Dosen Pengajar:
Ns.Lasmarina Sinurat, M.Kep
0
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
rahmatNya yang diberikan kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah mata kuliah Praktik Klinik KMB tepat waktu.
Kami menyadari makalah ini jauh dari kesempurnaan oleh sebab itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak demi penyempurnaan makalah
ini.
Serta semua pihak yang telah membantu dalam proses pengajaran dan pembuatan
makalah Observasi dan refleksi terhadap aplikasi pada pasien dengan gangguan
sistem persyarafan yang namanya tidak kami cantumkan satu persatu, demikian
makalah ini dibuat semoga bermanfaat bagi kita semua.
1
Kelompok 4
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latarbelakang
Asuhan keperawatan yang berkwalitas merupakan suatu tuntutan yang
harus dipenuhi dalam memberikan pelayanan keperawatan kepada klien, sehingga
masalah kesehatan klien dapat teratasi dengan baik dalam rangka meningkatkan
status kesehatan klien.
Asuhan keperawatan diberikan oleh perawat melalui suatu metode ilmiah
yaitu proses keperawatan yang terdiri dari 5 langkah yaitu pengkajian, diagnose
keperawatan, intervensi, implementasi dan evaluasi. Langkah awal dalam
memberikan asuhan keperawatan yaitu pengkajian keperawatan. Dalam
melaksanakan pengkajian, seorang perawat dapat melakukan pengumpulan data
yang dapat menunjukkan masalah kesehatan klien melalui anamnesa, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan laboratorium dan diagnostic.
Salah satu masalah kesehatan yang dialami klien yaitu masalah kesehatan
yang berkaitan dengan gangguan system persyarafan. Untuk itu perawat harus
dapat memberikan asuhan keperawatan yang berkwalitas pada klien dengan
memulai langkah awal yaitu melakukan pengkajian pada klien dengan gangguan
system persyarafan.
Untuk itu setiap mahasiswa keperawatan harus mampu memahami konsep
dan teori tentang asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan system
persyarafan sehingga diharapkan nantinya dapat memberikan asuhan keperawatan
yang berkwalitas pada klien yang mengalami gangguan system persyarafan
tersebut. Langkahpertama yang harus dipahami ialah bagaimana melakukan
pengkajian keperawatan dengan melakukan anamnesa dan pemeriksaan fisik pada
klien dengan gangguan system persyarafan.
2
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
Jaringan Saraf
1. Neuron
Susunan saraf pusat manusia mengandung sekitar 100 miliar neuron.
Neuron adalah suatu sel saraf dan merupakan unit anatomi dan fungsional
sistem persarafan. Biasanya terdiri atas dendrit sebagai bagian penerima
rangsangan dari saraf-saraf lain; badan sel yang mengandung inti sel;
akson yang menjadi perpanjangan atau serat tempat lewatnya sinyal yang
dicetuskan didendrit dan badan sel serta terminal akson yang menjadi
pengirim sinyal listrik untuk disampaikan ke dendrit atau badan sel
neuron kedua dan apabila disusunan saraf perifer, sinyal disampaikan ke
3
otak ke sel otak atau kelenjar. Neuron-neuron yang membawa informasi
dari susunan saraf perifer ke sentral disebut neuron sensorik atau aferen.
Neuron-neuron ini memiliki reseptor didendrit atau badan sel yang
mengindra rangsangan kimiawi atau fisik. Neuron yang membawa
informasi keluar dari susunan saraf pusat keberbagai organ saasaran
(suatu sel otot atau kelenjar) disebut Neuron Motorik atau Eferen.
Kelompok neuron ketiga yang membentuk sebagian besar neuron susunan
saraf pusat, menyampaikan pesan-pesan antara neuron aferen dan eferen.
Neuron-neuron ini disebut interneuron. Hampir 90% dari semua neuron
ditubuh adalah interneuron dan semua interneuron terletak disusunan
saraf pusat.
2. Transmisi Sinaps
Neuron menyalurkan sinyal-sinyal saraf keseluruh tubuh. Kejadian listrik
ini yang kita kenal dengan impuls saraf. Impuls saraf bersifat listrik
disepanjangan neuron dan bersifat kimia diantara neuron. Secara
anatomis, neuron-neuron tersebut tidak tersambung satu dengan yang lain.
Temoat neuron mengadakan kontak dengan neuron lain atau dengan
organ-organ efektor disebut sinaps. Sinaps merupakan satu-satunya
temoat suatu impuls dapat lewat dari satu neuron lainnya atau efektor.
3. Neurontransmiter
Neuronstransmiter merupakan zat kimia yang disintesis dalam neuron dan
disimpan dalam gelembung sinaptik pada ujung akson. Neurontransmiter
merupakan cara komunikasi antarneuron. Setiap neuron melepaskan satu
transmitter. Zat-zat kimia ini menyebabkan perubahan permeabilitas sel
neuron, sehingga dengan bantuan zat-zat kimia ini maka neuron dapat
lebih mudah dalam menyalurkan impuls, bergantung pada jenis neuron
dan transmiter tersebut.
Otak
Otak merupakan organ yang paling penting didalam tubuh. Otak berisi 10
miliar neuron yang menjadi kompleks secara kesatuan fungsional. Otak
merupakan jaringan yang paling banyak memakai energy dalam seluruh
4
tubuh manusia dan terutama berasal dari proses metabolism oksidasi
glukosa. Jaringan otak sangan rentan dan kebutuhan akan oksigen dan
glukosa melalui aliran darah adalah konstan. Otak manusia mengandung
hamper 98% jaringan saraf tubuh.
Jaringan Otak
Jaringan gelatinosa otak dan medulla spinalis dilindungi oleh tulang
tengkorak dan tulang belakang, dan oleh tiga lapisan jaringan
penyambung yaitu piamater, araknoid, dan durameter
- Piamter langsung berhubungan dengan otak dan jaringan
spinal, dan mengikuti kontur struktur otak dan jaringan spinal.
Piamater merupakan lapisan vascular yang memiliki pembuluh
darah yang berjalan menuju srtruktur interna SSP untuk
memberi nutrisi jaringan saraf.
- Araknoid merupakan suatu membrane fibrosa yang tipis, halus
dan tidak mengandung pembuluh darah. Araknoid meliputi
otak dan medulla spinalis, tetapi tidak mengikuti kontur luar
seperti piamater. Daerah antara araknoid dan piamater disebut
ruang subaraknoid, tempat arteri, vena serebral, trabekula
araknoid , dan cairan serebrospinal yang membasahi SSP.
Ruang subaraknoid ini mempunyai pelebaran-pelebaran yang
disebut sterna.
- Duramater merupakan suatu jaringan liat, tidak elastis, dan
mirip kulit sapi yang terdiri atas 2 lapisan, yaitu bagian luar
yang disebut duraendosteral dan bagian dalam yang disebut
durameningeal.
Sistem Limbik
Sistem ini merupakan suatu pengelompokan fungsional bukan anatomis serta
mencakup komponen sereberum, diensefalon, dan mesensefalon. Strukur kortikal
utama adalah girus singuli (kungulata), girus hipokampus, dan hipokampus.
Bagian subkortikal mencakup amigdala, traktus olfaktorius, dan septum. Sistem
limbik memiliki hubungan timbal balik dengan banyak struktur saraf sentral pada
5
beberapa tingkat integrasi termasuk neokorteks, hipotalamus, dan sistem aktivasi
reticular dari batang dan otak. Gangguan persepsi terutama dalam mengingat
kembali, krisis emosional, dan gangguan hubungan dengan orang lain serta
dengan objek, diperkirakan berkaitan dengan strukur limbik.
Saraf Kranial
Saraf-saraf kranial berlangsung langsung dari otak dan keluar meninggalkan
tengkorak melalui lubang-lubang pada tulang yang disebut foramina (tunggal,
foramen). Terdapat 12 pasang saraf kranial yaitu : olfaktorius (I), optikus (II),
okulomotorius (III), troklearis (IV), trigeminus (V), abdusen (VI), fasialis (VII),
vestibulokoklearis (VIII), glosofaringeus (IX), vagus (X), aksesorius (XI),
hipoglosus (XII). Saraf kranial I, II, dan VIII merupakan saraf sensorik murni.
Saraf kranial III, IV, XI, dan XII merupakan saraf motoric, tetapi juga
mengandung serabut proprioseptif dari otot-otot yang dipersyarafinya. Saraf
kranial V, VII, dan X merupakan saraf campuran. Saraf kranial III, VII, dan X
juga mengandung beberapa serabut saraf dari cabang parasimpatis sistem saraf
otonom.
SARAF KRANIAL KOMPONEN FUNGSI
I Olfaktorius Sensorik Penciuman
II Optikus Sensorik Pengelihatan
III Okulomotorius Motorik - Mengangkat
kelopak mata
atas
- Kontriksi pupil
- Sebagian besar
gerakan
ektraokuler
IV Troklearis Motorik Gerakan mata kebawah dan
kedalam
V Trigeminus Motorik Otot temporalis dan maseter
(menutup rahan dan mengunyah)
VI Abdusen Motorik Devasi materal ke lateral
Sensorik - Kulit wajah;
dua pertiga
6
depan kulit
kepala,; mukosa
mata; mukosa
hidung dan
rongga mulut;
lidah dan gigi
- Refleks kornea
atau refkles
mengedip
- Saraf kranial V,
respons motoric
melalui saraf
kranial VII
VII Fasialis Motorik - Otot-otot
ekspresi wajah
termasuk otot
dahi, sekeliling
mata serta
mulut.
- Lakrimasi dan
saliva
VIII Sensorik Keseimbangan
Vestibulokoklearis
IX Glosofaringeus Motorik - Faring:
menelan,
refleks muntah
Sensorik - Parotis; saliva
Faring, lidah posterior, termasuk
rasa pahit.
7
bagian atas dari otot trapezius;
pergerakan kepala dan bahu
XII Hipoglosus Motorik Pergerakan lidah
Sistem Otonom
Sistem saraf otonom (SSO) merupakan sistem persarafan campuran. Serabut-
serabut aferennya membawa masukan dari organ-organ visceral (berkaitan dengan
pengaturannya denyut jantung, diameter pembuluh darah, pernapasan, pencernaan
makanan, rasa lapar, mual, pembuangan, dan sebagainya). SSO mempersarafi otot
polos, otot jantung dan kelenjar-kelenjar visceral dan interaksinya dengan
lingkungan dalam. Sistem saraf otonom terdiri atas dua bagian yaitu sistem saraf
simpatis dan parasimpatis.
8
kemampuan mersepon rangsangan yang cukup kuat. Neuron tidak bisa
mengalami pembelahan sehingga tidak dapat diganti jika sudah rusak. Neuron
bersatu membentuk jaringan untuk mengantarkan suatu impuls (rangsangan).
9
stroke, ensefalitis, defisiensi vitamin B12, kanker otak atau suplai darah
yang kurang ke daerah memori, sampai pada alasan psikologikal.
c. Ataksia
Ataksia merupakan gangguan sistem saraf yang ditandai oleh gangguan
koordinasi gerak otot seperti gerakan tubuh yang tidak teratur dan tidak
akurat. Penyebabnya adalah setiap kejadian yang mengganggu pusat
pengontrol gerak di otak atau jalur saraf yang menuju otak. Ataksia yang
bersifat permanen dapat disebabkan oleh kerusakan otak, korda spinalis
atau saraf spinalis.
10
q. Gangguan motorik
r. Gangguan sensibilitas
s. Gangguan syaraf otonom
Skala Glasgow
Area Pengkajian Nilai
Membuka mata
Spontan 4
Terhadap bicara (suruh pasien membuka mata) 3
Dengan rangsang nyeri (tekan pada syaraf supra orbita atau kuku jari) 2
Tidak ada reaksi ( dengan rangsang nyeri pasien tidak membuka mata) 1
Motor Response
Menurut perintah (misalnya suruh pasien angkat tangan) 6
11
Mengetahui lokasi nyeri 5
(Berikan rangsangan nyeri, misalnya menekan dengan jari pada supra orbita.
Bila pasien mengangkat tangannya sampai melewati dagu untuk maksud
menepis rangsangan tersebut, berarti ia dapat mengetahui lokasi nyeri)
Reaksi menghindar / Withdraws 4
Reaksi fleksi (dekortikasi) Abnormal Flexion 3
Berikan rangsangan nyeri misalnya menekan dengan objek keras
seperti ballpoint pada kuku jari, Bila sebagai jawaban siku memfleksi,
terdapat reaksi fleksi terhadap nyeri
Reaksi ekstensi abnormal /Abnormal extention / desebrasi 2
Dengan rangsangan nyeri tersebut diatas, terjadi ekstensi pada siku.
Ini selalu disertai fleksi spastic pada pergelangan tangan.
Tidak ada reaksi 1
(harus dipastikan terlebih dahulu, bahwa rangsangan nyeri telah adekuat
12
2. Tanda laseque
Pemeriksaan dilakukan sebagai berikut :
Pasien berbaring lurus,
Lakukan ekstensi pada kedua tungkai.
Kemudian salah satu tungkai diangkat lurus, di fleksikan pada sendi
panggul.
Tungkai yang satu lagi harus berada dalam keadaan ekstensi / lurus.
tahanan dan rasa nyeri sebelum tercapai sudut 1350
Normal : Jika kita dapat mencapai sudut 70 derajat sebelum timbul
rasa sakit atau tahanan.
Laseq (+) = bila timbul rasa sakit atau tahanan sebelum kita mencapai
700
3. Tanda Kerniq
Pemeriksaan dilakukan sebagai berikut :
Pasien berbaring lurus di tempat tidur.
Pasien difleksikan pahanya pada sendi panggul sampai membuat sudut
900,
Setelah itu tungkai bawah diekstensikan pada persendian lutut.
Biasanya dapat dilakukan ekstensi sampai sudut 135 0 antara tungkai
bawah dan tungkai atas.
Tanda kerniq (+) = Bila terdapat tahanan dan rasa nyeri sebelum
tercapai sudut 1350
4. Tanda Brudzinsky I
Pemeriksaan dilakukan sebagai berikut :
Pasien berbaring di tempat tidur.
Dengan tangan yang ditempatkan di bawah kepala pasien yang sedang
berbaring, kita tekukkan kepala sejauh mungkin sampai dagu
mencapai dada.
13
Tangan yang satunya lagi sebaiknya ditempatkan di dada pasien untuk
mencegah diangkatnya badan.
Brudzinsky I (+) ditemukan fleksi pada kedua tungkai.
5. Tanda Brudzinsky II
Pemeriksaan dilakukan seagai berikut :
Pasien berbaring di tempat tidur.
Satu tungkai di fleksikan pada sendi panggul, sedang tungkai yang
satu lagi berada dalam keadaan lurus.
Brudzinsky I (+) ditemukan tungkai yang satu ikut pula fleksi, tapi
perhatikan apakah ada kelumpuhan pada tungkai.
14
2) 1 = kontraksi otot minimal terasa tanpa menimbulkan gerak
3) 2 = otot dapat bergerak bila gaya berat dihilangkan
4) 3 = gerakan otot dapat melawan gaya berat tapi tidak bisa thd
tahanan pemeriksa
5) 4 = gerakan otot dg tahanan ringan pemeriksa dan dapat
melawan gaya berat
6) 5 = gerakan otot dg tahanan maksimal pemeriksa
PEMERIKSAAN SENSORIK
1. Pemeriksaan sensibilitas : Pemeriksaan rasa raba, Pemeriksaan rasa nyeri,
Pemeriksaan rasa suhu
2. Pemeriksaan rasa gerak dan rasa sikap
3. Pemeriksaan rasa getar
4. Pemeriksaan rasa tekan
5. Pemeriksaan rasa interoseptif : perasaan tentang organ dalam
6. Nyeri rujukan
15
PEMERIKSAAN NERVUS CRANIALIS
1. Pemeriksaan N. I : Olfaktorius
Fungsi : Sensorik khusus (menghidu, membau)
Cara Pemeriksaan :
a. Periksa lubang hidung, apakah ada sumbatan atau kelainan setempat,
misalnya ingus atau polip, karena dapat mengurangi ketajaman
penciuman.
b. Gunakan zat pengetes yang dikenal sehari-hari seperti kopi, teh,
tembakau dan jeruk.
c. Jangan gunakan zat yang dapat merangsang mukosa hidung (N V)
seperti mentol, amoniak, alkohol dan cuka.
d. Zat pengetes didekatkan ke hidung pasien dan disuruh pasien
menciumnya
e. Tiap lubang hidung diperiksa satu persatu dengan jalan menutup
lobang hidung yang lainnya dengan tangan.
2. Pemeriksaan N. II : Optikus
Fungsi : Sensorik khusus melihat
Tujuan pemeriksaan :
a. Mengukur ketajaman penglihatan / visus dan menentukan apakah
kelaianan pada visus disebabkan oleh kelaianan okuler lokal atau
kelaianan syaraf.
b. Mempelajari lapangan pandangan
c. Memeriksa keadaan papil optik
Cara Pemeriksaan :
Jika pasien tidak mempunyai keluhan yang berhubungan dengan nervus II
dan pemeriksa juga tidak mencurigai adanya gangguan, maka biasanya
dilakukan pemeriksaan nervus II , yaitu :
a. Ketajaman penglihatan
b. Lapangan pandangan
16
Bila ditemukan kelainan, dilakuakn pemeriksaan yang lebih teliti.
Perlu dilakukan pemeriksaan oftalmoskopik.
17
1. Pasien disuruh duduk atau berdiri berhadapan dengan pemeriksa
dengan jarak kira-kira 1 m.
2. Jika kita hendak memeriksa mata kanan, maka mata kiri pasien harus
ditutup, misalnya dengan tangan atau kertas, sedangkan pemeriksa
harus menutup mata kanannya.
3. Kemudian pasien disuruh melihat terus pada mata kiri pemeriksa dan
pemeriksa harus selalu melihat mata kanan pasien.
4. Setelah itu pemeriksa menggerakkan jari tangannya di bidang
pertengahan antara pemeriksa dan pasien.
5. Lakukan gerakan dari arah luar ke dalam
6. Jika pasien mulai melihat gerakan jari-jari pemeriksa, ia harus
memberi tahu dan dibandingkan dengan pemeriksa, apakah pemeriksa
juga melihatnya
7. Bila sekiranya ada gangguan kampus penglihatan, maka pemeriksa
akan lebih dahulu melihat gerakan tersebut.
8. Lakukan pemeriksaan pada masing-masing mata pasien.
4. Pemeriksaan N. IV Trokhlearis
Fungsi : Somatomotorik
Menginervasi m. Obliqus superior. Kerja otot ini menyebabkan mata dapat
dilirikkan ke bawah dan nasal.
5. Pemeriksaan N. V Trigeminus
Fungsi : Somatomotorik, somatosensorik
18
Bagian motorik mengurus otot-otot untuk mengunyah, ayitu menutup
mulut, menggerakkan rahang ke bahwa dan samping dan membuka
mulut.
Bagian sensorik cabang Oftalmik mengurus sensibilitas dahi, mata,
hidung, kening, selaput otak, sinus paranasal dan sebagian mukosa
hidung.
Bagian sensorik cabang maksilaris mengurus sensibilitas rahang atas,
gigi atas, bibir atas, pipi, palatum durum, sinus maksilaris dan mukosa
hidung.
Bagian sensorik cabang mandibularis mengurus sensibilitas rahang
bawah, bibir bawah, mukosa pipi, 2/3 bagian depan lidah dan sebagian
telinga, meatus dan selaput otak.
Cara pemeriksaan fungsi motorik :
a. Pasien disuruh merapatkan giginya sekuat mungkin dan kita
raba m. Masseter dan m. Temporalis, perhatikan besarnya,
tonus serta bentuknya.
b. Kemudian pasien disuruh membuka mulut dan perhatikan
apakah ada deviasi rahang bawah.
c. Bila ada parise, maka rahang bawah akan berdeviasi ke arah
yang lumpuh
6. Pemeriksaan N. VI Abdusen
Fungsi : Somatomotorik
Meninervasi m. Rektus eksternus (lateralis). Kerja mata ini menyebabkan
lirik mata ke arah temporal
19
Untuk N. III, IV dan VI fungsinya saling berkaitan. Fungsinya ialah
menggerakkan otot mata ekstra okuler dan mengangkat kelopak mata.
Searbut otonom N III, mengatur otot pupil. Cara pemeriksaannya
bersamaan, yaitu :
1. Pemeriksa melakukan wawancara dengan pasien
2. Selama wawancara, pemeriksa memperhatikan celah matanya,
apakah ada ptosis, eksoftalmus dan strabismus/ juling dan
apakah ia cendrung memejamka matanya karena diplopia.
3. Setelah itu lakukan pemeriksaan yang lebih teliti mengenai
ptosis, besar pupil, reaksi cahaya pupil, reaksi akomodasi,
kedudukan bola mata, gerakan bola mata dan nistagmus.
4. Untuk menilai m. Levator palpebra, pasien disuruh
memejamkan matanya, kemudia disuruh ia membuka matanya.
5. Waktu pasien membuka matanya, kita tahan gerakan ini
dengan jalan memegang / menekan ringan pada kelopak mata.
6. Dengan demikian dapat dinilai kekuatan kelopak mata.
7. Untuk menilai pupil, perhatikan besarnya pupil pada kiri dan
kanan, apakah sama ukurannya, apakah bentuknya bundar atau
tidak rata tepinya. Miosis = pupil mengecil, midriasis = pupil
membesar
8. Reflek cahaya pupil terdiri dari reaksi cahaya langsung atau
tidak langsung., caranya :
i. Pasien disuruh melihat jauh.
ii. Setelah itu pemeriksa mata pasien di senter/ diberi
cahaya dan lihat apakah ada reaksi pada pupil. Normal
akan mengecil
iii. Perhatikan pupil mata yang satunya lagi, apakah ikut
mengecil karena penyinaran pupil mata tadi disebut
dengan reaksi cahaya tak langsung
iv. Cegah reflek akomodasi dengan pasien disuruh tetap
melihat jauh.
7. Pemeriksaan N. VII Fasialis
20
Fungsi : Somatomotorik, viseromotorik, viserosensorik, pengecapan,
somatosensorik
Cara Pemeriksaan fungsi motorik :
a. Perhatikan muka pasien, apakah simetris atau tidak, perhatikan kerutan
dahi, pejaman mata, plika nasolabialis dan sudut mulut.
b. Bila asimetris muka jelas disebabkan kelumpuhan jenis perifer.
c. Pada kelumpuhan jenis sentral, kelumpuhan nyata bila pasien disuruh
melakukan gerakan seperti menyeringai dan pada waktu istirahat,
muka simetris.
d. Suruh pasien mengangkat alis dan mengkerutkan dahi
e. Suruh pasien memejamkan mata
f. Suruh pasien menyeringai (menunjukkan gigi geligi)
g. Gejala chvostek, dengan mengetuk N. VII di bagian depan telinga. (+)
bila ketokan menyebabkan kontraksi otot mata yang di persyarafi.
Fungsi pengecapan :
a. Pasien disuruh menjulurkan lidah
b. Taruh bubuk gula, kina, asam sitrat atau garam secara bergiliran
c. Pasien tidak boleh menarik lidahnya ke dalam mulut.
d. Pasien disuruh menyatakan pengecapan yang dirasakan dengan isyarat.
21
- Lengan dilipat pada dada dan mata kemudian ditutup
- Orang normal mampu berdiri dalam sikap romberg yang
dipertajam selama 30 detik atau lebih
b. Tes melangkah di tempat
- Pasien disuruh berjalan di tempat dengan mata ditutup, sebanyak
50 langkah dengan kecepatan berjalan seperti biasa
- Suruh pasien untuk tetap di tempat
- Tes abnormal jika kedudukan pasien beranjak lebih dari 1 m dari
tempat semula atau badan berputar lebih 30 o
c. Tes salah tunjuk
- Pasien disuruh merentangkan lengannya dan telunjuknya
menyentuh telunjuk pemeriksa
- Kemudian pasien disuruh menutup mata, mengangkat lengannya
tinggi-tinggi dan kemudian kembali ke posisi semula
- Gangguan (+) bila didapatkan salah tunjuk
9. Pemeriksaan N. IX Glossofaringeus
Fungsi : Somatomotorik, viseromotorik, viserosensorik, pengecapan,
somatosensorik
22
waktu bergerak, misalnya waktu bernafas atau bersuara. Abnormal
bila letaknya lebih rendah terhadap yang sehat.
23
PEMERIKSAAN REFLEK FISIOLOGIS
1. Reflek tendon dalam (bisep dan trisep)
Derajatnya : 0 = absen reflek
1=Menurun
2 = Normal
3 = Hiperreflek
4 = Hiperreflek dengan klonus
2. Reflek superficial
a. Reflek kulit perut :
Epigastrium T 6-9, abdomen tengah T 9-11, Hiogastrium T 11-L1.
Abdomen digores dari arah luar menuju umbilikus --- kontraksi
dinding perut
b. Kremaster ( L 1-2)
Paha bagian dalam digores—kontraksi kremaster dan penarikan testis
ke atas.
c. Reflek anus ( S3-4-5)
Pakai sarung tangan ujung jari dimaasukkan kedalam cincin anus
terasa kontraksi spingter ani
d. Reflek bulbokavernosus
Kulit penis atau glan dicubit terlihat kontraksi bulbokavernosus
e. Reflek Plantar ( L 5, S 1-5)
Telapak kaki dirangsang akan timbul fleksi jari kaki seperti
pemeriksaan Babinski
24
PEMERIKSAAN REFLEK PATOLOGIS
1. Babinski
Telapak kaki digores dari tumit menyusur bagian lateral menuju pangkal
ibu jari, timbul dorso fleksi ibu jari dan pemekaran jari-jari lainnya.
2. Chadock
Tanda babinski akan timbul dengan menggores punggung kaki dari arah
lateral ke depan
3. Openheim
Mengurut tibia dengan ibu jari, jario telunjuk, jari tengah dari lutut
menyusur kebawah (+ = babinski)
4. Gordon
Otot gastroknemius ditekan (+ sama dengan Babinski)
5. Scahaefer
Tanda babinski timbul dengan memijit tendon Achiles
6. Rosollimo
Mengetok bagian basis telapak jari kaki (+) fleksi jari-jari kaki
7. Mendel Rechterew
Mengetok bagian dorsal basis jari kaki. (+) fleksi jari kaki
8. Hoffman –Trommer
Positif timbul gerakan mencengkram pada petikan kuku jari telunjuk atau
jari tengah
25
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Perawat perlu memberikan asuhan keperawatan yang berkwalitas kepada klein
yang mengalami gangguan sistem persyarafan sehingga masalah kesehatan
klien dapat teratasi dengan baik dalam rangka meningkatkan status kesehatan
klien.
26
DAFTAR ISI
1. Black, J.M., & Hawks, J.H. (2008). Medical surgical nursing. Clinical
management for positive outcome. Volume 1. Eight Edition. Saunders
Elsevier. St. Louis. Missouri.
2. Donna D., Marilyn V., (1991), Medical Surgical Nursing: a Nursing Process
Aproach, Philadelphia: WB Sounders Company
3. Long, Barbara C., (1992), Medical Surgical Nursing, Toronto: CV. Mosby
Company
4. Lucman and Sorensen. (1993), Medical Surgical Nursing, a
PsychophysiologieApproach, Tokyo; WB Sounders Company
5. Lumbantobing (2000) Neurologi Klinik, Pemeriksaan Fisik dan Mental,
FKUI, Jakarta
6. Peter C., Hayer & Thomas, Diagnostic & Therapy, EGC , Jakarta
7. R. Syamsuhidayat, Wim de Jong, (1997) , buku ajar ilmu bedah,cetakan 1:
Jakarta EGC
8. Smeltzer C. Suzanne, Brunner & Suddarth. (2002). Buku Ajar Keperawatan
Medikal Bedah. Jakarta: EGC
9. Smith, Sandra F,et-all, (2004), Clinical Nursing Skill: Basic to Edvanced
Skills, 6th Edition, New Jersey: Upper Saddle River
10. Sudoyo, W.A., Setiohadi, B., Alwi.I., Simadibrata, M., & Setiati, S. (2006).
Buku ajar ilmu penyakit dalam; jilid 3 edisi ke 4, Jakarta: Balai Penerbit FK
UI
27