Anda di halaman 1dari 7

Definisi

Epilepsi merupakan gangguan fungsi otak yang ditandai terjadinya serangan kejang


(bangkitan) dengan konsekuensi perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis, dan sosial.
Definisi ini membutuhkan setidaknya satu kali bangkitan epilepsi dalam satu tahun yang tidak
diprovokasi (Fisher et al.2005). 

Epilepsi menurut JH Jackson dalam Octaviana (2008) didefinisikan sebagai suatu gejala


akibat cetusan pada jaringan saraf yang berlebihan dan tidak beraturan. Cetusan tersebut dapat
melibatkan sebagian kecil otak (serangan parsial atau fokal) atau yang lebih luas pada kedua
hemisfer otak (serangan umum). Epilepsi merupakan gejala klinis yang kompleks
yang disebabkan berbagai proses patologis di otak. Epilepsi ditandai dengan cetusan listrik
abnormal yang berlebihan dari neuron, dapat dideteksi dari gejala klinis, rekaman
elektroensefalografi (EEG) atau keduanya. 

Menurut Smithson dan walker (2012) epilasi bukan merupan satukesatuan tetapi lebih
mengarah pada sekelompok kondisi dengan manifestasi yang berbeda tergantung pada bagian
otak yang terlibat, usia individu, penyebab yang mendasari, dan aktivitas penyebaran
serangan (bangkitan). Referensi tertulis pertama yang dikenal adalah tulisan kuno Babylonian
lebih dari 3000 tahun yang lalu, di dalamnya tertulis bahwa epilepsi dianggap sebagai
kelainan yang disebabkan oleh setan atau arwah. Lima ratus tahun kemudian konsep yang
sama muncul dalam teks-teks Yunani. Yunani kuno menganggap bahwa hanya dewa yang
bisa masuk ke alam bawah sadar seseorang dan membuat tubuhnya menjadi tidak terkontrol. 

Epilepsi (yang juga disebut “kejang ayan”) ditandai dengan aktivitas berlebihan yang tidak
terkendali dari sebagian atau seluruh korteks serebral. Orang yang mempunyai faktor
predisposisi timbulnya epilepsi akan mendapat serangan bila nilai basal eksitabilitas sistem
saraf (bagian yang peka terhadap keadaan epilepsi) meningkat di atas nilai ambang
kritisnya. Selama besarnya eksitabilitas tetap dijaga di bawah nilai ambang, serangan epilepsi
tidak akan terjadi (Guyton dan Hall, 2007). 

Klasifikasi Kejang 

Klasifikasi epilepsi berdasarkan International Classification of 


Epileptic Seizures dalam Browne dan Holmes (2008) adalah : 

a. Kejang Parsial 
Kejang diklasifikasikan sebagai parsial atau generalisata berdasarkan apakah kesadaran utuh atau
lenyap. Kejang dengan kesadaran utuh disebut sebagai kejang parsial. Kejang parsial dibagi lagi 
menjadi kejang parsial sederhana dan parsial kompleks (Lombardo, 2005). Epilepsi fokal dapat
melibatkan hamper setiap bagian otak, baik regio setempat pada korteks serebri atau struktur-
struktur yang lebih dalam pada serebrum dan batang otak. Epilepsi fokal paling
sering disebabkan oleh lesi organik setempat atau adanya kelainan fungsional, 
seperti : (1) jaringan parut di otak yang mendorong jaringan neuron di dekatnya, (2) adanya
tumor yang menekan daerah otak, (3) rusaknya suatu area pada jaringan otak, atau (4) kelainan
sirkuit setempat yang diperoleh secara kongenital (Guyton dan Hall, 2007). Lesi semacam ini
dapat menyebabkan pelepasan impuls yang sangat cepat pada neuron setempat; bila kecepatan
pelepasan impuls ini melebihi beberapa ratus per detik, gelombang sikron akan mulai menyebar
di seluruh regio kortikal di dekatnya. Gelombang ini mungkin berasal dari sirkuit setempat yang
secara bertahap membuat area korteks di dekatnya menjadi zone lepas-muatan epileptik (Guyton
dan Hall, 2007). Berikut ini pembagian kejang parsial berdasarkan Guyton dan Hall (2007)

1. Parsial Sederhana 

Menurut Lombardo (2005) kejang parsial sederhana adalah kejang dengan kesadaran utuh
atau tidak disertai penurunan kesadaran. Kejang ini biasanya berlangsung kurang dari 1
menit. Kejang parsial parsial dimulai di suatu daerah di otak, biasanya korteks
serebrum. Gejala kejang parsial bisa ilusional, olfaktorius, psikis, kognitif, afasik, sensoris,
atau motorik (Rubenstein et al, 2007). Gejala ini bergantung pada lokasi fokus di otak.
Sebagai contoh, apabila fokus terletak di korteks motorik, maka gejala utama mungkin
adalah perubahan aktivitas otot. Gerakan tonik/klonik merupakan gambaran klinis yang
biasanya terjadi. Apabila fokus terletak di korteks sensorik, maka pasien mengalami gejala-
gejala sensorik termasuk baal, sensasi seperti ada yang merayap, seperti tertusuk-
tusuk penghiduan, halusinasi/ilusi yang melibatkan sitem indera. Kejang sensorik biasanya
disertai beberapa gerakan klonik, karena di korteks sensorik terdapat beberapa representasi
motorik. Gejala autonom adalah kepucatan, kemerahan, berkeringat, dan muntah.
Gangguan daya ingat, disfagia, dan dejavu adalah contoh gejala psikis pada kejang parsial
(Lombardo, 2005). 
 
2. Parsial Kompleks 

Kejang parsial kompleks adalah kejang dengan ciri khas kesadaran berubah tetapi tidak
hilang. Biasanya berlangsung 1-3 menit (Lombardo, 2005). Terutama “kejang lobus temporal”
yang biasa diawali dengan aura atau tanda peringatan dapat terdiri dari gejala psikis (seperti
rasa takut atau sensasi dejavu), halusinasi (olfaktorius, gustatonus, atau bayangan visual), atau
sensasi tidak enak di epigastrium (Ginsberg, 2005). Lepas muatan kejang pada kejang parsial
kompleks (dahulu dikenal sebagai kejang psikomotor atau lobus temporalis) sering berasal
dari lobus temporalis medial atau frontalis inferior dan melibatkan gangguan pada fungsi
serebrum yang lebih tinggi serta proses-prose pikiran, serta perilaku motorik yang kompleks.
Kejang ini dapat dipicu oleh musik, cahaya berkedip-kedip, atau rangsangan lain dan sering
disertai oleh aktivitas motorik repetitif involunta yang terkoordinasi yang dikenal sebagai
perilaku otomatis (automatic behavior). Contoh dari perilaku ini adalah menarik-narik baju,
meraba-raba benda, bertepuk tangan, mengecap-ngecap bibir, atau mengunyah berulang-
ulang. Pasien mungkin mengalami perasaan khayal berkabut seperti mimpi. Pasien tetap sadar
selama serangan tetapi umumnya tidak dapat mengingat apa yang terjadi (Lombardo, 2005). 

3. Kejang parsial yang berkembang menjadi kejang umum Menurut Lombardo (2005)


kejang parsial kompleks dapat meluas dan menjadi kejang generalisata. 

b. Kejang Generalisata

Kejang generalisata melibatkan seluruh korteks serebrum dan diensefalon serta ditandai dengan
awitan aktivitas kejang yang bilateral dan simetrik yang terjadi di kedua hemisfer tanpa tanda-
tanda bahwa kejang berawal sebagai kejang fokal. Pasien tidak sadar dan tidak mengetahui
keadaan sekeliling saat mengalami kejang. Kejang ini 
biasanya muncul tanpa aura atau peringatan terlebih dahulu (Lombardo,2005). 

1. Absance (Petit mal)

Epilepsi ini biasanya ditandai dengan timbulnya keadaan tidak sadar (atau penurunan kesadaran)
selama 3 sampai 30 detik (Guyton dan Hall, 2007). Selama waktu serangan mungkin pasien tiba-
tiba menghentikan pembicaraan, menatap kosong, atau berkedip-kedip dengan cepat (Lombardo,
2005). Keadaan ini selanjutnya diikuti dengan kembalinya kesadaran dan timbulnya kembali
aktivitas sebelumnya. Rangkain kejadian keseluruhan ini disebut absance syndrome atau
absance epilepsy. Pasien mengalami serangan seperti ini satu kali dalam beberapa bulan atau
beberapa kali dalam sehari. 
Serangan petit mal biasanya terjadi pertama kali pada anak-anak masa akil balik dan menghilang
pada umur 30 tahun. Kadangkala, serangan epilepsi petit mal dapat memicu timbulnya serangan
grand mal (Guyton dan Hall, 2007).

2. Mioklonik 

Gerakan konvulsif mendadak pada ekstremitas dan batang tubuh, biasanya pada anak-anak
(Rubenstein et al., 2007). 

3. Kejang Tonik 
Menurut Lombardo (2005) pasien dengan kejang tonik akan mengalami peningkatan mendadak
tonus otot (menjadi kaku, kontraksi) wajah dan tubuh bagian atas; fleksi lengan dan
ekstensi tungkai.
a. Mata dan kepala mungkin berputar ke satu sisi. 
b. Dapat menyebabkan henti napas

4. Kejang Atonik 

Hilangnya secara mendadak tonus otot disertai lenyapnya postur tubuh/drop attacks (Lombardo,
2005). Kejang atonik dapat berlangsung singkat, dan kesadaran dapat hilang sesaat atau
tidak sama sekali (Tjahjadi et al.,2009). 

5. Kejang Klonik 

Gerakan menyentak, repetitif, tajam, lambat, dan tunggal atau multipel di lengan, tungkai, atau
torso (Lombardo, 2005). 

6. Kejang Tonik-Klonik 

Kejang tonik-klonik (dahulu disebut grand mal) adalah kejang epilepsi yang klasik. Kejang
tonik-klonik diawali oleh hilangnya kesadaran dengan cepat. Pasien mungkin bersuara menangis,
akibat ekspirasi paksa yang disebabkan oleh spasme toraks atau abdomen. Pasien kehilangan
posisi berdirinya, mengalami gerakan tonik 
kemudian klonik, dan inkontinensia urin atau alvi (atau keduanya), disertai disfungsi autonom.
Pada fase tonik, otot-otot berkontraksi dan posisi tubuh mungkin berubah. Fase ini berlangsung
beberapa detik. Fase klonik memperlihatkan kelompok-kelompok otot yang berlawanan
bergantian berkontraksi dan melemas sehingga terjadi 
gerakan-gerakan menyentak. Jumlah kontraksi secara bertahap berkurang tetapi kekuatannya
tidak berubah. Lidah mungkin tergigit; hal ini terjadi pada sekitar separuh pasien (spasme rahang
dan lidah). Keseluruhan kejang berlangsung 3 sampai 5 menit dan diikuti oleh periode tidak
sadar yang mungkin berlangsung beberapa menit sampai 
30 menit. Setelah sadar pasien mungkin tampak kebingungan, agak stupor, atau bengong. Tahap
ini disebut sebagai periode pascaiktus. Umunya pasien tidak dapat mengingat kejadian
kejangnya (Lombardo, 2005). Efek fisiologik kejang tonik-klonik bergantung pada lama kejang
berlangsung. Kejang tonik-klonik yang berkepanjangan menyebabkan efek neurologik dan
kardiorespirasi yang berat. Efek dini disebabkan oleh meningkatnya katekolamin dalam
sirkulasi. Apabila kejang berlanjut lebih dari 15 menit maka terjadi deplesi katekolamin yang
menyebabkan timbulnya efek sekunder atau lambat. Kejang yang berlangsung lebih dari 30
menit dapat menyebabkan henti jantung dan napas (Lombardo, 2005). 
Etiologi

Pada sebagian besar orang dengan epilepsi tidak ada penyebab spesifik diidentifikasi. Namun,
beberapa penyebab langsung yang terkait adalah yang terjadi umumnya pada kelompok umur ini.
Beberapa di antaranya tercantum dalam tabel di bawah ini:

Penyebab / faktor risiko epilepsi dan kejang


Infeksi Infeksi
Meningitis Penyakit demam (demam)
Radang otak kejang)
HIV / AIDS Rabies
Malaria serebral
Toksoplasmosis
Ensefalopati (terkait campak- SSPE)
Penyakit demam (kejang demam)

Metabolik Metabolik
Kekurangan / ketergantungan piridoksin Hipoglikemia
Penyakit Niemann-Pick Hipokalsemia/rakhitis
Kesalahan metabolisme bawaan & Ketidak seimbangan elektrolit
penyakit mitokondria elektrolit Hipomagnesemia
Hiperbilirubinemia (kernikterus
Kekurangan/ketergantungan piridoksin
uraemia
Fenilketonuria
Porfiria
Hipotermia
Trauma Trauma
Trauma kelahiran Trauma kelahiran
Cedera kepala Cedera kepala
Anoxia Anoxia
Asfiksia lahir Asfiksia lahir

Racun Racun
Alkohol dan penarikan alkohol Alkohol dan penarikan alkohol
Keracunan karbon monoksida Keracunan karbon monoksida
Obat-obatan (penicillin IV dosis tinggi, Obat-obatan (penicillin IV dosis tinggi,
strychnine, dll.) strychnine, dll.)
Keracunan timbal Insektisida Keracunan timbal Insektisida
organo-fosfor peracunan organo-fosfor peracunan
Lesi yang menempati ruang Lesi yang menempati ruang
Hematoma Hematoma
Abses Tumor Abses Tumor
Tuberkuloma Tuberkuloma
Sistiserkosis Sistiserkosis

Gangguan peredaran darah Gangguan peredaran darah


Kecelakaan serebrovaskular (stroke) Kecelakaan serebrovaskular (stroke)

Bawaan / genetik Edema serebral


Malformasi dan perkembangan Ensefalopati hipertensi Eklampsia
cacat otak (hidrosefalus,
mikrosefali, dll.)
Anomali pembuluh darah
Sclerosis tuberkulosis (Bourneville
penyakit)
Neurofibromatosis (von
Penyakit Recklinghausen)
Wajah ensefal-trigeminal
angiomatosis (misalnya Sturge-Weber
Sindroma)

Kondisi degeneratif.
Demensia

Lainnya
Gangguan autoimun, mis. SLE.

Anda mungkin juga menyukai