Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

AQIDAH DAN SYARIAH

Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Al-Islamiyah kemuhammadiyahan

Disusun oleh :
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang, puji syukur
kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-
Nya sehingga kami dapat merampungkan penyusunan makalah ini tepat pada waktunya.
Penyusun makalah semaksimal mungkin kami upayakan dan di dukung bantuan berbagai
pihak, sehingga dapat memperlancar dalam penyusunannya. Untuk itu tidak lupa kami
menucapkan terimah kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam
merampung makalah ini.
Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat
kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa dan aspek lainnya. Oleh karena itu, dengan
lapang dada kami membuka selebar-lebarnya pintu bagi para pembaca yang ingin memberi
saran maupun kritik demi memperbaiki makalah ini.
Akhirnya penyusun sangat mengharapkan semoga dari makalah sederhana ini dapat
diambil manfaatnya dan besar keinginan kami dapat menginspirasi para pembaca untuk
mengangkat permasalahan yang relevan pada makalah- makalah selanjutnya.

Gowa, 13 Oktober 2020

Penyusun
DAFTAR ISI
BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Aqidah dan Syariah


1. Aqidah
Pengertian Aqidah Secara Bahasa   (bahasa Arab) aqidah berasal dari kata al-'aqdu (
ْ
‫ )ال َع ْق ُد‬yang berarti ikatan, at-tautsiiqu (ُ‫ )التَّوْ ثِ ْيق‬yang berarti kepercayaan atau keyakinan
yang kuat, al-ihkaamu (‫)ا ِإلحْ َكا ُم‬ ْ yang artinya mengokohkan (menetapkan), dan ar-rabthu
biquw-wah (‫ َّو ٍة‬Eُ‫ )ال َّر ْبطُبِق‬yang berarti mengikat dengan kuat, at-tamaasuk (pengokohan)
dan al-itsbaatu (penetapan). Di antaranya juga mempunyai arti al-yaqiin (keyakinan)
dan al-jazmu (penetapan). "Al-‘Aqdu" (ikatan) lawan kata dari al-hallu (penguraian,
pelepasan). Dan kata tersebut diambil dari kata kerja: " ‘Aqadahu" "Ya'qiduhu"
(mengikatnya), " ‘Aqdan" (ikatan sumpah), dan " ‘Uqdatun Nikah’. Allah ta’ala
berfirman:

‫ط ِع ُمونَأ َ ْهلِي ُك ْمأَوْ ِكس َْوتُهُ ْم‬ ْ ُ‫ط َعا ُم َع َش َر ِة َم َسا ِكينَ ِم ْنأَوْ َس ِط َمات‬ ْ ِ ‫الَيُ َؤا ِخ ُذ ُك ُماللّهُبِاللَّ ْغ ِوفِيأ َ ْي َمانِ ُك ْم َولَـ ِكنيُ َؤا ِخ ُذ ُكمبِ َما َعقَّدتُّ ُماألَ ْي َمانَفَ َكفَّا َرتُهُإ‬
‫واأَ ْي َمانَ ُك ْم َك َذلِ َكيُبَيِّنُاللّهُلَ ُك ْم‬
ْ ُ‫صيَا ُمثَالَثَ ِةأَيَّا ٍم َذلِ َك َكفَّا َرةُأَ ْي َمانِ ُك ْمإ ِ َذا َحلَ ْفتُ ْم َواحْ فَظ‬
ِ َ‫أَوْ تَحْ ِري ُر َرقَبَ ٍةفَ َمنلَّ ْميَ ِج ْدف‬
َ‫آيَاتِ ِهلَ َعلَّ ُك ْمتَ ْش ُكرُون‬

Artinya: “ Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak


dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-
sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi
makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada
keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak.
Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama
tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah
(dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan
kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya)”  (Al-Maa-idah :
89).
Sedang secara teknis aqidah berarti iman, kepercayaan dan keyakinan. Dan
tumbuhnya kepercayaan tentunya di dalam hati, sehingga yang dimaksud aqidah adalah
kepercayaan yang menghujan atau tersimpul di dalam hati.  Sedangkan menurut istilah
aqidah adalah hal-hal yang wajib dibenarkan oleh hati dan jiwa merasa tentram
kepadanya, sehingga menjadi keyakinan kukuh yang tidak tercampur oleh keraguan.
Adapun aqidah menurut para ahli seperti berikut :
a. M Hasbi Ash Shiddiqi mengatakan aqidah menurut ketentuan bahasa (bahasa arab)
ialah sesuatu yang dipegang teguh dan terhunjam kuat di dalam lubuk jiwa dan tak
dapat beralih dari padanya.
b. Syaikh Mahmoud Syaltout adalah segi teoritis yang dituntut pertama-tama dan
terdahulu dari segala sesuatu untuk dipercayai dengan suatu keimanan yang tidak
boleh dicampuri oleh syakwasangka dan tidak dipengaruhi oleh keragu-raguan.
Aqidah atau keyakinan adalah suatu nilai yang paling asasi dan prinsipil bagi
manusia, sama halnya dengan nilai dirinya sendiri, bahkan melebihinya.
c. Syekh Hasan Al-Bannah menyatakan aqidah sebagai sesuatu yang seharusnya hati
membenarkannya sehingga menjadi ketenangan jiwa, yang menjadikan kepercayaan
bersih dari kebimbangan dan keragu-raguan. 
Dari uraian di atas kita dapat menyimpulkan bahwa Aqidah dalam agama islam adalah
keimanan yang teguh dan bersifat pasti kepada Allah dengan segala pelaksanaan
kewajiban, bertauhid dan taat kepada-Nya, beriman kepada Malaikat-malaikat-
Nya, Rasul-rasul-Nya, Kitab-kitab-Nya, hari Akhir, takdir baik dan buruk dan
mengimani seluruh apa-apa yang telah shahih tentang prinsip-prinsip Agama
(Ushuluddin), perkara-perkara yang ghaib, beriman kepada apa yang
menjadi ijma'(konsensus) dari Salafush Shalih, serta seluruh berita-berita qath'i (pasti),
baik secara ilmiah maupun secara amaliyah yang telah ditetapkan menurut Al-Qur'an
dan As-Sunnah yang shahih serta ijma' Salaf as-Shalih.
2. Syariah
Syariah ialah apa-apa yang disyariatkan atau dimestikan oleh agama atau lainya itu
bagi seseorang untuk dilaksanakan ,berupa peraturan-peraturan dan hukum-hukum
sebagai manifestasi atau konsekuensi dari akidah yang dianut. Demikian arti syariah
secara umum. Apa pula yang dikatakan syariah islam? Syariat islam adalah apa-apa
yang disyariatkan Allah terhadap semua hamba-Nya, berupa sunnah atau peraturan-
peraturan dan hukum-hukum untuk dilaksanakan dan diamalkan debagai perwujudan,
manifestasi dan konsekuensi dari akidah yang dianut,yaitu akidah islam yang
sebenarnya menurut peraturan, tidak sah pemakaian syariah itu kepada yang bukan
peraturan Islam, karena kata syariah itu hanya terdapat dalam islam yang tertera dalam
Al-Quran dan Sunnah Rasul.
Syariah (berarti jalan besar) dalam makna generik adalah keseluruhan ajaran Islam
itu sendiri. Dalam pengertian teknis-ilmiah syariah mencakup aspek hukum dari ajaran
Islam, yang lebih berorientasi pada aspek lahir (esetoris). Namum demikian karena
Islam merupakan ajaran yang tunggal, syariah Islam tidak bisa dilepaskan dari aqidah
sebagai fondasi dan akhlaq yang menjiwai dan tujuan dari syariah itu sendiri.
Syariah memberikan kepastian hukum yang penting bagi  pengembangan diri
manusia dan pembentukan dan pengembangan masyarakat yang berperadaban
(masyarakat madani).

B. Perbedaan Aqidah dan Syariah


1. Aqidah
Aqidah berbicara tentang keyakinan yang dimiliki seseorang. Dengan demikian,
iman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari
akhir, qadha’ dan qadar yang baik dan buruk itu datangnya dari Allah; itulah ‘aqidah
Islamiyyah.
2. Syariah
Sedangkan syari’ah atau hukum syara’ berbicara tentang aturan-aturan hukum
Allah. Dengan kata lain, hukum syara’ adalah pemikiran-pemikiran tentang aktivitas
dari aktivitas-aktivitas manusia atau sifat dari sifat-sifat yang dimiliki manusia yang
bisa dikategorikan sebagai aktivitas. Dengan demikian, maka perniagaan, berdagang,
melakukan riba, sholat, berzakat, dan sebagainya masuk sebagai persoalan hukum
syara’. Demikian pula bersikap adil, bersabar atas musibah, dan sebagainya.
Dari definisi hukum syara’ menurut ‘ulama ushul tersebut dapat diambil kesimpulan
bahwa hukum itu bukan satu macam saja, karena hukum itu adakalanya bersangkutan
dengan perbuatan mukallaf dari segi perintah atau diperintah memilih maupun dari segi
ketetapannya. Sehingga hukum syara’ terbagi menjadi dua bagian, yaitu : Hukum Taklifi
dan Hukum Wadh’i.
1. Hukum Taklifi
Ialah hukum yang menghendaki dilakukannya suatu pekerjaan oleh mukallaf, atau
melarang mengerjakannya, atau melakukan pilihan antara melakukan dan
meninggalkannya. Misalnya hukum yang menghendaki dilakukannya perbuatan oleh
mukallaf sebagaimana firman Allah :
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka.” (Q.S. At-Taubah : 103)
Contoh hukum yang menuntut meninggalkannya, sebagaimana firman Allah :
“Janganlah suatu kaum mengolok-olok kelompok yang lain.” (Q.S. Al-Hujuraat : 11)
Contoh hukum yang memberikan pilihan untuk mengerjakan atau tidak
mengerjakan sebagaimana firman Allah :
“… Dan apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi
…” (Q.S. Al-Jumu’ah : 10)
Hukum seperti ini disebut hukum taklifi karena mengandung tuntutan (taklif)
kepada mukallaf untuk mengerjakan, meninggalkan atau memilih mengerjakan atau
meninggalkannya. Dari sinilah muncul pengertian : Wajib, Sunnat (Nadb), Haram,
Makruh dan Mubah.
2. Hukum Wadh’i
Ialah hukum yang menghendaki meletakkan sesuatu sebagai suatu sebab, syarat
atau penghalang bagi sesuatu yang lain.
Contoh hukum yang menghendaki meletakkan sesuatu sebagai sebab dari yang lain
sebagaimana firman Allah :
“Hai orang-oran yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan sholat, maka
basuhlah mukamu dan tanganmu sampai ke siku-siku.” (Q.S. Al-Maidah : 6)
Contoh hukum yang menghendaki meletakkan sesuatu sebagai syarat dari yang lain
sebagaimana firman Allah :
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang-orang
yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (Q.S. Ali-Imran : 97)
Contoh hukum yang menghendaki meletakkan sesuatu sebagai penghalang dari
yang lain sebagaimana sabda Rasulullah :

"Tidak sedikitpun bagian orang yang membunuh dari harta warisan (yang terbunuh)”.
(HR. Nasa’i dan Daraquthi dari Amrin bin Suaib dari ayahnya dan dari anaknya)
Hadist tersebut menunjukkan bahwa membunuh sebagai penghalang untuk
mendapatkan warisan.

Dari sini kita bisa melihat bahwa ada perbedaan antara ‘aqidah dan syari’ah (hukum
syara’). ‘Aqidah adalah pembenaran secara pasti terhadap sesuatu sesuai dengan fakta
dan dalil yang qath’iy (pasti benar) ; dimana sesuatu tersebut merupakan persoalan
asasi atau cabang dari persoalan asasi. Sedangkan hukum syara’ adalah seruan asy-
syari’ yang berkaitan dengan permasalahan aktivitas hamba dan cukup baginya dalil-
dalil dhanniy (Relatif benar).

C. Sumber-Sumber Aqidah
Dua sumber pengambilan dalil penting jika ditelaah melalui tulisan para ulama dalam
menjelaskan aqidah.
a. Dalil asas dan inti yang mencakup Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’ para ulama.
b. Dalil penyempurnaan yang mencakup akal sehat manusia dan fitrah kehidupan yang
telah diberikan oleh ALLAH SWT.
1. Al-Qur’an sebagai sumber aqidah
Firman ALLAH SWT yang diwahyukan kepada Rasulullah melalui perantara
malaikat Jibril.  Di dalamnya ALLAH telah menjelaskan segala sesuatu yang telah
dibutuhkan oleh hamba-Nya sebagai bekal kehidupan di dunia dan di akhirat. Ia
merupakan petunjuk bagi orang-orang yang diberi petunjuk, pedoman hidup bagi
orang-orang yang beriman, dan obat bagi jiwa-jiwa yang terluka. Sebagaimana Firman
ALLAH dalam QS.Al-An’am:115.

ْ ‫ َوتَ َّم‬ ‫ت‬
‫ت‬ َ ِّ‫ َرب‬ ‫ص ْدقًا‬
ُ ‫ َكلِ َم‬ ‫ك‬ ِ   ‫ َۚو َع ْداًل‬  ‫اَل‬ ‫ ُمبَ ِّد َل‬ ‫ۚلِ َكلِ َماتِ ِه‬ ‫ َوهُ َو‬  ‫ْال َعلِي ُمال َّس ِمي ُع‬

Artinya: “dan telah sempurna firman Tuhanmu (Al-Qur’an) dengan benar dan adil.
Tidak ada yang dapat mengubah Firman-Nya. Dan Dia Maha Mendengar dan Maha
Mengetahui”.

Al-imam Asy- Syatibi mengatakan Bahwa sesungguhnya ALLAH telah


menurunkan syariat ini kepada Rasul-Nya yang didalamnya terdapat penjelasan atas
segala sesuatu yang dibutuhkan manusia tentang kewajiban dan peribadatan yang
dipikulkan diatas pundaknya, termasuk didalamnya perkara aqidah. Allah menurunkan
Al-Qur’an sebagai sumber hukum aqidah karena Allah mengetahui kebutuhan manusia
sebagai seorang hamba yang diciptakan untuk beribadah kepada-Nya. Bahkan jika
dicermati akan ditemui banyak ayat dalam Al-Qur’an yang dijelaskan tentang aqidah,
baik secara tersurat maupun secara tersirat. Oleh karena itu, menjadi hal yang wajib jika
kita mengetahui dan memahami aqidah yang bersumber dari Al-Qur’an. Kitab mulia ini
merupakan penjelasan langsung dari Rabb manusia, yang hak dan tidak pernah sirna
ditelan masa.
2. As-Sunnah sumber kedua
Seperti halnya Al-Qur’an, As-Sunnah adalah satu jenis wahyu yang datang dari
Allah Swt walaupun Lfadznya bukan dari Allah tapi maknanya datang darinya. Hal ini
diketahui dalam firman Allah QS. An-Najm: 3-4. Yang artinya :

“dan tidaklah yang diucapkan-Nya itu (Al-Qur’an) menurut keinginan-Nya. Tidak lain
(Al-Qur’an itu) adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.”

Rasulullah saw bersabda,”tulislah demi dzat yang jiwaku berada ditangan-Nya, tidak
keluar dari-Nya kecuali kebenaran sambil menunjuk lidahnya” (HR. Abu dawud).

Yang menjadi persoalan adalah banyaknya hadits lemah yang beredar ditengah
umat dianggap “mutiara” yang bukan berasal dari Rasulullah saw dinisbahakan kepada
beliau. Hal ini tidak lepas dari usaha penyimpangan yang dilakukan oleh musuh-musuh
ALLAH untuk mendapatkan keuntungan yang sedikit. Akan tetapi, maha suci ALLAH
yang telah menjaga kemurnian As-Sunnah hingga akhir zaman melalui para ulama ahli
ilmu.
Selain melakukan penjagaan terhadap ahli sunnah, ALLAH telah menjadikan As-
Sunnah sebagai sumber hukum.dalam Agama. Kekuatan As-Sunnah dalam menetapkan
syari’at termasuk perkara aqidah ditegaskan dalam banyak ayat Al-Qur’an, diantaranya
firman ALLAH dalam QS.An-nisa:59. Yang artinya :

“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad),
dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) diantara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah pada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (As-
Sunnah), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu, lebih
utama bagimu dan lebih baik akibatnya.”

Firman Allah di atas menunjukkan bahwa tidak ada pilihan lain bagi seorang
muslim untuk mengambil sumber-sumber hukum aqidah dari As-Sunnah dengan
pemahaman ulama. Ibnu Qayyim juga pernah berkata “Allah memerintahkan untuk
mentaati-Nya dan mentaati Rasul-Nya dengan mengulangi kata kerja (taatilah)yang
menandakan bahwa menaati Rasul wajib secara independen tanpa harus mencocokkan
terlebih dahulu dengan Al-Qur’an, jika beliau memerintahkan sesuatu. Hal ini
dikarenakan tidak akan pernah ada pertentangan antara Qur’an dan Sunnah.
3. Ijma’ para Ulama
Sumber aqidah yang berasal dari kesepakatan para mujtahid Umat Muhammad saw
setelah beliau wafat, tentang urusan pada suatu masa. Mereka bukanlah orang yang
sekedar tahu tentang ilmu tetap juga memahami dan mengamalkan ilmu. Berkaitan
dengan ijma’, Allah swt berfirman dalam QS.An-Nisa:115. Yang artinya :

“dan barang siapa menentang Rasul (Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya,
dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan dia dalam
kesesatan yang telah dilakukannya itu dan akan masukkan ia kedalam Neraka
Jahannam, dan itu seburuk-buruk tempat kembali.”

Imam Syafi’I menyebutkan bahwa ayat ini merupakan dalil pembolehan


disunnatkannya Ijma’, yaitu diambil dari kalimat “Jalannya orang-orang yang beriman”
yang berarti Ijma’. Beliau juga menambahkan bahwa dalil ini adalah dalil Syar’I yang
wajib untuk diikuti karena Allah menyebutkannya secara bersamaan dengan larangan
menyelisihi Rasul.
Di dalam pengambilan Ijma’ terdapat juga beberapa kaidah-kaidah penting yang
tidak boleh ditinggalkan. Ijma’ dalam masalah akidah harus bersandarkan kepada dalil
dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih karena perkara aqidah adalah perkara
tauqifiyah yang tidak diketahui kecuali dengan jalan wahyu. Sedangkan fungsi Ijma’
adalah menguatkan Al-Qur’an dan As-Sunnah serta menolak kemungkinan terjadinya
kesalahan dalam dalil yang dzani sehingga menjadi qotha’i.
4. Akal Sehat Manusia
Selain ketiga sumber diatas, akal juga menjadi sumber hukum aqidah dalam Islam.
Hal ini merupakan bukti bahwa Islam sangat memuliakan akal serta memberikan
haknya sesuai dengan kedudukannya, dengan cara memberikan batasan dan
petunjuk  kepada akal agar tidak terjebak kedalam pemahaman-pemahaman yang tidak
benar. Hal ini sesuai dengan sifat akal yang memiliki keterbatasan dalam memahami
suatu ilmu atau peristiwa.
Agama Islam tidak membenarkan pengagungan terhadap akal dan tidak pula
membenarkan membenarkan pelecehan terhadap kemampuan akal manusia, seperti
yang biasa dilakukan oleh beberapa golongan (firqoh) yang menyimpang. Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah mengatakan : “akal merupakan syarat untuk memahami ilmu dan
kesempurnaan beramal dengan keduanyalah ilmu dan dan amal menjadi sempurna,
hanya saja ia tidak dapat berdiri sendiri . di dalam jiwa ia berfungsi sebagai sumber
kekuatan, sama seperti kekuatan penglihatan pada mata yang jika mendapatkannya
cahaya Iman dan Al-Qur’an seperti mendapat cahaya matahari dan api. Tetapi jika
berdiri sendiri, ia tidak akan mampu melihat (hakikat) sesuatu dan jika sama sekali
dihilangkan ia akan menjadi sesuatu yang berunsur kebinatangan”.
Eksistensi akal memiliki keterbatasan pada apa yang bisa dicerna tentang perkara-
perkara nyata yang memungkinkan panca indra untuk menangkapanya. Adapun
masalah-masalah gaib yang tidak dapat disentuh oleh panca indra maka tertutup jalan
bagi akal untuk sampai pada hakikatnya. Sesuatu yang abstrak/gaib, seperti akidah
tidak dapat diketahui poleh akal kecuali mendapatkan cahaya dan petunjuk wahyu baik
dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih. Al-Qur’an dan As-Sunnah menjelaskan
bagaimana cara memahami dan melakukan masalah tersebut. Salah satu contohnya
adalah akal mungkin tidak bisa menerima surge dan neraka karena tidak bisa diketahui
melalui indera. Akan tetapi melalui penjelasan yang berasal dari Al-Qur’an dan As-
Sunnah maka akan dapat diketahui bahwasanya setiap manusia harus meyakininya.
Mengenai hal ini ibnu taimiyah mengatakan bahwa apa yang tidak terdapat dalam Al-
Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’ yang menyelisih akal sehat karena sesuatu yang
bertentangan dengan akal sehat adalah batil. Sedangkan tidak ada kebatilan dalam Al-
Qur’an, Sunnah, dan ijma’. Tetapi padanya terdapat kata-kata yang mungkin sebagian
orang tidak memahaminya atau mereka memahaminya dengan makna yang batil.
5. Fitrah kehidupan
Dalam sebuah hadits Rasulullah saw bersabda : “setiap anak yang lahir dalam
keadaan fitrah, maka kedua orangtuanyalah yang membuat ia menjadi yahudi, nasrani,
atau majusi.( H. R. MUSLIM )
Dari hadits dapat diketahui bahwa sebenarnya manusia memiliki kecenderungan
untuk menghamba kepada ALLAH. Akan tetapi bukan berarti bahwa bayi yang lahir
telah mengetahui rincian agama islam. Setiap bayi yang lahir tidak mengetahui apa-
apa.  Tetapi setiap mamiliki fitrah untuk sejalan dengan islam sebelum dinodai oleh
penyimpangan-penyimpangan. Bukti mengenai hal ini adalah fitrah manusia untuk
mengakui bahwa mustahil ada dua penciptaalam yang memiliki sifat dan kemampuan
yang sama. Bahkan ketika ditimpa musibah pun banyak manusia yang menyeruh
kepada ALLAH seperti dijelaskan dalam firmannya: Q. S Al- Israa’:67. Yang artinya :

“dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilang semua yang biasa kamu
seru, kecuali Dia. Tapi ketika Dia menyelamatkan kamu kedaratan, kamu berpaling
dari-Nya. Dan manusia memang selalu ingkar (tidak bersyukur).”

D. Yang Merusak Aqidah


kita harus bisa menjaga aqidah kita dari hal-hal yang bisa merusak aqidah yaitu dengan
cara selalu beribadah kepada Allah dan melakukan sesuatu yang diridhoi oleh Allah dan
menjauhi laranganNya, agar kita bisa terhindar dari hal-hal yang bisa merusak aqidah
dalam diri kita.
Hal-hal yang bisa merusak aqidah diantaranya adalah :
1. Syirik
Syirik adalah menyekutukan Allah dengan yang lain. Syirik dibagi 2 :
a. Syirik akbar/ syirik jalyy: menyekutukan Allah. Seperti menyembah berhala.
Penyembahan berhala dalam sejarah nabi sudah ada sejak Nabi Nuh.
b. Syirik asghar/ syirik khafiyy: perbuatan-perbuatan yang berkaitan dengan amalan
keagamaan bukan atas dasar keikhlasan untuk mencari ridha Allah, melainkan untuk
tujuan lain.
Allah SWT berfirman dalam surat An Nisaa` ayat 36:

‫َوا ْعبُدُوا هَّللا َ َوالَ تُ ْش ِر ُكوا بِ ِه َش ْيئًا‬

Artinya: “Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan


sesuatupun.”
2. Nifaq
Secara bahasa, nifaq berarti lobang tempat keluarnya yarbu ( binatang sejenis tikus )
dari sarangnya, di mana jika ia dicari dari lobang yang satu, maka ia akan keluar dari
lobang yang lain. Dikatakan pula, kata nifaq berasal dari kata yang berarti lobang
bawah tanah tempat bersembunyi. ( al-Mu’jamul wasith 2/942).
Adapun nifaq menurut syara’ artinya : menampakkan Islam dan kebaikan, tetapi
menyembunyikan kekufuran dan kejahatan.
3. Kufur
Kufur merupakan kata kerja lampau (fi`il madhi) yang secara bahasa berarti
menutupi. Sedang kata kafir merupakan bentuk kata benda pelaku (isim fa’il) yang
terbentuk dari kata ka-fa-ra yang berarti menutupi. Dalam al-Quran kata kufr terulang
sebanyak 525 kali
Penyebab terjadinya kekafiran diantaranya :
- Faktor Internal
a. Kepicikan dan kebodohan
b. Kesombongan dan keangkuhan
c. Keputusasaan dalam hidup
d. Kesuksesan dan kesenangan dunia
- Faktor Eksternal
a. Faktor lingkungan
Lahir dalam keluarga muslim merupakan pemberian Allah di luar kehendak
manusia. Jika selanjutnya menjadi muslim juga merupakan hidayah di luar ikhtiar
manusia. Hal ini bisa berubah sebaliknya, karena faktor pendidikan, dakwah dsb.
Jenis-jenis kufur :
1. Kufr inkar: pengingkaran terhadap eksistensi Tuhan, Rasul dan seluruh
ajarannya. Ciri mereka: orientasi hidupnya hanya terfokus pada dunia saja.
2. Kufr Juhud: Pengingkaran terhadap ajaran-ajaran Tuhan dalam keadaan tahu
bahwa yang diingkari adalah kebenaran/ meyakini dalam hati mengingkari
dengan lidah.
Beda antara keduanya terletak pada posisi pengingkarnya.
Kufr inkar penolakannya didasarkan pada ketidak- percayaan terhadap
kebenaran. Kufr juhud penolakannya dilandaskan semata-mata karena
kesombongan.
3. Kufr Nifaq: orangnya disebut munafiq, yakni pengakuan akan keyakinan kepada
Allah dengan lidah tetapi mengingkari dalam hati (kebalikan dari kufr juhud).
4. Kufr syirik: orangnya disebut musyrik, yakni mempersekutukan Tuhan dengan
sesuatu yang lain.
5. Kufr nikmat: penyalahgunaan atas nikmat yang telah diperoleh. Dalam al-Quran
diibaratkan dengn manusia yang sedang berlayar di tengah laut lalu ada amukan
badai, lalu berdoa.
6. Kufr riddat: artinya kembali ke kekafiran setelah beriman. Pada masa Nabi
terjadi 3 riddat.
4. Murtad
Kata murtad berasal dari kata irtadda menurut wazan ifta’ala, berasal dari kata
riddah yang artinya:berbalik. Kata riddah dan irtidad dua-duanya berarti kembali
kepada jalan, dari mana orang datang semula. Tetapi kata Riddah khusus digunakan
dalam arti kembali pada kekafiran, sedang kata irtidad digunakan dalam arti itu, tapi
juga digunakan untuk arti yang lain (R), dan orang yang kembali dari Islam pada
kekafiran, disebut murtad.
5. Khurafat
Khurâfat secara bahasa berarti takhayul, dongeng atau legenda Sedangkan khurâfy
adalah hal yang berkenaan dengan takhayul atau dongeng.
Khurâfat ialah semua cerita sama ada rekaan atau khayalan, ajaran-ajaran, pantang-
larang, adat istiadat, ramalan-ramalan, pemujaan atau kepercayaan yang menyimpang
dari ajaran Islam .
6. Tahayul
Secara bahasa, berasal dari kata khayal yang berarti: apa yang tergambar pada
seseorang mengenai suatu hal baik dalam keadaan sadar atau sedang bermimpi.
Dari istilah takhayul tersebut ada dua hal yang termasuk dalam kategori talhayul,
yaitu:
a. Kekuatan ingatan yang yang terbentuk berdasarkan gambar indrawi dengan segala
jenisnya, (seperti: pandangan, pendengaran, pancaroba, penciuman) setelah
hilangnya sesuatu yang dapat diindera tersebut dari panca indra kita.
b. Kekuatan ingatan lainnya yang disandarkan pada gambar idrawi, kemudian satu dari
unsurnya menjadi sebuah gambar yang baru. Gambar baru tersebut bisa jadi satu hal
yang benar-benar terjadi, atau hal yang diluar kebiasaan (kemustahilan). Seperti
kisah seribu satu malam, Nyai Roro Kidul dan cerita-cerita khurafat lainnya.
Sesuai Firman Allah SWT yang artinya :

"Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada
Allah dengan sedekat-dekatnya"... (QS. 39:3).

7. Munafiq
Munafiq merupakan apabila berjanji mengingkari, apabila berkasta dusta, dan
apabila dipercaya mengkhianati.
Nabi saw bersabda :

“Buatkanlah jaminan enam hal kepadaku tentang dirimu, maka aku akan menjamin
kamu masuk surga, (yaitu) : Jujurlah bila kamu berkata, tepatilah bila kamu berjanji,
tunaikanlah bila kamu dipercaya, peliharalah kemaluanmu, pejamkanlah matamu, dan
jagalah kedua tanganmu”

Dari dalil diatas terlihat bahwa orang yang bisa melakukan enam hal diatas akan
dijamin masuk surga. Sedangkan orang munafik adalah orang yang mengabaikan tiga
dari enam hal diatas sehingga orang yang munafik jaminannya adalah kebalikan dari
surga yaitu neraka.
Diriwayatkan dari Hudzaifah bin Al-Yaman ra., bahwasannya ia berkata : “Ada
seseorang pada masa Rasulullah saw. yang mengucapkan satu perkataan lantas ia
menjadi orang munafiq, dan kini saya mendengar perkataan itu diucapkan seseorang
sepuluh kali dalam satu hari”.
Pernyataan diatas memberikan penjelasan bahwa apabila seseorang itu suka
berdusta, maka ia adalah orang munafik. Oleh karena itu, setiap muslim wajib untuk
menjaga dirinya dari tanda-tanda orang munafik, karena apabila seseorang terbiasa
untuk berdusta, maka ia akan ditulis disisi Allah sebagai orang munafik, dan ia akan
dibebani dosa dirinya dan dosa orang-orang yang meniru perbuatannya.
8. Bid’ah
Jika di tinjau dari sudut pandang bahasa, bid’ah adalah diambil dari kata bida’ yaitu
al ikhtira‘ mengadakan sesuatu tanpa adanya contoh sebelumnya. Seperti yang
termaktub dalam Kitab Shahih Muslim bi Syarah Imam Nawawi dijelaskan sebagai
berikut:

‫ هي كل شيء عمل على غير مثال سابق‬:‫ قال أهل اللغة‬.‫والمراد غالب البدع‬

Artinya: “Dan yang dimaksud bid’ah, berkata ahli bahasa, dia ialah segala sesuatu
amalan tanpa contoh yang terlebih dahulu”

Sedangkan jika ditujukan dalam hal ibadah pengertian-pengertian bid’ah tersebut


adalah “suatu jalan yang diada-adakan dalam agama yang dimaksudkan untuk ta’abudi,
bertentangan dengan al Kitab (al qur`an), As Sunnah dan ijma’ umat terdahulu“.
DAFTAR PUSTAKA

http://makalahaaqidahakhlak.blogspot.com/2017/11/v-behaviorurldefaultvmlo.html?m=1

https://mimtulungagung-wordpress-
com.cdn.ampproject.org/v/s/mimtulungagung.wordpress.com/2008/11/09/perbedaan-antara-
aqidah-dan-syariah/amp/

http://cgeduntuksemua.blogspot.com/2012/04/bab-i-pendahuluan-aqidah-adalah-
bentuk.html?m=1

Anda mungkin juga menyukai