Anda di halaman 1dari 19

Anteseden dan Konsekuen Penggunaan Sistem Pengukuran Kinerja

ANTESEDEN DAN KONSEKUEN PENGGUNAAN SISTEM


PENGUKURAN KINERJA DI PEMERINTAH DAERAH

Ridho Bayu Murti Mahmudi


Fakultas Ekonomi, Universitas Islam Fakultas Ekonomi, Universitas Islam
Indonesia Indonesia
Email: bayupfc_29@yahoo.com Email: mah_mudi2001@yahoo.com

Abstract: This study aims to analyze antecedent and consequent of the use of
performance measurement system in local government. We investigate whether
organizational culture, external pressure, and management commitment influence
the use of performance measurement system. Then, whether the use of performance
measurement system influence public accountability. Research data is drawn by
distributing questioners toward civil servant of local government. The sample that
is used in the study were civil servants working in local government in Yogyakarta.
There are 95 respondents in this study. To analyze data, we use multiple regression
analysis. The results of this study indicate that organizational culture, external
pressure, and management commitment have a positive significant influence on the
use of performance measurement systems. This study also found that the use of
performance measurement system has a positive significant effect on public
accountability.

Keywords: organizational culture, external pressure, management commitment,


performance measurement system, public accountability

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis anteseden dan konsekuen dari
penggunaan sistem pengukuran kinerja di pemerintah daerah. Penelitian ini hendak
menginvestigasi apakah budaya organisasi, tekanan eksternal, dan komitmen
pimpinan mempengaruhi penggunaan sistem pengukuran kinerja. Selanjutnya
diinvestigasi apakah penggunaan sistem pengukuran kinerja berpengaruh terhadap
akuntabilitas publik. Data penelitian diperoleh dengan menebarkan kuesioner
kepada pegawai pemerintah daerah. Sampel yang digunakan adalah PNS yang
bekerja di pemerintahan daerah di Daerah Istimewa Yogyakarta. Terdapat 95
responden dalam penelitian ini. Untuk menganalisis data, kami menggunakan
analisis regresi linear berganda. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa budaya
organisasi, tekanan eksternal, dan komitmen pimpinan berpengaruh positif
signifikan terhadap penggunaan sistem pengukuran kinerja. Penelitian ini juga
menemukan bahwa penggunaan sistem pengukuran kinerja berpengaruh positif
signifikan terhadap akuntabilitas publik.

Kata Kunci: budaya organisasi, tekanan eksternal, komitmen pimpinan, sistem


pengukuran kinerja, akuntabilitas publik

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017


Anteseden dan Konsekuen Penggunaan Sistem Pengukuran Kinerja

1. Pendahuluan

Instansi pemerintah cenderung menilai keberhasilan pelaksanaan program dan


kegiatan hanya berdasarkan pada kemampuan instansi dalam
menyerap/merealisasikan anggarannya atau hanya menekankan pada aspek
masukan (input) dan kurang menekankan pada aspek keluaran (output) dan hasil
(outcome) dari program dan kegiatan (Mahmudi 2015; Supartini 2012). Instansi
pemerintah juga cenderung lebih mementingkan pelaporan keuangan dibandingkan
dengan pelaporan kinerja, walaupun kedua sistem pelaporan ini sama pentingnya.
Kementerian/lembaga dan pemerintah daerah terlihat lebih bersemangat untuk
memperoleh opini wajar tanpa pengecualian (WTP) atas laporan keuangan tetapi
kurang greget dalam mengejar predikat kinerja terbaik dalam laporan pelaksanaan
program. Hal ini menunjukkan bahwa sistem pengukuran kinerja dan pelaporan
kinerja instansi pemerintah saat ini tidak berjalan dengan optimal.
Sistem pengukuran kinerja merupakan kunci untuk menginformasikan
kinerja sektor publik terkait tingkat ekonomi, efisiensi, efektivas, dan akuntabilitas
kinerja. Sistem pengukuran kinerja memberikan insentif untuk menyelaraskan
tujuan individu dengan organisasi, menyediakan informasi umpan balik yang
berharga, dan untuk membentuk landasan bagi akuntabilitas internal dan eksternal
(Cacalluzzo dan Ittner 2004).
Di Indonesia, pelaksanaan sistem pengukuran kinerja untuk instansi
pemerintahan didasarkan pada Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 tentang
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah dan Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun
2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah.
Menindaklanjuti regulasi tersebut, Kementerian Dalam Negeri juga telah
mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 73 Tahun
2009 tentang Tata Cara Pelaksanaan Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah.
Berdasarkan hasil Evaluasi Kinerja Pemerintahan Daerah (EKPPD) pada
tahun 2014, hanya terdapat satu provinsi yang mendapat status kinerja sangat tinggi
dari total 33 provinsi (3%), sedangkan 30 provinsi lainnya mendapat status kinerja
tinggi dan 2 provinsi mendapat kategori status kinerja sedang. Untuk kategori

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017


Anteseden dan Konsekuen Penggunaan Sistem Pengukuran Kinerja

kabupaten terdapat 108 kabupaten yang mendapatkan kategori sangat tinggi dari
total 395 kabupaten (27%), sedangkan untuk kategori kota hanya terdapat 19 Kota
yang mendapatkan status kinerja sangat tinggi dari total 93 kota (20%). Terdapat 2
provinsi dan 61 kabupaten yang memiliki kinerja sedang. Sementara itu, masih
terdapat 8 kabupaten yang memiliki nilai kinerja rendah (Menteri Dalam Negeri
2016).
Data tersebut menunjukkan bahwa kinerja pemerintah daerah masih belum
optimal. Beberapa faktor penyebab atas kegagalan pelaksanaan akuntabilitas
kinerja dalam pemerintahan Indonesia antara lain karena heterogenitas lembaga
pemerintah (Akbar et. al. 2012), pelaporan yang bias (Solikin 2005), dan
kecenderungan pemerintah daerah untuk melaporkan program yang sukses saja dan
tidak melaporkan program gagal (Nurkhamid 2008). Akbar, et. al (2012)
menyatakan bahwa pengukuran kinerja pemerintah di Indonesia masih sebatas
digunakan untuk memenuhi persyaratan pengukuran daripada membuat organisasi
menjadi lebih efektif dan efisien sebagai akibat tekanan dari kewajiban
melaksanakan peraturan dari pemerintah pusat.
Dalam laporan United States General Accounting Office (GAO 1997),
disebutkan bahwa ada beberapa faktor yang berpotensi menghambat pelaksanaan
sistem pengukuran kinerja, yaitu adanya overlapping tujuan sehingga membuat
lebih sulit untuk mengidentifikasi tujuan organisasi yang strategis dan akurat
(Swindell dan Kelly 2002; Sihaloho dan Halim, 2005) dan adanya evaluasi
kebijakan/program/kegiatan yang bersifat subjektif, serta kurangnya penghargaan
terhadap kinerja. Selain itu, faktor yang tidak menguntungkan seperti kurangnya
dukungan kelompok eksternal terhadap pelaksanaan informasi kinerja (Sihaloho
dan Halim 2005), sedangkan informasi kinerja tersebut diperlukan agar lembaga
memanfaatkan untuk perencanaan strategis dan perencanaan kinerja, evaluasi dan
pengawasan serta alokasi anggaran (Speklé dan Verbeeten 2009).
Penelitian ini bertujuan untuk menginvestigasi variabel anteseden yang
mempengaruhi penggunaan sistem pengukuran kinerja pemerintah daerah dan
konsekuensi dari penggunaan sistem pengukuran kinerja. Secara spesifik,
penelitian ini bertujuan menguji pengaruh budaya organisasi, tekanan eksternal, dan

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017


Anteseden dan Konsekuen Penggunaan Sistem Pengukuran Kinerja

komitmen pimpinan terhadap penggunaan sistem pengukuran kinerja di pemerintah


daerah. Selanjutnya penelitian ini menguji pengaruh penggunaan sistem
pengukuran kinerja terhadap akuntabilitas publik pemerintah daerah.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan sistem pengukuran
kinerja dipengaruhi secara signifikan oleh budaya organisasi, tekanan eksternal, dan
komitmen pimpinan. Penelitian ini juga menemukan bahwa penggunaan sistem
pengukuran kinerja berpengaruh signifikan terhadap akuntabilitas publik
pemerintah daerah.

2. Landasan Teori dan Pengembangan Hipotesis


2.1. Pengaruh Budaya Organisasi Terhadap Penggunaan Sistem Pengukuran
Kinerja
Budaya organisasi merupakan suatu pola dari asumsi-asumsi dasar yang ditemukan,
diciptakan atau dikembangkan oleh suatu kelompok tertentu dengan maksud agar
organisasi belajar mengatasi atau menanggulangi masalah-masalah yang timbul
akibat adaptasi eksternal dan integrasi internal yang sudah berjalan dengan cukup
baik (Julnes dan Holzer 2001). Budaya organisasi merupakan hasil dari kognitif
kolektif yang membentuk pola pikir organisasi dan keyakinan bersama yang
direfleksikan dalam bentuk tradisi dan kebiasaan ataupun dimanifestasikan dalam
bentuk wujud nyata berupa simbol-simbol, bangunan, serta produk (Mintzberg et
al. 1998). Pettigrew (1985) menyatakan bahwa budaya organisasi dapat diibaratkan
sebagai jaringan sosial dalam organisasi yang mengikat struktur organisasi dengan
proses organisasi. Budaya organisasi merupakan kekuatan hidup suatu organisasi
sebagaimana jiwa dalam raga seseorang.
Sementara itu, Kreitner dan Kinicki (2001) menyatakan bahwa budaya
organisasi merupakan nilai dan kepercayaan bersama yang menjadi ciri identitas
organisasi, yang terdiri dari sekumpulan sikap, pengalaman, kepercayaan, dan nilai
dalam suatu organisasi. Budaya organisasi berguna untuk memberikan identitas
bagi anggota organisasi, menumbuhkan komitmen kolektif, meningkatkan
stabilitas sistem sosial, dan membentuk perilaku dengan membantu anggota
merasakan kondisi di lingkungan sekitarnya.

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017


Anteseden dan Konsekuen Penggunaan Sistem Pengukuran Kinerja

Terkait dengan pengukuran kinerja, Julnes dan Holzer (2001) telah


membuktikan bahwa budaya organisasi berpengaruh terhadap implementasi sistem
pengukuran kinerja. Adanya budaya berprestasi mendorong organisasi sektor
publik untuk menggunakan sistem pengukuran kinerja yang andal (Mahmudi 2015)
Berdasarkan uraian di atas maka hipotesis pertama penelitian dinyatakan sebagai
berikut:

H1: budaya organisasi berpengaruh positif terhadap penggunaan sistem


pengukuran kinerja

2.2. Pengaruh Tekanan Eksternal Terhadap Penggunaan Sistem Pengukuran


Kinerja
Pengadopsian sistem pengukuran kinerja bisa dipengaruhi oleh adanya tekanan
eksternal. Teori institusional menyatakan bahwa organisasi mencari legitimasi
dengan cara memenuhi tekanan isomorfisme dalam lingkungan organisasinya
(Ashworth et al. 2009). Tekanan isomorfisme terkait dengan adanya tekanan untuk
mengikuti tuntutan yang berasal dari dengan lingkungan di sekitar organisasi.
Tekanan isomorfisme (isomorphism) adalah proses yang mendorong satu
organisasi dalam suatu populasi untuk menyerupai organisasi yang lain dalam
menghadapi kondisi lingkungan yang sama. Penelitian terbaru telah menekankan
bagaimana organisasi publik menjadi subjek tekanan institusional sehingga
menyebabkan pada umumnya organisasi publik menjadi lebih mirip (Ashworth et
al. 2009). Teori institusional memprediksi bahwa organisasi akan menjadi lebih
serupa karena tekanan isomorfisme, baik dikarenakan adanya koersif (coercive),
normatif (normative), dan mimetik (mimetic) (DiMaggio dan Powell 1983).
Isomorfisme koersif (coercive isomorphism) merupakan hasil dari tekanan
formal dan informal yang diberikan pada organisasi oleh organisasi lain yang dalam
hal ini organisasi tergantung dengan ekspektasi budaya masyarakat di mana
organisasi menjalankan fungsinya (DiMaggio dan Powell 1983). DiMaggio dan

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017


Anteseden dan Konsekuen Penggunaan Sistem Pengukuran Kinerja

Powell (1983) juga menyatakan bahwa isomorfisme koersif berasal dari pengaruh
politik dan kebutuhan untuk legitimasi.
Kekuatan koersif adalah tekanan eksternal yang diberikan oleh pemerintah,
peraturan, atau lembaga lain untuk mengadopsi struktur atau sistem (Ashworth et
al. 2009). Adanya peraturan ditujukan untuk mengatur praktik yang ada agar
menjadi lebih baik. Di sisi lain, kekuatan koersif dari suatu peraturan dapat
menyebabkan adanya kecenderungan organisasi untuk memperoleh atau
memperbaiki legitimasi (legitimate coercion), sehingga hanya menekankan aspek-
aspek positif agar organisasi terlihat baik oleh pihak-pihak di luar organisasi.
Perubahan organisasi yang didasari kekuatan koersif akan menyebabkan organisasi
lebih mempertimbangkan pengaruh politik dari pada teknis (Ashworth et al. 2009).
Perubahan organisasi yang lebih dipengaruhi politik akan mengakibatkan praktik-
praktik yang terjadi dalam organisasi, khususnya terkait penerapan pengukuran
kinerja akan hanya bersifat formalitas yang ditujukan untuk memperoleh legitimasi.
Hasil penelitian Wijaya dan Akbar (2013) membuktikan tekanan eskternal
berpengaruh positif terhadap penggunaan sistem pengukuran kinerja. Berdasarkan
uraian di atas maka hipotesis kedua penelitian ini dinyatakan sebagai berikut:

H2: tekanan eksternal berpengaruh positif terhadap penggunaan sistem


pengukuran kinerja

2.3. Pengaruh Komitmen Pimpinan Terhadap Penggunaan Sistem Pengukuran


Kinerja
Robbins dan Judge (2007) mendefinisikan komitmen sebagai suatu keadaan dimana
seorang individu memihak organisasi serta tujuan-tujuan dan keinginannya untuk
mempertahankan keanggotaan organisasinya. Berdasarkan hal tersebut dapat
diartikan bahwa komitmen manajemen mengandung unsur loyalitas terhadap
organisasi dan keterlibatan dalam kinerja untuk mencapai tujuan organisasi
Organisasi dengan komitmen manajemen yang kuat dari pimpinan maka
akan lebih mudah untuk mencapai hasil yang diinginkan untuk menghasilkan
kinerja yang lebih baik, dibanding dengan organisasi yang tidak memiliki

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017


Anteseden dan Konsekuen Penggunaan Sistem Pengukuran Kinerja

komitmen manajemen. Dengan demikian keberadaan komitmen manajemen yang


kuat sangat dibutuhkan organisasi agar dapat meningkatkan akuntabilitas kinerja
serta penggunaan yang lebih baik atas informasi kinerja yang dihasilkan.
Guna menciptakan organisasi dengan kinerja yang tinggi diperlukan
komitmen manajemen yang tinggi dari pimpinan dan stafnya untuk mencapai hasil
yang diinginkan (GAO, 2001). Dalam konteks implementasi sistem pengukuran
kinerja, komitmen manajemen dapat dicerminkan dengan mengalokasikan sumber
daya, tujuan, dan strategi pada berbagai rencana yang dianggap bernilai; menolak
sumber daya yang menghambat inovasi; dan memberikan dukungan politis yang
diperlukan untuk memotivasi atau menekan para individu atau pihak lain yang
menolak keberadaan inovasi (Cavalluzzo dan Ittner 2004). Dengan demikian,
keberadaan komitmen manajemen yang tinggi akan meningkatkan akuntabilitas
kinerja dan penggunaan informasi kinerja (Nurkhamid 2008).
Cavalluzzo dan Ittner (2004) juga berpendapat bahwa komitmen manajemen
berpengaruh positif terhadap pengembangan indikator kinerja, akuntabilitas kinerja
dan penggunaan informasi kinerja yang dihasilkan oleh implementasi sistem
pengukuran kinerja. Hasil penelitian Primarisanti dan Akbar (2013) juga
menunjukkan bahwa komitmen pimpinan merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi kesuksesan pengukuran kinerja pemerintah kabupaten kota di
Indonesia.

Berdasarkan uraian di atas maka hipotesis ketiga penelitian ini adalah:

H3: komitmen pimpinan berpengaruh positif terhadap penggunaan sistem


pengukuran kinerja

2.4. Pengaruh Penggunaan Sistem Pengukuran Kinerja Terhadap Akuntabilitas


Kinerja
Akuntabilitas merupakan kewajiban seseorang, kelompok, atau organisasi untuk
mengambil alih otoritas pelaksanaan suatu kegiatan dan atau memenuhi suatu
pertanggungjawaban yang meliputi: menjawab atas pelaksanaan otoritas dan atau

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017


Anteseden dan Konsekuen Penggunaan Sistem Pengukuran Kinerja

pemenuhan tanggung jawab dengan memberikan penjelasan atau justifikasi,


melaporkan hasil pelaksanaan dan atau pemenuhan kegiatan, serta mengambil alih
pertanggungjawaban atas hasil tersebut (Artley 2001). Dalam konteks sektor
publik, The Govermental Accounting Standards Board’s Concept Statement No. 2
menyatakan bahwa akuntabilitas sektor publik merupakan kewajiban manajer
sektor publik untuk memberikan pertanggungjawaban atas tindakan yang
diembannya, di lain pihak masyarakat dan para wakil rakyat yang terpilih proaktif
menilai kinerja dan mengambil tindakan berdasarkan kinerja yang ada. Tindakan
yang dapat dilakukan masyarakat dan para wakil rakyat misalnya dengan
mengalokasikan sumber daya, memberikan pengakuan atau imbalan, atau
menetapkan sanksi berdasarkan hasil yang dicapai oleh manajer.
Mardiasmo (2004) menyatakan bahwa akuntabilitas publik adalah kewajiban
pemegang amanah (agent) untuk memberikan pertanggungjawaban, menyajikan,
melaporkan, serta mengungkapkan segala aktivitas yang menjadi tanggung
jawabnya kepada pemberi amanah (principal) yang memiliki hak dan kewenangan
untuk meminta pertanggungjawaban tersebut.
Sistem pengukuran kinerja merupakan alat untuk menginformasikan kinerja
sektor sektor publik kepada pemangku kepentingan. Sistem pengukuran kinerja
juga berperan penting untuk membentuk landasan bagi terwujudnya akuntabilitas
internal dan eksternal (Cavalluzzo dan Ittner 2004).
Nurkhamid (2008) menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi
peningkatan penggunaan informasi kinerja adalah informasi kinerja yang
dihasilkan dari implementasi sistem pengukuran kinerja telah digunakan untuk
meningkatkan akuntabilitas kinerja suatu organisasi. Hal ini menunjukkan
pengaruh secara tidak langsung antara pengembangan sistem pengukuran terhadap
penggunaan informasi kinerja melalui akuntabilitas kinerja.
Berdasarkan uraian di atas maka hipotesis keempat penelitian ini adalah:

H4: penggunaan sistem pengukuran kinerja berpengaruh positif terhadap


akuntabilitas publik

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017


Anteseden dan Konsekuen Penggunaan Sistem Pengukuran Kinerja

2.5. Kerangka Penelitian


Kerangka penelitian dapat dinyatakan dalam bentuk gambar berikut ini:

Gambar 1
Kerangka Pemikiran

Budaya
Organisasi H1 (+)

Penggunaan
Tekanan Sistem H4 (+) Akuntabilitas
H2 (+)
Eksternal Pengukuran Publik
Kinerja

Komitmen H3 (+)
pimpinan

3. Metode Penelitian
3.1. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh PNS yang bekerja di lingkungan
pemerintah daerah. Adapun yang menjadi sampel penelitian ini adalah PNS
pemerintah daerah di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Teknik pengambilan
sampel menggunakan purposive sampling. Adapun kriteria sampel yang digunakan
adalah PNS yang sudah bekerja minimal 2 tahun dan menempati posisi manajerial
minimal pada level bawah.

3.2. Variabel dan Definisi Operasional Variabel


Variabel penelitian ini terdiri atas: (1) variabel independen yaitu budaya organisasi,
tekanan eksternal, komitmen pimpinan; (2) variabel intervening yaitu penggunaan
sistem pengukuran kinerja; dan (3) variabel dependen yaitu akuntabilitas publik.

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017


Anteseden dan Konsekuen Penggunaan Sistem Pengukuran Kinerja

3.2.1 Penggunaan sistem pengukuran kinerja


Sistem pengukuran kinerja diperlukan untuk mengetahui keberhasilan perusahaan
dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan baik jangka panjang maupun jangka
pendek. Oleh karena itu untuk mengetahui berhasil atau tidaknya suatu strategi
yang telah ditetapkan maka diperlukan suatu sistem pengukuran kinerja yang
merupakan alat bagi manajemen untuk mengevaluasi kinerjanya. Pengukuran
variabel ini menggunakan instrumen kuesioner, dengan model skala Likert lima
poin dengan 10 item pertanyaan yang diadopsi dari penelitian Wijaya dan Akbar
(2013). Dalam penelitian ini cronbach alpha instrumen ini sebesar 0,757. Indikator-
indikator variabel penggunaan sistem pengukuran kinerja meliputi: stategi
operasional SKPD, alokasi anggaran, supervisi program, karir individual, bonus
staf, komunikasi yang obyektif, realisasi kebijakan SKPD, revisi kebijakan SKPD,
adopsi program baru, dan perbaikan indikator kinerja.

3.2.2. Budaya Organisasi


Budaya organisasi menunjukkan sikap (attitude) pimpinan beserta stafnya terhadap
perubahan (inovasi) dan kebijakan organisasi dalam menanggapi inovasi sebagai
suatu kegiatan yang berisiko (risk taking). Variabel ini diukur berdasarkan jawaban
responden yang mengungkapkan sikap pimpinan dan stafnya terhadap inovasi dan
perubahan organisasi secara umum dan khususnya terhadap pengukuran kinerja.
Pengukuran variabel ini menggunakan instrumen kuesioner, dengan model skala
Likert lima point yang diadopsi dari penelitian Nurkhamid (2008). Dalam penelitian
ini cronbach alpha instrumen ini sebesar 0,84.

3.2.3. Tekanan Eksternal


Tekanan eksternal adalah tekanan yang berasal dari luar organisasi yaitu seperti
peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah atau tekanan dari kelompok
masyarakat tertentu. Pengukuran variabel ini menggunakan instrumen kuesioner,
dengan model skala Likert lima poin dengan 7 item pertanyaan yang diadopsi dari
penelitian Ridha (2012). Dalam penelitian ini cronbach alpha instrumen ini sebesar
0,80.

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017


Anteseden dan Konsekuen Penggunaan Sistem Pengukuran Kinerja

3.2.4. Komitmen Pimpinan


Komitmen pimpinan didefinisikan sebagai dukungan pimpinan dalam
pengimplementasian sistem pengukuran kinerja organisasi. Variabel komitmen
pimpinan diukur dengan menggunakan kuesioner, dengan model skala Likert lima
poin dengan 4 item pertanyaan yang diadopsi dari penelitian Nurkhamid (2008).
Dalam penelitian ini cronbach alpha instrumen ini sebesar 0,908.

3.2.5. Akuntabilitas Kinerja


Variabel ini mengungkapkan tingkat akuntabilitas kinerja yang dirasakan oleh para
manajer suatu organisasi. Pengukuran variabel ini menggunakan instrumen
kuesioner, dengan model skala Likert empat poin yang diadopsi dari penelitian
Nurkhamid (2008). Dalam penelitian ini cronbach alpha instrumen ini sebesar
0,796.

3.3. Metode Analisis Data


Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan analisis regresi. Adapun
persamaan regresi yang digunakan adalah sebagai berikut:

Y1 = β1 X1 + β2 X2 + β3 X3 + e
Y2 = β1Y1 + e

4. Analisis Hasil dan Pembahasan


4.1. Hasil Pengumpulan Data
Data penelitian diperoleh dengan menyebarkan kuesioner terhadap PNS yang
bekerja pada pemerintah daerah di wilayah propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kuesioner awal yang didistribusikan sebanyak 100, sedangkan kuesioner yang
tidak kembali sebanyak 5 sehingga terdapat 95 kuesioner yang bisa dianalisis.
Dengan demikian tingkat respon penelitian ini dapat dikategorikan tinggi yaitu
sebesar 95%. Semua kuesioner yang kembali dinyatakan lengkap sehingga dapat
digunakan untuk analisis data.

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017


Anteseden dan Konsekuen Penggunaan Sistem Pengukuran Kinerja

4.2. Statistik Deskriptif


Responden penelitian ini terdiri atas 95 dengan komposisi laki-laki sebanyak 69
(73%) dan perempuan 26 (23%). Sebagian besar responden berusia antara 31-40
tahun (51%) dan 92% berpendidikan S1. Sementara itu dilihat dari masa kerjanya,
mayoritas responden memiliki masa kerja lebih dari 10 tahun. Berikut adalah tabel
karakteristik responden penelitian:

Tabel 1
Karakteristik Responden

Karakteristik Responden Jumlah Presentase


Jenis Kelamin
Laki-Laki 69 73%
Perempuan 26 23%

Usia
< 20 tahun 0 0%
21-30 tahun 25 21%
31-40 tahun 48 51%
> 40 tahun 22 23%

Pendidikan
S1 87 92%
S2 5 5%
S3 3 3%

Masa Kerja
< 5 tahun 2 2%
5 sampai 10 tahun 13 14%
>10 tahun 80 84%

4.3. Analisis Regresi


Analisis regresi terdiri atas dua model. Analisis regresi model pertama digunakan
untuk mengetahui besarnya pengaruh variabel independen yaitu budaya organisasi,
tekanan eksternal, dan komitmen pimpinan terhadap variabel dependen yaitu
penggunaan sistem pengukuran kinerja. Sementara itu, analisis regresi model kedua

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017


Anteseden dan Konsekuen Penggunaan Sistem Pengukuran Kinerja

digunakan untuk menguji pengaruh variabel penggunaan sistem pengukuran kinerja


terhadap akuntabilitas publik. Sebelum dilakukan analisis regresi terlebih dahulu
telah dilakukan uji asumsi klasik. Hasil uji asumsi klasik untuk model penelitian ini
telah terpenuhi semua. Hasil analisis regresi ditunjukkan dalam tabel berikut ini:

Tabel 2
Hasil Analisis Regresi

Variabel Dependen
Variabel Independen Penggunaan Sistem Akuntabilitas
Pengukuran Kinerja Publik
(Y1) (Y2)

Budaya Organisasi (X1) 0,241


(4,749)***
Tekanan Eksternal (X2) 0,258
(5,439)***
Komitmen Pimpinan (X3) 0,283
(6,991)***
Konstanta 0,741
(4,687)
F 116,920***
R2 0,794
Adjusted R2 0,787

Penggunaan Sistem 0,892


Pengukuran Kinerja (Y1) (9,794)***
Konstanta 0,382
(1,159)
F 95,929***
R2 0,508
2
Adjusted R 0,502
Sumber:DataDiolah
*** sig. < 1%; ** sig. < 5%; * sig. < 10%

4.4. Pembahasan
Hasil penelitian ini membuktikan bahwa budaya organisasi berpengaruh positif
signifikan terhadap penggunaan sistem pengukuran kinerja (β = 0,241; p < 0,000).
Hal itu menunjukkan bahwa semakin baik budaya organisasi maka akan
meningkatkan penggunaan sistem pengukuran kinerja.

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017


Anteseden dan Konsekuen Penggunaan Sistem Pengukuran Kinerja

Schein (1992) dalam Julnes dan Holzer (2001) juga menyatakan bahwa
budaya organisasi merupakan suatu pola dari asumsi-asumsi dasar yang ditemukan,
diciptakan atau dikembangkan oleh suatu kelompok tertentu dengan maksud agar
organisasi belajar mengatasi atau menanggulangi masalah-masalah yang timbul
akibat adaptasi eksternal dan integrasi internal yang sudah berjalan dengan cukup
baik, sehingga perlu diajarkan kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang
benar untuk memahami, memikirkan, dan merasakan berbagai masalah tersebut.
Hasil penelitian ini mendukung penelitian Julnes dan Holzer (2001) yang
telah membuktikan bahwa budaya organisasi berpengaruh terhadap implementasi
sistem pengukuran kinerja.
Penelitian ini juga memberi membuktikan bahwa tekanan eksternal
berpengaruh positif signifikan terhadap penggunaan sistem pengukuran kinerja (β
= 0,258; p < 0,000). Hasil tersebut mengindikasikan bahwa semakin kuat tekanan
eksternal maka akan meningkatkan penggunaan sistem pengukuran kinerja. Hasil
penelitian ini sesuai penelitian Wijaya dan Akbar (2013) membuktikan tekanan
eskternal berpengaruh positif terhadap penggunaan sistem pengukuran kinerja.
Hasil penelitian ini dapat dijelaskan melalui teori institusional dengan
pendekatan teori isomorfisme. Isomorfisme koersif selalu terkait dengan segala hal
yang terhubung dengan lingkungan di sekitar organisasi. Isomorfisme koersif
(coercive isomorphism) merupakan hasil dari tekanan formal dan informal yang
diberikan pada organisasi oleh organisasi lain dimana organisasi tergantung dengan
harapan budaya masyarakat di mana organisasi menjalankan fungsinya (DiMaggio
dan Powell, 1983). DiMaggio dan Powell (1983) juga menyatakan bahwa
isomorfisme koersif berasal dari pengaruh politik dan kebutuhan untuk legitimasi.
Sementara itu, pengujian atas variabel komitmen pimpinan terhadap
penggunaan sistem pengukuran kinerja menunjukkan bahwa komitmen pimpinan
berpengaruh positif signifikan terhadap penggunaan sistem pengukuran kinerja (β
= 0,283; p < 0,000). Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa semakin tinggi komitmen
pimpinan maka akan semakin tinggi penggunaan sistem pengukuran kinerja. Hasil
penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya yang dilakukan Nurkhamid (2008)

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017


Anteseden dan Konsekuen Penggunaan Sistem Pengukuran Kinerja

yang juga menemukan bahwa komitmen manajemen yang tinggi akan


meningkatkan akuntabilitas kinerja dan penggunaan informasi kinerja.
Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian Cavalluzzo dan Ittner
(2004) yang menyatakan bahwa komitmen manajemen berpengaruh positif
terhadap pengembangan indikator kinerja, akuntabilitas kinerja dan penggunaan
informasi kinerja yang dihasilkan oleh implementasi sistem pengukuran kinerja.
Sementara itu, pengujian atas pengaruh penggunaan sistem pengukuran
kinerja terhadap akuntabilitas publik menunjukkan bahwa penggunaan sistem
pengukuran kinerja berpengaruh positif signifikan terhadap akuntabilitas (β =
0,892; p < 0,000). Dengan demikian, semakin masif penggunaan sistem pengukuran
kinerja maka akan semakin tinggi akuntabilitas kinerjanya.

Tabel 3
Rekapitulasi Hasil Pengujian Hipotesis

Hipotesis Keterangan β Sig keputusan


1 H1 : budaya organisasi berpengaruh 0,241 0,000 didukung
positif terhadap penggunaan sistem
pengukuran kinerja
2 H2 : tekanan eksternal berpengaruh 0,258 0,000 didukung
positif terhadap penggunaan sistem
pengukuran kinerja
3 H3 : komitmen pimpinan 0,283 0,000 didukung
berpengaruh positif terhadap
penggunaan sistem pengukuran
kinerja
4 H4 : penggunaan sistem pengukuran 0,892 0,000 didukung
kinerja berpengaruh positif terhadap
akuntabilitas publik

5. Simpulan, Keterbatasan, dan Saran


5.1. Simpulan
Hasil penelitian ini memberikan kesimpulan bahwa kuat dan lemahnya penggunaan
sistem pengukuran kinerja dipengaruhi oleh budaya organisasi, tekanan eksternal,
dan komitmen pimpinan. Variabel-variabel tersebut terbukti berpengaruh positif

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017


Anteseden dan Konsekuen Penggunaan Sistem Pengukuran Kinerja

signifikan terhadap penggunaan sistem pengukuran kinerja. Dalam penelitian ini


juga ditemukan bukti bahwa penggunaan sistem pengukuran kinerja berpengaruh
positif signifikan terhadap akuntabilitas. Dengan demikian penggunaan sistem
pengukuran kinerja akan meningkatkan akuntabilitas.

5.2. Keterbatasan Penelitian


Penelitian ini memiliki keterbatasan terkait jumlah responden yang terbatas hanya
pada PNS pemerintah daerah di wilayah DIY. Data yang dikumpulkan dan
dianalisis menggunakan kuesioner yang diisi berdasarkan persepsi responden,
sehingga memungkinkan terjadi bias. Oleh karena itu, hasil penelitian ini perlu
dicermati secara hati-hati.

5.3. Saran
Penelitian selanjutnya disarankan untuk memasukkan variabel independen lain
yang belum diuji dalam penelitian ini seperti peran regulasi pemerintah, dukungan
teknologi informasi, dan dukungan keuangan pemerintah daerah.

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017


Anteseden dan Konsekuen Penggunaan Sistem Pengukuran Kinerja

6. Referensi

Akbar, R., Pilcher, R., dan Perrin, B. 2012. Performance Measurement in Indonesia:
the Case of Local Government. Pacific Accounting Review, 24 (3): 262-291.

Artley, Will. 2001. The Performance Management Handbook Volume 3:


Establisihing Accountability for Performance. USA: Performance- Based
Management Special Interest Group (PBMSIG).

Ashworth, R., Boyne, G., dan Delbridge, R. 2009. Escape from the Iron Cage?
Organizational Change and Isomorphic Pressures in the Public Sector.
Journal of Public Administration Research and Theory, 19 (1): 165-187.

Cavalluzzo, K. S., dan Ittner, Christopher. D., 2004. Implementing Performance


Measurement Innovations: Evidence from Government. Accounting,
Organizations and Society, 29 (3-4): 243-267.

DiMaggio, P. J. dan W. W. Powell. 1983. The Iron Cage Revisited: Institutional


Isomorphism and Collective Rationality in Organizational Fields. American
Sociological Review, 48 (2): 147-160.

GAO. 2001. Managing For Results: Federal Managers’ Views on Key


Management Issues Vary Widely Across Agencies. MD: General Accounting
Office, Gaithersburg, GAO-01-592.

GAO. 1997. Managing For Results: Analytic Challenges in Measuring


Performance. MD: General Accounting Office, Gaithersburg,
GAO/HEHS/GGD-97-138.

Julnes, Patria de Lancer dan Marc Holzer. 2001. Promoting the Utilization of
Performance Measures in Public Organization: An Empirical Study of
Factors Affecting Adoption and Implementation. Public Administration
Review,61(6): 693-708.

Kreitner, Robert dan Kinicki, A. 2001. Organizational Behavior. Fifth Edition.


Irwin McGraw-Hill.

Mahmudi. 2015. Manajemen Kinerja Sektor Publik. Yogyakarta: UPP STIM.

Mardiasmo. 2002. Akuntansi Sektor Publik. Penerbit Andi. Yogyakarta.

Menteri Dalam Negeri. 2016. Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik


Indonesia No. 800-35 Tahun 2016 tentang Penetapan Peringkat dan Status
Kinerja Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Secara Nasional Tahun 2014.

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017


Anteseden dan Konsekuen Penggunaan Sistem Pengukuran Kinerja

Mintzberg, H., Ahlstrand, B., and Lampel, J. 1998. Strategy Safari: A Guided
Tour Through the Wilds of Strategic Management. New York: The Free
Press.

Nurkhamid, M. 2008. Implementasi Inovasi Sistem Pengukuran Kinerja Instansi


Pemerintah. Jurnal Akuntansi Pemerintah, 3 (01): 45-76.

Pettigrew, A. M. 1985. The Awakening Giant: Continuity and Change in Imperial


Chemical Industries. Oxford: Basil Blackwell.

Primarisanti, Herlina dan Akbar, R. 2015. Factors Influencing The Success Of


Performance Measurement: Evidence From Local Government. Journal of
Indonesian Economy and Business, 30 (1): 56 – 71.

Ridha, Arsyadi. 2012. Pengaruh Tekanan Eksternal, Ketidakpastian Lingkungan,


dan Komitmen Manajemen Terhadap Transparansi Pelaporan Keuangan.
Tesis. Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM.

Robbins SP, dan Judge. 2007. Perilaku Organisasi. Jakarta: Salemba Empat,
Jakarta.

Sihaloho, F. Laurensius dan Halim, A., 2005. Pengaruh Faktor-Faktor Rasional,


Politik dan Kultur Organisasi Terhadap Pemanfaatan Informasi Kinerja
Instansi Pemerintah Daerah [Influence of Rational Factors, Organization
Politic and Culture on the Usage of Local Government Performance
Information]. Simposium Nasional Akuntansi VIII. Solo, September 15-16,
2005.

Solikin, A. 2005. Accountability Reporting in Indonesia: When Self-Serving


Attributions Exaggerate Perceived Performance. Jurnal Akuntansi
Pemerintah, 1 (1): 21-33.

Speklé, R. F. and Verbeeten Frank H.M., 2009. The Use of Performance


Measurement Systems in The Public Sector: Effects on Performance.
Nyenrode Research & Innovation Institute (NRI) Research Paper, No. 09-08.

Supartini, Nunik. 2012. Evaluasi Implementasi Sistem Akuntabilitas Kinerja


Instansi Pemerintah (SAKIP) (Studi Kasus pada Pemerintah Kabupaten
Kotawaringin Barat). Tesis, Program Magister Akuntansi Universitas Gadjah
Mada.

Swindell, David dan Kelly, J. M. 2002. Linking Citizen Satisfaction Data to


Performance Measures: A Preliminary Evaluation. Public Performance and
Management Review, 24 (1), 30-52.

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017


Anteseden dan Konsekuen Penggunaan Sistem Pengukuran Kinerja

United States General Accounting Office (GAO). 1997. Managing For Results.
Analytic Challenges in Measuring Performance. GAO/HEHS/GGD-97-138
GPRA

Wijaya, A. C. H., dan Akbar, R. 2013. The Influence of Information, Organizational


Objectives and Targets, and External Pressure Towards the Adoption of
Performance Measurement System in Public Sector. Journal of Indonesian
Economy and Business, 28 (1): 62 – 83.

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017

Anda mungkin juga menyukai