Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PRAKTIKUM

MIKROTEKNIK HEWAN

ACARA PRAKTIKUM KE-VII

FIKSASI

Nama : Sebastian Aditya Putra Aji


NIM : 24020117130085
Kelompok :6
Hari, Tanggal: Jumat, 6 November 2020

Asisten : Nuryanti

LABORATORIUM BSFH
DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN MATEMATIKA
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2020
HALAMAN PENGESAHAN
Semarang, 12 November 2020

Mengetahui,
Asisten Praktikan

Nuryanti Sebastian Aditya Putra Aji

24020117120012 24020117130085
I. TUJUAN
I.1 Mampu memahami tahapan proses fiksasi pada jaringan maupun organ

II. TINJAUAN PUSTAKA

II.1Pengertian dan Tujuan Proses Fiksasi

Fiksasi jaringan adalah proses mengawetkan jaringan agar awet dan kondisinya

sama seperti hidup. Dilakukan dengan merendam jaringan ke lartutan fiksasi (volume

min 10x besar jar) selama 24 jam (Mikel, 2014). Pengawetan (fiksasi) adalah

stabilitasi unsur penting pada jaringan, sehingga unsur tersebut tidak terlarut,

berpindah, atau terdistorsi selama prosedur selanjutnya. Fiksasi yang benar adalah

dasar dari semua preparat yang baik. Efek fiksasi terhadap jaringan yang diproses

adalah menghambat proses pembusukan dan autolysis, pengawetan jaringan,

pengerasan jaringan, pemadatan koloid, diferesiansi optic, dan berpengaruh terhadap

pewarnaan. Sejumlah factor akan mempengaruhi proses pengawetan yaitu dapar,

penetrasi, volume pengawet, konsentrasi, interval waktu, suhu, dan jenis larutan

pengawet (Sipahutar, 2019). Fiksasi terhadap jaringan harus dilakukan secepat

mungkin, segera setelah jaringan hewan atau manusia diambil dari tubuhnya dengan

tujuan, Mencegah terjadinya proses autolisis yaitu larutnya sel yang diakibatkan oleh

proses – proses yang dipengaruhi enzim dari dalam sel itu sendiri. Mencegah proses

pembusukan yaitu proses penghancuran jaringan yang diakibatkan oleh aktifitas

bakteri dan biasanya disertai dengan pembentukan gas. Memadatkan dan

mengeraskan agar mudah untuk dipotong. Untuk jaringan yang lunak seperti jaringan

otak akan sulit dipotong jika tanpa dilakukan oleh cairan fiksasi. Memadatkan cairan
koloid, mengubah konsistensi dari bahan seperti cairan yang terdapat didalam

jaringan menjadi konsistensi lebih padat. Mencegah keruskan struktur jaringan.

Dengan proses masuknya cairan fiksasi kedalam sel lewat membran sel yang bersifat

semipermeabel secara osmosis atau penyerapan (Mikel, 2014).

II.2Macam-macam larutan fiksatif

Larutan fiksatif dibedakan menjadi 2 macam, yaitu larutan fiksatif sederhana dan

larutan fiksatif majemuk/campuran. Larutan fiksatif sederhana adalah yaitu yang

didalamnya mengandung satu macam zat saja, sedangkan larutan fiksatif

majemuk/campuran merupakan suatu larutan yang didalamnya mengandung lebih

dari satu macam zat. Contoh dari larutan fiksatif sederhana meliputi etanol,

formaldehyde, dan asam asetat; asam pikrat; asam chromiat. Contoh dari larutan

fiksatif majemuk/campuran meliputi larutan Bouin dan larutan Zenker (Morgan et al,

2010)

II.3Prinsip kerja fiksasi

Prinsip kerja dari fiksasi adalah mengawetkan bentuk sel dan organel sehingga

mendekati bentuk fisiologinya. Cairan fiksatif mengubah komposisi jaringan secara

kimiawi dan fisik. Secara kimiawi, protein sel diubah secara fungsional dan struktural

dengan cara koagulasi dan membentuk senyawa aditif baru. Senyawa tersebut

terbentuk dengan cara ikatan silang dari dua makromolekul yang berbeda, yakni

cairan fiksatif dan protein sel. Hal ini menyebabkan sel resisten terhadap gerakan air

dan cairan-cairan lainnya. Akibatnya, struktur sel menjadi stabil, baik di dalam

maupun di antara sel-sel. Selain itu, kebanyakan enzim di dalam sel menjadi
terinaktivasi, sehingga proses metabolisme sel tidak terjadi, dan mencegah adanya

autolisis sel. Secara fisik, membran sel yang awalnya hidrofilik, dilarutkan dengan

cairan fiksatif, yang menyebabkan pori-pori sel membesar. Akibatnya, makromolekul

dapat memasuki sel. Hal ini membantu untuk teknik setelah fiksasi, khususnya pada

proses parafinisasi dan pewarnaan dimana zat-zat tersebut akan dapat masuk ke

dalam sel dan menempel dengan mudah (Jamie, dkk., 2010).


III. METODE
III.1 Alat

a. Laptop

b. Alat tulis

III.2 Bahan

a. PPT

b. Video

III.3 Cara Kerja

a. PPT yang ditampilkan di Microsoft Teams disimak

b. Video yang ditampilkan di Microsoft Teams disimak

c. Hasil ditulis di laporan sementara


IV. HASIL PENGAMATAN
IV.1 Gambar fiksasi organ tikus/ayam, minimal 4 organ

No Gambar Fiksasi Nama Organ

1 Pankreas Tikus

(Alwi, M. A., 2016)

2 Hepar Tikus

(Alwi, M. A., 2016)

3 Ginjal Tikus

(Alwi, M. A., 2016)

4. Usus Halus Tikus

(Wijayanthi, dkk., 2017)


V. PEMBAHASAN

Praktikum mikroteknik tumbuhan acara VII yang berjudul “FIKSASI”

dilaksanakan pada hari Jumat, 6 November 2020 secara online via Microsoft Teams.

Praktikum ini memiliki tujuan agar mampu memahami tahapan proses fiksasi pada

jaringan maupun organ. Alat dan bahan pada praktikum ini meliputi laptop, alat tulis,

video dan PPT. Cara kerja raktikum ini diawali dengan PPT yang ditampilkan di

Microsoft Teams disimak,video yang ditampilkan di Microsoft Teams disimak dan hasil

ditulis di laporan sementara.

Fiksasi atau pengawetan merupakan proses atau tahapan paling kritis dalam

pemeriksaan histologi. Tujuan utama fiksasi adalah untuk mempertahankan struktur sel

seperti aslinya. Proses fiksasi ini harus segera dilakukan setelah jaringan di ambil atau

setelah hewan mati. Menurut Howat (2014) Fiksasi adalah langkah dasar di balik studi

patologi dan sangat penting untuk mencegah autolisis dan degradasi jaringan serta

komponen jaringan sehingga mereka dapat diamati baik secara anatomis dan

mikroskopis. Proses fiksasi biasanya merupakan tahap pertama dalam pembuatan sediaan

histopatologi. Fiksasi adalah berbagai perlakuan yang dapat melindungi struktur sel dan

komposisi biokimianya. Tentu saja kualitas fiksasi adalah kunci untuk semua tahap

selanjutnya yang penting dalam pembuatan sediaan histopatologik, oleh karena itu

pengawetan sel dengan perubahan morfologi yang minimal dan secara kasat mata tanpa

adanya kehilangan molekul sangat penting dalam pengolahan jaringan. Fiksasi

diharapkan dapat melindungi spesimen biologi dari efek denaturasi dehidrasi dan semua

proses pengolahan jaringan. Tujuan utama fiksasi adalah untuk menjaga sel dan

komponen jaringan pada keadaan “life-like state”. Selama proses fiksasi dan tahap-tahap
yang menyertainya terdapat perubahan substansial pada komposisi dan penampakan sel

serta komponen jaringan dan keadaan ini dapat mengubah keadaan dari “life-like state”

yang ideal. Fiksasi yang baik akan menghasilkan kualitas sediaan yang baik untuk dinilai

oleh patolog. Menurut Eltoum et al. (2011) Fiksasi bertujuan untuk mencegah atau

menahan proses degeneratif yang dimulai segera setelah jaringan kehilangan pasokan

darah. Proses autolisis akan menyebabkan jaringan dicerna dengan enzim intraseluler

yang dilepaskan ketika membran organel pecah. Salah satu proses yang harus dicegah

adalah bakteri pengurai atau pembusukan yang disebabkan oleh mikroorganisme yang

mungkin sudah ada dalam spesimen. Kehilangan dan difusi zat terlarut harus dihindari

sebisa mungkin dengan cara presipitasi atau koagulasi atau dengan melakukan cross-

linking dengan komponen struktural tidak larut lainnya. Jaringan harus sebagian besar

terlindungi dari efek buruk pengolahan jaringan termasuk infiltrasi dengan lilin panas,

tapi yang paling penting, jaringan harus mempertahankan reaktivitas untuk pewarnaan

dan reagen lainnya termasuk antibodi dan probe asam nukleat.

Cara kerja dalam melakuka fiksasi pada saat pembuatan preparat adalah yang

pertama melakukan isolasi organ atau jaringan, kemudia organ/jaringan tersebut dicuci

menggunakan aquades, lalu sebelum memasukkan jaringan kedalam larutan fiksasi,

siapkanlah botol dengan penutup (plakon) sesuai dengan besar volume jaringan. Biasanya

botol atau wadah dengan mulut lebar yang telah diisi oleh cairan fiksasi. Cairan yang

diperlukan biasanya sebanyak 15 sampai 20 kali volume jaringan yang akan difiksasi,

paling sedikit jaringan yang difiksasi dapat terendam. Segera setelah jaringan

diangkat/diisolasi dari dalam tubuh hewan maka segera dimasukkan ke dalam wadah

tersebut. Hal ini sesuai dengan Jusuf (2009), jaringan hewan yang diinginkan kemudian
diisolasi, dipotong-potong dan dimasukkan kedalam wadah yang berisi cairan fiksasi

yang sama dengan cairan fiksasi yang diinfuskan. Wadah yang berisi cairan fiksasi dan

jaringan kemudian dilabel dan disimpan hingga saat proses pengolahan jaringan

selanjutnya.

Pada proses fiksasi terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan, antara lain

buffering, penetrasi, volume pengawet, suhu, konsentrasi, interval waktu dan jenis larutan

pengawet. Didukung oleh Schiches et al. (2007), cairan fiksasi dapat mempengaruhi

reaksi histokimia karena mengikat bagian reaktif jaringan. Terdapat sejumlah faktor yang

akan mempengaruhi proses pengawetan:

a. Buffer

Pengawetan sebaiknya dikerjakan pada pH yang mendekati netral, 6 – 8.

Jaringan hipoksia menurunkan pH, sehingga harus terdapat kapasitas dapar pada

pengawet untuk mencegah keasaman yang berlebihan. Keasaman memudahkan

terbentuknya pigmen heme-formalin yang akan muncul sebagai deposit hitam yang

dapat terpolarisasi di jaringan. Buffer umum terdiri atas fosfat, bikarbonat, kakodilat,

dan veronal.

b. Penetrasi

Penetrasi jaringan bergantung pada kemampuan difusi masing-masing

fiksatif. Formalin dan alkohol adalah yang terbaik sementara glutaraldehida adalah

terjelek. Merkuri dan yang lainnya berada di antaranya. Untuk mengatasi ini,

jaringan diiris dengan ketipisan 3–5 mm. Jaringan yang tipis akan lebih mudah

dipenetrasi daripada jaringan tebal. Untuk pekerjaan rutin, jaringan dapat dibuat

dengan ketebalan hingga 1 cm. Dengan ketebalan ini, diharapkan cairan fiksasi dapat
dengan cepat memfiksasi seluruh jaringan. Bila irisannya terlalu tebal, maka

permukaan luarnya saja yang berhasil difiksasi sedangkan bagian tengahnya dapat

membusuk sebelum cairan fiksasi sempat merembes/menginfiltrasi ke sana. Untuk

mikroskopi elektron, ketebalan irisan jaringan adalah 1 mm.

c. Volume Pengawet

Volume pengawet adalah penting. Sebaiknya, volume pengawet adalah 10 x

volume jaringan yang difiksasi. Besarnya volume jaringan menentukan volume

fiksasi yang diperlukan sedangkan tebalnya jaringan menentukan lamanya fiksasi.

Panjang dan lebar jaringan umumnya ditentukan oleh jenis mikrotom yang

digunakan.

d. Konsentrasi

Konsentrasi pengawet sebaiknya diatur ke kadar terendah yang mungkin,

karena pertimbangan ekonomis. Konsentrasi formalin terbaik adalah 10%,

sedangkan glutaraldehida pada 0,25% - 4%. Konsentrasi yang terlalu tinggi dapat

menimbulkan artefak yang sama dengan panas yang berlebihan.

e. Interval Waktu

Jaringan yang didapat harus segera diawetkan. Artefak akan timbul bila

jaringan mengering, sehingga bila belum mendapat pengawet, rendamlah dalam

larutan garam fisiologis. Semakin lama jaringan menunggu untuk diawetkan,

semakin banyak kehilangan organel sel dan pengerutan nukleus sehingga banyak

artefak terbentuk.

f. Suhu
Peningkatan suhu, seperti reaksi kimia lainnya, akan meningkatkan laju

pengawetan. Ini tidak berarti bahwa anda dibenarkan untuk merebus jaringan

dalam bahan pengawet. Formalin yang panas akan mengawetkan lebih cepat.

g. Jenis Larutan Pengawet

Jenis larutan fiksasi yang akan digunakan bergantung pada jenis unsur

jaringan yang ingin didemonstrasikan dan pewarnaan yang akan dilakukan.

Larutan fiksatif umumnya akan terpenetrasi ke dalam organ sehingga kemudian

kondisi biokimianya dapat terjaga. Menurut Jamie, dkk., (2010) bahwa cairan fiksatif

mengubah komposisi jaringan secara kimiawi dan fisik. Secara kimiawi, protein sel

diubah secara fungsional dan struktural dengan cara koagulasi dan membentuk senyawa

aditif baru. Senyawa tersebut terbentuk dengan cara ikatan silang dari dua

makromolekul yang berbeda, yakni cairan fiksatif dan protein sel. Hal ini menyebabkan

sel resisten terhadap gerakan air dan cairan-cairan lainnya. Akibatnya, struktur sel

menjadi stabil, baik di dalam maupun di antara sel-sel. Selain itu, kebanyakan enzim di

dalam sel menjadi terinaktivasi, sehingga proses metabolisme sel tidak terjadi, dan

mencegah adanya autolisis sel. Secara fisik, membran sel yang awalnya hidrofilik,

dilarutkan dengan cairan fiksatif, yang menyebabkan pori-pori sel membesar.

Akibatnya, makromolekul dapat memasuki sel. Hal ini membantu untuk teknik setelah

fiksasi, khususnya pada proses parafinisasi dan pewarnaan dimana zat-zat tersebut akan

dapat masuk ke dalam sel dan menempel dengan mudah.parafinisasi dan pewarnaan

dimana zat-zat tersebut akan dapat masuk ke dalam sel dan menempel dengan mudah.
VI. Kesimpulan

Fiksasi jaringan adalah proses mengawetkan jaringan agar awet dan kondisinya

sama seperti hidup. Dilakukan dengan merendam jaringan ke lartutan fiksasi selama

24 jam. Cairan fiksatif mengubah komposisi jaringan secara kimiawi dan fisik, yang

menyebabkan sel atau jaringan menjadi resisten terhadap gerakan air dan cairan-cairan

lainnya. Sehingga strukturnya menjadi stabil, baik di dalam maupun di antara sel-sel.
DAFTAR PUSTAKA

Alwi, M. A. 2016. Studi Awal: Fiksasi 2 Minggu Pada Gambaran Histologi Organ Ginjal, Hepar,
dan Pankreas Tikus Sprague Dawley Dengan Pewarnaan Hematoxylin-Eosin
(Bachelor's thesis, FKIK UIN Jakarta).
Eltoum I, Fredenburgh J, Myers RB, Grizzle WE. 2011. Introduction to the theory and practice
of fixation of tissues. J Histotechnol; 24 (3):173–90.

Howat WJ, Wilson BA. 2014. Tissue fixation and the effect of molecular fixatives on
downstream staining procedures. Elsevier Inc.; 70 (1):12–9.

Jamie, M. Novacek., Kumar, George L., Kiernan, John A., 2010. Education Guide: Special
Stains and H&E Second Edition. California, US: Dako North America.
Jusuf, A. A. 2009. HISTOTEKNIK DASAR. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Mikel, U. V. 2014. Advanced laboratory methods in histologi and pathology. Washington, DC:
Armed Forces Institute of Pathology American Registry of Pathology. Chapter 1,
Immunohistochemistry; p 1-40.

Morgan, J, P. Y. K. Liu, and J. A. Smith. 2010. Semi-Microtechnique for the Biochemical


Characterization of Anaerobic Bacteria. University of Toronto, Canada.315-318

Schichnes, Denis, Nemson, Jeffrey A, and Ruzin, Teven A. 2007. Microwave protocols for plant
and animal paraffin microteqnique. The University Of California at Barkeley, CNR
Biologycal Imaging Facility, 51-53

Sipahutar, H. 2019. Dasar-Dasar Teori Mikroteknik Teknik Pembuatan Sediaan Histology.


Medan: FMIPA UNIMED

Wijayanthi, Kadek Karina Dewi, Berata, I Ketut, Samsuri, Sudira, I Wayan. 2017. Histopatologi
Usus Halus Tikus Putih Jantan yang Diberikan Deksametason dan Vitamin E. Buletin
Veteriner Udayana. Volume 9 No.1: 47-53

Anda mungkin juga menyukai