Anda di halaman 1dari 40

LAPORAN PENDAHULUAN PENYAKIT DIABETIC FOOT

DI RUANG …………..
RSUD ULIN BANJARMASIN

Untuk Menyelesaikan Tugas Profesi Keperawatan Dasar Profesi


Program Profesi Ners

Disusun Oleh:
Achmad Arifin
11194561920035

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS SARI MULIA
BANJARMASIN
2020
LEMBAR PERSETUJUAN

LAPORAN PENDAHULUAN DIABETIC FOOT


DI RUANG ...................... RUMAH SAKIT UMUM DAERAH ULIN
BANJARMASIN

Tanggal ..................................

Disusun oleh :
ACHMAD ARIFIN
NIM. 1119456192035

Banjarmasin, September 2020


Mengetahui,
Preseptor Akademik, Preseptor Klinik,

Paul Joae Bret Nito, Ns., M.Kep. Akhmad Zarkasi, S.Kep., Ns., M.Kes
NIK.1166102014068 NIK. 8833380018
1. Konsep Anatomi Fisiologi Diabetik Foot
A. Anatomi Pankreas
Pankreas terletak melintang dibagian atas abdomen dibelakang
gaster didalam ruang retroperitoneal. Disebelah kiri ekor pankreas
mencapai hilus limpa diarah kronio – dorsal dan bagian atas kiri kaput
pankreas dihubungkan dengan corpus pankreas oleh leher pankreas yaitu
bagian pankreas yang lebarnya biasanya tidak lebih dari 4 cm, arteri dan
vena mesentrika superior berada dileher pankreas bagian kiri bawah kaput
pankreas ini disebut processus unsinatis pankreas (Syaifuddin, 2016).
Pankreas terdiri dari dua jaringan utama yaitu (Syaifuddin, 2016) :

1)     Asinus, yang mengekskresikan pencernaan ke dalam duodenum.


2)     Pulau Langerhans, yang tidak mempunyai alat untuk mengeluarkan
getahnya namun sebaliknya mensekresi insulin dan glukagon
langsung kedalam darah.
Pankreas manusia mempunyai 1 – 2 juta pulau langerhans, setiap
pulau langerhans hanya berdiameter 0,3 mm dan tersusun mengelilingi
pembuluh darah kapiler. Pulau langerhans mengandung tiga jenis sel
utama, yakni sel-alfa, beta dan delta. Sel beta yang mencakup kira-kira 60
% dari semua sel terletak terutama ditengah setiap pulau dan
mensekresikan insulin. Granula sel B merupakan bungkusan insulin dalam
sitoplasma sel. Tiap bungkusan bervariasi antara spesies satu dengan yang
lain. Dalam sel B , molekul insulin membentuk polimer yang juga
kompleks dengan seng. Perbedaan dalam bentuk bungkusan ini mungkin
karena perbedaan dalam ukuran polimer atau agregat seng dari insulin.
Insulin disintesis di dalam retikulum endoplasma sel B, kemudian
diangkut ke aparatus golgi, tempat ia dibungkus didalam granula yang
diikat membran. Granula ini bergerak ke dinding sel oleh suatu proses
yang tampaknya sel ini yang mengeluarkan insulin ke daerah luar dengan
eksositosis. Kemudian insulin melintasi membran basalis sel B serta
kapiler berdekatan dan endotel fenestrata kapiler untuk mencapai aliran

1
darah. Sel alfa yang mencakup kira-kira 25 % dari seluruh sel
mensekresikan glukagon. Sel delta yang merupakan 10 % dari seluruh sel
mensekresikan somatostatin.

Gambar 1. Anatomi Pankreas (Kristanto, 2014).


Pankreas dibagi menurut bentuknya (Syaifuddin, 2016) :
1) Kepala (kaput) yang paling lebar terletak di kanan rongga abdomen,
masuk lekukan sebelah kiri duodenum yang praktis melingkarinya.
2) Badan (korpus) menjadi bagian utama terletak dibelakang lambung
dan di depan vertebra lumbalis pertama.
3) Ekor (kauda) adalah bagian runcing di sebelah kiri sampai menyentuh
pada limpa (lien)
B. Fisiologi Sistem
Pankreas disebut sebagai organ rangkap, mempunyai dua fungsi
yaitu sebagai kelenjar eksokrin dan kelenjar endokrin. Kelenjar eksokrin
menghasilkan sekret yang mengandung enzim yang dapat menghidrolisis
protein, lemak, dan karbohidrat; sedangkan endokrin menghasilkan
hormon insulin dan glukagon yang memegang peranan penting pada
metabolisme karbohidrat (Syaifuddin, 2016).

2
Kelenjar pankreas dalam mengatur metabolisme glukosa dalam
tubuh berupa hormon-hormon yang disekresikan oleh sel – sel dipulau
langerhans. Hormon-hormon ini dapat diklasifikasikan sebagai hormon
yang merendahkan kadar glukosa darah yaitu insulin dan hormon yang
dapat meningkatkan glukosa darah yaitu glukagon.
1) Fisiologi Insulin :
Hubungan yang erat antara berbagai jenis sel dipulau
langerhans menyebabkan timbulnya pengaturan secara langsung
sekresi beberapa jenis hormone lainnya, contohnya insulin
menghambat sekresi glukagon, somatostatin menghambat sekresi
glukagon dan insulin.
Pankreas menghasilkan :
a. Garam nahco3 : membuat suasana basa.
b. Karbohidrase : amilase ubah amilum → maltosa.
c. Dikarbohidrase : a.maltase ubah maltosa → 2 glukosa.
d. Sukrase ubah sukrosa → 1 glukosa + 1 fruktosa.
e. Laktase ubah laktosa → 1 glukosa + 1 galaktosa.
f. Lipase mengubah lipid → asam lemak + gliserol.
g. Enzim entrokinase mengubah tripsinogen → tripsin dan ubah
pepton → asam amino.
2) Pulau Langerhans
Kepulauan Langerhans Membentuk organ endokrin yang
menyekresikan insulin, yaitu sebuah homron antidiabetika, yang
diberikan dalam pengobatan diabetes. Insulin ialah sebuah protein
yang dapat turut dicernakan oleh enzim-enzim pencerna protein dan
karena itu tidak diberikan melalui mulut melainkan dengan suntikan
subkutan.
Insulin mengendalikan kadar glukosa dan bila digunakan
sebagia pengobatan dalam hal kekurangan seperti pada diabetes, ia
memperbaiki kemampuan sel tubuh untuk mengasorpsi dan
menggunakan glukosa dan lemak.

3
Pada pankreas paling sedikit terdapat empat peptida dengan
aktivitas hormonal yang disekresikan oleh pulau-pulau (islets)
Langerhans. Dua dari hormon-hormon tersebut, insulin dan glukagon
memiliki fungsi penting dalam pengaturan metabolisme karbohidrat,
protein, dan lemak. Hormon ketiga, somatostatin berperan dalam
pengaturan sekresi sel pulau, dan yang keempat polipeptida pankreas
berperan pada fungsi saluran cerna.
3) Hormon Insulin
Insulin merupakan protein kecil, terdiri dari dua rantai asam
amino yang satu sama lainnya dihubungkan oleh ikatan disulfida. Bila
kedua rantai asam amino dipisahkan, maka aktivitas fungsional dari
insulin akan hilang. Translasi RNA insulin oleh ribosom yang melekat
pada reticulum endoplasma membentuk preprohormon insulin --
melekat erat pada reticulum endoplasma -- membentuk proinsulin --
melekat erat pada alat golgi -- membentuk insulin -- terbungkus
granula sekretorik dan sekitar seperenam lainnya tetap menjadi
proinsulin yang tidak mempunyai aktivitas insulin.
Insulin dalam darah beredar dalam bentuk yang tidak terikat
dan memilki waktu paruh 6 menit. Dalam waktu 10 sampai 15 menit
akan dibersihkan dari sirkulasi. Kecuali sebagian insulin yang
berikatan dengan reseptor yang ada pada sel target, sisa insulin
didegradasi oleh enzim insulinase dalam hati, ginjal, otot, dan dalam
jaringan yang lain.
Reseptor insulin merupakan kombinasi dari empat subunit
yang saling berikatan bersama oleh ikatan disulfide, 2 subunit alfa
( terletak seluruhnya di luar membrane sel ) dan 2 subunit beta
( menembus membrane, menonjol ke dalam sitoplasma ). Insulin
berikatan dengan subunit alfa -- subunit beta mengalami
autofosforilasi -- protein kinase -- fosforilasi dari banyak enzim
intraselular lainnya.

4
Insulin bersifat anabolik, meningkatkan simpanan glukosa,
asam-asam lemak, dan asam-asam amino. Glukagon bersifat
katabolik, memobilisasi glukosa, asam-asam lemak, dan asam-asam
amino dari penyimpanan ke dalam aliran darah. Kedua hormon ini
bersifat berlawanan dalam efek keseluruhannya dan pada sebagian
besar keadaan disekresikan secara timbal balik. Insulin yang
berlebihan menyebabkan hipoglikemia, yang menimbulkan kejang
dan koma.
Defisiensi insulin baik absolut maupun relatif, menyebabkan
diabetes melitus, suatu penyakit kompleks yang bila tidak diobati
dapat mematikan. Defisiensi glukagon dapat menimbulkan
hipoglikemia, dan kelebihan glukagon menyebabkan diabetes
memburuk. Produksi somatostatin yang berlebihan oleh pankreas
menyebabkan hiperglikemia dan manifestasi diabetes lainnya.
a. Sintesis Insulin
(1) Insulin disintesis oleh sel-sel beta, terutama ditranslasikan
ribosom yang melekat pada retikulum endoplasma (mirip
sintesis protein) dan menghasilkan praprohormon insulin
dengan berat molekul sekitar 11.500.
(2) Kemudian praprohormon diarahkan oleh rangkaian
"pemandu" yang bersifat hidrofibik dan mengandung 23
asam amino ke dalam sisterna retikulum endoplasma.
Struktur kovalen insulin manusia
(3) Di retikulum endoplasma, praprohormon ini dirubah menjadi
proinsulin dengan berat molekul kira-kira 9000 dan
dikeluarkan dari retikulum endoplasma.
(4) Molekul proinsulin diangkut ke aparatus golgi, di sini
proteolisis serta pengemasan ke dalam granul sekretorik
dimulai.

5
(5) Di aparatus golgi, proinsulin yang semua tersusun oleh rantai
B—peptida (C) penghubung—rantai A, akan dipisahkan oleh
enzim mirip tripsin dan enzim mirip karboksipeptidase.
(6) Pemisahan itu akan menghasilkan insulin heterodimer (AB)
dan C peptida. Peptida-C dengan jumlah ekuimolar tetap
terdapat dalam granul, tetapi tidak mempunyai aktivitas
biologik yang diketahui.
b. Sekresi Insulin
Sekresi insulin merupakan proses yang memerlukan
energi dengan melibatkan sistem mikrotubulus-mikrofilamen
dalam sel B pada pulau Lengerhans. Sejumlah kondisi intermediet
turut membantu pelepasan insulin :
(1) Glukosa: apabila kadar glukosa darah melewati ambang batas
normal—yaitu 80-100 mg/dL–maka insulin akan dikeluarkan
dan akan mencapai kerja maksimal pada kadar glukosa 300-
500 mg/dL.
(2) Dalam waktu 3 sampai 5 menit sesudah terjadi peningkatan
segera kadar glukosa darah, insulin meningkat sampai hampir
10 kali lipat. Keadaan ini disebabkan oleh pengeluaran
insulin yang sudah terbentuk lebih dahulu oleh sel beta pulau
langerhans pancreas. Akan tetapi, kecepatan sekresi awal
yang tinggi ini tidak dapat dipertahankan, sebaliknya, dalam
waktu 5 sampai 10 menit kemudian kecepatan sekresi insulin
akan berkurang sampai kira-kira setengah dari kadar normal.
(3) Kira-kira 15 menit kemudian, sekresi insulin meningkat
untuk kedua kalinya, sehingga dalam waktu 2 sampai 3 jam
akan mencapai gambaran seperti dataran yang baru, biasanya
pada saat ini kecepatan sekresinya bahkan lebih besar
daripada kecepatan sekresi pada tahap awal. Sekresi ini
disebabkan oleh adanya tambahan pelepasan insulin yang

6
sudah lebih dahulu terbentuk dan oleh adanya aktivasi system
enzim yang mensintesis dan melepaskan insulin baru dari sel.
(4) Naiknya sekresi insulin akibat stimulus glukosa
menyebabkan meningkatnya kecepatan dan sekresi secara
dramatis. Selanjutnya, penghentian sekresi insulin hampir
sama cepatnya, terjadi dalam waktu 3 sampai 5 menit setelah
pengurangan konsentrasi glukosa kembali ke kadar puasa.
(5) Peningkatan glukosa darah meningkatkan sekresi insulin dan
insulin selanjutnya meningkatkan transport glukosa ke dalam
hati, otot, dan sel lain, sehingga mengurangi konsentrasi
glukosa darah kembali ke nilai normal. Insulin dilepaskan
pada suatu kadar batas oleh sel-sel beta pulau langerhans.
Rangsangan utama pelepasan insulin diatas kadar basal
adalah peningkatan kadar glukosa darah. Kadar glukosa
darah puasa dalam keadaan normal adalah 80-90 mg/dl.
Insulin bekerja dengan cara berkaitan dengan reseptor insulin
dan setelah berikatan, insulin bekerja melalui perantara kedua
untuk menyebabkan peningkatan transportasi glukosa
kedalam sel dan dapat segera digunakan untuk menghasilkan
energi atau dapat disimpan didalam hati.
C. Kebutuhan dasar manusia
Abraham Maslow beranggapan bahwa semua motivasi terjadi
sebagai reaksi atas persepsi seseorang individu atas lima macam tipe dasar
kebutuhan. Menurut Maslow, terdapat 5 macam kebutuhan dasar, yang
senantiasa dialami seseorang individu (Iskandar, 2016). Teori Hierarki
Kebutuhannya sendiri. Maslow menyebutknya sebagai sintesis atau
perpaduan teori yang holistik dinamis. Disebut demikian karena Maslow
mendasarkan teorinya dengan mengikuti tradisi fungsional James dan
Dewey, yang dipadu dengan unsur-unsur kepercayaan Wertheimer,
Goldstein, dan psikologi Gestalt, dan dengan dinamisme Freud, Fromm,
Horney, Reich, Jung, dan Adler (Iskandar, 2016).

7
Gambar 2. Hirarki Maslow (Iskandar, 2016).

1) Kebutuhan fisiologis (Physiological Needs)


Kebutuhan fisiologis terdiri dari kebutuhan dasar, dan yang
bersifat primer. Kadang-kadang mereka dinamakan kebutuhan-
kebutuhan biologikal dalam lingkungan kerja modern dan termasuk di
dalamnya keinginan untuk mendapatkan pembayaran (upah/gaji),
libur, rencana-recana pensiun, periode-periode istirahat, lingkungan
kerja yang menyenangkan, penerangan yang baik dan pada tempat-
tempat kerja tertentu fasilitas AC. Kebutuhan fisiologis adalah
kebutuhan yang paling kuat dan mendesak yang harus dipenuhi paling
utama oleh manusia dalam menjalankan kehidupan kesehariannya. Ini
berarti bahwa pada diri manusia yang sangat merasa kekurangan
segala-galanya dalam kehidupannya, besar sekali kemungkinan bahwa
motivasi yang paling besar ialah kebutuhan fisiologis dan bukan yang
lain-lainnya. Dengan kata lain, seorang individu yang melarat
kehidupannya, mungkin sekali akan selalu termotivasioleh kebutuhan-
kebutuhan ini.
2) Kebutuhan akan rasa aman (Safety Needs)
Setelah kebutuhan fisiologis terpenuhi, maka akan muncul
kebutuhan akan keamanan, atau kebutuhan akan kepastian. Orang
yang merasa tidak aman memiliki kebutuhan akan keteraturan dan

8
stabilitas serta akan berusaha keras menghindari hal-hal yang bersifat
asing dan tidak diharapkan.
Kebutuhan akan keamanan merefleksi beinginan untuk
mengamankan imbalan-imbalan yang telah dicapai dan untuk
melindungi diri sendiri terhadap bahaya, cedera, ancaman, kecelakaan,
kerugian atau kehilangan. Pada organisasi-organisasi kebutuhan-
kebutuhan demikian terlihat pada keinginan pekerjaan akan kepastian
pekerjaan, sistem-sistem senioritas, serikat pekerja, kondisi kerja
aman, imbalan-imbalan tambahan, asuransi, dan kemungkinan
pensiun, tabungan, dan uang tunggu apabila terjadi hal-hal tertentu.

3) Kebutuhan untuk diterima (Social Needs)


Setelah kebutuhan fisiologikal dan keamanan selesai dipenuhi,
maka perhatian sang individu beralih pada keinginan untuk
mendapatkan kawan, cinta dan perasaan diterima. Sebagai mahluk
sosial, manusia senang apabila mereka disenangi, dan berusaha
memenuhi kebutuhan sosial pada waktu mereka bekerja, dengan jalan
membantu kelompok-kelompok formal maupun informal, dan mereka
bekerja sama dengan rekan-rekan sekerja mereka, dan mereka turut
terlibat dalam kegiatan yang dilaksanakan oleh perusahaan dimana
mereka bekerja.
4) Kebutuhan untuk dihargai (Self Esteem Needs)
Pada tingkatan keempat hieraki Maslow, terlihat kebutuhan
individu akan penghargaan, atau juga dinamakan orang kebutuhan
“ego”. Kebutuhan ini berhubungan dengan hasrat yang untuk
memiliki citra positif dan menerima perhatian, pengakuan, dan
apresiasi dari orang lain. Dalam organisasi kebutuhan untuk dihargai
menunjukan motivasi untuk diakui, tanggung jawab yang besar, status
yang tinggi, dan pengakuan atas kontribusi pada organisasi.
5) Kebutuhan aktualisasi diri (Self Actalization)

9
Kebutuhan ini adalah kebutuhan untuk mengalami pemenuhan
diri, yang merupakan kategori kebutuhan tertinggi. Kebutuhan ini
diantaranya adalah kebutuhan untuk mengembangkan potensi yang
ada pada diri sendiri secara menyeluruh, meningkatkan kemampuan
diri, dan menjadi orang yang lebih baik. Kebutuhan aktualisasi diri
oleh organisasi dapat dipenuhi dengan memberikan kesempatan
orang-orang untuk tumbuh, mengembangkan kreativitas, dan
mendapatkan pelatihan untuk mendapatkan tugas yang menantang
serta melakukan pencapaian (Handayani, Haryono, dan Fauziah,
2015).

2. Konsep Dasar Penyait Kaki Diabetik


A. Definisi
Diabetes Melitus adalahpenyakit yang ditandai dengan terjadinya
hiperglikemia dan gangguan metabolismekarbohidrat, lemak, dan protein
yang dihubungkan dengan kekurangan secara absolut atau relatif dari kerja
dan atau sekresiinsulin (Fatimah, 2015).
Kaki diabetik adalah infeksi, ulserasi, dan atau destruksi jaringan
ikat dalam yang berhubungan dengan neuropati dan penyakit vaskuler
perifer pada tungkai bawah, selain itu ada juga yang mendefinisikan
sebagai kelainan tungkai kaki bawah akibat diabetes melitus yang tidak
terkendali dengan baik yang disebabkan oleh gangguan pembuluh darah,
gangguan persyarafan dan infeksi (Hidayat & Nurhayati, 2014).
Kaki diabetik merupakan gambaran secara umum dari kelainan
tungkai bawah secara menyeluruh pada penderita diabetes melitus yang
diawali dengan adanya lesi hingga terbentuknya ulkus berupa luka terbuka
pada permukaan kulit yang dapat disertai adanya kematian jaringan
setempat yang sering disebut dengan ulkus diabetik karena adanya
komplikasi makroangiopati sehingga terjadi vaskuler insusifiensi dan

10
neuropati, yang lebih lanjut terdapat luka pada penderita yang sering tidak
dirasakan dan dapat berkembang menjadi infeksi disebabkan oleh bakteri
aerob maupun anaerob yang pada tahap selanjutnya dapat dikategorikan
dalam gangren yang pada penderita diabetes melitus disebut dengan
gangren diabetic (Hidayat & Nurhayati, 2014).
Ada berbagai macam klasifikasi kaki diabetik yaitu klasifikasi oleh
Edmonds dari King’s College Hospital London, klasifikasi Liverpool,
klasifikasi Wagner, klasifikasi Texas, serta yang lebih banyak digunakan
adalah yang dianjurkan oleh International Working Group On Diabetik
Foot karena dapat menentukan kelainan apa yang lebih dominan yakni
vaskular, infeksi dan neuropati, sehingga arah pengelolaan dalam
pengobatan dapat tertuju dengan baik, namun pada penelitian ini
klasifikasi yang digunakan adalah klasifikasi berdasarkan Wagner.

1) Klasifikasi menurut Edmons (ADA, 2011):


a. Stage 1: Normal Foot

b. Stage 2: High Risk Foot

c. Stage 3: Ulcerated Foot

11
d. Stage 4: Infected Foot

e. Stage 5: Necrotic Foot

f. Stage 6: Unsavable Foot

2) Klasifikasi menurut Wagner (ADA, 2011)


a. Derajat 0
Derajat 0 ditandai antara lain kulit tanpa ulserasi dengan
satu atau lebih faktor risiko berupa neuropati sensorik yang
merupakan komponen primer penyebab ulkus; peripheral
vascular disease; kondisi kulit yaitu kulit kering dan terdapat
callous (yaitu daerah yang kulitnya menjadi hipertropik dan
anastesi); terjadi deformitas berupa claw toes yaitu suatu
kelainan bentuk jari kaki yang melibatkan metatarsal phalangeal

12
joint, proximal interphalangeal joint dan distal interphalangeal
joint. Deformitas lainnya adalah depresi caput metatarsal,
depresi caput longitudinalis dan penonjolan tulang karena
arthropati charcot.
b. Derajat I
Derajat I terdapat tanda-tanda seperti pada grade 0 dan
menunjukkan terjadinya neuropati sensori perifer dan paling
tidak satu faktor risiko seperti deformitas tulang dan mobilitas
sendi yang terbatas dengan ditandai adanya lesi kulit terbuka,
yang hanya terdapat pada kulit, dasar kulit dapat bersih atau
purulen (ulkus dengan infeksi yang superfisial terbatas pada
kulit).
c. Derajat II
Pasien dikategorikan masuk grade II apabila terdapat
tanda-tanda pada grade I dan ditambah dengan adanya lesi kulit
yang membentuk ulkus. Dasar ulkus meluas ke tendon, tulang
atau sendi. Dasar ulkus dapat bersih atau purulen, ulkus yang
lebih dalam sampai menembus tendon dan tulang tetapi tidak
terdapat infeksi yang minimal.
d. Derajat III
Apabila ditemui tanda-tanda pada grade II ditambah
dengan adanya abses yang dalam dengan atau tanpa
terbentuknya drainase dan terdapat osteomyelitis. Hal ini pada
umumnya disebabkan oleh bakteri yang agresif yang
mengakibatkan jaringan menjadi nekrosis dan luka tembus
sampai ke dasar tulang, oleh karena itu diperlukan hospitalisasi/
perawatan di rumah sakit karena ulkus yang lebih dalam sampai
ke tendon dan tulang serta terdapat abses dengan atau tanpa
osteomielitis.

e. Derajat IV
Derajat IV ditandai dengan adanya gangren pada satu jari

13
atau lebih, gangren dapat pula terjadi pada sebagian ujung kaki.
Perubahan gangren pada ekstremitas bawah biasanya terjadi
dengan salah satu dari dua cara, yaitu gangren menyebabkan
insufisiensi arteri. Hal ini menyebabkan perfusi dan oksigenasi
tidak adekuat. Pada awalnya mungkin terdapat suatu area focal
dari nekrosis yang apabila tidak dikoreksi akan menimbulkan
peningkatan kerusakan jaringan yang kedua yaitu adanya infeksi
atau peradangan yang terus-menerus Dalam hal ini terjadi oklusi
pada arteri digitalis sebagai dampak dari adanya edema jaringan
lokal.
f. Derajat V
Derajat V ditandai dengan adanya lesi/ulkus dengan
gangren-gangren diseluruh kaki atau sebagian tungkai bawah.

3) Klasifikasi modifikasi Brodsky (ADA, 2011).


Kedalaman Luka Definisi
(derajat)
0 Kaki berisiko tanpa ulserasi

1 Ulserasi Superfisial, tanpa ulserasi


2 Ulserasi yang dalam sampai mengenai tendon
3 Ulserasi yang luas/abses

Luas Daerah Iskemik Definisi


A Tanpa iskemik
B Iskemik tanpa gangrene
C Partial gangrene
D Complete foot gangrene

Berdasarkan pembagian menurut Wagner di atas, maka


tindakan pengobatan atau pembedahan dapat ditentukan sebagai
berikut:

14
a. Derajat 0 : perawatan lokal secara khusus tidak ada
b. Derajat I-IV : pengelolaan medik dan tindakan bedah minor
c. Derajat V : tindakan bedah minor, bila gagal dilanjutkan dengan
tindakan bedah mayor (amputasi diatas lutut atau amputasi
bawah lutut).
Beberapa tindakan bedah khusus diperlukan dalam
pengelolaan kaki diabetik ini, sesuai indikasi dan derajat lesi yang
dijumpai seperti:
a. Insisi : abses atau selulitis yang luas
b. Eksisi : pada kaki diabetik derajat I dan II

c. Debridement/nekrotomi : pada kaki diabetik derajat II, III, IV dan


V
d. Mutilasi : pada kaki diabetik derajat IV dan V
e. Amputasi : pada kaki diabetik derajat V

B. Etiologi
Etiologi ulkus diabetik temasuk neuropati, penyakit pembuluh darah
(vaskulopati), tekanan dan deformitas pada kaki. Ada banyak faktor yang
berpengaruh dalam terjadinya kaki diabetik. Secara umum faktor-faktor
tersebut dibagi menjadi (Hidayat & Nurhayati, 2014):
1) Faktor Predisposisi
a. Faktor yang mempengaruhi daya tahan jaringan terhadap trauma
seperti     kelainan makrovaskuler dan mikrovaskuler, jenis
kelamin, merokok, dan neuropati otonom.
b. Faktor yang meningkatkan kemungkinan terkena trauma seperti
neuropati motorik, neuropati sensorik, limited joint mobility, dan
komplikasi DM yang lain (seperti mata kabur).
c. Neuropati sensorik pada kaki bisa menyebabkan terjadinya
trauma yang tidak disadari. Neuropati motorik juga menyebabkan
otot intrinsik lemah ntuk menampung berat badan seseorang dan
seterusnya terjadilah trauma.

15
2) Faktor Presipitasi
a. Perlukaan di kulit (jamur).
b. Trauma.
c. Tekanan berkepanjangan pada tumit saat berbaring lama.
3) Faktor Yang Memperlambat Penyembuhan Luka
a. Derajat luka.
b. Perawatan luka.
c. Pengendalian kadar gula darah.

C. Patofisiologi
Kaki diabetik terjadi diawali dengan adanya hiperglikemia yang
menyebabkan gangguan saraf dan gangguan aliran darah (Hidayat &
Norhayati, 2014). Perubahan ini menyebabkan perubahan distribusi
tekanan pada telapak kaki, kerentanan terhadap infeksi meluas sampai ke
jaringan sekitarnya. Faktor aliran darah yang kurang membuat luka sulit
untuk sembuh dan jika terjadi ulkus, infeksi akan mudah sekali terjadi dan
meluas ke jaringan yang lebih dalam bahkan sampai ke tulang.

1) Neuropati Diabetik
Neuropati diabetik adalah komplikasi kronis yang paling
sering ditemukan pada pasien diabetes melitus (Hidayat & Norhayati,
2014). Neuropati diabetik adalah gangguan metabolisme syaraf
sebagai akibat dari hiperglikemia kronis. Angka kejadian neuropati
ini meningkat bersamaan dengan lamanya menderita penyakit
diabetes melitus dan bertambahnya usia penderita.
Tipe neuropati terbagi atas 3 (tiga) yaitu (Hidayat & Nurhayati, 2014):
a. Neuropati sensorik
Kondisi pada neuropati sensorik yang terjadi adalah
kerusakan saraf sensoris pertama kali mengenai serabut akson
yang paling panjang, yang menyebabkan distribusi stocking dan
gloves. Kerusakan pada serabut saraf tipe A akan menyebabkan
kelainan propiseptif, sensasi pada sentuhan ringan, tekanan,

16
vibrasi dan persarafan motorik pada otot. Secara klinis akan
timbul gejala seperti kejang dan kelemahan otot kaki. Serabut
saraf tipe C berperan dalam analisis sensari nyeri dan suhu.
Kerusakan pada saraf ini akan menyebabkan kehilangan sensasi
protektif. Ambang nyeri akan meningkat dan menyebabkan
trauma berulang pada kaki. Neuropati perifer dapat dideteksi
dengan hilangnya sensasi terhadap 10 g nylon monofilament
pada 2-3 tempat pada kaki. Selain dengan 10 g nylon
monofilament, dapat juga menggunakan biothesiometer dan
Tunning Fork untuk mengukur getaran.
b. Neuropati motorik
Neuropati motorik terjadi karena demyelinisasi serabut
saraf dan kerusakan motor end plate. Serabut saraf motorik
bagian distal yang paling sering terkena dan menimbulkan atropi
dan otot-otot intrinsik kaki. Atropi dari otot intraosseus
menyebabkan kolaps dari arcus kaki. Metatarsal-phalangeal joint
kehilangan stabilitas saat melangkah. Hal ini menyebabkan
gangguan distribusi tekanan kaki saat melangkah dan dapat
menyebabkan kallus pada bagian-bagian kaki dengan tekanan
terbesar. Jaringan di bawah kalus akan mengalami iskemia dan
nekrosis yang selanjutnya akan menyebabkan ulkus. Neuropati
motorik menyebabkan kelainan anatomi kaki berupa claw toe,
hammer toe, dan lesi pada nervus peroneus lateral yang
menyebabkan foot drop. Neuropati motorik ini dapat diukur
dengan menggunakan pressure mat atau platform untuk
mengukur tekanan pada plantar kaki.
c. Neuropati otonom
Neuropati otonom menyebabkan keringat berkurang
sehingga kaki menjadi kering. Kaki yang kering sangat berisiko
untuk pecah dan terbentuk fisura pada kalus. Neuropati otonom
juga menyebabkan gangguan pada saraf-saraf yang mengontrol

17
distribusi arteri-vena sehingga menimbulkan arteriolar-venular
shunting. Hal ini menyebabkan distribusi darah ke kaki menurun
sehingga terjadi iskemi pada kaki, keadaan ini mudah dikenali
dengan terlihatnya distensi vena-vena pada kaki.
2) Kelainan Vaskuler
Penyakit Arteri Perifer (PAP) adalah salah satu komplikasi
makrovaskular dari diabetes melitus. Penyakit arteri perifer ini
disebabkan karena dinding arteri banyak menumpuk plaque yang
terdiri dari deposit platelet, sel-sel otot polos, lemak, kolesterol dan
kalsium. PAP pada penderita diabetes berbeda dari yang bukan
diabetes melitus. PAP pada pasien diabetes melitus terjadi lebih dini
dan cepat mengalami perburukan. Pembuluh darah yang sering
terkena adalah arteri tibialis dan arteri peroneus serta
percabangannya. Risiko untuk terjadinya kelainan vaskuler pada
penderita diabetes adalah usia, lama menderita diabetes, genetik,
merokok, hipertensi, dislipidemia, hiperglikemia, obesitas. Pasien
diabetes melitus yang mengalami penyempitan pembuluh darah
biasanya ada gejala, tetapi kadang juga tanpa gejala, sebagian lain
dengan gejala iskemik, yaitu:
a. Intermitten Caudication
Nyeri dan kram pada betis yang timbul saat berjalan dan
hilang saat berhenti berjalan, tanpa harus duduk. Gejala ini
muncul jika Ankle-Brachial Index < 0,75.
Kaki terasa dingin
b. Nyeri
Terjadi karena iskemi dari serabut saraf, diperberat dengan
panas, aktivitas, dan elevasi tungkai dan berkurang dengan berdiri
ata u kaki menggantung.
c. Nyeri iskemia nokturnal
Terjadi malam hari karena perfusi ke tungkai bawah
berkurang sehingga terjadi neuritis iskemik.

18
d. Pulsasi arteri tidak teraba
e. Pengisian vena yang terlambat setelah elevasi tungkai dan
Capillary Refilling Time (CRT) yang memanjang
f. Rambut di kaki dan ibu jari yang mulai menghilang
g. Kuku menebal, rapuh, sering dengan infeksi jamur
Untuk memastikan adanya iskemia pada kaki diabetik perlu
dilakukan beberapa pemeriksaan lanjutan, terutama jika diperlukan
rekonstruksi vaskuler. Pemeriksaan penunjang lanjutan yang non
invasif antara lain:
a. Palpasi denyut nadi perifer
Apabila denyut kaki bisa di palpasi, maka PAP tidak ada.
Jika denyut dorsalis pedis dan tibial posterial tidak teraba maka
dibutuhkan pemeriksaan yang lebih lanjut.
b. Doppler flowmeter
Dapat mengukur derajat stenosis secara kualitatif dan
semi kuantitatif melalui analisis gelombang doppler. Frekuensi
sistolik doppler distal dari arteri yang mengalami oklusi menjadi
rendah dan gelombangnya menjadi monofasik.
c. Ankle Brachial Index (ABI)
Tekanan diukur di beberapa tempat di ekstremitas
menggunakan manset pneumatik dan flow sensor, biasanya
doppler ultrasound sensor. Tekanan sistolik akan meningkat dari
sentral ke perifer dan sebaliknya tekanan diastolik akan turun.
Karena itu, tekanan sistolik pada pergelangan kaki lebih tinggi
dibanding Brachium. Jika terjadi penyumbatan, tekanan sistolik
akan turun walaupun penyumbatan masih minimal. Rasio antara
tekanan sistolik di pergelangan kaki dengan tekanan sistolik di
arteri brachialis (Ankle Brachial Index) merupakan indikator
sensitif untuk menentukan adanya penyumbatan atau tidak.
d. Transcutaneous Oxymetri (TcPO2)
Berhubungan dengan saturasi O2 kapiler dan aliran darah

19
ke jaringan. TcPO2 pada arteri yang mengalami oklusi sangat
rendah. Pengukuran ini sering digunakan untuk mengukur
kesembuhan ulkus maupun luka amputasi.
e. Magnetic Resonance Angiography (MRA)
Merupakan teknik yang baru, menggunakan magnetic
resonance, lebih sensitif dibanding angiografi standar.
Arteriografi dengan kontras adalah pemeriksaan yang invasif,
merupakan standar baku emas sebelum rekonstruksi arteri.
Namun, pasien- pasien diabetes memiliki risiko yang tinggi
untuk terjadinya gagal ginjal akut akibat kontras meskipun kadar
kreatinin normal.
3) Infeksi

Infeksi dapat dibagi menjadi tiga yaitu superfisial dan lokal,


selulitis dan osteomyelitis. Infeksi akut pada penderita yang belum
mendapatkan antibiotik biasanya monomikrobial sedangkan pasien
dengan ulkus kronis, gangrene dan osteomyelitis bersifat
polimikrobial. Kuman yang paling sering dijumpai pada infeksi ringan
adalah Staphylococcus aereus dan streptococcal serta isolation of
Methycillin-resstant Staphyalococcus aereus (MRSA). Jika penderita
sudah mendapat antibiotik sebelumnya atau pada ulkus kronis,
biasanya dijumpai juga bakteri batang gram negatif
(Enterobactericeae, enterococcus, dan pseudomonas aeruginosa).

20
Gambar 3. Pathway Diabetic Foot (Soegondo, 2011)

D. Manifestasi klinis
Kaki diabetik adalah kelainan pada tungkai bawah yang merupakan
komplikasi kronik diabetes mellitus. Suatu penyakit pada penderita
diabetes bagian kaki, dengan gejala dan tanda sebagai berikut (ADA,
2011):

1) Sering kesemutan/gringgingan (asmiptomatus).

21
2) Jarak tampak menjadi lebih pendek (klaudilasio intermil).
3) Nyeri saat istirahat.
4) Kerusakan jaringan (necrosis, ulkus).
Gambaran klinis dibedakan: neuropatik dan iskemik.
1) Gambara neuropatik
a. Gangguan sensorik
b. Perubahan trofik kulit
c. Ulkus plantar
d. Atropati degeneratif (sendi charcot)
e. Pulsasi sering teraba
f. Sepsis (bakteri/jamur)
2) Gambaran iskemik
a. Nyeri saat istirahat
b. Ulkus yang nyeri disekitar daerah yang tertekan
c. Riwayat klaudikasio intermiten
d. Pulsasi tidak teraba
e. Sepsis ( bakteri/jamur)

E. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan untuk menegakkan
diagnosis secara pasti adalah dengan melakukan pemeriksaan lengkap
yakni pemeriksaan CBC (Complete BloodCount), pemeriksaan gula darah,
fungsi ginjal, fungsi hepar, elektrolit. Untuk menentukan patensi vaskuler
dapat digunakan beberapa pemeriksaan non invasif seperti; (ankle brachial
index/ ABI) yang sudah dijelaskan pada pemeriksaan fisik. Pemeriksaan
lainnya ialah transcutaneous oxygen tension (TcP02), USG color Doppler
atau menggunakan pemeriksaan invasif seperti; digital subtraction
angiography (DSA), magnetic resonance angiography (MRA) atau
computed tomography angoigraphy (CTA).
Apabila diagnosis adanya penyakit obstruksi vaskuler perifer masih
diragukan, atau apabila direncanakan akan dilakukan tindakan

22
revaskularisasi maka pemeriksaan digital subtraction angiography, CTA
atau MRA perlu dikerjakan. Gold standard untuk diagnosis dan evaluasi
obstruksi vaskuler perifer adalah DSA. Pemeriksaan DSA perlu dilakukan
bila intervensi endovascular menjadi pilihan terapi. Pemeriksaan foto polos
radiologis pada pedis juga penting untuk mengetahui ada tidaknya
komplikasi osteomielitis. Pada foto tampak gambaran destruksi tulang dan
osteolitik

F. Penatalaksanaan
Manajemen kaki diabetik dilakukan secara komprehensif melalui
upaya; mengatasi penyakit (commorbidity), menghilangkan/mengurangi
tekanan beban (offloading), menjaga luka agar selalu lembab (moist),
penanganan infeksi, debridemen, revaskularisasi dan tindakan bedah
elektif, profilaktik, kuratif atau emergensi. Penyakit diabetes melitus
melibatkan sistem multi organ yang akan mempengaruhi penyembuhan
luka. Hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia, gangguan kardiovaskular
(stroke, penyakit jantung koroner), gangguan fungsi ginjal, dan lainnya
harus dikendalikan.
1) Debridemen
Tindakan debridemen merupakan salah satu terapi penting pada
kasus kaki diabetika. Debridemen dapat didefinisikan sebagai upaya
pembersihkan benda asing dan jaringan nekrotik pada luka. Luka tidak
akan sembuh apabila masih didapatkan jaringan nekrotik, debris, kalus,
fistula/rongga yang memungkinkan kuman berkembang. Setelah
dilakukan debridemen luka harus diirigasi dengan larutan garam
fisiologis atau pembersih lain dan dilakukan dressing (kompres). Ada
beberapa pilihan dalam tindakan debridemen, yaitu debridemen
mekanik, enzimatik, autolitik, biologik, dan debridement bedah.
Debridemen mekanik dilakukan menggunakan irigasi luka cairan
fisiolofis, ultrasonic laser, dan sebagainya, dalam rangka untuk
membersihkan jaringan nekrotik. Debridemen secara enzimatik

23
dilakukan dengan pemberian enzim eksogen secara topikal pada
permukaan lesi. Enzim tersebut akan menghancurkan residu-residu
protein. Contohnya, kolagenasi akan melisikan kolagen dan elastin.
Beberapa jenis debridement yang sering dipakai adalah papin, DNAse
dan fibrinolisin. Debridemen autolitik terjadi secara alami apabila
seseorang terkena luka. Proses ini melibatkan makrofag dan enzim
proteolitik endogen yang secara alami akan melisiskan jaringan
nekrotik. Secara sintetis preparat hidrogel dan hydrocolloid dapat
menciptakan kondisi lingkungan yang optimal bagi fagosit tubuh dan
bertindak sebagai agent yang melisiskan jaringan nekrotik serta
memacu proses granulasi. Belatung (Lucilla serricata) yang disterilkan
sering digunakan untuk debridemen biologi. Belatung menghasilkan
enzim yang dapat menghancurkan jaringan nekrotik. Debridemen
bedah merupakan jenis debridemen yang paling cepat dan efisien.
Tujuan debridemen bedah adalah untuk:

a. Mengevakuasi bakteri kontaminasi,


b. Mengangkat jaringan nekrotik sehingga dapat mempercepat
penyembuhan,
c. Menghilangkan jaringan kalus,
d. Mengurangi risiko infeksi local
2) Mengurangi Beban Tekan (Off Loading)
Pada saat seseorang berjalan maka kaki mendapatkan beban yang
besar. Pada penderita diabetes melitus yang mengalami neuropati
permukaan plantar kaki mudah mengalami luka atau luka menjadi sulit
sembuh akibat tekanan beban tubuh maupun iritasi kronis sepatu yang
digunakan. Salah satu hal yang sangat penting namun sampai kini
tidak mendapatkan perhatian dalam perawatan kaki diabetik adalah
mengurangi atau menghilangkan beban pada kaki (off loading). Upaya
off loading berdasarkan penelitian terbukti dapat mempercepat
kesembuhan ulkus. Metode off loading yang sering digunakan adalah:
mengurangi kecepatan saat berjalan kaki, istirahat (bed rest), kursi

24
roda, alas kaki, removable cast walker, total contact cast, walker,
sepatu boot ambulatory. Total contact cast merupakan metode off
loading yang paling efektif dibandingkan metode yang lain.
Berdasarkan penelitian bahwa dapat mengurangi tekanan pada luka
secara signifikan dan memberikian kesembuhan antara 73%-100%.
TCC dirancang mengikuti bentuk kaki dan tungkai, dan dirancang
agar tekanan plantar kaki terdistribusi secara merata. Telapak kaki
bagian tengah diganjal dengan karet sehingga memberikan permukaan
rata dengan telapak kaki sisi depan dan belakang (tumit).
3) Perawatan Luka
Perawatan luka moderen menekankan metode moist wound
healing atau menjaga agar luka dalam keadaan lembab. Luka akan
menjadi cepat sembuh apabila eksudat dapat dikontrol, menjaga agar
luka dalam keadaan lembab, luka tidak lengket dengan bahan
kompres, terhindar dari infeksi dan permeabel terhadap gas. Tindakan
dressing merupakan salah satu komponen penting dalam mempercepat
penyembuhan lesi. Prinsip dressing adalah bagaimana menciptakan
suasana dalam keadaan lembab sehingga dapat meminimalisasi trauma
dan risiko operasi. Ada beberapa faktor yang harus dipertimbangkan
dalam memilih dressing yang akan digunakan, yaitu tipe ulkus, ada
atau tidaknya eksudat, ada tidaknya infeksi, kondisi kulit sekitar dan
biaya. Ada beberapa jenis dressing yang sering dipakai dalam
perawatan luka, seperti:
hydrocolloid, hydrogel, calcium alginate, foam, kompres anti mikroba,
dan sebagainya.
a. Kompres harus mampu memberikan lingkungan luka yang lembab
b. Gunakan penilaian klinis dalam memilih kompres untuk luka luka
tertentu yang akan diobati
c. Kompres yang digunakan mampu untuk menjaga tepi luka tetap
kering selama sambil tetap mempertahankan luka bersifat lembab
d. Kompres yang dipilih dapat mengendalikan eksudat dan tidak

25
menyebabkan maserasi pada luka
e. Kompres yang dipilih bersifat mudah digunakan dan yang bersifat
tidak sering diganti
f. Dalam menggunakan dressing, kompres dapat menjangkau rongga
luka sehingga dapat meminimalisasi invasi bakteri Semua kompres
yang digunakan harus dipantau secara tepat
4) Pengendalian Infeksi
Pemberian antibitoka didasarkan pada hasil kultur kuman. Namun
sebelum hasil kultur dan sensitifitas kuman tersedia antibiotika harus
segera diberikan secara empiris pada kaki diabetik yang terinfeksi. Pada
kaki diabetika ringan/sedang antibiotika yang diberikan di fokuskan
pada patogen gram positif. Pada ulkus terinfeksi yang berat (limb or life
threatening infection) kuman lebih bersifat polimikrobial (mencakup
bakteri gram positif berbentuk coccus, gram negatif berbentuk batang,
dan bakteri anaerob) antibiotika harus bersifat broadspectrum, diberikan
secara injeksi. Pada infeksi berat yang bersifat limb threatening
infection dapat diberikan beberapa alternatif antibiotika seperti:
ampicillin/sulbactam, ticarcillin/clavulanate, piperacillin/tazobactam,
Cefotaxime atau ceftazidime+clindamycin, fluoroquinolone +
clindamycin. Sementara pada infeksi berat yang bersifat life threatening
infection dapat diberikan beberapa alternatif antibiotika seperti berikut:
ampicillin/sulbactam + aztreonam, piperacillin/tazobactam +
vancomycin, vancomycin + metronbidazole + ceftazidime,
imipenem/cilastatin atau fluoroquinolone + vancomycin +
metronidazole. Pada infeksi berat pemberian antibitoika diberikan
selama 2 minggu atau lebih. Bila ulkus disertai osteomielitis
penyembuhannya menjadi lebih lama dan sering kambuh. Maka
pengobatan osteomielitis di samping pemberian antibiotika juga harus
dilakukan reseksi bedah. Antibiotika diberikan secara empiris, melalui
parenteral selama 6 minggu dan kemudain dievaluasi kembali melalui
foto radiologi. Apabila jaringan nekrotik tulang telah direseksi sampai

26
bersih pemberian antibiotika dapat dipersingkat, biasanya memerlukan
waktu 2 minggu.
5) Revaskularisasi
Ulkus atau gangren kaki tidak akan sembuh atau bahkan
kemudian hari akan menyerang tempat lain apabila penyempitan
pembuluh darah kaki tidak dilakukan revaskularisasi. Tindakan
debridemen, mengurangi beban, perawatan luka, tidak akan
memberikan hasil optimal apabila sumbatan di pembuluh darah tidak
dihilangkan. Tindakan endovaskular (Angioplasti Transluminal
Perkutaneus (ATP) dan atherectomy) atau tindakan bedah vaskular
dipilih berdasarkan jumlah dan panjang arteri femoralis yang
tersumbat. Bila oklusi terjadi di arteri femoralis satu sisi dengan
panjang atherosklerosis <15 cm tanpa melibatkan arteri politea, maka
tindakan yang dipilih adalah ATP. Namun lesi oklusi bersifat multipel
dan mengenai arteri poplitea/arteri tibialis maka tindakan yang
direkomendasikan adalah bedah vaskular (by pass). Berdasarkan
penelitian revaskularisasi agresif pada tungkai yang mengalami
iskemia dapat menghindakan amputasi dalam periode 3 tahun sebesar
98%.
6) Tindakan Bedah
Jenis tindakan bedah pada kaki diabetika tergantung dari berat
ringannya ulkus diabetes melitus. Tindakan bedah dapat berupa insisi
dan drainage, debridemen, amputasi, bedah revaskularisasi, bedah
plastik atau bedah profilaktik. Intervensi bedah pada kaki diabetika
dapat digolongkan menjadi empat kelas I (elektif), kelas II
(profilaktif), kelas III (kuratif) dan kelas IV (emergency). Tindakan
elektif ditujukan untuk menghilangkan nyeri akibat deformitas,
seperti pada kelainan spur tulang, hammer toes atau bunions. Tindakan
bedah profilaktif diindikasikan untuk mencegah terjadinya ulkus atau
ulkus berulang pada pasien yang mengalami neuropati. Prosedur
rekonsktuksi yang dilakukan adalah melakukan koreksi deformitas

27
sendi, tulang atau tendon. Tindakan bedah kuratif diindikasikan bila
ulkus tidak sembuh dengan perawatan konservatif. Contoh tindakan
bedah kuratif adalah bila tindakan endovaskular (angioplasti dengan
menggunakan balon atau atherektomi) tidak berhasil maka perlu
dilakukan bedah vaskular. Osteomielitis kronis merupakan indikasi
bedah kuratif. Pada keadaan ini jaringan tulang mati dan jaringan
granulasi yang terinfeksi harus diangkat, sinus dan rongga mati harus
dihilangkan. Prosedur bedah ditujukan untuk menghilangkan
penekanan kronis yang mengganggu proses penyembuhan. Tindakan
tersebut dapat berupa exostectomy, artroplasti digital, sesamodectomy
atau reseksi caput metatarsal. Tindakan bedah emergensi paling sering
dilakukan, yang diindikasikan untuk menghambat atau menghentikan
proses infeksi. Tindakan bedah emergensi dapat berupa amputasi atau
debridemen jaringan nekrotik. Dari sudut pandang seorang ahli bedah,
tindakan pembedahan ulkus terinfeksi dapat dibagi menjadi infeksi
yang tidak mengancam tungkai (grade 1 dan 2) dan infeksi yang
mengancam tungkai (grade 3 dan 4).
Pada ulkus terinfeksi superfisial tindakan debridement dilakukan
dengan tujuan untuk: drainage pus, mengangkat jaringan nekrotik,
membersihkan jaringan yang menghambat pertumbuhan jaringan,
menilai luasnya lesi dan untuk mengambil sampel kultur kuman.
Tindakan amputasi dilakukan bila dijumpai adanya gas gangren,
jaringan terinfeksi, untuk menghentikan perluasan infeksi,
mengangkat bagian kaki yang mengalami ulkus berulang.

G. Pengkajian fokus keperawatan


1) Pengkajian
Pengkajian merupakan langkah utama dan dasar utama dari proses
keperawatan yang mempunyai dua kegiatan pokok, yaitu:

a. Pengumpulan data
(1) Identitas penderita

28
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan,
pekerjaan, alamat, status perkawinan, suku bangsa, nomor
register, tanggal masuk rumah sakit dan diagnosa medis.
(2) Keluhan Utama
Adanya rasa kesemutan pada kaki / tungkai bawah, rasa
raba yang menurun, adanya luka yang tidak sembuh – sembuh
dan berbau, adanya nyeri pada luka.
(3) Riwayat kesehatan sekarang
Berisi tentang kapan terjadinya luka, penyebab terjadinya
luka serta upaya yang telah dilakukan oleh penderita untuk
mengatasinya.
(4) Riwayat kesehatan dahulu
Adanya riwayat penyakit DM atau penyakit – penyakit 
lain yang ada kaitannya dengan defisiensi insulin misalnya
penyakit pankreas.  Adanya riwayat penyakit jantung, obesitas,
maupun arterosklerosis, tindakan medis yang pernah di dapat
maupun obat-obatan yang biasa digunakan oleh penderita.
(5) Riwayat kesehatan keluarga
Dari genogram keluarga biasanya terdapat salah satu
anggota keluarga yang juga menderita DM atau penyakit
keturunan yang dapat menyebabkan terjadinya defisiensi
insulin misal hipertensi, jantung.
(6) Riwayat psikososial
Meliputi informasi mengenai prilaku, perasaan dan
emosi yang dialami penderita sehubungan dengan penyakitnya
serta tanggapan keluarga terhadap penyakit penderita.

b. Pemeriksaan fisik
Status kesehatan umum:Meliputi keadaan penderita, kesadaran,
suara bicara, tinggi badan, berat badan dan tanda – tanda vital.

29
(1) Kepala dan leher
Kaji bentuk kepala, keadaan rambut, adakah pembesaran pada
leher, telinga kadang-kadang berdenging, adakah gangguan
pendengaran, lidah sering terasa tebal, ludah menjadi lebih
kental, gigi mudah goyah, gusi mudah bengkak dan berdarah,
apakah penglihatan kabur / ganda, diplopia, lensa mata keruh.
(2) Sistem integumen
Turgor kulit menurun, adanya luka atau warna kehitaman
bekas luka, kelembaban dan shu kulit di daerah  sekitar ulkus
dan gangren, kemerahan pada kulit sekitar luka, tekstur rambut
dan kuku.
(3) Sistem pernafasan
Adakah sesak nafas, batuk, sputum, nyeri dada. Pada penderita
DM mudah terjadi infeksi.
(4) Sistem kardiovaskuler
Perfusi jaringan menurun, nadi perifer lemah atau   berkurang,
takikardi/bradikardi, hipertensi/hipotensi, aritmia,
kardiomegalis.
(5) Sistem gastrointestinal
Terdapat polifagi, polidipsi, mual, muntah, diare, konstipasi,
dehidrase, perubahan berat badan, peningkatan lingkar
abdomen, obesitas.
(6) Sistem urinary
Poliuri, retensio urine, inkontinensia urine, rasa panas atau
sakit saat berkemih.

(7) Sistem muskuloskeletal

30
Penyebaran lemak, penyebaran masa otot, perubahn tinggi
badan, cepat lelah, lemah dan nyeri, adanya gangren di
ekstrimitas.
(8) Sistem neurologis
Terjadi penurunan sensoris, parasthesia, anastesia, letargi,
mengantuk, reflek lambat, kacau mental, disorientasi.
c. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah :
(1) Pemeriksaan darah
Pemeriksaan darah meliputi : GDS > 200 mg/dl, gula darah
puasa >120 mg/dl dan dua jam post prandial > 200 mg/dl.
(2) Urine
Pemeriksaan didapatkan adanya glukosa dalam urine.
Pemeriksaan dilakukan dengan cara Benedict ( reduksi ). Hasil
dapat dilihat melalui perubahan warna pada urine : hijau ( + ),
kuning ( ++ ), merah ( +++ ), dan merah bata  ( ++++ ).
(3) Kultur pus
Mengetahui jenis kuman pada luka dan memberikan antibiotik
yang sesuai dengan jenis kuman.

d. Diagnosa keperawatan
Adapun diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien gangren
kaki diabetik adalah sebagai berikut :
(1) Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan penurunan
aliran arteri  ke daerah gangren akibat adanya  obstruksi
pembuluh darah.
(2) Gangguan integritas jaringan berhubungan dengan adanya
gangren pada ekstrimitas.
(3) Gangguan rasa nyaman ( nyeri ) berhubungan dengan iskemik
jaringan.

31
(4) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan rasa nyeri pada
luka.
(5) Defisit nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan intake makanan yang kurang.
(6) Gangguan Citra tubuh berhubungan dengan perubahan bentuk
salah satu anggota tubuh.
(7) Ganguan pola tidur berhubungan dengan rasa nyeri pada luka
di kaki.

e. Tujuan keperawatan

No Diagnosa Tujuan Keperawatan


. Keperawatan
1. Perfusi perifer Tujuan: Mempertahankan sirkulasi  perifer tetap normal.
tidak efektif b/d Setelah dilakukan intervensi selama x24 jam, maka Perfusi
penurunan aliran Perifer Meningkat, dengan Kriteria Hasil:
arteri  ke daerah 1. Denyut nadi perifer teraba kuat dan regular
gangren akibat 2. Warna kulit sekitar luka tidak pucat/sianosis.
adanya  3. Kulit sekitar luka teraba hangat.
obstruksi 4. Oedema tidak terjadi dan luka tidak bertambah parah.
pembuluh darah. 5. Sensorik dan motorik membaik
2. Gangguan Tujuan: Tercapainya proses penyembuhan luka.
integritas Setelah dilakukan intervensi selama x24 jam, maka
jaringan Integritas Kulit dan Jaringan Meningkat, dengan
berhubungan Kriteria Hasil:
dengan adanya 1. Berkurangnya oedema sekitar luka.
gangren pada 2. pus dan jaringan berkurang
ekstrimitas. 3. Adanya jaringan granulasi.
4. Bau busuk luka berkurang.
3. Gangguan rasa Tujuan: Rasa nyeri hilang/berkurang
nyaman ( nyeri ) Setelah dilakukan intervensi selama 1x24 jam, maka Status
berhubungan Kenyamanan Meningkat, dengan Kriteria Hasil:
dengan iskemik 1. Penderita secara verbal mengatakan nyeri
jaringan. berkurang/hilang .
2. Pergerakan penderita bertambah luas.
3. Tidak ada keringat dingin, tanda vital dalam batas
normal.( S : 36 – 37,5 0C, N: 60 – 80 x /menit, T : 100 –

32
130 mmHg, RR : 18 – 20 x /menit ).

4. Gangguan Tujuan: Pasien dapat mencapai tingkat kemampuan


mobilitas fisik aktivitas yang optimal.
berhubungan Setelah dilakukan intervensi selama x24 jam, maka
dengan rasa Mobilitas Fisik Meningkat, dengan Kriteria Hasil:
nyeri pada luka. 1. Pergerakan paien bertambah luas
2. Pasien dapat melaksanakan aktivitas sesuai dengan
kemampuan (duduk, berdiri, berjalan).
3. Rasa nyeri berkurang.
4. Pasien dapat memenuhi kebutuhan sendiri secara
bertahap sesuai dengan kemampuan.
5. Defisit nutrisi Tujuan: Kebutuhan nutrisi dapat terpenuhi
kurang dari Setelah dilakukan intervensi selama 1x24 jam, maka Status
kebutuhan tubuh Nutrisi Membaik, dengan Kriteria Hasil:
berhubungan 1. Berat badan dan tinggi badan ideal.
dengan intake 2. Pasien mematuhi dietnya.
makanan yang 3. Kadar gula darah dalam batas normal.
kurang. 4. Tidak ada tanda-tanda hiperglikemia/hipoglikemia.

6. Gangguan Citra Tujuan : Pasien dapat menerima perubahan bentuk salah


tubuh satu anggota tubuhnya secar positif.
berhubungan Setelah dilakukan intervensi selama x24 jam, maka Citra
dengan tubuh Meningkat, dengan Kriteria Hasil :
perubahan Pasien mau berinteraksi dan beradaptasi dengan lingkungan.
bentuk salah satu Tanpa rasa malu dan rendah diri. Pasien yakin akan
anggota tubuh. kemampuan yang dimiliki.
7. Ganguan pola Tujuan : gangguan pola tidur pasien akan teratasi.
tidur Setelah dilakukan intervensi selama 1x24 jam, Maka Pola
berhubungan Tidur Membaik, dengan kriteria hasil :
dengan rasa 1. Pasien mudah tidur dalam waktu 30 – 40 menit.
nyeri pada luka 2. Pasien tenang dan wajah segar.
di kaki. 3. Pasien mengungkapkan dapat beristirahat dengan
cukup.

f. Rencana tindakan keperawatan

No. Nomor Diagnosa Keperawatan Rencana Keperawatan

33
1. I 1. Observasi denyut Nadi Perifer
2. Observasi warna kulit sekitar luka
3. Observasi kehangatan kulit sekitar
luka
4. Ajarkan pasien untuk melakukan
mobilisasi

5. Ajarkan tentang faktor-faktor yang


dapat meningkatkan aliran darah  :
Tinggikan kaki sedikit lebih
rendah  dari jantung  ( posisi
elevasi pada waktu istirahat ),
hindari penyilangkan kaki, hindari
balutan ketat, hindari penggunaan
bantal, di belakang lutut dan
sebagainya.
6. Ajarkan tentang modifikasi faktor-
faktor resiko berupa : Hindari diet
tinggi kolestrol, teknik relaksasi,
menghentikan kebiasaan merokok,
dan penggunaan obat
vasokontriksi.
7. kolaborasi dengan tim kesehatan
lain dalam pemberian vasodilator,
pemeriksaan gula darah secara
rutin dan terapi oksigen ( HBO ).
2. II 1. Kaji luas dan keadaan luka serta
proses penyembuhan.
2. Rawat luka dengan baik dan benar  :
membersihkan luka secara abseptik
menggunakan larutan yang tidak
iritatif, angkat sisa balutan yang
menempel pada luka dan nekrotomi
jaringan yang mati.
3. Ajarkan pola perilaku kebersihan
4. Kolaborasi dengan dokter untuk
pemberian insulin, pemeriksaan 
kultur pus  pemeriksaan gula darah

34
pemberian anti biotik.
Rasional : insulin akan menurunkan
kadar gula darah, pemeriksaan kultur
pus untuk mengetahui jenis kuman
dan anti biotik yang tepat untuk
pengobatan, pemeriksaan kadar gula
darahuntuk mengetahui
perkembangan penyakit.
3. III 1. Kaji tingkat, frekuensi, dan reaksi
nyeri yang dialami pasien.
Rasional : untuk mengetahui berapa
berat nyeri yang dialami pasien.
2. Ciptakan lingkungan yang tenang.
3. Atur posisi pasien senyaman
mungkin sesuai keinginan pasien.
4. Lakukan massage dan kompres luka
dengan BWC saat rawat luka.
5. Ajarkan teknik distraksi dan relaksasi
6. Jelaskan pada pasien tentang sebab-
sebab timbulnya nyeri.
7. Kolaborasi dengan dokter untuk
pemberian analgesik.

4. IV 1. Kaji dan identifikasi tingkat kekuatan


otot pada kaki pasien.
2. Beri penjelasan tentang pentingnya
melakukan aktivitas untuk menjaga
kadar gula darah dalam keadaan
normal.
3. Anjurkan pasien untuk
menggerakkan/mengangkat
ekstrimitas bawah sesui kemampuan..
4. Bantu pasien dalam memenuhi
kebutuhannya.
5. Kerja sama dengan tim kesehatan
lain : dokter ( pemberian analgesik )
dan tenaga fisioterapi.
5. V 1. Kaji status nutrisi dan kebiasaan

35
makan.
2. Anjurkan pasien untuk mematuhi
diet yang telah diprogramkan.
3. Timbang berat badan setiap
seminggu sekali.
4. Identifikasi perubahan pola makan.
5. Kerja sama dengan tim kesehatan
lain untuk pemberian insulin dan diet
diabetik.
6. VI 1. Kaji perasaan/persepsi pasien
tentang perubahan gambaran diri
berhubungan dengan keadaan
anggota tubuhnya yang kurang
berfungsi secara normal.
2. Lakukan pendekatan dan bina
hubungan saling percaya dengan
pasien.
3. Tunjukkan rasa empati, perhatian
dan penerimaan pada pasien.
4. Bantu pasien untuk mengadakan
hubungan dengan orang lain.
5. Beri kesempatan kepada pasien
untuk mengekspresikan perasaan
kehilangan.
6. Beri dorongan pasien untuk
berpartisipasi dalam perawatan diri
dan hargai pemecahan masalah yang
konstruktif dari pasien.
7. VII 1. Ciptakan lingkungan yang nyaman
dan tenang.
2. Kaji tentang kebiasaan tidur pasien
di rumah.
3. Kaji adanya faktor penyebab
gangguan pola tidur yang lain seperti
cemas, efek obat-obatan dan suasana
ramai.
4. Anjurkan pasien untuk
menggunakan pengantar tidur dan

36
teknik  relaksasi.
5. Kaji tanda-tanda kurangnya 
pemenuhan kebutuhan tidur pasien.

37
Daftar Pustaka

ADA. 2011. Standards of Medical Care for Patients With Diabetes Mellitus.
Diabetes Care 25.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI.
2013. Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta : Laporan Nasional.
Fatimah, R. N. (2015). DIABETES MELITUS TIPE 2. J MAJORIT, 93-101.
Handayani, S. (2020). UPAYA PENINGKATAN MOTIVASI KERJA PADA
PERUSAHAAN JASA KONTRUKSIMELALUI PENDEKATAN TEORI
KEBUTUHAN MASLOW. JBTI, 44-53.
Hidayat, A., & Nurhayati, I. (2014). PERAWATAN KAKIPADA PENDERITA
DIABETES MILITUS DI RUMAH. Jurnal Permata Indonesia, 49-54.
Iskandar. (2016). IMPLEMENTASI TEORI HIRARKI
KEBUTUHANABRAHAM MASLOW TERHADAPPENINGKATAN
KINERJA PUSTAKAWAN. KHIZANAH AL-HIKMAH, 24-34.
Kristianto, Heri. 2014. Pemeriksaan Fisik dan Diagnostik Sistem Endokrin.
Materi Kuliah. Malang
PERKENI. 2011. Konsensus Pengendalian dan Pencegahan Diabetes Mellitus
Tipe2 di Indonesia 2011
PPNI. 2017. Standar Diagnois Keperawatan Indonesia (Cetakan III). Jakarta:
DPP PPNI.
PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (Cetakan II). Jakarta:
DPP PPNI.
PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia (Cetakan II). Jakarta: DPP
PPNI.
Smeltzer& Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah, Edisi 8. Penerbit
Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Soegondo, S, dkk. 2011. Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu. Balai
Penerbit FKUI, Jakarta
Syaifuddin. 2016. Anatomi Fisiologi. Jakarta: Penerbit buku Kedokteran EGC.

Anda mungkin juga menyukai