Anda di halaman 1dari 143

PARADIGMA ISLAM TRANSFORMATIF DAN IMPLIKASINYA

TERHADAP PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM

(Studi Pemikiran Moeslim Abdurrahman)

TESIS

Oleh :

SAMSUL ARIFIN
12770051

PRODI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2014

1
PARADIGMA ISLAM TRANSFORMATIF DAN IMPLIKASINYA
TERHADAP PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM

(Studi Pemikiran Moeslim Abdurrahman)

TESIS

Oleh :

SAMSUL ARIFIN
12770051

PRODI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2014

i
ii
LEMBAR PERSETUJUAN

Tesis dengan judul Paradigma Islam Transformatif dan Implikasinya Terhadap


Pengembangan Pendidikan Islam (Studi Pemikiran Moeslim Abdurrahman) ini telah
diperiksa dan di setujui untuk di uji pada tanggal 8 Agustus 2014

(Dr. H. Munirul Abidin, M. Ag), Pembimbing 1


NIP. 19720420 200212 003

(Dr. Esa Nur Wahyuni, M. Pd), Pembimbing 2


NIP. 19720306 200801 2 010

(Dr. H. Fattah Yasin, M. Ag), Kaprodi PAI S2


NIP. 19671220 199803 1 002
LEMBAR PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN TESIS

Tesis dengan judul Paradigma Islam Transformatif dan Implikasinya Terhadap

Pengembangan Pendidikan Islam (Studi Pemikiran Moeslim Abdurrahman) ini telah di uji

dan dipertahankan di depan dewan penguji pada tanggal 8 Agustus 2014,

Dewan penguji,

(Dr. H.Su’aib H. Muhammad, M. Ag.), Penguji 1


NIP. 19571231 198603 1 028

(Dr. H. Fattah Yasin, M. Ag), Penguji 2


NIP. 19671220 199803 1 002

(Dr. H. Munirul Abidin, M. Ag), Anggota


NIP. 19720420 200212 003

(Dr. Esa Nur Wahyuni, M. Pd), Anggota


NIP. 19720306 200801 2 010

Mengetahui
Direktur Sps,

Prof. Dr. H. Muhaimin, MA


NIP. 195612111983031005
PARADIGMA ISLAM TRANSFORMATIF DAN IMPLIKASINYA TERHADAP
PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM
(STUDI PEMIKIRAN MOESLIM ABDURRAHMAN)

TESIS
Diajukan kepada sekolah pasca sarjana Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim
Malang
Untuk memenuhi beban studi pada
Program Magister Pendidikan Agama Islam

OLEH
SAMSUL ARIFIN
12770051

Pembimbing :

Dr. H. Munirul Abidin, M. Ag Dr. Esa Nur Wahyuni, M. Pd


NIP. 19720420 200212 003 NIP. NIP. 19720306 200801 2 010

PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG,
Okober, 2014
SURAT PERNYATAAN
ORISINALITAS PENELITIAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

NAMA : Samsul Arifin

NIM : 12770051

Program Studi : Magister Pendidikan Agama Islam (PAI)

Alamat : Jl. Masjid No. 52 Batu Malang

Judul Penelitian : Paradigma Islam Transformatif Dan Implikasinya


Terhadap Pengembangan Pendidikan Agama Islam
(Studi Pemikiran Moeslim Abdurrahman)

Menyatakan dengan ini sebenarnya bahwa hasil penelitian saya tidak terdapat
unsur penjiplakan karya tulis penelitian atau karya yang pernah dilakukan atau
dibuat orang lain, kecuali yang secara tertulis dikutip dalam naskah ini dan
disebutkan dalam sumber kutipan dan daftar pustaka.

Apabila di kemudian hari ternyata hasil penelitian ini terbukti terdapat unsur
penjiplakan dan ada kalim dari pihak orang lain, maka saya bersedia untuk
diproses sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan tanpa pemaksaan
dari siapapun.

Malang, 20 April 2014


Hormat saya,

Samsul Arifin
NIM: 12770051
PERSEMBAHAN

Teriring doa dan rasa syukur yang teramat dalam kami persembahkan karya ini
kepada:

Orang tuaku tercinta, H Damanhuri, Abd Djalil dan Ibu tersayang Satumah.
Terima kasih ananda haturkan atas do’a, dukungan, motivasi dan semangat
kepada ananda sehingga dapat menyelesaikan tesis ini.

Guru-guru dan para dosen yang banyak memberikan pelajaran berharga dan
koreksi dalam perjalanan menggapai cita-cita.

Sahabatku mahasiswa Pascasarjana yang bersama-sama meraih mimpi dan


menggapai cita-cita

v
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil Alamin, segala puji penulis panjatkan kehadirat Allah

SWT yang atas rahmat dan bimbingan-Nya tesis yang berjudul “Paradigma Islam

transformatif dan implikasinya terhadap pendidikan agama Islam (Studi Pemikiran

Moeslim Abdurrahman)” dapat terselesaikan dengan baik semoga ada guna dan

manfaat. Shalawat serta salam semoga tetap terrlimpahkan kepada junjungan kita

Nabi Muhamad SAW yang telah membimbing manusia ke arah jalan kebenaran dan

kebaikan.

Penulisan tesis ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan, saran serta motivasi

dari banyak pihak, baik langsung maupun tidak langsung dalam penyelesaian tesis

ini. Untuk itu penulis sampaikan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-

besarnya dengan ucapan jazakumullah ahsanul jaza’ khususnya kepada:

1. Direktur Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. H. Muhaimin. M.A

2. Ketua Program Studi magister Pendidikan Agama Islam Bapak Dr. H. Fattah

Yasin, M. Ag atas motivasi, serta kemudahan pelayanan selama studi.

3. Dosen pembimbing I, Bapak Dr. H. Munirul Abidin, M. Ag atas

bimbingan,saran kritik dan koreksinya dalam penulisan tesis ini.

4. Dosen pembimbing , Ibu Dr. Esa Nur Wahyuni, M. Pd atas bimbingan,saran

kritik dan koreksinya dalam penulisan tesis ini.

5. Orang tua kami Ibu Satumah serta Bapak Alm H. Damanhuri dan Abdul

Djalil yang memberikan pendidikan mulai dari kecil hingga sekarang.

6. Segenap karyawan dan petugas Pascasarjana dan perpustakaan UIN MALIKI

Malang yang telah membantu kami dalam pengumpulan data tesis ini

vi
7. Teman-teman Kelas C program studi pendidikan agam Islam angkatan 2012

dan semua pihak yang tidak bisa satu persatu yang turut membantu penulis

menyelesaikan tesis ini.

Penulis berharap semoga apa yang telah penulis tawarkan dalam laporan ini

bermanfaat bagi semua pihak. Penulis sadar bahwa laporan ini masih jauh dari

sempurna, untuk itu saran dan kritik yang konstruktif sangat membantu untuk

memenuhi kekurangan dalam laporan-laporan selanjutnya. Selanjutnya penuils

mohon maaf yang sebesar-besarnya atas segala kekurangan, semoga laporan ini

bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan semua pihak yang terkait pada

umumnya

Malang, 20 April 2014

Samsul Arifin

vii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ......................................................................................... i

HALAMAN JUDUL ............................................................................................. ii

HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN TESIS ............................... iii

HALAMAN PERNYATAAN ............................................................................... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................................ v

KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi

DAFTAR ISI ........................................................................................................ viii

DAFTAR TABLE ................................................................................................. xi

MOTTO ................................................................................................................ xii

ABSTRAK ........................................................................................................... xiii

BAB I : PENDAHULUAN ................................................................................... 1

A. Latar belakang Masalah ..................................................................... 1


B. Fokus Penelitian ................................................................................ 7
C. Tujuan Penelitian ............................................................................... 7
D. Manfaat Penelitian ............................................................................. 7
E. Ruang Lingkup .................................................................................. 8
F. Orisinalitas Penelitian ........................................................................ 9
G. Definisi Istilah ................................................................................... 11
BAB II: PARADIGMA ISLAM TRANSFORMATIF ........................................... 15

A. Paradigma Islam Transformatif .......................................................... 15


1. Pengertian Islam Transformatif .................................................... 15
2. Latar Belakang lahirnya Islam Transformatif ............................... 17
3. Tipoilogi Islam Transformatif ...................................................... 18
4. Karakteristik Islam Transformatif ................................................ 19
5. Metode Islam Transformatif ......................................................... 20
6. Dimensi Islam Transformatif ....................................................... 20
B. Pengembangan Pendidikan Islam ....................................................... 23
1. Makna Pengembangan Pendidikan Islam ..................................... 23
2. Paradigma Pengembangan Pendidikan Islam ................................ 24
3. Dimensi Pengembangan Pendidikan islam ................................... 28

BAB III : METODE PENELITIAN ...................................................................... 38

A. Metode Penelitian ..............................................................................


1. Pendekatan dan Jenis Penelitian ...................................................

2. Data dan Sumber Data

3. Metode Pengumpulan Data

4. Teknik Analisa Data

5. Pengecekan Keabsahan Data

B. Sistematika Pembahasan

BAB III : BIOGRAFI MOESLIM ABDURRAHMAN ......................................... 43


A. Masa Perkembangan .......................................................................... 43
B. Pemikiran Moeslim Abdurrahman ..................................................... 46
1. Agama ......................................................................................... 51
2. Politik .......................................................................................... 59
3. Kritik Terhadap Moderenisasi ...................................................... 65
BAB IV : PARADIGMA ISLAM TRANSFORMATIF PERSPEKTIF MOESLIM
ABDURRAHMAN DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM .................................................................................. 70
A. Paradigma Islam Transformatif Perspektif Moeslim
Abdurrahman ..................................................................................... 70
1. Hakikat Islam Transformatif ........................................................ 70
2. Epistemologi Islam Transformatif ................................................ 75
3. Tujuan Islam Transformatif ......................................................... 78
B. Implikasi Pemikiran Moeslim Abdurrahman ...................................... 79
1. Hakikat Pendidikan Islam ............................................................ 79
2. Metode Pendidikan Islam ............................................................. 81
3. Tujuan Pendidikan Islam .............................................................. 83
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ......................................................................................... 89
B. Saran .................................................................................................. 90

DAFTAR PUSTAKA
`DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1.1 Persamaan dan perbedaan orisinal ................................................... 12


1.2 Sumber Data Primer ........................................................................ 38
4.1 Tujuan Islam Transformatif Moeslim Abdurrahman ........................ 75
4.2 Epistemologi Islam Transformatif Moeslim Abdurrahman .............. 78
4.3 Implikasi Pemikiran Islam Transformatif Moeslim Abdurrahman
Terhadap Pengembangan pendidikan Islam .................................... 86

xi
MOTTO

AMICUS PLATO MAGIS AMICA VERITAS.1

Saya cinta kepada guru saya tapi saya lebih cinta kepada kebenaran

1
Russell, Bertrand. Sejarah Filsafat Barat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2007), 89

xii
ABSTRAK

Arifin, Samsul. 2014 paradigma Islam transformatif dan implikasinya terhadap


pengembangan pendidikan agama Islam (studi pemikiran Moeslim
Abdurrahman). Tesis, Program Studi Magister Pendidikan Agama Islam
Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim
Malang, pembimbing: (1) Dr. H. Munirul Abidin, M. Ag (2) Dr. Esa Nur
Wahyuni, M. Pd

Kata Kunci : Paradigma, Islam Transformatif, pendidikan Islam, Moeslim


Abdurrahman

Pendidikan Islam saat ini dibutuhkan eksistensinya di kehidupan


masyarakat karena pengaruh globalisasi dan moderenisasi. Pendidikan Islam
mampu menterjemahkan nilai-nilai normatif ke dalam kehidupan masyarakat
sehingga pendidikan Islam hanya dipersepsikan mayoritas masyarakat Muslim
sebagai pendidikan transenden atau pendidikan yang hanya sibuk memperkuat
spiritual tanpa menyinggung permasalahan sosial. Oleh karena itu, banyak
cendekiawan Muslim yang melihat problematika ini sebagai ancaman akan
eksistensi nilai-nilai Islam yang luhur menjadi luntur dan tak berbekas ke dalam
kehidupan. Sebagai cendekiawan Muslim untuk memberikan rumusan baru
dalam menghadapi zaman baru. Diantara banyak cendekiawan Muslim, Moeslim
Abdurrahman melahirkan ide serta gagasan cemerlang yang terangkum dalam
sebuah paradigma Islam transformatif. Ide serta gagasan tokoh tersebut dapat
memberikan implikasi terhadap pengembangan Islam di masa yang penuh
tantangan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan paradigma transformatif


perspekrif Moeslim Abdurrahman yang meliputi hakikat , epistemologi dan tujuan
Islam transformatif, serta mengungkap implikasi pemikiran moeslim
Abdurrahman terhadap pengembangan pendidikan agama Islam. Pendekatan
penelitian ini adalah kualitatif diarahkan pada eksplorasi kajian pustaka (Library
research). Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah metode
dokumentasi. Sedangkan analisis data dalam penelitian ini adalah analisis isi
(content Analisis).

Hasil penelitian menunjukan bahwa haikat Islam transformatif menurut


Moeslim Abdurrahman adalah adanya dialog antara kebutuhan konteks dengan
teks suci agama. Epistemologi Islam transformatif ada dua, pertama membangun
komunitas masyarakat bawah yang berorientasi pada ekonomi serta kekuatan
kekuasaan yang terorganisir dari masyarakat sendiri. Metode kedua yaitu:
melakukan reinterpretasi nilai-nilai normatif dalam memahami gagasan Tuhan,
metode ini meliputi tiga tahapan: melihat dan memahami konstruk sosial; lalu
realitas sosial ditemukan dengan tafsiran ayat-ayat al-Quran; selanjutnya hasil
pertemuan realitas sosial dengan model ideal teks akan melahirkan aksi sejarah
yang baru, yaitu transformasi sosial.Tujuan Islam transformatif Abdurrahman
adalah membentuk gerakan kultural atau geraan kemanusiaan yang didasarkan
pada nilai-nilai profetik yaitu humanisasi, liberasi dan trensendensi.

Implikasi pemikiran Moeslim Abdurrahman terhadap pengembangan


pendidikan Islam terlihat dalam 4 aspek yaitu (1) hakikat pendidikan Islam ialah
pendidikan yang mengarahkan kepada dialog antara tuntutan konteks terhadap
teks suci; (2) metode pendidikan Islam meliputi dialog dan metode aksi; (3)tujuan
pendidikan Islam meliputi tujuan humanisasi, liberasi dan tresendensi; (4)
Lembaga pendidikan Islam adalah lembaga semua lapisan serta memiliki visi
profetik
ABSTRACT

Arifin, Samson. 2014 Islam transformative paradigm and its implications for the
development of Islamic religious education (study Moeslim thought
Abdurrahman). Thesis, Master of the Graduate School of Islamic
Education Islamic University Maulana Malik Ibrahim Malang, tutors: (1)
Dr. H. Munirul Abidin, M. Ag (2) Dr. Esa Nur Wahyu, M. Pd

Keywords: Paradigm, Transformative Islam, Islamic education, Moeslim


Abdurrahman

Islamic education is now needed presence in people's lives because of the


influence of globalization and modernization. Islamic education is able to translate
the normative values into people's lives so that Islamic education is only perceived
by the majority of the Muslim community as a transcendent education or
education which only strengthens the spiritual without offending busy social
problems. Therefore, many Muslim scholars who see these problems as a threat to
the existence of Islamic values are sublime becomes faded and without trace into
life. As a Muslim scholar to provide a new formulation in the face of a new era.
Among many Muslim scholars, Moeslim Abdurrahman create ideas and brilliant
ideas are summarized in an Islamic paradigm transformative. The idea and the
idea of the figures may have implications for the development of Islam in these
challenging times.

This study aims to reveal the transformative paradigm perspekrif Moeslim


Abdurrahman covering the nature, epistemology and Islam transformative
objectives, as well as the implications of the development of thought Moeslim
Abdurrahman Islamic religious education. This study is a qualitative approach
aimed at exploration literature review (Library Research). Methods of data
collection in this study is the method of documentation. While the data analysis in
this study is a content analysis (content analysis).

The results showed that the Islamic haikat transformative according


Moeslim Abdurrahman is a dialogue between the needs of the context of the
sacred text. Islamic epistemology transformative there are two, the first building
of grassroots community-oriented economy and the strength of the organized
power of the people themselves. The second method is: do reinterpretation of
normative values in understanding the idea of God, this method includes three
steps: see and understand the social construct; the interpretation of social reality
was found with verses of the Koran; The next results of the meeting with the
social reality of the ideal model of the text will give birth to a new historical
action, namely the transformation of Islamic sosial.Tujuan transformative
Abdurrahman is shaping cultural movement or geraan humanity based on the
values of humanization prophetic ie, liberation and trensendensi.

Implications of thought Moeslim Abdurrahman against Islamic education


development seen in four aspects, namely (1) the nature of Islamic education is
education that leads to a dialogue between the demands of the context of the
sacred text; (2) the method of Islamic education include dialogue and methods of
action; (3) Islamic education goals include humanization goals, liberation and
tresendensi; (4) Organization of Islamic education is an institution of all layers
and has a prophetic vision
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa modernasi dan globalisasi sekarang ini

memiliki pengaruh yang luar biasa terhadap eksistensi pendidikan Islam yang

memiliki nilai luhur dan penuh makna. Nilai-nilai tersebut tidak tercermin di

dalam kehidupan masyarakat. Hal ini tercermin dari pola tingkah laku masyarakat

muslim yang belum mengaktualisasikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan.

Selain perkembangan zaman yang begitu pesat, faktor penjajahan yang dilakukan

oleh kolonial Belanda memberikan dampak kepada karakter generasi bangsa

yang selalu mengagungkan budaya materialisme, individualisme.1

Abudin Nata menambahkan dampak globalisasi sangat besar terhadap

perkembangan pendidikan Islam di Indonesia, dampak tersebut tercermin di

dalam persepsi serta motivasi masyarakat terhadap pendidikan Islam yang

cenderung berubah ke arah pragmatis karena diselimuti integrasi ekonomi atau

dijadikan komoditas komersial. Selain itu masuknya kolonial budaya baru akibat

globalisasi sangat berdampak terhadap visi, misi pendidikan Islam yang menjadi

hampa tanpa arah.2

Era materialisme, konsumerisme dan hedonisme lebih banyak terkait dengan

nilai-nilai akan tetapi kurang terkait dengan persoalan aqidah-ketuhanan yang

1
M. Zainuddin, Reformulasi Paradigma Transformatif dalam Kajian Pendidikan Islam,
(Malang: UIN-Maliki Press, 2011), 2-3
2
Krisman Purwoko, Globalisasi Tantangan Utama Pendidikan Islam di Indonesia, (online),
(http;//www.republika.co.id diakses 31 Mei 2012)

1
abstrak-transendental maupun syari’ah atau ibadah sehari-hari. Oleh karena itu

salah satu problem yang perlu dicari solusi bersama adalah bagaimana pendidikan

agama bisa memberikan muatan nilai yang penuh makna kepada kehidupan

sehari-hari manusia. Karena dengan perkembangan zaman yang begitu cepat

maka perubahan nilai pun mengikuti, dan tak bisa dipungkiri seorang agamawan

akan terbawa arus perkembangan sehingga kesadaran dalam diri seorang

agamawan terhadap penderitaan sosial masyarakat menjadi hilang. 3

Tantangan yang begitu besar dihadapi oleh pendidikan Islam di era modern

sekarang ini, benar apa yang dinyatakan oleh Filsuf Kuhn bahwa perlu mendesain

konsep baru dalam menghadapi era baru, karena jika tantangan-tantangan baru

yang ada pada era baru dihadapi dengan konsep lama, maka segalanya akan sia-

sia dan berakhir dengan sebuah kegagalan. 4 Problematika yang dihadirkan oleh

zaman modern ini memberikan angin segar bagi dunia pendidikan Islam karena

masyarakat modern sekarang membutuhkan nilai-nilai ruhaniyah karena problem

yang dihadapi mereka tak bisa dijawab dengan logika.5

Pendidikan Islam yang memiliki peran dalam memberikan kesadaran dalam

diri manusia menjadi hampa atau tanpa pengaruh sama sekali jika tidak dibarengi

dengan konsep-konsep baru, karena pengetahuan agama yang masih bersifat

kognitif tidak berubah menjadi makna dan nilai dalam kehidupan sehari-hari

3
M. Amin Abdullah. Problem Epistemologis-Metodologis Pendidikan Islam. dalam M. Anies
(Eds.) Rekonstruksi Pendidikan dan Tradisi Pesantren. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), 57
4
H.A.R. Tilar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspektif Abad 21,
(Magelang: Tera Indonesia, Cet. I, 1998), 245
5
A. Malik Fadjar, Menyiasati Kebutuhan Masyarakat Modern Terhadap Pendidikan Agama
Luar Sekolah, (Seminar dan Lokakarya Pengembangan Pendidikan Islam Menyongsong Abad
21, IAIN, Cirebon, tanggal, 31 Agustus s/d 1 September 1995), 4

2
Sehingga tidak dapat menjadi sebuah sumber motivasi bagi peserta didik dalam

melakukan aktivitas secara konkret-agamis dalam kehidupan sehari-hari. 6

Pola pendidikan Islam yang masih berkutat dalam ranah kognitif dan

berparadigma klasik-skolastik yang selalu menitikberatkan keyakinan bahwa

keselamatan sosial ditentukan oleh keselamatan individual. Dengan keyakinan

tersebut dapat diartikan bahwa jika seorang individu bersikap baik maka dapat

dikatakan semua masyarakat bersifat baik. Padahal keyakinan tersebut tidaklah

relevan dengan multikultural yang ada di negeri ini, karena setiap kelompok

memiliki kebudayaan, kepentingan, fanatisme, logika yang berbeda-beda.7

Problematika pendidikan praktis yang berada di sekitar cukup komplek

Pertama, dalam hakikat pendidikan Islam terdapat kurangnya dialog diantara

kebutuhan konteks dan konsep ideal. Metode pendidikan Islam saat ini lebih di

utamakan pada teacher and state oriented (pendidikan diorientasi guru dan

lembaga). Kedua, dalam tujuan pendidikan agama Islam masih banyak tindak

kekerasan dalam bentuk apapun dalam proses pendidikan. Ketiga lembaga

pendidikan masih banyak yang tidak memberikan hak dalam pendidikan yang

sama.

Selain pola pendidikan Islam masih berdomain kognitif, sehingga tujuan

pendidikan Islam juga mengikuti, padahal tujuan utama pendidikan agama adalah

mentransformasi nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari peserta didik.

Namun sekali lagi ini adalah sebuah tantangan di zaman modern seperti sekarang

ini untuk melakukan transformasi ajaran agama Islam menjadi lebih fungsional-
6
Abdullah. Problem Epistemologis, 59
7
Ngainun Naim dan Achmad Sauqi, Pendidikan Multikultural: Konsep dan Aplikasi,
(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), 178

3
praktis dalam segala aspek kehidupan, sehingga menjadi way of life yang dapat

menjadi pembimbing bagi peserta didik dalam berhubungan sosial di masyarakat.8

Fakta di atas menunjukkan bahwa persoalan pendidikan Islam tidak hanya

berkutat pada dirinya sendiri melainkan kepada apa yang terjadi di luar. Terlihat

pada kehidupan masyarakat Indonesia, selain memasuki dunia modern, negeri ini

juga terkenal di dunia sebagai negara multikultural, Sehingga menjadi tantangan

tersendiri bagi dunia pendidikan Islam untuk menyampaikan serta

mentransformasikan nilai-nilai pada setiap kultur yang berbeda.

Amin Abdullah memberikan adagium atau pepatah yang relevan untuk

dijadikan rujukan dunia pendidikan Islam di era modern dan multikultural,

adagium tersebut:

“Jika nilai-nilai fundamental ajaran al-Qur’an yang bersifat universal-

transendental tidak dipraktikkan dalam semangat humanis-kekhalifaan,

maka niscaya hanya menjadi slogan yang kosong belaka. Sedangkan

tindakan, amalan-amalan keagamaan, dan kelembagaan agama Islam yang

bersifat historis partikular-subjektif yang tidak disertai pertimbangan dan

semangat nilai-nilai fundamental-transendental-transkultural, maka al-

Qur’an akan berjalan tanpa kompas.”9

Adagium di atas telah terjadi di dalam pendidikan Islam Indonesia yang belum

mampu mentransformasikan nilai-nilai pendidikan Islam di dalam kehidupan

nyata atau sosial, sehingga aktualisasi dan kontekstualisasi, interpretasi,

8
Abdullah. Problem Epistemologis, 61
9
M. Amin Abdullah. Pendidikan Agama Era Multikultural-Multireligius. (Jakarta: PSAP
Muhammadiyah, 2005), 64

4
transformasi ajaran atau nilai pendidikan Islam bisa dijadikan langkah yang

konkret untuk menjembatani serta memberikan solusi atas problematika

kehidupan sosial di dunia modern ini. 10

Menurut Fazlur Rahman sebagaimana dikutip Nurcholis Madjid bahwa

kreativitas intelektual adalah tuntutan zaman, oleh karena itu semakin

berkembangnya suatu zaman maka semakin tinggi kebutuhan terhadap intelektual

Islam yang mencakup dua aspek yaitu intelektual Islam yang mengambil inspirasi

dari sumber Islam klasik serta usaha pengembangan terhadap tantangan zaman. 11

Tetapi tantangan utama umat sekarang adalah bagaimana menumbukan tradisi

intelektual yang positif sembari membuka kepada semua hal baru yang memiliki

nilai positif dan maju. 12

Kreativitas intelektual yang diharapkan oleh Fazlur Rahman dan Nurcholis

Madjid tersebut tentunya hal yang tidak boleh ditawar-tawar lagi pada masa

modern saat ini. Oleh karena itu, gerakan pembaharuan pemikiran Islam di

Indonesia tumbuh dan berkembang secara pesat, hal ini tiada lain disebabkan

adanya kekuatan kreativitas intelektual tadi. Selain itu, adanya problematika yang

terus melanda kehidupan sosial masyarakat Indonesia baik itu di bidang

pendidikan, sosial, ekonomi, politik dan di bidang lainnya.

Berdasarkan hal tersebut, Moeslim Abdurrahman sebagai pemikir yang lahir di

negeri ini memberikan banyak pembaharuan atau pemurnian dalam memahami

relasi agama dengan kehidupan sosial. Kreativitas intelektual mereka berdua tak

10
Abdullah. Pendidikan Agama, 65
11
Nurcholis Madjid, Cita-cita Politik Islam Era Reformasi, (Jakarta: Paramadina, 1999), 38
12
Ibid 38

5
lepas dari gejolak atas pemikiran-pemikiran sebelumnya yang diprakarsai oleh

para pemikir yang lahir di dunia Islam khususnya di negeri Indonesia.

Perspektif ilmu sejarah bahwa pembaharuan pemikiran telah terjadi di dunia

Islam sejak abad ke 18 atau awal abad ke 19. Di Arab Saudi lahir gerakan

Wahabiah, Mesir dikenal sebagai negeri pemikir melahirkan beberapa tokoh

pembaharu seperti Al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridho. Sedangkan

Indonesia, gerakan pembaharuan di mulai pada pertengahan kedua abad ke 20.

Para pemikir yang lahir pun bermunculan seperti Harun Nasution, Nurcholis

Madjid, Munawir Sazali dan Abdurrahman Wahid.13 Pada tahun 1980-an lahir

para pemikir seperti Moeslim Abdurrahman yang menyampaikan beberapa

gagasan serta ide pembaharunya yang banyak mengkritisi ide ataupun gagasan

yang dicetuskan oleh pemikir-pemikir sebelumnya.

Setiap tokoh memiliki karakteristik yang berbeda, sehingga pemikiran atau ide

ide pembaharuan yang mereka cetuskan secara kontinu dilakukan sehingga

menjadi ide yang kreatif dan produktf serta mampu memberikan inspirasi kepada

generasi berikutnya untuk lebih mengembangkan pemikiran tersebut.

Karakteristik pemikiran Moeslim Abdurrahman dipandang banyak peneliti

sebagai pemikiran transformatif yang mengarah kepada gerakan pembebasan atas

belenggu ketidakadilan di dalam kehidupan sosial. ide-ide yang disampaikan

selalu menitikberatkan kepada keadilan sosial yang relevan dengan sila kelima

Pancasila sebagai satu diantara lima ideologi negeri Indonesia. Dengan demikian.

13
Suaidi Asyari, Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia, Tantowi Anwari (Eds),
Pembaruan Pemikiran Islam Indonesia, (Jakarta: KEMi dan LSAF, 2011), 135

6
Karakteristik pemikiran Moeslim Abdurrahman tersebut, sangat menarik untuk

dianalisis kritis dan obyektif, sehingga mampu menghasilkan sebuah tesis yang

memberikan kontribusi tidak hanya kepada aspek negara dan agama saja, juga

kepada dunia pendidikan Islam di masa depan, artinya ide gagasan tersebut dapat

dijadikan sebagai rumusan dasar pengembangan pendidikan Islam dalam

menghadapi era globalisasi. Pengembangan tersebut meliputi hakikat, metode,

materi, tujuan, serta lembaga pendidikan Islam.

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka peneliti akan meneliti lebih

dalam lagi tentang pemikiran Moeslim Abdurrahman terkait Paradigma Islam

Transformatif serta Implikasinya terhadap Pengembangan Pendidikan Islam.

B. Fokus Penelitian

1. Bagaimana Paradigma Islam Transformatif Perspektif Moeslim

Abdurrahman?

2. Bagaimana Implikasi Pemikiran Moeslim Abdurrahman Terhadap

Pengembangan Pendidikan Islam?

C. Tujuan Penelitian

1. Menjelaskan Paradigma Islam Transformatif Moeslim Abdurrahman.

2. Menjelaskan Implikasi Pemikiran tokoh tersebut Terhadap Pengembangan

Pendidikan Islam.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan

ilmu pengetahuan di bidang pendidikan Islam, yang mencakup:

7
a. Memberikan rumusan Paradigma Islam Transformatif, sehingga

memberikan implikasi terhadap pengembangan pendidikan Islam ke depan.

b. Memberikan tolak ukur bagi penelitian pemikiran pendidikan Islam

selanjutnya sehingga penelitian dapat dilakukan secara kontinu.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih bagi praktisi

pendidikan Islam di lembaga pendidikan terutama Perguruan Tinggi dalam

mengembangkan Paradigma pendidikan Islam.

E. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian dengan kata lain merupakan pembatasan masalah.

Menurut Sukmadinata batasan masalah penelitian ini harus selalu berhubungan

dengan tujuan penelitian serta metode penelitian.14 Oleh karena itu, membatasi

masalah tidak akan lepas dari dua aspek tersebut sehingga penelitian dapat

dipertanggungjawabkan asal tidak membatasi semaunya peneliti.

Tujuan ruang lingkup penelitian ini adalah untuk membatasi pembahasan di

dalam penelitian sesuai dengan fokus penelitian yang telah ditulis, dan kajian

penelitian ini adalah kajian tokoh, maka penelitian akan dibatasi pada

pemikiran Moeslim Abdurrahman tentang Paradigma Islam transformatif serta

implikasinya terhadap pengembangan pendidikan Islam yang meliputi hakikat,

metode, materi, tujuan serta lembaga pendidikan.

14
Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2005), 277

8
F. Orisinalitas Penelitian

1. Penelitian Terdahulu

Penelitian tentang pemikiran Moeslim Abdurrahman sudah pernah

dilakukan, yaitu:

a. Penelitian yang dilakukan oleh Neneng Afwah dengan judul Teologi

Transformatif Upaya Membebaskan Kaum Tertindas (Studi atas

Pemikiran Moeslim Abdurrahman).15

Tujuan Penelitian ini untuk menjelaskan gagasan teologi

transformatifnya dan untuk mengetahui arah gerakannya yang sering

disebut-sebut sebagai gerakan pembebasan; Moeslim menegaskan

bahwa teologi paling tidak dapat diartikan sebagai interpretasi realitas

berdasarkan ketuhanan, dan bahwa perubahan bukan hanya harus

dilakukan oleh satu komunitas tertentu saja, melainkan juga oleh

lapisan sosial lainnya, sehingga perubahan itu terjadi secara kolektif;

b. Penelitian yang dilakukan oleh Setyawati Molyna dengan judul

Perbandingan konsep tauhid sosial M. Amien Rais dan konsep Islam

transformatif Moeslim Abdurrahman.16

Masalah pokok penelitian ini adalah bagaimana perbandingan

pemikiran tentang konsep tauhid sosial menurut .Amien Rais dan Islam

transformatif menurut Moeslim Abdurrahman terkait perilaku Muslim

15
Neneng Afwah, Teologi Transformatif Upaya Membebaskan Kaum Tertindas: Studi atas
Pemikiran Moeslim Abdurrahman, (Antologi: Vol 15, No 2, 2010)
16
Setyawati Molyna, Perbandingan konsep tauhid sosial M. Amien rais dan konsep Islam
transformatif Moeslim Abdurrahman, (Jakarta: Prodi Falsafah dan Agama, Universitas
Paramadina, 2013)

9
yang berpengaruh dalam masalah kebangsaan dan kenegaraan

khususnya dalam bidang politik dan ekonomi di Indonesia.

Metode yang dipakai adalah metode perbandingan penelitian kualitatif

dengan studi pustaka atau riset kepustakaan (Library Research), dengan

pendekatan deskriptif-analitis. Sumber utama penelitian ini adalah buku

karangan M.Amien Rais yang berjudul “Tauhid Sosial” dan buku

karangan Moeslim Abdurrahman yang berjudul “Islam Transformatif”.

Setiap agama menjadi sebuah pedoman bagi seseorang dalam

berperilaku di kehidupanya. Begitu juga di Indonesia, Islam sebagai

agama mayoritas penduduk Indonesia, seharusnya, nilai- nilai Islam

menjadi pedoman mayoritas penduduk Indonesia dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara. Tauhid adalah dasar keyakinan dalam Islam.

Karenanya, tauhid berarti adalah dasar perilaku mayoritas masyarakat

Indonesia. Persamaan antara tauhid sosial M.Amien Rais dengan Islam

transformatif Moeslim Abdurrahman adalah kedua cendekiawan

Muslim tersebut sepakat bahwa Islam harus mempunyai orientasi kritik

sosial terkait kehidupan kebangsaan dan kenegaraan, Islam tidak

sebatas agama formal, melainkan pencerahan dan juga wacana

modernitas. Dalam bidang ekonomi, Islam dengan tauhid sosialnya

mampu mewujudkan keadilan sosial bagi masyarakat Indonesia.

Sedangkan perbedaan antara kedua cendekiawan Muslim tersebut

terlihat dalam pembahasan mengenai tauhid sosial dalam bidang

politik. Menurut Amien Rais, politik yang berlandaskan tauhid (ajaran

10
agama) adalah politik yang luhur. Hal berbeda diungkapkan Moeslim

Abdurrahman. Menurutnya, politik dan agama jangan tercampur-aduk.

harus dilakukan sekularisasi politik.

2. Persamaan dan Perbedaan Orisinal

Penelitian terdahulu memiliki nilai yang cukup urgen dalam melihat tingkat

orisinalitas sebuah penelitian, oleh karena itu di bawah ini akan dipaparkan

persamaan dan perbedaan penelitian yang akan peneliti lakukan dengan

penelitian terdahulu.

berdasarkan penelitian terdahulu di atas, maka posisi penelitian yang

dialakukan peneliti adalah terletak pada aspek fokus serta tujuan penelitian,

karena di dalam penelitian terdahulu belum terlihat secara jelas terkait

paradigma Islam transformatif Moeslim Abdurrahman walaupun pada

penelitian Neneng Afwah di singgung secara singkat dimensi teologi

transformatif. Selain itu, aspek implikaasi paradigma terhadap pengembangan

pendidikan Islam belum ada pada penelitian terdahulu sehingga kiranya untuk

mengangkat penelitian ini.

11
Tabel 1.1

Persamaan dan perbedaan orisinal

Nama Judul Fokus Persamaan Perbedaan

peneliti Penelitian Penelitian

Neneng Teologi Menjelaskan Tokoh kajian Fokus

Afwah Transformatif Gagasan Moeslim penelitian

Upaya Teologi Abdurrahman Peneliti

Membebaskan Transformatif adalah

Kaum Tertindas Paradigma

(Studi atas Islam

Pemikiran Transformatif

Moeslim Moeslim

Abdurrahman) Abdurrahman

Setyawati Perbandingan Perbandingan Tokoh kajian Fokus


pemikiran
Molyna konsep tauhid tentang Moeslim penelitian
konsep tauhid
sosial M. Amien sosial menurut Abdurrahman Peneliti
.Amien Rais
Rais dan dan Islam adalah
transformatif
konsep Islam menurut Paradigma
Moeslim
transformatif Abdurrahman Islam

Moeslim Transformatif

Abdurrahman Moeslim

Abdurrahman

12
G. Definisi Istilah

1. Paradigma

Paradigma yang di maksud dalam penelitian ini adalah pola ataupun

cara berfikir yang di landaskan pada tiga aspek yaitu Hakikat,Tujuan

serta epistemologi dalam berfikir

2. Islam transformatif

Yang di maksud Islam transformatif dalam penelitian ini adalah

perubahan pola pikir menuju kepada alkulturasi ajaran islam

3. Implikasi

Implikasi dalam dalam penelitian ini adalah menjadiakan teori islam

transformatif sebagai rumusan pengembangan pendidikan islam pada

aspek hakikat, metode, materi, tujuan serta lembaga pendidikan

13
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Pendidikan Islam

1. Pengertian Pendidikan Islam

Berangkat dari pemikiran bahwa suatu usaha yang tidak

mempunyai tujuan tidak akan mempunyai arti apa-apa. Ibarat seseorang

yang bepergian tak tentuh arah maka hasilnya adalah tak lebih dari

pengalaman selama perjalanan. Pada dasarnya pendidikan merupakan

usaha yang dilakukan sehingga dalam penerapannya ia tak kehilangan arah

dan pijakan. Namun sebelum masuk pada pembahasan mengenai fungsi

dan tujuan Pendidikan Islam terlebih dahulu perlu dijelaskan apa

pengertian Pendidikan Islam.

“Pengertian pendidikan Islam yaitu sebuah proses yang dilakukan

untuk menciptakan manusia-manusia yang seutuhnya; beriman dan

bertaqwa kepada Tuhan serta mampu mewujudkan eksistensinya sebagai

khalifah Allah dimuka bumi, yang berdasarkan kepada ajaran Al-qur’an

dan Sunnah, maka tujuan dalam konteks ini terciptanya insan

kamil setelah prosespendidikan berakhir”.17

Prof. H. Muhamad Daud Ali, S.H. berpendapat bahwa pendidkan

adalah usaha sadar yang dilakukan oleh manusia untuk mengembangkan

potensi manusia lain atau memindahkan nilai-nilai yang dimilikinya

17
DR. Armai Arif, MA. “Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam”. Jakarta : Ciputat
Pers, 2002.Hal 16

14
kepada orang lain dalam masyarakat”.18 Proses pemindahan nilai itu dapat

dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya adalah:

Pertama melalui pengajaran yaitu proses pemindahan nilai berupa

(Ilmu) pengetahuan dari seorang guru kepada murid-muridnya dari suatu

generasi kegenerasi berikutnya.

Kedua melalui pelatihan yang dilaksanakan dengan jalan

membiasakan seseorang melakukan pekerjaan tertentu untuk memperoleh

keterampilan mengerjakan pekerjaan tersebut.

Ketiga melalui indoktrinnasi yang diselenggarakan agar orang

meniru atau mengikuti apa saja yang diajarkan orang lain tanpa

mengijinkan si penerima tersebut mempertanyakan nilai-nilai yang

diajarkan.

Terkadang apabila ingin membahas seputar Islam dalam

Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat menarik terutama dalam

kaitannya dengan upaya pembangunan Sumber Daya Manusia muslim,

sebagaimana Islam di pahami sebagai pegangan hidup yang diyakini

mutlak kebenarannya akan merai arah dan landasan etis serta moral

pendidikan, atau dengan kata lain hubungan antara Islam dan pendidikan

bagaikan dua sisi keping mata uang. Artinya, Islam dan pendidikan

mempunyai hubungan filosofis yang sangat mendasar baik secara

ontologis, epistimologis maupun aksiologis.

18
Prof. H. Muhamad Daud Ali S.H. dan Hj. Habiba Daud S.H.” Lembaga-lembaga Islam di
Indonesia”. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1995 Hal 137.

15
Pemikiran di atas sejalan dengan falsafah bahwa sebuah usaha

yang tidak mempunyai tujuan tidak akan mempunyai arti apa-apa. Ibarat

seseorang yang bepergian tak tentu arah maka hasilnya adalah tidak lebih

dari pengalaman selam perjalanan. Pada dasarnya pendidikan merupakan

usaha yang dilakukan sehingga dalam penerapannya ia tak kehilangan arah

dan pijakn. Namun sebelum masuk dalam pembahasan mengenai fungsi

dan tujuan pendidikan Islam terlebih dahulu perlu dijelaskan apa

pengertian Pendidikan Islam itu sendiri.

Zarkowi Soejati dalam makalahnya yang berjudul “Model-model

Perguruan Tinggi Islam” mengemukakan pendidikan Islam paling tidak

mempunyai tiga pengertian antara lain:

Pertama lembaga pendidikan Islam itu pendirian dan

penyelenggaraannya didorong oleh hasrat mengejawantahkan nilai-nilai

Islam yang tercermin dalam nama lemabaga pendidikan itu dan kegiatan-

kegiatan yang diselenggarakan.

Kedua lembaga pendidikan memberikan perhatian dan

menyelenggarakan kajian tentang Islam yang tercermin dalam program

sebagai ilmu yang diperlukanseperti ilmu-ilmu lain yang menjkadi

program kajian lembaga pendidikan Islam yang bersangkutan.

Ketiga mengandung kedua pengertian di atas dalam arti “lembaga

tersebut memperlakukan Islam sebagai sumber nilai bagi sikap dan tingkah

16
laku yang harus tercermin dalam penyelenggaraannya maupun sebagai

bidang kajian yang tercermin dalam program kajiannya”. 19

Konsep pendidikan Islam sebagaimana dikemukakan Zarkowi

Soejati tersebut, terkesan sederhana dan belum terlalu luas cakupannya,

namun paling tidak konsep ini bisa diterapkan dalam upaya peningkatan

sumberdaya manusia melalui pencerminan penyelenggaraan pendidikan

dan program kajian yang bernuansa Islami dalam proses pemindahan nilai-

nilai yang dimiliki dan dapat dibawah ke-masyarakat.

Adapun pendapat lain mengatakan bahwa pengertian pendidikan

Islam yaitu sebuah proses yang dilakukan untuk menciptakan manusia-

manusia yang seutuhnya : beriman dan bertaqwa kepada Tuhan serta

mampu mewujudkan eksistensinya sebagai khalifah Allah di muka bumi,

yang berdasarkan kepada ajaran Al-qur’an dan As-sunnah, maka tujuan

dan konteks ini terciptanya manusia seutuhnya “Insan Kamil”, setelah

proses pendidikan berakhir.

Sebagaimana di tegaskan dalam Al-qur’an :

Artinya : “Sesunggunya kami telah menciptakan manusia dalam

bentuk sebaik-baiknya.”

Dalam artian bahwa pendidikan Islam adalah proses penciptaan

manusia yang memilki kepribadian serta berakhlakul karimah “Akhlak

Mulia” sebagai makhluk pengemban amanah di bumi.

19
A. Malik Fajar, “Reorientasi Pendidikan Islam”, Jakarta : Fajar Dunia 1999, Hal 31.

17
Maka Pendidikan Islam adalah pendidikan yang mampu

menyiapkan kader-kader khalifah, sehingga secara fungsional

keberadaannya menjadi pemeran utama terwujudnya tatanan dunia

yang rahmatan lil–‘alamin. Ditambahkan lagi bahwa pendidikan Islam

adalah pendidikan yang berwawasan semesta, berwawasan kehidupan

yang utuh dan multi dimensional, yang meliputi wawasan tentang Tuhan,

manusia dan alam secara integratif.

2. Tujuan dan Fungsi Pendidikan Islam

Sebelum lebih jauh menjelaskan tujuan pendidikan Islam terlebih

dahulu apa sebenarnya makna dari “tujuan” tersebut. Secara etimologi

tujuan adalah “arah, maksud atau haluan. Termminologinya tujuan berarti

sesuatu diharapkan tercapai setelah sebuah usaha atau kegiatan selesai.

Oleh H.M. Arifin menyebutkan, bahwa tujuan proses pendidikan Islam

adalah “idealitas (cita-cita) yang mengandung nilai-nilai Islam yang

hendak dicapai dalam proses kependidikan yang berdasarkan ajaran Islam

secara bertahap.

Maka secara umum, tujuan pendidikan Islam terbagi antara lain:

Pertama, tujuan umum adalah tujuan yag akan dicapai dengan

semua kegiatan pendidikan baik pengajaran atau dengan cara lain.

Kedua, tujuan sementara adalah tujuan yang akan dicapai setelah

anak didik diberi sejumlah pengalamn tertentu yang direncanakan dalam

sebuah kurikulum.

18
Ketiga, tujuan akhir adalah tujuan yang dikehendaki agar peserta

didik menjadi manusia-manusia sempurna (insan kamil) setelah ia

menghabisi sisa hidupnya.

Keempat, tujuan operasional adalah tujuan praktis yang akan

dicapai dengan sejumlah kegiatan pendidikan tertenru.

Sementara itu dalam Konferensi Internasional Pertama tentang

Pendidikan Islam di Mekah pada tahun 1977 merumuskan tujuan

pendidikan Islam sebagai berikut :

“Pendidikan bertujuan mencapai pertumbuhan kepribadian

manusia yang menyeluruh secara seimbang melalui latihan jiwa,

intelektual diri manusia yang rasional, perasaan dan indera. Oleh karena

itu pendidikan harus mencakup pertumbuhan manusia dalam segala

aspeknya seperti: spritual, intelektual, imajinatif, fisik, ilmiah, bahasa, baik

secara individu maupun secara kolektif, dan mendorong semua aspek ini

ke arah kebaikan untuk mencapai kesempurnaan. Tujuan akhir pendidikan

muslim terletak pada perwujudan ketundukan yang sempurna kepada

Allah baik secara pribadi, komunitas, maupun seluruh umat manusia”.20

Konsep di atas sejalan dengan rumusan tujuan pendidikan Islam,

yaitu meningkatkan keimanan, pemahaman, penghayatan dan pengalaman

anak tentang Islam, sehingga menjadi manusia muslim yang beriman dan

bertaqwa kepada Allah swt serta berakhlak mulia dalam kehidupan

pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sehingganya dalam

20
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, “Kamus Besar Bahasa Indonesia”, Jakarta: Balai
Pustaka 1995, edisi ke-2, Cet ke-4, Hal 1077.

19
konteks ini pendidikan Islam haruslah senantiasa mengorientasikan diri

kepada menjawab kebutuhan dan tantangan yang muncul dalam

masyarakat kita sebagai konsekuensi logis dari perubahan.

Dapat pula katakan, bahwa tujuan pendidikan Islam adalah

kepribadian muslim, yaitu sesuatu kepribadian yang seluruh aspeknya

dijiwai oleh ajaran Islam. Orang yang dalam kepribadian muslim dalam

Al-qur’an disebut “Muttaqin” karena itu Pendidikan Islam berarti pula

pembentukan manusia yang bertakwa, sebagaimana konsep pendidikan

nasional yang dituangkan dalam tujuan pendidikan nasional yang akan

membentuk manusia pancasilais yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha

Esa.

Dengan demikian jika dilakukan rekonstruksi, maka menurut Islam

ilmu yang selayaknya dikuasai manusia merupakan perpaduan dari ilmu –

ilmu yang diperoleh manusia melalui kawasan alam semesta dengan ilmu

yang dikirim melalui wahyu yang dapat ditangkap oleh para nabi dan

rasul. Dalam perspektif pendidikan Islam yang menyiapkan manusia agar

dapat melakukan perannya, baik sebagai khalifah maupun sebagai ‘abd,

maka ilmu yang wajib dituntut adalah ilmu yang sifatnya terpadu, dan

inilah ciri khas pendidikan Islam.

Dilihat dari tujuan pendidikan di atas maka dengan sendirinya

terimplisit fungsi pendidikan Islam. Dapat diartikan fungsi Pendidikan

Islam adalah untuk menjaga keutuhan unsur–unsur individu anak didik

dengan mengoptimalkan potensinya dalam garis keridhaan Allah, serta

20
mengoptimalkan perkembangannya untuk bertahan hidup terhadap aspek

keterampilan setiap anak. Pendidikan Islam adalah pendidikan terbuka.

“Artinya Islam mengakui adanya perbedaan, akan tetapi perbedaannya

yang hakiki ditentukan oleh amalnya. Oleh karena itu pendidikan Islam

pada dasarnya terbuka, demokratis, dan universal. Keterbukaan tersebut

ditandai dengan kelenturan untuk mengadopsi (menyerap) unsur–unsur

positif dari luar, sesuai perkembangan dan kebutuhan masyarakatnya, dan

tetap menjaga dasar–dasarnya yang original yang bersumber pada Al-

Qur’an dan Al-hadits”. 21

B. Paradigma Islam Transformatif

1. Pengertian Islam Transformatif

Islam transformatif adalah tanggung jawab terhadap mereka yang

termarjinalkan, melakukan perubahan demi mencapai kebebasan dan

keadilan sosial. Agama harus ditafsirkan secara kontekstual sehingga

dapat berfungsi dalam kehidupan sosial selain kehidupan ritual. 22

Pemaknaan seperti ini bernilai bahwa Islam transformatif memiliki tugas

ganda selain menciptakan keadilan sosial juga meningkatkan keimanan

dengan melakukan kegiatan sosial.

Menurut pandangan Abuddin Nata, Islam transformatif adalah Islam

yang mengubah, membentuk serta menjadikan. 23 Ketiga istilah tersebut

dipahami Nata sebagai hakikat transformatif. Mengubah dalam arti

21
Abd al- Ghani ‘Abud, “Dirasat Muqaranat li Tarikh al – Tarbiyah”, Kairo : Dar al- Fikr Al –
Arabi, 1987 Hal 203
22
Budhi Munawar Rahman, Islam Pluralis, (Jakarta: Paramadina,2001), 448
23
Abuddin Nata, Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Grafindo Persada,
Cet. 2,2001), 78

21
memberikan perubahan kondisi masyarakat yang termarginalkan oleh

modernisasi dan pembangunan. Membentuk karakter manusia agar lebih

humanis, serta menjadikan masyarakat berdasarkan cita-cita Islam.

Pemaknaan ini mewakili corak pemikiran Islam transformatif yang tak

lepas dari peningkatan kompetensi sosial umat beragama, karena

kehidupan beragama tidak hanya ibadah tetapi juga muamalah.

Islam itu memang bernilai transformatif yaitu agama perbaikan,

agama yang memperjuangkan masyarakat menuju kebaikan yang lebih

egaliter, demokratis, mandiri tanpa campur tangan negara. Nilai-nilai

transformatif tersebut dalam sejarah agama Islam telah dimulai dari

dakwah rasul yang memperjuangkan masyarakat dari keterpurukan akibat

zaman jahiliah, hal inilah yang menginspirasi para pemikir transformatif

untuk melanjutkan misi Rasulullah.

Rahardjo sebagai dikutip Anwar mendefiniskan teologi transfomatif

atau Islam transformatif ialah teologi yang bersifat pembebasan dan

emansipatoris. Islam sebagai sebuah teologi mampu memberikan

kebebasan dan emansipatori kepada umat manusia untuk melakukan

perubahan yang signifikan. Usaha-usaha menuju perubahan tersebut

dilakukan merupakan wujud dari agama Islam yang hakiki. Akibatnya

kemaslahatan di dalam kehidupan sosial akan tercapai, ketidakadialan,

penindasan, kebodohan bisa dibebaskan dari dunia ini. 24

24
M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kaajian Politik Tentang
Cendekiawan Muslim Orde Baru, (Jakarta: Paramadina 1995), 166

22
Jika Rahardjo memakai teologi transformatif sebagai sebuah teologi

pembebasan dan emansipatori, maka pada hakikatnya paradigma

transformasi tidak hanya berkecimpung dalam aspek teologi semata

melainkan juga pada aspek lainya seperti ekonomi, politik sosial dan

pendidikan. Dikarenakan pada semua aspek tersebut terus terjadi

ketimpangan dan ketidakadilan sehingga menimbulkan dampak negatif

kepada masyarakat. Oleh karenanya menurut Sasono sebagaimana

dikutip Qodir bahwa pemikiran transformatif ini dapat dikatakan sebagai

bentuk lain dari keuniversalan Islam. 25

Teologi transformatif mengkaitkan antara teologi dan analisis sosial,

dalam bahasa Moeslim Abdurrahman adanya dialog antara keduanya,

dari kritik dialogis, ke kritik tafsir. Kaitan serta dialog seperti ini akan

menghasilkan gerakan menuju perubahan atau pembebasan.

2. Latar belakang lahirnya Islam Transformatif

Paradigma Islam transformatif merupakan jawaban atas

ketidakpuasan golongan transformatif terhadap apa yang telah dilakukan

pembaharu-pembaharu sebelumnya, yaitu Islam peradaban dan Islam

rasional. Islam transformatif berupaya memberikan jawaban praksis atas

permasalahan sosial yang terjadi di masyarakat. menyatukan analisis

sosial dengan tafsir al-Qur’an seperti yang dilakukan oleh Dawam

Rahardjo.26

25
Zuly Qodir, Pembaharuan Pemikiran Islam: Wacana Intelektuak Indonesia,(Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2006), 102
26
Zubaedi, Islam dan Benturan Antarperadaban: Dialog Filsafat Barat dengan Islam, Dialog
Peradaban dan Dialog Agama, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), 165

23
Alasan lain lahirnya golongan transformatif ini adalah adanya

probelamatika yang dibawa oleh golongan pemikir Islam sebelumnya

yang memisahkan hubungan antara manusia dengan Tuhan, antara

manusia dengan alam, antara manusia dengan manusia itu sendiri. Ketika

keretakan hubungan terjadi akibatnya ketidakadilan di dalam

membangun masyarakat akan terjadi. Hal ini diamini oleh Faisal Ismail

sebagaimana dikutip Zubaed bahwa Islam transformatif merupakan

respon terhadap dampak negatif dari pembangunan dan kapitalisme dunia

yang sudah merusak tatanan kehidupan sosial masyarakat khususnya di

Indonesia.27

Menurut Toffler sebagaimana dikutip Dawam bahwa ada beberapa

sebab yang memberikan kekuatan bagi para pemikir transformatif untuk

melakukan perubahan, sebab-sebab tersebut ialah: 1) adanya

ketidakadilan antara satu kelompok dengan kelompok lain; 2) banyak

terjadi kerusakan lingkungan serta sumber daya alam; 3) struktur

organisasi tidak berpihak kepada peranan individual; dan 4) adanya

dampak negatif dari teknologi baru.28

3. Tipologi Islam Transformasi

Secara umum paradigma Islam transformatif ini terbagi ke dalam dua

bagian yaitu bersifat praksis dan teoritis. Islam Transformatif praksis

fokus kepada pemecahan problematika yang berkaitan kepada seluruh

aspek kehidupan seperti sosial, ekonomi, politik, pengembangan


27
Zubaedi, Islam dan Benturan Antarperadaban, 163
28
M. Dawam Rahardjo, Intelektual, Intelegensia, dan Perilaku Politik Bangsa: Risalah
Cendekiawan Muslim,` (Bandung; Mizan, Cet. III, 1996), 112

24
masyarakat, dengan kata lain para pemikir dari golongan ini lebih

menginginkan ajaran-ajaran Islam dapat dibumikan atau diaktualisasikan

ke dalam kehidupan sehingga memberikan energi atau kekuatan positif

demi mencapai keadilan sosial. Mereka menghendaki makna teologi

bukan sebatas sebuah ajaran doktrinal namun sebagai ajaran yang

membebeskan dari belenggu kemunduran. Pemikiran praksis ini terlihat

dalam pandangan M. Dawwam Rahardjo. Adi Sasono, M. Amin Aziz. 29

Selanjutnya golongan kedua yaitu Islam transformatif yang bersifat

teoritis, mereka fokus kepada perumusan teori-teori sosial yang mampu

memberikan solusi kepada permasalahan kehidupan sosial, sehingga apa

yang mereka hasilkan mampu menjelaskan serta membimbing

masyarakat dalam mencapai nilai-nilai kehidupan. 30 Mereka yang

digolongkan dalam pemikir Islam Transformatif teoritis adalah moeslim

Abdurrahman.31

4. Karakteristik Islam Transformatif

Abuddin Nata memberikan beberapa karakteristik Islam

Transformatif berdasarkan pengertian dari Islam Transformatif itu

sendiri, karakteristik tersebut adalah sebagai berikut:

1) Bertujuan kepada upaya dan usaha dalam rangka merealisasikan cita-

cita Islam yaitu membawa kerahmatan kepada seluruh alam;

29
Anwar, Pemikiran dan Aksi, 162
30
M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik Tentang
Cendekiawan Muslim Orde Baru, (Jakarta: Paramadina, 1995), 162-163
31
Anwar, Pemikiran dan Aksi, 163

25
2) Adanya kesimbangan antara ajaran Islam yang bersifat ritual dengan

misi Islam;

3) Menegakkan nilai-nilai kemanusian dan nilai-nilai demokratis;

4) Fokus pada probelamatika kehidupan sosial masyarakat yang aktual. 32

5. Metode Islam Transformatif

Pada epistemologi Islam transformatif diperlukan dua metode

sebagai agenda besar Islam menghadapi tantangnan zaman, pandangan

ini digagas oleh Rahardjo yaitu rasionalisasi dan objektivikasi.

Rasionalisasi merupakan jalan untuk mengembangkan filsafat agama

sedangkan obyektivitas adalah proses penafsian publik disertai hasil

peneltian empiris.33 Rasionalisasi dan obyektivikasi menjadi hal yang

dapat diterima oleh masyarakat modern karena nilai-nilai ajaranya tidak

bertentangan dengan perkembangan zaman modern ini. Norma-norma

agama menjadi lebih lebih fungsionalis tidak statis belaka, lebih

seimbang antara kesalehan individu dengan kesalehan sosial.

Selain rasionalis, obyektivitasi, satu lagi aspek metodologi yang

pakai dalam analisis sosial pada teologi ini, adalah analisis ekonomi-

politik, kekuasaan sebagai variabel analisnya.34 Metode analis semacam

ini memberikan jalan bagi kalangan transformatif untuk memberikan

kekuatan melawan ketimpangan sosial yang ditimbulkan oleh

32
Abuddin Nata, Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia, (Jakarta; PT RajaGrafindo
Persada, Cet. 2, 2001), 78-86
33
M. Dawam Rahardjo, Merayakan Kemajemukan Kebebasan dan Kebangsaan,
(jakarta:Kencana,2010),98
34
Rahman, Islam Pluralis, 449

26
kapitalisme. Kekuatan tersebut dapat berupa gerakan kebudayaan

maupun rumusan teori ilmu Islam yang terkait dengan ekonomi.

6. Dimensi Islam Transformatif

Adalah melakukan transformasi dari tingkat bawah dari berbagai

aspek tidak hanya aspek teologis. Transformasi lahir dikarenakan konsep

pembangunan serta modernisasi yang terjadi pada masa orde baru

memberikan ketimpangan kesejahteraan masyarakat dari berbagai

bidang. Dimensi-dimensi tersebut dapat diuraikan dibawah ini secara

singkat:

a. Kritik Terhadap Pembangunan

Kritikan disampaikan oleh Dawam Rahardjo atas konsep

pembangunan di zaman orde baru, sebagaimana dikutip Qodir bahwa

pembangunan menimbulkan dampak yang luar biasa bagi

masyarakat kelas bawah dalam bahasa Dawam disebut korporasi

negara atas masyarakat. sedangkan Sasono juga memberikan kritikan

tajam terhadap konsep ini, sebagaiman dikutip Qodir bahwa

pembangunan yang dilakukan pada masa orde baru telah menggiring

masyarakat kepada ketidakadilan sosial ekonomi maupun

pendidikan. 35

Kritikan-kritikan tersebut tentu tidak hanya sebatas kritikan, tapi

Dawam dan Sasono memberikan solusi yang tepat untuk mengatasi

ketimpangan sosial yang terjadi di dalam masyarakat. Dawam

35
Qodir, Pembaharuan Pemikiran Islam, 109-111

27
mengajukan solusi untuk merekonstruksi pemahaman teologi

masyarakat, sedangkan Sasono memberikan pemikiran bahwa

perlunya merumuskan pemikiran baru yang berparadigma Islam.

b. Kritik Modernisasi

Proses modernisasi telah berlangsung di berbagai negara, tapi

tidak sepenuhnya berhasil. Dikarenakan nilai-nilai yang

dikembangkan dan dibawa oleh teori modernisasi ini tidak relevan

serta tidak berkembang secara baik. Dawam menambahkan bahwa

berdasarkan kepustakaan teori modernisasi ini telah banyak

mengalami otokritik, hal ini dikarenakan orang-orang yang

menggunakan teori ini telah melakukan reduksi menurut

kepentingannya masing-masing, sehingga berdampak kepada

kekuatan teori modernisasi tersebut.36

Sebagai dampak dari proses modernisasi yang terjadi di Indonesia

adalah lahirnya pemerintahan yang otoriter, kelompok elit di bidang

ekonomi, ketimpangan sosial terjadi dimana-mana, kemiskinan terus

bertambah, organisasi masyarakat tidak berkembang karena

pemerintah menciptakan organisasi yang bersifat kapitalis. Dampak-

dampak tersebut merupakan kesalahan yang dilakukan oleh negara

Indonesia dalam menerapkan teori modernisasi. 37

36
Rahardjo, Intelektual, Intelegensia, 376
37
Ibid, 380

28
c. Transformasi Sosial

Sebagaimana telah dicatat pada dimensi sebelumnya, bahwa

Dawam menghendaki adanya rekonstruksi pemahaman keagamaan

masyarakat Indonesia yang masih tergolong terkurung dengan ilmu-

ilmu Islam tradisional. Agama Islam hanya dikategorikan sebatas

ilmu aqidah, syariah, akhlak dan mungkin tasawuf. Lebih jelas apa

yang dikehendaki Dawan terangkum dalam pernyataannya

sebagaimana dikutip Anwar yaitu:

Landasan berpikir umat Islam yang melihat Islam

sebagai Fiqih, Aqidah, Akhlaq dan Tasawuf sudah tidak

memadai lagi dan perlu dirombak. Umat Islam harusnya

melihat permasalahan dunianya, lingkup dan kerangka

budaya universal sebagai pedoman dalam merumuskan

konsep-konsep hidupnya. Ternyata Fiqih yang pola

dasarnya diambil sebagai pedoman oleh umat Islam

sudah tidak memenuhi tuntutan budaya universal dengan

segenap perubahan yang terjadi dalam sejarah kehidupan

manusia dan perkembangan ilmu pengetahuan. Umat

Islam tradisional telah terlanjur membakukan masalah-

masalah keagamaan sehingga bila berhadapan dengan

realitas kehidupan, mereka tidak menemukan jawaban

yang jelas dan praktis.38

38
Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia., 165

29
C. Pengembangan Pendidikan Islam

1. Makna Pengembangan Pendidikan Islam

Pengembangan pendidikan Islam dapat diartikan baik secara

kuantitatif maupun kualitatif. Secara kuantitatif, pengembangan

bermakna perluasan, pemerataan dan menjadi lebih besar. Hal ini dapat

dimaknai bahwa pengembangan pendidikan Islam dilihat dari segi

kuantitatif ialah mengembangkan atau menjadikan pendidikan Islam

lebih besar pengaruhnya terhadap kehidupan. Sedangkan secara

kualitatif, makna pengembangan adalah lebih baik, lebih bermutu dan

lebih maju. Oleh karenanya pengembangan pendidikan dinilai secara

kualitatif bermakna bagaimana memajukan, memutukan dan

memperbaiki pendidikan Islam lebih maju, lebih bermutu dan lebih baik

ke depannya.39

Sedangkan pengertian pendidikan Islam itu sendiri lebih diperluas

cakupannya yaitu sebagai aktivitas dan fenomena. Oleh karena itu,

pendidikan Islam, berarti pandangan hidup, sikap hidup, dan

keterampilan hidup yang bernafaskan atau dijiwai oleh ajaran dan nilai-

nilai Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah/Al-Hadits.40

Berdasarkan makna pengembangan serta pendidikan Islam di atas,

dapat disimpulkan bahwa pengembangan pendidikan Islam adalah

39
Muhaimin, Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam, (Jakarta: Rajawali
Pers, 2011), 1
40
Muhaimin. Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2003), 47

30
menjadikan pandangan, sikap serta keterampilan hidup yang Islami lebih

baik dan bermutu bagi kehidupan individu maupun sosial.

2. Paradigma Pengembangan Pendidikan Islam

Berdasarkan perspektif kepedulian sosial serta sebagai antisipasi

perubahan zaman yang begitu cepat, maka Muhaimin membagi tiga

paradigma pengembangan pendidikan Islam sebagai berikut:

1) Paradigma Ortodoksi, adalah cara pandang yang menganggap semua

ajaran Islam merupakan hasil buah pikiran ulama terdahulu dan harus

dijadikan sebagai pedoman dalam sistem pendidikan Islam tanpa ada

sifat membangkang dan mengkritisi hasil pikiran tersebut;

2) Paradigma Islamisasi, adalah cara pandang yang terus melakukan

penggalian teks-teks untuk menemukan jati diri Islam dalam segi

pendidikan, dan memandang temuan ilmu pengetahuan ilmuwan barat

sebagai ancaman pemusnahan identitas keilmuan Islam;

3) Paradigma Modernisasi, ialah cara pandang yang bertujuan untuk

mengembangkan pendidikan dengan cara memodernisasi seluruh

aspek pendidikan yang terangkum dalam sistem pendidikan Islam,

agar pendidikan Islam tidak ketinggalan zaman dan mampu menjawab

tuntutan perubahan.41

Perkembangan Paradigma Modernisasi pendidikan Islam diutarakan

Amin Abdullah dengan mengajukan beberapa alternatif formulasi

41
Muhaimin, Pemikiran dan Aktualisasi, 11-12

31
pendidikan Islam yang dapat diterapkan pada masyarakat modern, di

antaranya :

1) Memperkenalkan kepada para peserta didik persoalan-persoalan

modernitas yang dihadapi umat Islam saat ini dan mengajarkan

pendekatan keilmuan sosial keagamaan yang saat ini berkembang;

2) Pembelajaran ilmu-ilmu keIslaman tidak selalu bersifat doktrinal,

melainkan disampaikan melalui pendekatan sejarah dari doktrin-

doktrin tersebut sehingga memunculkan telaah kritis yang apresiatif

konstruktif terhadap khazanah intelektual klasik;

3) Pembelajaran yang bertumpu pada teks (nash) perlu diimbangi dengan

analisa yang mendalam dan cerdas terhadap konteks dan realitasnya;

4) Pengajaran tasawuf atau pengembangan kecerdasan emosional dan

spiritual sangat diperlukan dan pelaksanaan pendidikan Islam tidak

terlalu menekankan pada aspek kognitif siswa (intelektual);

5) Pendidikan agama Islam tidak hanya diarahkan kepada pembentukan

kesalehan individual tetapi juga mengembangkan pembentukan

kesalehan sosial. 42

Selain Amin Abdullah, Shipman seperti dikuti Azumardi Azra juga

mengutarakan beberapa fungsi Pendidikan Islam dalam ruang

Modernisasi yaitu: (1) sosialisasi, sebagai lembaga sosialisasi,

pendidikan adalah wahana bagi integrasi anak didik ke dalam nilai-nilai

kelompok atau nasional yang dominan. (2) pembelajaran (schooling),

42
Abdullah. Pendidikan Agama, 78-80

32
berfungsi mempersiapkan masyarakat/peserta didik untuk menempati

posisi sosial- ekonomi tertentu, (3), pendidikan merupakan education,

berfungsi menciptakan kelompok elit yang pada gilirannya akan

memberikan sumbangan besar bagi kelanjutan program pembangunan.43

Ketiga paradigma di atas ditambahkan oleh Muhaimin dengan

beberapa model pengembangan pendidikan Islam yang diterapkan oleh

lembaga-lembaga pendidikan Islam di setiap jenjang atau jalur

pendidikannya. Model-model tersebut adalah sebagai berikut:

1) Model Dikotomis, yaitu model pengembangan yang didasari oleh

pandangan yang melihat segala sesuatu dari dua sisi yang berlawanan,

sehingga berimplikasi kepada pengembangan pendidikan Islam yang

hanya berkutit kepada satu hal tidak bersifat holistik. Intinya

pendidikan Islam hanya dikembangkan aspek kerohanian belaka tanpa

mengembangkan aspek lainnya;

2) Model Mekanisme, ialah model pengembangan yang didasari oleh

cara pandang kehidupan tersusun dari beranekaragam dimensi. Model

semacam ini berimplikasi kepada pengembangan pendidikan Islam

secara komprehensif karena berkenaan dengan seluruh dimensi

kehidupan baik itu bersifat horizontal-lateral, atau lateral-sekuensial,

atau vertikal linier;

3) Model Organism/Sistemik, yaitu model ini didasari pandangan bahwa

aktivitas pendidikan merupakan aktivitas beranekaragam komponen

43
Marwan Saridjo, Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Amissco, 1996), 3

33
dalam satu sistem yang saling mengisi, menguatkan dan melengkapi.

Berdasarkan model ini maka pengembangan pendidikan Islam akan

mampu mengintegrasikan nilai-nilai ilmu pengetahuan dengan nilai-

nilai agama dan etik sehingga melahirkan manusia yang mahir dalam

segala bidang serta memiliki kedalaman spiritual. 44

Abdul Munir Mulkhan memberikan dua solusi dalam pengembangan

pendidikan Islam di tengah-tengah problematika kehidupan sosial, solusi

pertama ialah mengembangkan suasana demokratis, dialogis serta

kepercayaan akan kemampuan manusia menjalankan fungsinya sebagai

khalifah di muka bumi ini. Sedangkan solusi yang kedua adalah

mengembangkan dua pendekatan yaitu pendekatan paradigmatik serta

pendekatan moral-etik. Pendekatan paradigmatik berfungsi merangkul

semua problematika pendidikan Islam, lalu pendekatan moral etik

berfungsi memberikan pemecahan problematika tersebut.45

3. Dimensi Pengembangan Pendidikan Islam

Berbicara mengenai pengembangan pendidikan Islam tidak akan lepas

dari tiga dimensi sebagai berikut: dimensi hakikat, epistemologi dan

tujuan pendidikan Islam. dari tiga dimensi tersebut banyak memberikan

dampak kepada perkembangan pendidikan Islam secara teoritis, dan

berharap memberikan dampak kepada ranah aplikatif.

44
Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam: Dari Paradigma Pengembangan, Manajemen
Kelembagaan Kurikulum hingga Strategi Pembelajaran, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2009), 59-68
45
Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim: Pengantar Filsafat Pendidikan Islam
dan Dakwah, (Yogyakarta: SIPRESS, Cet. II, 1994), 236

34
1) Hakikat Pendidikan Islam (Ontologi)

Menurut Muhaimin pendidikan Islam pada hakikatnya dapat

disimpulkan menjadi dua pengertian yaitu, pertama: pendidikan Islam

merupakan kegiatan pendidikan yang berlandaskan niat untuk

mengaplikasikan nilai-nilai Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan

As-Sunnah. Pengertian kedua ialah sistem yang dikembangkan dengan

asas nilai-nilai Islam. 46

Imam Bawani lebih mendefinisikan Pendidikan Islam ke arah

kegiatan dakwah, hal ini tiada lain merujuk kepada sejarah Nabi

Muhammad SAW yang pertama kali menyampaikan Pendidikan Islam

kepada masyarakat muslim pada awal mula penyebaran ajaran Islam. 47

Sedangkan Nauqib Al-Attas memberikan kesimpulan terkait hakikat

Pendidikan Islam yang lebih menggunakan istilah ta’dib seperti

dikutip Bawani yaitu:

Pengenalan dan pengakuan, yang secara berangsur-angsur

ditanamkan kepada manusia, tentang tempat-tempat yang

tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan

sedemikian rupa, sehingga membimbing ke arah pengenalan

46
Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam, 14
47
Imam Bawani, Segi-segi Pendidikan Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1987), 73

35
dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan

wujud keperiadaan48

Ketiga definisi yang dipaparkan oleh tokoh di atas, dapat dijadikan

landasan dalam memaknai hakikat pendidikan baik secara filosofis

sebagaimana pemaknaan Al-Attas atau secara praktis seperti definisi

yang disampaikan oleh Muhaimin dan Bawani.

Hasan Langgulung memberikan makna pendidikan Islam sejalan

dengan Imam Bawani yang lebih condong ke arah kegiatan dakwah,

karena Rasulullah mengajarkan ajaran Islam berawal dari keimanan

yang kuat serta menyakini bahwa yang diajarkan dapat memberikan

pahala di akhirat kelak, sehingga hakikatnya Pendidikan Islam

menurut Hasan Langgulung seperti dikutip Roqib ialah pendidikan

yang diajarkan atas dasar iman yang kuat serta komitmen terhadap

seluruh ajaran agama.49

Hakikat pendidikan Islam yang dinyatakan oleh Langgulung

bersifat kegiatan dakwah, namun Syed Ali Ashraf dan Syed Sajjad

Husein memandang dari sisi akhlak dan kepribadian. Oleh karenanya

hakikat Pendidikan Islam mereka definisikan sebagaimana dikutip

Roqib adalah:

Suatu pendidikan yang melatih jiwa murid-murid dengan cara

sebegitu rupa sehingga dalam sikap hidup, tindakan,


48
Bawani, Segi-segi, 217.
49
Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam: Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah,
Keluarga dan Masyarakat, (Yogyakarta: LKiS), 19

36
keputusan dan pendekatan mereka terhadap segala jenis ilmu

pengetahuan, mereka dipengaruhi oleh nilai-nilai spiritual

dan sangat sadar akan nilai etis Islam. Mereka dilatih, dan

mentalnya menjadi begitu berdisiplin sehingga mereka ingin

mendapatkan ilmu pengetahuan bukan semata-mata untuk

memuaskan rasa ingin tahu intelektual mereka atau halnya

untuk memperoleh keuntungan materiil saja, melainkan untuk

berkembang sebagai makhluk rasional yang berbudi luhur

dan melahirkan kesejahteraan spiritual, moral, dan fisik bagi

keluarga, bangsa dan seluruh umat manusia.50

2) Tujuan Pendidikan Islam (Aksiologi)

Muhammad Omar al-Toumy al-Syaibany sebagaimana dikutip

Jalaluddin merumuskan tujuan pendidikan Islam adalah untuk

mempertinggi nilai-nilai akhlak hingga mencapai tingkat akhlak al-

karimah.51 Sedangkan Hossein Nashr memberikan pandangan terkait

tujuan pendidikan Islam seperti dikutip Ghony yaitu

mengaktualisasikan semua potensi yang ada pada anak didik sebagai

bekal mengenal Sang Pencipta alam semesta dan hal ini sejalan

dengan tujuan hidupa manusia secara umum. 52

50
Ibid., 21
51
Jalaluddin, Teologi Pendidikan, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003), 92
52
M. Djunaidi Ghony, Rekonstruksi Pendidikan Islam Klasik Menurut Sayyed Hossein Nashr,
dalam Zainuddin (Eds), Pendidikan Islam; Dari Paradigma Klasik Hingga Kontemporer,
(Malang: UIN Malang Press, 2009), 384-385

37
Ali Al-Jumbulati dan Abdul Futuh at-Tuwaanisi membagi dua

tujuan terkait tujuan pendidikan Islam, kedua tujuan tersebut adalah

tujuan keagamaan dan tujuan keduniaan. Tujuan keagamaan ini

hakikatnya adalah membentuk serta membina pribadi yang baik

sehingga mampu mengamalkan semua ilmu pengetahuan yang

diperoleh dari ajaran Islam untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Sedangkan tujuan keduniaan ini dimaksudkan bahwa pendidikan

Islam sebagai alat menuju masa depan yang cerah dan untuk

mempermudah mendapatkan pekerjaan.53

Tujuan Pendidikan Islam diformulasi berdasarkan tujuan Islam

secara umum. Oleh karena itu tujuan pendidikan Islam dapat dilihat

dari tujuh dimensi utama sebagai berikut:

a) Dimensi hakikat penciptaan manusia, berdasarkan dimensi ini

maka tujuan pendidikan Islam adalah mengembangkan potensi

peserta didik secara optimal agar selalu mengabdi kepada Allah

SWT;

b) Dimensi tauhid, berdasarkan dimensi ini maka tujuan pendidikan

Islam adalah untuk membentuk karakter peserta didik menjadi

karakter yang bertaqwa;

c) Dimensi moral, berkenaan dengan dimensi ini maka pendidikan

Islam ditujukan kepada pembentukan pribadi yang bermoral;

53
Ali Al-Jumbulati dan Abdul Futuh at-Tuwaanisi, Dirasatun Muqaaranatun fit-Tarbiyyatil
Islamiyah, Terj. M. Arifin, Perbandingan Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Rineka Cipta, Cet 2,
2002), 37-38

38
d) Dimensi perbedaan individu, berkaitan dengan dimensi ini maka

pendidikan Islam diarahkan kepada pembentukan insan kamil;

e) Dimensi sosial, berhubungan dengan dimensi ini maka pendidikan

Islam ditujukan kepada pembentukan manusia sosial yang

bertaqwa dan berakhlak mulia;

f) Dimensi profesional, berkenaan dengan dimensi ini maka tujuan

pendidikan Islam adalah upaya pengembangan potensi peserta

didik sesuai dengan bakat yang dimiliki;

g) Dimensi ruang dan waktu, tujuan pendidikan Islam tidak hanya

sebatas kebahagian di dunia tapi juga di akhirat.54

Pendidikan Islam mempunyai banyak peran serta fungsi sehingga

memberikan posisi yang begitu urgen dalam menghadapi dunia

modern ini. Peran tersebut diantaranya adalah:

a) Pendidikan Islam berfungsi sebagai way of life (pandangan dan

sikap hidup) seseorang. Dalam arti pendidikan agama Islam dapat

berwujud menanamkan dan menumbuhkembangkan ajaran Islam

dan nilai-nilainya untuk dijadikan sebagai pandangan hidupnya.55

b) Pendidikan Islam berfungsi untuk membina kepribadian yang kuat

dan akhlak yang luhur peserta didik, pendidikan agama harus

54
Jalaluddin, Teologi Pendidikan, 93-100
55
Muhaimin, Nuansa Baru Pendidkan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), 141

39
mampu menghubungkan nilai-nilai normatif dengan kenyataan

sosial yang ada.56

c) Pendidikan Islam berfungsi untuk menciptakan Ukhuwah Islamiyah

dalam arti luas, yakni persaudaraan yang bersifat Islami. 57

d) Pendidikan Islam berfungsi untuk menumbuhkan kemampuan

memberi penilaian yang cermat, meningkatkan kesasaran akan tata

nilai, memupuk persahabatan antar siswa yang beraneka watak-

perangai, mengembangkan sikap saling memahami, selain itu

menciptakan sekolah sebagai lingkungan hidup bersama, sehingga

sekolah mengajarkan keterbukaan dan dialog antar siswa.

e) Pendidikan Islam berperan dalam menghilangkan sikap fanatisme

buta pada peserta didik. 58

f) Pendidikan Islam berfungsi menghilangkan sikap intoleran di

kalangan peserta didik dan masyarakat di Indonesia.59

Pendidikan Islam berfungsi memperkuat kerukunan hidup beragama

serta persatuan dan kesatuan nasional.

3) Epistemologi Pendidikan Islam

Berdasarkan kajian filsafat, epistemologi merupakan suatu teori

pengetahuan tentang bagaimana cara menyusun pengetahuan yang

benar. Epistemologi juga sebagai cabang filsafat yang menyelidiki

56
Elaga Sarapung (ed), Pluralisme, Konflik, dan Pendidikan Agama di Indonesia, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2005), 228
57
Muhaimin, Nuansa Baru, 142
58
Ibid
59
Ibid,

40
tentang keaslian pengertian, struktur, metode, dan validitas ilmu

pengetahuan. Harun Nasution memandang bahwa epistemologi ialah

ilmu yang membahas tentang apa itu pengetahuan dan bagaimana cara

memperoleh pengetahuan.60

Muththahari mengartikan epistemologi sebagai sesuatu yang dapat

memberikan pada kita suatu kekuatan dan tenaga praktis, ataupun

sesuatu yang dapat menunjukkan suatu hakikat. Karenanya ia

menganggap bahwa alam merupakan salah satu sumber pengetahuan.

Masalahnya, ada pemahaman dari sudut lain bahwa walaupun alam

merupakan sesuatu yang dapat memberikan suatu kekuatan dan suatu

tenaga praktis, ia tetap membutuhkan kemampuan fakultas manusia

untuk menangkap sesuatu (realitas) itu.61

Berdasarkan pengertian di atas, banyak program yang berkenaan

dengan epistemologi seperti Islamisasi ilmu sebagai jawaban atas

problem dualisme pengetahuan. Hal ini disebabkan adanya perbedaan

yang fundamen antara keilmuan dalam Islam dengan peradaban barat

pada tataran ontologi dan epistemologi. Islamisasi pengetahuan

berusaha mengembalikan pengetahuan pada pusatnya, yaitu tauhid.

Maksudnya supaya ada koherensi, jadi pengetahuan tidak terlepas dari

iman. Dari tauhid akan ada tiga macam kesatuan, yaitu kesatuan

pengetahuan artinya bahwa pengatahuan harus menuju kepada

kebenaran yang satu, kesatuan kehidupan berarti hapusnya perbedaan


60
Harun Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta, 1978), 7
61
Murtadha Muththahari, Mengenal Epistemologi, terj. Muhammad Jawad Bafaqih (Jakarta :
Lentera, 2003),

41
antara ilmu yang sarat nilai dengan ilmu yang bebas nilai, dan

kesatuan sejarah artinya pengetahuan harus mengabdi pada umat dan

pada manusia.62

Oleh karena itu, pembelajaran dalam pendidikan Islam diarahkan

pada konsep tauhid sebagai tujuan pada setiap prosesnya. Jika tauhid

sudah menjadi landasan epistemologi, maka pendidikan akan bermula

dan berakhir dengan tujuan yang sama yaitu meng-Esakan Tuhan

yang memberikan ilmu pengetahuan.

Herman Soewardi sebagaimana dikutip Sumarna memberikan

alternatif dengan menawarkan konsep epistemologi tauhidullah.

Konsep ini sebagai upaya kongkrisitas dalam melakukan hal yang

benar, yang dituntun oleh Allah. Dengan demikian akan ditemukan

premis-premis yang membawa kita ke koridor-koridor yang baik,

yang secara sekuensial tidak menimbulkan kerusakan di bumi. 63

Menurut Ahmad M. Saefuddin bahwa paradigma serta

epistemologi kehidupan harus bermuara pada al-Qur’an sebagai

sumber kebenaran yang sah. Epistemologi ini disebut dengan

Epistemologi Qurani. Paradigma dan epistemologi dimaksud adalah

sebagai berikut: Keesaan Allah (Al-Ankabut; 2), Kesatuan Alam

Semesta (Al-Anbiya; 22, Al-Furqan; 2), Kesatuan Kebenaran dan

Kesatuan Pengetahuan artinya kebenaran itu satu dan pengetahuan itu

62
Kuntowijoyo. Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika. (Yogyakarta: Tiara
Wacana, Edisi 2, 2006), 7-8
63
Cecep Sumarna. Rekonstruksi Ilmu; Dari Empirik-Rasional Ateistik ke Empirik-Rasional
Teistik. (Bandung: Benang Merah Press, 2005), 158

42
satu karena ilmu juga satu namun karena akal bisa dipengaruhi atau

dicampuradukkan dengan keinginan-keinginan dan imanjinasi maka

kebenaran menjadi tidak sama, Kesatuan Hidup artinya manusia

memiliki kesatuan hidup yaitu amanah dari Allah sebagai khalifah,

dan Kesatuan Umat Manusia artinya suatu semangat kemanusian

untuk saling menjadi rahmat untuk manusia di belahan bumi

manapun. 64

Sementara itu, Naquib al-Attas mempraktikkan metode tauhid

dalam ilmu pengetahuan dalam epistemologi Islam, dan ia telah

menemukan bahwa seluruh representasi tradisi Islam telah

mengaplikasikan berbagai metode di dalam penyelidikan seperti:

relegius dan ilmiah, empiris dan rasional, deduktif dan induktif,

subjektif dan objektif tanpa menjadikan salah satu metode lebih

dominan dari yang lain. Metode tauhid ini menyelesaikan

problematika dikotomi yang salah, seperti antara aspek objektif dan

subjektif ilmu pengetahuan, metode ilmu pengetahuan alam yang

diklaim lebih objektif dianggap memiliki validitas yang lebih tinggi

dibandingkan ilmu agama yang dianggap subjektif.65

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) upaya untuk

memajukan ilmu pengetahuan mengunakan beberapa konsep yaitu

konsep westernisasi, konsep modernisasi dan konsep reformasi yang

64
Ahmad M. Saefuddin. dkk. Desekularisasi Pemikiran Landasan Islamisasi. (Bandung: Mizan,
1987), 83-89
65
Wan Mohd Nor Wan Daud. Filsafat Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas. terj.
Hamid Fahmy. dkk. (Bandung: Mizan, 2003), 293-295

43
mampu merubah sistem pendidikan Islam agar bisa bersaing dengan

perubahan zaman dan meNata ulang pendidikan Islam agar bisa

menjawab perubahan ke masa depan. (2) strategi pendidikan Islam

yang digunakan dalam masyarakat modern di mulai dari perubahan

materi dan kurikulum pendidikan yang harus di desain ulang agar

mampu beradaptasi dengan perubahan zaman yang semakin maju,

evaluasi pendidikan Islam dan beberapa solusi permasalahannya.66

Mujammil Qomar memberikan beberapa fungsi epistemologi

pendidikan Islam dalam rangka membangun kembali pendidikan

Islam di zaman modern ini. Fungsi tersebut ialah sebagai pengkritik,

pemberi solusi, penemu dan pengembang. Jika satu diantara fungsi ini

berjalan dan berkembang, maka pendidikan Islam dapat semakin

bermutu. Oleh karena itu, para pemikir pendidikan Islam dapat

menjadikan epistemologi sebagai satu cara memberikan solusi terbaik

bagi perkembangan pendidikan Islam ke depan.67

66
Dahlia Novelia, Strategi Pendidikan Islam Dalam Masyarakat Modern (Perspektif Pemikiran
Fazlur Rahman). Skripsi tidak diterbitkan, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2011)
67
Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam: dari Metode Rasional hingga Metode Kritik,
(Jakarta: Erlangga, 2005), 251

44
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Sebagai suatu analisis filosofis terhadap pemikiran seorang tokoh dalam

waktu tertentu di masa lampau, maka secara metodologis penelitian ini adalah

kualitatif diarahkan kepada eksplorasi kajian pustaka (library research), yakni

bersifat statement atau pernyataan serta proposisi-proposisi yang dikemukakan

oleh para cendikiawan sebelumnya.68

Penelitian ini dikelompokkan ke dalam jenis penelitian literatur/ studi

kepustakaan (library research), karena objek yang dipilih adalah hasil kajian

tertulis yang dilakukan oleh Moeslim Abdurrahman. Oleh karena itu, dalam

library research ini, penulis akan menekankan pada kekuatan analisis sumber-

sumber dan data-data yang ada, dengan mengandalkan konsep-konsep yang

ada untuk diinterpretasikan. Setelah diinterpretasi secara jelas dan mendalam

maka akan menghasilkan tesis dan anti tesis.69

2. Data dan Sumber Data

Data dan sumber data adalah sumber dari mana data itu diperoleh. Data

yang diperlukan dalam kajian pustaka (Library Research) ini bersifat kualitatif

tekstual dengan menggunakan pijakan terhadap statemen dan proporsi-proporsi

68
Lexi J.Moleong, Penelitian Kualitatif, (Bandung: Rosda Karya, 2002), 164
69
Soejono dan Abdurrahman, Metode Penelitian suatu Pemikiran dan Penerapannya (Jakarta:
Reneka Cipta, 1999), 25. Penelitian Deskriptif secara khusus bertujuan untuk (1) Memecahkan
masalah- masalah aktual yang dihadapi sekarang ini, dan (2) mengumpulkan data dan informas i
unuk disusun, dijelaskan dan dianalisis. Lihat S. Margono, Metodologi Penelitian Pendidikan,
(Jakarta: PT Asdi Mahasatya, 2000), Cet, ke-2, 8

45
ilmiah yang dikemukakan oleh Moeslim Abdurrahman dalam beberapa

karyanya dan tokoh pendidikan Islam yang masih berkaitan dengan

pembahasannya.

Sumber data dalam penelitian ini dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu

sumber primer dan sekunder. Data primer yaitu data yang diambil dari sumber

aslinya, data yang bersumber dari informasi yang berkenaan dengan masalah

yang diteliti. Data primer dalam penelitian ini meliputi seluruh karya Moeslim

Abdurrahman. Berikut ini beberapa sumber data primer yang dijadikan

rujukan:

Tabel 1.2

Sumber Data Primer

No Nama Tokoh Buku Rujukan Primer

1. Islam Transformatif
1 Moeslim Abdurrahman
2. Islam Sebagai Kritik Sosial

Sedangkan sumber sekunder mencakup kepustakaan yang berwujud buku-

buku penunjang, jurnal dan karya-karya ilmiah lainnya yang ditulis atau

diterbitkan oleh studi selain bidang yang dikaji yang membantu penulis dan

berkaitan dengan pemikiran yang dikaji.

3. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah metode dokumentasi.

Menurut Suharsimi Arikunto, metode dokumentasi adalah mencari data

mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip buku, surat

46
kabar, majalah, prasasti, metode cepat, legenda dan lain sebaginya.70 Penelitian

ini akan menggunakan metode dokumentasi sebagai suatu tehnik pengumpulan

data dengan menyelidiki benda-benda tertulis seperti buku-buku, majalah-

majalah yang di dasarkan atas penelitian data, Yaitu dengan cara mengutip

berbagai data melalui catatan-catatan, laporan-laporan, kejadian masa lampau

yang berhubungan dengan pemikiran Moeslim Abdurrahman.

Peneliti akan melakukan identifikasi wacana dari buku-buku, makalah atau

artikel, majalah, jurnal, web (internet), ataupun informasi lainnya yang

berhubungan dengan penelitian ini yaitu Paradigma Islam Transformatif

Perspektif Moeslim Abdurrahman dan Implikasinya terhadap Pengembangan

Pendidikan Islam.

Berkenaan dengan hal itu, pengumpulan data dalam penelitian ini akan

dilakukan melalui beberapa tahap sebagai berikut:

a. Mengumpulkan bahan pustaka yang dipilih sebagai sumber data yang

memuat paradigma Islam transformatif menurut Moeslim Abdurrahman.

b. Memilih bahan pustaka untuk dijadikan sumber data primer, yakni karya

Moeslim Abdurrahman. Di samping itu, dilengkapi oleh sumber data

sekunder.

c. Membaca bahan pustaka yang telah dipilih, baik tentang substansi

pemikiran maupun unsur lain. Penelaahan isi salah satu bahan pustaka dicek

oleh bahan pustaka lainnya.

70
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: PT. Rineka
Cipta, 2002), cet. 12, 234

47
d. Mencatat isi bahan pustaka yang berhubungan dengan pertanyaan

penelitian. Pencatatan dilakukan sebagaimana yang tertulis dalam bahan

pustaka bukan berdasarkan kesimpulan.

e. Mengklasifikasikan data dari tulisan dengan merujuk kepada fokus

penelitian.

4. Teknik Analisa Data

Analisis data yang akan digunakan di dalam penelitian ini adalah analisis isi

(content analysis) yang bersumber dari hasil eksplorasi data kepustakaan.

Menurut Klaus Krippendorff, analisis isi adalah teknik analisis untuk membuat

kesimpulan-kesimpulan yang dapat ditiru dengan melibatkan kebenaran

datanya. Menurut Klaus Krippendorff, ada 6 tahapan analisis isi, yaitu:

a. Unitizing yaitu mengambil data berupa karya-karya Moeslim

Abdurrahman yang tepat untuk kepentingan penelitian ini serta dapat

diukur dengan jelas.

b. Sampling yaitu penyederhanaan penelitian dengan membatasi analisis

data sehingga terkumpul data-data yang memiliki tema yang sama yaitu

tentang Islam transformatif.

c. Recording, berarti pencatatan semua data yang ditemukan dan diutuhkan

di dalam penelitian ini yaitu yang berkenaan dengan Islam transformatif

Moeslim Abdurrahman.

d. Reducing, adalah penyederhanaan data sehingga dapat memberikan

kejelasan dan keefisienan data yang diperoleh.

48
e. Abductively inferring, adalah menarik kesimpulan dengan menganalisa

data lebih dalam untuk mencari makna data yang dapat menghubungkan

antara makna teks dengan kesimpulan penelitian.

f. Naratting. Ialah penarasian data penelitian untuk menjawab fokus

penelitia yang telah dibuat.71

Teknik-teknik tersebut akan dilakukan di dalam menganalisa data yang

diawali dengan peng-unitan data berupa semua karya Moeslim

Abdurrahman, lalu melakukan sampling atau mengambil beberapa karya

yang berkenaan dengan paradigma Islam transformatif, berikutnya

mencatat/merekam semua data yang ditemukan dan dibutuhkan, lalu

menyederhanakan data sehingga dapat memberikan kesimpulan. Langkah

terakhir ialah menarasikan data yang sudah dicatat, disederhanakan dan

disimpulkan tadi.

5. Pengecekan Keabsahan Data

Penelitian ini akan menggunakan kredibilitas sebagai upaya pengecekan

keabsahan data penelitian. Kredibilitas data menurut Nasution sebagaimana

dikutip Furchan dan Maimun adalah mengkonfirmasi serta memverifikasi data

penelitian yang telah didapat kepada subyek penelitian sehingga keaslian dan

keobjektifan data dapat terjamin tanpa ada rekayasa.72 Oleh karena itu, upaya

yang akan dilakukan peneliti dalam mengecek keabsahan data penelitian ini

adalah dengan tehnik triangulasi data. Peneliti akan membandingkan data-data

71
Klaus Krippendorff, Content Analysis: An Introductions to its Methodology (Second Edition),
(California: Sage Publication, 2004), 27
72
Arief Furchan dan Agus Maimun, Studi Tokoh: Metode Penelitian Mengenai Tokoh,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 76

49
dalam bentuk karya-karya yang ditulis oleh Moeslim Abdurrahman yang

berkenaan dengan Paradigma Islam Transformatif dengan beberapa tulisan

orang lain mengenai pemikiran Moeslim Abdurrahman tentang paradigma

tersebut.

B. Sistematika Pembahasan

Secara umum tesis ini akan tergambar sebagaimana penulis paparkan dalam

bentuk sistematika pembahasan yang terdiri dari lima bab, yaitu:

BAB I : Pada bab ini akan dibahas tentang latar belakang masalah, fokus

penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, ruang lingkup

penelitian, definisi istilah, penelitian terdahulu.

BAB II : Pada bab ini akan dibahas tentang paradigma Islam transformatif

yang meliputi pengertian, latar belakang, tipologi, karakteristik,

metode dan dimensi Islam transformatif.

BAB III : Pada bab ini akan dibahas tentang metode penelitian dan sistematika

penulisan.

BAB IV : Pada bab ini akan dibahas latar belakang pemikiran Moeslim

Abdurrahman yang meliputi biografi dan latar belakang pemikiran

beliau.

BAB V: Bab ini akan membahas Paradigma Islam Transformatif menurut

Moeslim Abdurrahman, dan Implikasinya terhadap Pengembangan

Pendidikan Islam.

BAB VI: Bab ini memaparkan kesimpulan penelitian dan saran.

50
BAB IV

BIOGRAFI MOESLIM ABDRRURAHMAN

A. Latar Belakang Kehidupan Moeslim Abdrrurahman (1947-2012).

Moeslim Abdurrahman lahir tanggal 8 Agustus 1947 di kota Lamongan

Jawa Timur. Pendidikan yang beliau tempuh dimulai sejak di Sekolah

Rakyat lalu melanjutkan ke Pesantren Raudhatul Ilmiyyah Kertosono Jawa

Timur pada tahun 60-an, pada masa perkuliahan beliau belajar di Fakultas

Tarbiyah Institut Agama Islam Muhammadiyah Surakarta, gelar Doktor

beliau raih pada tahun 2000 dengan disertasi berjudul On Hajj Tourism: In

Search of Pity and Identity in The New Order Indonesia di University of

Illiomis at Urbana-Champaign.73 Perjalanan akademik ini cukup beragam,

karena disau sisi ia pernah merasakan pendidikan dalam ruang lingkup

pesantren atau ;embaga pendidikan keeagamaan, namun di pihak lain ia juga

pernah merasakan pendidikan di luar negeri dengan lingkungan yang

pastinya berbeda secara budaya. Keragaman ini memiliki pengaruh yang

cukup besar kepada perkembangan pengetahuan Abdurrahman terhadap

pendidikan.

Sejak pulang dari Amerika Serikat setelah lulus Ph. D di bidang

antropologi dari The University of Ilinois pada tahun 1990-an,

Abdurrahman dapat disebut sebagai petualangan intelektual karena

aktivitasnya yang suka berpindah-pindah dari satu kegiatan ke kegiatan lain,

dan tidak hanya pada tataran intelektual, ia juga pernah berpetualang dalam

73
Penerbit Erlangga, Tentang Penulis, dalam Moeslim Abdurrahman, Islam Sebagai Kritik
Sosial, (Jakarta: Erlangga, )

51
bidang politik dengan masuk ke partai politik yaitu Partai Amanah

Nasional.74 Petualangan ini mulai Abdurrahman lihatkan setelah

menyelesaikan doktoralnya di amerika inilah sebuah respon Moeslim yang

sejak kecil memang telah merasakan beranekaragam corak pendidikan.

Karir Moeslim Abdurrahman berbagai jabatan yang pernah ia emban,

terlihat beliau pernah menjadi Redaktur Ahli harian Pelita (1989-1991),

Kepala Litbang Harian The Jakarta Post (1999-2001), Memimpin Jurnal

LSM Transformasi, sebagai staf peneliti pada bidang penelitian dan

pengembangan (Litbang) Departemen Agama (1977-1989), pernah

memimpin Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M),

memimpin Lembaga Pemberdayaan Buruh, Tani dan Nelayan (LPBTN)

Muhammadiyah (2000-2005), memimpin Ma’arif Institute for Culture and

Humanity.75 Namun Moeslim mundur dari Maarif Institute danberalih

kepada Al-Maun Fundation sebagai organisasi yang membentuk serta

mengumpulkan intelektual-intelektual muda Muhammadiah dalam sebuah

komunitas jaringan intelektual Muda Muhammadiah (JIMM) yang sudah

ada pada tahun 2003.76 Begitu banyak lembaga yang ia pimpin sebagai

wadah untuk mengaktualisasikan ide serta gagasan transformatif yang

Abdurrahman miliki.

Sikap humoris dan asketisnya Abdurrahman menjadi modal berharga

sebagai seorang intelektual dalam merangkul organisasi yang memiliki

74
Hadjriyanto Y. Tohari, Obituari: Mas Moeslim dan Teologi Al Ma’un, (online),
(muhammadiyahstudies.blogspot.com diakses 20 januari 2014)
75
Penerbit Erlangga, Tentang Penulis, dalam Moeslim Abdurrahman, Islam Sebagai...
76
Qodir, pembaharuan pemikiran..., 107

52
perbedaan secara paradigma, selain itu Abdurrahman juga dapat dekat

dengan semua organisasi karena dua modal tadi. Abdurrahan merupakan

“anak” Muhammadiyah tapi dekat dengan kalangan NU, dia juga santri

yang berhubungan erat dengan lembaga-lembaga “non-santri” di Indonesia,

seperti CSIS (Center for Strategic and International Studies) atau The

Jakarta Post.77 Karakteristik ini yang menjadi poin penting bagi Moeslim

Abdurrahman untuk melakukan komunikasi kepada yang lain dan hal ini

tidak banyak dimiliki oleh cendekiawan Muslim Indonesia lainnya.

Karakteristik Abdurrahman bagaikan seorang figur cendekiawan hybrid,

sama seperti Gus Dur. Dia tidak merasa terlalu bangga dengan gelar

akademik semacam doktor lulusan Universitas terkemuka di dunia,

karakteristik semacam ini mirip dengan apa yang ditunjukan oleh pemikir

teologi pembebasan dari India Asgar Ali Enggineer, yang sangat sederhana,

kocak, dan brilian. 78 Menjadi penilaian tersendiri tatkala Abdurrahman

disandingkan dengan dua tokoh terkenal seperti Gus Dur dan Engineer

karena kesamaan sikap dan prilaku.

Abdurrahman meninggal pada hari Jumat 6 Juli 2012 di rumah sakit

Cipto Mangunkusumo Jakarta Pusat, 65 tahun.79 Kepergian Abdurrahman

meninggalkan banyak kenangan dan tanggung jawab yang besar guna

melanjutkan pandangan serta gagasan yang ia canangkan yaitu transformasi

sosial atau teologi transformatif.

77
Ihsan Ali-Fauzi, Mengenang Kang Moeslim , (online), (muhammadiyahstudies.blogspot.com
diakses 20 januari 2014)
78
Muhammad AS Hikam, Gus Dur Selalu ngakak bila ada kang Moeslim , (online),
(muhammadiyahstudies.blogspot.com diakses 20 januati 2014)
79
Anonim, Kang Moeslim Telah Berpulang, (Kompas, 21 januari 2014), 5

53
Ide Abdurrahman terkait paradigma Islam Transformatif terlihat di dalam

karyanya sebagai berikut: Islam Transformatif (1996); Islam Sebagai Kritik

Sosial. Selain itu Abdurrahman juga tampak pada tulisan-tulisannya yang

termuat di dalam editor-editor, atau sebagai pengantar dalam sebuah buku.

Seperti: Setangkai Pemikiran Islam, “kata pengantar” dalam Sayed Mahdi

(Eds), Islam Pribumi: Mendialogkan Agama, Membaca Realitas, (2003);

Ritual yang Terbelah: Perjalanan Haji dalm Era Kapitalisme Indonesia,

Dalam Mark R. Woodward, Toward a New Paradigm: Recent

Developments in Indonesian Islamic Thought, terj. Ihsan Ali-Fauzi, Jalan

Baru Islam: memetakanParadigma Mutakhir Islam Indonesia, (1998);

Kritis Sosial, Krisis Cara Pandang (Agama): Sebuah Pengantar, dalam Moh,

Asror Yusuf (Ed), Agama Sebagai Kritik Sosial: di tengah Arus Kapitalisme

Global, (2006). Negara Islam: Sebuah Gagasan Keagamaan dalam Sejarah

Politik, “Kata Pengantar” dalam Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila

sebagai Dasar Negara: Studi Perdebatan Konstituante, (2006).

B. Pemikiran Moeslim Abdurrahman

Moeslim Abdurrahman adalah orang yang pertama kali mengenalkan

istilah teologi Transformatif sebagai sebuah perlawanan terhadap ide-ide

yang disampaikan oleh Paradigma Modernisasi dan Islamisasi. Karena

kedua paradigma tersebut tidak memberikan keadilan sosial dan terjebak

kepada hal yang normatif tidak melihat problematika yang terjadi di

kehidupan sosial. Ide transformasi beliau banyak menyentuh keadaan sosial

masyarakat walaupun masih menggunakan istilah teologi transformasi,

54
namun makna teologi disini lebih luas tidak hanya terkait masalah

ketuhanan. Karena itu, konsep teologi tersebut juga bersifat histori dan

kontekstual sehingga mampu memberikan solusi terhadap kehidupan sosial

masyarakat.80

Pemikiran teologi transformatif yang digagas oleh Abdurrahman ini

terinspirasi dari paradigma KH. Ahamd Dahlan tentang teologi al-Mamu,

teologi ini lebih cenderung kepada nilai-nilai praktis dalam pemahaman

keagamaan. Karena agama tidak menjadi sempurna tatkala lingkungan di

sekitar masih terjadi kesenjangan sosial, ide berkenaan teologi al-Mamun

terlihat misalanya pada saat kuliah subuh, Kiai Dahlan belum mau

menambahkan pelajaran baru dan memberikan pelajaran yang sama yaitu

terkait tafsiran surat al-Mamun kepada santri-santrinya. Karena materi yang

diajarkan berulang-ulang salah satu santri bernama H. Syuja’ mengajukan

pertanyaan kepada Kiai Dahlan mengapa pak Kiai tidak menambah meteri

pelajaran baru? Kiai langsung menjawab, apakah kalian sudah mengerti

semua? Syuja’ pun menjawab, saya dan teman-teman sudah faham dan hafal

surah al-Maun. Lalu Kiai bertanya, apakah sudah kalian amalkan? Syuja’

menjawab, apa yang harus diamalkan, toh setiap shalat sudah kami baca.

Kiai pun menjawab, diamalkan berarti dikerjakan, jadi kalian belum

mengerjakan perintah Tuhan yang terkandung di dalam surah al-maun,

maka sekarang kalian pergi mencari orang miskin, bawa mereka ke rumah

80
Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia., 173-175

55
kalian, lalu beri mereka pakaian bersih, makanan dan minuman serta tempat

tinggal. 81

Berdasarkan pembacaaan Abdurrahman terhadap teologi al-maun inilah

lahir ide serta gagasan memunclkan kembali teologi transformatif yang

coraknya sama dengan teologi al-ma’un walaupun atributnya berbeda.

Gagasan ini oleh Abdurrahman dimanifestasikan dalam pembentukan Majlis

Buruh, Tani dan Nelayan PP Muhammadiyah periode 2000-2005.82

Manifestasi lain dari buah pemikirannya terlihat dari peran sentralnya dalam

pendirian Maarif Institute yang menyuarakan toleransi, dia juga mendirikan

ICIP (Indonesian Center for Islam and Pluralism) yang fokus terhadap

pluralisme.83

Selain teologi al-Ma’un, latar belakang pemikiran transformatif

Abdurrahman juga tak lepas dari pengaruh teologi pembebasan yang

muncul berkembang di Amerika latin. Kerena idenya terkait transformasi

nilai-nilai Islam menjadi kesalehan sosial sebagai jalan pembebasan dari

belenggu kemiskinan, ketertindasan, kebodohan, maupun keterbelakangan.

Ide Abdurrahman ini pun menimbulkan tanggapan yang cukup keras dari

sebagian aktivis Islam. 84 Dua teologi yang mempengaruhi ide

Abdurrahman untuk mengembangkan teologi transformatif menjadi

semakin kuat, dan realitas yang dihadapi oleh masyarakat juga ikut berperan

81
Khoiruddin Bashori, Keserakahan Ummat di mata KH. A. Dahlan, dalam Tim Pembina Al-
isalm dan kemuhammadiyahan, Muhammadiyah: Sejarah, Pemikiran dan Amal Usaha, (Malang:
Pusat Dokumentasi dan Publikasi Universitas Muhammadiyah Malang,1990), 32
82
Thohari, Obituari: Kang Moeslim ...
83
Ali-Fauzi, Mengenang Kang Moeslim ...
84
Nasihin Masha, Kang Moeslim , , (online), (muhammadiyahstudies.blogspot.com diakses 20
januari 2014)

56
untuk menghasilkan pemikiran yang bertujuan untuk meningkatkan keadilan

sosial.

Model pemikiran Abdurrahman mirip dengan para cendekiawan seperti

Romo Mangun, dan Bu Gendong dari Bali karena kesamaan obsesi mereka

dengan pendidikan dan menyantuni kaum miskin. Kemiripan itu terlihat dari

buah pikir yang lebih berpihak kepada kaum tertindas. Pemikiran

Abdurrrahman juga sedikit banyak terpengaruh oleh pemikiran Paulo

Fereire yang model pendidikannya berupa membebaskan kaum miskin dari

ketimpangan struktural dan model pendidikan elietis ynagn memantapkan

struktur penindasan atas nama ilmu pengetahuan.85 Kesamaan itu tidak lepas

dari orientasi serta tujuan dari paradigma yang dibangun serta dirumuskan

oleh tokoh-tokoh tersebut dalam memecahkan problematika kehidupan

sosial.

Kesibukan Abdurrahman selama berkecimpung dalam organisasi

Muhammadiyah juga sedikit banyak mempengaruhi corak pandangannya, ia

mulai masuk dan menjadi pengurus Muhammadiyah pada awal decade

2000-an yaitu pada masa kepemimpinan buya Syafi’I Ma’arif. Selain

berkiprah di dalam organisasi Islam, Abdurrahman juga pada masa

reformasi, ikut serta dalam Partai Amanat Nasional. Bahkan, kemudian

bergabung dengan Parta kebangkitan Bangsa dan juga Partai Republikan.

langkah politik semacam ini ikut berperan serta terhadap pemikirannya

85
Hikam, Gus Dur Selalu...

57
terhadap politik Islam di Indonesia.86 Beberapa pengalaman sebagian

aktivitas LSM, sebagai pengurus sebuah organisasi Islam, sebagian

cendekiawan yang kocak dan akrab dengan berbagi cendekiawan yang

berbeda aliran membuat corak pandangan Abdurrahman terbentuk secara

plural, dan ini terlihat dari berbagai pandangan terkait transformasi sosial.

Berdasarkan data di atas, dapat diartikan bahwa pemikiran teologi

transformasi Abdurrahman dilatarbelakangi oleh dua aspek; pertama, aspek

internal yaitu ide-ide pada tokoh sebelumnya atau tokoh satu dekade

dengannya yang membicarakkan serta merumuskan sebuah pandangan

bahwa teologi harus berlandaskan keseimbangan dan keadialan melalui pola

pikir kritis membaskan. Kedua, aspek eksternal ialah keikutsertaan

Abdurrahman dalam organisasi, lembaga-lembaga masyarakat yang mampu

memberikan warna serta corak pemikiran.

Pemikiran Abdurrahman ini dapat terbagi menjadi beberapa aspek

kajian, namun secara lengkap pemikirannya tertuang lebih kepada aspek

agama, karena melalui agama atau pendekatan agama, kehidupan

masyarakat dapat bebas dari keadialan dan keterpurukan, dan pendekatan

agama tersebut perlu ditransformasi terlebih dahulu karena jika tidak akibat

agama hanya dipandang sebagai norma yang mengatur kehidupan spiritual

tanpa memberikan pedoman kepada kehidupan sosial masyarakat. Selain

aspek agama gagasan Abdurrahman juga berkenaan dengan dunia politik

serta kritikan terhadap modernisasi

86
Masha, Kang Moeslim ...

58
1. Agama

Islam sebagai agama rasional perlu dipahami kembali dengan

melakukan interpretasi serta aktualisasi kembali pada aspek

pemikiran manusia sehingga dapat menyentuh permasalahan di

kehidupan sosial. Dalam hal ini Abdurrrahman membagi dua tugas

agama sebagai kontributor kepada kehidupan sosial.

Agama harus berani melakukan otokritik terhadap pesan-

pesan dan juga mendefinisi konsep-konsepnya selama ini

... Agama harus berani mengajukan satu narasi besar yang

baru. Agama tidak hanya perlu berbicara pada level the

caring society. Dengan kepedulian pada masyarakat

(seperti mengeluarkan sedekah dan sebagainya dalam

konsep lama) ini, Agama diharapkan lebih mempunyai

komitmen menyuarakan ideologi yang memperjuangkan

keadilan sosial melaluii mekanisme redistribusi sosial. 87

Kedua tugas penting di atas harus benar-benar menjadi tugas

pokok dalam agama, karena kemunduran peradaban umat

Islam bermula dan berawal dari ketidakadilan sosial di

masyarakat, dan agama harus memberikan solusi sebagai

pedoman manusia menjalani kehidupan ini. Jika tidak, maka

agama akan ditinggalkan oleh masyarakat. Selain kedua tugas

87
Abdurrahman, Islam Sebagai..., 177-178

59
pokok itu agama juga memiliki fungsi kritik terhadap

perubahan zaman sehingga mampu memberikan penjelasan

mana yang ma’ruf dan mana yang mundur. Setiap perubahan

tentu memiliki dampak positif dan negatif, oleh karena itu

peran agama sebagai kritikus perlu ditingkatkan.

Agama seharusnya selalu berani tampil dalam setiap

keadaan, bukan saja untuk menunjukan hal-hal yang

ma’ruf (positif),tetapi juga hal-hal yang mungkar (teologi

negatif). Mekanisme kritis agama terhadap perubahan

zaman, dalam agama Islam sangat ditekankan. Itu

tercemin dalam ajaran tentangn perlunya saling

mengingatkan, dalam bentuk kritik yang membangun

(berwasiat dalam kebenaran), yang sekaligus juga sesuai

dengan fungsi kehalifahan yang diamanatkan Tuhan

kepada umat manusia di bumi.88

Tugas serta fungsi agama mempu meningkatkan peran

sentral agama di dalam kehidupan, dan disinilah posisi pemikir

Islam untuk melakukan transformasi serta tresendensi dalam

rangka menyelamatkan kehidupan masyarakat Muslim dari

kekangan formalisme dan strukturalisme keberagaman yang

tak kunjung sirna.

88
Moeslim Abdurrahman, Islam Transformatif, (Jakarta: Pustaka Firdaus, Cet.III,1997), 10

60
...dengan kegelisahan intelektualnya, selalu

memeprtanyakan Islam yang normatif dan skriptual tidak

lagi mengalirkan pesanya yang mendasar dalam zaman

yang baru. Orang-orang seperti ini, sesunggguhnya

memiliki kreativitas sejarah, yang dapat melakukan

transformasi dan selalu berjuang melawan formalisme

dan strukturalisme keberagaman...89

Posisi pemikir Islam yang berwajah transformatif tersebut

sangat sentral dalam rangka menemukan kembali makna dari

agama pada zamannya. Dikarenakan realitas yang ditemukan

bahwa umat manusia belum menemukan hakikat agama secara

benar, selama ini umat Islam masih terjebak dengan doktrin

bahwa agama hanya berkutat pada permasalahan individu dan

tidak ada dampaknya pada kehidupan sosial.

Saya menemukan adanya sesua gejala bahwa Islam dalam

masyarakat kita kini sedang kehilangan idealisme, hal

yang sungguh mampu memberi referensi kepada arah

transformasi sosial itu hendak kita tuju, sehingga kadang-

kadang menimbulkan kesan seolah-olah kehidupan

sebagian umat Islam mencerminkan sikap mendua.

Intensitas ritual menjadi sangat romantik, namun tidak

89
Moeslim Abdurrahman, Setangkai Pemikiran Islam, “Kata Pengantar” dalam Sayed Mahdi
(Eds), Islam Pribumi: Mendialigkan Agama Membaca Relaitas, (Jakarta: Erlangga,2003), vii

61
berarti telah membuahkan kesalehan diri, apalagi

kesalehan sosial. Kehidupan keIslaman menjadi sangat

rutin dan ukuran-ukuran keberagaman menjadi sangat

trivialistis (dipermukaan).90

Islam tidak hanya butuh kepada kesalehan individual

melainkan juga memerlukan kesalehan sosial, karena itu

konsep tentang kesalehan sosial berdampak kepada

transformasi realitas sosial secara lebih humanis. Kesalehan

sosial ini dapat dicapai melalui pendekatan transformatif

karena menekankan aspek keadilan dalam melakukan

perubahan sosial. Oleh karenanya inilah agama Islam yang

berparadigma transformasi. Agama memberikan pedoman

kepada umatnya berupa kitab suci, sehingga jika pedoman

tidak terwujudkan dalam realitas kehidupan maka agama

hanya sebatas lembaran tanpa ada tulisan yang berbekas.

Pendekatan transformatif ditekankan pada dimensi

keadilan dalam setiap proses perubahan sosial, yakni

dengan mempertanyakan: perubahan sebenarnya untuk

siapa? Dalam hubungan ini, pembangunan harus selalu

ditafsirkan sebagai usaha memperkokoh kemampuan

sendiri. Yaitu bagaimana mengaktualisasikan referensi-

90
Abdurrahman, Islam Transformatif, 3-4

62
referensi kebudayaan, misalnya tata nilai, agar masyarakat

itu sendiri maupun melakukan transformasi kepada

kehidupan yang lebih berharkat.91

Abdurrahman menambahkan hakikat teologi transformatif

yang digagasnya adalah teologi atau agama Islam yang

menjadiakan perbedaan dengan modernisasi karena proses

modernisasi menumbuhkan kecacatan sosial serta menjadikan

masyarakat bahwa tidak ikut serta dalam proses pembangunan.

Disinilah hakikat Islam sebagai agama seluruh alam tidak

mengenal kecurangan dan harus berlaku adil kepada seluruh

elemen alam termasuk manusia.

Islam transformatif adalah Islam yang membuat distingsi

dengan proses modernisasi atau modernitas, karena di

dalam proses modernisasi itu banyak orang yang semakin

tidak perduli terhadap persoalan perubahan atau proses

sosial yang semakin memarginalkan orang-orang yang

tidak punya akses dengan pembangunan. 92

Ide teologi transformatif merupakan jawaban terhadap

kekuranganya nilai-nilai teologis yang tercantum di dalam

pengembangan masyarakat selama ini serta membedakan

91
Abdurrahman, Islam Transformatif, 8
92
Abdurrahman, Islam Sebagai..., 186

63
dengan ide-ide sebelumnya terkait pengembangan keilmuan

Islam seperti Islamisasi pengetahuan. Oleh karenanya

Abdurrahman mengembangkan pendekatan baru terkait kedua

hal tersebut.

Yaitu melalui penafsiran teks dengan kesadaran

konteksnya dan kemudian mempelajari konteks secara

dialogis... perbedaanya dengan kecenderungan Islamisasi

ialah bahwa teologi transformatif ini lebih menekankan

pada hubungan secara teks dan konteks, dan tidak

cenderung melakukan pemaksaan realitas menurut model

ideal. Disamping itu, saya kira, pengembangan teologi

transformatif jjuga sebagai upaya untuk mengatasi

perdebatan tentang pilihan antara pendekatan budaya atau

pendekatan struktural dalam pengembangan masyarakat.93

Teologi transformatif adalah memasukan paradigma dalam

proses pengembangan masyarakat serta melakukan penafsiran

teks atas dasar konteksnya kemudian konteks tersebut

dipelajari secara dialogis. Gagasan ini lebih menekankan pada

aspek hubungan antara teks dan konteks serta tidak

memaksakan kehendak teks kepada realias yang nyata untuk

mengikuti kondisi ideal teks. Jika hubungan ini berjalan

93
Abdurrahman, Islam Transformatif, 27

64
dengan baik maka teks-teks wahyu Tuhan dapat bermanfaat

dan mengubah kehidupan masyarakat lebih baik.

Istilah teologi transformatif yang digunakan Abdurrahman

mendapat kritikan dari Kuntowijoyo karena agama tidak

mengalami masalah terkait dengan pengentasan kemiskinan

sehingga tidak perlu dilakukan perubahan atau transformasi.

Untuk menjawab kritikan tersebut Abdurrahman memberi

pernyataan berikut

Kenapa memakai istilah teologi dalam teologi Islam

transformatif? Memang ada kritik seperti yang datang dari

Kuntowijoyo mengenai istilah teologi yang saya gunakan.

Karena, menurut Kuntowijoyo tidak ada persoalan

teologis di dalam persoalan memihak terhadap orang

miskin. Tapi bagi saya, ketika melihat relasi kekuasaan

dengan hegemoni pembangunan, maka tampak sangat di

perlukan bahasa simbolik yang dapat menjadi refleksi

teologis dibanding sekedar menggulirkan ilmi-ilmu sosial

yang kritis.94

Kritikan tersebut sebenarnya belum memahami secara

komperhensif makna di balik istilah transformasi juga,

sehingga penggunaan istilah teologi yang disandarkan dengan

94
Abdurrahman, Islam sebagai..., 185

65
istilah transformasi menjadi rancu jika di pandang secara

sempit. Disinilah abbdurrahman memberikan makna secara

luas terkait istilah transformasi itu sendiri.

Transformasi itu sendiri sebenarnya adalah konsep yang luas

dan menyeluruh. Sebab, menyangkut pembaharuan berbagai

aspek secara serentak, secara reflektif, baik yang berkaitan

dengan ajaran, maupun kelembagaan dan formasi sosial.

Sedangkan visi, juga mempergumulkan ketentuan normatif

dengan hasil pembacaan realitas. Jika pergumulan itu tidak

terjadi, visi itu tidak mungkin akan lahir. Mengapa, karena

ayat akan dipelajari sebagai ayat dan bukan ruhnya yang

diambil untuk menerangi perubahan sosial....95

Dua hal yang menjadi perhatian di dalam teologi

transformatif yang digunakan Abdurrahman adalah masalah

keadilan dan ketimpangan sosial. Kedua fokus ini merupakan

awal mula terjadinya kemunduran peradaban manusia di dunia

ini. Apa yang menjadi agenda di dalam teologi transformatif

merupakan solusi untuk mengembalikan peradaban umat

manusia yang telah direnggut oleh kejamnya proses

modernisasi yang terjadi di negara-negara berkembang seperti

Indonesia.

95
Abdurrahman, Islam Transformatif, 60

66
Teologi transformatif lebih menaruh perhatian terhadap

persoalan keadilan dan ketimpangan sosial saat ini. Itulah

yang dianggap sebagai agenda besar yang menjadikan

banyak umat manusia tidak mampu mengekspresikan

harkat dan martabat kemanusiannya. Bagi kalangan

teologi transformatif, seua persoalan peradaban manusia

sekarang ini dianggap pangkal pada persoalan

ketimpangan sosial-ekonomi, karena adanya struktur yang

tidak adil…96

Permasalahan yang menjadi fokus teologi transformatif ini

terlihat jelas pada praktik ibadah haji sekarang ini. Identitas

kelas muncul dan berdampak kepada perbedaan perlakuan

pelayanan yang didapatkan, padahal ibadah yang dilakukan

sama. Artinya ibadah tidak lagi bermakna antistruktur tapi

prostruktur.

…ibadah merupakan bentuk komunitas atau aktifitas

antistruktur. Melalui kacamata ini, ibadah haji seharusnya

mempresentasikan pelepasan jamaah dari kehidupan

sehari-hari dan pembatasan struktur sosial yang mengikat.

Tetapi kita menemukan bahwa praktik haji yang

berkembang belakangan ini bukanlah ibadah yang

96
Ibid, 106

67
egalitarian, seperti yang diindikasikan dalam konsep

komunitas, melainkan ibadah yang memecah belah.97

Fokus teologi transformasi di atas mengibaratkan bahwa

agama harus bersanding dengan tanggung jawab sosial karena

dengan tanggung jawab sosial inilah agama dapat terintregrasi

dengan problematika kehidupan masyarakat sehinggga basis

ketaqwaan dapat termanifestasikan dalam bentuk solidaritas

dan kepedulian sosial. Inilah cita-cita agama Islam yang perlu

diaktualisasikan karena selama ini agama hanya sebatas

membangun jati diri secara personal tanpa memberikan

dampak kepada kehidupan sosial.

Agama tanpa tanggung jawab sosial, menurut pemahaman

saya, samalah artinya dengan pemujaan (cult) belaka.

Demikian juga hidup ini tanpa kearifan Tuhan, mungkin

tidak perlu orang beragama. Sebab hanya dengan

tanggung jawab sosial, agama akan terintregrasikan

dengan problematika sosial yang nyata, san kesalehan

individu tidak steril lagi. Karena dengannya seseorang

97
Moeslim Abdurrahman, Ritual yang terbelah: perjalanan Haji dalam Era Kapitalisme
Indonesia, dalam Mark R. Woodward, Toward a New Paradigm: Recent Developments in
Indonesia Islamic Thought, terj. Ihsan Ali-fauzi, Jalan Baru Islam: Memetakan Paradigma
Mutakhir Islam Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998), 129

68
akan menemukan basis ketaqwaan dalam bentuk

solidaritas kamanusiaan yang jelas.98

Rekonstruksi konsep tauhid juga merupakan bagian dari

fokus teologi transformatif, karena selama ini para sarjana

Muslim belum melakukan itu sehingga problem yang terjadi

pada masyarakat belum terjawab oleh agama, dan mereka

hanya merumuskan apa itu tauhid, tapi belum pada tahapan

bagaimana tauhid itu dilakukan atau diaplikasikan di dalam

kehidupan bermasyarakat.

2. Politik

Pemikiran Abdurrahman berkenaan dengan politik di

Indonesia sedikit banyak memberikan pandangan konstruktif,

diantaranya perhatian Abdurrahman terkait agama dijadikan

sebagai kartu politik oleh umat Islam di negeri ini sehingga

menjadikan politik tidak dimiliki semua masyarakat dan hanya

berpihak untuk golongan kecil umat muslim.

Biarpun pembaharuan politik sejak orde baru telah

berhasil mengubah kelembagaaan politik sejak orde baru

telah berhasil mengubah kelembagaaan politik ke arah

yang lebih efisien dan pragmatis, percaturan politik dan

98
Abdurrahman, Islam Transformatif, 198-199

69
budaya politik yang berkembang masih saja diwarnai

kesadaran primodial yang tidak mendukung terwujudnya

kehidupan politik modern yang lebih demokratis.

Sehubungan dengan agama, khususnya Islam yang

mayoritas, misalnya. Dalam kaitan pembentukan budaya

politik mofern itu, karena masih kuatnya politik primodial

tersebut tidak heran kalau Islam juga sering terjebak

menjadi “kartu politik” ketimbang sebagai referensi moral

politik yang obyektif. 99

Selain kesadaran primodial yaitu kesadaran yang lebih

condong kepada golongan atas, ada penyebab lain yang

membuat politik umat Islam hilang esensinya karena hanya

mengedepankan kelompok pendukung politik bukan nilai dari

politik Islam itu sendiri yang dijadikan pegangan.

Kompleksitas sebagai mayoritas yyang berperasaan

minoritas, mungkin, merupakan salah satu hal yang bisa

ikut menjelaskan mengapa kaum politisi Islam masih

merasa penting memainkan “sentimen agama” itu dalam

percaturan politik... selama kesadaran kelompok ini yang

menonjol , Islam selamanya akan di perjuangkan sebagai

99
Abdurrrahman, Islam Sebagai..., 50

70
entitas politik yang ekslusif dan sekali lagi bukan sebagai

moral politik yang obyektif. 100

Tatkala penyebab keberprpihakan terhadap kaum elit, maka

politik umat Islam dapat disimpulkan tak dapat memberikan

solusi terhadap gejala sosial yang erjadi pada masyarakat yaitu

kemiskinan, dan hanya satu cara yang terbaik untuk

mengentasakan problem ini yaitu re-destribusi sosial sebagai

cita-cita politik Islam ke depan.

Kemiskinan, yang oleh umat Islam sering dipandang

sebagai gejala manusia secara individual, saya kira

akarnya lebih merupakan bagian yang tidak terpisahkan

dalam struktur ekonomi dan dan politik. Hal ini

menyangkut timpangnya penguasaaan dan distribusi

sumber-sumber kehidupan dalam masyarakt. Oleh karena

itu, apa yang paling dibutuhkan dalam hal memberantas

kemiskinan, sudah tentu tidak lain adalah munculnya cita-

cita politik yang kuat untuk melakukan pemihakan

terhadap re-distribusi sosial...101

100
Ibid
101
Moeslim Abdurrahman, Krisis Sosial, Krisis Cara pandang (Agama): Sebuah pengantar,
dalam Moh. Asror Yusuf (Ed), Agama Sebagai Kritik Sosial: di tengah Arus Kapitalisme
Global, (Yogyakarta; IRCisoD,2006), 9

71
Satu lagi yang menjadi perhatian Abdurrahman terhadap

politik Islam agar tidak berorientasi elitisme karena

berpengaruh kepada penciptaan faham serba Negara pada

seluruh aspek kehidupan masyarakat.

Orientasi politik yang berorientasi elitisme, dalam arti

keecenderungan mengauasai sekitar negara, jelas selain

menutup representasi basis partisipasi politik massa juga

sangat berbahaya, karena akan menciptakan etatisme yang

membuat pengaruh kekuasaan negara tetap akan

menggurita ke semua sektor kehidupan masyarakat.

Dengan etatisme, Negara cenderung bukan sara mengatur

kepentingan umum, tapi juga ikut campur dalam hal-hal

yang pribadi. 102

Sebagai solusi untuk mengembalikan politik Islam yang

melahirkan demokrasi maka ada beberapa hal yang perlu

dilakukan dan hal ini menurut Abdurrahman sangat mendasar.

Islam sebagai jaminan demokrati tidak bisa disandarkan

pada kekuatan dan kesadaraan tokoh, tanpa masuk dalam

program pendidikan politik massa yang memiliki tujuan

mendasar. Yakni menjadi the epitoome of cultural reform

for democracy. Artinya, sebagai kekuatan simbolis massa,

102
Abdurrahman, Islam Sebagai..., 54

72
Islam harus berani memberikan dasar-dasar berpijak

secara moral terhadap supremasi hukum dan keadilan

sosial dalam sistem politik yang terbuka, sekaligus sebagai

kekuatan komunitas mampu membuka kesadaran

subkultural yang tertutup.103

Kedua tugas Islam sebagai langkah memajukan politik umat

Islam di negeri ini, sehingga demokrasi dapt berjalan dengan

baik adalah memberikan landasan moral serta membuka

kesadaran inklusif. Sedangkan tugas lainnya ditambahkan

Abdurrahman adalah politik Islam haruus bersikap responsif

dan reaktif terhadap perubahan zaman dan tidak pasif.

Aliansi politik Islam untuk massa depan demokrasi harus

berani melakukan pembaharuan budaya politik yang

responsif terhadap perkembangan mutakhir. Misalnya

pluralisme, demokrasi, dan ketimpangan sosial. 104

Ide pembaharuan politik terus diwacanakan oleh abrurahman

karena percaturan politik secara nasional telah rusak dan tidak

memihak kepada kepentingan masyarakat secara keseluruhan

hanya berpihak kepada golongan mereka yang berpolitik saja,

sehingga nilai-nilai demokrasi (keadialan, kebebasan dan

103
Ibid 126
104
Ibid 127

73
kesetaraan) tidak teraktualisasikan di dalam kehidupan

pembaharuan politik tersebut lebih mengedepankan

pendekatan emansipatoris rakyat.

Untuk menemukan kembali basis politik yang berorientasi

pada proyek emansipatoris rakyat, sudah tentu tidak ada

jalan lain kecuali perlu dilakukan re-grouping politik baru

oleh rakyat sendiri (di luar demokrasi kepartaian) yang

lebih bercorak partisipatoris. Suatu langkah politik

demokratis yang memiliki basis yang bertumpu pada

komunitas dari aliansi berbagai politik identitas yang

disatukan oleh cita-cita untuk menjaga kedaulaatan rakyat

(popular sovereignth) agar rakyat sendiri mampu

melaksanakkan legilasi politik dalam merencanakan aksi

bersama memecahkan masalah-masalah kehidupan sehari-

hari. 105

Pendekatan emansipatoris rakyat yang diajukan

Abdurrahman ini mengandung pengertian bahwa konsep

cityzenship dan community harus sama-sama dilaksanakan

secara bersamaan, sehingga kekuasaan negara untuk mengatur

manusia dapat diawasi secara maksimal oleh rakyat. Karena

105
Ibid 135-136

74
nilai dari gagasan ini tidak hanya bersifat politik tapi juga

bersifat sosial.

Kata cityzenship biasanya menjadi ugkapan yang paling

kuat untuk menggambarkan ide tentang the sovereignty of

the people... paham demokrasi emansipatoris selalu berada

pada kesetiaan memegang teguh prinsip politik bahwa

pengertian cityzenship dan community tidak bisa

dipisahkan dari bagian partisipasi aktif untuk menghapus

hegemoni dan perjuangan melawan absolutisme. Oleh

sebab itu, akhirnya yang harus kita perjuangkan ialah

bagaimana menghidupkan terus menerus gagasan

cityzenship itu sebagai a system of right yang dijamin

secara konstitusional baga setiap anggota a political

community, tapi these right tidak saja memiliki dimensi

the political namun juga the sosial. 106

Sebagai konskuensi melakukan faham demokrasi

emansipatoris di atas dengan perpaduan dua konsep

cityzenship dan community, maka ada dua aktivitas yang harus

dilakukan.

Sebagai konskuensinya dalam memperjuangkan

demokrasi emansipatoris ini, ada dua aksi yang harus

106
Ibid 47

75
dilakukan, yaitu: mengurangi perbedaan kelas sosial

dalam rangka mencapai kesetaraan ekonomi: dan tentu

saja menjaga kebebasan dalam tataran kebudayaan.107

Dua aksi yang sangat penting tersebut, terlihat sekali sebagai

manifestasi pendekatan yang diusulkan oleh Abdurrahman

dalam rangka mengkonstruksi politik bangsa ini, dan agaman

Islam memiliki nilai-nilai normatis itu semua seperti keadilan

dan kebebasan.

Pembaharuan politik selanjutnya juga sebagai langkah

menuju rekonstruksi politik secara nasional. Pembaharuan ini

lebih obyektif walaupun dari gagasan yang bersifat subyektif.

Adanya keseimbangan berikutnya penyatuan antara politik

praktis yang diarahkan kepada kebijakan dengan wacana

politik yang lebih mengedepankan persoalan-persoalan politik

yang sedang berkembang.

Adalah saatnya kita butuh politik yang mempunyai

kepemimpinan dan agenda kebijaksanaan yang obyektif,

dan bukan lagi meneruskan pertikaian dalam sintiment

politik aliran yang dibungkus dengan wacana demokrasi

modern, sehingga perubahan sosial tidak lagi menjadi

elite, karena rakyat dalam prosess politik masih di beri hak

107
Ibid 47-48

76
hidup, sekurang-kurangnya dalam harapan kembalinya

solidaritas sosial yang sesungguhnya nili ini merupakan

inti kehidupan bagi setiap manusia dimana pun wilayah

politiknya.108

Langkah lainnya yang perlu di kembangkan di dalam politik

sehingga Islam secara universal dapat di pahami sebagai

agama yang relevan dengan politik karena nilai yang diajarkan

sesuai dengan kontekstual atau realitas. Untuk mencapai

langkah tersebut di butuhkan tafsir ulang terhadap nilai-nilai

normatif berdasarkan relaitas yang terjadi.

...Islam sebagai bahasa politik, oleh karena itu harus dibaca

tidak hanya dalam argumentasinya yang normatif, sebab

tafsiran dan kesadaran politik Islam itu muncul bersamaan

dengan kapan dan dimana panggilan sejarah itu mendesaknya,

dan imajenasi kaum Muslimin akan terus hidup bersama

dengan tuntutan sejarahnya masing-masing, sehingga teks-teks

Islam tentang semuannya adalah otentik baik di depan sejarah,

apalagi di depan Allah SWT. Yang pasti, dalam hal ini tidak

otentik, jika politik Islam jutru bertujuan melawan keadilan,

108
Ibid 132

77
menegakkan diskriminasi dan menumbuhkan tindak kekerasan

yang mengancam sendi-sendi keselamatan umat manusia.109

3. Kritik Terhadap Modernisasi

Proses modernisasi merupakan bagian dari proses globalsasi

yang dibawa penjajahan kolonial dan muncul setelah revolusi

industri bukan dari agama Islam. Modernisasi inilah yang

dikritisi oleh kaum cendekiawan muslim transformatif karena

dampak yang ditimbulkan.

Berbicara tentang modernesasi, ada beberapa hal yang

perlu dicatat. Pertama, proses modernisasi dan negara-

negara berkembang adalah bagian dari proses globalisasi,

yang di Indonesia datang bersama penjajahan barat, kedua,

modernisasi, yang muncul setelah revolusi revolusi

industri. Bukanlah pengalaman orisinal Islam. Kita

ketahui, modernisasi muncul dalam pengalaman kristiani

di Eropa, sehingga proses pemisahan isu modernisasi

dengan agama sangat tajam. 110

Dampak dari modernisasi yang terjadi di dalam dunia isalm

adalah terjadinya perbutan tingkat ortodoksi yang berkaitan

109
Moeslim Abdurrahman, Negara Islam: sebuah Gagasan Keagamaan Sejarah politik, “Kata
Pengantar” dalam Ahmad Syafi’i Maarif, Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara: Studi
tentang perdebatan Konstituante, (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2006) xv
110
Abdurrrahman, Islam transformatif... 22

78
dengan ritus, kesusilaan, teologis dan hukum kekeluargaan.

Dampak ini jelas terlihat dalam organisasi sosial keagamaan di

Indonesia yang akhirnya memunculkan dua corak organisasi

yaitu tradisionalisme Islam dan modernisasi Islam.

Secara agak gegebah mungkin dapat disimpulkan bahwa

modernisme Islam pada tingkat praktis telah mampu

menyerap atau menyalin format barat. Lalu, pada tingkat

intelektual juga telah mampu menandingi barat dalam

suatu perumpamaan sekurang-kurangnya pada tahap

semantik. Sedangkan ke dalam kalangat umat Islam

sendiri telah melahirkan pertikaian merebutkan derajat

ortodoksi, yang menyentuh persoalan-persoalan ritus,

kesusilaan, ketuhanan dan hukum kekeluargaan.111

Selain berdampak pada tingkat ortodoksi, modernisasi Islam

menimbulkan ketidakadilan sosial karena kurang aspiratif

kepada kaum bawah sehingga komunikasi terhadap

prolematika yang terjadi di kalangan bawah tidak diperhatikan.

Lebih mengedepankan kalangan menengah keatas. Kritikan

semacam ini memberikan dampak bahwa modernisasi yang

sekarang terjadi tak dapat dipertahankan karena cita-cita yang

diinginkan Islam yaitu keadilan tidak tercapai. Tercapai, oleh

111
Ibid 30

79
karena itu paradigma transformatif perlu dijadikan solusi

alternatif sebagai pengganti paradigma modernisme ini.

Corak modernisme Islam yang intelektualis, yang

kepekaan sosialnya lebih terkait dengan golongan

menengah dan atas itu, menurut hemat saya, seringkali

memang kurang menangkap aspirasi dan proses

transformasi kaum bawah. Namun hal itu sangat

menguntungkan upaya pengangkatan harga diri dan pamor

Islam di tengah-tengah arus modernisasi dewasa ini. 112

Dampak yang ditimbulka modernisasi juga dapat terlihat di

dalam kehidupan masyarakat desa dan kota, memang secara

perkembangan menimbulkan kemajuan namun tidak secara

kebudayaan. Karena hilangnya keadilan pada semua lapisan

masyarakat. Jika di masyarakat kota harus ada kekuatan

karakter untuk dapat hidup di zaman modernisasi.

Modernisasi, lagi-lagi di kota, tidak mungkin menyerap

para pendatang desa yang tidak berbekal ketrampilan dan

modal. Begitu pula di desa, modernisasi tak mungkin

berbicara banyak tentang mereka yang tidak memiliki

terobosan dan capital. Tampaknya kaum duhafa memang

agak sulit masuk dalam proposal modernisasi, sebab

112
Ibid 35

80
modernisasi pada dasarnya hanya dapat diikuti oleh

mereka yang faham dengan gagasan-gagasan baru, dan

mempunyai akses ekonomi dan politik tertentu. Subyek

modernisasi adalah elit, dan obyek modernisasi adalah

mereka yang awam, yang lemah,yang dianggap bodoh dan

malas.113

Proses modernisasi juga menurut pemikiran teologi

transformatif menimbulkan tiga corak agam yaitu: menjadikan

agama sebagai alat rasionalisasi, agama berfungsi sebagai alat

legitimasi dan memarginalkan kaum duhafa karana hanyut

dari gelombang besar modernisasi. Jika ketiga corak tersebut

melekat di dalam agama, maka modernisasi sudah

menghilakan eksistensi agama sebagai pedoman hidup

masyarakat, dan menimbulkan ketimpangan sosial karena

keadilan terhadap masyarakat bawah tidak dipenuhi.

Kalangan teologi transformatif menyimpulkan bahwa

agama dalam proses modernisasi sekarang ini melahirkan

tiga corak, yaitu: pertama, tampil sebagai alat

rasionalisasi atas modernisasi atau modernisme, dengan

melahirkan perkembangan teologi rasional yang mengacu

pada tumbuhnya kepentingan intelektualisme sekelompok

113
Ibid 38-39

81
akademikus. Kedua, sebagai alat legitimasi atas nama

melancarkan dan mendukung berhasilnya program-

program modernisasi... ketiga, kelompok masyarakat

tertentu, terutama “kaum duhafa” yang tidak terserap ke

dalam dialog besar proses modernisasi dewasa ini,

terpaksa menghanyutkan eskapistis...114

Sebagai langkah perlawanan terhadap paradigma modernisasi

dengan beberapa kekurangn serta dampak yang ditumbulkan

olehnya, maka Abdurrahman mengeluarkan ide serta gagasan

untuk membangun sebuah model komunikasi kerakyatan yang

mampu menyerap seluruh aspirasi rakyat tidak hanya pada

golongan atas tepi juga golongan bawah.

DSC adalah kepanjangan dari Development Support

Communication. Suatu model komunikasi pengembangan

masyarakat yang bersifat dua arah yang setara, yang

demokratis, yang saling memberikan penghargaan dan

saling memberikan manfaat...dalam model komnikasi

seperti ini, setiap manusia harus dipulihkan kembali harga

diri kemanusiaan dan harus ditempatkan dalam relasi-

relasi sosial yang setara...115

114
Ibid 107-108
115
Ibid 217-218

82
Prinsip-prinsip yang tertanam di dalam model komunikasi

kerakyatan ini mencirikan bahwa model ini menginginkan

perubahan sosial dari bawah, sehingga memberikan kekuatan

tersendiri bagi terlaksanannya keadilan sosial di zaman

perubahan ini.

...Model DSC mempunyai prinsip-prinsip yang berbeda

dengan model komunikasi yangn konvensional maka

sebenarnya prinsip-prinsip DSC itu secara parallel

mencerminkan corak bangunan sosial yang baru yang

lebih adil, setara dan demokratis. Berdasarkan prinsip-

prinsip seperti itu, DSC sudah jelas adalah model

komunikasi yang memihak. DSC, dalam hal ini, memihak

kepada kelompok-kelompok sosial yang bergulat mencari

otonomi diri dari kekuatan-kekuatan dominan di

sekitarnya, baik karena pengaruh global modernisasi atau

pun karena ada struktur lokal yang menghimpitnya.116

116
Ibid 221-222

83
BAB V

PARADIGMA ISLAM TRANSFORMATIF PERSPEKTIF MOESLIM

ABDURRAHMAN DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENDIDIKAN

AGAMA ISLAM

A. Paradigma Islam Transformatif Perspektif Moeslim Abdurrahman

1. Hakikat Islam Transformasi (Ontologi)

Menurut Abdurrahman hakikat Islam transformatif adalah

menghendaki adanya dialog antara konteks dan teks. Artinya esensi

perubahan yang digagas oleh Abdurrahman bermula dengan adanya dialog

ketika menafsiri teks dengan konteks sehingga melahirkan kekuatan untuk

melakukan transformasi, sehingga transformasi benar-benar dilakukan atas

dasar kebutuhan konteks bukan pemaksaan.

Yaitu melalui penafsiran teks dengan kesadaran akan konteksnya dan


kemudian mempelajari konteks secaar dialogis... perbedaannya
dengan kecenderungan Islamisasi ialah bahwa teologi transformatif
ini lebih menekankan pada hubungan antara teks dan konteks, dan
tidak cenderung melakukan pemaksaan realitas menurut model ideal.
Disamping upaya untuk mengatasi perdebatan tentang pilihan antara
pendekatan budaya atau pendekatan struktural dalam pengembangan
masyarakat.117
Gagasan Islam transformatif Abdurrahman ini dilatar belakangi oleh

adanya dualisme atau dikotomi antara tingkat ritual dan sosial yang terjadi

di dalam masyarakat muslim. Keresahan pemikiran dan hati menjadikan

Islam hanya dianggap sebatas ritual belaka tanpa memberikan kontribusi

dan implikasi kepada kehidupan sosial.


117
Abdurrahman, Islam Transformatif, 27

84
Saya menemukan adanya suatu gejala bahwa Islam dalam masyarakat
kita kini sedang kehilangan idealisme, hal ini yang sungguh mampu
memberikan referensi kepada arah transformasi sosial itu hendak kita
tuju, sehingga kadang-kadang menimbulkan kesan seolah-olah
kehidupan umat Islam mencerminkan sikap mendua. Intensitas ritual
menjadi sangat romantik, namun tidak berarti telah membuahkan
kesalehan diri, apalagi kesalehan sosial. Kehidupan keIslaman
menjadi sangat rutin dan ukuran-ukuran keberagaman menjadi
trivialistis (dipermukaan).118

Hakikat Islam transformatif yang dinyatakan oleh Abdurrahman

merupakan pemikiran global karena mencakup makna Islam, namun

bersifat lokal karena lahir akibat gelombang permasalahan yang terjadi di

lingkungan tempat belialu di lahirkan.

Alasan kuat yang menjadikan Abdurrahman berani mengeluarkan

gagasan terkait transformasi di dalam agama Islam, karena Islam memiliki

satu kekuatan yaitu terbuka atas segala reinterpretasi ayat-ayat suci sebagai

pedoman kehidupan atau penafsiran ulang berdasarkan kondisi sosial.

Kekuatan inilah yang menjadikan Islam mampu bersifat universal dan

temporal. Artinya Islam mampu menjadi rahmatan lil alamin sekaligus

mampu memberikan pencerahan secara kontekstual. 119 Dua dampak

tersebut merupakan tugas bagi umat Islam seluruhnya tanpa terkecuali

sebagai aksi nyata dari keimanan atau rasa tauhid yang mendalam.

Sebagai bentuk pertisipasi seseorang cendekiawan seperti

Abdurrahman terhadap pembanguanan umat Islam, maka ide tentang Islam

transformasi ini sebagai jawabanya, karena tugas utama seluruh umat


118
Abdurrahman, Islam Transformatif, 3-4
119
Jalaludin Rahmad, perjuangan Mustadh’afin: Catatan Bagi perlawanan Kaum Tertindas
dalam Eko Prasetyo, Islam Kiri, Melawan Kapitalisme Modal : dari wacana menuju Gerakan,
(Yogyakarta: insist Press, 2002), 325

85
Islam adalah mengembangkan keseimbangan antara “berilmu amaliah dan

beramal ilmiah”, walaupun tugas ini secara umum juga bagian dari tugas

negarawan. 120

Mansour Faqih berpandangan bahwa golongan Islam transformatif

perlu membentuk paradigma baru terkait teologi sebagai jalan menuju

perubahan struktural sehingga melahirkan keadialan bagi kaum miskin

atau yang termarginalkan oleh dampak globalisasi. Konsep teologi baru

yang mampu memberikan angin segar bagi kaum miskin inilah yang

dinamakan teologi transformatif. 121 Ide terkait rekontruksi teologi ini telah

dilakukan oleh Abdurrahman dengan teologi transformatifnya.

Berdasarkan paradigma Islam transformatif bahwa ide Abdurrahman

bagian dari paradigma Islam transformatif yang bersifat teoritis.

Abdurrahman melahirkan teologi transformatif walaupun lebih banyak

bersifat teoritis tetapi ada beberapa aspek pemikirannya yang bersifat

praktis. Hal ini terlihat dari peran serta Abdurrahman dalam lembaga

swadaya masyarakat.

Sedangakan Islam transformatif menurut pandangan Raharjo adalah

menghendaki adanya perubahan dalam tataran teologi di satu sisi dan ilmu

di disisi yang lain. Pemikiran itu termasuk pada golongan Islam

transformatif bersifat praktis. Raharjo sebagaimana dikutip Anwar

120
Mohamad Sobary, Diskursus Islam Sosial: Memahami Zaman Mencari Solusi, (Bandung:
Zaman Wacana Mulia, 1998), 33
121
Mansour Fakih, Islam Sebagai Alternatif, “Kata Pengantar”, dalam Prasetyo, Islam Kiri…,
xviii

86
menghendaki adanya rekonstruksi pemahaman keagamaan masyarakat

Indonesia yang masih tergolong terkurung dengan ilmu-ilmu Islam

tradisional. Agama Islam hanya dikategorikan sebatas ilmu aqidah,


122
syariah, akhalaq dan tasawuf. Rekonstruksi yang dilakukan oleh

Dawam relevan dengan apa yang dilakukan Abdurrahman, relevansinya

terlihat dalam kesamaan terkait latar belakang kemunduran umat Islam di

zaman maju sehingga di perlukan rekonstruksi teologi.

Kesamaan terlihat juga dalam tataran pemaknaan teologi secara

transformatif antara Raharjo dengan Abdurrahman, dimana berorientasi

kepada pembebasan terhadap kungkungan dan kekejaman pembaharuan

dalam arti modernisasi. Rahardjo menyatakan sebagaimana dikutip Anwar

bahwa selama ini teologi ini teologi dianggap umat Islam sebagai sesuatu

yang sakral sehingga tidak bileh lagi dilakukan pembaharuan atau diotak-

atik lagi. Jadinya, teologi hanya berbicara pada tataran kehidupan spiritual

belaka tanpa menyentuh relaitas sosial yan ada. Oleh karenanya Raharjo

mengajukan pembaharuan teologi dengan istilah teologi transformatif.

Sama seperti teologi yang digagas oleh Abdurrahman. 123 Persamaan istilah

yang digunakan oleh Rahardjo dan Abdurrahman merupakan titik balik

dari paradigma yang mereka usung yaitu Islam transformatif. Walaupun

dalam aplikatifnya Rahardjo lebih berperan daripada Abdurrahman.

122
Anwar, Pemikir dan Aksi…, 165
123
Ibid 166

87
Pernyataan Rahardjo di atas menjelaskan bahwa teologi transformatif

ialah teologi yang bersifat pembebasan dan emansipatoris. Oleh karena

Islam sebagai sebuah teologi mampu memberikan kebebasan dan

emansipatoris kepada umat manusia untuk melakukan perubahan yang

signifikan. Usaha-usaha menuju perubahan-perubahan tersebut dilakukan

sebagai manifestasi dalam agama Islam yang hakiki. Akibatnya

kemaslahatan di dalam kehidupan sosial akan tercapai. Sedangkan

ketidakadilan, penindasan, kebodohan bisa dibebaskan dari dunia ini.

Perumusan pembaharuan teologi yang dinyatakan oleh Rahardjo

terebut mengindikasiakan bahwa teologi transformasi harus dilakukan dan

hal itu dilakukan oleh Raharjo dengan beberapa aksi nyata di dalam

kehidupan dengan keikutsertaanya dalam mendirikan beberapa lembaga

berbasis transformatif seperti lembaga studi pembangunan (LSP), pusat

pengembangan Agrobisnis (PPA), perhimpunan Pengembangan Pesantren

dan Masyarakat (P3M), Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), dan

pusat Pengembangan Sumber Daya Wanita (PPSW).124 Aksi nyata ini

merupakan bukti Raharjo benar-benar mewujudkan pemikiran berkenaan

dengan pembaharuan teologi dalam rangka mencapai keadilan sosial.

Artinya lembaga-lembaga tersebut sebagai media kreativitas intelektual

menuju transformasi sosial.

124
Syarif Hidayatullah, Islam “Isme-isme”: Aliran dan Paham Islam di Indonesia. (Yogyakarta:
Pustaka Pelaajar, 2010), 95

88
Aksi nyata sebagai langkah transformasi sosial harusnya mampu

memberikan kekuatan bagi masyarakat bawah agar mampu mengatasi

ketimpangan serta kesenjangan sosial yang terjadi pada lingkungannya.

Langkah yang harus dilakukan oleh masyarakat bahwa tersebut ialah

dengan menggunakan pendekatan materialisme-komunis, yaitu pendekatan

yang memberikan kesadaran kepada masyarakat bahwa kemiskinan bisa

diatasi, bukan oleh tuhan namun oleh mereka sendiri. 125 Pendekatan ini

yang digagas oleh Asdar merupakan jawaban terhadap problematika sosial

yang terjadi pada masyarakat bawah, bisa dijadikan panutan bahkan acuan

mendasar bagi pengentasan kemiskinan, dan aksi inilah yang diharapkan

oleh paradigma Islam transformatif.

2. Tujuan Islam Transformatif (Aksiologi)

Tujuan paradigma Islam transformatif menurut Abdurrahman

adalah keadilan sosial. Disini Abdurrahman berharap dengan kekuatan

agama Islam yang mengakar di dalam kehidupan masyarakat Indonesia

mampu menggerakan reformasi sosial.

Hasil akhir akan tercapai jika Islam transformatif mencapai hasil


adalah social justice. Karena dari segi praktik, politik kita
memberikan harapan. Oleh karena iru harus di inspirasikan dengan
spirit dari Islam transformatif itu. Nah, kenapa saya selalu berbicara
Islam, karena Islam sebagai suatu kekuatan dan secara kultural
sudah lama berakar di Indoneisia, orang-orang yang menekankan
Islamic reform dalam pandangan saya kurang menekankan perlunya
social reform. Islam harus mempunyai orientasi kritik sosial, tidak
hanya sebagai pencerahan atau sebagai wacana modernisasi atau

125
Masdar F. Mas’udi, Hak Milik dan ketimpangan Sosial (Telaah Sejarah dan kerasulan), dalam
isep Abdul Malik (Eds), Islam Universal, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2007), 71

89
wacana modernitas, Islam yang ingin mengubah keadaan supaya
lebih adil. 126

Menurut Moeslim Abdurrahman bahwa terciptannya keadilan

sosial melalui paradigma Islam transformatif ini akan lebih terlihat jika

gerakan kemanusiaan yang berpihak kepada keadilan sosial tadi, jadi tidak

hanya tataran wacana tapi aksi nyata tentang keadilan sosial dapat

terwujud.

Transformasi ... gerakan kemanusian yang mampu mengantarkan


kehidupan sosial yang sederajat di depan Allah SWT. Suatu
gerakan transformatif yang menumbuhkan kepedulian terhadap
nasib sesama, dan hanya memlahirkan aksi solidaritas... dalam
proses ini yang berlaku adalah pendampingan dan bukan hanya
pengarahan, apalagi pemaksaan. Transformasi, pada liberasi,
humanisasi dan sejarah kehidupan masyarakat oleh masyarakat
sendiri ke arah yang lebih partisipatif, terbuka dan emansipatoris.127
a) Liberasi

(bahasa Latin liberare berarti memerdekakan) artinya

pembebasan, semuanya dengan konotasi yang mempunyai signifikansi

sosial. Tujuan dari liberasi adalah pembebasan dari kekejaman,

kemiskinan struktural, keangkuhan teknologi, dan pemerasan

kelimpahan.

Liberasi adalah membebaskan manusia dari kekejaman

kemiskinan struktural, keangkuhan teknologi dan pemerasan

kelimpahan. Ummat manusia menyatu rasa dengan mereka yang

miskin, terperangkap dalam kesadaran demokratis, dan yang tergusur

126
Abdurrahman, Islam Sebagai ..., 190
127
Abdurrahman, Islam Transformatif.

90
oleh ekonomi raksasa. Manusia ingin bersama-sama membebaskan

diri dari belenggu-belenggu yang dibangun oleh mereka sendiri.

b) Humanistik.

Yang dimaksud adalah memanusiakan manusia,menghilangkan

kebendaan, ketergantungan, kekerasan, dan kebencian dari manusia.

Tujuan humanisasi adalah memanusiakan manusia. Kita tahu bahwa

kita sekarang mengalami proses dehumanisasi karena masyarakat

industrial kita menjadikan kita sebagai bagian dari masyarakat abstrak

tanpa wajah.

Pendekatan humanistik religious dalam beragama menurut

Brubacher, sebagaimana dikutip Achmadi, dalam Ideologi Pendidikan

Islam, adalah pendekatan kepada Tuhan melalui pengalaman manusia.

Seseorang yang benar-benar beriman kepada Tuhan misalnya, akan

menguji pengetahuan dan pemahamannya tentang Tuhan melalui

pengalamannya sendiri. Seluruh potensi intelektual dan spiritualnya

didayagunakan untuk memahami dan menghayati kehadiran Tuhan.

Esensi pendekatan humanistik religious, mengajarkan bahwa

keimanan tidak semata-mata merujuk kepada teks kitab suci, tetapi

melalui pengalaman hidup dengan menghadirkan Tuhan dalam

mengatasi persoalan kehidupan dan sosial. Dengan pendekatan ini,

maka ketika mengajarkan nam-nama Tuhan (Asma’ al-Husna) kepada

peserta didik, dilakukan dengan cara mengajak mereka berkunjung ke

pemukiman kumuh, lokasi bencana alam, rumah jompo, pusat-pusat

91
pengembangan teknologi komputer dan lain sebagainya. Dengan

menyaksikan semua itu, para siswa diketuk hatinya agar timbul rasa

simpati dan empati terhadap orang-orang yang kurang beruntung,

serta menyaksikan betapa agungnya kekusaan Tuhan, dan tidak

berdayanya manusia di hadapan-Nya.

Telah dikemukakan secara singkat pada pembahasan latar

belakang tentang humanisasi Abdurrahman bahwa untuk dapat

merasakan kebebasan tidak bisa hanya dengan menanti nasib untuk

menjadi bebas, kebebasan sejati adalah kemerdekaan yang

diupayakan, kebebasan bukanlah sebuah pertolongan, bahkan untuk

dapat menciptakan pembebasan harus dengan melepaskan diri dari

pertolongan, karena pertolongan hanya akan membelenggu seseorang

dalam ketergantungan, dan ketrgantungan itu sendiri menurut Freire

adalah titik lemah. Dalam Al-Qur’an sendiri dijelaskan tentang

kewajiban manusia untuk mengupayakan nilai kebebasan dalam

membentuk sebuah takdir. Sebab manusia yang dapat membentuk

takdirnya sendiri berarti dia telah melakukan upaya pembebasan, dan

pembebasan tiu sendiri adalah sebuah tindakan ”humanisasi”. Seperti

disebutkan dalam Al-Qur’an surat Ar-ra’d, ayat 13:

92
 


“…Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum

sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka

sendiri…”

Ayat di atas memperlihatkan adanya tuntutan bagi individu

untuk merubah dan menciptakan kebebasannya sendiri yang dicapai

melalui kesadaran. Sebab kesadaran individu itulah yang menjadi

determinasi dan prasyarat terbentuknya perubahan social. 128 Hal ini

pula yang perlu ditekankan dalam menciptakan nuansa kebebasan

dalam pendidikan.Sebab tanpa kesadaran pribadi sebuah mimpi akan

terjadinya kebebasan tidak akan pernah tercapai.

Dalam pandangan Freire masalah di dunia ini terbentuk sebab

ada manusia dan realitas, filsafat permasalahan Freire bertolak pada

kehidupan nyata, bahwa di dunia ini sebagian besar manusia

menderita sedemikian rupa sementara sebagian lainnya menikmati

jerih payah orang lain dengan cara yang tidak adil, dan kelompok

yang menikmati ini justru bagian minoritas umat manusia. Hal ini

menunjukkan bahwa keadaan tersebut memperlihatkan adanya kondisi

yang tidak seimbang, tidak adil. Persoalan ini oleh Freire disebut

sebagai “situasi Penindasan”.129

128
Muh. Hanif Dhakiri, Paulo Freire, Islam dan Pembebasan. Hlm. 133-136.
129
Paulo Freire, Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar,2007)hlm. Vii.

93
Dalam perspektif kemanusiaan apapun bentuk penindasan itu

tidak dapat dibenarkan, sebab penindasan telah menafikan bentuk

kemanusiaan (Dehumanisasi), dan dehumanisasi itu secara tidak

langsung telah menyalahi kodrat manusia. Bagi Freire manusia bebas

adalah manusia sejati, yaitu manusia merdeka yang mampu menjadi

subjek bukan hanya menjadi objek yanghanya menerima sebuah

perlakuan dari pihak lain. Panggilan manusia sejati adalah menjadi

manusia yang sadar, yang bertindak mengatasi dunia dan realita yang

menindas dan mungkin menindasnya. pada hakikatnya manusia

mampu memahami keasaan dirinya dan lingkungannya dengan

berbekal pikiran dan dengan tindakan praksisnya ia akan mampu

merubah situasi yang tidak selaras dengan jalan pikirnya. Oleh

karenannya manusia sejati harus mampu mengatasi keadaan yang

menjeratnya. Jika seseorang hanya berpasrah bahkan tanpa

perlawanan menghadapi situasi itu maka berarti ia sedang tidak

manusiawi. ketika kaum tertindas dengan kesadaran dirinya mampu

membebaskan dirinya sendiri dari segala bentuk penindasan maka

sa’at itu terjadilah yang namanya “pembebasan” dan pembebasan ini

adalah sebuah realisasi atas terciptanya humanisasi. Humanisasi ini

juga harus terealisasi dalam pendidikan, jika dianalogikan dalam

ranah pembentuk masalah didunia, maka dalam ranah pendidikan

yang termasuk kedalam unsure manusia adalah pengajar dan pelajar,

maka dalam hal ini pengajar dan pelajar harus belajar bersama dan

94
sejalan dalam sebuah proses yang dialogis serta tidak memaksakan

satu pihak untuk menerima deposito pengetahuan sebagai celengan

yang harus diisi. 130 Jadi keduanya (guru dan murid) sama-sama belajar

untuk saling memanusiakan antara satu sama lain.

c) Tresendensi

Transendensi (bahasa Latin transcendere berarti naik ke atas;

bahasa Inggris to transcend ialah menembus, melewati, melampaui)

artinya perjalanan di atas atau di luar.

Tujuan transendensi adalah menambah dimensi transendental

dalam kebudayaan. Kita sudah banyak menyerah kepada arus

hedonisme, materialisme, dan budaya yang dekaden. Kita percaya

bahwa sesuatu harus dilakukan, yaitu membersihkan diri dengan

mengingatkan kembali dimensi transendental yang menjadi bagian sah

dan fitrah kemanusiaan

Sedangkan peran transendensi agama bertujuan menambahkan

dimensi transendental dalam kebudayaan. Ummat manusia sudah

banyak yang menyerah pada arus hedonisme, materialisme dan

budaya dekaden. Ummat manusia percaya, bahwa sesuatu harus

dilakukan, yaitu membersihkan diri dengan mengingatkan kembali

dimensi transendental yang menjadi bagian dari fitrah manusia.

Ummat manusia ingin merasakan kembali bahwa dunia ini sebagai

rahmat Tuhan. Manusia ingin hidup dalam suasana yang lepas dari

130
Paulo Freire, Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar,2007)hlm. vii-xv.

95
ruang dan waktu, khususnya ketika bersentuhan dengan kebesaran

Tuhan.

Pernyataan-pernyataan di atas yang berkenaan dengan tujuan Islam

transformatif terangkum dalam tabel berikut:

Gambar 4.2

Tujuan Islam Transformatif Moeslim Abdurrahman

3. Epistemologi Islam Transformatif

Dalam pemikiran Abdurrahman epistemologi Islam transformatif

terbagi menjadi dua yaitu eksternal dan internal. Epistemologi eksternal

lebih berisi sifat praktis, walaupun masih dominan teoristis. Artinya

epistemologi Abdurrahman mengarah kepada pembentukan. Gerakan

96
kebudayaan yang mampu menegakkan keadilan sosial di masyarakat.

Gerakan itu pun dari rakyat, untuk rakyat sendiri dan dilakukan oleh rakyat

juga. Sama seperti makna di balik demonstrasi. Pembentukan gerakan

tesebut harus melalui beberapa langkah sebagaimana pernyataan

Abdurrahman berikut:

Mekanisme pertama yang dipakai untuk mewujudkan teologi Islam


transformatif adalah melakukan proses regrouping masyarakat
marginal melalui circle mekanisme kedua, harus ada regrouping
dalam arti membangun komunitas baru yang memiliki orientasi
ekonomi tetapi sekaligus juga merupakan suatu kekuasaan organisasi
kerakyatan... mekanisme ketiga, memunculkan komunitas-komunitas
baru di antara buruh dan petani. 131

Terlepas dari ciri khas dan perbedaan gerakan pemikiran masing-

masing—Islam Modernis, Neo-Modernis, Islam Liberal, Post-Tradisionalis,

dan Islam Transformatif—semuanya mempromosikan moderatisme Islam,

yakni mediasi dari ektrimisme Islam revivalis atau fundamentalis dengan

sekularisme. Moderatisme menjadi karakter umum yang memayungi

gerakan Islam progresif. Tradisi dan modernitas tidak diletakkan dalam dua

kutub yang saling berlawanan dan bermusuhan. Keduanya ditempatkan pada

porsinya masing-masing, lalu didialogkan secara elegan. Kadar tradisi dan

modernitas pada masing-masing gerakan pemikiran itu memiliki perbedaan,

yang pasti pertemuan tradisi dan modernitas mengandung makna

mendialogkan dua peradaban.

Realitas kekinian berupa keterbelakangan dan ketertindasan bukan

sesuatu yang given, bukan takdir yang tidak bisa diubah, namun hal itu
131
Abdurrahman, Islam sebagai... 188-189

97
akibat dari struktur yang secara sistematik menciptakan kondisi-kondisi

tersebut. Dalam koneks ini, peran Islam Kritis sebagai kekuatan penyadaran

untuk melawan realitas penindasan dalam masyarakat menjadi sebuah

keniscayaan.

Pernyataan di atas sangat terlihat aplikatif sekali karena sudah

memasuki tahapan-tahapan yang harus dilakukan dalam rangka

membentuk gerakan kebudayaan berbasis keadilan. Epistemologi adalah

merekonstruksi metode tafsir yang selama ini masih terkungkung oleh

penafsiran kontroversial dan tidak liberatif atau tidak memberikan

kebebasan kepada penafsiran dalam memberikan realitas. Oleh karenanya,

hasil tafsiran tidak berpihak kepada realitas yang ada dan seolah-olah

hanya berkomunikasi dalam wacana.

Biarpun Al-Quran sebagai teks memang telah dipenjara oleh sejarah,

tapi gagasan-gagasan Tuhan diisyaratkan melalui firman-Nya itu tetap

akan hidup, selama Al-Quran bukan hanya dibaca dalam mewujudkan

yang skriptual saja tetapi seharusnya “dibaca” dalam double hermeneutics

yakni sekaligus dikonfrontasikan terhadap kenyataan sosial yang aktual.

Untuk kepentingan ini, saya kira perlu di kembangkan “tafsir

transformatif” yang di dalam memahami gagasan Tuhan itu, dan

dibutuhkan sekurang-kurangnya tiga wilayah interpretasi; pertama-tama,

memahami konstruk sosial. Kemudian membawa konstruk itu berhadapan

98
dengan interpretasi teks (al-Quran) dan yang ketiga, hasil penghadapan

konstruk sosial dan model ideal teks itu kemudian diwujudkan dalam aksi

yang baru, yaitu transformasi sosial. 132 Domain metode tafsir transformatif

ini mengarah kepada tiga wilayah tafsiran yaitu mengenal terlebih dahulu

reallitas di lapangan, lalu membawanya kepada konsep idealis al-Quran

dan setelah dilakukan pertemuan antara konteks dengan teks barulah lahir

aksi tranformasi sosial yang komperhensif dan sesuai dengan kebutuhan

konteks. Lebih jelas lagi pernyataan Abdurrahman dengan epistemologi

Islam transformatif terangkum dalam tabel di bawah ini.

Gambar: 4.1

Epistemologi Islam transformatif Moeslim Abdurrahman

132
Ibid, 116

99
B. Implikasi Pemikiran Moeslim Abdurrahman

1. Hakikat pendidikan Islam

Moeslim Abdurrahman berparadigma teologi transformatif di

karenakan makna teologi yang begitu luas untuk dipahami dan tidak hanya

sebatas persoalan tauhid semata namun persoalan lainnya juga bagian dari

teologi termasuk pendidikan. Pemaknaan Abdurrahman terhadap teologi

transformatif yang ia gagas secara esensial berupa adanya dialog antara di

lapangan dengan konsep teks suci agama.

Pemaknaan seperti itu tentu memiliki implikasi terhadap hakikat

pendidikan Islam, karena hubungan antara pendidikan secara umum

dengan teologi sangatlah kuat, pendidikan pastinya berbicara internalisasi

atau transformasi nilai, karena itu menyangkut hal-hal yang mampu

mempengaruhi sikap atau tingkah laku peserta didik di dalam sebuah

komunitas, dan teologi merupakan sesuatu yang menyangkut aktivitas

kesadaran manusia sehingga dapat berdampak kepada sikap dan tingkah

laku. Artinya teologi mampu menginspirasi dan membentuk pola pandang

manusia, yang berubah kepada tindakan nyata sehingga mampu dijadikan

pandangan hidup selamanya.133 Relasi antara teologi dan pendidikan

sangat kuat sehingga mampu melahirkan sebuah paradigma yang

komperhensif dalam rangka merekonstruksi pendidikan agama Islam

menghadapi dunia global.

133
Esha, Teologi Islam..., 64

100
Berdasarkan pemaknaan hakiki tersebut, maka implikasinya

terhadap pemaknaan pendidikan agama Islam ke depan, adalah pendidikan

yang mengedepankan sisi dialog antara kebutuhan konteks dan konsep

ideal. Artinya pendidikan Islam mampu mengontrol proses pendidikan ke

depan dengan mengendalikan dua aspek sekaligus secara bersamaan dan

seimbang.

Implikasi tersebut menjadi penting karena selama ini para pakar

pendidikan belum menyentuh ranah dialog antara pembacaan teks dan

konteks sebagaimana pemaknaan Imam Bawani terkait pendidikan Islam

kearah kegiatan dakwah, hal ini tiada lain merujuk kepada sejarah Nabi

Muhammad SAW yang pertama kali menyampaikan pendidikan Islam

kepada masyarakat Muslim pada awal mula penyebaran Islam. 134 Juga

pemaknaan Nauqib Al-Attas terkait hakikat pendidikan Islam seperti

dikutib Bawani yaitu pengenalan dan pengakuan, yang secara berangsur-

angsur ditanamkan kepada manusia, tentang tempat-tepat yang tepat dari

segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa, sehingga

membimbing kearah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat

di dalam tatanan wujud kepribadian.

Secara konseptual pendidikan Islam sebenarnya sudah cukup kaya

dan sempurna sebab ingin membentuk pribadi muslim sempurna dan

mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat, meskipun lebih

cenderung normatif. Sebab, dalam realitasnya, praktik pendidikan Islam


134
Imam Bawani, segi segi pendidikan Islam, (Surabaya:Al-Ikhlas,1989), 73

101
cenderung ‘idealis’ dan kurang bersentuhan dengan problem realitas-

empirik. Hal ini antara lain disebabkan oleh adanya anggapan bahwa

segala aktifitas hidup umat Islam, termasuk pendidikan, harus didasarkan

pada wahyu yang given dari Tuhan dalam pengertian harfiah sehingga

cenderung kurang melihat aspek realitas yang empirik.

Karena itu, wajar jika formulasi tentang konsep pendidikan Islam

relatif idealis dan kurang ‘membumi’, kurang bersentuhan dengan problem

realitas. Padahal, sosok Nabi sendiri yang dijadikan sebagai model bagi

pendidikan Islam jelas-jelas terlibat langsung dalam penyelesaian problem

di masyarakat. Jika paradigma pendidikan kritis diterima dengan beberapa

penyesuaian, maka yang perlu dipikirkan adalah tindak lanjut secara

praktis, mulai dari perumusan orientasi pendidikan Islam, pembaharuan

kurikulum, penyiapan sumber daya manusia, diversifikasi strategi

pembelajaran, perubahan model evaluasi, evaluasi kebijakan, dan

perubahan manajemen di lembaga pendidikan mulai dari tingkat dasar

sampai pendidikan tinggi. Berbagai komponen ini perlu dikaji secara

terpadu, simultan, dan komprehensif. Hal ini tidak hanya menjadi

tanggung jawab praktisi pendidikan Islam saja, namun semua stakeholder

pendidikan harus dilibatkan, mulai dari tenaga kependidikan di lembaga

pendidikan formal, peserta didik, alumni, pengguna alumni, orang tua,

tokoh masyarakat, akademisi, dan pejabat pemerintah terkait. Sebab,

102
proses pendidikan tidak dapat berjalan secara linear dan monolitik, namun

secara sirkular dan melibatkan banyak komponen.135

Dalam pendidikan Islam Transformatif, sumber daya manusia

pertama yang harus dibenahi adalah pendidik. Ini tidak berarti yang lain

tidak perlu dibenahi. Namun, para pendidiklah yang menjadi ujung tombak

terjadinya perubahan. Sebab, mereka yang selalu terlibat langsung dengan

peserta didik dan yang mengimplementasikan kurikulum. Ini berarti,

berhasil tidaknya sebuah rumusan dan konsep kurikulum dalam konteks

praktis sangat ditentukan oleh faktor pendidik. Semakin berkualitas

pendidik, semakin berhasil dalam membawa perubahan.

Dikaitkan dengan implementasi Kurikulum 2013, sosok pendidik

sangat diharapkan untuk keberhasilan kurikulum baru tersebut. Sebab,

dalam pengelolaan kurikulum yang berujung pada penjabaran silabus dan

materi pembelajaran dari rumusan kompetensi minimal yang ditetapkan

oleh pemerintah pusat lebih diserahkan kepada pihak sekolah/madrasah,

khususnya pendidik. Dalam hal ini mereka dapat bekerjasama dengan

berbagai pihak terkait seperti kepala sekolah, akademisi di perguruan

tinggi dan tokoh masyarakat, namun yang menjadi inisator adalah

pendidik.

Posisi pendidik semakin penting mengingat penjabaran materi

sangat diserahkan ke tiap wilayah, bahkan lembaga pendidikan, untuk

135
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas,
terj. Hamid Fahmy dkk. (Mizan, Bandung: 2003), hlm. 266.

103
mengembangkannya tergantung kebutuhan. Hal ini didasari oleh prinsip

pengelolaan KBK ‘kesatuan dalam kebijakan dan keragaman dalam

pelaksanaan.’ Karena itu, sangat dimungkingkan adanya perbedaan

implementasi dan pengembangan antara satu wilayah dengan wilayah lain.

Bahkan, dalam satu wilayah pun sangat dimungkinkan adanya keragaman

implementasi antara satu lembaga pendidikan dengan lembaga pendidikan

lain. Untuk itu, diperlukan pendidik yang mampu menerjemahkan dan

menjabarkan kompetensi dasar sesuai dengan kondisi wilayah dan sekolah.

Pendidik bukan lagi menjadi satu-satunya sumber belajar, sebab

apa pun dapat dijadikan sebagai sumber belajar selama mendukung

pencapaian hasil belajar. Berdasarkan pemikiran tersebut, dalam konteks

pendidikan kritis diperlukan tenaga kependidikan yang mempunyai

pengetahuan dinamis tentang strategi pembelajaran.

Proses pembelajaran harus mampu mengoptimalkan segenap

potensi peserta didik dengan cara melibatkan mereka secara fisik dan

mental dalam setiap pembelajaran. Untuk itu, strategi pembelajaran yang

diterapkan pendidik harus mempertimbangkan setiap kecenderungan tipe

belajar setiap peserta didik, apakah tipe somatik, auditif, visual atau

intelektual.

Disisi lain, seorang pendidikan harus kritis mencermati persoalan

kependidikan, mulai dari penyimpangan praktik pendidikan di lapangan,

kebijakan yang tidak tepat sampai persoalan yang menimpa dirinya

sebagai seorang pendidik. Hal ini dilakukan agar pendidik tidak hanya

104
menjadi sosok manusia yang pasrah dan pasif karena dikenal sebagai

pahlawan tanpa tanda jasa atau sosok Umar Bakri yang lugu dan

sederhana. Dalam perspektif kritis, kesederhanaan pendidik tentu masih

sangat relevan tetapi tanpa mengabaikan peran dia yang harus kreatif dan

kritis dalam menyelesaikan persoalan pendidikan. Masalah pendidikan

tidak hanya diserahkan kepada para akademisi di perguruan tinggi atau

pengambil keibjakan saja, namun dia juga harus berperan aktif dalam

menyelesaikannya dengan kemampuan yang dimiliki.

2. Metode Pendidikan Islam

Pendapat Abdurrahman terkait hakikat Islam transformatif juga

berdampak kepada metode pendidikann Islam, selain epistemologi Islam

transformatif yang memiliki metode yang sangat urgen. Di bawah ini akan

dijelaskan implikasi pemikiran tersebut.

Semangat pendidikan islam transformatif untuk senantiasa

mengontekskan pengajaran agama dengan realitas sosial tidak bisa

terwujud jika metode pembelajaran agama masih bersifat indoktrinatif.

model pengajaran demikian menutup peluang bagi adanya pendalaman

dan komprehensi akan suatu persoalan. model indoktrinatif cenderung

menekan peserta didik untuk berpikir eksklusif, simplistik, dan tidak

menghargai pluralitas pemikiran. jika agama diajarkan dengan pola ini,

alih-alih untuk mengembangkan religious literacy, untuk melihat agama

sendiri secara kritis pun akan sulit.

105
Model indoktrinatif hampir sama dengan konsep pengetahuan

sebagai makanan (knowledge as food), seperti dikritik sartre. gagasan to

know is to eat adalah paralel dengan semangat indoktrinasi. pengetahuan

dalam model ini harus diberikan kepada peserta didik. ia tidak dilahirkan

dari upaya kreatif peserta didik sendiri. secara implisit, model ini

mengandaikan peserta didik sebagai passive beings, atau obyek, bukan

subyek. kebalikan dari model itu, metode yang dipakai pendidikan islam

transformatif dalam pembelajaran agama adalah metode dialogis. dialog

diperlukan agar ilmu agama yang diajarkan mengalami proses refleksi

bersama antara guru dan murid, dosen dan mahasiswa. proses inilah yang

akan menjadikan peserta didik menjadi kreatif dan kritis, sekaligus ada

pendalaman dan komprehensi terhadap materi agama yang diajarkan.

proses pembelajaran dalam konteks pendidikan islam transformatif

mengandaikan dua gerakan ganda: dari realitas nyata ke arena

pembelajaran, lalu kembali ke realitas nyata dengan praksis baru. tahap

pertama, memakai istilah paulo freire dalam cultural action for freedom

(1972), adalah tahap kodifikasi (codification), yakni penelaahan beberapa

aspek penting yang terjadi di realitas nyata peserta didik. fakta-fakta

obyektif itu lalu dibawa ke arena pembelajaran untuk dianalisis,

dihadapkan pada teks normatif agama. ini merupakan tahap dekodifikasi

(decodification), yaitu proses deskripsi dan interpretasi. tahap selanjutnya

adalah praksis, tahap pengejawantahan ke realitas kongkret. tahap praksis

ini dihasilkan dari proses kodifikasi dan dekodifikasi. diharapkan peserta

106
didik sekeluarnya dari arena pembelajaran mempunyai praksis baru di

masyarakat.

Mengajarkan puasa pun tidak melulu bersifat normatif, tetapi juga

bersifat sosiologis. Puasa, dalam perspektif pendidikan Islam

transformatif, tidak hanya berarti menahan makan dan minum mulai dari

terbit fajar hingga terbenam matahari. Puasa juga merupakan latihan untuk

bisa merasakan penderitaan orang lain, dan inilah esensinya. Dengan bisa

merasakan penderitaan orang lain, akan timbul rasa empati dan

keberpihakan terhadap mereka yang miskin dan tertindas. Demikian juga

dengan mengajarkan zakat. Zakat tidak diajarkan secara mekanis sebagai

karitas dari mereka yang punya kepada yang tidak punya. Pengajaran

secara mekanis ini tidak mempunyai kekuatan transformatif, karena yang

kaya tetap kaya dan yang miskin tetap miskin. Dalam perspektif

pendidikan Islam transformatif, zakat harus diajarkan secara strukturalis.

Zakat harus mempunyai kekuatan transformative dalam mengubah struktur

sosial masyarakat ke arah yang lebih adil.

Proses pembelajaran agama seperti itu bisa dilaksanakan bila

peserta didik tahu peran mereka sebagai subyek kreatif dalam

pembelajaran. untuk itulah pendidikan islam transformatif selalu

menempatkan peserta didik sebagai subyek dan active being. mereka

selalu dilibatkan dalam proses dekodifikasi materi agama.

107
Secara esensial Islam transformatif menghendaki adanya dialog, ini

yang menurut Abdurrahman perlu digagas dalam rangka mencapai

keadilan. Dialog dalam metode pendidikan secara umum merupakan satu

diantara banyak metode yang urgen dilaksanakan dalam rangka mencapai

satu pemahaman yang komperhensif, sehingga antara komponen atau

elemen pendidikan memiliki peran yang sama dalam menyampaikan

argumenya. Oleh karena itu, implikasi pemikiran ini sangat tampak pada

metode pendidikan Islam, karena kedepan metode pendidikan Islam harus

terus melakukan dialog antara guru dengan murid, antara murid dengan

relitas sosial, antara guru dengan konteks lapangan, sehingga melahirkan

pemahaman yang sempurna. Apa yang dipelajari di dalam teks buku

pelajaran harus terus dihadapkan atau didialogkan dengan relitas sosial

yang terjadi di masyarakat. Jadi pembicaraan materi pelajaran menjadi

lebih kontekstual.

Metode dialog sangat dibutuhkan dalam tatanan metode

pendidikan Islam ke depan sebagaimana metode yang di tawarkan nauqib

Al-Attas yaitu metode tauhid. Metode ini dapat menyelesaikan

problematika dikotomi yang salah, seperti antara aspek obyektif dan

subyektif ilmu pengetahuan, metode ilmu pengetahuan alam yang diklaim

lebih obyektif dianggap memiliki validitas yang lebih tinggi dibandingkan

ilmu agama yang dianggap subjektif. 136 Pandangan Al-Attas ini mengarah

kepada metode Islam transformatif perspektif Abdurrahman, karena Islam


136
Wan Mohd Nor Wan Daud. Filsafat Praktis Pendidikan Islam Syed M. Nauqib al-Alatas Trj.
Hamid Fahmy. Dkk (Bandung: Mizan), 293-295

108
membutuhkan metode tauhid yang mengintegrasikan atau mendialogkan

teks dan konteks sehingga ilmu agama lebih objektif, tidak subjektif.

Implikasi kedua adalah berdasarkan epistemologi Islam

transformatif, ada dua metode menurut Abdurrahman sebagai langkah

menuju keadilan sosial. Metode pertama berkenaan dengan pembentukan

kembali komunitas marginal, metode kedua merumuskan metode tafsir

transformatif. Diantara kedua metode tersebut tentu yang memiliki

dampak cukup signifikan adalah metode kedua yang berkenaan dengan

rumusan metode tafsir transformatif. Metode ini meliputi tiga domain

tafsiran yaitu pembacaan bangunan sosial. Tafsiran seperti ini berdampak

kepada metode-metode pendidikan Islam yang mampu melahirkan aksi

nyata atas doktrin-doktrin materi di sekolah. Jika selama ini aksi nyata itu

hanya diperuntukan menjawab soal-soal ujian, maka ke depan metode

pendidikan Islam harus menciptakan gerakan sosial atas bacaan realitas

sosial yang sudah di pertemukan dengan teks ideal.

Dua implikasi di atas menjadikan posisi metode dalam pedidikan

Islam sangat penting, karena banyak memiliki fungsi seperti pengeritik,

pemberi solusi, penemu dan pengembang. Jika satu diantara fungsi ini

berjalan dan berkembang, maka pendidikan Islam dapat semakin bermutu.

Oleh karena itu, para pemikir pendidikan Islam dapat menjadikan

109
epistemologi atau metode sebagai satu cara memberikan solusi terbai-bagi

perkembangan pendidikan Islam kedepan.137

3. Tujuan pendidikan Islam

Tujuan Islam transformatif dalam pandangan Abdurrahman adalah

melahirkan gerakan kebudayaan yang berasaskan nilai-nilai serta cita-cita

profetik.

Nilai-nilai profetik yang dimaksud adalah nilai yang dapat

dijadikan tolak ukur perubahan sosial, hal ini tercakup pada ketiga

kandungan nilai ayat 110 surah Ali-Imran: “Engkau adalah umat yang

terbaik yang diturunkan di tengah manusia untuk menegakkan kebaikan

(amar ma’ruf), mencegah kemungkaran (nahi munkar) dan berimankepada

Allah SWT.”

Berdasarkan tujuan tersebut ada dampak yang jelas terlihat bagi

pengembangan tujuan pendidikan Islam ke depan. Yaitu nilai-nilai profetik

yang digagas Abdurrahman menjadi poin utama dalam merumuskan

tujuan pendidikan Islam. Nilai tersebut ialah humanis, liberalis dan

trensendensi.

Tujuan pendidikan Islam transformatif (pendidikan Islam

transformatif) tidak hanya berorientasi vertikal, yakni menjadikan anak

didik beriman dan bertakwa kepada tuhan yang maha esa, tetapi juga

137
Mujamil Qomar. Epistemologi Pendidikkan Islam: dari Metode Rasional Hingga Metode
Kritik, (Jakarta, Erlangga,2005), 251

110
berorientasi horizontal, yakni bagaimana keberimanan dan ketakwaan

peserta didik mempunyai imbas kepada perilaku sosial mereka di

masyarakat. Hubungan manusia-tuhan yang akan melahirkan kesalehan

pribadi, dalam perspektif pendidikan Islam transformatif, harus melahirkan

hubungan social antarmanusia yang berlandaskan pada nilai-nilai

ketuhanan. Dengan kata lain, kesalehan individu harus mempunyai imbas

kepada kesalehan sosial. Titik tolak pendidikan Islam transformatif

berangkat dari semangat tauhid. Namun, makna tauhid di sini tidak

dipahami hanya dari sisi teologis an sich, yakni allah maha esa, kepada

siapa semua bergantung. Tauhid dalam pengertian pendidikan Islam

transformatif, selain mempunyai makna teologis seperti itu, juga

mempunyai makna sosiologis, yaitu kesatuan manusia (oneness of human

beings). Dalam bahasa farid esack (1997) tauhid adalah refleksi dari

undivided god for undivided humanity. Kesatuan manusia ini tidak dapat

dicapai kecuali dengan menciptakan masyarakat tanpa kelas (classless

society).

Yang dimaksud dengan masyarakat tanpa kelas ini bukan mengacu

kepada semangat sama rasa, sama karsa, tetapi lebih pada konsep

kesetaraan dan keadilan dalam hubungan antarmanusia.

Semangat utama pemahaman tauhid seperti itu adalah agar ada dialektika

antara aspek normatif dan sosiologis, antara teks dan konteks, teks dan

realitas. Inilah postulat dasar dan bangunan filosofi pendidikan Islam

transformatif. Pendidikan Islam transformatif berupaya

111
melakukan kontekstualisasi pendidikan agama dengan realitas historis

kehidupan peserta didik. Kontekstualisasi ini diperlukan agar pendidikan

tidak tercerabut dari akar sosialnya. Selain itu, agar pendidikan tidak

menghasilkan manusia-manusia yang pintar dan cerdas, tetapi cenderung

selfish dan egois, serta tidak peduli terhadap realitas sekitar. Bagi

pendidikan Islam transformatif,pendidikan Islam transformative

kecerdasan otak harus diimbangi kepekaan hati nurani.

Implikasi nilai pertama terhadap tujuan pendidikan Islam adalah

niali humanisasi yang dipahami sebagai nilai memanusiakan manusia,

artinya tujuan pendidikan Islam ialah meletakan kodrat peserta didik

sebagaimana mestiya, dengan kata lain pendidikan Islam berorientasi

menghilangkan segala macam tindak kekerasan dengan memberikan rasa

aman kepada para peserta didik dalam menjalani proses pendidikan.

Implikasi kedua adalah nilai liberasi. Tujuan pendidikan Islam

adalah membebaskan peserta didik dari dikotomi ilmu pengetahuan yang

selama ini mendoktrin peserta didik. Implikasi ini terlihat dalam

pandangan Mangunwijaya yang memberikan tri tugas pendidikan dalam

rangka mencapai tujuan pembebasan yaitu (1) mengantarkan siswa kepada

pengembangan segala potensi yang dimiliki ke arah lebih komperhensif;

(2) pembebasan dari seluruh kekuaatan yang membelenggu pengembangan

potensi; (3) peduli antar sesama sehingga tercipta kehidupan sosial yang

112
damai sejahtera.138 Tiga tugas yang dipaparkan Mangunwijaya merupakan

sinyal penting dari peran pendidikan di masa sekarang. Artinya

menjadikan pendidikan sebagai alat pertama dalam mencapai kebebasan

dalam arti positif yaitu untuk membangu kepribadian baik secara individu

maupun sosial.

Sebelum Mangunwijaya, tokoh barat maupun timur telah melopori

pendidikan yang membebaskan yaitu Paulo Fereire dan Murtadha

Muthahri dalam konteks paradigma pendidikan kritis. Berdasarkan hasil

penelitian Zaina bahwa tujuan pendidikan Fereire dan Muthahri adalah

mengembangkan kekuatan kritis sebagai manifetasi humanis yang

menjadi milik manusia.139 Tujuan ini dapat difahami bahwa pendidikan

harus mampu bernilai humanisasi jika tumbuh sikap kritis dari jiwa peserta

didik. Artinya karakteristik pemikiran beliau yakni pembebesan serta

humanisasi

Implikasi ketiga dari nilai profetik adalah trensendensi tujuan

pendidikan Islam yang mempertengah keyakinan serta keimanan peserta

didik kepada Allah, sehingga dengan mempelajari pelajaran agama Islam

peserta ddik mampu meningkatkan ketaqwaan baik secara individual

maupun dalam tahap muamalah dalam kehidupan sosial.

138
Singgih Nugroho, Pendidikan Pemerdekaan dan Islam YB. Mangunwijaya, (Nantul: Pondok
Edukasi,2003), 54
139
Nurul Zainal, Paradigma Pendidikan Kritis: Studi Komparasi Pemikiran Paulo Fereire dan
Murtadha Muttahir, Tesis tidak diterbitkan, (Malang UIN MALIKI Malang,2012), 132

113
4. Lembaga Pendidikan Islam

Kajian epistemologi Islam transformatif dalam pandangan

Abdurrahman memiliki dua metode, dan satu di antara metode tersebut

berimplikasi terhadap pengembangan lembaga pendidikan Islam. Metode

tersebut adalah bentuk komunitas bawah menuju keadilan sosial. Oleh

karena itu, implikasinya masalah lembaga pendidikan Islam harus

bertransformasi menuju lembaga yang memberikan kesempatan yang sama

bagi seluruh peserta didik yang ingin menempuh pendidikan di lembaga

tersebut. Lembaga pendidikan Islam tidak boleh memihak atau lebih

memprioritaskan tingkat ekonomi peserta didik yang tinggi untuk diterima

di lembaga tersebut.

Implikasi berikutnya berdasarkan tujuan, Islam transformasi

perspektif Abdurrahman adalah membentuk gerakan kemanusiaan yang

berlandaskan cita-cita profetik. Oleh karena itu, lembaga pendidikan Islam

harus memiliki cita-cita dan visi-misi berasaskan nilai-nilai profetik. Yaitu

lembaga yang menegakkan nilai humanisasi, memberikan nilai liberal

dalam arti kebebasan berfikir dan berkreasi, serta lembaga yang memiliki

visi meningkatkan keimanan dan amal shaleh seluruh elemen lembaga

secara seimbang dan saling melengkapi.

Persepsi masyarakat terhadap madrasah di era modern

belakangan ini, semakin menjadikan madrasah sebagai lembaga

114
pendidikan yang unik. Di saat ilmu pengetahuan dan teknologi

berkembang pesat, dan di saat perdagangan bebas dunia makin mendekati

pintu gerbangnya, keberadaan madrasah tampak makin dibutuhkan

orang. Untuk mewujudkan harapan semua pihak, madrasah harus

melakukan perubahan disemua lini, baik mengenai peningkatan mutu

pendidikan yang mencakup kurikulum, materi, metode, sarana pendidikan,

dan evaluasi. 140 Peningkatan kualitas SDM yang mencakup kepala, komite,

guru, dan pihak-pihak yang terkait dengan madrasah.

Kurikulum tidaklah merupakan hal yang pasti (statis), artinya

keberadaan kurikulum harus berubah sesuai dengan perkembangan zaman

dan sesuai dengan lingkungan. agar nantinya menghasilkan lulusan yang

cerdas dan bermoral. Kurikulum madrasah harus disesuaikan dengan

lingkungan, perkembangan zaman, dan kemajuan teknologi karena

masyarakat pada umumnya selalu berubah sesuai dengan perubahan

zaman. 141 Untuk itu, diperlukan sebuah kurikulum yang mampu

menciptakan aspek lingkungan hidup, pegangan hidup, kebutuhan hidup,

dan dinamika kehidupan. Kurikulum yang dimaksud, menurut Ainurrafiq


142
Dawam dengan kurikulum terintegrasi. Untuk tujuan itu, diperlukan

pergeseran paradigma dan karakteristik keilmuan dalam penerapan

kurikulum pendidikan madrasah.

140
Sutrisno, Pendidikan Islam Yang Menghidupkan, Studi Kritis Terhadap Pemikiran Fazlur
Rahman (Yogyakarta: Kota Kembang, 2006), hlm. 31.
141
Burhan Nurgiyantoro, Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum Sekolah, Sebuah Pengantar
Teoritis Dan Pelaksanaan(Yogyakarta: BPFE, 1988), hlm. 171.
142
Ainurrafiq Dawam & Ahmad Ta’arifin, Manajemen Madrasah Berbasis Pesantren (tt, Lista
Fariska Putra, 2005), hlm. 59.

115
Materi pelajaran di setiap jenjang pendidikan madrasah -MI, Mts,

MA- hendaknya berkelanjutan. Ini diharapkan agar nantinya materi

pelajaran tidak hanya mengulang-ulang. Menurut A. Malik Fajar, MI

sebagai pendidikan tingkat dasar mempunyai peran penting dalam proses

pembentukan kepribadian peserta didik, baik bersifat internal, eksternal,

dan suprainternal. 143 Oleh karena itu, lembaga pendidikan dasar (MI)

sangat membutuhkan perhatian lebih, baik sistem, materi, manajemen,

maupun mutu, agar nantinya kesalahan yang dilimpahkan kepada

madrasaah ibtidaiyah tidak terulang lagi.

Menurut Dr. Husni Rahim, ia menyatakan bahwa madrasah sebagai

lembaga pendidikan yang bercirikan Islam tidak hanya ciri formal dalam

kurikulum saja. Namun, setidaknya ada tiga program utama yang perlu

ditetapkan. Pertama, program Mafikibb dengan nuansa Islam. Kedua,

program pelajaran agama dengan nuansa iptek, dan ketiga, penciptaan

suasana keagamaan di madrasah. 144 Program mafikibb dengan nuansa

Islam dimaksudkan untuk menopang reintegrasi antara ilmu-ilmu umum

dengan ilmu agama, agar tidak ada lagi dikotomi ilmu. Sedangkan

program pelajaran agama dengan iptek merupakan kelanjutan dari

mafikibb dengan nuansa Islam.

143
A. Malik Fajar, Madrasah dan Tantangan Modernitas(Bandung: Mizan, 1998), hlm. 34.
144
Mafikibb adalah bidang studi umum. Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di
Indonesia (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), hlm. 140.

116
Sebenarnya, pendidikan di madrasah sendiri sudah mengalami

perubahan besar-besaran. Tetapi, karena perubahan masyarakat lebih

cepat, maka dunia pendidikan bagaikan jalan ditempat. Perbaikan

kurikulum, peningkatan mutu guru dan pembinaannya, sebenarnya bisa

dibilang dapat menjawab kebutuhan masyarakat dan pembangunan. Akan

tetapi, usaha yang baik itu kurang dibarengi dengan kesungguhan untuk

memperbaiki perangkat pendukungnya seperti guru, sarana prasarana,

serta kebijakan administratif. Komponen-komponen yang diperlukan tidak

dapat berjalan bersamaan, sehingga terjadi kepincangan dan kegagalan

dalam perbaikan.

Oleh karena itu, madrasah harus mendesain ulang model

pendidikan Islam yang berkualitas dan bermutu. Menurut Hujair AH.

Sanaky, setidaknya ada lima hal yang harus didesain, yaitu: pertama,

dengan merumuskan visi dan misi serta tujuan yang jelas. Kedua,

kurikulum dan materi pembelajaran diorientasikan pada kebutuhan peserta

didik dan kebutuhan masyarakat untuk dapat menjawab tantangan

perubahan. Ketiga, metode pembelajaran diorientasikan pada upaya

pemecahan kasus (promlem solving) dan bukan dominasi ceramah.

Keempat, manajemen pendidikan diorientasi pada manajemen berbasis

sekolah. Kelima, organisasi dan sumber daya guru yang memiliki

kompetensi dan profesional dalam bidangnya masing-masing. Maka

pendidikan Islam akan mampu bersaing dengan mampu mempersiapkan

dan melahirkan pemimpin-pemimpin yang tangguh, berkualitas dan

117
berkaliber dunia dalam bidangnya sehingga mampu menjawab persoalan-

persoalan aktual atau kontemporer sesuai dengan kebutuhan perubahan

zaman.

Implikasi pemikiran Islam transformatif Moeslim Abdurrahman

terhadap pengembangan pendidikan Islam adalah aspek hakikat, metode,

tujuan, serta lembaga pendidikan Islam.

118
BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan paparan data serta pembahasan pada bab sebelumnya, maka

dapat disimpulkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut. Paradigma Islam

transformatif perspektif Moeslim Abdurrahman Meliputi tiga aspek yaitu (a)

Hakikat Islam Transformatif menurut Abdurrahman adalah dialog diantara

konteks dengan teks suci agama Islam, sehingga perubahan dapat berjalan

secara seimbang; (b) Epistemologi Islam transformatif ada dua metode,

pertama membangun komunitas masyarakat bawah yang berorieentasi pada

ekonomi serta kekuasaan yang terorganisir dari masyarakat sendiri; kedua

melakukan reinterpretasi nilai-nilai normatif dalam memahami gagasan

Tuhan, metode ini meliputi tiga tahapan: melihat dan memahami konstruk

sosial; lalu realitas sosial ditemukan dengan tafsiran ayat-ayat al-Quran;

selanjutnya hasil pertemuan realitas sosial dengan model ideal teks akan

melahirkan aksi sejarah yang baru, yaitu transformasi sosial; (c) Tujuan islam

transformatif adalah membentuk gerakan atau gerakan kemanusiaan yang

didasarkan pada nilai-nilai profetik yaitu liberasi, humanisasi, dan

trensendensi. Gerakan ini bergerak pada pengubahan sejarah kehidupan sosial

masyarakat oleh masyarakat itu sendiri ke arah yang lebih partisipatif,

terbuka dan emansipatoris

Sedangkan Implikasi pemikiran Moeslim Abdurrahman terhadap

pengembangan pendidikan Islam terlihat dalam 4 aspek yaitu (a) hakikat

119
pendidikan Islam ialah pendidikan yang mengarahkan kepada dialog antara

tuntutan konteks terhadap teks suci; (b) metode pendidikan Islam meliputi

dialog dan metode aksi; (c) tujuan pendidikan Islam meliputi tujuan

humanisasi, liberasi dan tresendensi; (d) Lembaga pendidikan Islam adalah

lembaga yang dimiliki semua lapisan masyarakat serta memiliki visi profetik

B. Saran

Untuk penulisan selanjutnya penulis mengharapkan studi pemikiran

Moeslim Abdurrahman dapat di komparasikan dengan pemikiran tokoh barat

semisal dengan Paulo Fereire. Karena menurut penulis banyak karakteristik

pemikiran di antara tokoh tersebut. Masih banyak pemikiran Moeslim

Abdurrahman yang menarik untuk diteliti.

Paradigma Islam transformatif sebagai satu paradigma baru yang lahir

akibat melihat kegagalan yang diberikan oleh modernisasi dan islamisasi.

Pola pandang transformasi berkeinginan merubah tatanan masyarakat yang

notabenya terkungkung oleh kemajuan peradaban yang tidak mendukung

keadilan sosial di dalam masyrakat, sehingga yang kaya semakin semena-

mena sedangkan yang miskin semakin tak berdaya. Untuk melakukan

transformasi tersebu diperlukan rumusan-rumusan baru baik itu berupa

teori maupun aksi. Salah satu aspek yang mampu memberikan perubahan

dalam diri manusia adalah pendidikan.

Secara umum pendidikan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari

kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, penulis menyarankan dengan hasil

penelitian ini kepada lembaga pendidikan khususnya Islam untuk terus

120
melakukan transformasi dari segala aspek sehingga pendidikan Islam selalu

relevan dengan kebutuhan zaman. Sebagai contoh makna pendidikan Islam

tidak lagi diartikan pengajaran nilai-nilai ajaran Islam kepada pesera didik,

tapi harus menitikberatkan kepada pengejawantahan atau aplikasi nilai

tersebut dalam tataran kehidupan baik sikap atau perilaku. Artinya pendidikan

Islam tidak hanya berbicara ibadah tapi juga muamalah, tidak hanya teks juga

konteks, tidak hanya nilai tapi realitas, tidak hanya kesalehan individual tapi

juga sosial.

121
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Amin. Pendidikan Agama Era Multikultural-Multireligius. Jakarta:


PSAP Muhammadiyah, 2005
Abdurrahman, Moeslim. Islam Sebagai Kritik Sosial, Jakarta: Erlangga, 2001

Afwah, Neneng. Teologi Transformatif Upaya Membebaskan Kaum Tertindas:


Studi atas Pemikiran Moeslim Abdurrahman, Antologi: Vol 15, No 2,
2010
Al-Jumbulati, Ali dan Abdul Futuh at-Tuwaanisi, Dirasatun Muqaaranatun fit-
Tarbiyyatil Islamiyah, Terj. M. Arifin, Perbandingan Pendidikan Islam,
Jakarta: PT Rineka Cipta, Cet 2, 2002
Anies, M. (Eds.) Rekonstruksi Pendidikan dan Tradisi Pesantren. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1998
Anonim, Moeslim Abdurrahman Berpulang, (online), http://indonesiabuku.com
diakses 20 Desember 2012
Anonim, Kuntowijoyo, (online), http://id.wikipedia.org diakses 20 Desember 2012

Anwari, Tantowi (Eds), Pembaruan Pemikiran Islam Indonesia, Jakarta: KEMi


dan LSAF, 2011
Anwar, M. Syafi’i. Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik
Tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, Jakarta: Paramadina, 1995
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: PT.
Rineka Cipta, Cet. 12, 2002
Bawani, Imam. Segi-segi Pendidikan Islam, Surabaya: Al-Ikhlas, 1987

Daud, Wan Mohd Nor Wan. Filsafat Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib
Al-Attas. terj. Hamid Fahmy. dkk. Bandung: Mizan, 2003
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta: Balai Pustaka, 1990
Endarmoko, Eko. Tesaurus Bahasa Indonesia, Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2007
Fadjar, A. Malik. Menyiasati Kebutuhan Masyarakat Modern Terhadap
Pendidikan Agama Luar Sekolah, (Seminar dan Lokakarya
Pengembangan Pendidikan Islam Menyongsong Abad 21, IAIN,
Cirebon, tanggal, 31 Agustus s/d 1 September 1995
Furchan, Arief dan Agus Maimun, Studi Tokoh: Metode Penelitian Mengenai
Tokoh, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005
Jalaluddin, Teologi Pendidikan, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003

0
Krippendorff, Klaus. Content Analysis: An Introductions to its Methodology
(Second Edition), California: Sage Publication, 2004
Kuhn, Thomas, S, The Structure of Scientific Revolutions, Terj. Tjun Surjaman,
Bandung: Remaja Karya, 1989
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, Bandung: Mizan, Cet.
VIII, 1998
, Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika.
Yogyakarta: Tiara Wacana, Edisi 2, 2006
Kusumo, Santoso Wiryo. Relevansi Sistem Ekonomi Islam Terhadap Proses
Transformasi Masyarakat Islam Indonesia dalam Pemikiran
Kuntowijoyo, Skripsi tidak diterbitkan, Yogyakarta: Fakultas Adab UIN
SUKA Yogyakarta, 2009Madjid, Nurcholis. Cita-cita Politik Islam Era
Reformasi, Jakarta: Paramadina, 1999
Mahdi, Sayed. (Eds), Islam Pribumi: Mendialogkan Agama, Membaca Realitas,
Jakarta: Erlangga, 2003
Margono, S. Metodologi Penelitian Pendidikan, Jakarta: PT Asdi Mahasatya, Cet,
ke-2, 2000
Moleong, Lexi J. Penelitian Kualitatif, Bandung: Rosda Karya, 2002

Mudhofir, Ali. Kamus Istilah Filsafat dan Ilmu, Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2001
Muhaimin, Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam, Jakarta:
Rajawali Pers, 2011
, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Pelajar,
2003
, Rekonstruksi Pendidikan Islam: Dari Paradigma Pengembangan,
Manajemen Kelembagaan Kurikulum hingga Strategi Pembelajaran,
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2009
, Nuansa Baru Pendidkan Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006

Mulkhan, Abdul Munir. Paradigma Intelektual Muslim: Pengantar Filsafat


Pendidikan Islam dan Dakwah, Yogyakarta: SIPRESS, Cet. II,
1994Naim, Ngainun dan Achmad Sauqi, Pendidikan Multikultural:
Konsep dan Aplikasi, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008
Muththahari, Murtadha. Mengenal Epistemologi, terj. Muhammad Jawad Bafaqih
Jakarta : Lentera, 2003
Nasution, Harun. Filsafat Islam, Jakarta, tp, 1978

1
Nata, Abuddin. Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia, Jakarta; PT
RajaGrafindo Persada, Cet. 2, 2001
Novelia, Dahlia. Strategi Pendidikan Islam Dalam Masyarakat Modern
(Perspektif Pemikiran Fazlur Rahman). Skripsi tidak diterbitkan,
Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2011
Partanto, Pius A. dan M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya:
Arkola, 1994
Purwoko, Krisman. Globalisasi Tantangan Utama Pendidikan Islam di Indonesia,
(online), http;//www.republika.co.id diakses 31 Mei 2012
Qodir, Zuly. Pembaharuan Pemikiran Islam: Wacana Intelektual Indonesia,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006
Qomar, Mujamil. Epistemologi Pendidikan Islam: dari Metode Rasional hingga
Metode Kritik, Jakarta: Erlangga, 2005
Rahardjo, M. Dawam. Intelektual, Intelegensia, dan Perilaku Politik Bangsa:
Risalah Cendekiawan Muslim, Bandung; Mizan, Cet. III, 1996
Roqib, Moh. Ilmu Pendidikan Islam: Pengembangan Pendidikan Integratif di
Sekolah, Keluarga dan Masyarakat, Yogyakarta: LKiS
Saefuddin, Ahmad M. dkk. Desekularisasi Pemikiran Landasan Islamisasi.
Bandung: Mizan, 1987
Sarapung, Elaga. (ed), Pluralisme, Konflik, dan Pendidikan Agama di Indonesia,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005
Saridjo, Marwan. Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Amissco,
1996
Sukmadinata, Nana Syaodih. Metode Penelitian Pendidikan, Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 2005
Sumarna, Cecep. Rekonstruksi Ilmu; Dari Empirik-Rasional Ateistik ke Empirik-
Rasional Teistik. Bandung: Benang Merah Press, 2005
Soejono dan Abdurrahman, Metode Penelitian suatu Pemikiran dan
Penerapannya Jakarta: Reneka Cipta, 1999
Tilar, H.A.R. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspektif
Abad 21, Magelang: Tera Indonesia, Cet. I, 1998
Wahyu, Sukamawati. Pemikiran Kuntowijoyo Tentang Historiografi di Indonesia,
Skripsi tidak diterbitkan, Surabaya: Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel
Surabaya, 2012
Zainuddin, M. Reformulasi Paradigma Transformatif dalam Kajian Pendidikan
Islam, Malang: UIN-Maliki Press, 2011
Zubaedi, Islam dan Benturan Antarperadaban: Dialog Filsafat Barat dengan
Islam, Dialog Peradaban dan Dialog Agama, Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2007

Anda mungkin juga menyukai