Abstract: This study aims to analyze antecedent and consequent of the use of
performance measurement system in local government. We investigate whether
organizational culture, external pressure, and management commitment influence
the use of performance measurement system. Then, whether the use of performance
measurement system influence public accountability. Research data is drawn by
distributing questioners toward civil servant of local government. The sample that
is used in the study were civil servants working in local government in Yogyakarta.
There are 95 respondents in this study. To analyze data, we use multiple regression
analysis. The results of this study indicate that organizational culture, external
pressure, and management commitment have a positive significant influence on the
use of performance measurement systems. This study also found that the use of
performance measurement system has a positive significant effect on public
accountability.
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis anteseden dan konsekuen dari
penggunaan sistem pengukuran kinerja di pemerintah daerah. Penelitian ini hendak
menginvestigasi apakah budaya organisasi, tekanan eksternal, dan komitmen
pimpinan mempengaruhi penggunaan sistem pengukuran kinerja. Selanjutnya
diinvestigasi apakah penggunaan sistem pengukuran kinerja berpengaruh terhadap
akuntabilitas publik. Data penelitian diperoleh dengan menebarkan kuesioner
kepada pegawai pemerintah daerah. Sampel yang digunakan adalah PNS yang
bekerja di pemerintahan daerah di Daerah Istimewa Yogyakarta. Terdapat 95
responden dalam penelitian ini. Untuk menganalisis data, kami menggunakan
analisis regresi linear berganda. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa budaya
organisasi, tekanan eksternal, dan komitmen pimpinan berpengaruh positif
signifikan terhadap penggunaan sistem pengukuran kinerja. Penelitian ini juga
menemukan bahwa penggunaan sistem pengukuran kinerja berpengaruh positif
signifikan terhadap akuntabilitas publik.
1. Pendahuluan
kabupaten terdapat 108 kabupaten yang mendapatkan kategori sangat tinggi dari
total 395 kabupaten (27%), sedangkan untuk kategori kota hanya terdapat 19 Kota
yang mendapatkan status kinerja sangat tinggi dari total 93 kota (20%). Terdapat 2
provinsi dan 61 kabupaten yang memiliki kinerja sedang. Sementara itu, masih
terdapat 8 kabupaten yang memiliki nilai kinerja rendah (Menteri Dalam Negeri
2016).
Data tersebut menunjukkan bahwa kinerja pemerintah daerah masih belum
optimal. Beberapa faktor penyebab atas kegagalan pelaksanaan akuntabilitas
kinerja dalam pemerintahan Indonesia antara lain karena heterogenitas lembaga
pemerintah (Akbar et. al. 2012), pelaporan yang bias (Solikin 2005), dan
kecenderungan pemerintah daerah untuk melaporkan program yang sukses saja dan
tidak melaporkan program gagal (Nurkhamid 2008). Akbar, et. al (2012)
menyatakan bahwa pengukuran kinerja pemerintah di Indonesia masih sebatas
digunakan untuk memenuhi persyaratan pengukuran daripada membuat organisasi
menjadi lebih efektif dan efisien sebagai akibat tekanan dari kewajiban
melaksanakan peraturan dari pemerintah pusat.
Dalam laporan United States General Accounting Office (GAO 1997),
disebutkan bahwa ada beberapa faktor yang berpotensi menghambat pelaksanaan
sistem pengukuran kinerja, yaitu adanya overlapping tujuan sehingga membuat
lebih sulit untuk mengidentifikasi tujuan organisasi yang strategis dan akurat
(Swindell dan Kelly 2002; Sihaloho dan Halim, 2005) dan adanya evaluasi
kebijakan/program/kegiatan yang bersifat subjektif, serta kurangnya penghargaan
terhadap kinerja. Selain itu, faktor yang tidak menguntungkan seperti kurangnya
dukungan kelompok eksternal terhadap pelaksanaan informasi kinerja (Sihaloho
dan Halim 2005), sedangkan informasi kinerja tersebut diperlukan agar lembaga
memanfaatkan untuk perencanaan strategis dan perencanaan kinerja, evaluasi dan
pengawasan serta alokasi anggaran (Speklé dan Verbeeten 2009).
Penelitian ini bertujuan untuk menginvestigasi variabel anteseden yang
mempengaruhi penggunaan sistem pengukuran kinerja pemerintah daerah dan
konsekuensi dari penggunaan sistem pengukuran kinerja. Secara spesifik,
penelitian ini bertujuan menguji pengaruh budaya organisasi, tekanan eksternal, dan
Powell (1983) juga menyatakan bahwa isomorfisme koersif berasal dari pengaruh
politik dan kebutuhan untuk legitimasi.
Kekuatan koersif adalah tekanan eksternal yang diberikan oleh pemerintah,
peraturan, atau lembaga lain untuk mengadopsi struktur atau sistem (Ashworth et
al. 2009). Adanya peraturan ditujukan untuk mengatur praktik yang ada agar
menjadi lebih baik. Di sisi lain, kekuatan koersif dari suatu peraturan dapat
menyebabkan adanya kecenderungan organisasi untuk memperoleh atau
memperbaiki legitimasi (legitimate coercion), sehingga hanya menekankan aspek-
aspek positif agar organisasi terlihat baik oleh pihak-pihak di luar organisasi.
Perubahan organisasi yang didasari kekuatan koersif akan menyebabkan organisasi
lebih mempertimbangkan pengaruh politik dari pada teknis (Ashworth et al. 2009).
Perubahan organisasi yang lebih dipengaruhi politik akan mengakibatkan praktik-
praktik yang terjadi dalam organisasi, khususnya terkait penerapan pengukuran
kinerja akan hanya bersifat formalitas yang ditujukan untuk memperoleh legitimasi.
Hasil penelitian Wijaya dan Akbar (2013) membuktikan tekanan eskternal
berpengaruh positif terhadap penggunaan sistem pengukuran kinerja. Berdasarkan
uraian di atas maka hipotesis kedua penelitian ini dinyatakan sebagai berikut:
Gambar 1
Kerangka Pemikiran
Budaya
Organisasi H1 (+)
Penggunaan
Tekanan Sistem H4 (+) Akuntabilitas
H2 (+)
Eksternal Pengukuran Publik
Kinerja
Komitmen H3 (+)
pimpinan
3. Metode Penelitian
3.1. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh PNS yang bekerja di lingkungan
pemerintah daerah. Adapun yang menjadi sampel penelitian ini adalah PNS
pemerintah daerah di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Teknik pengambilan
sampel menggunakan purposive sampling. Adapun kriteria sampel yang digunakan
adalah PNS yang sudah bekerja minimal 2 tahun dan menempati posisi manajerial
minimal pada level bawah.
Y1 = β1 X1 + β2 X2 + β3 X3 + e
Y2 = β1Y1 + e
Tabel 1
Karakteristik Responden
Usia
< 20 tahun 0 0%
21-30 tahun 25 21%
31-40 tahun 48 51%
> 40 tahun 22 23%
Pendidikan
S1 87 92%
S2 5 5%
S3 3 3%
Masa Kerja
< 5 tahun 2 2%
5 sampai 10 tahun 13 14%
>10 tahun 80 84%
Tabel 2
Hasil Analisis Regresi
Variabel Dependen
Variabel Independen Penggunaan Sistem Akuntabilitas
Pengukuran Kinerja Publik
(Y1) (Y2)
4.4. Pembahasan
Hasil penelitian ini membuktikan bahwa budaya organisasi berpengaruh positif
signifikan terhadap penggunaan sistem pengukuran kinerja (β = 0,241; p < 0,000).
Hal itu menunjukkan bahwa semakin baik budaya organisasi maka akan
meningkatkan penggunaan sistem pengukuran kinerja.
Schein (1992) dalam Julnes dan Holzer (2001) juga menyatakan bahwa
budaya organisasi merupakan suatu pola dari asumsi-asumsi dasar yang ditemukan,
diciptakan atau dikembangkan oleh suatu kelompok tertentu dengan maksud agar
organisasi belajar mengatasi atau menanggulangi masalah-masalah yang timbul
akibat adaptasi eksternal dan integrasi internal yang sudah berjalan dengan cukup
baik, sehingga perlu diajarkan kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang
benar untuk memahami, memikirkan, dan merasakan berbagai masalah tersebut.
Hasil penelitian ini mendukung penelitian Julnes dan Holzer (2001) yang
telah membuktikan bahwa budaya organisasi berpengaruh terhadap implementasi
sistem pengukuran kinerja.
Penelitian ini juga memberi membuktikan bahwa tekanan eksternal
berpengaruh positif signifikan terhadap penggunaan sistem pengukuran kinerja (β
= 0,258; p < 0,000). Hasil tersebut mengindikasikan bahwa semakin kuat tekanan
eksternal maka akan meningkatkan penggunaan sistem pengukuran kinerja. Hasil
penelitian ini sesuai penelitian Wijaya dan Akbar (2013) membuktikan tekanan
eskternal berpengaruh positif terhadap penggunaan sistem pengukuran kinerja.
Hasil penelitian ini dapat dijelaskan melalui teori institusional dengan
pendekatan teori isomorfisme. Isomorfisme koersif selalu terkait dengan segala hal
yang terhubung dengan lingkungan di sekitar organisasi. Isomorfisme koersif
(coercive isomorphism) merupakan hasil dari tekanan formal dan informal yang
diberikan pada organisasi oleh organisasi lain dimana organisasi tergantung dengan
harapan budaya masyarakat di mana organisasi menjalankan fungsinya (DiMaggio
dan Powell, 1983). DiMaggio dan Powell (1983) juga menyatakan bahwa
isomorfisme koersif berasal dari pengaruh politik dan kebutuhan untuk legitimasi.
Sementara itu, pengujian atas variabel komitmen pimpinan terhadap
penggunaan sistem pengukuran kinerja menunjukkan bahwa komitmen pimpinan
berpengaruh positif signifikan terhadap penggunaan sistem pengukuran kinerja (β
= 0,283; p < 0,000). Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa semakin tinggi komitmen
pimpinan maka akan semakin tinggi penggunaan sistem pengukuran kinerja. Hasil
penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya yang dilakukan Nurkhamid (2008)
Tabel 3
Rekapitulasi Hasil Pengujian Hipotesis
5.3. Saran
Penelitian selanjutnya disarankan untuk memasukkan variabel independen lain
yang belum diuji dalam penelitian ini seperti peran regulasi pemerintah, dukungan
teknologi informasi, dan dukungan keuangan pemerintah daerah.
6. Referensi
Akbar, R., Pilcher, R., dan Perrin, B. 2012. Performance Measurement in Indonesia:
the Case of Local Government. Pacific Accounting Review, 24 (3): 262-291.
Ashworth, R., Boyne, G., dan Delbridge, R. 2009. Escape from the Iron Cage?
Organizational Change and Isomorphic Pressures in the Public Sector.
Journal of Public Administration Research and Theory, 19 (1): 165-187.
Julnes, Patria de Lancer dan Marc Holzer. 2001. Promoting the Utilization of
Performance Measures in Public Organization: An Empirical Study of
Factors Affecting Adoption and Implementation. Public Administration
Review,61(6): 693-708.
Mintzberg, H., Ahlstrand, B., and Lampel, J. 1998. Strategy Safari: A Guided
Tour Through the Wilds of Strategic Management. New York: The Free
Press.
Robbins SP, dan Judge. 2007. Perilaku Organisasi. Jakarta: Salemba Empat,
Jakarta.
United States General Accounting Office (GAO). 1997. Managing For Results.
Analytic Challenges in Measuring Performance. GAO/HEHS/GGD-97-138
GPRA