhadap kemungkinan jatuh.
d. Tentukan jenis dan frekuensi intervensi. Aktivitas yang sesuai untuk 1
hari atau satu shift dapat berubah, Hasilnya kebutuhan meningkat atau
menurun untuk bantuan dengan ambulasi atau perubahan dalam jenis
intervensi.
e. Ketahui rencana perawatan di rumah pasien. Seorang pasien mungkin
perlu lanjutkan latihan atau gunakan alat bantu di rumah.

LATIHAN RANGE OF MOTION (ROM)


Latihan range-of-motion (ROM) mungkin aktif, pasif, atau dibantu aktif. Mereka
aktif jika pasien dapat melakukan latihan secara independen dan pasif jika
latihan dilakukan dengan bantuan. Dalam setiap aspek kegiatan kehidupan
sehari-hari (Activity Daily Living/ ADL), dorong pasien untuk semandiri
mungkin. Dorong dan awasi pasien untuk melakukan latihan ROM aktif dan
pasif. Menggabungkan latihan ROM aktif dalam ADL pasien (Tabel 10-1).
Masukkan ROM pasif ke dalam aktivitas mandi dan makan. Berkolaborasi
dengan seorang pasien untuk mengembangkan jadwal untuk kegiatan ROM.

75
Sumber : Potter dan Perry (2014)

Delegasi dan Kolaborasi Pada Latihan ROM


Keterampilan melakukan latihan ROM dapat didelegasikan ke personel asisten
perawat (NAP). Pasien dengan sumsum tulang belakang atau trauma ortopedi
biasanya memerlukan latihan ROM oleh perawat profesional atau terapis fisik.
Perawat mengarahkan personal asisten perawat untuk:
a. Lakukan latihan secara perlahan dan berikan dukungan yang memadai
untuk setiap sendi yang dilakukan latihan
b. Tidak dilakukan aktifitas pada sendi di luar titik resistensi atau ke titik
kelelahan atau rasa sakit.
c. Diskusikan keterbatasan individu pasien atau kondisi yang sudah ada
sebelumnya seperti artritis, yang dapat mempengaruhi ROM.

Peralatan
a. Tidak diperlukan peralatan mekanik atau fisik
b. Hand scoon atau sarung tangan bersih (opsional)

76
C. Standar Operasional Prosedur (SOP)

Langkah Prosedural
a. Fase Pra interaksi
1) Cek rekam medic pasien terkait hasil pemeriksaan fisik yang ditemukan,
order dokter, diagnose medis, riwayat medis dan kemajuan.
2) Dapatkan data tentang fungsi sendi dasar pasien. Amati keterbatasan
dalam mobilitas sendi, kemerahan, atau kehangatan pada sendi;
kelembutan sendi; kelainan bentuk; atau krepitus yang dihasilkan oleh
gerakan sendi.
3) Tentukan kesiapan pasien atau pengasuh keluarga untuk belajar.
4) Siapkan sarung tangan (opsional)
b. Fase Interaksi
1) Ucapakan salam, perkenalkan diri
2) Identifikasi identitas pasien
3) Jelaskan tujuan/ semua alasan untuk latihan ROM dan
4) Jelaskan dan memperagakan latihan yang akan dilakukan
5) Tanyakan kesiapan pasien dan juga keluarga
c. Fase Kerja
1) Lakukan privasi
2) Cuci tangan
3) Gunakan sarung tangan
4) Nilai tingkat kenyamanan pasien (pada skala 0 hingga 10 dengan 10
menjadi rasa sakit terburuk) sebelum latihan
5) Tentukan apakah pasien membutuhkan obat pereda nyeri sebelum
memulai latihan ROM
6) Bantu pasien ke posisi yang nyaman, sebaiknya duduk atau berbaring
7) Lakukan latihan ROM (aktif/pasif) (lihat gerakan latihan ROM pada
tabel 10.2), saat melakukan laihan ROM baik aktif maupun pasif ,
berikan dukungan terhadap persambungan dengan dengan memegang

77
bagian distal ekstremitas atau menggunakan tangan ditangkupkan
untuk mendukung sendi (lihat ilustrasi: gambar 1).

Gambar 1 (sumber, Potter dan Perry, 2014)

Berikut latihan ROM yang dapat dilakukan pada setiap bagian tubuh:

78
79
80
81
8) Latihan lengkap dalam urutan head-to-toe. Ulangi setiap gerakan 5 kali
selama periode latihan. Beri tahu pasien bagaimana latihan ini dapat
dimasukkan ke dalam ADL (lihat kembali Tabel 10-1).
**Keputusan Klinis: Jika terdapat resistensi sendi, jangan memaksakan
gerakan sendi. Kosnultasikan dengan medis atau terapis fisik
9) Amati pasien saat melakukan aktivitas ROM.
10) Ukur gerakan sendi sesuai kebutuhan.
11) Pantau nyeri selama periode latihan ROM.

d. Fase Terminasi
1) Lakukan evaluasi
2) Berikan reinforcement positif terhadap pasien
3) Kontrak untuk pertemuan selanjutnya

82
4) Merapikan pasien
5) Berpamitan dengan pasien
6) Melepas sarung tangan (jika memakai)
7) Cuti tangan
8) Dokumentasikan tindakan

83
Program Studi : Sarjana Keperawatan Pertemuan ke : 14
Nama Mata Kuliah : Keperawatan Medikal
Bedah III

MODUL 5
MEMBANTU AMBULASI DENGAN MENGGUNAKAN CANES, CRUTCHES DAN
WALKER

Program Studi : Sarjana Keperawatan Pertemuan ke :


Nama Mata Kuliah : Keperawatan Medikal
Bedah III

A. Case Study
Laki-laki 42 tahun post operasi ORIF pada 1/3 medial cruris sinistra .
Saat ini anda akan melatih ambulasi pada pasien tersebut.

B. Uraian Materi
Pasien yang tidak bergerak untuk waktu yang singkat mungkin
memerlukan bantuan dengan ambulasi. Minta pasien mengenakan sabuk
pengaman dan berdiri di sisi yang lebih kuat. Kemudian, jika pasien
mulai jatuh, Anda dapat menariknya ke arah Anda di sisi yang lebih kuat.
Setiap kali membantu pasien naik dan turun dari tempat tidur atau kursi,
ada risiko hipotensi ortostatik. Hipotensi ortostatik atau postural
hipotensi adalah penurunan tekanan darah yang terjadi ketika pasien
berubah dari posisi horizontal ke posisi vertikal. Penurunan tekanan
darah lebih besar dari 20 mm Hg dalam tekanan sistolik atau 10 mm Hg
dalam tekanan diastolik dengan gejala pusing, pusing, mual, takikardi,
pucat, dan pingsan menunjukkan hipotensi ortostatik (Lewis et al., 2011;
Thompson et al., 2011, dalam Potter dan Perry, 2014).
Sebelum ambulasi pasien menggunakan intervensi untuk
mempertahankan tonus otot, meningkatkan aliran balik vena ke jantung,
dan mengurangi stasis darah di ekstremitas bawah. Gunakan tindakan
pencegahan keselamatan sebelum dan selama ambulasi untuk
84
mengendalikan hipotensi ortostatik dan penurunan selanjutnya. Seorang
pasien mungkin memerlukan penggunaan alat bantu untuk membantu
ambulasi. Penggunaan alat bantu meningkatkan stabilitas, mendukung
ekstremitas yang lemah, atau mengurangi beban pada struktur yang
menahan beban seperti pinggul, lutut, atau pergelangan kaki. Perangkat
ini berkisar dari tongkat standar (canes), yang memberikan
keseimbangan dan dukungan fisik minimal, hingga kruk (crutches) dan
alat bantu jalan, yang digunakan oleh pasien dengan batasan penahan
berat pada satu atau lebih dari kaki mereka (walker). Saat membantu
pasien untuk ambulasi saat menggunakan alat bantu, mintalah orang
tersebut memakai sabuk pengaman dan berdiri di sisi lemah orang
tersebut. Pemilihan perangkat yang sesuai tergantung pada usia pasien,
diagnosis, koordinasi otot, dan kemudahan manuver (Pierson dan
Fairchild, 2008). Penggunaan alat bantu dapat bersifat sementara (mis.,
Selama pemulihan dari ekstremitas fraktur atau bedah ortopedi) atau
permanen (misalnya, pasien dengan kelumpuhan atau kelemahan
permanen pada ekstremitas bawah).
Tongkat (canes) adalah perangkat yang ringan dan mudah digerakkan
yang memanjang setinggi pinggang dan terbuat dari kayu atau logam.
Tongkat membantu menjaga keseimbangan dengan memperluas basis
dukungan.
Penggunaan tongkat diindikasikan untuk pasien dengan hemiparesis dan
digunakan untuk meredakan ketegangan pada sendi yang menahan
beban.
Tongkat tidak direkomendasikan untuk pasien dengan kelemahan kaki
bilateral; kruk atau pejalan kaki lebih cocok untuk pasien tersebut
(kelemahan kaki bilateral) (Pierson dan Fairchild, 2008, dalam Potter
dan Perry, 2014).
Ada tiga jenis tongkat yang biasa digunakan. Tongkat penjahat standar
memberikan dukungan paling sedikit dan digunakan oleh pasien yang
hanya membutuhkan sedikit bantuan untuk berjalan. Ini memiliki

85
pegangan setengah lingkaran, yang memungkinkan untuk dihubungkan
ke kursi. Tongkat tripod (tongkat piramida) memiliki tiga kaki, dan
tongkat quad memiliki empat kaki; kaki tambahan menyediakan basis
dukungan yang luas. Jenis tongkat ini berguna untuk pasien dengan
kelumpuhan kaki unilateral atau parsial. Mereka juga memiliki
keuntungan berdiri sendiri, membebaskan lengan untuk membantu
pasien bangkit dari kursi.

Kruk (crutches) adalah tongkat kayu atau logam yang menjangkau dari
tanah sampai ke aksila. Kruk menghilangkan berat dari satu atau kedua
kaki. Mereka digunakan oleh pasien yang harus mentransfer lebih
banyak berat ke lengan mereka daripada yang mungkin dilakukan
dengan tongkat.
Ada tiga jenis kruk: aksila, Lofstrand, dan platform. Pasien dari segala
usia sering menggunakan kruk ketiak dalam jangka pendek. Tongkat
Lofstrand memiliki pegangan tangan dan pita logam yang pas di lengan
pasien. Baik pita logam dan pegangan disesuaikan agar sesuai dengan
tinggi pasien. Jenis kruk ini berguna untuk pasien dengan cacat tetap
seperti paraplegia. Ban lengan logam menstabilkan dan membantu
memandu kruk. Ini juga menawarkan keunggulan lain. Pertama, gelang
melingkar memungkinkan pasien untuk menggunakan tangan mereka
untuk kegiatan lain seperti membuka pintu tanpa menjatuhkan kruk.
Kedua, pembukaan anterior band memungkinkan pasien untuk
membebaskan diri dari kruk jika terjatuh. Pasien yang tidak dapat
menahan berat badan di pergelangan tangan mereka menggunakan kruk
platform. Ini memiliki palung horisontal di mana pasien dapat
mengistirahatkan lengan bawah dan pergelangan tangan mereka dan
pegangan vertikal untuk dipegang pasien.
Alat bantu jalan (Walker )adalah alat yang sangat ringan dan dapat
digerakkan yang berdiri setinggi pinggang, terdiri dari bingkai logam
dengan pegangan, empat kaki kokoh yang ditempatkan secara luas, dan

86
satu sisi terbuka. Karena memiliki dasar dukungan yang luas, walker
memberikan stabilitas dan keamanan yang tinggi.
Alat bantu jalan dapat digunakan oleh pasien yang lemah atau memiliki
masalah dengan keseimbangan (Pierson dan Fairchild, 2008, dalam
(Perry, Potter, & Ostendorf, 2014)
Selain walker standar, tersedia beberapa model lain: versi lipat yang
mudah dibawa, satu dengan jok lipat, dan satu dengan roda di kaki
depan. Walker dengan roda bermanfaat bagi pasien yang kesulitan
mengangkat walker saat berjalan karena keseimbangan atau daya tahan
yang terbatas. Namun, kerugiannya adalah bahwa alat bantu jalan dapat
berguling ke depan saat berat badan diterapkan.

Delegasi dan Kolaborasi


Keterampilan membantu pasien dengan ambulasi dapat didelegasikan
ke personal asisten perawat (NAP). Perawat mengarahkan personal
asisten perawat tersebut dengan:
a. Perintahkan mereka untuk membuat pasien berbaring menjuntai di
tempat tidur sebelum ambulasi (lihat Bab 9).
b. Perintahkan mereka untuk segera mengembalikan seorang pasien ke
tempat tidur atau kursi jika pasien merasa mual, pusing, pucat, atau
berkeringat dan untuk segera melaporkan tanda-tanda dan gejala ini
kepada perawat profesional.
c. Membahas pentingnya menerapkan sepatu yang aman dan tidak
berbahaya serta memastikan bahwa lingkungan bebas dari segala
rintangan dan tidak ada kelembapan/air di lantai sebelum pasien
ambulasi.

Peralatan
a. Perangkat ambulasi (kruk, walker , tongkat)
b. Alat pengaman (gait belt) bila ada
c. Sepatu yang pas, rata, dan tidak untuk anak-anak

87
d. Jubah
e. Goniometer (opsional)

PENGKAJIAN (SEBELUM MELAKUKAN TINDAKAN)


a. Cek rekam medik pasien, meliputi:
1) riwayat medis seorang Pasien.
Obat-obatan tertentu, penyakit kronis, dan riwayat jatuh dapat
memengaruhi kemampuan pasien untuk berjalan secara
mandiri.
2) Tingkat aktivitas pasien sebelumnya.
Mengidentifikasi toleransi aktivitas pasien. Pasien mungkin
mudah lelah atau rentan terhadap hipotensi ortostatik jika
tirah baring telah diperpanjang.
3) Urutan aktivitas saat ini
Memverifikasi apakah bantuan ambulasi diperlukan dan
menentukan jumlah kegiatan yang diizinkan.

b. Menilai kesiapan fisik pasien, meliputi:


1) Memperoleh detak jantung pasien; tekanan darah; dan
orientasi ke waktu, tempat, dan orang.
Ambulasi setelah imobilitas bisa melelahkan dan membuat
stres. Baseline diperlukan untuk mendeteksi hipotensi
ortostatik. Baseline tanda-tanda vital juga diperlukan untuk
perbandingan setelah beraktifitas. Orientasi penuh diperlukan
agar pasien memahami instruksi.
2) Kaji rentang gerak (ROM), kekuatan otot, koordinasi, dan
apakah ada kelainan bentuk kaki.
Menentukan apakah pasien memiliki fleksibilitas dan kekuatan
otot yang cukup untuk ambulasi dengan aman dan jika dia
membutuhkan latihan penguatan otot. Menentukan adanya

88
kelainan kaki sangat penting karena kelainan tersebut dapat
mempengaruhi ambulasi
3) Kaji pasien akan defisit visual, persepsi, atau sensorik.
Menentukan apakah pasien dapat menggunakan alat bantu
dengan aman. Ambulasi setelah imobilitas bisa melelahkan dan
membuat stres.
4) Menilai lingkungan untuk kemungkinan ancaman terhadap
keselamatan pasien. Melindungi pasien dari kemungkinan
cedera.
5) Kaji nyeri pasien pada skala 0-10, 10 sebagai nyeri terburuk.
Pasien mungkin sakit atau takut sakit akibat latihan. Jika perlu,
berikan analgesik 30 hingga 60 menit sebelum beraktifitas.
c. Tentukan pemahaman pasien atau pengasuh keluarga tentang teknik
ambulasi yang akan digunakan.
Mengizinkan pasien mengungkapkan kekhawatirannya. Pasien yang
sudah tidak bergerak untuk waktu yang lama mungkin ragu untuk
ambulasi. Pengasuh (caregiver) mungkin ragu untuk belajar
bagaimana membantu ambulasi.
d. Tentukan waktu optimal untuk ambulasi. Kebiasaan pribadi pasien
harus dipertimbangkan ketika merencanakan kegiatan.
e. Kaji tingkat bantuan yang dibutuhkan pasien. Untuk keselamatan,
orang lain mungkin diperlukan pada awalnya untuk membantu
ambulasi pasien. Beri pasien kebebasan sebanyak mungkin.

NURSING DIAGNOSIS
Nursing diagnosis pada pasien dengana masalah ambulasi atau
immobilisasi diataranya adalah :
a. Intoleransi aktifitas
b. Punurunan curah jantung
c. Deficit penegtahuan untuk penggunaan alat bantu
d. Fatigue

89
e. Kerusakan mobilitas fisik
f. Inefektif perfusi jaringan perifer
g. Resiko jatuh
h. Reiko cedera

PLANNING
1. Hasil yang diharapkan setelah selesainya prosedur:
a. Pasien berjalan tanpa cedera. Kewaspadaan mencegah hipotensi
ortostatik. Kesesuaian penggunaan alat bantu dapat memastikan
keamanan pasien.
b. Pasien dapat berjalan tanpa kelelahan atau pusing yang
berlebihan. Perangkat bantu yang dipilih membutuhkan tenaga
minimal.
c. Pasien menunjukkan gaya berjalan yang benar. Dintunjukan
dengan peragaan akan cara berjlan yang diajarkan.
d. Pasien melanjutkan kegiatan sosial dan perawatan diri.
Ambulasi progresif meningkatkan daya tahan pasien dan
kebebasan pasien akan melakukan aktifitas
2. Mempersiapkan pasien untuk ambulasi:
a. Jelaskan alasan untuk beraktifitas dan tunjukkan teknik
ambulasi tertentu pada pasien atau pengasuh keluarga.
Pengajaran dan demonstrasi meningkatkan pembelajaran,
mengurangi kecemasan, dan mendorong kerja sama.
b. Putuskan dengan sabar sejauh mana ambulasi. Menentukan
tujuan bersama sangat penting agar pasien merasa dihargai dan
pada akhirnya ia berkomitmen.
c. Jadwalkan ambulasi di sekitar kegiatan pasien lainnya, agar
pasien terhindar dari kelelahan.

90
d. Tempatkan tempat tidur di posisi rendah dan secara perlahan
bantu pasien ke posisi tegak Fowler (lihat Bab 9). Jika di kursi,
minta pasien duduk tegak dengan kaki rata di lantai.
e. Bantu pasien di tempat tidur untuk posisi menggantung di
samping tempat tidur (lihat ilustrasi). Memungkinkan sirkulasi
beberapa menit agar seimbang. Mencegah hipotensi ortostatik
dan cedera potensial. Gerakan kaki dalam posisi menggantung
mendorong aliran balik vena.

f. Bantu pasien duduk untuk posisi berdiri dan biarkan berdiri


sampai keseimbangan diperoleh. Dukungan sebaiknya dengan
memegang gait belt.
g. Tanyakan apakah pasien merasa pusing atau pusing
berkunang-kunang). Jika pasien tampak pusing, duduk kembali
dan periksa kembali tekanan darah. Dengan tindakan tersebut
kita dapat melakukan deteksi hipotensi ortostatik sebelum
ambulasi dini.
h. Jika pasien terpasang infus (IV), maka infus harus dibawa
dapat dengan menggunkan tiang infus beroda, begitu juga bila

91
pasien terpasang foley kateter maka ikut dibawa ambulasi.
Pada keadaan seperti ini butuh bantuan orang kedua untuk
membantu, sehingga pasien tidak terbebani. Posisi urin bag di
bawah tidak boleh di atas bladder, hal tersebut bertujun untuk
mencegah masuknya urin ke kandung kemih, yang dapat
menyebabkan meningkatnya risiko infeksi
Point Penting dalam Keputusan Klinis Singkirkan rintangan dari jalur,
termasuk karpet, dan segera bersihkan tumpahan. Hindari orang banyak.
Kerumunan meningkatkan risiko kruk, tongkat, atau alat bantu jalan
tertendang dan pasien dapat kehilangan keseimbangan.

3. Menentukan ketinggian perangkat/ alat ambulasi yang tepat.


1) Jika menggunakan kruk, maka pengukuran kruk adalah sebagai
berikut: Tinggi pasien, jarak antara bantalan kruk dan aksila, dan
sudut lengkungan siku. Adapun metode yang dapat digunakan
adalah sebagai berikut :
a. Berdiri: Posisikan kruk dengan ujung kruk setinggi 15 cm (6
inci) ke samping dan 15 cm di depan kaki pasien (posisi
tripod) dan bantalan kruk 5 cm (2 inci) di bawah axilla
(Pierson dan Fairchild, 2008, dalam Potter dan Perry, 2014)
(lihat ilustrasi).
b. Terlentang: Bantalan kruk kira-kira 5 cm (2 inci) atau
selebar dua sampai tiga jari di bawah aksila dengan ujung
kruk diposisikan 15 cm (6 inci) lateral ke tumit pasien
(Pierson dan Fairchild, 2008, dalam Potter dan Perry, 2014)
( lihat ilustrasi).
c. Instruksikan pasien untuk melaporkan kesemutan atau mati
rasa di batang atas.
d. Mengikuti penyesuaian kruk yang benar, dua hingga tiga jari
harus pas di antara bagian atas kruk dan aksila (lihat
ilustrasi).

92
e. Dengan metode pengukuran apa pun, siku dilipat 15 hingga
30 derajat. Verifikasi fleksi siku dengan goniometer (lihat
ilustrasi). Sudut memastikan bahwa lengan dapat
mendorong tubuh keluar dari tanah

Sumber : Potter dan Perry, 2014

Pengukuran kruk ditujukan untuk meningkatkan dukungan dan


mempertahakan stabilitas yang optimal. Saraf radial lewat di bawah
area aksila superfisial. Jika tongkat terlalu panjang, dapat menyebabkan
tekanan pada aksila dan saraf radial. Cedera pada saraf radial
menyebabkan kelumpuhan ekstensor siku dan pergelangan tangan,
biasa disebut kruk palsy. Selain itu, jika tongkat terlalu panjang, bahu
dipaksa ke atas, dan pasien tidak bisa mendorong tubuh keluar dari
tanah. Jika alat ambulasi terlalu pendek, pasien membungkuk dan tidak
nyaman. Bila terjadi mati rasa atau kesemutan pada bagian lengan atau
tangan, maka dapat berarti bahwa kruk digunakan secara tidak benar

93
atau ukurannya salah. Adanya runag antar aksila dengan kruk yang
memadai mencegah terjadinya kruk palsy.
f. Selain panjang keseluruhan kruk ketiak/aksila, ketinggian
pegangan juga penting. Kedua dimensi dapat disesuaikan
pada penopang yang dibuat dengan baik, dan kemampuan
untuk menyesuaikan dimensi ini adalah fitur penting untuk
anak yang sedang tumbuh. Sesuaikan pegangan sehingga
siku pasien sedikit tertekuk. Jika pegangan terlalu rendah,
kerusakan saraf radial dapat terjadi bahkan jika panjang
kruk secara keseluruhan benar karena panjang ekstra
antara pegangan dan batang aksila dapat memaksa batang
naik ke aksila saat pasien meregang ke bawah untuk
mencapai pegangan. Jika handgrip terlalu tinggi, siku pasien
tertekuk tajam, dan kekuatan dan stabilitas lengan
menurun.

2) Jika menggunakan tongkat : Pengukuran tongkat: Pasien


memegang tongkat di sisi yang tidak terlibat/sakit 10 sampai 15
cm (4 hingga 6 inci) ke sisi kaki. Tongkat memanjang dari
trokanter besar ke lantai saat dipegang 15 cm (6 inci) dari kaki.
Biarkan sekitar 15 hingga siku fleksi 30 derajat .
Menawarkan sebagian besar dukungan ketika tongkat diletakkan
di sisi tubuh yang lebih kuat. Tongkat dan kaki yang lebih lemah
bekerja bersama dengan setiap langkah. Jika tongkat terlalu
pendek, pasien mengalami kesulitan menopang berat badan dan
tubuh bengkok dan tidak nyaman. Karena berat diambil dengan
tangan dan kaki yang terkena diangkat dari lantai, perpanjangan
siku adalah perlu.
3) Pengukuran walker: Top of walker harus cocok dengan lipatan di
pergelangan tangan ketika pasien berdiri tegak (American
Academy of Orthopaedist Surgeons, 2011). Siku dilipat sekitar 15

94
hingga 30 derajat ketika pasien berdiri di dalam walker dengan
tangan memegang pegangan..
Walker harus berada pada ketinggian yang tepat agar pasien
tidak membungkuk ke depan.
4) Pastikan perangkat ambulasi memiliki ujung karet. Tip karet
mencegah perangkat tergelincir.
5) Pastikan bahwa permukaan yang akan digunakan untuk pasien
berjalan bersih dan kering. Menyingkirkan semua benda yang
mungkin menghalangi jalur, mencegah jatuh dan cedera.

EVALUASI SETELAH TINDAKAN AMBULASI


Hal yang perlu dievaluasi setelah ambulasi adalah sebagai berikut:
a. Setelah ambulasi, dapatkan tanda vital pasien, amati warna kulit, dan
tanyakan tentang tingkat kenyamanan dan tingkat energi pasien. Hal
tersebut dapat digunakan untuk mengevaluasi bagaimana pasien
mentoleransi prosedur dan apakah ada kemajuan dalam ambulasi. Serta
dapat digunakan untuk menilai tahap penyakit pasien dan tingkat
pemulihan saat mengevaluasi proses.
b. Mengevaluasi pernyataan subyektif pasien mengenai pengalaman
terhadap latihan ambulasi. Mengevaluasi toleransi pasien terhadap
kegiatan latihan ambulasi.
c. Mengevaluasi gaya berjalan pasien, mengamati keselarasan tubuh dalam
posisi berdiri dan keseimbangan. Hal tersebut dapat membantu
menentukan apakah pasien menggunakan alat bantu untuk ambulasi
dengan benar. Ingatlah cara ambulasi pasien sebelumnya ketika menilai
gaya berjalan. Hal tersebut berguna untuk menilai kemajuan
d. Amati kemampuan pasien untuk melakukan kegiatan perawatan diri. Hal
tersebut berkaitan denggan tingkat ambulasi pasien.

HASIL YANG TAK TERDUGA YANG MUNGKIN TERADI

95
a. Pasien tidak dapat ambulasi karena takut jatuh, gangguan fisik, otot tubuh
bagian atas yang terlalu lemah untuk menggunakan alat ambulasi, dan
ekstremitas bawah yang terlalu lemah untuk menopang tubuh.
Untuk mengatasi hal tersebut, bisa dilakukan intervensi sebagai berikut:
1) Mulailah program latihan isometrik untuk memperkuat otot tubuh
bagian atas.
2) Berikan analgesia jika diperlukan.
b. Pasien mengalami cedera. Untuk mengatasi hal tersebut, bisa dilakukan
intervensi sebagai berikut:
1) Beri tahu penyedia layanan kesehatan. Kembalikan pasien ke tempat
tidur jika cedera stabil.
c. Saat menggunakan tongkat atau alat bantu jalan, pasien membungkuk,
tidak berdiri tegak. Untuk mengatasi hal tersebut, bisa dilakukan intervensi
sebagai berikut: 1) Perkuat postur tubuh yang benar.

Hal yang perlu dicatat dan dilaporkan


a. Catat dalam catatan perawat dan rekam medik jenis gaya berjalan pasien
yang digunakan, alat bantu, jumlah bantuan yang dibutuhkan, jarak
berjalan, dan toleransi aktivitas.
b. Segera laporkan cedera yang terjadi selama upaya ambulasi, perubahan
tanda-tanda vital, atau ketidakmampuan untuk ambulasi ke perawat yang
bertanggung jawab atau penyedia layanan kesehatan.

Pertimbangan Khusus
Pengajaran
a. Instruksikan pasien bahwa latihan seperti meremas bola karet,
mengangkat dan menurunkan kedua lengan secara lambat dan berirama
sambil menahan beban, push-up, dan pull-up membantu memperkuat
ekstremitas atas.

96
b. Ajari pasien menggunakan alat bantu jalan untuk memeriksa
frame/bingkai alat setiap hari. Saat memeriksa alat bantu jalan, pasien
harus mengamati tanda-tanda bengkok atau deformasi bingkai, sekrup
yang menonjol dapat menggaruk, dan sekrup longgar atau hilang yang
melemahkan sendi bingkai. Nilailah pegangan tangan untuk mencari celah
atau tanda-tanda longgar.
c. Instruksikan pasien untuk menggunakan lengan kursi daripada alat bantu
jalan untuk memberi mereka kekuatan saat bangun dari kursi; walker
cenderung memberi tip jika digunakan untuk tujuan ini.
d. Lepuh atau pegal pada tangan dapat terjadi karena tekanan terus-
menerus antara tangan dan gagang kruk. Anjurkan pasien untuk
melepaskan tekanan sebentar-sebentar dan kenakan sarung tangan atau
bantalan pegangan untuk mengurangi gesekan.
e. Instruksikan pasien bahwa, jika mengenakan sepatu dengan ukuran tumit
yang berbeda-beda, kruk harus disesuaikan untuk mempertahankan dua
hingga tiga jari antara aksila dan kruk.
Pertimbangan Untuk Pediatrik
Untuk rehabilitasi anak kecil yang belum belajar berjalan atau tidak stabil, kruk
khusus dengan tiga atau empat kaki memberikan stabilitas yang diperlukan
untuk memungkinkan anak mempertahankan postur tegak dan belajar berjalan
(Hockenberry dan Wilson, 2011).
Pilihan lain untuk anak-anak yang baru belajar berjalan penting bila
menggunakan alat bantu jalan baik dari depan maupun belakang.
Pertimbangan Untuk Gerontologis
Orang dewasa yang lebih tua mungkin memerlukan waktu tambahan di pagi
hari sebelum melanjutkan kegiatan.

Pada Perawatan Di Rumah (Home Care)


a. Ajari pasien cara menggunakan bantuan ambulasi di berbagai medan
(mis., karpet, tangga, tanah kasar, lereng). Ajari dia cara bermanuver di

97
sekitar hambatan seperti pintu dan cara menggunakan bantuan saat
memindahkan ke dan dari kursi, toilet, dan bak mandi.
b. Ajarkan pengasuh/anggota keluarga bagaimana membantu dan apa yang
harus diperhatikan untuk memastikan bahwa alat bantu digunakan
dengan benar.
Pengasuhan jangka panjang
a. Lakukan pemeriksaan keselamatan dan perawatan perangkat ambulasi
secara rutin.
b. Lakukan penilaian berkala untuk memastikan bahwa pasien
menggunakan perangkat ambulasi dengan benar.

ALAT BANTU KRUK


1) Pengertian Alat Bantu Berjalan (Kruk)

Kruk merupakan alat bantu jalan yang dapat digunakan satu atau dua
(berpasangan) untuk mengatur keseimbangan. Cara penggunaannya
disandarkan pada ketiak dan ada juga yang disandarkan pada lengan, sehingga
agar seimbang biasanya digunakan secara berpasangan.

98
Tujuan Penggunaan Kruk
1) Meningkatkan kekuatan otot, pergerakan sendi dan kemampuan mobilisasi
2) Menurunkan resiko komplikasi dari mobilisasi
3) Menurunkan ketergantungan pasien dan orang lain

Fungsi Kruk
1) Sebagai alat bantu berjalan
2) Mengatur atau memberi keseimbangan waktu berjalan
3) Membantumenyokongsebagianberatbadan.

Indikasi Pengguna Kruk


1) Pasien dengan fraktur ekstremitas bawah
2) Pasien dengan postop amputasi ekstremitas bawah
3) Pasien dengan kelemahan kaki atau post stroke.

Kontra Indikasi
1) Penderita demam dengan suhu tubuh lebih dari 37o C
2) Penderita dalam keadaan bedrest
3) Penderita dengan post op.

Manfaat Penggunaan Kruk


1) Memelihara, mengembalikan dan meningkatkan fungsi otot
2) Mencegah kelainan bentuk, seperti kaki menjadi bengkok
Mencegah komplikasi, seperti otot mengecil dan kekakuan sendi

ALAT BANTU WALKER


1. Pengertian Walker

Walker merupakan alat bantu jalan yang memiliki dua gagang sebagai tempat
pegangan serta empat kaki sebagai penumpu. Biasanya walker terbuat dari
logam atau alumunium sehingga ringan dan cocok untuk lansia.

Walker ada dua jenis yaitu walker standar dan walker beroda. Perbedaannya
hanya terdapat pada keberadaan roda di kaki walker bagian depan atau bisa
juga keempat kakinya. Penggunaan walker standar harus diangkat pada saat
melangkah, namun untuk walker beroda hanya cukup menggelindingkan di
lantai. Untuk tingkat stabilitasnya lebih baik walker standar daripada walker
beroda.

99
2. Tujuan

1) Membantu mempetahankan keseimbangan


2) Menghindari resiko cedera saat berjalan
3) Mengurangi dampak negatif imobilitas

3. Fungsi
Penggunaan walker bermanfaat untuk memberi rasa aman pada pasien,
membantu mempercepat pengembalian kebugaran serta menjaga pasien
saat melakukan latihan berjalan.

4. Indikasi
Indikasi penggunaannya adalah digunakan untuk pasien yang terdapat
patah tulang kaki dan pasien yang masih lemah.

5. Persiapan Alat

1) Walker
2) Sandal yang sesuai

C. Standar Operasional Prosedur (SOP)

1. Prosedur Pengunaan Alat Bantu Kruk

Fase orientasi

1) Beri salam
2) Mengidentifikasi identitas pasien (minimal 2 identitas)
3) Jelaskan maksud dan tujuan tindakan yang akan dilakukan
4) Jelaskan proseder tindakan dan waktu yang dibutuhkan
100
5) Menanyakan kesiapan pasien

Fase Kerja

1) cuci tangan
2) ukur tinggi kruk sesuai tinggi badan pasien (pangkal kruk setinggi
ketiak pasien)
3) posisikan pasien duduk senyaman mungkin
4) jelaskan cara berjalan menggunakan kruk
5) dekatkan kruk ke pasien
6) bantu pasien berdiri
7) letakan pangkal kruk di bawah ketiak pasien
8) minta pasien untuk meletakan tangannya pada pegangan kruk dan
memegangnya dengan kuat
9) minta pasien untuk berjalan dengan cara sebagai berikut: (yg diberi
warna merah)

10) lakukan latihan sesuai kemampuan pasien dan secara bertahap


11) Selalu siapkan diri di sisi pasien untuk membantu menjaga
keseimbangan jika dibutuhkan
12) Kaji setiap kemajuan dan lakukan koreksi bila perlu

1. Tehnik Turun Tangga


1) Pindahkan berat badan pada kaki yang tidak sakit
2) Letakkan kruk pada anak tangga dan mulai untuk memindahkan
berat badan pada kruk
3) Gerakkan kaki yang sakit kedepan
4) Luruskan kaki yang tidak sakit pada anak tangga dengan kruk

2. Tehnik Naik Tangga


1) Pindahkan berat badan pada kruk
2) Julurkan tungkai yang tidak sakit antara kruk dari anak tangga
3) Pindahkan berat badan dari kruk ke tungkai yang tidak sakit
4) Luruskan kaki yang tidak sakit pada anak tangga dengan kruk

3. Tehnik Duduk
1) Klien diposisi pada tengah depan kursi dengan aspek posterior
kaki menyentuh kursi
2) Memberi metode yang aman untuk duduk dan bangun dari kursi
3) Klien memegang kedua kruk dengan tangan berlawanan
dengan tungkai yang sakit
4) Bila kedua tungkai sakit, kruk ditahan, pegang pada tangan klien
yang lebih kuat

1. Gaya Berjalan 4 Titik Tumpu


1) Langkahkan kruk sebelah kanan ke depan

101
2) Langkahkan kaki sebelah kiri ke depan
3) Langkahkan kruk sebelah kiri ke depan
4) Langkahkan kaki sebelah kanan kedepan

2. Gaya Berjalan 3 Titik


1) Kedua kayu penopang dan kaki yang tidak boleh menyangga
dimajukan, kemudian menyusul kaki yang sehat
2) Kedua kayu penopang lalu segera dipindahkan ke muka lagi dan
pola tadi di ulang lagi.
3. Gaya Berjalan 2 Titik
1) Kruk sebelah kiri dan kaki kanan maju bersama-sama
2) Kruk sebelah kanan dan kaki kiri maju bersama-sama

4. Swing To Gait
1) Langkahkan kedua kruk bersama-sama
2) Kedua kaki diangkat dan diayunkan maju sampai pada garis yang
menghubungkan kedua tangan atau ujung kruk.
5. Swing through Gait
1) Langkahkan kedua kruk bersama-sama
2) Kedua kaki diangkat, diayunkan melewati garis
yang menghubungkan kedua tangan atau ujung kruk

Fase Terminasi

1) Sampaikan kemajuan latihan jalan yang idcapai oleh pasien


2) Evaluasi perasaan pasien
3) Lakukan kontrak untuk pertemuan selanjutnya
4) Berikan penghargaan atas pencapaian pasien dan kerja samanya
5) Berpamitan
6) Rapihkan alat
7) Cuci tangan
Sikap

1) Menunjukan perhatian kepada pasien


2) Tidak membahayakan pasien
3) Tidak membahayakan perawat
4) Menggunakan komunikasi efektif

2. Prosedur Penggunaan Alat Bantu WALKER

Fase Orientasi/interaksi

1) Beri salam

102
2) Mengidentifikasi identitas pasien (minimal 2 identitas)
3) Jelaskan maksud dan tujuan tindakan yang akan dilakukan
4) Jelaskan proseder tindakan dan waktu yang dibutuhkan
5) Menanyakan kesiapan pasien

Fase Kerja

1) Cuci tangan
2) Jelaskan kepada klien cara berjalan menggunkan walker
3) Posisikan pasien duduk di kursi dengan nyaman
4) Dekatkan walker ke depan pasien
5) Bantu klien berdiri
6) Minta klien untuk memgang gagang walker dengan kuat
7) Minta klien untuk berjalan maju menggunakan bantuan walker, dengan
tetap mempertahankan 4 titik walker di atas lantai
8) Pastikan klien mengangkat kakinya pada saat berjalan, bukan menarik
9) Lakukan latihan jalan sesuai dengan kemampuan pasien dan lakukan
secara bertahap
10)Selalu siapkan diri di sisi pasien untuk membantu menjaga
keseimbangan jika dibutuhkan
11)Kaji setiap kemajuan dan lakukan koreksi bila perlu
Fase Terminasi

8) Sampaikan kemajuan latihan jalan yang idcapai oleh pasien


9) Evaluasi perasaan pasien
10)Lakukan kontrak untuk pertemuan selanjutnya
11)Berikan penghargaan atas pencapaian pasien dan kerja samanya
12)Berpamitan
13)Rapihkan alat
14)Cuci tangan
Sikap

5) Menunjukan perhatian kepada pasien


6) Tidak membahayakan pasien
7) Tidak membahayakan perawat
8) Menggunakan komunikasi efektif

3. Prosedur Penggunaan Alat Bantu Tongkat

Fase Orientasi/interaksi

1) Beri salam
103
2) Mengidentifikasi identitas pasien (minimal 2 identitas)
3) Jelaskan maksud dan tujuan tindakan yang akan dilakukan
4) Jelaskan proseder tindakan dan waktu yang dibutuhkan
5) Menanyakan kesiapan pasien

Fase Kerja

1) Cuci tangan
2) Posisikan ppasien duduk senyaman mungkin
3) Dekatkan tongkat ke pasien
4) Jelaskan kepada pasien cara berjalan menggunakan tongkat
5) Bantu pasien berdiri
6) Instruksikan pasien memegang tongkat pada sisi tubuh yang kuat atau
sehat
7) Letakkan tongkat sekitar 30cm di depan kaki pasien
8) Minta pasien melangkahkan kaki yang kuat ke depan
9) Selalu siapkan diri anda di sisi klien untuk membantu menjaga
keseimbangan jika diperlukan
10) Lakukan latihan sesuai kemampuan pasien dan lakukan secara bertahap
11) Kaji setiap kemajuan yang dicapai pasien, dan lakukan koreksi jika perlu

Fase Terminasi

1) Sampaikan kemajuan latihan jalan yang idcapai oleh pasien


2) Evaluasi perasaan pasien
3) Lakukan kontrak untuk pertemuan selanjutnya
4) Berikan penghargaan atas pencapaian pasien dan kerja samanya
5) Berpamitan
6) Rapihkan alat
7) Cuci tangan
Sikap

1) Menunjukan perhatian kepada pasien


2) Tidak membahayakan pasien
3) Tidak membahayakan perawat
4) Menggunakan komunikasi efektif

104
Program Studi : Sarjana Keperawatan Pertemuan ke : 15
Nama Mata Kuliah : Keperawatan Medikal
Bedah III

MODUL 6

PERAWATAN LUKA

A. CASE STUDY
Seorang laki-laki usia 26 tahun, dirawat dengan luka bakar akibat tersiram air panas.
Hasil pengkajian: luka bakar pada ektremitas kiri dan kanan. Kondisi luka : jaringan
granulasi mulai terbentuk, permukaan luka tampak kemerahan dan pinggir luka rapi,
tidak ada pus dan tidak ada jaringan nekrosis

B. URAIAN MATERI
perawatan luka yang tepat diperlukan untuk meningkatkan penyembuhan yang
menghasilkan lapisan kulit yang utuh. Kulit utuh adalah garis pertama pertahanan
tubuh terhadap invasi oleh mikroorganisme menular. Kulit termasuk organ
pertahanan tubuh dengan cara berfungsi sebagai organ sensorik untuk rasa sakit,
sentuhan, dan suhu; dan memiliki pH asam, yang sering disebut mantel asam (acid
mantle). Kulit juga memiliki peran utama dalam termoregulasi, metabolisme,
imunitas, dan regulasi keseimbangan cairan (Bryant dan Nix, 2012, dalam Potter dan
Perry, 2014).

Kulit adalah organ eksternal terbesar. Ia memiliki dua lapisan: epidermis dan dermis
(Gbr. 38-1).

105
Sumber : Potter dan Perry, 2014

Lapisan luar, epidermis, memiliki lima lapisan. Lapisan terluar, stratum corneum,
terdiri dari sel-sel keratin mati yang diratakan. Lapisan tipis stratum korneum
mencegah dehidrasi sel yang mendasari dan merupakan penghalang fisik untuk
masuknya bahan kimia tertentu. Penghalang itu selektif; memungkinkan penyerapan
obat topikal dalam pasta, salep, dan bentuk patch dermal.

Lapisan epidermis berikutnya adalah stratum lucidum, stratum granulosum, dan


stratum spinosum. Lapisan paling dalam epidermis, stratum germinativum, kadang-
kadang disebut lapisan basal. Dari lapisan tunggal keratinosit inilah sel bermigrasi ke
arah stratum korneum. Fitur penting dari stratum germinativum adalah tonjolan
epidermis, atau "puncak dan lembah" yang mengarah ke bawah ke dermis. Ini
memberikan ketahanan dan integritas pada struktur kulit. Melanosit, sel-sel yang
memberi warna kulit, juga ada di lapisan ini. Area yang memisahkan epidermis dari
dermis disebut persimpangan dermoepidermal (dermoepidermal junction) atau zona
membran dasar (basement membrane zone).

Di bawah epidermis adalah dermis. Kolagen (lapisan protein berserat yang kuat),
pembuluh darah, dan saraf membentuk lapisan kulit. Kolagen menyusun sekitar 70%
dari dermis dan sangat penting dalam penyembuhan luka. Dermis mengembalikan
sifat fisik kulit dan integritas strukturalnya. Pemulihan kedua lapisan epidermis dan
dermal diperlukan untuk meningkatkan penyembuhan. Risiko infeksi lokal atau

106
sistemik, gangguan sirkulasi, dan kerusakan jaringan secara langsung mengganggu
kemampuan penyembuhan luka pada lapisan kulit (Doughty and Sparks-Defriese,
2012, dalam (Potter, Perry, Stockert, & Hall, 2013)

Penyembuhan luka secara fisiologis terjadi dengan cara yang sama untuk semua
pasien, dengan sel-sel kulit dan beberapa jaringan (termasuk jaringan pembuluh
darah) beregenerasi dengan cepat dan yang lainnya beregenerasi dengan lambat atau
tidak sama sekali. Kelompok terakhir termasuk sel-sel hati, tubulus ginjal, dan
neuron sistem saraf pusat.

Penyembuhan luka sangat kompleks dan melibatkan serangkaian proses fisiologis di


antara sel dan jaringan. Lokasi, tingkat keparahan, dan luasnya cedera dan lapisan
jaringan atau lapisan yang terlibat semua mempengaruhi proses penyembuhan luka
(Doughty and Sparks-Defriese, 2012, dalam Potter dan Perry, 2014). Luka setebal
parsial (kehilangan jaringan terbatas pada epidermis dan kemungkinan hilangnya
sebagian dermis) sembuh dengan proses regenerasi. Namun, luka dengan ketebalan
penuh (total kehilangan lapisan kulit dan beberapa jaringan yang lebih dalam)
sembuh dengan pembentukan bekas luka.

Fase Penyembuhan Luka dengan Luka Yang Dalam


1. Fase Homeostasis
Pembuluh darah berfasokontriksi; faktor pembekuan mengaktifkan jalur
koagulasi untuk menghentikan pendarahan. Pembentukan bekuan
menyegel/mengunci pembuluh darah yang terganggu sehingga kehilangan
darah dikendalikan dan bertindak sebagai penghalang bakteri sementara.
Trombosit melepaskan faktor pertumbuhan, yang menarik sel yang
dibutuhkan untuk memulai proses perbaikan.
2. Fase Inflammatory
Vasodilatasi terjadi, memungkinkan plasma dan sel darah bocor ke dalam
luka, yang selanjutnya menyebabkan edema, eritema, dan eksudat. Leukosit
(sel darah putih) tiba di luka untuk memulai pembersihan luka. Makrofag,
sejenis sel darah putih, muncul dan mulai mengatur perbaikan luka. Hasil
dari fase inflamasi adalah bantalan luka yang bersih pada pasien dengan

107
luka yang tidak rumit.
3. Fase Proliferasi
Epitelisasi (pembangunan epidermis baru) dimulai. Pada saat yang sama
jaringan granulasi baru terbentuk. Pembuluh kapiler baru (angiogenesis)
dibuat, mengembalikan pengiriman oksigen dan nutrisi ke dasar luka.
Kolagen disintesis dan mulai memberikan kekuatan dan integritas struktural
pada luka. Kontraksi, yang terjadi pada luka terbuka, mengurangi ukuran
luka.
4. Fase Maturasi/Remodeling
Epitelisasi (pembangunan epidermis baru) dimulai. Pada saat yang sama
jaringan granulasi baru terbentuk. Pembuluh kapiler baru (angiogenesis)
dibuat, mengembalikan pengiriman oksigen dan nutrisi ke dasar luka.
Kolagen disintesis dan mulai memberikan kekuatan dan integritas struktural
pada luka. Kontraksi, yang terjadi pada luka terbuka, mengurangi ukuran
luka.
Data from Doughty DB, Sparks-Defriese B: Wound healing physiology. In Bryant RA,
Nix DP, editors: Acute and chronic wounds: current management concepts, ed 4, St
Louis, 2012, Mosby.

Selain itu, ada faktor-faktor mendasar yang mencegah kemampuan sel dan jaringan
untuk regenerasi, kembali ke struktur normal, atau melanjutkan fungsi normal.
Faktor tersebut adalah sebagai berikut:

Faktor-Faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka:


 Hipovolemia, hipotensi, vasokonstriksi, edema, dan hipokxia secara
negatif mempengaruhi penyembuhan luka karena perfusi dan
oksigenasi yang memadai diperlukan untuk pengembangan pembuluh
baru, sintesis kolagen, dan pengembangan kekuatan tarik.
 Status nutrisi yang memadai sangat penting untuk sintesis kolagen,
kekuatan tarik, dan fungsi kekebalan tubuh.

108
 Infeksi luka memperpanjang respon inflamasi, dan mikroorganisme
menggunakan nutrisi dan oksigen yang dibutuhkan untuk perbaikan
luka.
 Pasien dengan diabetes mellitus mungkin memiliki gangguan
penyembuhan luka karena peradangan abnormal dan berkepanjangan,
sintesis kolagen berkurang, dan gangguan epitel migrasi.
Hiperglikemia dikaitkan dengan fungsi neutrofil terganggu dan
gangguan migrasi.
 Terapi kortikosteroid atau penggunaan agen imunosupresif lainnya
seperti kemoterapi meningkatkan kerentanan pasien terhadap infeksi.
 Usia lanjut dapat berkontribusi terhadap berkurangnya proliferasi sel
penting untuk perbaikan.

Proses penyembuhan berlangsung dalam serangkaian peristiwa, umumnya


digambarkan sebagai fase. Pada luka dengan ketebalan penuh, fase-fase tersebut
adalah hemostasis, peradangan, proliferasi, dan remodeling. Selama hemostasis
serangkaian peristiwa yang tumpang tindih terjadi yang mengontrol kehilangan
darah, memulai kontrol bakteri, dan menutup luka (Doughty and Sparks-Defriese,
2012). Tujuan dari fase inflamasi adalah untuk mengendalikan infeksi dan
membersihkan dasar luka. Selama fase proliferasi, sel-sel epitel diletakkan dalam
sayatan tertutup dalam waktu 24 hingga 48 jam, memberikan penghalang bakteri.

Selama tahap proliferasi, fibroblas berada di lokasi cedera. Fibroblast ini


meningkatkan sintesis kolagen, yang membentuk punggung penyembuhan yang
dapat diraba di bawah insisi penyembuhan utuh pada hari ke 5 hingga 9 (Gambar 38-
2) (Doughty and Sparks-Defriese,2012). Kurangnya bubungan menyebabkan
kekhawatiran, dan Anda harus melakukannya. Selama tahap proliferasi, fibroblas
berada di lokasi cedera. Fibroblast ini meningkatkan sintesis kolagen, yang
membentuk punggung penyembuhan yang dapat diraba di bawah insisi
penyembuhan utuh pada hari ke 5 hingga 9 (Gambar 38-2) (Doughty and Sparks-

109
Defriese, 2012). Kurangnya bubungan menyebabkan kekhawatiran, dan Anda harus
melakukannya punggungan terlihat

Gambar 38-2 Luka bedah dengan epitelisasi yang terjadi: tonjolan penyembuhan
epitel tampak jelas. (Dari Bryant RA, Nix DP, editor: Luka akut dan kronis: konsep
manajemen saat ini, ed 3, St Louis, 2007, Mosby.) Hipovolemia, hipotensi,
vasokonstriksi, edema, dan hipoksia berpengaruh negatif terhadap penyembuhan
luka karena perfusi dan oksigenasi yang memadai diperlukan untuk pengembangan
pembuluh darah baru, sintesis kolagen, dan pengembangan kekuatan tarik.

Status gizi yang memadai sangat penting untuk sintesis kolagen, kekuatan tarik, dan
fungsi kekebalan tubuh. Infeksi luka memperpanjang respon inflamasi, dan
mikroorganisme menggunakan nutrisi dan oksigen yang dibutuhkan untuk perbaikan
luka. Seorang pasien dengan diabetes mellitus mungkin telah mengganggu
penyembuhan luka karena peradangan yang abnormal dan berkepanjangan,
mengurangi sintesis kolagen, dan mengganggu migrasi epitel. Hiperglikemia
dikaitkan dengan fungsi neutrofil yang terganggu dan gangguan migrasi. Terapi
kortikosteroid atau penggunaan agen imunosupresif lainnya seperti kemoterapi
meningkatkan kerentanan pasien terhadap infeksi. Usia lanjut dapat berkontribusi
terhadap berkurangnya proliferasi sel yang penting untuk diperbaiki.

Dressing, Perban, dan Binders


Penyembuhan luka adalah proses fisiologis yang kompleks. Manajemen luka
yang tepat melibatkan manipulasi luka untuk memulihkan lingkungan luka fisiologis
yang merupakan karakteristik normal, jaringan sehat. Fitur utama dari lingkungan
luka fisiologis adalah kelembaban yang memadai, kontrol suhu, pH, dan kontrol
beban bakteri (Rolstad, Bryant, dan Nix, 2011). Sebuah luka menyembuhkan terbaik
di lingkungan yang lembab karena ini nikmat migrasi sel epitel, mempromosikan
ekstra seluler pembentukan matriks, mengurangi fibrosis, dan menurunkan infeksi
luka (Rolstad, Bryant, dan Nix, 2011). Dressing adalah bagian penting dari
penyembuhan luka karena kemampuan mereka untuk mengontrol kelembaban,
debride jaringan mati, dan melindungi luka. Mereka juga mencegah penyebaran
infeksi dan meningkatkan kenyamanan pasien. Dressing topikal menetapkan dan

110
mempertahankan lembab-tidak basah-lingkungan luka dengan mengandung cairan
luka, menyerap kelebihan kelembaban, atau menyumbangkan kelembaban (Rolstad
et al., 2011).

Dressing semiocclusive menjaga luka lembab, bahkan ketika tidak


ditambahkan kelembaban disediakan. Ada dua jenis dressing, primer dan sekunder.
Dressing utama adalah penutup pelindung yang datang dalam kontak langsung
dengan tempat tidur luka. Dressing sekunder melayani fungsi pelindung atau
terapeutik dengan memegang dressing utama di tempat dan meningkatkan
kemampuan untuk memenuhi kebutuhan luka (Rolstad et al., 2011). Dressing yang
ideal didasarkan pada karakteristik dan hasil (Box 39-1). Misalnya, dressing tekanan
diterapkan untuk mengontrol pendarahan. Gunakan dressing yang sangat penyerap
seperti alginat atau busa untuk mengelola drainase luka. Gunakan saus hidrokoloid
dalam luka yang tidak terinfeksi yang menguras jumlah ektimidasi moderat.
Kebanyakan dressing adalah semiocclusive (juga disebut kelembaban retentif)
daripada oklusif.

Dressing mungkin mengandung bahan seperti gliserin, polimer,


carboxymethylcellulose, kapas, atau rayon. Sebuah faktor yang perlu
dipertimbangkan ketika memilih dressing adalah kemudahan aplikasi. Sebuah
dressing harus sesuai dengan kontur tubuh, tahan lama namun fleksibel, dan dapat
menyerap atau mengandung ekikuidasi. Sebuah dressing harus hemat biaya, mudah
untuk menghapus tanpa merusak permukaan penyembuhan dan kulit periluka, dan
diterima dalam penampilan. Kebutuhan perawatan luka dapat sering berubah selama
fase penyembuhan luka dan sering membutuhkan berbagai produk luka (Rolstad et
al., 2011). Ketika mengubah dressing, Anda perlu tahu tentang penyembuhan luka
dan bagaimana membedakan penampilan normal atau diharapkan dari perubahan
abnormal dalam luka.

Perawatan yang berpusat pada pasien prioritas penting dalam perawatan luka
adalah kenyamanan pasien. Menyediakan pasien dosis analgesik yang tepat 30 menit
sebelum perubahan dressing untuk memaksimalkan kenyamanan ketika Dressing dan
jaringan akan dimanipulasi. Pertimbangkan pandangan budaya pasien mengenai rasa

111
sakit. Misalnya, pasien dari latar belakang Eropa Utara dan Asia sering lebih tabik
tentang ekspresi nyeri, dan Anda akan perlu untuk menawarkan obat penghilang rasa
sakit bahkan jika pasien tidak mengeluh rasa sakit (Galanti, 2008). Jika rasa sakit
pasien adalah dari kulit terkikis atau gundul di sekitar margin luka, gunakan sealant
atau penghalang kulit. Jika pasien memiliki rasa sakit yang sedang berlangsung dari
luka perut, pertimbangkan untuk menerapkan pengikat abdomen, yang secara efektif
dapat mengurangi rasa sakit dan tekanan (Cheifetz et al., 2010). Hal ini juga
membantu untuk secara konsisten posisi pasien dari luka mereka.

Dressing kasa kering adalah untuk penyembuhan luka dengan tujuan utama
dengan sedikit drainase (Gbr. 39-1). Dressing melindungi luka dari cedera,
mengurangi ketidaknyamanan, dan mempercepat penyembuhan (bila digunakan
dengan benar).

Dressing kasa kering tidak berinteraksi dengan jaringan luka dan menyebabkan
iritasi luka sedikit. Namun, Kasa tidak mempertahankan lingkungan luka lembab
kecuali luka sangat eksudatif (Rolstad et al., 2011). Selain itu, dressing kasa
memiliki kelemahan kelembaban evaporasi cepat, menyebabkan dressing untuk
mengeringkan. Perubahan dressing sering biasanya diperlukan, dan ada peningkatan
tingkat infeksi bila dibandingkan dengan dressing semiocclusive (Rolstad et al.,
2011). Kasa mungkin datang diresapi dengan berbagai zat seperti Seng oksida pasta,
iodinasi agen, petrolatum, dan kristal natrium klorida. Tertembus kasa dapat hidrat
luka dan diserap ekhidat atau memberikan agen antimikroba.

Dressing kasa kering biasanya digunakan untuk lecet dan sayatan pasca operasi
yang tidak menguras tenaga (Lihat tabel 39-1). Telfa kasa dressing mengandung
mengkilap, permukaan nonmelekat pada satu sisi yang tidak menempel pada luka.
Drainase melewati permukaan nonmelekat ke luar kasa dressing. Dressing kering
tidak sesuai untuk debriding luka. Ketika kasa melekat pada drainase pada
permukaan luka, segel dapat menyebabkan Anda untuk pull off jaringan yang sehat
ketika kasa dihapus. Ketika kain kasa menempel pada luka, basahkan dressing
dengan normal saline atau steril air sebelum melepaskannya untuk meminimalkan
trauma luka.

112
Dressing yang lembab-ke-kering (juga disebut basah-ke-kering atau lembab-
ke-kering) adalah kasa yang dibasahi dengan larutan yang tepat. Tujuan utama
adalah untuk mekanik debride luka, secara khusus penuh-ketebalan penyembuhan
luka dengan niat sekunder dan luka dengan jaringan nekrotik. Sebuah dressing
lembab-ke-kering memiliki lapisan pakaian kontak lembab yang menyentuh
permukaan luka. Kain kasa yang lembab ini meningkatkan kemampuan absorptif
dari dressing untuk mengumpul ekikuidasi dan serpihan luka. Lapisan ini mengering
dan melekat pada sel mati, sehingga debriding luka ketika dihapus. Gunakan larutan
isotonik steril seperti normal saline atau lactated Ringer's untuk melemdihkan
dressing. Bagian luar lapisan penyerap adalah dressing kering yang melindungi luka
dari organisme invasif. Kemajuan terbaru dalam perawatan luka telah menciptakan
sejumlah produk debriding baru untuk digunakan bersama dengan kasa lembab
untuk debriding luka neodosis. Produk debriding autolitik diterapkan untuk luka
untuk memungkinkan enzim untuk Self-mencerna jaringan mati. Agen debriding
enzimatik diterapkan langsung ke tindakan tidur luka dengan mencerna kolagen
dalam jaringan nekrotik (NPUAP-EPUAP, 2009; Ramundo, 2011). Baik produk
autolitik dan enzimatik yang digunakan dalam kombinasi dengan kasa lembab tetapi
mungkin juga datang sebagai dressing dikemas yang tidak memerlukan kasa
tambahan.

Dressing kering dan lembab-ke-kering dijamin dengan tape, yang mungkin


kertas, plastik, tenun, atau bahan elastis dengan perekat. Sering penghapusan tape
untuk perubahan berpakaian mengganggu kulit dan menyebabkan kulit air mata.
Salah satu metode untuk mengamankan Dressing dan mengurangi cedera yang
berhubungan dengan Tape adalah dasi Montgomery atau tali. Sebuah dasi
Montgomery adalah strip lebar pita dengan lubang dan tali yang ditempatkan pada
setiap sisi luka dan diikat, sehingga menjamin kasa dressing selama perubahan
berulang. Gunakan strip dari saus stomahesive atau hidrokoloid untuk membuat
jendela di tepi luar luka. Kemudian oleskan tape untuk dasi di atas strip, sehingga
mengurangi kontak dengan jaringan periluka sensitive.

Tujuan pengepakan luka adalah untuk mengisi ruang mati dan menghindari
potensi pembentukan abses oleh luka menutup terlalu cepat (Rolstad et al., 2011).
113
Tertembus kasa berguna bila ada merusak (yaitu, penghancuran jaringan di bawah
kulit utuh di sekitar perimeter luka). Ketika ada terowongan luka, saluran telah
terbentuk yang meluas dari setiap bagian dari luka melalui jaringan subkutan atau
otot. Strip kasa berguna untuk mengisi area sempit di saluran sehingga dressing
lengkap dapat dihilangkan dengan mudah selama pergantian ganti (Rolstad et al.,
2011). Kasa lembab berguna untuk packing luka eksudatif. Jika luka kering, gunakan
bahan kemasan hydrating seperti hydrogelimpregnated atau Saline-pelembap untuk
menjaganya tetap lembab. Box 39-3 meringkas prinsip untuk mengemas luka dengan
benar.

C. STANDAR OPERASIONAL PROSEDURE

Kompeten
Langkah Kegiatan Tidak
Kompeten
Kompeten
FASE PRA INTERAKSI
5. Siapkan diri perawat
6. Cek rekam medic pasien, identifikasi tindakan
pemeriksaan pada rencana tindakan
7. Identifikasi kebutuhan akan perawatan luka dan obat
serta alat bahan yang dibutuhkan
8. Cuci Tangan
9. Siapkan alat
c. Set perawatan luka steril sesui kebutuhan pasien
d. Balutan/dressing sesuai kebutuhan pasien
e. Balutan luar bila dibutuhkan
f. Hipafik
g. Cairan pembersih luka : Na Cl 0,9%
h. Obat sesuai kebutuhan
i. Kapas alcohol dalam wadah tertutup
j. Gunting verban
k. 2 buah bengkok
l. Kantong plastic besar bila dibutuhkan
m. Hand scoon bersih
n. Hand scoon steril sesuai kebutuhan
o. Korentang
p. Perlak pengalas
FASE INTERAKSI
7. Ucapkan salam
8. Perkenalkan diri

114
9. Identifikasi min 2 identitas pasien (untuk pasien safety)
10. Jelaskan maksud dan tujuan tindakann
11. Jelaskan prosedur
12. Menanyakan kesiapan pasien
FASE KERJA
1. Dekatkan alat ke pasien dan posisikan sesuai kebutuhan
kerja
2. Kondisikan ruangan senyaman mungkin dan sesuai
kebutuhan privacy pasien
3. Cuci tangan
4. Mengenakan hand scoon bersih
5. Posisikan pasien senyaman mungkin
6. Pasang perlas pengalas di bawah area luka yang akan
dibersihan
7. Dekatkan bengkok tempat kotor didekat area luka yang
akan dibersihkan
8. Posisikan alat, cairan dan obat (bila ada) pada posisi
siap untuk digunakan
9. Gunakan pinset cirugis dan kapas alcohol untuk
membuka luka
10. Bila diperlukan lakukan irigasi dgn NaCl pada luka
supaya verban luka mudah dibuka
11. Setelah luka terbuka, perhatikan dan kaji keadaan luka
12. Lakukan penekanan dengan lembut untuk mengeluarkan
pus/cairan
13. Ganti handscoon streil bila dibutuhkan
14. Bersihakn luka dengan NaCl, angkat jaringan nekrotik
bila dan memungkinkan, bersihkan luka sekali lagi
tanpa menimbulkan luka pada jaringan granulasi
15. Bersihkan daerah sekitar luka
16. Keringkan daerah sekitar luka dengan kasa
17. Oleskan obat pada luka bila ada
18. Tutup luka dengan primer dressing yang sesuai
kebutuhan luka pasien
19. Tutup luka dengan dressing sekunder dan hipafik
(sesuai kebutuhan)
20. Rapihkan pasien dan alat dan sampah medis
FASE TERMINASI
1. Sampaikan kepada pasien perkembangan luka
2. Evaluasi perasaan pasien
3. Kontrak waktu selanjutnya
4. Berikan penghargaan positif
5. Berpamitan
6. Membereskan alat dan cuci tangan
7. Dokumentasi
SIKAP
115
1. Memperhatikan kenyamanan dan keamanan pasien
2. Memperhatikan kenyamanan dan keamanan perawat
3. Komunikasi efektif

116
DAFTAR PUSTAKA

Biley, F. (2004). Fundamental nursing skillsFundamental nursing skills. Nursing


Standard, 18(35), 26–26. ttps://doi.org/10.7748/ns2004.05.18.35.26.b180
Farrell, M. (2014). Textbook of Medical- Surgical NU1: Volume 2 (Vol. 2).
Perry, A. G., Potter, P. A., & Ostendorf, W. R. (2014). Clinical Nursing Skills &
Techniques (8 ed.). St. Louis, Missouri: Elsevier Inc.
Potter, P. A., Perry, A. G., Stockert, P. A., & Hall, A. M. (2013). Fundamental of
Nursing (8 ed.). St. Louis, Missouri: Elsevier Inc.
Sarwono. (2010). Buku Panduan Ketrampilan Klinik.

117

Anda mungkin juga menyukai