1
2
3
VISI MISI PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN
MISI
1. Penyelenggara pendidikan Program Studi Profesi Ners yang professional
dalam bentuk pembelajaran dengan model Students Centered. Problem
Based Leraning, Integrasi dan Interpersonal, Community Based Efective
dan Systematic Approach (SPICES) dengan teknologi informasi yang
inovatif dan unggul dalam pelayanan keperawatan dengan masalah
kesehatan di pedesaan.
2. Pelaksanaan penelitian oleh seluruh civitas akademik berbasiskan Evidence
Based Practice (EBP) khususnya dalam masalah kesehatan pedesaan.
3. Pelaksanaan pengabdian masyarakat oleh seluruh civitas akademik sesuai
dengan kebutuhan masyarakat untuk mengatasi masalah-masalah kesehatan,
khususnya masalah kesehatan di pedesaan.
4. Peningkatan jejaring kerjasama yang luas baik secara nasional maupun
internasional yang berfokus dalam pelayanan keperawatan dengan masalah
kesehatan di pedesaan.
5. Penggunaan teknologi informasi yang inovatif dan penggunaan Bahasa
Inggris dan bahasa internasional lainnya untuk membekali lulusan dalam
pencapaian kompetensi keperawatan professional yang berwawasan global.
KATA PENGANTAR
4
Puji syukur penulis panjatkan kepada Alloh SWT yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis untuk menyusun dan merancang , modul
Praktikum KMB 3. Penyusunan modul ini semoga dapat membantu mahasiswa
untuk mengikuti kegiatan pembelajaran, melatih pola berpikir kritis dan logis,
melatih ketrampilan dan melatih sikap profesional melalui berbagai
pengalaman belajar yang bertujuan memberikan kesempatan kepada
mahasiswa untuk menerapkan ilmu pengetahuan, sikap, dan ketrampilan yang
didapat melalui pengalaman belajar ceramah, diskusi, dan laboratorium. Buku
panduan ini dilengkapi dengan ringkasan teori serta SOP (Standar Operasional
Prosedur), sehingga pengajar dan mahasiswa mempunyai bahan acuan dalam
pembelajaran. Pendekatan yang diterapkan dalam melaksanakan praktek (skill
lab) adalah pendekatan SCL (Student Center Learning), dimana mahasiswa
dituntut secara aktif mencapai kompetensi yang diharapkan. Penyusun
berharap bahwa buku panduan ini dapat dipergunakan bersama dengan buku
panduan lain untuk menjadi pegangan dalam menempuh proses pembelajaran
di Universitas Harapan Bangsa.
Buku ini masih jauh dari kesempurnaan, sehingga penulis
mengharapkan masukan dan saran dari pengguna maupun pembaca untuk
kemajuan proses pembelajaran Universitas Harapan Bangsa.
Purwokerto, 2018
Penyusun
5
DAFTAR ISI
Halaman Judul 1
SK Modul 2
Lembar Pengesahan 4
Visi Misi Program Studi Sarjana Keperawatan 5
Kata Pengantar 6
Daftar Isi 7
BAB I Materi Modul ( 8-116
A. Modul 1 Pemeriksaan Pendengaran
B. Modul 2 Pemeriksaan Neurologis
C. Modul 3 Pemeriksaan Kekuatan Otot
D. Modul 4 ROM
E. Modul 5 Mobility dan Penggunaan Alat Bantu
Jalan
F. Modul 6 Perawatan Luka
Daftar Pustaka 117
6
BAB I
MATERI MODUL
MODUL 1
PEMERIKSAAN PENDENGARAN
A. CASE STUDY
Laki-lak usia 45 tahun mengeluh sejak beberapa hari ini bila tidur ke sisi kiri
telinga terasa sakit dan sering terasa gemrebeg. Pendengaran juga jadi menurun.
Lakukan pemeriksaan pendengaran sederhana.
B. URAIAN MATERI
1. Anatomi Telinga
a. Anatomi Telinga Luar
Telinga luar terdiri dari daun telinga (aurikula), liang telinga
(meatus acusticus eksterna) sampai membran timpani bagian lateral.
Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit yang berfungsi
mengumpulkan gelombang suara, sedangkan liang telinga
menghantarkan suara menuju membrana timpani.
Liang telinga berbentuk huruf S dengan panjang 2,5-3 cm.
Sepertiga bagian luar terdiri dari tulang rawan yang banyak
mengandung kelenjar serumen dan rambut, sedangkan dua pertiga
bagian dalam terdiri dari tulang dengan sedikit serumen.
7
Shrapnell) yang terdiri dari dua lapisan,yaitu lapisan luar merupakan
lanjutan epitel kulit liang telinga dan lapisan dalam dilapisi oleh sel
kubus bersilia. Bagian bawah membran timpani disebut pars tensa
(membran propria) yang memiliki satu lapisan di tengah, yaitu lapisan
yang terdiri dari serat kolagen dan sedikit serat elastin.
Tulang pendengaran terdiri atas maleus (martil), inkus (landasan),
dan stapes (sanggurdi) yang tersusun dari luar ke dalam seperti
rantai yang bersambung dari membrana timpani menuju rongga
telinga dalam. Prosesus longus maleus melekat pada membran
timpani, maleus melekat pada inkus, dan inkus melekat pada stapes.
Stapes terletak pada tingkap lonjong yang berhubungan dengan koklea.
Hubungan antara tulang-tulang pendengaran merupakan persendian.
Tuba eustachius menghubungkan daerah nasofaring dengan telinga
tengah.
Prosessus mastoideus merupakan bagian tulang temporalis yang
terletak di belakang telinga. Ruang udara yang berada pada bagian
atasnya disebut antrum mastoideus yang berhubungan dengan rongga
telinga tengah. Infeksi dapat menjalar dari rongga telinga tengah
sampai ke antrum mastoideus yang dapat menyebabkan mastoiditis .
9
Gambar 1 : Anatomi Telinga
2. Fisiologi Pendengaran
Daun telinga mengumpulkan suara dan menyalurkannya ke saluran
telinga luar kemudian membrana timpani bergetar sewaktu terkena getaran
suara. Daerah- daerah gelombang suara yang bertekanan tinggi dan rendah
berselang-seling menyebabkan gendang telinga yang sangat peka tersebut
menekuk keluar masuk seirama dengan frekuensi gelombang suara. Telinga
tengah memindahkan gerakan bergetar membrana timpani ke cairan
di telinga dalam. Pemindahan ini dipermudah oleh tulang-tulang
pendengaran (maleus, inkus, dan stapes) yang berjalan melintasi telinga
tengah. Ketika membrana timpani bergetar sebagai respons terhadap
gelombang suara, rantai tulang-tulang tersebut juga bergerak dengan
frekuensi yang sama, memindahkan frekuensi gerakan tersebut dari
membrana timpani ke jendela oval. Tekanan di jendela oval akibat setiap
getaran yang dihasilkan menimbulkan gerakan seperti gelombang pada
cairan telinga dalam dengan frekuensi yang sama dengan frekuensi
gelombang suara semula. Namun, diperlukan tekanan yang lebih besar
10
untuk menggerakkan cairan. Tekanan tambahan ini cukup untuk
menyebabkan pergerakan cairan koklea (Sherwood L., 2001).
11
Gambar 2 : Transmisi Gelombang Suara (Sherwood L., 2001)
12
13
Gangguan pendengaran atau ketulian dapat bersifat
sementara atau menetap, parsial atau total. Ketulian ada tiga jenis, yaitu
tuli konduktif (hantaran), tuli sensorineural (saraf), dan tuli campuran,
bergantung mekanisme pendengaran yang kurang berfungsi secara adekuat
.
Gangguan pendengaran atau ketulian dibagi menjadi 2 tipe : (1)
disebabkan oleh kerusakan koklea atau nervus auditorius (tuli saraf) dan (2)
disebabkan oleh kerusakan struktur fisik telinga yang menjalarkan suara ke
dalam koklea (tuli konduktif). Jika koklea atau nervus auditorius rusak,
maka seseorang akan mengalami tuli permanen. Sedangkan, jika koklea
dan nervus tetap utuh tetapi sistem tulang pendengaran-timpani telah
hancur atau mengalami ankilosis, gelombang suara masih dapat
dikonduksikan ke dalam koklea melalui konduksi tulang dari
pembangkit suara yang diletakkan pada kepala di atas telinga (Guyton &
Hall, 2008).
3. Gangguan Pendengaran
a. Definisi gangguan Pendengaran
Gangguan pendengaran merupakan istilah yang digunakan untuk
menggambarkan kehilangan pendengaran di satu atau kedua telinga
(WHO,
2006). Gangguan pendengaran adalah perubahan tingkat pendengaran yang
mengakibatkan kesulitan dalam melaksanakan kehidupan normal, biasanya
dalam hal memahami pembicaraan .
14
b. Klasifikasi Derajat Gangguan Pendengaran
Tabel 1: Klasifikasi derajat gangguan pendengaran menurut ISO
(International Standard Organization) dan ASA
(American Standard Association)
16
serebellum, mieloma multiple, cedera otak, perdarahan otak, dan kelainan
otak lainnya .
Pada pemeriksaan fisik atau otoskopi dijumpai kanal telinga luar
dan selaput gendang telinga tampak normal. Pada tes berbisik dijumpai
penderita tidak dapat mendengar suara berbisik pada jarak lima meter dan
sukar mendengar kata-kata yang mengandung nada tinggi.
Catatan : pada tuli konduktif < 30 dB, Rinne bisa masih positif
17
Gangguan pendengaran dapat disebabkan oleh pekerjaan
(occupational hearing loss), misalnya akibat kebisingan, trauma akustik,
dapat juga bukan disebabkan oleh pekerjaan (non-occupational hearing
loss). Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap gangguan pendengaran
akibat pekerjaan adalah intensitas suara yang terlalu tinggi, usia karyawan,
gangguan pendengaran yang sudah ada sebelum bekerja, tekanan dan
frekuensi kebisingan, lama masa kerja, jarak dari sumber suara, gaya hidup
pekerja di luar tempat kerja.
18
c. Penderita. Telinga yang akan di test dihadapkan kepada pemeriksa
dan telinga yang tidak sedang ditest harus ditutup dengan kapas atau oleh
tangan si penderita sendiri. Penderita tidak boleh melihat gerakan mulut
pemeriksa.
Cara pemeriksaan.
Sebelum melakukan pemeriksaan penderita harus diberi instruksi yang
jelas misalnya anda akan dibisiki kata-kata dan setiap kata yang didengar
harus diulangi dengan suara keras. Kemudian dilakukan test sebagai berikut
:
a. Mula-mula penderita pada jarak 6 meter dibisiki beberapa kata
bisyllabic. Bila tidak menyahut pemeriksa maju 1 meter (5 meter dari
penderita) dan test ini dimulai lagi. Bila masih belum menyahut
pemeriksa maju 1 meter, dan
Dengan test suara bisik ini dapat dipergunakan untuk memeriksa secara
kasar derajat ketulian (kuantitas). Bila sudah berpengalaman test suara
bisik dapat pula secara kasar memeriksa type ketulian misalnya :
a. Tuli konduktif sukar mendengar huruf lunak seperti n, m, w
(meja dikatakan becak, gajah dikatakan kaca dan lain-lain).
19
b. Tuli sensori neural sukar mendengar huruf tajam yang
umumnya berfrekwensi tinggi seperti s, sy, c dan lain-lain (cicak
dikatakan tidak, kaca dikatakan gajah dan lain-lain).
20
Contoh hasil pemeriksaan Garis
pendengaran : Ka Frekwensi
Ki
- 2.048 +
- 1.024 +
- 512 +
- 256 -
+ 128 -
Test Weber.
Prinsip test ini adalah membandingkan hantaran tulang telinga kiri
dan kanan. Telinga normal hantaran tulang kiri dan kanan akan sama.
Cara pemeriksaan. Garpu tala 256 Hz atau 512 Hz yang telah disentuh
diletakkan pangkalnya pada dahi atau vertex. Penderita ditanyakan apakah
mendengar atau tidak. Bila mendengar langsung ditanyakan di telinga
mana didengar lebih keras. Bila terdengar lebih keras di kanan disebut
lateralisasi ke kanan.
Evaluasi Tets Weber. Bila terjadi lateralisasi ke kanan maka ada beberapa
kemungkinan
1) Telinga kanan tuli konduktif, kiri normal
2) Telinga kanan tuli konduktif, kiri tuli sensory neural
3) Telinga kanan normal, kiri tuli sensory neural
21
4) Kedua telinga tuli konduktif, kanan lebih berat
5) Kedua telinga tuli sensory neural, kiri lebih berat
Dengan kata lain test weber tidak dapat berdiri sendiri oleh karena tidak
dapat menegakkan diagnosa secara pasti.
Test Rinne.
Prinsip test ini adalah membandingkan hantaran tulang dengan hantaran
udara pada satu telinga. Pada telinga normal hantaran udara lebih panjang
dari hantaran tulang. Juga pada tuli sensorneural hantaran udara lebih
panjang daripada hantaran tulang. Dilain pihak pada tuli konduktif hantaran
tulang lebih panjang daripada hantaran udara.
a. Cara pemeriksaan. Garpu tala 256 Hz atau 512 Hz disentuh secara
lunak pada tangan dan pangkalnya diletakkan pada planum mastoideum
dari telinga yang akan diperiksa. Kepada penderita ditanyakan apakah
mendengar dan sekaligus di instruksikan agar mengangkat tangan bila
sudah tidak mendengar. Bila penderita mengangkat tangan garpu tala
dipindahkan hingga ujung bergetar berada kira-kira 3 cm di depan
meatus akustikus eksternus dari telinga yang diperiksa. Bila penderita
masih mendengar dikatakan Rinne (+). Bila tidak mendengar dikatakan
Rinne (-).
b. Evaluasi test rinne. Rinne positif berarti normal atau tuli
sensorineural. Rinne negatif berarti tuli konduktif.
c. Rinne Negatif Palsu. Dalam melakukan test rinne harus selalu hati-
hati dengan apa yang dikatakan Rinne negatif palsu. Hal ini terjadi
pada tuli sensorineural yang unilateral dan berat.
Pada waktu meletakkan garpu tala di Planum mastoideum getarannya
di tangkap oleh telinga yang baik dan tidak di test (cross
hearing). Kemudian setelah garpu tala diletakkan di depan
meatus acusticus externus getaran tidak terdengar lagi sehingga
dikatakan Rinne negatif
Test Schwabach.
22
Prinsip tes ini adalah membandingkan hantaran tulang dari
penderita dengan hantaran tulang pemeriksa dengan catatan bahwa telinga
pemeriksa harus normal.
a. Cara pemeriksaan. Garpu tala 256 Hz atau 512 Hz yang telah
disentuh secara lunak diletakkan pangkalnya pada planum mastoiedum
penderita. Kemudian kepada penderita ditanyakan apakah mendengar,
sesudah itu sekaligus diinstruksikan agar mengangkat tangannya bila
sudah tidak mendengar dengungan. Bila penderita mengangkat tangan
garpu tala segera dipindahkan ke planum mastoideum pemeriksa. Ada 2
kemungkinan pemeriksa masih mendengar dikatakan schwabach
memendek atau pemeriksa sudah tidak mendengar lagi. Bila
pemeriksa tidak mendengar harus dilakukan cross yaitu garpu tala
mula-mula diletakkan pada planum mastoideum pemeriksa kemudian
bila sudah tidak mendengar lagi garpu tala segera dipindahkan ke
planum mastoideum penderita dan ditanyakan apakah penderita
mendengar dengungan. Bila penderita tidak mendengar lagi
dikatakan schwabach normal dan bila masih mendengar dikatakan
schwabach memanjang.
b. Evaluasi test schwabach
1) Schwabach memendek berarti pemeriksa masih
mendengar dengungan dan keadaan ini ditemukan pada tuli
sensory neural
2) Schwabach memanjang berarti penderita masih
mendengar dengungan dan keadaan ini ditemukan pada tuli
konduktif
3) Schwabach normal berarti pemeriksa dan penderita sama-sama
tidak mendengar dengungan. Karena telinga pemeriksa normal
berarti telinga penderita normal juga.
23
C. STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR
24
4. Siapkan alat
a. Garpu tala
b. Alat tulis
FASE ORIENTASI KOMPETEN
Kompeten Tidak Ket
Kompeten
1. Ucapkan salam
2. Perkenalkan diri
3. Identifikasi min 2 identitas pasien (untuk
pasien safety)
4. Jelaskan maksud dan tujuan tindakann
5. Jelaskan prosedur
6. Menanyakan kesiapan pasien
FASE KERJA KOMPETENTEN
Kompeten Tidak Ket
Kompeten
A. TES BISIK
1) Menerangkan cara dan tujuan pemeriksaan
2) Mempersiapkan alat dan bahan yang akan
digunakan untuk pemeriksaan
3) Mengatur posisi duduk dengan pasien
4) Dengan menggunakan sisa udara
ekspirasi pemeriksa membisikkan
beberapa kata bisyllabic pada jarak 6 meter
5) ila tidak menyahut pemeriksa maju 1
meter (5 meter dari penderita) dan test ini
dimulai lagi. Bila masih belum menyahut
pemeriksa maju 1 meter, dan demikian
seterusnya sampai penderita dapat
mengulangi 8 kata-kata dari 10 kata- kata
yang dibisikkan.
6) Catat hasil yang diperoleh dan
interpretasinya.
B. TES GARPU TALA
1) Menerangkan cara dan tujuan pemeriksaan
2) Mempersiapkan alat yang akan digunakan
untuk pemeriksaan
3) Mengatur posisi duduk dengan pasien
25
5. Tes Garis Pendengaran
a) Getarkan garpu dengan lembut,
kemudian posisikan kira-kira 2,5– 3 cm
di depan telinga penderita
b) Penderita diinstruksikan untuk
mengangkat tangan bila mendengar
bunyi dari garpu tala
c) Pindahkan garpu tala ke depan telinga
yang sedang diperiksa bilapenderita
sudah tidak mendengar
d) Tes dilakukan pada kedua telinga
e) Catat hasil yang diperoleh kemudian
interpretasikan
f) Lakukan mulai dari gapu tala frekwensi
rendah sampai tinggi
6. Tes Rinne
a) Getarkan garpu tala frekwensi 256 atau
512 Hz dengan lembut.
b) Letakkan pada planum mastoid
Tes dilakukan pada kedua telinga
c) Penderita diinstruksikan untuk
Catat hasil yang diperoleh kemudian
mengangkat tangan bila sudah tidak
interpretasikan
mendengar bunyi dari garpu tala atau
sebaliknya
d) Pindahkan garpu tala ke depan telinga
7. Tes yang sedang diperiksa bila penderita
Weber
Getarkansudah tidak
garpu talamendengar
frekwensi 256 atau 512 Hz
dengan lembut.pada kedua telinga
Tes dilakukan
Letakkan
Catat hasilpada
yangdahi atau vertex
diperoleh kemudian
Penderita diinstruksikan untuk menyebutkan
interpretasikan
telinga mana yang lebih jelas mendengar bunyi
7. Tes Catat hasil yang diperoleh kemudian
Schwabach
1)interpretasikan
Getarkan garpu tala frekwensi 256 atau 512 Hz
dengan lembut.
2) Letakkan pada planum mastoid.
3) Penderita diinstruksikan untuk mengangkat
tangan bila sudah tidak mendengar bunyi dari
garpu tala atau sebaliknya
4) Pindahkan garpu tala ke planum mastoid
pemeriksa bila penderita sudah tidak mendenga
26
8.Tes Bing
1) Getarkan garpu tala frekwensi 256 atau 512 Hz
dengan lembut.
2) Letakkan pada planum mastoid
3) Penderita diinstruksikan untuk menyebutkan
mana yang lebih jelas mendengar bunyi pada
saat liang telinga tertutup atau terbuka
4) Tes ini untuk memastikan gangguan konduktif
27
Program Studi : Sarjana Keperawatan Pertemuan ke : 3,7,9
Nama Mata Kuliah : Keperawatan Medikal
Bedah III
MODUL 2
PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
A. CASE STUDY
Laki-laki 50 tahun dirawat hari pertama dengan stroke haemoraghik. Saat ini
pasien masih mengalami penurunan kesadaran dan terlihat gelisah. Ektremitas
kanan baik atas maupun bawah terlihat sangat lemah.
B. URAIAN MATERI
Sistem saraf terdiri dari dua divisi: sistem saraf pusat (SSP), termasuk otak
dan sumsum tulang belakang, dan sistem saraf tepi (Peripheral Neural System),
yang meliputi tengkorak dan saraf tulang belakang. PNS dapat dibagi lagi
menjadi sistem saraf somatic (dibawah kesadaran) dan sistem saraf otonom
(diluar kesadaran). Fungsi sistem saraf adalah untuk mengendalikan aktivitas
motorik, sensorik, otonom, kognitif dan perilaku. Otak itu sendiri mengandung
lebih dari 100 miliar sel yang menghubungkan jalur motorik dan sensorik,
memantau proses tubuh, merespons lingkungan internal dan eksternal,
mempertahankan homeostasis dan mengarahkan semua aktivitas psikologis,
biologis, dan fisik melalui kompleks.
Unit fungsional dasar otak adalah neuron (lihat Gambar 55-1). Ini terdiri dari
sel tubuh, dendrit dan akson. Badan sel saraf yang terjadi dalam kelompok disebut
ganglia atau nuklei. Sekelompok badan sel dengan fungsi yang sama disebut
pusat (mis. Pusat pernapasan). Dendrit adalah struktur tipe cabang untuk
menerima pesan elektrokimia. Akson adalah proyeksi panjang yang membawa
28
impuls listrik dari tubuh sel. Beberapa akson memiliki selubung mielin yang
meningkatkan kecepatan konduksi.
Neurotransmiter
1. Otak
Otak dibagi menjadi tiga area utama: otak besar, batang otak dan otak kecil.
Serebrum terdiri dari dua belahan, thalamus, hipotalamus dan ganglia basal.
Batang otak meliputi otak bagian tengah, pons, dan medula. Otak kecil terletak di
bawah otak besar dan di belakang batang otak (lihat Gambar 55-2).
2. Batang otak
Batang otak terdiri dari otak tengah, pons, dan medula oblongata (lihat
Gambar 55-2). Otak tengah menghubungkan pons dan otak kecil dengan belahan
otak; ini berisi jalur sensorik dan motorik dan berfungsi sebagai pusat refleks
pendengaran dan visual. Saraf kranial III dan IV berasal dari otak tengah. Pons
terletak di depan otak kecil antara otak tengah dan medula dan merupakan
jembatan antara dua bagian cerebellum, medula dan otak tengah. Saraf kranial V
29
hingga VIII berasal dari pons. Pons berisi jalur motorik dan sensorik. Bagian pons
juga mengendalikan jantung, pernapasan, dan tekanan darah. Medula oblongata
mengandung serabut motorik dari otak ke medula spinalis dan serabut sensoris
dari medula spinalis ke otak. Sebagian besar serat ini bersilangan pada tingkat ini.
Saraf kranial IX hingga XII berasal dari medula. Pusat refleks untuk pernapasan,
tekanan darah, detak jantung, batuk, muntah, menelan dan bersin juga terletak di
medula.
3. Otak kecil
Cerebellum dipisahkan dari belahan otak oleh lipatan dura mater, tentorium
cerebelli. Otak kecil mengintegrasikan informasi sensorik untuk memberikan
gerakan terkoordinasi yang lancar. Ia mengendalikan gerakan, keseimbangan, dan
posisi (postural) akal atau proprioception (kesadaran akan posisi bagian-bagian
tubuh tanpa melihatnya) (Farrell, 2014).
1) Identitas Pasien
Pengkajian terhadap identitas pasien penting untuk diketahui, karena pada
penyakit dengan gangguan neurologi terkadang terdapat hubungan antara data
identitas dengan epidemiologi, atau insidensi (angka kejadian) penyakit.
a) Nama
30
b) Umur
c) Jenis Kelamin
d) Alamat
e) Agama
f) Bangsa / Suku
g) Status Perkawinan
h) Pekerjaan
Contoh lainnya adalah nyeri kepala tipe tegang, atau tension headache, yang
pada umumnya ditemukan pada pasien berjenis kelamin wanita, dengan rentang
usia antara 20-40 tahun, atau pada kasus nyeri punggung karena hernia nukleus
pulposus yang lebih sering ditemukan pada pasien pria, dengan angka kejadian
tertinggi antara usia 40-50 tahun.
31
Beberapa keluhan utama yang sering utarakan pasien pada penyakit gangguan
neurologi, diantaranya adalah sebagai berikut:sakit kepala, lemas dan lemah pada
ekstremitas, kelumpuhan pada ekstremitas, bicara pelo, sakit punggung, kejang seluruh
tubuh, demam disertai kejang, dan penurunan kesadaran.
Dalam penulisan keluhan utama juga harus ditanyakan sudah berapa lama
pasien mengalami keluhan tersebut. Misalnya sakit kepala sejak setahun yang
lalu, atau kelemahan pada lengan dan tungkai sejak 2 jam yang lalu. Selain
menanyakan keluhan utama, tanyakan juga apakah ada keluhan lain yang
dirasakan pasien yang merupakan keluhan tambahan, seperti sakit kepala, muntah,
dan lain sebagainya.
33
Penyakit GPDO, terutama stroke hemoragik, dan nyeri kepala tipe tegang,
merupakan contoh penyakit gangguan neurologi yang memiliki kecenderungan
untuk diturunkan secara genetik. Pada penyakit infeksi intrakranial, khususnya
pada meningitis tuberkulosis, yang umumnya terjadi pada anak usia 6 bulan
hingga 5 tahun, dapat ditemukan adanya riwayat paparan dengan anggota
keluarga dekat, atau tetangga yang menderita tuberkulosis paru. Pada anamnesis
ditanyakan juga adakah anggota keluarga yang mengalami sakit yang sama
dengan pasien. Bila ada yang telah meninggal dunia, tanyakanlah sebab
kematiannya.
6) Anamnesa terhadap Pola Kesehatan Fungsional Gordon
a) Pola Persepsi dan Pemeliharaan Kesehatan
Bagaimana persepsi dan pemelihhaarn kesehatan pasien terkait dengan
masalah neurology yang dialaminya, baik sebelum sakit maupun
sesudah sakit. Pola tersebut dinilai oleh perawat adakah persepsi dan
pemelihaaran kesehatan yang bertentangan dengan maslaah yang
dihadapi saat ini atau tidak. Sejauh mana pola tersebut dapat membuat
kondisi semakin parah.
b) Pola Nutrisi
Bagaimana pola makan pasien baik sebelum sakit atau sesudah sakit.
Pola makan dapat berkaitan dengan muncunya masalah neurologi atau
akibat dari adanya masalah neurologi. Sehingga hal tersebut perlu
dikaji untuk melihat faktor risko masalah dan agar dapat dilakukan
tindakan untuk memnimlakna atau menghilangkan faktor risiko
berkaitan dengan pola makan
c) Pola Eliminasi
Bagaimana pola eliminasi pasien baik sebelum sakit atau sesudah
sakit. Pola eliminasi dapat berkaitan dengan muncunya masalah
neurologi atau akibat dari adanya masalah neurologi. Sehingga hal
tersebut perlu dikaji untuk melihat tanda gejala, faktor risko masalah
dan agar dapat dilakukan tindakan untuk meminimalkan atau
34
menghilangkan faktor risiko dan juga tanda tanda gejala berkaitan
dengan pola eliminasi.
36
Fungsi luhur mencirikan manusia. Sifat-sifat kemanusiaan yang
dinamakan watak atau karakter, inteligensia, personalitas, kebijakan
dan sebagainya terdiri dari komponen fungsi luhur atau fungsi mental.
1) Fungsi Kortikal
Luhur
Fungsi kortikal luhur secara artefisial untuk memudahkan
pemahamannya terbagi dalam 5 komponen, yaitu : a) kemempauan bernaasa,
b) kemampuan daya ingat, c) kemampuan visiospasial, d) emosi atau
kepribadian dan e) kemampuan kognisi.
1.1.Sindrom Afasia
Jenis sindrom afasia ditentukan menurut kemampuan berbagai modalitas bahasa
berikut : a) berbicara spontan, b) Pengertian Bahasa, c) pengulangan, d)
penambahan kata benda, e) Membaca, f) Menulis.
37
1) Sindrom Afasia Broca.
I. Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan pemeriksa berada di sisi
kanan pasien. Mintalah pasien berbicara secara spontan atau
perhatikanlah pasien saat berbicara secara spontan apakah
bahasanya dapat dimengerti atau tidak, mintalah pasien
untuk mengulang kata yang diucapkan oleh pemeriksa,
menambahkan kata benda pada perkataan, membaca dan menulis.
II. Interpretasi : sindrom afasia broca dikatakan positif (+) jika pasien
berbicara spontan yang tidak lancar, nonfluen, terbata-bata, tata
bahasanya kurang sempurna, kemampuan modalitas bahasa lainnya
jelek, tidak dapat mengulang kata yang diucapkan oleh pemeriksa,
tidak dapat menambahkan kata benda pada perkataan, tidak dapat
menulis.
III. Biasanya disertai hemiparesis kanan.
IV. Pada keadaan berat bisa terjadi mutisme.
38
iv. Biasanya tidak disertai gejala hemiparesis, sehingga luput dari
diagnosa afasia, bahkan dianggap sebagai kasus psikiatrik.
v. Pada keadaan berat disebut afasia jargon.
39
5) Sindrom Afasia Anomik
40
Mencakup sindrom afasia hlobal dan anomik. Keduanya tidak
menunjukkan lokalisasi tertentu.
1.2 Apraksia
a) Apraksia Ideomotor
1) Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan pemeriksa berada
di sisi kanan pasien.
2) Mintalah pasien untuk menjulurkan lidah.
3) Interpretasi : apraksia ideomotor dikatakan positif (+)
jika pasien tidak dapat melakukan gerakan menjulurkan
lidah jika diperintah akan tetapi dapat melakukan
gerakan tersebut secara spontan.
b) Apraksia Ideasional
1) Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan pemeriksa berada di
sisi kanan pasien.
2) Mintalah pasien untuk melipat sebuah surat kemudian
memasukkan ke dalam amplop dan menempel perangko di
atasnya.
3) Interpretasi : apraksia ideasional dikatakan positif (+) jika pasien
tidak dapat melipat sebuah surat kemudian memasukkan ke dalam
amplop dan menempel perangko di atasnya jika diperintah akan
tetapi dapat melakukan gerakan tersebut secara spontan.
b) Sindrom Hemisfer Kanan
1) Pengabaian (neglect)
41
II. Mintalah pasien untuk mengamati ruangan pemeriksaan dan
mengatakan apa saja yang diamatinya.
III. Interpretasi : pengabaian (neglect) dikatakan positif (+) jika
pasien mengabaikan ruangan sisi kiri (hemineglect).
2) Gangguan Visuospasial
c) Gangguan Memori
1) Gangguan Memori Jangka Pendek atau Memori Baru
I. Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan pemeriksa berada di
sisi kanan pasien.
II. Mintalah pasien untuk mengingat apa saja yang baru saja
dilakukannya.
III. Interpretasi : gangguan memori jangka pendek atau memori baru
dikatakan positif (+) jika pasien tidak ingat hal-hal yang baru saja
terjadi.
d) Gangguan Kognisi
I. Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan pemeriksa berada di sisi
kanan pasien.
II. Mintalah pasien untuk memahami suatu cerita, mengartikan suatu
pribahasa, mengemukakan persamaan kata, melakukan perkalian.
III. Interpretasi : gangguan kognisi dikatakan positif (+) jika pasien
mengalami gangguan cara berfikir, tidak dapat menjabarkan
peribahasa, tidak mampu mengenal persamaan, kalkulasi dan konsep.
2) Pemeriksaan Tingkat Kesadaran dan Fungsi Koordinasi
45
III. Interpretasi : dikatakan obtundasi jika pasien tidak begitu
waspada, perhatian untuk sekeliling berkurang dan cenderung
mengantuk tanpa memikirkan apa-apa.
3) Binggung atau Confused.
I. Posisikan pasien dalam keadaan duduk atau berbaring,
pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
II. Pemeriksa memperkenalkan diri lalu menanyakan identitas
pribadi pasien, keberadaan pasien saat ini dan mengapa dia
ada disitu, menanyakan kembali siapakah pemeriksa serta
menanyakan tahun, bulan dan hari penanggalan.
III. Interpretasi : dikatakan binggung atau confused jika pasien
menunjukkan kebinggungan dalam waktu dan pengenalan
tempat/orang (disorientasi waktu, ruang dan orang).
4) Delirium.
I. Posisikan pasien dalam keadaan duduk atau berbaring, pemeriksa
berada di sisi kanan pasien.
II. Pemeriksa menanyakan identitas pribadi pasien, keberadaan pasien saat
ini dan mengapa dia ada disitu serta menanyakan tahun, bulan dan hari
penanggalan.
III. Interpretasi : dikatakan delirium jika pasien menunjukkan
kekacauan secara mental karena mengalami ilusi dan halusinasi,
bereaksi sesuai dengan kekacauan pikirannya.
5) Apatia.
I. Posisikan pasien dalam keadaan duduk atau berbaring, pemeriksa
berada di sisi kanan pasien.
II. Pemeriksa menanyakan identitas pribadi pasien, keberadaan pasien
saat ini dan mengapa dia ada disitu serta menanyakan tahun, bulan
dan hari penanggalan.
III. Interpretasi : dikatakan apatia jika pasien kurang waspada, tidak
tidur atau mengantuk namun tidak mau memperhatikan,
menghiraukan dirinya dan sekelilingnya. Pasien tidak bicara dan
pandangannya hampa
46
Penurunan kesadaran yang bersifat kualitatif, yaitu :
47
II. Pemeriksa memberikan stimuli verbal (auditorik keras ), dengan
rangsangan nyeri (menusuk anggota gerak pasien), taktil dan visual
kuat kepada pasien.
III. Interpretasi : dikatakan semikomaatau soporokoma jika pasien
tidak memberikan respon verbal terhadap stimuli yang dilakukan
oleh pemeriksa tetapi reaksi terhadap perangsangan kasar (jawaban
motorik: hanya berupa gerakan primitif) masih ada walaupun hanya
bersifat adaptif atau menghindari rangsangan nyari.
4) Koma(derajat 4).
I. Posisikan pasien dalam keadaan berbaring, pemeriksa berada di sisi
kanan pasien.
II. Pemeriksa memberikan stimuli verbal (auditorik keras ), dengan
rangsangan nyeri (menusuk anggota gerak pasien), taktil dan visual
kuat kepada pasien.
III. Interpretasi : dikatakan koma jika pasien tidak memberikan respon
terhadap stimuli apa pun, baik dalam hal membuka mata, bicara,
maupun reaksi motorik (merupakan penurunan kesadaran yang paling
rendah).
Penurunan kesadaran yang bersifat kuantitatif diukur dengan menggunakan
skala koma Glasgow, sebagai berikut :
48
(iv) Tidak ada reaksi terhadap rangsangan nyeri = 1
2) Reaksi Verbal/Bicara.
I. Posisikan pasien dalam keadaan duduk atau berbaring,
pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
II. Pemeriksa melakukan komunikasi dengan pasien (mengajak pasien
berbicara) kemudian pemeriksa memperhatikan tanggapan verbal
pasien apakah ucapan pasien berorientasi (pasien sadar akan diri
dan sekelilingnya, mengapa ia berada di tempat itu, tahu tahun,
bulan dan hari penanggalan), kacau (disorientasi), ucapan tidak
senonoh (misal : mengeluarkan kata-kata kutukan, berteriak dan
tidak menghiraukan jalan percakapan), dan ucapan yang tidak
dapat dimengerti (hanya berupa suara mengeram dan merintih).
III. Interpretasi :
i) Tanggapan verbal berorientasi baik = 5
ii) Tanggapan verbal disorientasi/binggung = 4
iii) Tanggapan verbal tidak sesuai/satu kata saja = 3
iv) Tanggapan verbal tidak dimengerti/suara saja = 2
v) Tidak ada suara sama sekali = 1
3) Reaksi Motorik.
I. Posisikan pasien dalam keadaan duduk atau berbaring,
pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
II. Mintalah pasien untuk melakukan gerakan (atas perintah)
kemudian perhatikan dan nilai apakah pasien dapat melakukan
gerakan atas tersebut; pemeriksa memberikan rangsangan pada
tangan pasien kemudian perhatikan dan nilai apakah tangan yang
dirangsang berfleksi pada sendi pergelangan tangan; berfleksi pada
sendi bahu, sendi siku, dan sendi pergelangan tangan secara
serempak (tanggapan motorik fleksor); pemeriksa mengaduksikan
lengan pasien sambil berotasi ke dalam pada sendi bahu yang
sedang dalam keadaan lurus dan lengan bawah berpronasi secara
berlebihan (tanggapan motorik ekstensor) .
III. Interpretasi :
49
i) Gerakan mengikuti perintah/bertujuan = 6
ii) Gerakan menepis rangsang nyeri = 5
iii) Gerakan menghindari nyeri = 4
iv) Gerakan fleksi dekortikasi = 3
v) Gerakan ekstensi deserebrasi = 2
vi) Tidak ada gerakan sama sekali = 1
Tabel 2. Skala Koma Glasgow
FUNGSI KOORDINASI
50
3) Prosedur Pemeriksaan Fungsi Koordinasi
i. Tes Romberg
51
ii) Tes Romberg Dipertajam
a) Mintalah pasien untuk berdiri tegak dengan posisi tumit kaki kanan berada
dan menyentuh ujung ibu jari kaki kiri, dan sikap tangan berada di sisi
samping tubuh, kepala dan badan tegak (biarkan pasien berdiri seperti ini
dengan mata terbuka dan tertutup masing-masing selama 10-30 detik)
b) Beritahukan kepada pasien bahwa pemeriksa siap menangkapnya
apabila pasien terjatuh terjatuh (pastikan pemeriksa siap).
c) Jika pasien jatuh duluan dengan mata terbuka, pemeriksa tidak dapat
meneruskan tes.
d) Namun jika tidak, mintalah pasien untuk menutup kedua matanya.
Amatilah pasien saat berdiri dengan mata terbuka dan tertutup.
e) Bila pasien dapat berdiri dengan mata terbuka dan berdiri dengan
mata tertutup, ini berarti Tes Romberg Negatif – normal
f) Bila pasien dapat berdiri dengan mata terbuka, tetapi jatuh dengan
mata tertutup, ini berarti Tes Romberg positif – kelainan sensasi posisi
sendi.
g) Bila pasien tidak dapat berdiri dengan mata terbuka dan kedua kaki secara
berdampingan, ini berarti terjadi ketidakseimbangan yang berat –
umumnya disebabkan oleh: sindrom sereberal, sindrom vestibular
sentral dan perifer.
h) Bila pasien dapat berdiri dengan mata terbuka tetapi sempoyongan ke
belakang dan ke depan dengan mata tertutup, ini berarti kemungkinan
sindrom serebelum.
i) Tes ini tidak dapat dilakukan pada pasien yang tidak dapat berdiri
sendiri dan Tes Romberg tidak dapat dikatakan memberikan
nilai positif pada gangguan serebelum.
j) Lakukan kembali tes tersebut secara bergantian.
iii. Tes Tumit Lutut
52
b) Mintalah pasien untuk mengangkat salah satu tungkainya hingga
meletakkan tumitnya di atas lutut tungkai yang lain (sebaiknya pemeriksa
harus memperagakan terlebih dahulu kepada pasien).
c) Mintalah agar pasien menggerakkan tumitnya ke bawah dari proksimal
menuju distal di sepanjang permukaan ventral tungkai bawah yang lancip
(sebaiknya pemeriksa harus memperagakan terlebih dahulu kepada
pasien). Kesalahan umum: membiarkan pasien menggeserkan telapak
kakinya di sepanjang tungkai bawah.
d) Mintalah pasien untuk mengetukkan tumit salah satu kakinya ke lutut
kaki yang lain (seolah-olah sedang mendengarkan musik yang cepat).
e) Mintalah pasien untuk duduk dari posisi berbaring tanpa
menggunakan tangannya dengan sikap tumit salah satu kaki berada di lutut
kaki lainnya, serta amati apakah pasien jatuh ke satu sisi.
f) Jika pasien dapat melakukan semua gerakan tes tersebut dengan mata
terbuka maka instruksikan untuk melakukan gerakan tersebut dengan
kedua mata tertutup.
g) Tes tumit lutut dikatakan positif – Normal apabila dapat melakukan semua
gerakan tes tersebut, dan sebaliknya dikatakan negatif apabila tidak dapat
melakukan semua gerakan tersebut.
h) Lakukan kembali tes tersebut secara bergantian.
iv. Tes Telunjuk Hidung
a) Mintalah pasien untuk duduk atau berbaring dan posisi tangan berada di
sisi samping tubuh.
b) Mintalah kepada pasien untuk membuka kedua matanya kemudian
menyentuh hidungnya dengan jari telunjuk kanan dan kiri secara
bergantian, cepat, dan akurat.
c) Jika pasien dapat melakukannya dengan mata terbuka maka instruksikan
untuk melakukan gerakan tersebut dengan kedua mata tertutup.
d) Amati pasien selama melakukan tes tersebut. Bila pasien dapat
melakukannya dikatakan positif – Normal. Akan tetapi bila pasien tidak
53
dapat menyentuh hidung dengan jari telunjuknya secara akurat ataupun
dengan gerakan sangat lambat maka dikatakan negatif.
FASE TERMINASI
1. Menyampaikan hasil pengkajian
2. Evaluasi perasaan pasien
55
3. Berikan reinforcement postif
4. Kontrak waktu berikutnya
5. Berpamitan
6. Cuci tangan
7. Dokumentasi
56
Program Studi : Sarjana Keperawatan Pertemuan ke : 3,7,9
Nama Mata Kuliah : Keperawatan Medikal
Bedah III
MODUL 3
PEMERIKSAAN REFLEKS FISIOLOGIS DAN PATOLOGIS
A. CASE STUDI
Tn A (41 thn) dirawat dengan stroke haemoraghic hari pertama. Tn A
mengeluh sakit kepala dengan skala 10. Hasil pemeriksan fisik: kesadaran
somnolen, gelisah, tekanan darah 200/130 mmHg, nadi 135 x/ menit, RR : 28
x/ menit dan suhu 37oC, pupil isokor, reflek kornea positif, kekuatan otot
ektremitas kiri atas 3 kiri bawah 3, reflek Babinski positif. Hasil CT scan
diperoleh informasi perdarahan intraventrikuler 1, 2, 3 dan 4.
B. URAIAN MATERI
Kata refleks secara sederhana berarti jawaban atas rangsangan. Jalur saraf
yang dapat menimbulkan refleks ini disebut lengkung refleks (reflex arc). Lengkung
refleks ini terdiri dari reseptor (panca indera), serat saraf aferen,
interneuron, serat saraf eferen, dan efektor (organ). Interneuron ini berupa
susunan saraf pusat terutama pada system piramidalis. Apabila lengkung refleks
rusak maka refleks tidak akan terjadi atau refleks meninggi.
57
Refleks terdiri dari dua jenis yaitu: refleks superfisial dan refleks dalam.
Refleks mengakibat superfisial timbul akibat stimulus pada mukosa atau kulit
yang mengakibatkan kontraksi otot yang ada dibawahnya atau sekitarnya.
Contoh reflek adalah reflek kornea, reflek dinding perut supervisial, reflek
kremaster dll. Sedangkan refleks dalam timbul akibat teregangnya otot oleh stimulus
yang diberikan yang mengakibatkan kontraksi otot yang ada dibawahnya atau
sekitarnya. Regangan ini diterima oleh reseptor propioseptik. Banyak istilah lain dari
refleks dalam, antara lain: refleks regang otot, refleks tendon, refleks periostal, dan
refleks miotatik. Contoh refleks ini ialah refleks kuadrisep femoralis, glabela, rahang
bawah, biseps brachii, triseps brachii, brachioradialis, ulna, otot dinding perut,
fleksor jari-jari, dan tendon archilles (triseps sure). Sebenarnya banyak refleks
dalam yang dapat dibangkitkan. Setiap otot yang diketuk pada insersionya akan
berkontaksi menimbulkan reflex.
Pemeriksaan refleks ini sangat penting untuk menilai adanya lesi pada traktus
piramidalis. Penilaian refleks ini sangatlah objektif karena tidak membutuhkan
kooperatif dari pasien. Sehingga pemeriksaan refleks ini dapat dilakukan pada pasien
yang mengalami penurunan kesadaran, bayi, anak, intelegensia rendah, dan
gangguan cemas.
A. Reflek Superfisil
1. Reflek Kornea
a. Kornea mata disentuh dengan sepotong kapas yang ujungnya dipilin
hingga runcing.
b. Interpretasi: Refleks Kornea dikatakan positif (+) jika terjadi gerakan
menutup mata dan dikatakan negatif (-) jika terjadi gerakan tersebut.
c. Refleks kornea menghilang atau berkurang menandakan gangguan
nervus Trigeminus sensorik cabang optalmik (nervus kranialis V1)
ataupun gangguan nervus Fasialis (nervus kranialis VII).
4. Reflek Gluteal
a. Lakukan goresan atau tusukan ringan dengan ujung gagang
reflex hammer (benda yang agak runcing) pada regio gluteal.
b. Interpretasi: Refleks Gluteal dikatakan positif (+) jika tampak gerakan
kontraksi muskulus glutealis ipsilateral dan dikatakan negatif (-) jika
tidak terjadi gerakan.
3. Reflek Bisep
a. Mintalah lengan bawah pasien semifleksi dan pronasi rileks di
atas paha, kemudian ibu jari kiri pemeriksa menekan tendon biseps
di fossa cubitti.
b. Ketuk dengan menggunakan reflex hammer pada ibu jari kiri
pemeriksa.
c. Interpretasi: Refleks Biseps dikatakan positif (+) jika terjadi
gerakan fleksi lengan bawah dan dikatakan negatif (-) jika tidak
terjadi gerakan tersebut.
d. Pusat refleks ini terletak di C5-C6.
4. Reflek Trisep
60
a. Mintalah lengan bawah pasien semifleksi dan pronasi rileks di atas
paha.
b. Ketuk dengan menggunakan reflex hammer pada tendon triseps
dari belakang sekitar 5 cm diatas siku.
c. Interpretasi: Refleks Triseps dikatakan positif (+) jika terjadi
gerakan ekstensi lengan bawah dan dikatakan negatif (-) jika tidak
terjadi gerakan tersebut.
d. Lengkung refleks ini melalui nervus radialis dan berpusat di C6-C8.
5. Reflek Brachioradialis (Reflek Radial)
a. Mintalah lengan bawah pasien semifleksi pada posisi diantara
pronasi dan supinasi rileks di atas paha.
b. Ketuk dengan menggunakan reflex hammer pada prosesus
stiloideus ossis radius.
c. Interpretasi: Refleks Brakhioradialis dikatakan positif (+) jika
terjadi gerakan fleksi dan supinasi lengan bawah dan dikatakan
negatif (-) jika tidak terjadi gerakan tersebut.
d. Lengkung refleks ini melalui nervus radialis dan berpusat di C5-
C6.
6. Reflek Ulna
a. Mintalah lengan bawah pasien semifleksi dan semipronasi rileks di
atas paha.
b. Ketuk dengan menggunakan reflex hammer pada prosesus
stiloideus ossis ulnae.
c. Interpretasi: Refleks Ulna dikatakan positif (+) jika terjadi
gerakan pronasi lengan bawah, kadang juga gerakan adduksi pada
pergelangan tangan dan dikatakan negatif (-) jika tidak terjadi
gerakan tersebut
63
Gambar Pemeriksaan Reflek
Sumber; Google
Kompeten
No Langkah
Ya Tidak
A Fase Pra Interaksi
1. Cek rekam medis pasien, terkait data yang
akan dikaji
2. Siapkan diri perawat
3. Siapkan alat
a. Reflek hamer
b. Alat tulis
4. Cuci tangan sebelm menemui pasien
B Fase Orientasi
1. Mengucapkan salam dan memperkenalkan diri
2. Mengidentifikasi min 2 identitas pasien
3. Menyaipakn maksud dan tujuan
4. Menjelaskan prosedur
5. Menanyakan kesiapan pasien
64
C Fase Kerja
1. Cuci tangan
2. Siapkan ruangan senyaman mungkin untuk
privacy pasien
3. Siapkan pasien senyaman mungkin
4. Pemeriksaan Reflek Suprfisial
a. Pemeriksaan Reflek Kornea
1) Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan
pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
2) Mintalah pasien melirik ke arah berlawanan
dengan arah datangnya stimulus.
3) Kornea mata disentuh dengan sepotong kapas
yang ujungnya dipilin hingga runcing.
4) Interpretasi: Refleks Kornea dikatakan positif
(+) jika terjadi gerakan menutup mata dan
dikatakan negatif (-) jika tidak terjadi
gerakan tersebut.
5) Refleks kornea menghilang atau berkurang
menandakan gangguan nervus Trigeminus
sensorik cabang optalmik (nervus kranialis
V1) ataupun gangguan Nervus Fasialis (nervus
kranialis VII).
b. Pemeriksaan reflek dinding perut superfisial
1) Posisikan pasien dalam keadaan berbaring
supinasi dan pemeriksa berada di sisi kanan
pasien.
2) Gores dinding perut dengan ujung gagang
reflex hammer (benda yang agak runcing)
pada regio epigastrium, supraumbilikal,
umbilical, dan intraumbilikal dari lateral ke
medial.
3) Interpretasi: Refleks Dinding Perut Superfisial
dikatakan positif (+) jika tampak umbilikus
bergerak ke arah otot yang berkontraksi
(muskulus rektus abdominis) dan dikatakan
negatif (-) jika tidak terjadi gerakan tersebut.
c. Reflek Kremaster
1) Posisikan pasien dalam keadaan berbaring
supinasi dan paha sedikit abduksi, kemudian
pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
2) Permukaan medial paha digores dengan ujung
gagang reflex hammer (benda yang agak
runcing) dari proksimal ke distal.
3) Permukaan medial paha digores dengan ujung
gagang reflex hammer (benda yang agak
runcing) dari proksimal ke distal.
4) Interpretasi: Refleks Kremaster dikatakan
positif (+) jika tampak
5) elevasi testis ipsilateral akibat kontraksi
muskulus kremaster dan dikatakan negatif (-)
jika tidak terjadi gerakan tersebut.
d. Reflek Gluteal
65
1) Posisikan pasien dalam keadaan berbaring
pronasi (telungkup) dan paha sedikit abduksi,
pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
2) Lakukan goresan atau tusukan ringan dengan
ujung gagang reflex hammer (benda yang
agak runcing) pada regio gluteal.
3) Interpretasi: Refleks Gluteal dikatakan
positif (+) jika tampak gerakan kontraksi
muskulus glutealis ipsilateral dan
dikatakan negatif (-) jika tidak terjadi gerakan
tersebut.
e. Reflek Anus
1) Pasien dalam posisi litotomi, kemudian
pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
2) Lakukan goresan atau tusukan ringan dengan
ujung gagang reflex hammer (benda yang
agak runcing) pada region perianal (daerah
sekitar anus).
3) Interpretasi: Refleks Anus Superfisial
dikatakan positif (+) jika tampak gerakan
kontraksi muskulus spincter ani eksternus
dan dikatakan negatif (-) jika tidak terjadi
gerakan tersebut.
f. Reflek Plantar
1) Posisikan pasien dalam keadaan berbaring
supinasi dan istirahat dengan merilekskan
seluruh otot-otot kaki dan kedua tungkai
diluruskan, kemudian posisi pemeriksa berada
di sisi kaudal pasien.
2) Tangan kiri pemeriksa memegang salah satu
pergelangan kaki pasien dan sedikit diangkat
ke atas agar kaki tetap pada tempatnya dan
tidak menyetuh dasar tempat tidur.
3) Pada pada telapak kaki yang akan diperiksa,
lakukan goresan secara perlahan dengan
menggunakan gagang runcing reflex hammer
mulai dari daerah tumit menuju ke bagian
pangkal jari tengah kaki.
4) Goresan dilakukan secara perlahan, jangan
sampai menimbulkan rasa nyeri karena dapat
menimbulkan refleks menarik kaki (flight
réflex).
5) Interpretasi: Refleks Plantar dikatakan (+)
jika terjadi gerakan plantarfleksi jari-jari
kaki ipsilatera dan dikatakan (-) jika terjadi
gerakan tersebut.
5. Pemeriksaan Reflek dalam
a. Refleks Glabella
1) Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan
pemeriksa berada di hadapan pasien.
2) Mintalah pasien melirik ke arah depan.
3) Ketuk dengan menggunakan jari tengah kanan
pemeriksa pada region glabella atau sekitar
66
regio antara kedua supraorbitalis.
4) Interpretasi: Refleks Glabella dikatakan
positif (+) jika terjadi gerakan kontraksi
singkat kedua muskulus orbikularis okuli
dan dikatakan negatif (-) jika terjadi gerakan
tersebut.
5) Refleks glabella menghilang atau berkurang
menandakan gangguan nervus fasialis dan
meningkat pada sindroma parkinson.
b. Refleks Rahang Bawah (Jaw Reflex)
1) Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan
pemeriksa berada di hadapan pasien.
2) Mintalah pasien sedikit membuka mulut
dan jari telunjuk kiri pemeriksa melintang di
dagu.
3) Ketuk dengan menggunakan reflex hammer
pada jari telunjuk kiri pemeriksa.
4) Interpretasi: Refleks Rahang Bawah
dikatakan positif (+) jika tampak mulut
merapat akibat kontraksi muskulus maseter
dan dikatakan negatif (-) jika tidak terjadi
gerakan tersebut.
c. Refleks Biseps
1) Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan
pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
2) Mintalah lengan bawah pasien semifleksi dan
pronasi rileks di atas paha, kemudian ibu jari
kiri pemeriksa menekan tendon biseps di
fossa cubitti.
3) Ketuk dengan menggunakan reflex hammer
pada ibu jari kiri pemeriksa.
4) Interpretasi: Refleks Biseps dikatakan positif
(+) jika terjadi gerakan fleksi lengan bawah
dan dikatakan negatif (-) jika tidak terjadi
gerakan tersebut. Pusat refleks ini terletak di
C5-C6.
d. Refleks Triseps
1) Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan
pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
2) Mintalah lengan bawah pasien semifleksi dan
pronasi rileks di atas paha.
3) Ketuk dengan menggunakan reflex hammer
pada tendon triseps dari belakang sekitar 5 cm
diatas siku.
4) Interpretasi: Refleks Triseps dikatakan positif
(+) jika terjadi gerakan ekstensi lengan bawah
dan dikatakan negatif (-) jika tidak terjadi
gerakan tersebut.
e. Refleks Brakhioradialis (Refleks Radialis)
1) Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan
pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
2) Mintalah lengan bawah pasien semifleksi
pada posisi diantara pronasi dan supinasi
67
rileks di atas paha.
3) Ketuk dengan menggunakan reflex hammer
pada prosesus stiloideus ossis radius.
4) Interpretasi: Refleks Brakhioradialis dikatakan
positif (+) jika terjadi gerakan fleksi dan
supinasi lengan bawah dan dikatakan negatif
(-) jika tidak terjadi gerakan tersebut.
5) Lengkung refleks ini melalui nervus radialis
dan berpusat di C5-C6.
f. Refleks Ulna
1) Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan
pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
2) Mintalah lengan bawah pasien semifleksi dan
semipronasi rileks di atas paha.
3) Ketuk dengan menggunakan reflex hammer
pada prosesus stiloideus ossis ulnae.
4) Interpretasi: Refleks Ulna dikatakan positif
(+) jika terjadi gerakan pronasi lengan
bawah, kadang juga gerakan adduksi
pada pergelangan tangan dan dikatakan
negatif (-) jika tidak terjadi gerakan tersebut.
g. Refleks Fleksor Jari-Jari Tangan
1) Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan
pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
2) Mintalah tangan pasien diletakkan pada dasar
yang agak kers pada posisi upinasi dan jari-
jari tangan sedikit difleksikan, kemudian jari
telunjuk kiri pemeriksa diletakkan menyilang
pada permukaan volar jari-jari.
3) Ketuk dengan menggunakan reflex hammer
pada jari telunjuk kiri pemeriksa.
4) Interpretasi: Refleks Fleksor Jari-Jari Tangan
dikatakan positif (+) jika terjadi gerakan
fleksi ringan jari-jari tangan dan dikatakan
negatif (-) jika tidak terjadi gerakan tersebut.
5) Pada lesi piramidalis, refleks ini (+)
meningkat dan asimetris antara jari-jari tangan
kanan dan kiri.
h. Refleks Triseps Sure (Archilles Pees Reflex/APR)
1) Posisikan pasien dalam keadaan duduk
dimana tungkai sedikit difleksikan pada
sendi panggul dan sendi lutut, serta tungkai
bawah tergantung dengan rileks, kemudian
pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
2) Pegang ujung kaki pasien dengan
menggunakan tangan kiri pemeriksa untuk
memberikan sikap dorsofleksi ringan pada
kaki.
3) Alihkan perhatian pasien dengan menyuruh
menarik pada kedua tangannya yang tercekam
bersilangan.
4) Ketuklah dengan menggunakan reflex hammer
pada tendon archilles.
68
5) Interpretasi: Refleks Triseps Sure dikatakan
positif (+) jika terjadi gerakan plantarfleksi
pada kaki akibat kontraksi muskulus Triseps
Sure, dan dikatakan negatif (-) jika tidak terjadi
gerakan tersebut.
Refleks Patella (Knee Pees Reflex/KPR)
1) Posisikan pasien dalam keadaan duduk
dimana tungkai sedikit difleksikan pada
sendi panggul dan sendi lutut, serta tungkai
bawah tergantung dengan rileks, kemudian
pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
2) Jika pasien tidak dapat duduk dapat
dilakukan dalam keadaan berbaring supinasi
dengan tungkai bawah semifleksi dan lengan
bawah kiri pemeriksa menyilang dibawah
sendi lutut pasien agar tungkai rileks.
3) Alihkan perhatian pasien dengan menyuruh
menarik pada kedua tangannya yang tercekam
bersilangan.
4) Ketuk dengan menggunakan reflex hammer
pada tendon patella.
5) Interpretasi: Refleks Patella dikatakan positif
(+) jika terjadi gerakan ekstensi tungkai
bawah akibat kontraksi muskulus
kuadriseps femoris dan dikatakan negatif (-)
jika tidak terjadi gerakan tersebut.
Refleks Dinding Perut Dalam
1) Posisikan pasien dalam keadaan berbaring
supinasi dan pemeriksa berada di sisi kanan
pasien.
2) Tempatkan jari telunjuk kiri pemeriksa
sedikit menekan dinding perut.
3) Ketuk dengan menggunakan reflex hammer
pada jari telunjuk kiri pemeriksa dan
lakukan pada regio yang berbeda
(epigastrium, supraumbilikal, umbilical, dan
intraumbilikal).
4) Interpretasi : Refleks Dinding Perut Dalam
dikatakan positif (+) jika tampak umbilikus
bergerak ke arah otot yang berkontraksi
5) (muskulus rektus abdominis) dan dikatakan
negatif (-) jika tidak terjadi gerakan tersebut.
6) Pada orang penggeli refleks ini bisa
meningkat. Namun, bila disertai disertai
refleks dinding perut superfisial bernilai
negatif (-) akan menandakan adanya lesi
piramidalis pada tempat yang lebih atas C6.
C Fase Terminasi
1. Sampaikan hasil pemeriksaan
2. Evaluasi perasaan pasien
3. Lakukan kontrak untuk pertemuan
selanjutnya
69
4. Berikan penghargaan atas pencapaian
pasien dan kerja samanya
5. Berpamitan
6. Rapihkan alat
7. Cuci tangan
8. dokumentasi
70
Program Studi : Sarjana Keperawatan Pertemuan ke : 14
Nama Mata Kuliah : Keperawatan Medikal
Bedah III
MODUL 4
RANGE-OF-MOTION (ROM) EXERCISES
A. Case Study
Tn A (41 thn) dirawat dengan stroke haemoraghic hari pertama. Tn A
mengeluh sakit kepala dengan skala 10. Hasil pemeriksan fisik: kesadaran
somnolen, gelisah, tekanan darah 200/130 mmHg, nadi 135 x/ menit, RR : 28
x/ menit dan suhu 37oC, pupil isokor, reflek kornea positif, kekuatan otot
ektremitas kiri atas 3 kiri bawah 3, reflek Babinski positif. Hasil CT scan
diperoleh informasi perdarahan intraventrikuler 1, 2, 3 dan 4.
B. Uraian Materi
Mobility mengacu pada kemampuan bergerak bebas, sedangkan imobilitas
mengacu pada ketidakmampuan seseorang untuk bergerak bebas. Mobilitas
dan imobilitas paling baik dipahami sebagai titik akhir pada sebuah
kontinum, dengan banyak derajat mobilitas parsial di antaranya. Beberapa
pasien bergerak bolak-balik pada kontinum mobilitas-imobilitas sebagai
akibat dari penyakit atau cedera. Seorang ppasien dapat mengalami untuk
masa yang tidak terbatas (Biley, 2004).
Tingkat mobilitas memiliki dampak signifikan pada kesejahteraan
fisiologis, psikologis dan perkembangan individu (Janelli et al., 2009, dalam
Potter dan Perry, 2014). Mobilitas yang terganggu dapat mengakibatkan
perubahan fungsi kardio-vaskuler, gangguan fungsi metabolism,
peningkatan risiko komplikasi paru, peningkatan risiko ulcer pressure, dan
perubahan eliminasi urin (Huether dan McCance 2008; Lewis et al., 2011,
dalam Potter dan Perry, 2014).
Tingkat keparahan gangguan mobilitas tergantung pada usia pasien,
status kesehatan keseluruhan, status gizi, dan tingkat pengalaman imobilitas.
Misalnya, efek nyata imobilitas berkembang lebih cepat pada orang dewasa
71
yang lebih tua dengan penyakit kronis daripada pada pasien yang lebih muda
(Touhy et al., 2010, dalam Potter dan Perry, 2014). Orang dewasa yang lebih
tua lebih besar risiko untuk mengembangkan hipotensi ortostatik, sinkop,
kebingungan, peningkatan risiko fraktur, dan inkontinensia fungsional
sebagai hasilnya mobilitas menurun dari tirah baring (Craig et al., 2010;
Johnson et al., 2009, dalam Potter dan Perry, 2014). Peningkatan aktivitas
dan olahraga dapat mengurangi lama rawat dan biaya untuk orang dewasa
yang dirawat di rumah sakit.
Perubahan dalam mobilitas mungkin memiliki dampak psikososial yang
mendalam dan efek terhadap perkembangan. Imobilisasi sering mengarah
pada emosi, perubahan intelektual, sensorik, dan sosial budaya. Untuk anak
muda dan orang dewasa yang lebih tua, imobilitas dapat mengubah
pekerjaan, fungsi peran keluarga dan interaksi sosial. Perubahan seperti itu
dapat menyebabkan perubahan konsep diri, penurunan harga diri, dan
depresi. Anak-anak juga begitu, mereka dipengaruhi immobilisasi. Aktivitas
bagi anak-anak adalah cara untuk melepaskan energi dan mengekspresikan
diri. Ketika mereka kekurangan aktifitas fisik, anak-anak menjadi gelisah dan
bahkan mungkin menunjukkan tanda-tanda kemarahan dan agresi
(Hockenberry dan Wilson, 2011, dalam Potter and Perry, 2014).
Perubahan mobilitas pasien disebabkan oleh berbagai macam masalah
kesehatan. Sebagai contoh, kondisi muskuloskeletal seperti fraktur
ekstremitas atau keseleo otot, kondisi neurologis seperti trauma tulang
belakang, kondisi neurologis degeneratif seperti myasthenia gravis, dan
cedera kepala.
Pada beberapa pasien immobilisasi dilakukan karena alasan terapetik
(mis., istirahat di tempat tidur yang ditentukan atau dikurangi aktivitas).
Upaya keperawatan berusaha untuk mempertahankan dan / atau
memulihkan pada mobilitas yang optimal dan mengurangi bahaya yang
terkait dengan immobilisasi. Sering kali reposisi (perubahan posisi) latihan
pernafasan dan latihan batuk, latihan otot dan sendi, peningkatan asupan
72
cairan, dan diet asupan makanan yang mengandung serat adalah contoh
tindakan yang membantu untuk mengurangi bahaya imobilitas.
73
aktivitas fisik, tetapi juga perlu dipertimbangkan minat, kapasitas, dan
keterbatasan mereka.
Pedoman Keamanan
a. Siapkan alat yang akan digunakan dan perkenalkan pasien terhadap alat
yang akan digunakan tersbut. Pengetahuan tentang persiapan yang
tepat dan penggunaan perangkat yang diperlukan dan mengajarkan
pasien tentang persiapan dan cara menggunakan alat tersebut dapat
memastikan pasien untuk menggunakannya dengan aman dan benar.
74
b. Persiapkan pasien. Pastikan mereka beristirahat dan tidak lelah.
Dapatkan personel tambahan untuk membantu; gunakan alat pengaman
dan flat, sepatu nonskid untuk pasien.
c. Atasi rasa takut pasien terhadap kemungkinan jatuh.
d. Tentukan jenis dan frekuensi intervensi. Aktivitas yang sesuai untuk 1
hari atau satu shift dapat berubah, Hasilnya kebutuhan meningkat atau
menurun untuk bantuan dengan ambulasi atau perubahan dalam jenis
intervensi.
e. Ketahui rencana perawatan di rumah pasien. Seorang pasien mungkin
perlu lanjutkan latihan atau gunakan alat bantu di rumah.
75
Sumber : Potter dan Perry (2014)
Peralatan
a. Tidak diperlukan peralatan mekanik atau fisik
b. Hand scoon atau sarung tangan bersih (opsional)
76
C. Standar Operasional Prosedur (SOP)
Langkah Prosedural
a. Fase Pra interaksi
1) Cek rekam medic pasien terkait hasil pemeriksaan fisik yang ditemukan,
order dokter, diagnose medis, riwayat medis dan kemajuan.
2) Dapatkan data tentang fungsi sendi dasar pasien. Amati keterbatasan
dalam mobilitas sendi, kemerahan, atau kehangatan pada sendi;
kelembutan sendi; kelainan bentuk; atau krepitus yang dihasilkan oleh
gerakan sendi.
3) Tentukan kesiapan pasien atau pengasuh keluarga untuk belajar.
4) Siapkan sarung tangan (opsional)
b. Fase Interaksi
1) Ucapakan salam, perkenalkan diri
2) Identifikasi identitas pasien
3) Jelaskan tujuan/ semua alasan untuk latihan ROM dan
4) Jelaskan dan memperagakan latihan yang akan dilakukan
5) Tanyakan kesiapan pasien dan juga keluarga
c. Fase Kerja
1) Lakukan privasi
2) Cuci tangan
3) Gunakan sarung tangan
4) Nilai tingkat kenyamanan pasien (pada skala 0 hingga 10 dengan 10
menjadi rasa sakit terburuk) sebelum latihan
5) Tentukan apakah pasien membutuhkan obat pereda nyeri sebelum
memulai latihan ROM
6) Bantu pasien ke posisi yang nyaman, sebaiknya duduk atau berbaring
7) Lakukan latihan ROM (aktif/pasif) (lihat gerakan latihan ROM pada
tabel 10.2), saat melakukan laihan ROM baik aktif maupun pasif ,
berikan dukungan terhadap persambungan dengan dengan memegang
77
bagian distal ekstremitas atau menggunakan tangan ditangkupkan
untuk mendukung sendi (lihat ilustrasi: gambar 1).
Berikut latihan ROM yang dapat dilakukan pada setiap bagian tubuh:
78
79
80
81
8) Latihan lengkap dalam urutan head-to-toe. Ulangi setiap gerakan 5 kali
selama periode latihan. Beri tahu pasien bagaimana latihan ini dapat
dimasukkan ke dalam ADL (lihat kembali Tabel 10-1).
**Keputusan Klinis: Jika terdapat resistensi sendi, jangan memaksakan
gerakan sendi. Kosnultasikan dengan medis atau terapis fisik
9) Amati pasien saat melakukan aktivitas ROM.
10) Ukur gerakan sendi sesuai kebutuhan.
11) Pantau nyeri selama periode latihan ROM.
d. Fase Terminasi
1) Lakukan evaluasi
2) Berikan reinforcement positif terhadap pasien
3) Kontrak untuk pertemuan selanjutnya
82
4) Merapikan pasien
5) Berpamitan dengan pasien
6) Melepas sarung tangan (jika memakai)
7) Cuti tangan
8) Dokumentasikan tindakan
83
Program Studi : Sarjana Keperawatan Pertemuan ke : 14
Nama Mata Kuliah : Keperawatan Medikal
Bedah III
MODUL 5
MEMBANTU AMBULASI DENGAN MENGGUNAKAN CANES, CRUTCHES DAN
WALKER
A. Case Study
Laki-laki 42 tahun post operasi ORIF pada 1/3 medial cruris sinistra .
Saat ini anda akan melatih ambulasi pada pasien tersebut.
B. Uraian Materi
Pasien yang tidak bergerak untuk waktu yang singkat mungkin
memerlukan bantuan dengan ambulasi. Minta pasien mengenakan sabuk
pengaman dan berdiri di sisi yang lebih kuat. Kemudian, jika pasien
mulai jatuh, Anda dapat menariknya ke arah Anda di sisi yang lebih kuat.
Setiap kali membantu pasien naik dan turun dari tempat tidur atau kursi,
ada risiko hipotensi ortostatik. Hipotensi ortostatik atau postural
hipotensi adalah penurunan tekanan darah yang terjadi ketika pasien
berubah dari posisi horizontal ke posisi vertikal. Penurunan tekanan
darah lebih besar dari 20 mm Hg dalam tekanan sistolik atau 10 mm Hg
dalam tekanan diastolik dengan gejala pusing, pusing, mual, takikardi,
pucat, dan pingsan menunjukkan hipotensi ortostatik (Lewis et al., 2011;
Thompson et al., 2011, dalam Potter dan Perry, 2014).
Sebelum ambulasi pasien menggunakan intervensi untuk
mempertahankan tonus otot, meningkatkan aliran balik vena ke jantung,
dan mengurangi stasis darah di ekstremitas bawah. Gunakan tindakan
pencegahan keselamatan sebelum dan selama ambulasi untuk
84
mengendalikan hipotensi ortostatik dan penurunan selanjutnya. Seorang
pasien mungkin memerlukan penggunaan alat bantu untuk membantu
ambulasi. Penggunaan alat bantu meningkatkan stabilitas, mendukung
ekstremitas yang lemah, atau mengurangi beban pada struktur yang
menahan beban seperti pinggul, lutut, atau pergelangan kaki. Perangkat
ini berkisar dari tongkat standar (canes), yang memberikan
keseimbangan dan dukungan fisik minimal, hingga kruk (crutches) dan
alat bantu jalan, yang digunakan oleh pasien dengan batasan penahan
berat pada satu atau lebih dari kaki mereka (walker). Saat membantu
pasien untuk ambulasi saat menggunakan alat bantu, mintalah orang
tersebut memakai sabuk pengaman dan berdiri di sisi lemah orang
tersebut. Pemilihan perangkat yang sesuai tergantung pada usia pasien,
diagnosis, koordinasi otot, dan kemudahan manuver (Pierson dan
Fairchild, 2008). Penggunaan alat bantu dapat bersifat sementara (mis.,
Selama pemulihan dari ekstremitas fraktur atau bedah ortopedi) atau
permanen (misalnya, pasien dengan kelumpuhan atau kelemahan
permanen pada ekstremitas bawah).
Tongkat (canes) adalah perangkat yang ringan dan mudah digerakkan
yang memanjang setinggi pinggang dan terbuat dari kayu atau logam.
Tongkat membantu menjaga keseimbangan dengan memperluas basis
dukungan.
Penggunaan tongkat diindikasikan untuk pasien dengan hemiparesis dan
digunakan untuk meredakan ketegangan pada sendi yang menahan
beban.
Tongkat tidak direkomendasikan untuk pasien dengan kelemahan kaki
bilateral; kruk atau pejalan kaki lebih cocok untuk pasien tersebut
(kelemahan kaki bilateral) (Pierson dan Fairchild, 2008, dalam Potter
dan Perry, 2014).
Ada tiga jenis tongkat yang biasa digunakan. Tongkat penjahat standar
memberikan dukungan paling sedikit dan digunakan oleh pasien yang
hanya membutuhkan sedikit bantuan untuk berjalan. Ini memiliki
85
pegangan setengah lingkaran, yang memungkinkan untuk dihubungkan
ke kursi. Tongkat tripod (tongkat piramida) memiliki tiga kaki, dan
tongkat quad memiliki empat kaki; kaki tambahan menyediakan basis
dukungan yang luas. Jenis tongkat ini berguna untuk pasien dengan
kelumpuhan kaki unilateral atau parsial. Mereka juga memiliki
keuntungan berdiri sendiri, membebaskan lengan untuk membantu
pasien bangkit dari kursi.
Kruk (crutches) adalah tongkat kayu atau logam yang menjangkau dari
tanah sampai ke aksila. Kruk menghilangkan berat dari satu atau kedua
kaki. Mereka digunakan oleh pasien yang harus mentransfer lebih
banyak berat ke lengan mereka daripada yang mungkin dilakukan
dengan tongkat.
Ada tiga jenis kruk: aksila, Lofstrand, dan platform. Pasien dari segala
usia sering menggunakan kruk ketiak dalam jangka pendek. Tongkat
Lofstrand memiliki pegangan tangan dan pita logam yang pas di lengan
pasien. Baik pita logam dan pegangan disesuaikan agar sesuai dengan
tinggi pasien. Jenis kruk ini berguna untuk pasien dengan cacat tetap
seperti paraplegia. Ban lengan logam menstabilkan dan membantu
memandu kruk. Ini juga menawarkan keunggulan lain. Pertama, gelang
melingkar memungkinkan pasien untuk menggunakan tangan mereka
untuk kegiatan lain seperti membuka pintu tanpa menjatuhkan kruk.
Kedua, pembukaan anterior band memungkinkan pasien untuk
membebaskan diri dari kruk jika terjatuh. Pasien yang tidak dapat
menahan berat badan di pergelangan tangan mereka menggunakan kruk
platform. Ini memiliki palung horisontal di mana pasien dapat
mengistirahatkan lengan bawah dan pergelangan tangan mereka dan
pegangan vertikal untuk dipegang pasien.
Alat bantu jalan (Walker )adalah alat yang sangat ringan dan dapat
digerakkan yang berdiri setinggi pinggang, terdiri dari bingkai logam
dengan pegangan, empat kaki kokoh yang ditempatkan secara luas, dan
86
satu sisi terbuka. Karena memiliki dasar dukungan yang luas, walker
memberikan stabilitas dan keamanan yang tinggi.
Alat bantu jalan dapat digunakan oleh pasien yang lemah atau memiliki
masalah dengan keseimbangan (Pierson dan Fairchild, 2008, dalam
(Perry, Potter, & Ostendorf, 2014)
Selain walker standar, tersedia beberapa model lain: versi lipat yang
mudah dibawa, satu dengan jok lipat, dan satu dengan roda di kaki
depan. Walker dengan roda bermanfaat bagi pasien yang kesulitan
mengangkat walker saat berjalan karena keseimbangan atau daya tahan
yang terbatas. Namun, kerugiannya adalah bahwa alat bantu jalan dapat
berguling ke depan saat berat badan diterapkan.
Peralatan
a. Perangkat ambulasi (kruk, walker , tongkat)
b. Alat pengaman (gait belt) bila ada
c. Sepatu yang pas, rata, dan tidak untuk anak-anak
87
d. Jubah
e. Goniometer (opsional)
88
kelainan kaki sangat penting karena kelainan tersebut dapat
mempengaruhi ambulasi
3) Kaji pasien akan defisit visual, persepsi, atau sensorik.
Menentukan apakah pasien dapat menggunakan alat bantu
dengan aman. Ambulasi setelah imobilitas bisa melelahkan dan
membuat stres.
4) Menilai lingkungan untuk kemungkinan ancaman terhadap
keselamatan pasien. Melindungi pasien dari kemungkinan
cedera.
5) Kaji nyeri pasien pada skala 0-10, 10 sebagai nyeri terburuk.
Pasien mungkin sakit atau takut sakit akibat latihan. Jika perlu,
berikan analgesik 30 hingga 60 menit sebelum beraktifitas.
c. Tentukan pemahaman pasien atau pengasuh keluarga tentang teknik
ambulasi yang akan digunakan.
Mengizinkan pasien mengungkapkan kekhawatirannya. Pasien yang
sudah tidak bergerak untuk waktu yang lama mungkin ragu untuk
ambulasi. Pengasuh (caregiver) mungkin ragu untuk belajar
bagaimana membantu ambulasi.
d. Tentukan waktu optimal untuk ambulasi. Kebiasaan pribadi pasien
harus dipertimbangkan ketika merencanakan kegiatan.
e. Kaji tingkat bantuan yang dibutuhkan pasien. Untuk keselamatan,
orang lain mungkin diperlukan pada awalnya untuk membantu
ambulasi pasien. Beri pasien kebebasan sebanyak mungkin.
NURSING DIAGNOSIS
Nursing diagnosis pada pasien dengana masalah ambulasi atau
immobilisasi diataranya adalah :
a. Intoleransi aktifitas
b. Punurunan curah jantung
c. Deficit penegtahuan untuk penggunaan alat bantu
d. Fatigue
89
e. Kerusakan mobilitas fisik
f. Inefektif perfusi jaringan perifer
g. Resiko jatuh
h. Reiko cedera
PLANNING
1. Hasil yang diharapkan setelah selesainya prosedur:
a. Pasien berjalan tanpa cedera. Kewaspadaan mencegah hipotensi
ortostatik. Kesesuaian penggunaan alat bantu dapat memastikan
keamanan pasien.
b. Pasien dapat berjalan tanpa kelelahan atau pusing yang
berlebihan. Perangkat bantu yang dipilih membutuhkan tenaga
minimal.
c. Pasien menunjukkan gaya berjalan yang benar. Dintunjukan
dengan peragaan akan cara berjlan yang diajarkan.
d. Pasien melanjutkan kegiatan sosial dan perawatan diri.
Ambulasi progresif meningkatkan daya tahan pasien dan
kebebasan pasien akan melakukan aktifitas
2. Mempersiapkan pasien untuk ambulasi:
a. Jelaskan alasan untuk beraktifitas dan tunjukkan teknik
ambulasi tertentu pada pasien atau pengasuh keluarga.
Pengajaran dan demonstrasi meningkatkan pembelajaran,
mengurangi kecemasan, dan mendorong kerja sama.
b. Putuskan dengan sabar sejauh mana ambulasi. Menentukan
tujuan bersama sangat penting agar pasien merasa dihargai dan
pada akhirnya ia berkomitmen.
c. Jadwalkan ambulasi di sekitar kegiatan pasien lainnya, agar
pasien terhindar dari kelelahan.
90
d. Tempatkan tempat tidur di posisi rendah dan secara perlahan
bantu pasien ke posisi tegak Fowler (lihat Bab 9). Jika di kursi,
minta pasien duduk tegak dengan kaki rata di lantai.
e. Bantu pasien di tempat tidur untuk posisi menggantung di
samping tempat tidur (lihat ilustrasi). Memungkinkan sirkulasi
beberapa menit agar seimbang. Mencegah hipotensi ortostatik
dan cedera potensial. Gerakan kaki dalam posisi menggantung
mendorong aliran balik vena.
91
pasien terpasang foley kateter maka ikut dibawa ambulasi.
Pada keadaan seperti ini butuh bantuan orang kedua untuk
membantu, sehingga pasien tidak terbebani. Posisi urin bag di
bawah tidak boleh di atas bladder, hal tersebut bertujun untuk
mencegah masuknya urin ke kandung kemih, yang dapat
menyebabkan meningkatnya risiko infeksi
Point Penting dalam Keputusan Klinis Singkirkan rintangan dari jalur,
termasuk karpet, dan segera bersihkan tumpahan. Hindari orang banyak.
Kerumunan meningkatkan risiko kruk, tongkat, atau alat bantu jalan
tertendang dan pasien dapat kehilangan keseimbangan.
92
e. Dengan metode pengukuran apa pun, siku dilipat 15 hingga
30 derajat. Verifikasi fleksi siku dengan goniometer (lihat
ilustrasi). Sudut memastikan bahwa lengan dapat
mendorong tubuh keluar dari tanah
93
atau ukurannya salah. Adanya runag antar aksila dengan kruk yang
memadai mencegah terjadinya kruk palsy.
f. Selain panjang keseluruhan kruk ketiak/aksila, ketinggian
pegangan juga penting. Kedua dimensi dapat disesuaikan
pada penopang yang dibuat dengan baik, dan kemampuan
untuk menyesuaikan dimensi ini adalah fitur penting untuk
anak yang sedang tumbuh. Sesuaikan pegangan sehingga
siku pasien sedikit tertekuk. Jika pegangan terlalu rendah,
kerusakan saraf radial dapat terjadi bahkan jika panjang
kruk secara keseluruhan benar karena panjang ekstra
antara pegangan dan batang aksila dapat memaksa batang
naik ke aksila saat pasien meregang ke bawah untuk
mencapai pegangan. Jika handgrip terlalu tinggi, siku pasien
tertekuk tajam, dan kekuatan dan stabilitas lengan
menurun.
94
hingga 30 derajat ketika pasien berdiri di dalam walker dengan
tangan memegang pegangan..
Walker harus berada pada ketinggian yang tepat agar pasien
tidak membungkuk ke depan.
4) Pastikan perangkat ambulasi memiliki ujung karet. Tip karet
mencegah perangkat tergelincir.
5) Pastikan bahwa permukaan yang akan digunakan untuk pasien
berjalan bersih dan kering. Menyingkirkan semua benda yang
mungkin menghalangi jalur, mencegah jatuh dan cedera.
95
a. Pasien tidak dapat ambulasi karena takut jatuh, gangguan fisik, otot tubuh
bagian atas yang terlalu lemah untuk menggunakan alat ambulasi, dan
ekstremitas bawah yang terlalu lemah untuk menopang tubuh.
Untuk mengatasi hal tersebut, bisa dilakukan intervensi sebagai berikut:
1) Mulailah program latihan isometrik untuk memperkuat otot tubuh
bagian atas.
2) Berikan analgesia jika diperlukan.
b. Pasien mengalami cedera. Untuk mengatasi hal tersebut, bisa dilakukan
intervensi sebagai berikut:
1) Beri tahu penyedia layanan kesehatan. Kembalikan pasien ke tempat
tidur jika cedera stabil.
c. Saat menggunakan tongkat atau alat bantu jalan, pasien membungkuk,
tidak berdiri tegak. Untuk mengatasi hal tersebut, bisa dilakukan intervensi
sebagai berikut: 1) Perkuat postur tubuh yang benar.
Pertimbangan Khusus
Pengajaran
a. Instruksikan pasien bahwa latihan seperti meremas bola karet,
mengangkat dan menurunkan kedua lengan secara lambat dan berirama
sambil menahan beban, push-up, dan pull-up membantu memperkuat
ekstremitas atas.
96
b. Ajari pasien menggunakan alat bantu jalan untuk memeriksa
frame/bingkai alat setiap hari. Saat memeriksa alat bantu jalan, pasien
harus mengamati tanda-tanda bengkok atau deformasi bingkai, sekrup
yang menonjol dapat menggaruk, dan sekrup longgar atau hilang yang
melemahkan sendi bingkai. Nilailah pegangan tangan untuk mencari celah
atau tanda-tanda longgar.
c. Instruksikan pasien untuk menggunakan lengan kursi daripada alat bantu
jalan untuk memberi mereka kekuatan saat bangun dari kursi; walker
cenderung memberi tip jika digunakan untuk tujuan ini.
d. Lepuh atau pegal pada tangan dapat terjadi karena tekanan terus-
menerus antara tangan dan gagang kruk. Anjurkan pasien untuk
melepaskan tekanan sebentar-sebentar dan kenakan sarung tangan atau
bantalan pegangan untuk mengurangi gesekan.
e. Instruksikan pasien bahwa, jika mengenakan sepatu dengan ukuran tumit
yang berbeda-beda, kruk harus disesuaikan untuk mempertahankan dua
hingga tiga jari antara aksila dan kruk.
Pertimbangan Untuk Pediatrik
Untuk rehabilitasi anak kecil yang belum belajar berjalan atau tidak stabil, kruk
khusus dengan tiga atau empat kaki memberikan stabilitas yang diperlukan
untuk memungkinkan anak mempertahankan postur tegak dan belajar berjalan
(Hockenberry dan Wilson, 2011).
Pilihan lain untuk anak-anak yang baru belajar berjalan penting bila
menggunakan alat bantu jalan baik dari depan maupun belakang.
Pertimbangan Untuk Gerontologis
Orang dewasa yang lebih tua mungkin memerlukan waktu tambahan di pagi
hari sebelum melanjutkan kegiatan.
97
sekitar hambatan seperti pintu dan cara menggunakan bantuan saat
memindahkan ke dan dari kursi, toilet, dan bak mandi.
b. Ajarkan pengasuh/anggota keluarga bagaimana membantu dan apa yang
harus diperhatikan untuk memastikan bahwa alat bantu digunakan
dengan benar.
Pengasuhan jangka panjang
a. Lakukan pemeriksaan keselamatan dan perawatan perangkat ambulasi
secara rutin.
b. Lakukan penilaian berkala untuk memastikan bahwa pasien
menggunakan perangkat ambulasi dengan benar.
Kruk merupakan alat bantu jalan yang dapat digunakan satu atau dua
(berpasangan) untuk mengatur keseimbangan. Cara penggunaannya
disandarkan pada ketiak dan ada juga yang disandarkan pada lengan, sehingga
agar seimbang biasanya digunakan secara berpasangan.
98
Tujuan Penggunaan Kruk
1) Meningkatkan kekuatan otot, pergerakan sendi dan kemampuan mobilisasi
2) Menurunkan resiko komplikasi dari mobilisasi
3) Menurunkan ketergantungan pasien dan orang lain
Fungsi Kruk
1) Sebagai alat bantu berjalan
2) Mengatur atau memberi keseimbangan waktu berjalan
3) Membantumenyokongsebagianberatbadan.
Kontra Indikasi
1) Penderita demam dengan suhu tubuh lebih dari 37o C
2) Penderita dalam keadaan bedrest
3) Penderita dengan post op.
Walker merupakan alat bantu jalan yang memiliki dua gagang sebagai tempat
pegangan serta empat kaki sebagai penumpu. Biasanya walker terbuat dari
logam atau alumunium sehingga ringan dan cocok untuk lansia.
Walker ada dua jenis yaitu walker standar dan walker beroda. Perbedaannya
hanya terdapat pada keberadaan roda di kaki walker bagian depan atau bisa
juga keempat kakinya. Penggunaan walker standar harus diangkat pada saat
melangkah, namun untuk walker beroda hanya cukup menggelindingkan di
lantai. Untuk tingkat stabilitasnya lebih baik walker standar daripada walker
beroda.
99
2. Tujuan
3. Fungsi
Penggunaan walker bermanfaat untuk memberi rasa aman pada pasien,
membantu mempercepat pengembalian kebugaran serta menjaga pasien
saat melakukan latihan berjalan.
4. Indikasi
Indikasi penggunaannya adalah digunakan untuk pasien yang terdapat
patah tulang kaki dan pasien yang masih lemah.
5. Persiapan Alat
1) Walker
2) Sandal yang sesuai
Fase orientasi
1) Beri salam
2) Mengidentifikasi identitas pasien (minimal 2 identitas)
3) Jelaskan maksud dan tujuan tindakan yang akan dilakukan
4) Jelaskan proseder tindakan dan waktu yang dibutuhkan
100
5) Menanyakan kesiapan pasien
Fase Kerja
1) cuci tangan
2) ukur tinggi kruk sesuai tinggi badan pasien (pangkal kruk setinggi
ketiak pasien)
3) posisikan pasien duduk senyaman mungkin
4) jelaskan cara berjalan menggunakan kruk
5) dekatkan kruk ke pasien
6) bantu pasien berdiri
7) letakan pangkal kruk di bawah ketiak pasien
8) minta pasien untuk meletakan tangannya pada pegangan kruk dan
memegangnya dengan kuat
9) minta pasien untuk berjalan dengan cara sebagai berikut: (yg diberi
warna merah)
3. Tehnik Duduk
1) Klien diposisi pada tengah depan kursi dengan aspek posterior
kaki menyentuh kursi
2) Memberi metode yang aman untuk duduk dan bangun dari kursi
3) Klien memegang kedua kruk dengan tangan berlawanan
dengan tungkai yang sakit
4) Bila kedua tungkai sakit, kruk ditahan, pegang pada tangan klien
yang lebih kuat
101
2) Langkahkan kaki sebelah kiri ke depan
3) Langkahkan kruk sebelah kiri ke depan
4) Langkahkan kaki sebelah kanan kedepan
4. Swing To Gait
1) Langkahkan kedua kruk bersama-sama
2) Kedua kaki diangkat dan diayunkan maju sampai pada garis yang
menghubungkan kedua tangan atau ujung kruk.
5. Swing through Gait
1) Langkahkan kedua kruk bersama-sama
2) Kedua kaki diangkat, diayunkan melewati garis
yang menghubungkan kedua tangan atau ujung kruk
Fase Terminasi
Fase Orientasi/interaksi
1) Beri salam
102
2) Mengidentifikasi identitas pasien (minimal 2 identitas)
3) Jelaskan maksud dan tujuan tindakan yang akan dilakukan
4) Jelaskan proseder tindakan dan waktu yang dibutuhkan
5) Menanyakan kesiapan pasien
Fase Kerja
1) Cuci tangan
2) Jelaskan kepada klien cara berjalan menggunkan walker
3) Posisikan pasien duduk di kursi dengan nyaman
4) Dekatkan walker ke depan pasien
5) Bantu klien berdiri
6) Minta klien untuk memgang gagang walker dengan kuat
7) Minta klien untuk berjalan maju menggunakan bantuan walker, dengan
tetap mempertahankan 4 titik walker di atas lantai
8) Pastikan klien mengangkat kakinya pada saat berjalan, bukan menarik
9) Lakukan latihan jalan sesuai dengan kemampuan pasien dan lakukan
secara bertahap
10)Selalu siapkan diri di sisi pasien untuk membantu menjaga
keseimbangan jika dibutuhkan
11)Kaji setiap kemajuan dan lakukan koreksi bila perlu
Fase Terminasi
Fase Orientasi/interaksi
1) Beri salam
103
2) Mengidentifikasi identitas pasien (minimal 2 identitas)
3) Jelaskan maksud dan tujuan tindakan yang akan dilakukan
4) Jelaskan proseder tindakan dan waktu yang dibutuhkan
5) Menanyakan kesiapan pasien
Fase Kerja
1) Cuci tangan
2) Posisikan ppasien duduk senyaman mungkin
3) Dekatkan tongkat ke pasien
4) Jelaskan kepada pasien cara berjalan menggunakan tongkat
5) Bantu pasien berdiri
6) Instruksikan pasien memegang tongkat pada sisi tubuh yang kuat atau
sehat
7) Letakkan tongkat sekitar 30cm di depan kaki pasien
8) Minta pasien melangkahkan kaki yang kuat ke depan
9) Selalu siapkan diri anda di sisi klien untuk membantu menjaga
keseimbangan jika diperlukan
10) Lakukan latihan sesuai kemampuan pasien dan lakukan secara bertahap
11) Kaji setiap kemajuan yang dicapai pasien, dan lakukan koreksi jika perlu
Fase Terminasi
104
Program Studi : Sarjana Keperawatan Pertemuan ke : 15
Nama Mata Kuliah : Keperawatan Medikal
Bedah III
MODUL 6
PERAWATAN LUKA
A. CASE STUDY
Seorang laki-laki usia 26 tahun, dirawat dengan luka bakar akibat tersiram air panas.
Hasil pengkajian: luka bakar pada ektremitas kiri dan kanan. Kondisi luka : jaringan
granulasi mulai terbentuk, permukaan luka tampak kemerahan dan pinggir luka rapi,
tidak ada pus dan tidak ada jaringan nekrosis
B. URAIAN MATERI
perawatan luka yang tepat diperlukan untuk meningkatkan penyembuhan yang
menghasilkan lapisan kulit yang utuh. Kulit utuh adalah garis pertama pertahanan
tubuh terhadap invasi oleh mikroorganisme menular. Kulit termasuk organ
pertahanan tubuh dengan cara berfungsi sebagai organ sensorik untuk rasa sakit,
sentuhan, dan suhu; dan memiliki pH asam, yang sering disebut mantel asam (acid
mantle). Kulit juga memiliki peran utama dalam termoregulasi, metabolisme,
imunitas, dan regulasi keseimbangan cairan (Bryant dan Nix, 2012, dalam Potter dan
Perry, 2014).
Kulit adalah organ eksternal terbesar. Ia memiliki dua lapisan: epidermis dan dermis
(Gbr. 38-1).
105
Sumber : Potter dan Perry, 2014
Lapisan luar, epidermis, memiliki lima lapisan. Lapisan terluar, stratum corneum,
terdiri dari sel-sel keratin mati yang diratakan. Lapisan tipis stratum korneum
mencegah dehidrasi sel yang mendasari dan merupakan penghalang fisik untuk
masuknya bahan kimia tertentu. Penghalang itu selektif; memungkinkan penyerapan
obat topikal dalam pasta, salep, dan bentuk patch dermal.
Di bawah epidermis adalah dermis. Kolagen (lapisan protein berserat yang kuat),
pembuluh darah, dan saraf membentuk lapisan kulit. Kolagen menyusun sekitar 70%
dari dermis dan sangat penting dalam penyembuhan luka. Dermis mengembalikan
sifat fisik kulit dan integritas strukturalnya. Pemulihan kedua lapisan epidermis dan
dermal diperlukan untuk meningkatkan penyembuhan. Risiko infeksi lokal atau
106
sistemik, gangguan sirkulasi, dan kerusakan jaringan secara langsung mengganggu
kemampuan penyembuhan luka pada lapisan kulit (Doughty and Sparks-Defriese,
2012, dalam (Potter, Perry, Stockert, & Hall, 2013)
Penyembuhan luka secara fisiologis terjadi dengan cara yang sama untuk semua
pasien, dengan sel-sel kulit dan beberapa jaringan (termasuk jaringan pembuluh
darah) beregenerasi dengan cepat dan yang lainnya beregenerasi dengan lambat atau
tidak sama sekali. Kelompok terakhir termasuk sel-sel hati, tubulus ginjal, dan
neuron sistem saraf pusat.
107
luka yang tidak rumit.
3. Fase Proliferasi
Epitelisasi (pembangunan epidermis baru) dimulai. Pada saat yang sama
jaringan granulasi baru terbentuk. Pembuluh kapiler baru (angiogenesis)
dibuat, mengembalikan pengiriman oksigen dan nutrisi ke dasar luka.
Kolagen disintesis dan mulai memberikan kekuatan dan integritas struktural
pada luka. Kontraksi, yang terjadi pada luka terbuka, mengurangi ukuran
luka.
4. Fase Maturasi/Remodeling
Epitelisasi (pembangunan epidermis baru) dimulai. Pada saat yang sama
jaringan granulasi baru terbentuk. Pembuluh kapiler baru (angiogenesis)
dibuat, mengembalikan pengiriman oksigen dan nutrisi ke dasar luka.
Kolagen disintesis dan mulai memberikan kekuatan dan integritas struktural
pada luka. Kontraksi, yang terjadi pada luka terbuka, mengurangi ukuran
luka.
Data from Doughty DB, Sparks-Defriese B: Wound healing physiology. In Bryant RA,
Nix DP, editors: Acute and chronic wounds: current management concepts, ed 4, St
Louis, 2012, Mosby.
Selain itu, ada faktor-faktor mendasar yang mencegah kemampuan sel dan jaringan
untuk regenerasi, kembali ke struktur normal, atau melanjutkan fungsi normal.
Faktor tersebut adalah sebagai berikut:
108
Infeksi luka memperpanjang respon inflamasi, dan mikroorganisme
menggunakan nutrisi dan oksigen yang dibutuhkan untuk perbaikan
luka.
Pasien dengan diabetes mellitus mungkin memiliki gangguan
penyembuhan luka karena peradangan abnormal dan berkepanjangan,
sintesis kolagen berkurang, dan gangguan epitel migrasi.
Hiperglikemia dikaitkan dengan fungsi neutrofil terganggu dan
gangguan migrasi.
Terapi kortikosteroid atau penggunaan agen imunosupresif lainnya
seperti kemoterapi meningkatkan kerentanan pasien terhadap infeksi.
Usia lanjut dapat berkontribusi terhadap berkurangnya proliferasi sel
penting untuk perbaikan.
109
Defriese, 2012). Kurangnya bubungan menyebabkan kekhawatiran, dan Anda harus
melakukannya punggungan terlihat
Gambar 38-2 Luka bedah dengan epitelisasi yang terjadi: tonjolan penyembuhan
epitel tampak jelas. (Dari Bryant RA, Nix DP, editor: Luka akut dan kronis: konsep
manajemen saat ini, ed 3, St Louis, 2007, Mosby.) Hipovolemia, hipotensi,
vasokonstriksi, edema, dan hipoksia berpengaruh negatif terhadap penyembuhan
luka karena perfusi dan oksigenasi yang memadai diperlukan untuk pengembangan
pembuluh darah baru, sintesis kolagen, dan pengembangan kekuatan tarik.
Status gizi yang memadai sangat penting untuk sintesis kolagen, kekuatan tarik, dan
fungsi kekebalan tubuh. Infeksi luka memperpanjang respon inflamasi, dan
mikroorganisme menggunakan nutrisi dan oksigen yang dibutuhkan untuk perbaikan
luka. Seorang pasien dengan diabetes mellitus mungkin telah mengganggu
penyembuhan luka karena peradangan yang abnormal dan berkepanjangan,
mengurangi sintesis kolagen, dan mengganggu migrasi epitel. Hiperglikemia
dikaitkan dengan fungsi neutrofil yang terganggu dan gangguan migrasi. Terapi
kortikosteroid atau penggunaan agen imunosupresif lainnya seperti kemoterapi
meningkatkan kerentanan pasien terhadap infeksi. Usia lanjut dapat berkontribusi
terhadap berkurangnya proliferasi sel yang penting untuk diperbaiki.
110
mempertahankan lembab-tidak basah-lingkungan luka dengan mengandung cairan
luka, menyerap kelebihan kelembaban, atau menyumbangkan kelembaban (Rolstad
et al., 2011).
Perawatan yang berpusat pada pasien prioritas penting dalam perawatan luka
adalah kenyamanan pasien. Menyediakan pasien dosis analgesik yang tepat 30 menit
sebelum perubahan dressing untuk memaksimalkan kenyamanan ketika Dressing dan
jaringan akan dimanipulasi. Pertimbangkan pandangan budaya pasien mengenai rasa
111
sakit. Misalnya, pasien dari latar belakang Eropa Utara dan Asia sering lebih tabik
tentang ekspresi nyeri, dan Anda akan perlu untuk menawarkan obat penghilang rasa
sakit bahkan jika pasien tidak mengeluh rasa sakit (Galanti, 2008). Jika rasa sakit
pasien adalah dari kulit terkikis atau gundul di sekitar margin luka, gunakan sealant
atau penghalang kulit. Jika pasien memiliki rasa sakit yang sedang berlangsung dari
luka perut, pertimbangkan untuk menerapkan pengikat abdomen, yang secara efektif
dapat mengurangi rasa sakit dan tekanan (Cheifetz et al., 2010). Hal ini juga
membantu untuk secara konsisten posisi pasien dari luka mereka.
Dressing kasa kering adalah untuk penyembuhan luka dengan tujuan utama
dengan sedikit drainase (Gbr. 39-1). Dressing melindungi luka dari cedera,
mengurangi ketidaknyamanan, dan mempercepat penyembuhan (bila digunakan
dengan benar).
Dressing kasa kering tidak berinteraksi dengan jaringan luka dan menyebabkan
iritasi luka sedikit. Namun, Kasa tidak mempertahankan lingkungan luka lembab
kecuali luka sangat eksudatif (Rolstad et al., 2011). Selain itu, dressing kasa
memiliki kelemahan kelembaban evaporasi cepat, menyebabkan dressing untuk
mengeringkan. Perubahan dressing sering biasanya diperlukan, dan ada peningkatan
tingkat infeksi bila dibandingkan dengan dressing semiocclusive (Rolstad et al.,
2011). Kasa mungkin datang diresapi dengan berbagai zat seperti Seng oksida pasta,
iodinasi agen, petrolatum, dan kristal natrium klorida. Tertembus kasa dapat hidrat
luka dan diserap ekhidat atau memberikan agen antimikroba.
Dressing kasa kering biasanya digunakan untuk lecet dan sayatan pasca operasi
yang tidak menguras tenaga (Lihat tabel 39-1). Telfa kasa dressing mengandung
mengkilap, permukaan nonmelekat pada satu sisi yang tidak menempel pada luka.
Drainase melewati permukaan nonmelekat ke luar kasa dressing. Dressing kering
tidak sesuai untuk debriding luka. Ketika kasa melekat pada drainase pada
permukaan luka, segel dapat menyebabkan Anda untuk pull off jaringan yang sehat
ketika kasa dihapus. Ketika kain kasa menempel pada luka, basahkan dressing
dengan normal saline atau steril air sebelum melepaskannya untuk meminimalkan
trauma luka.
112
Dressing yang lembab-ke-kering (juga disebut basah-ke-kering atau lembab-
ke-kering) adalah kasa yang dibasahi dengan larutan yang tepat. Tujuan utama
adalah untuk mekanik debride luka, secara khusus penuh-ketebalan penyembuhan
luka dengan niat sekunder dan luka dengan jaringan nekrotik. Sebuah dressing
lembab-ke-kering memiliki lapisan pakaian kontak lembab yang menyentuh
permukaan luka. Kain kasa yang lembab ini meningkatkan kemampuan absorptif
dari dressing untuk mengumpul ekikuidasi dan serpihan luka. Lapisan ini mengering
dan melekat pada sel mati, sehingga debriding luka ketika dihapus. Gunakan larutan
isotonik steril seperti normal saline atau lactated Ringer's untuk melemdihkan
dressing. Bagian luar lapisan penyerap adalah dressing kering yang melindungi luka
dari organisme invasif. Kemajuan terbaru dalam perawatan luka telah menciptakan
sejumlah produk debriding baru untuk digunakan bersama dengan kasa lembab
untuk debriding luka neodosis. Produk debriding autolitik diterapkan untuk luka
untuk memungkinkan enzim untuk Self-mencerna jaringan mati. Agen debriding
enzimatik diterapkan langsung ke tindakan tidur luka dengan mencerna kolagen
dalam jaringan nekrotik (NPUAP-EPUAP, 2009; Ramundo, 2011). Baik produk
autolitik dan enzimatik yang digunakan dalam kombinasi dengan kasa lembab tetapi
mungkin juga datang sebagai dressing dikemas yang tidak memerlukan kasa
tambahan.
Tujuan pengepakan luka adalah untuk mengisi ruang mati dan menghindari
potensi pembentukan abses oleh luka menutup terlalu cepat (Rolstad et al., 2011).
113
Tertembus kasa berguna bila ada merusak (yaitu, penghancuran jaringan di bawah
kulit utuh di sekitar perimeter luka). Ketika ada terowongan luka, saluran telah
terbentuk yang meluas dari setiap bagian dari luka melalui jaringan subkutan atau
otot. Strip kasa berguna untuk mengisi area sempit di saluran sehingga dressing
lengkap dapat dihilangkan dengan mudah selama pergantian ganti (Rolstad et al.,
2011). Kasa lembab berguna untuk packing luka eksudatif. Jika luka kering, gunakan
bahan kemasan hydrating seperti hydrogelimpregnated atau Saline-pelembap untuk
menjaganya tetap lembab. Box 39-3 meringkas prinsip untuk mengemas luka dengan
benar.
Kompeten
Langkah Kegiatan Tidak
Kompeten
Kompeten
FASE PRA INTERAKSI
5. Siapkan diri perawat
6. Cek rekam medic pasien, identifikasi tindakan
pemeriksaan pada rencana tindakan
7. Identifikasi kebutuhan akan perawatan luka dan obat
serta alat bahan yang dibutuhkan
8. Cuci Tangan
9. Siapkan alat
c. Set perawatan luka steril sesui kebutuhan pasien
d. Balutan/dressing sesuai kebutuhan pasien
e. Balutan luar bila dibutuhkan
f. Hipafik
g. Cairan pembersih luka : Na Cl 0,9%
h. Obat sesuai kebutuhan
i. Kapas alcohol dalam wadah tertutup
j. Gunting verban
k. 2 buah bengkok
l. Kantong plastic besar bila dibutuhkan
m. Hand scoon bersih
n. Hand scoon steril sesuai kebutuhan
o. Korentang
p. Perlak pengalas
FASE INTERAKSI
7. Ucapkan salam
8. Perkenalkan diri
114
9. Identifikasi min 2 identitas pasien (untuk pasien safety)
10. Jelaskan maksud dan tujuan tindakann
11. Jelaskan prosedur
12. Menanyakan kesiapan pasien
FASE KERJA
1. Dekatkan alat ke pasien dan posisikan sesuai kebutuhan
kerja
2. Kondisikan ruangan senyaman mungkin dan sesuai
kebutuhan privacy pasien
3. Cuci tangan
4. Mengenakan hand scoon bersih
5. Posisikan pasien senyaman mungkin
6. Pasang perlas pengalas di bawah area luka yang akan
dibersihan
7. Dekatkan bengkok tempat kotor didekat area luka yang
akan dibersihkan
8. Posisikan alat, cairan dan obat (bila ada) pada posisi
siap untuk digunakan
9. Gunakan pinset cirugis dan kapas alcohol untuk
membuka luka
10. Bila diperlukan lakukan irigasi dgn NaCl pada luka
supaya verban luka mudah dibuka
11. Setelah luka terbuka, perhatikan dan kaji keadaan luka
12. Lakukan penekanan dengan lembut untuk mengeluarkan
pus/cairan
13. Ganti handscoon streil bila dibutuhkan
14. Bersihakn luka dengan NaCl, angkat jaringan nekrotik
bila dan memungkinkan, bersihkan luka sekali lagi
tanpa menimbulkan luka pada jaringan granulasi
15. Bersihkan daerah sekitar luka
16. Keringkan daerah sekitar luka dengan kasa
17. Oleskan obat pada luka bila ada
18. Tutup luka dengan primer dressing yang sesuai
kebutuhan luka pasien
19. Tutup luka dengan dressing sekunder dan hipafik
(sesuai kebutuhan)
20. Rapihkan pasien dan alat dan sampah medis
FASE TERMINASI
1. Sampaikan kepada pasien perkembangan luka
2. Evaluasi perasaan pasien
3. Kontrak waktu selanjutnya
4. Berikan penghargaan positif
5. Berpamitan
6. Membereskan alat dan cuci tangan
7. Dokumentasi
SIKAP
115
1. Memperhatikan kenyamanan dan keamanan pasien
2. Memperhatikan kenyamanan dan keamanan perawat
3. Komunikasi efektif
116
DAFTAR PUSTAKA
117