MIKROTEKNIK HEWAN
FIKSASI
Asisten : Nuryanti
LABORATORIUM BSFH
DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN MATEMATIKA
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2020
HALAMAN PENGESAHAN
Semarang, 12 November 2020
Mengetahui,
Asisten Praktikan
24020117120012 24020117130085
I. TUJUAN
I.1 Mampu memahami tahapan proses fiksasi pada jaringan maupun organ
Fiksasi jaringan adalah proses mengawetkan jaringan agar awet dan kondisinya
sama seperti hidup. Dilakukan dengan merendam jaringan ke lartutan fiksasi (volume
min 10x besar jar) selama 24 jam (Mikel, 2014). Pengawetan (fiksasi) adalah
stabilitasi unsur penting pada jaringan, sehingga unsur tersebut tidak terlarut,
berpindah, atau terdistorsi selama prosedur selanjutnya. Fiksasi yang benar adalah
dasar dari semua preparat yang baik. Efek fiksasi terhadap jaringan yang diproses
penetrasi, volume pengawet, konsentrasi, interval waktu, suhu, dan jenis larutan
mungkin, segera setelah jaringan hewan atau manusia diambil dari tubuhnya dengan
tujuan, Mencegah terjadinya proses autolisis yaitu larutnya sel yang diakibatkan oleh
proses – proses yang dipengaruhi enzim dari dalam sel itu sendiri. Mencegah proses
mengeraskan agar mudah untuk dipotong. Untuk jaringan yang lunak seperti jaringan
otak akan sulit dipotong jika tanpa dilakukan oleh cairan fiksasi. Memadatkan cairan
koloid, mengubah konsistensi dari bahan seperti cairan yang terdapat didalam
Dengan proses masuknya cairan fiksasi kedalam sel lewat membran sel yang bersifat
Larutan fiksatif dibedakan menjadi 2 macam, yaitu larutan fiksatif sederhana dan
dari satu macam zat. Contoh dari larutan fiksatif sederhana meliputi etanol,
formaldehyde, dan asam asetat; asam pikrat; asam chromiat. Contoh dari larutan
fiksatif majemuk/campuran meliputi larutan Bouin dan larutan Zenker (Morgan et al,
2010)
Prinsip kerja dari fiksasi adalah mengawetkan bentuk sel dan organel sehingga
kimiawi dan fisik. Secara kimiawi, protein sel diubah secara fungsional dan struktural
dengan cara koagulasi dan membentuk senyawa aditif baru. Senyawa tersebut
terbentuk dengan cara ikatan silang dari dua makromolekul yang berbeda, yakni
cairan fiksatif dan protein sel. Hal ini menyebabkan sel resisten terhadap gerakan air
dan cairan-cairan lainnya. Akibatnya, struktur sel menjadi stabil, baik di dalam
maupun di antara sel-sel. Selain itu, kebanyakan enzim di dalam sel menjadi
terinaktivasi, sehingga proses metabolisme sel tidak terjadi, dan mencegah adanya
autolisis sel. Secara fisik, membran sel yang awalnya hidrofilik, dilarutkan dengan
dapat memasuki sel. Hal ini membantu untuk teknik setelah fiksasi, khususnya pada
proses parafinisasi dan pewarnaan dimana zat-zat tersebut akan dapat masuk ke
a. Laptop
b. Alat tulis
III.2 Bahan
a. PPT
b. Video
1 Pankreas Tikus
2 Hepar Tikus
3 Ginjal Tikus
dilaksanakan pada hari Jumat, 6 November 2020 secara online via Microsoft Teams.
Praktikum ini memiliki tujuan agar mampu memahami tahapan proses fiksasi pada
jaringan maupun organ. Alat dan bahan pada praktikum ini meliputi laptop, alat tulis,
video dan PPT. Cara kerja raktikum ini diawali dengan PPT yang ditampilkan di
Microsoft Teams disimak,video yang ditampilkan di Microsoft Teams disimak dan hasil
seperti aslinya. Proses fiksasi ini harus segera dilakukan setelah jaringan di ambil atau
setelah hewan mati. Menurut Howat (2014) Fiksasi adalah langkah dasar di balik studi
patologi dan sangat penting untuk mencegah autolisis dan degradasi jaringan serta
komponen jaringan sehingga mereka dapat diamati baik secara anatomis dan
mikroskopis. Proses fiksasi biasanya merupakan tahap pertama dalam pembuatan sediaan
histopatologi. Fiksasi adalah berbagai perlakuan yang dapat melindungi struktur sel dan
komposisi biokimianya. Tentu saja kualitas fiksasi adalah kunci untuk semua tahap
selanjutnya yang penting dalam pembuatan sediaan histopatologik, oleh karena itu
pengawetan sel dengan perubahan morfologi yang minimal dan secara kasat mata tanpa
diharapkan dapat melindungi spesimen biologi dari efek denaturasi dehidrasi dan semua
proses pengolahan jaringan. Tujuan utama fiksasi adalah untuk menjaga sel dan
komponen jaringan pada keadaan “life-like state”. Selama proses fiksasi dan tahap-tahap
yang menyertainya terdapat perubahan substansial pada komposisi dan penampakan sel
serta komponen jaringan dan keadaan ini dapat mengubah keadaan dari “life-like state”
yang ideal. Fiksasi yang baik akan menghasilkan kualitas sediaan yang baik untuk dinilai
oleh patolog. Menurut Eltoum et al. (2011) Fiksasi bertujuan untuk mencegah atau
menahan proses degeneratif yang dimulai segera setelah jaringan kehilangan pasokan
darah. Proses autolisis akan menyebabkan jaringan dicerna dengan enzim intraseluler
yang dilepaskan ketika membran organel pecah. Salah satu proses yang harus dicegah
adalah bakteri pengurai atau pembusukan yang disebabkan oleh mikroorganisme yang
mungkin sudah ada dalam spesimen. Kehilangan dan difusi zat terlarut harus dihindari
sebisa mungkin dengan cara presipitasi atau koagulasi atau dengan melakukan cross-
linking dengan komponen struktural tidak larut lainnya. Jaringan harus sebagian besar
terlindungi dari efek buruk pengolahan jaringan termasuk infiltrasi dengan lilin panas,
tapi yang paling penting, jaringan harus mempertahankan reaktivitas untuk pewarnaan
Cara kerja dalam melakuka fiksasi pada saat pembuatan preparat adalah yang
pertama melakukan isolasi organ atau jaringan, kemudia organ/jaringan tersebut dicuci
siapkanlah botol dengan penutup (plakon) sesuai dengan besar volume jaringan. Biasanya
botol atau wadah dengan mulut lebar yang telah diisi oleh cairan fiksasi. Cairan yang
diperlukan biasanya sebanyak 15 sampai 20 kali volume jaringan yang akan difiksasi,
paling sedikit jaringan yang difiksasi dapat terendam. Segera setelah jaringan
diangkat/diisolasi dari dalam tubuh hewan maka segera dimasukkan ke dalam wadah
tersebut. Hal ini sesuai dengan Jusuf (2009), jaringan hewan yang diinginkan kemudian
diisolasi, dipotong-potong dan dimasukkan kedalam wadah yang berisi cairan fiksasi
yang sama dengan cairan fiksasi yang diinfuskan. Wadah yang berisi cairan fiksasi dan
jaringan kemudian dilabel dan disimpan hingga saat proses pengolahan jaringan
selanjutnya.
Pada proses fiksasi terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan, antara lain
buffering, penetrasi, volume pengawet, suhu, konsentrasi, interval waktu dan jenis larutan
pengawet. Didukung oleh Schiches et al. (2007), cairan fiksasi dapat mempengaruhi
reaksi histokimia karena mengikat bagian reaktif jaringan. Terdapat sejumlah faktor yang
a. Buffer
Jaringan hipoksia menurunkan pH, sehingga harus terdapat kapasitas dapar pada
terbentuknya pigmen heme-formalin yang akan muncul sebagai deposit hitam yang
dapat terpolarisasi di jaringan. Buffer umum terdiri atas fosfat, bikarbonat, kakodilat,
dan veronal.
b. Penetrasi
fiksatif. Formalin dan alkohol adalah yang terbaik sementara glutaraldehida adalah
terjelek. Merkuri dan yang lainnya berada di antaranya. Untuk mengatasi ini,
jaringan diiris dengan ketipisan 3–5 mm. Jaringan yang tipis akan lebih mudah
dipenetrasi daripada jaringan tebal. Untuk pekerjaan rutin, jaringan dapat dibuat
dengan ketebalan hingga 1 cm. Dengan ketebalan ini, diharapkan cairan fiksasi dapat
dengan cepat memfiksasi seluruh jaringan. Bila irisannya terlalu tebal, maka
permukaan luarnya saja yang berhasil difiksasi sedangkan bagian tengahnya dapat
c. Volume Pengawet
Panjang dan lebar jaringan umumnya ditentukan oleh jenis mikrotom yang
digunakan.
d. Konsentrasi
sedangkan glutaraldehida pada 0,25% - 4%. Konsentrasi yang terlalu tinggi dapat
e. Interval Waktu
Jaringan yang didapat harus segera diawetkan. Artefak akan timbul bila
semakin banyak kehilangan organel sel dan pengerutan nukleus sehingga banyak
artefak terbentuk.
f. Suhu
Peningkatan suhu, seperti reaksi kimia lainnya, akan meningkatkan laju
pengawetan. Ini tidak berarti bahwa anda dibenarkan untuk merebus jaringan
dalam bahan pengawet. Formalin yang panas akan mengawetkan lebih cepat.
Jenis larutan fiksasi yang akan digunakan bergantung pada jenis unsur
kondisi biokimianya dapat terjaga. Menurut Jamie, dkk., (2010) bahwa cairan fiksatif
mengubah komposisi jaringan secara kimiawi dan fisik. Secara kimiawi, protein sel
diubah secara fungsional dan struktural dengan cara koagulasi dan membentuk senyawa
aditif baru. Senyawa tersebut terbentuk dengan cara ikatan silang dari dua
makromolekul yang berbeda, yakni cairan fiksatif dan protein sel. Hal ini menyebabkan
sel resisten terhadap gerakan air dan cairan-cairan lainnya. Akibatnya, struktur sel
menjadi stabil, baik di dalam maupun di antara sel-sel. Selain itu, kebanyakan enzim di
dalam sel menjadi terinaktivasi, sehingga proses metabolisme sel tidak terjadi, dan
mencegah adanya autolisis sel. Secara fisik, membran sel yang awalnya hidrofilik,
Akibatnya, makromolekul dapat memasuki sel. Hal ini membantu untuk teknik setelah
fiksasi, khususnya pada proses parafinisasi dan pewarnaan dimana zat-zat tersebut akan
dapat masuk ke dalam sel dan menempel dengan mudah.parafinisasi dan pewarnaan
dimana zat-zat tersebut akan dapat masuk ke dalam sel dan menempel dengan mudah.
VI. Kesimpulan
Fiksasi jaringan adalah proses mengawetkan jaringan agar awet dan kondisinya
sama seperti hidup. Dilakukan dengan merendam jaringan ke lartutan fiksasi selama
24 jam. Cairan fiksatif mengubah komposisi jaringan secara kimiawi dan fisik, yang
menyebabkan sel atau jaringan menjadi resisten terhadap gerakan air dan cairan-cairan
lainnya. Sehingga strukturnya menjadi stabil, baik di dalam maupun di antara sel-sel.
DAFTAR PUSTAKA
Alwi, M. A. 2016. Studi Awal: Fiksasi 2 Minggu Pada Gambaran Histologi Organ Ginjal, Hepar,
dan Pankreas Tikus Sprague Dawley Dengan Pewarnaan Hematoxylin-Eosin
(Bachelor's thesis, FKIK UIN Jakarta).
Eltoum I, Fredenburgh J, Myers RB, Grizzle WE. 2011. Introduction to the theory and practice
of fixation of tissues. J Histotechnol; 24 (3):173–90.
Howat WJ, Wilson BA. 2014. Tissue fixation and the effect of molecular fixatives on
downstream staining procedures. Elsevier Inc.; 70 (1):12–9.
Jamie, M. Novacek., Kumar, George L., Kiernan, John A., 2010. Education Guide: Special
Stains and H&E Second Edition. California, US: Dako North America.
Jusuf, A. A. 2009. HISTOTEKNIK DASAR. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Mikel, U. V. 2014. Advanced laboratory methods in histologi and pathology. Washington, DC:
Armed Forces Institute of Pathology American Registry of Pathology. Chapter 1,
Immunohistochemistry; p 1-40.
Schichnes, Denis, Nemson, Jeffrey A, and Ruzin, Teven A. 2007. Microwave protocols for plant
and animal paraffin microteqnique. The University Of California at Barkeley, CNR
Biologycal Imaging Facility, 51-53
Wijayanthi, Kadek Karina Dewi, Berata, I Ketut, Samsuri, Sudira, I Wayan. 2017. Histopatologi
Usus Halus Tikus Putih Jantan yang Diberikan Deksametason dan Vitamin E. Buletin
Veteriner Udayana. Volume 9 No.1: 47-53