Anda di halaman 1dari 131

RAHASIA

GAMBARAN PENDERITA TUBERKULOSIS PARU


DI KOTA BANDA ACEH DAN KABUPATEN ACEH BESAR

Penyusun :
Abidah Nur, S. Gz
Tim Balai Litbang Kesehatan Aceh

BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN ACEH


BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
2018

i
SK PENELITIAN

ii
iii
iv
v
vi
PERSETUJUAN ETIK

vii
viii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat ALLAH SWT karena berkat rahmat dan hidayah-Nya
laporan penelitian “GAMBARAN PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DI
KOTA BANDA ACEH DAN KABUPATEN ACEH BESAR” Tahun Anggaran 2018
dapat diselesaikan dengan baik.
Laporan ini memuat informasi tentang gambaran penderita tuberkulosis paru
beserta penyakit penyertanya dari pemeriksaan sampel darah dan dahak. Informasi yang
didapatkan dari sampel dahak adalah Mycobacterium tuberculosis yang diperiksa secara
mikroskopis, PCR dan kultur serta resistensi OAT, dan sampel darah untuk pemeriksaan
HbA1c dan imunitas. Sampel dahak juga disimpan dalam bentuk BBT (Bahan Biologis
Tersimpan) di BBLK (Balai Besar Laboratorium Kesehatan) Jakarta untuk kebutuhan
penelitian lanjutan terkait dengan genetik yang direncanakan di Tahun 2019.
Ucapan terimakasih kepada seluruh anggota tim yang telah bekerja dengan
sungguh-sungguh menyelesaikan kegiatan penelitian ini. Semoga ALLAH SWT
senantiasa melimpahkan rahmat dan petunjukNya serta kekuatan kepada kita semua
dalam melaksanakan penelitian dan pengembangan kesehatan di masa-masa yang akan
datang.

Aceh Besar, 22 Maret 2019


Ketua Peneliti

Abidah Nur, S. Gz

ix
RINGKASAN EKSEKUTIF

Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium


tuberculosis. Tuberkulosis dapat menyerang berbagai organ terutama paru-paru. Sumber
penularan adalah pasien TB BTA positif. Tahun 2014 ditemukan 9,6 juta kasus TB baru
dan 1,5 juta meninggal. Sebesar 580 ribu kasus MDR TB terdapat di dunia dan
Indonesia termasuk lima negara penyumbang lebih dari 60% kasus MDR TB. Profil
Kesehatan Indonesia tahun 2015 melaporkan terjadi peningkatan jumlah penderita TB.
Kasus baru TB paru di Provinsi Aceh tahun 2015 adalah 4.023 kasus, Kota Banda Aceh
dan Aceh Besar termasuk dalam 10 kabupaten/kota dengan kasus TB tertinggi. Menurut
data SITT tahun 2016, terdapat 184 kasus baru BTA positif dan 16 kasus kambuh di
Kota Banda Aceh dan 303 kasus baru BTA Positif serta 5 kasus kambuh di Aceh Besar.
Riskesdas 2018 menyebutkan prevalensi TB paru berdasarkan diagnosis dokter di
Indonesia adalah 0,4% dan di Aceh 0,5%. Kasus baru TB paru di Provinsi Aceh tahun
2015 adalah 4.023 kasus, Kota Banda Aceh dan Aceh Besar termasuk dalam sepuluh
Kota/Kab dengan kasus TB tertinggi. Tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan
gambaran penderita tuberkulosis paru di Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar.
Pemeriksaan Mycobacterium tuberculosis pada dahak dilakukan dengan metode
mikroskopis, PCR, kultur, dan dilanjutkan dengan pemeriksaan MDR TB. Penelitian
bertujuan untuk mendapatkan gambaran penderita TB paru di Kota Banda Aceh dan
Kabupaten Aceh Besar. Desain penelitian dengan pendekatan kohort. Populasi adalah
seluruh penderita TB paru yang terdata di Puskesmas Rujukan Mikroskopis (PRM) dan
rumah sakit sesuai data SITT tahun 2016. Variabel yang diikuti adalah : Pemeriksaan
diagnosa TB (kultur, mikroskopis, dan PCR), data gizi, pengobatan, dan lingkungan.
Sedangkan variabel yang tidak diikuti meliputi pemeriksaan HbA1c, pemeriksaan
immunologis, dan uji sensitivitas obat. Pengambilan dahak diperlukan untuk
pemeriksaan Mycobacterium tuberculosis secara mikroskopis, PCR dan kultur serta
resistensi OAT, sedangkan pengambilan darah untuk pemeriksaan HbA1c dan imunitas.
Hasil penelitian didapatkan dari 508 jumlah responden, hanya 262 responden saja yang
berhasil diwawancara, diperiksa dahak dan darah dengan karakteristik responden paling
dominan berjenis kelamin laki-laki sebanyak 67,9%, usia rata-rata 45 tahun, lulusan
SLTA (34%) dan umumnya tidak bekerja, dan sebanyak 80,9% merupakan pasien baru.
Status gizi berada pada kisaran normal yaitu hampir mencapai 50%, dan sebesar 63,7%

x
tidak ada penyakit penyerta. Perilaku tentang tuberkulosis adalah baik (87%) jika
dibanding dengan pengetahuan dan sikap yang masih kurang. Kondisi lingkungan fisik
sebagian besar sudah baik, kondisi rumah di dominasi oleh lantai semen, dengan
dinding tembok dan plafon sebagian besar berasal dari triplek (kayu), keadaan
lingkungan sekitar tidak kumuh, dan penggunaan gas untuk memasak. Sebagian besar
hasil pemeriksaan negatif baik secara mikroskopis (80,9%) dan kultur (83,6%).
Pemeriksaan PCR sebagian besar hasilnya positif untuk gen Gen 16s rRNA (81,2%).
Monoresisten OAT paling tinggi diantara resisten OAT yaitu sampai 47,3% dan
isoniazid (INH) adalah yang paling tinggi resistennya dibanding OAT lainnya (26,3%).
Poliresisten terhadap dua OAT yaitu streptomisin dan isoniazid (INH) sebesar 10,5%.
Sebanyak 28,2% penderita TB disertai DM. Untuk pemeriksaan imunitas dari 50 sampel
TB-DM dan 56 sampel TB tanpa DM, didapatkan konsentrasi IFN-γ lebih tinggi pada
kelompok TB DM, sedangkan pada kelompok TB tanpa DM konsentrasi TNF-α
cenderung lebih tinggi. Tingkat kesembuhan pasien tergolong tinggi berdasarkan
pemeriksaan mikroskopis dan kultur. Masyarakat perlu ditingkatkan edukasi tentang
pentingnya pencegahan TB paru, memiliki motivasi yang tinggi untuk memperoleh
pengetahuan tentang TB paru, patuh dalam minum obat sehingga akan lebih baik dalam
penatalaksanaan penyakit ini. Pemerintah perlu memantau penyedia layanan kesehatan
dalam pengobatan TB paru dan menyediakan kualitas obat yang adekuat. Selain itu
pengelola program TB paru perlu terus memantau kepatuhan minum obat pasien
melalui PMO secara berkelanjutan dan terlaporkan setiap hari.

xi
ABSTRAK

Penyakit tuberkulosis masih menjadi masalah utama kesehatan masyarakat di


Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan gambaran penderita
tuberkulosis paru di Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar. Penelitian ini
merupakan penelitian deskriptif analitik dengan desain kohort dengan lama
penelitian 12 bulan. Penelitian dilakukan tahun 2018, berlokasi di Kota Banda
Aceh dan Kabupaten Aceh Besar dengan penelusuran pasien TB dari PRM dan
rumah sakit yang telah menerapkan DOTS dengan jumlah 1 rumah sakit dan 11
puskesmas di Kota Banda Aceh sedangkan di Aceh Besar berjumlah 1 rumah
sakit dan 27 puskesmas. Sampel merupakan total populasi sebanyak 508
penderita TB, sedangkan untuk pemeriksaan immunologis yang digunakan
adalah 51 TB-DM dan 51 TB tanpa DM (102 sampel). Variabel yang diikuti
adalah : Pemeriksaan diagnosa TB (kultur, mikroskopis, dan PCR), data gizi,
pengobatan, dan lingkungan. Sedangkan variabel yang tidak diikuti meliputi
pemeriksaan HbA1c, pemeriksaan immunologis, dan uji sensitivitas obat. Dari
508 total responden, hanya 262 jumlah responden yang berhasil diwawancara
dengan karakteristik responden paling dominan berjenis kelamin laki-laki
sebanyak 67,9%, usia rata-rata 45 tahun, lulusan SLTA (34%) dan umumnya
tidak bekerja, dan sebanyak 80,9% merupakan pasien baru. Status gizi berada
pada kisaran normal yaitu hampir mencapai 50%, dan sebesar 63,7% tidak ada
penyakit penyerta. Perilaku tentang tuberkulosis adalah baik (87%) jika
dibanding dengan pengetahuan dan sikap yang masih kurang. Kondisi
lingkungan fisik sebagian besar sudah baik, kondisi rumah di dominasi oleh
lantai semen, dengan dinding tembok dan plafon sebagian besar berasal dari
triplek (kayu), keadaan lingkungan sekitar tidak kumuh, dan penggunaan gas
untuk memasak. Sebagian besar hasil pemeriksaan negatif baik secara
mikroskopis (80,9%) dan kultur (83,6%), sedangkan yang positif 1+ (20-100
koloni) yang terbentuk, yaitu 9,5%. Dari hasil pemeriksaan PCR menggunakan
gen 16S rRNA diperoleh hasil positif sebesar 81,2%. Isoniazid (INH) merupakan
OAT yang paling tinggi resistennyja dibanding OAT lainnya (26,3%). Sebanyak
42,1% masih susceptible terhadap OAT dan 10,5% dengan kondisi poliresisten

xii
terhadap dua OAT yaitu streptomisin dan isoniazid (INH). Penderita TB disertai
DM didapatkan 28,2%. Konsentrasi IFN-γ lebih tinggi pada kelompok TB DM,
sedangkan pada kelompok TB tanpa DM konsentrasi TNF alfa cenderung lebih
tinggi. Tingkat kesembuhan pasien tergolong tinggi berdasarkan pemeriksaan
mikroskopis dan kultur.
Kata Kunci : Mycobacterium tuberculosis, Diabetes mellitus, imunitas

xiii
DAFTAR ISI

Halaman
SK PENELITIAN ................................................................................................. ii
LEMBAR PERSETUJUAN ETIK ....................................................................... vii
LEMBAR PERSETUJUAN ATASAN ................................................................. viii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... ix
RINGKASAN EKSEKUTIF ................................................................................. x
ABSTRAK ........................................................................................................... xii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... xiv
DAFTAR TABEL.................................................................................................. xvii
DAFTAR BAGAN………………………………………………………………… xviii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. xix
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... xx
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
A Latar Belakang ...................................................................................... 1
B Perumusan Masalah .............................................................................. 4
C Tujuan Penelitian ................................................................................... 5
D Manfaat Menelitian ................................................................................ 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 6
A Definisi Tuberkulosis ............................................................................. 6
B Cara Penularan Tuberkulosis .................................................................. 6
C Gejala Klinis……………………………………………………………. 7
D Transmisi Tuberkulosis………………………………………………… 7
E Diagnosis Tuberkulosis…………..…………………………………….. 9
F Pengobatan Tuberkulosis……………………………………………….. 11
G Multi Drug Resisten TB ......................................................................... . 11
H Imunitas Penderita TB ........................................................................... . 13
I Status Gizi Penderita TB………………………………………………... 13
J Penyakit Penyerta TB……………………................................................ 14

xiv
BAB III METODE PENELITIAN ......................................................................... 16
A Kerangka Teori ...................................................................................... 17
B Kerangka Konsep ................................................................................... 18
C Definisi Operasional Variabel ................................................................ 18
D Desain Penelitian ................................................................................... 22
E Tempat dan Waktu ................................................................................. 23
F Populasi dan Sampel ............................................................................. 23
G Instrumen Pengumpulan Data ................................................................ 26
H Bahan dan Prosedur Pengumpulan Data ................................................ 26
I Analisa Data........................................................................................... 53
J Persetujuan Etik ..................................................................................... 53
BAB IV HASIL ..................................................................................................... 54
A Karakteristik Responden Penderita TB Paru........................................... 54
B Status Gizi Penderita TB Paru ................................................................ 56
C Penyakit Penyerta Penderita TB Paru………………………………….. 57
D Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku (PSP) Penderita TB Paru…………… 58
E Lingkungan Fisik Penderita TB Paru…………………………………… 59
F Keakuratan Diagnosis TB Paru…………………………………………. 61
G Sensitivitas Mycobacterium tuberculosis Terhadap OAT……………… 62
H Proporsi Penderita TB Paru yang Mengalami DM……………………... 63
I Respon Imun Penderita TB-DM dan TB Tanpa DM……………………. 63
J Tingkat Kesembuhan Penderita TB Paru……………………………….. 68
BAB V PEMBAHASAN ....................................................................................... 69
A Karakteristik Responden Penderita TB Paru........................................... 69
B Status Gizi Penderita TB Paru ................................................................ 70
C Penyakit Penyerta Penderita TB Paru…………………………………... 71
D Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku (PSP) Penderita TB Paru…………… 71
E Lingkungan Fisik Penderita TB Paru…………………………………… 72
F Keakuratan Diagnosis TB Paru…………………………………………. 72
G Sensitivitas Mycobacterium tuberkulosis Terhadap OAT…………….... 73
H Proporsi Penderita TB Paru yang Mengalami DM……………………... 74

xv
I Respon Imun Penderita TB-DM dan TB Tanpa DM…………………….. 74
J Tingkat Kesembuhan Penderita TB Paru………………………………… 75
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... . 77
A Kesimpulan ........................................................................................... . 77
B Saran...................................................................................................... . 78
DAFTAR KEPUSTAKAAN ................................................................................. . 78

xvi
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 1. Definisi Operasional ............................................................................... 18
Tabel 2. Pembacaan dan Pelaporan Hasil BTA Mikroskopis Skala IUATLD ........ 35
Tabel 3. Pembacaan Hasil Kultur ......................................................................... 41
Tabel 4. Pertumbuhan Mycobacterium tuberculosis ............................................. 44
Tabel 5. Karakteristik Responden Penderita TB Paru ........................................... 54
Tabel 6. Status Gizi Penderita TB Paru ................................................................ 56
Tabel 7. Konsumsi Zat Gizi Responden TB Paru………………………………….57
Tabel 8. Penyakit Penyerta Penderita TB Paru...................................................... 58
Tabel 9. Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Penderita TB Paru .............................. 58
Tabel 10. Lingkungan Fisik Penderita TB Paru .................................................... 59
Tabel 11. Kondisi Lingkungan Penderita TB Paru .................................................. 59
Tabel 12. Keakuratan Diagnosis TB Paru………………………………………….. 61
Tabel 13. Sensitivitas Mycobacterium tuberkulosis Terhadap OAT………………. 62
Tabel 14. Prevalensi Penderita TB Paru yang Mengalami DM……………………. 63
Tabel 15. Tingkat Kesembuhan Penderita TB Paru……………………... ............... 68

xvii
DAFTAR BAGAN

Halaman
Bagan 1. Alur Diagnosis dan Resisten TB ............................................................ 10
Bagan 2. Kerangka Teori...................................................................................... 16
Bagan 3. Kerangka Konsep .................................................................................. 17
Bagan 4. Alur Kerja Penelitian ............................................................................. 25

xviii
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 1. Konsentrasi IFN-γ pada Penderita TB-DM (TB 1) ................................ 64
Gambar 2. Konsentrasi IFN-γ pada Penderita TB tanpa DM (TB 1) ....................... 64
Gambar 3. Konsentrasi IFN-γ pada Penderita TB-DM (TB 2) ................................ 65
Gambar 4. Konsentrasi IFN-γ pada Penderita TB tanpa DM (TB 2) ....................... 66
Gambar 5. Kadar Protein TNF pada Penderita TB tanpa DM ............................... 67
Gambar 6. Kadar Protein TNF pada Penderita TB-DM ........................................ 67

xix
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
Lampiran 1. Biodata Ketua Pelaksana .................................................................... 88
Lampiran 2. Naskah Penjelasan .............................................................................. 90
Lampiran 3. Persetujuan Setelah Penjelasan ........................................................... 92
Lampiran 4. Kuesioner ........................................................................................... 93
Lampiran 5. Dokumentasi Penelitian ...................................................................... 109

xx
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
tuberculosis (M.Tb), dapat menyerang berbagai organ terutama paru-paru dan
merupakan penyebab kematian kedua di dunia setelah HIV. 1 Penegakan diagnosis
tuberkulosis dapat dilakukan secara konvensional dan non konvensional. Cara
konvensional antara lain mikroskopis, biakan kuman, dan uji kepekaan terhadap obat,
sedangkan pemeriksaan melalui PCR (Polymerase Chain Reaction) merupakan cara non
konvensional.2 Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif, dengan satu pasien
3,4
mampu menularkan M.Tb kepada tiga anggota rumah tangga lain.
Penularan M.Tb dapat terjadi melalui percikan dahak atau ludah penderita. Pasien
yang batuk dapat mengeluarkan 3000 percikan dahak. Ruangan lembab dengan ventilasi
yang kurang tanpa sinar matahari dapat meningkatkan daya tahan kuman TB hingga
beberapa jam.3 Marissa menyebutkan perilaku pasien BTA positif sebagian besar
kurang baik yaitu tidur dengan anggota rumah tangga lain dan tidak menutup mulut
saat batuk/bersin.4 Lebih dari 20% suspek Tb ditemukan dengan hunian yang padat,
lantai tanah, atap bukan genteng/beton, dinding tidak permanen, tidak ada tempat
sampah, tidak pakai pestisida, pelihara unggas, dan air minum tidak baik. 5
Menurut data WHO tahun 2014 telah ditemukan 9,6 juta kasus TB paru baru dan
1,5 juta meninggal.6 Indonesia merupakan negara dengan beban TBC tertinggi urutan ke
tiga di dunia. Riskesdas 2018 menyebutkan prevalensi TB paru berdasarkan diagnosis
dokter di Indonesia adalah 0,4% dan di Aceh 0,5%. 7 Tahun 2013-2014 dilakukan survei
prevalensi TB dengan pemeriksaan tambahan selain mikroskopis dan foto toraks yaitu
pemeriksaan X-ray, gene expert, dan kultur sehingga kasus Tb lebih banyak terjaring.
Prevalensi TB paru dengan konfirmasi bakteriologis di kawasan Sumatera berjumlah
913 per 100.000 penduduk berumur di atas 15 tahun. 8 Profil Kesehatan Indonesia tahun
2015 melaporkan terjadi peningkatan jumlah penderita TB paru dari 324.539 kasus
tahun 2014 menjadi 330.910 kasus dengan proporsi pasien terkonfirmasi bakteriologis
sebesar 57,1%.9 Profil Kesehatan Aceh tahun 2015 terdapat kasus baru BTA positif
sebanyak 4.023. Kota Banda Aceh (594 kasus) dan Aceh Besar (295 kasus) termasuk
dalam sepuluh Kab/Kota dengan kasus TB tertinggi. 10 Pemilihan lokasi di Banda Aceh

1
dan Aceh besar disebabkan secara geografis kedua Kab/Kota tersebut berdekatan yang
memungkinkan terjadinya mobilisasi penduduk yang tinggi sehingga pasien TB yang
berdomisili di Aceh Besar juga berobat ke Banda Aceh. Kota Banda Aceh juga
merupakan kota dengan jumlah rumah sakit terbanyak termasuk rumah sakit rujukan Tb
tingkat provinsi. Menurut sumber dari Sistem Informasi TB Terpadu (SITT) tahun 2016
dilaporkan terdapat 586 kasus TB paru baru dan lama di Kota Banda Aceh dengan 184
kasus baru BTA positif dan 16 kasus kambuh, Aceh Besar memiliki kasus TB dengan
BTA positif sebanyak 303 kasus dan kasus kambuh 5 penderita TB. 11
Diagnosis TB sesuai Permenkes No.67 tahun 2016 adalah pemeriksaan klinis
dan bakteriologis dengan mikroskop atau Tes Cepat Molekuler (TCM). 12 Penelitian oleh
Hadifah tahun 2014 menunjukkan bahwa teknik kultur lebih banyak menjaring
penderita Tb dibanding dengan teknik mikroskopis. 13 Ramadhan tahun 2016
melaporkan hasil pemeriksaan M.Tb pada penderita TB paru aktif menggunakan PCR
diperoleh 59,18% sedangkan mikroskopis 6,12% dari 49 penderita TB dengan masa
pengobatan dua hingga lima bulan keatas.14 Utami menyebutkan tidak terdapat
perbedaan yang bermakna antara hasil pemeriksaan mikroskopis BTA dan PCR dengan
hasil kultur. Sensitifitas dan spesifisitas mikroskopis BTA adalah 77,2% dan 95,8%
sedangkan PCR adalah 90% dan 79% dibandingkan dengan kultur.15 Hasil penelitian
Lestari selisih minus 14% dan minus 10% untuk nilai sensitifitas dan spesifisitas. 16
Profil Kesehatan Indonesia menjelaskan bahwa untuk menemukan pasien menular TB,
perlu dilakukan konfirmasi bakteriologis. Angka yang harus dicapai adalah di atas 70%
dari seluruh pasien yang diobati (berdasarkan bakteriologis dan klinis). Jika lebih
rendah menunjukkan kelemahan diagnosa untuk menemukan pasien menular. Hanya
delapan provinsi yang sudah mencapai target tersebut. Aceh merupakan provinsi yang
belum mencapai target dengan angka konfirmasi bakteriologis di bawah 70% (67,8%).9
TB mudah terinfeksi pada individu dengan penurunan daya tahan tubuh.
Penyakit yang menyerang daya tahan tubuh seperti HIV akan mempercepat penularan
TB. WHO tahun 2013 melaporkan 13% dari 8,6 juta kasus TB pengidap HIV positif. 17
Penderita HIV stadium 1 sampai 3 berisiko 52% terinfeksi TB. 18 Penurunan daya tahan
tubuh juga terjadi pada individu dengan gizi kurang. Penelitian pada pasien TB
menunjukkan status gizi 49% underweight (BMI≤18,5 kg/m2) dan 85% limpopenia.19

2
Faktor risiko TB antara lain riwayat diabetes, umur, jenis kelamin, pendidikan,
ekonomi, merokok, dan lingkungan. Nilai Odds rasio untuk terjangkit TB paru pada
pasien diabetes sebesar 3,94. Hal ini menunjukkan riwayat diabetes merupakan faktor
paling dominan sebagai faktor risiko TB.20,21 Menurut Mihardja, prevalensi diabetes
pada penderita TB 5,4%-44% dengan diabetes sebagai faktor risiko TB (OR: 1,5-8,9).22
WHO melakukan penelitian terkait pencegahan TB pada penderita diabetes. Penegakan
diagnosis TB dapat terjadi sebelum dilakukan pemeriksaan indikator diabetes, seperti
HbA1c. Pengobatan TB yang dilakukan tanpa mengetahui riwayat diabetes dapat
menyebabkan perburukan gejala, meningkatkan keparahan infeksi, meningkatkan
penularan, hingga risiko resistensi kuman. 23 Oleh sebab itu, deteksi dini diabetes pada
pasien TB diperlukan. Penggunaan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) akan efektif jika
kadar glukosa darah terkontrol. Etambutol mempunyai efek samping pada mata dan
rifampisin dapat mengurangi efektivitas sulfonil urea (obat anti diabetes). 24
TB merupakan salah satu penyakit yang membutuhkan pengobatan
berkelanjutan hingga kurun waktu enam bulan. Penderita TB yang tidak melakukan
pengobatan akan menimbulkan komplikasi bahkan kematian. Pengobatan TB tidak
tuntas akan menimbulkan resistensi obat. 25 Pemeriksaan M.Tb pada dahak dapat
dilakukan dengan metode mikroskopis, PCR, dan kultur. Kultur merupakan baku emas
2,25–28
penegakan diagnosis tuberkulosis. Pemeriksaan dengan teknik kultur merupakan
tahap awal untuk pemeriksaan sensitivitas M.Tb yang bertujuan mengetahui resistensi
OAT.29
Angka penderita Multidrug Resistant Tuberculosis (MDR-TB) di dunia
diperkirakan 580 ribu kasus dan hanya 20% yang melakukan pengobatan. Indonesia
termasuk lima negara penyumbang lebih dari 60% kasus MDR TB. 29 Belum terdapat
laporan penderita MDR TB di Aceh secara pasti, namun penelitian di Poliklinik
Directly Observed Treatment Short-course (DOTS) atau pengobatan jangka pendek
dengan pengawasan langsung tahun 2013 di RSUDZA terdapat 10 kasus MDR TB. 30
Kekurangan informasi mengenai data MDR TB Aceh menjadi salah satu faktor yang
melatarbelakangi pelaksanaan penelitian ini.
Loka Penelitian dan Pengembangan Biomedis Aceh telah menyusun roadmap
penelitian TB paru pada tahun 2016 yang memiliki tujuan akhir menghasilkan obat dan
vaksin TB. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan data tentang penderita TB paru

3
yang lengkap termasuk data tentang MDR TB. Hal inilah yang menjadi dasar perlu
dilakukan penelitian ini.

B. Perumusan Masalah
TB masih merupakan masalah kesehatan utama. Besarnya kasus yang berhasil
dideteksi, selain merupakan keberhasilan juga menjadi pekerjaan tambahan untuk
mengupayakan kesembuhan. Obat yang harus diminum setiap hari juga memerlukan
pengamatan tentang kepatuhan penderita dalam mengkonsumsi obat tersebut. Berbagai
faktor lain juga turut berperan dalam proses keberhasilan pengobatan, seperti status gizi,
respon imun, bahkan MDR TB.
Untuk menuntaskan segala permasalahan tentang TB diperlukan kesiapan lintas
sektor. Balai Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Banda Aceh berkewajiban untuk
ambil bagian sebagai penyaji data, sesuai salah satu tugas dan fungsinya. Data tentang
gambaran penderita TB di Kota Banda Aceh dan Aceh Besar yang dilihat dari berbagai
aspek belum ada. Apakah pemeriksaan untuk mendiagnosa TB yang dilakukan sudah
akurat, bagaimanakah status gizi, respon imun, kondisi lingkungan, adanya penyakit
penyerta penderita TB. Berdasarkan permasalahan tersebut diatas, maka timbul
beberapa pertanyaan penelitian yaitu :
a. Bagaimana karakteristik penderita TB paru ?
b. Bagaimana status gizi penderita TB paru ?
c. Apa saja penyakit penyerta pada penderita TB paru ?
d. Sejauh mana gambaran pengetahuan, sikap, dan perilaku penderita TB paru ?
e. Bagaimana lingkungan fisik penderita TB paru ?
f. Sejauh mana keakuratan diagnosis TB menggunakan beberapa metode
pemeriksaan (mikroskopis, PCR, dan kultur) ?
g. Apakah M.Tb masih sensitif terhadap OAT (Obat Anti Tuberkulosis) ?
h. Berapa prevalensi penderita TB yang mengalami diabetes mellitus ?
i. Bagaimana respon imun penderita TB-DM dan TB tanpa DM ?
j. Berapakah angka kesembuhan penderita TB berdasarkan pemeriksaan
mikroskopis dan kultur ?

4
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mendapatkan gambaran penderita TB paru di Kota Banda Aceh dan Kabupaten
Aceh Besar
2. Tujuan Khusus
a. Mendapatkan gambaran karakteristik penderita TB.
b. Mendapatkan gambaran status gizi penderita TB.
c. Mengindentifikasi penyakit penyerta pada penderita TB.
d. Mendapatkan gambaran pengetahuan, sikap, dan perilaku penderita TB.
e. Mendapatkan gambaran lingkungan fisik penderita TB.
f. Mendapatkan keakuratan diagnosis TB menggunakan beberapa metode
pemeriksaan (mikroskopis, PCR, dan kultur).
g. Mendapatkan sensitivitas M.Tb terhadap OAT.
h. Mendapatkan proporsi penderita TB paru yang mengalami diabetes
mellitus.
i. Mendapatkan respon imun penderita TB-DM dan TB tanpa DM.
j. Mendapatkan tingkat kesembuhan penderita TB berdasarkan
pemeriksaan mikroskopis dan kultur.

D. Manfaat Penelitian
1. Program
Tersedianya data profil TB di Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar
Provinsi Aceh.
2. Penderita
Mendapatkan informasi mengenai penyakit yang diderita dan pencegahan
komplikasi.
3. Rumah Sakit dan Puskesmas
Mendapatkan informasi mengenai kondisi responden dan lingkungan sehingga
dapat ditentukan alternatif tindak lanjut yang akan dilakukan, serta keberhasilan
pengobatan.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Tuberkulosis
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman
TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi
dapat juga mengenai organ tubuh lainnya seperti, tulang, kelenjar dan otak yang biasa
disebut TB ekstra paru. Kuman ini ditemukan oleh Robert Koch di Berlin pada tanggal
24 Maret 1882. Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan
terhadap asam pada pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam
(BTA). Kuman TB cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan
hidup dalam jangka waktu lama terutama pada suhu 4oC sampai -70o C. Dalam jaringan
tubuh kuman ini dapat tertidur lama selama beberapa tahun baru setelah itu
menginfeksi.3
B. Cara Penularan Tuberkulosis
Sumber penularan adalah penderita TB BTA positif melalui percik renik dahak
(droplet nuclei) yang dikeluarkan, baik itu saat batuk, bersin, bahkan saat berbicara.
Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak, sedangkan kalau bersin
dapat mengeluarkan sebanyak 4500 – 1.000.000 M.tb. Infeksi akan terjadi apabila orang
3,12
lain menghirup udara yang mengandung percik renik dahak yang infeksius tersebut.
Pada umumnya, penularan akan terjadi di dalam ruangan, dan dalam waktu yang
lama. Dengan adanya ventilasi yang baik, dapat mengurangi jumlah percikan, dan sinar
matahari langsung dapat membunuh kuman. Daya penularan penderita TB ditentukan
oleh berapa banyaknya kuman TB yang dikeluarkan dari paru –parunya. Makin tinggi
derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Namun,
bukan berarti bahwa pasien TB dengan hasil pemeriksaan BTA negatif tidak
mengandung kuman dalam dahaknya. Penyakit TB masih mempunyai kemungkinan
untuk ditularkan oleh pasien TB meskipun hasil pemeriksaan dahak BTA negatif.
Tingkat penularan bagi pasien TB BTA positif sebesar 65%, pasien TB BTA negatif
dengan hasil kultur positif adalah 26% sedangkan pasien TB dengan hasil kultur negatif
dan foto Toraks positif adalah 17%.3

6
C. Gejala Klinis
Gejala klinis pada penderita TB meliputi:
a. Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2 minggu atau lebih.
Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk
darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun,
malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari
satu bulan. Pada pasien dengan HIV positif, batuk sering kali bukan merupakan
gejala TB yang khas, sehingga gejala batuk tidak harus selalu selama 2 minggu
atau lebih.
b. Gejala diatas juga dijumpai pula pada penyakit paru lain, seperti bronkiektasis,
bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Oleh karena prevalensi TB di
Indonesia masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke fasilitas pelayanan
kesehatan dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang terduga
pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis
langsung.
c. Selain itu juga perlu dipertimbangkan pemeriksaan pada orang dengan faktor
risiko, seperti: kontak erat dengan pasien TB, tinggal di daerah padat penduduk,
wilayah kumuh, daerah pengungsian, dan orang yang bekerja dengan bahan
kimia yang berisiko menimbulkan paparan infeksi paru.
D. Transmisi Tuberkulosis
Ada 4 tahapan perjalanan alamiah penyakit meliputi paparan, infeksi, menderita
sakit dan meninggal dunia. Seseorang bisa terpapar dengan TB karena berbagai hal
seperti adanya jumlah kasus di masyarakat, peluang kontak dengan penderita, tingkat
daya tular dahak, intensitas batuk sumber penularan, kedekatan kontak dengan sumber
penularan, lamanya waktu kontak dan faktor lingkungan ( konsentrasi kuman di udara:
ventilasi, sinar ultra violet, penyaringan adalah faktor yang dapat menurunkan
konsentrasi). Paparan dengan penderita TB merupakan syarat untuk terinfeksi. 3
Ketika seorang penderita TB paru batuk, bersin atau berbicara maka droplet
nuklei akan jatuh dan menguap akibat suhu udara yang panas, maka kuman tuberkulosis
akan berterbangan di udara dan berpotensi sebagai sumber infeksi pada orang sehat. Hal
ini yang sering disebut sebagai airborne infection. Setelah melewati barrier mukosilier
saluran nafas, basil TB paru-paru akan mencapai bronkiolus distal atau alveoli. Kuman

7
mengalami multiplikasi di paru-paru dikenal sebagai fokus Ghon. Basil juga mencapai
kelenjar limfe hilus, melalui aliran limfe sehingga terjadi limfadenopati hilus. Fokus
Ghon dan limfadenopati hilus akan membentuk kompleks primer. Kompleks primer
berlokasi di lobus bawah karena ventilasi lebih baik di area tersebut. Ghon menemukan
pendistribusian fokus primer yang sama antara lobus atas dan lobus bawah, tetapi lebih
sering pada paru kanan.31
Waktu yang diperlukan sejak masuk kuman TB hingga terbentuk kompleks
primer disebut masa inkubasi. Hal ini berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan
rentang waktu 2-12 minggu. Selama terjadi proses infeksi, terjadi pertumbuhan kuman
TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum sensitif terhadap tuberkulin,
mengalami perkembangan sensitivitas. Saat terbentuk kompleks primer maka
dinyatakan infeksi TB primer telah terjadi. Hal ini ditandai dengan munculnya respon
positif terhadap tuberkulin.
32
Pada masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif. Sebelum terbentuk imunitas
seluler, kuman TB menyebar secara limfogen dan hematogen. Penyebaran limfogen c
yaitu kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer.
Sedangkan penyebaran hematogen, kuman tersebut masuk dalam sirkulasi darah dan
menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran secara hematogen inilah yang
menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.
Selanjutnya, setelah kompleks primer terbentuk, ada beberapa kemungkinan
dapat terjadi yaitu:
a. Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat, karena imunitas seluler tubuh
dibentuk. Bila system imun tubuh baik, begitu sistem imun seluler berkembang,
proliferasi kuman TB terhenti.
b. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik,
kalsifikasi di hilus dan dapat terjadi reaktivasi lagi karena kuman yang dormant
karena sejumlah kecil kuman TB tetap hidup dalam granuloma.
c. Kompleks primer bisa juga mengalami komplikasi dan menyebar. Hal ini karena
focus primer di paru membesar dan menyebabkan pneumonitis dan pleuritis.
Kuman yang dormant akan muncul bertahun-tahun kemudian sebagai infeksi
endogen menjadi tuberkulosis dewasa. TB sekunder ini dimulai dengan sarang
dini yang berlokasi di region atas paru. Kuman TB dalam granuloma

8
berkembang menghancurkan jaringan ikat sekitar dan bagian tengahnya
mengalami nekrosis menjadi lembek membentuk perkejuan. Bila jaringan
perkejuan dibatukkan, akan menimbulkan kavitas. 32,33
Faktor resiko untuk menderita TB sangat tergantung dari konsentrasi (jumlah
kuman yang terhirup), lamanya waktu sejak terinfeksi, usia dan daya tahan tubuh.
Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB. Apabila daya tahan tubuh
rendah seperti karena gizi buruk dan penderita HIV/ AIDS dan akan memudahkan
berkembangnya TB aktif (sakit TB). Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka
jumlah pasien TB akan meningkat, dengan demikian penularan TB di masyarakat akan
meningkat pula. 3
Faktor resiko kematian akibat TB dapat terjadi karena keterlambatan diagnosis,
pengobatan tidak adekuat, kondisis kesehatan yang memburuk dan adanya penyakit
penyerta. Pasien TB tanpa pengobatan, 50% akan meninggal dan risiko ini meningkat
pada pasien dengan HIV positif. 3
E. Diagnosa Tuberkulosis
Diagnosis TB ditetapkan berdasarkan keluhan, hasil anamnesis, pemeriksaan
klinis, pemeriksaan labotarorium dan pemeriksaan penunjang lainnysa. Gejala klinis TB
dapat berupa demam, malaise, keringat malam, anoreksia, dan berat badan menurun.
Pada pemeriksaan fisik, kelainan jasmani tergantung dari organ yang terlibat dan luas
kelainan struktur paru.12
Pemeriksaan bakteriologi terdiri dari pemeriksaan dahak mikroskopis langsung,
pemeriksaan tes cepat molekuler (TCM), dan pemeriksaan biakan. Pemeriksaan dahak
selain berfungsi untuk menegakkan diagnosis, juga untuk menentukan potensi penularan
dan menilai keberhasilan pengobatan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis
dilakukan dengan mengumpulkan 2 contoh uji dahak yang dikumpulkan berupa dahak
Sewaktu-Pagi (SP): a) S (Sewaktu): dahak ditampung di fasyankes. b) P (Pagi): dahak
ditampung pada pagi segera setelah bangun tidur. Dapat dilakukan dirumah pasien atau
di bangsal rawat inap bilamana pasien menjalani rawat inap. Pemeriksaan TCM TB
dilakukan dengan metode Xpert MTB/RIF. TCM merupakan sarana untuk penegakan
diagnosis, namun tidak dapat dimanfaatkan untuk evaluasi hasil pengobatan.
Pemeriksaan biakan dapat dilakukan dengan media padat (Lowenstein-Jensen)
dan media cair (Mycobacteria Growth Indicator Tube) untuk identifikasi

9
Mycobacterium tuberkulosis (M.Tb). Berikut alur diagnosis Tb dan resisten TB
berdasarkan PMK No.67 Tahun 2016.12

Terduga TB

Pasien baru, tidak ada riwayat pengobatan TB, tidak ada riwayat kontak Pasien dengan riwayat pengobatan TB, pasien dengan riwayat
erat dengan pasien TB RO, pasien dengan HIV (-) atau tidak diketahui kontak erat dengan pasien TB RO, pasien dengan HIV (+)
status HIV nya

Pemeriksaan Klinis dan Pemeriksaan bakteriologis dengan Mikroskop atau Tes Cepat Molekuler
(TCM)

Tidak memiliki akses untuk Memiliki akses untuk TCM


TCM TB TB untuk TCM TB

Pemeriksaan Mikroskopis Pemeriksaan TCM TB


BTA

(+ +) MTB Pos, Rif MTB Pos, Rif MTB Pos, Rif MTB
(- -) Sensitive Indeterminate Resistance Neg
(+ -)

Ulangi pemeriksaan TB Foto Toraks


TB Terkonfirmasi Bakteriologis TCM RR (Mengikuti
Foto Terapi alur yang
Toraks Antibiotika non sama dengan
OAT alur pada hasil
Mulai Pengobatan TB RO;
Ada Tidak Ada pemeriksaan
Lakukan pemeriksaan Biakan
Perbaikan Perbaikan mikrokopis
dan Uji Kepekaan OAT Lini
Gambaran Tidak Klinis Klinis, ada BTA negatif
1 dan Lini 2
Mendukung Mendukung TB; faktor risiko (- -) )
TB Bukan TB; Cari TB, dan atas TB TB Pre TB
kemungkinan Bukan TB; pertimbangan RR; XDR XDR
penyebab Cari dokter TB
TB kemungkinan
penyakit lain MDR
Terkonfirma penyebab
si Klinis Lanjutkan Pengobatan TB
penyakit lain TB
Pengobatan RO dengan
Terkonfirmasi
TB RO Paduan Baru
Klinis

Pengobatan TB Lini 1

Pemeriksaan tambahan pada semua pasien TB yang terkonfirmasi baik secara bakteriologis maupun klinis adalah
pemeriksaan HIV dan gula darah. Pemeriksaan lain dilakukan sesuai indikasi misalnya fungsi hati, fungsi ginjal, dll)

Bagan 1. Alur Diagnosis TB dan Resisten TB

10
F. Pengobatan Tuberkulosis
Pengobatan TB ditujukan untuk menyembuhkan penderita, mencegah kematian,
mencegah kekambuhan, menurunkan risiko penularan, dan mencegah penyetaraan
kekebalan terhadap obat. Obat anti TB yang dipakai dalam Program Pemberantasan
Tuberkulosis Paru (P2TB) nasional antara lain sebagai berikut: isoniasid (H), rifampicin
(R), pirazinamid (Z), ethambutol (E), dan streptomisin (S).
Obat TB diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis serta dalam jumlah
cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan supaya kuman (termasuk kuman persisten)
dapat sembuh. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap. Tahap intensif dan lanjutan.
Tahap intensif (awal) yaitu penderita mendapat obat setiap hari dan diawasi langsung
untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua OAT, terutama rifampisin. Bila
pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, maka penderita menular
menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar penderita TB BTA
positif menjadi BTA negatif (konversi) pada akhir pengobatan intensif. Tahap lanjutan
penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih
lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten (dormant) sehingga
mencegah terjadinya kekambuhan.3,12
Program nasional penanggulangan TB di Indonesia menggunakan OAT
kategori 1 yaitu 2HRZE/ 4H3R3, kategori 2 yaitu 2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3 kategori
3 yaitu 2HRZ/ 4H3R3. Disamping ketiga kategori ini, disediakan panduan obat sisipan
(HRZE). Panduan OAT ini disediakan dalam bentuk paket kombipak, dengan tujuan
untuk memudahkan pemberian obat menjadi kelangsungan pengobatan sampai selesai.

G. Multi Drug Resistan-TB


Resistensi ganda atau dikenal dengan istilah multi drug resisten (MDR)
Tuberkulosis merupakan resistensi M. tuberculosis terhadap obat rifampisin dan INH
dengan atau tanpa OAT lainnya. Resistensi terhadap OAT secara umum dikelompokkan
menjadi tiga, yaitu: 1) Resistensi primer, jika sebelumnya pasien tidak pernah mendapat
pengobatan TB. 2) Resistensi inisial, apabila tidak diketahui secara pasti apakah pasien
sudah pernah ada riwayat pengobatan sebelumnya atau tidak. 3) Resistensi sekunder,
jika pasien telah memiliki riwayat pengobatan sebelumnya.

11
Kasus MDR TB dilaporkan pertama di Amerika Serikat, khususnya pada pasien
TB dan AIDS dengan angka kematian mencapai 70% –90% hanya dalam kurun waktu 4
sampai 16 minggu. Penyebaran MDR-TB sangat cepat terjadi di berbagai belahan
dunia. Diagnosa yang tepat, pemberian obat dan kepatuhan penderita dalam minum obat
sangat penting dalam penatalaksanaan MDR-0TB ini.34
Pasien MDR-TB memiliki karakteristik, diantaranya: 1) umur produktif (25-34
tahun), 2) disominasi oleh jenis kelamin laki-laki, 3) penyakit komorbid terbanyak yang
ditemukan adalah diabetes mellitus, 4) resisten OAT terbanyak merupakan jenis resisten
sekunder (77,2%), didominasi jenis resisten terhadap obat isoniazid dan rifampisin
(50,5%), resisiten primer ditemukan cukup tinggi (22,8%). 35
Beberapa penyebab terjadinya resistensi terhadap OAT, antara lain: pengetahuan
pasien yang kurang tentang TB, pemakaian satu obat dalam terapi, paduan obat yang
tidak adekuat, pemberian obat yang tidak teratur, penambahan obat dalam suatu paduan
pengobatan yang tidak berhasil, pencampuran obat kombinasi tidak dilakukan dengan
baik, obat tidak tersedia secara reguler, minum OAT yang lama sehingga menimbulkan
kejemuan, dan kasus MDR-TB rujuk ke dokter ahli paru. Pengobatan terhadap MDR
TB memperhatikan klasifikasi OAT untuk MDR dengan kriteria utama berdasarkan data
biologikal dikelompokkan menjadi 3 OAT, yaitu:
1. obat dengan aktivitas bakterisid seperti: aminoglikosid, tionamid dan
pirazinamid yang bekerja pada pH asam.
2. Obat dengan aktivitas bakterisid rendah seperti: fluorokuinolon.
3. Obat dengan aktivitas bakteriostatik, seperti: etambutol, cycloserin dan PAS.
Golongan obat fluorokuinolon (moksifloksasin, levofloksasin, ofloksasin dan
24
siprofloksasin) dapat digunakan sebagai terapi TB yang resisten terhadap lini-1.
Pengobatan tehadap MDR-TB dianjurkan dengan memberikan 4 sampai 6 jenis obat.
Obat yang diberikan berupa obat lini pertama yang masih sensitif diatambah obat lini
kedua berdasarkan aktivitas intrinsik terhadap M.Tb. Pertimbangan untuk pembedahan
dapat dipertimbangkan jika setelah 3 bulan pengobatan tidak terjadi konversi dahak
negatif. 34 Isoniazid masih digunakan dalam pengobatan karena dianggap dapat kembali
sensitif. 35

12
H. Imunitas Penderita TB
Penurunan aktivitas sel T helper 1 dan sitokinnya yaitu IFN-γ cukup bermakna
untuk mempengaruhi mekanisme imunitas terhadap penyakit TB paru. Pengetahuan
tentang kadar IFN-γ dalam pertahanan tubuh individu terhadap infeksi TB paru sangat
penting. Hasil penelitian menunjukkan pemeriksaan kadar IFN-γ pada serum penderita
36
TB paru didapatkan lebih rendah dibandingkan orang sehat di masyarakat. Sel T-
CD8+ yang mengekspresikan IFN-γ pasien TB paru aktif persentasenya lebih rendah
dibandingkan TB laten dan terdapat perbedaaan yang bermakna.Hal ini disebabkan
karena sel T-CD8+ yang memiliki peran unggul dalam menghasilkan IFN-γ dibanding
laten dan hasil IFN-γ dipengaruhi oleh beberapa faktor lain seperti: genetik, indeks
masa tubuh dan gizi. 37
Berbeda dengan hasil penelitian Novriandi F, kadar IFN-γ cairan pleura pada
semua pasien efusi pleura TB pada penelitian ini jauh lebih tinggi dengan nilai reratanya
38
mencapai 5x nilai cut off point pada referensi yang ada. Pada penderita TB, produksi
IL-10 di dalam tubuh menunjukkan peranan yang sangat penting dalam melihat
progresivitas penyakit TB. 39
TNF-α juga memiliki peran yang penting dalam mencegah reaktivasi TB
persisten, membatasi respons patologis inang dan memodulasi ekspresi pulmonik faktor
40
imunologi spesifik. TNF-α sangat penting dalam mencegah aktifnya TB. TNF-
antagonis telah terbukti efektif dalam mengurangi gejala klinis psoriasis, rheumatoid
diseases dan penyakit Inflammatory Bowel Disease. Pemberian preparat TNF-α
antagonis, ternyata dapat memicu teraktivasinya TB baik pada pasien bebas TB
sebelumnya maupun pasien TB laten. Pemakaian obat yang tepat harus
41
dipertimbangkan sehingga dapat mengurangi risiko terjadinya TB.

I. Status Gizi penderita TB


34
Nutrisi yang baik dapat membantu keberhasilan terapi. Pasien TB paru selain
patuh dalam minum OAT juga harus mengatur pola makan dan memperbaiki status gizi
karena hal ini dapat berpengaruh kepada kesembuhan yang pada akhirnya dapat
42
memperbaiki kualitas hidup mereka. Pendekatan baru melalui suplementasi gizi
mungkin menjadi pilihan untuk pemulihan cepat penderita TB paru. Peningkatan status

13
gizi masyarakat bisa jadi terbukti efektif untuk mengendalikan TB di negara sedang
berkembang di dunia.43
Status gizi pasien TB paru aktif jelek dibandingkan dengan subyek yang sehat,
dimana pada pasien TB paru dengan status gizi jelek lebih banyak yang mengalami
anemia dengan konsentrasi plasma retinol dan zinc yang rendah dalam plasma.
Konsentrasi hemoglobin, retinol dan zinc yang rendah dalam plasma lebih banyak
dilaporkan pada pasien TB dengan malnutrisi. 44

J. Penyakit Penyerta pada TB


Penyakit TB harus dievaluasi meskipun belum ada gejala pada pasien penderita
HIV + (ODHA) dan penderita diabetes mellitus. Penegakan diagnosis yang dilakukan
12
pada pasien ODHA dan DM sama dengan diagnosis DM tanpa komorbid. Sebagian
besar orang yang terinfeksi kuman TB tidak menjadi sakit TB karena mereka
mempunyai sistem imunitas yang baik. Infeksi tanpa jadi sakit tersebut dikenal sebagai
infeksi TB laten. Salah satu penyebabnya adalah orang dengan penyakit kronik seperti
DM dan memiliki sistem imun rendah seperti HIV sehingga lebih berisiko
berkembangnya TB laten menjadi TB aktif. 45,46
Pasien DM memiliki 2-3 kali risiko untuk menderita TB dibanding orang tanpa
DM. Sejumlah orang dengan TB atau DM tidak terdiagnosis atau terlambat didiagnosis.
Pasien DM yang didiagnosis TB memiliki risiko kematian lebih tinggi selama
pengobatan TB dan risiko kambuh setelah selesai pengobatan. Faktor-faktor yang
bermakna untuk terjadinya TB Paru pada pasien DM tipe 2 adalah kontak dengan
penderita TB, lama menderita DM dan kadar HbA1c. 47 Semua Pasien dengan TB harus
dilakukan penapisan DM. Kejadian infeksi paru pada penderita DM merupakan akibat
kegagalan sistem pertahanan tubuh, dalam hal ini paru mengalami gangguan fungsi
pada epitel pernapasan dan juga motilitas silia. Gangguan fungsi dari endotel kapiler
vaskular paru, kekakuan korpus sel darah merah, perubahan kurva disosiasi oksigen
akibat kondisi hiperglikemia yang lama menjadi faktor kegagalan mekanisme
pertahanan melawan infeksi.48
Tuberkulosis dapat terjadi kapanpun saat perjalanan infeksi HIV. Risiko
berkembangnya TB meningkat secara tajam seiring dengan semakin memburuknya
sistem kekebalan tubuh. Gejala klinis TB paru pada ODHA sering kali tidak spesifik.

14
Gejala klinis yang sering ditemukan adalah demam dan penurunan berat badan yang
signifikan (lebih dari 10%). Di samping itu, dapat ditemukan gejala lain terkait TB
ekstra paru (TB pleura, TB perikard, TB milier, TB susunan saraf pusat dan TB
abdomen) seperti diare terus menerus lebih dari satu bulan, pembesaran kelenjar limfe
di leher, dan sesak napas. Pada individu yang terinfeksi HIV, terdapatnya infeksi lain
termasuk TB dapat membuat virus HIV berkembang biak dengan lebih cepat sehingga
progresivitas penyakit menjadi lebih cepat.45

15
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Kerangka Teori

Imunitas Gizi Lingkungan

Mycobacterium Manusia Diagnosis


tuberculosis

Gejala Klinis TB
Pemeriksaan Laboratorium
 Batuk berdahak 2minggu Pemeriksaan penunjang
atau lebih. (foto thoraks)
 Dahak bercampur darah, a. Pemeriksaan
 Sesak nafas, bakteriologis
 Badan lemas, (Mikroskopis, tes cepat
 Nafsu makan menurun, molekuler (TCM),
 Berat badan menurun, biakan kuman)
 Berkeringat malam hari
tanpa kegiatan fisik, b. Pemeriksaan serologi/
 Demam meriang lebih Imunologi
dari satu bulan

Positif TB (penderita) Bukan TB

Pengobatan TB

Sembuh MDR Gagal


pengobatan

Bagan 2. Kerangka teori

16
B. Kerangka Konsep
Kultur/ Uji
sensitivitas

Tuberkulosis Pemeriksaan PCR

Mikroskopis

Pasien Lingkungan

Gizi Pengobatan Imunitas Penyakit PSP


Penyerta

Diabetes Rumah Sekitar


Sembuh MDR (Hba1c) rumah
HIV

Tnf alfa Interferon


gamma

Bagan 3. Kerangka Konsep

17
C. Definisi Operasional Variabel
Tabel 1. Definisi operasional

Cara Instrumen Skala


Definisi
Variabel pengumpula
Operasional
n data
Karakteristik
1. Umur
Dihitung Wawancara Kuisioner Ordinal
dalam tahun 1.<=30 tahun
berdasarkan 2.31-45 tahun
ulang tahun 3.46-60 tahun
terakhir 4.>=60 tahun
2. Jenis
kelamin Laki-laki dan Pengamatan Check list Nominal
perempuan. 1. Laki-laki
2. Perempuan

3. Pekerjaan Mata Wawancara Kuisioner Nominal 49


pencaharian 1. tidak
utama bekerja/sekolah/IRT
2. TNI/POLRI/PNS/B
UMN
3. Pegawai swasta
4. Wiraswasta/dagang/j
asa
5. Petani/nelayan
6. Buruh dan lainnya

4. Pendidikan Jenjang Wawancara Kuisioner Ordinal50


pendidikan 1. Tidak sekolah
formal terakhir 2. Rendah : SD, SMP
yang 3. Menengah:
diselesaikan SMA/MA
4. Tinggi :
D1,D2,D3, sarjana

5. Pasien baru Pasien yang Wawancara Kuesioner Nominal


baru 1. Ya
ditemukan 2. Tidak
selama masa
puldata atau
yang berobat
kurang dari
dua bulan

18
6. Pasien lama Pasien yang Wawancara Kuesioner Nominal
pernah berobat 2. Ya
enam bulan 2. Tidak
(kambu) atau
yang putus
obat
Penyakit Penyakit DM Wawancara/ Kuisioner
penyerta dan atau HIV rekam medik Nominal
yang diderita 3. Ya
oleh pasien Tb 2. Tidak

Pemeriksaan Pemeriksaan Pemeriksaan Mikroskop Nominal


mikroskopis yang dilakukan laboratorium 1. BTA Positif
pada dahak 2. BTA Negatif
penderita TB
paru
menggunakan
mikroskop
Pemeriksaan Pemeriksaan Pemeriksaan PCR Ordinal
PCR molekular laboratorium Konvensional 1. Positif
yang dilakukan 2. Negatif
pada dahak
penderita TB
paru untuk
mendeteksi
keberadaan
M.Tb

Pemeriksaan Pemeriksaan Pemeriksaan Media LJ Ordinal


Kultur yang dilakukan laboratorium (Loweinstein 1. 4+
terhadap - Jensen) 2. 3+
dahak 3. 2+
penderita TB 4. 1+
paru untuk 5. 1-19 koloni
melihat biakan 6. Negatif
kuman TB
dilaboratorium
Uji Sensitivitas Pemeriksaan Pemeriksaan Media LJ Ordinal
yang dilakukan laboratorium (Loweinstein 1. Susceptible OAT
terhadap hasil - Jensen) 2. Monoresisten OAT
kultur dahak Cakram 3. Poliresisten OAT
penderita TB antibiotik 4. MDR
paru untuk OAT 5. XDR
melihat
resistensi obat
TB (OAT)
Pemeriksaan Pemeriksaan Pemeriksaan HPLC Ordinal
HbA1c darah pasien laboratorium 1. Terkontrol (≤6%)

19
TB sebagai 2. Tidak terkontrol
indikator DM (>6%)
Pemeriksaan Pemeriksaan Pemeriksaan ELISA Rasio
TNF-α kadar TNF-α laboratorium
untuk
menentukan
status
imunologis
Pemeriksaan Pemeriksaan Pemeriksaan IGRA Rasio
IFNγ kadar IFNγ laboratorium
untuk
menentukan
status
imunologis
Indeks Massa Keadaan gizi Penimbangan Timbangan Ordinal (3)
Tubuh responden BB dan dan 1. Sangat kurus (<17
penderita TB Pengukuran Mikrotois kg/m2)
TB 2. Kurus (17s/d <18,5
kg/m2)
3. Normal (18,5-25
kg/m2)
4. Gemuk/overweigth
(>25-27 kg/m2)
5. Obes (>27 kg/m2)
Asupan gizi Asupan energi, Wawancara Food recall Rasio
karbohidrat,
protein, dan
lemak
penderita TB

Pengetahuan Pengetahuan Wawancara Kuesioner Ordinal


tentang TB tentang TB 1. Baik: x≥median
paru yang 2. Kurang : x<median
dimiliki oleh
penderita TB
Sikap Persepsi Wawancara Kuesioner Ordinal
Penderita TB tentang TB 1. Baik: x≥median
paru yang 2. Kurang : x<median
dimiliki oleh
penderita TB
Perilaku Tindakan Wawancara Kuesioner Ordinal
Penderita TB tentang TB 1. Baik: x≥median
paru yang 2. Kurang : x<median
dimiliki oleh
penderita TB
Kepadatan Jumlah Observasi Kuesioner Ordinal
hunian individu per 1. Baik (≥8 m2 per
luas rumah orang)

20
(m2) 2. Kurang (<8 m2 per
orang)
1.
Kepadatan Jumlah Observasi Kuesioner Ordinal
kamar individu per 1. Baik (≥8 m2 per
luas kamar orang)
(m2) 2. Kurang (<8 m2 per
orang)

Keadaan Keadaan Observasi Pedoman Ordinal


ruangan ruangan dalam observasi Penggunaan
rumah 1. Terpisah
penderita TB 2. Tidak terpisah
yang terdiri Kebersihan
dari kamar 1. Bersih
tidur, dapur, 2. Tidak bersih
dan ruang Ketersediaan jendela
keluarga 1. Ada, dibuka tiap
hari
2. Ada, jarang dibuka
3. Tidak ada
Ventilasi51
1. Ada, luas ≥10%
luas lantai
2. Ada, luas <10%
luas lantai
3. Tidak ada
Pencahayaan alami
1. Cukup
2. Tidak cukup
Jenis lantai Bahan yang Observasi Pedoman Nominal (skoring)
digunakan observasi 1.
untuk lantai Keramik/ubin/mamer/
terluas dari semen
rumah 2.
penderita TB Papan/bambu/rotan/an
yaman bambu
3. Tanah
Jenis dinding Bahan yang Observasi Pedoman Nominal
digunakan observasi 1. Tembok
untuk dinding 2. Kayu
terluas dari (papan/triplek)
rumah 3. Bambu
penderita TB 4. Seng
Jenis plafon Bahan yang Observasi Pedoman Nominal
digunakan observasi 1. Beton
untuk plafon 2. Gypsum
terluas dari 3. Asbes

21
rumah 4. Kayu/triplek
penderita TB 5. Anyaman bambu
6. Tidak ada
Kelembaban Kandungan air Observasi Pengukur Rasio
dalam udara di kelembaban 1. Baik (40-60%)
rumah udara 2. Tidak baik (<40 %
penderita TB />60%)51

Pencahayaan Keadaan Observasi Pengukur Rasio


pencahayaan pencahayaan 1. ≥60 %
matahari yang 2. < 60%51
masuk ke
dalam rumah
penderita TB
Suhu ruangan Keadaan suhu Observasi Pengukur Ordinal
ruangan dalam suhu 1. Baik (18-30ᵒC)
rumah 2. Tidak baik
penderita TB (<18ᵒC/>30ᵒC)51

Keadaan Keadaan Observasi Kuesioner Nominal


lingkungan sekitar rumah 1. Kumuh
sekitar penderita TB 2. Tidak kumuh

Bahan bakar Bahan bakar Observasi Kuesioner Nominal


memasak yang 1. Kayu bakar
digunakan oleh 2. Minyak tanah
keluarga 3. Gas
penderita TB 4. Listrik
untuk
memasak
Kesembuhan Kesembuhan Pemeriksaan Mikroskop Ordinal (mikroskopis)
penderita TB laboratorium dan Media LJ 1. BTA Positif
berdasarkan (Loweinstein 2. BTA Negatif
hasil - Jensen) Ordinal (kultur)
pemeriksaan 1. Tumbuh
kultur dan 2. Tidak tumbuh
mikroskopis
akhir

D. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik. Desain penelitian dengan
pendekatan kohort, variable yang diikuti adalah : Pemeriksaan dignosa TB (kultur,
mikroskopis, dan PCR), data gizi, pengobatan, dan lingkungan. Data yang dikohorkan
dapat dijelaskan sebagai berikut :

22
a. Pengambilan sampel dahak dilakukan pada awal penelitian, dua bulan
pengobatan, dan di akhir masa pengobatan penderita Tb (kultur, pemeriksaan
MDR TB dan mikroskopis).
b. Pengambilan data gizi menggunakan metode food recall dilakukan sebanyak 3
kali (awal masa penelitian 3x 24 jam, selang 2 bulan kemudian 3 x 24 jam, dan
pada akhir masa pengobatan). Form food recall digunakan untuk mencatat
konsumsi makanan 1 x 24 jam terakhir sehingga mengetahui asupan gizi pasien
TB paru.
c. Riwayat pengobatan diwawancarai menggunakan kuesioner sebanyak 2 kali
(selang 2 bulan pengobatan, dan di akhir masa pengobatan).
d. Observasi lingkungan dalam dan di luar rumah dilakukan pada awal dan akhir
masa penelitian.
E. Tempat dan Waktu
Tempat penelitian:
Penelitian ini dilakukan dih Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar
dengan menelusuri pasien TB dari PRM dan rumah sakit yang telah menerapkan DOTS.
Lokasi pemeriksaan sampel :
- Laboratorium Balai Litbangkes Aceh: mikroskopis, PCR, pemeriksaan TNF-α
dan IFNγ.
- Laboratorium rujukan pemeriksaan kultur TB (BBLK Jakarta): kultur TB dan
sensitivitas OAT
- Laboratorium rujukan pemeriksaan HbA1c (Prodia Banda Aceh): pemeriksaan
HbA1c
Lama penelitian (1 Tahun)
Terkait dengan pengambilan sampel tahun 2018 dimulai Januari – Desember
2018, setiap responden akan diikuti masa pengobatannya dan kesembuhan terhadap TB.
F. Populasi dan Sampel
Populasi adalah seluruh penderita TB paru yang terdata di PRM dan rumah
sakit (menurut data SITT tahun 2016) di Kota Banda Aceh sebanyak 184 kasus baru dan
16 kasus pasien kambuh dan Aceh Besar 303 kasus baru ditambah 5 pasien kambuh.
Populasi kasus TB berjumlah 508 dalam satu tahun.

23
Sampel adalah total populasi sebanyak 508 penderita TB. Pada pemeriksaan
imunologis, jumlah sampel yang digunakan adalah pasien TB yang sudah didiagnosa
22
DM. Penderita TB-DM yang digunakan sebagai responden sebanyak 10% (51orang).
Sebagai pembanding, digunakan sebanyak 51 orang penderita TB tanpa DM, sehingga
untuk pemeriksaan imunologis, jumlah sampel yang digunakan adalah 51 TB-DM dan
51 TB non DM (102 sampel).
Kriteria inklusi sampel sampel penelitian ini adalah:
1. Pasien TB yang sudah terdata di PRM setempat
2. Pasien TB yang mampu mengeluarkan dahak
3. Pasien TB yang tidak menderita kelainan pembekuan darah
4. Berumur ≥15 tahun
5. Bersedia ikut serta dalam penelitian
Sampel yang diambil meliputi semua pasien TB yang melakukan pengobatan.
Pertimbangan pengambilan sampel selama masa pengobatan adalah untuk menjaring
MDR TB dan adanya pasien yang berobat tidak teratur sehingga menyebabkan
kegagalan pengobatan. Penelitian oleh Ramadhan menunjukkan bahwa M.Tb masih ada
meskipun setelah 2 bulan pengobatan. 14
Kriteria eksklusi sampel adalah:
Pasien TB yang menderita sakit berat atau mengalami gangguan komunikasi.

24
Alur kerja penelitian
Penderita
Tb paru

Penyaringan responden sesuai kriteria inklusi dan eksklusi

Pembacaan Naskah Penjelasan dan


Persetujuan Setelah Penjelasan (PSP)

Penimbangan TB dan pengukuran TB


paru
Wawancara (kuesioner dan formulir food
recall) dan observasi lingkungan

Pengambilan BBT Pengambilan


sampel darah sampel dahak

Pemeriksaan TNF α Pemeriksaan Pemeriksaan Kultur Uji sensitivitas


HbA1c IFN γ mikrokospis, PCR OAT

Bagan 4. Alur kerja penelitian


Keterangan Gambar:
Data responden penelitian merupakan penderita TB paru yang didapat dari PRM dan
rumah sakit, setelah penyaringan responden sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi,
kemudian pada setiap responden dibacakan naskah penjelasan. Selanjutnya diminta
persetujuan (informed concern) dan ditandatangani lembar persetujuan. Lalu dilakukan
penimbangan berat badan, dan pengukuran tinggi badan. Wawancara Pengetahuan,
Sikap, dan Perilaku (PSP) tentang TB, food recall observasi pada lingkungan rumah
juga dilakukan terhadap responden yang terpilih yang diisi dalam kuesioner.
Pengambilan spesimen darah dan dahak dilakukan oleh petugas dari Balai Litbang
Kesehatan Aceh atau tenaga laboratorium Prodia.

25
G. Instrumen Pengumpulan Data

a. Instrumen yang dibutuhkan untuk pemeriksaan:


- Mikroskopis, PCR, dan kultur
- Resisten Obat Anti Tuberkulosis
- Penunjang (biomarker): Hba1c
- Pemeriksaan TNF-α dan IFNγ
b. Kuesioner untuk wawancara
b. Formulir food recall
c. Timbangan dan mikrotois
d. Pedoman observasi
e. Data sekunder
Data sekunder adalah data penunjang yang didapatkan dari dokumen pertinggal
yang ada pada responden atau PRM (untuk mendapatkan riwayat penyakit penyerta
dan riwayat pengobatan).
H. Bahan dan Prosedur Pengumpulan Data
Pada tahap awal dilakukan wawancara menggunakan kuesioner untuk riwayat
pengobatan, penyakit penyerta, dan pengukuran BB/TB. Data gizi diperoleh
menggunakan formulir food recall untuk mencatat konsumsi makanan dalam 1 x 24 jam
terakhir. Data lingkungan diperoleh dari observasi. Selanjutnya dilakukan pengambilan
spesimen dahak dan darah. Spesimen dahak digunakan untuk pemeriksaan mikroskopis,
PCR, kultur M.Tb, uji sensitivitas M.Tb terhadap OAT. Pengambilan sampel darah
untuk pemeriksaan HbA1c dan imunologis. Marker imunologis yang akan digunakan
adalah pemeriksaan TNF-α dan IFNγ.
Pengambilan spesimen dahak:
a. Petugas Balai Litbang Kesehatan Aceh dibantu oleh petugas PRM/RS
bertanggung jawab terhadap pengambilan dan penanganan spesimen dahak.
b. Penderita diajarkan cara dan waktu pengumpulan spesimen dahak.
1) Tiga pot dahak yang bersih disiapkan, untuk pengambilan dahak sewaktu
pagi sewaktu (SPS).
2) Penderita diberikan pot dahak yang sangat bersih. Responden dijelaskan
bahwa wadah tidak dibuka hingga siap digunakan.

26
3) Responden diminta untuk mengeluarkan dahak dan menampungnya di pot
dahak yang telah disediakan dengan cara:
Diambil nafas dalam, kemudian tahan selama 5 detik. Secara perlahan, napas
dikeluarkan. Nafas dalam diambil sekali lagi, kemudian dibatukkan secara
keras sehingga keluar dahak dari mulut responden (sebagai dahak sewaktu).
4) Untuk pengambilan dahak kedua di pagi hari, responden harus dijelaskan:
segera setelah responden bangun di pagi hari (sebelum responden makan
atau minum apa pun), gigi disikat dan mulut dibilas dengan air. Cairan
pencuci mulut dilarang untuk digunakan. Jika mungkin, pergilah ke luar
atau buka jendela sebelum sampel dahak diambil. Dengan cara ini orang lain
terbantu terlindungi dari kuman TB ketika responden batuk.
5) Dahak diludahkan ke wadah plastik.
6) Ini terus diulangi sehingga dahak mencapai garis 5 ml atau lebih pada wadah
plastik. Ini kurang lebih sejumlah 1 sendok teh dahak.
7) Tutup pot dahak dipasang dengan kuat agar tidak bocor, kemudian bagian
luar wadah dicuci dan dikeringkan.
8) Tanggal pengambilan dahak dicantumkan pada pot tersebut.
9) Pot dimasukkan ke kotak atau kantung yang telah disediakan dan disimpan
dalam lemari pendingin.
10) Bila dahak tidak keluar, maka metode postural drainase dijelaskan kepada
pasien.
11) Dahak akan diambil pada hari berikutnya. Pada saat dahak diambil,
responden diminta untuk mengeluarkan dahak sekali lagi sebagai dahak
sewaktu yang kedua.
Specimen dahak digunakan untuk pemeriksaan:
1. Pemeriksaan PCR Konvensional (dilakukan oleh Laboratorium Balai
Litbangkes Aceh)
Target gen yang digunakan pada penelitian ini adalah 16S rRNA dan IS61109.
Primer forward 16S rRNA (5’ TTAAAAGCCGGTCTCAGTTC 3’), Primer
reverse 16S rRNA (5’ TTACCGACTTTCATGACGTG 3’). Primer forward
IS61109 (5’ CGTGAGGGCATCGAGGTGGC 3’), primer reverse IS61109 (3’
GCGTAGGCGTCGGTGACAAAA 5’).

27
Alat : Micropipette (1000 µL, 200 µL, 100 µL, 20 µL, 10 µL), aerosol barrier
tips (1000 µL, 200 µL, 100 µL, 20 µL, 10 µL), tube steril, gelas beker, gelas
ukur, mesin PCR (thermal cycler), laminar air flow, heat block, tissue, tube 1,5
mL, collection tube, QIAamp spin column, vortex, spin down, sentrifuge, BSC-
class IIA, microtube 0,2 ml, hot plate, tray gel dan comb, parafilm, chamber
elektroforesis, gel doc, lemari pendingin dan freezer cryo-container.
Bahan : dekon dahak, buffer AL, buffer AW1, buffer AW2, etanol (96-100%,
TE buffer, ddH2O (nuklease free water), PBS, proteinase K, buffer AL, etanol
absolut, buffer AW1, buffer AW2, buffer AE, 10x PCR amplification buffer, 5
mM MgSO4, 10 mm dNTP mixture, forward primer, reverse primer, PCR
grade water, Taq polymerase, buffer TAE 1x, buffer elektroforesis, gel red,
agarosa, DNA loading dye dan DNA leader.
Cara Kerja :
Persiapan Buffer AL
1. Semua pekerjaan dilakukan di dalam ruangan yang bersih
2. Buffer AL disiapkan pada suhu ruang
3. Buffer AL bertahan 1 tahun didalam suhu ruang (15-25oC), maka
ketika segel telah dibuka botol buffer AL agar diberi tanggal, bulan,
dan tahun
4. QIAGEN Protease atau Proteinase K jangan dicampurkan langsung
ke dalam buffer AL
Pengenceran Buffer AW1
1. Semua pekerjaan dilakukan di dalam ruangan yang bersih
2. Buffer AW1 disiapkan yang masih dalam bentuk konsentrat di dalam
suhu ruang
3. etanol (96-100%) disiapkan
4. Etanol 25 ml ditambahkan ke dalam konsentrat buffer AW1 sampai
pada tanda indikator yang terdapat dalam botol buffer AW1
5. Buffer AW1 bertahan 1 tahun dalam suhu ruang (15-25oC), maka
ketika sudah di campur dengan alkohol agar botol buffer AW1 diberi
tanggal, bulan dan tahun
Pengenceran Buffer AW2

28
1. Semua pekerjaan dilakukan di dalam ruangan yang bersih
2. Buffer AW2 disiapkan yang masih dalam bentuk konsentrat di dalam
suhu ruang
3. Etanol (96-100%) disiapkan
4. Etanol 30 ml ditambahkan ke dalam konsentrat buffer AW2 sampai
pada tanda indikator yang terdapat dalam botol buffer AW2
5. Buffer AW2 bertahan 1 tahun dalam suhu ruang (15-25oC), maka
ketika sudah di campur dengan alkohol agar botol buffer AW2 diberi
tanggal, bulan dan tahun
Pengenceran Primer
1. Semua pekerjaan dilakukan di dalam Laminar Air Flow
2. Primer disiapkan untuk diencerkan dengan menggunkan TE buffer
3. Kemasan Primer dilihat yang tercantum seberapa banyak TE buffer
yang digunakan untuk diencerkan (berbeda-beda untuk masing-
masing primer).
4. Tabung primer disiapkan dan dicampurkan TE buffer sesuai dengan
resep (dari nmol diubah menjadi µL, maka x100)
5. Tabung master disimpan didalam almari pendingin dengan suhu -
20oC
6. Tabung steril disiapkan dan dibuat perbandingan pengenceran antara
primer dengan nuklease free water yaitu 10: 90
7. Primer diambil 10 bagian (misalkan 1 µL) dari tabung master,
dimasukkan ke dalam tube steril, lalu ditambahkan 90 bagian
nuklease free water (misalkan 9 µL).
8. Tube steril ditutup dan dilabel dengan nama primer dan
tanggal/bulan/tahun.
9. Primer PCR disimpan didalam almari pendingin dengan suhu -20oC
Isolasi DNA
1. Semua pekerjaan dilakukan di dalam BSC-II dan dalam keadaan steril
2. Heat block dipanaskan hingga suhu 56oC
3. Larutan sampel: 200 µL sampel + 20 µL proteinase K + 200 µL buffer
AL, masukkan ke dalam tube 1,5mL lalu vortex

29
4. Larutan sampel diinkubasikan 56oC selama 30 menit ke heat block
sampai sel lisis dengan komplit.
5. Lalu larutan sampel diinkubasikan 95oC selama 15 menit ke heat
block. Jangan lebih dari suhu 95oC dan lebih dari 15 menit, karena
dapat menyebabkan kerusakan DNA.
6. Lalu di spin down
7. 200 µL etanol absolut ditambahkan ke dalam larutan sampel lalu di
vortex sekitar 15 detik lalu di spin down
8. 500 µL larutan sampel dimasukkan ke QIAamp spin column secara
hati-hati.
9. Kemudian disetrifuge 8000 rpm selama 1 menit
10. Supernatan dibuang dan collection tube diganti
11. 500 µL buffer AW1ditambahkan secara hati-hati.
12. Kemudian disentrifuge 8000 rpm selama 1 menit
13. Supernatan dibuang dan collection tube diganti
14. 500 µL buffer AW2 ditambahkan secara hati-hati.
15. Kemudian disentrifuge 14.000 rpm selama 3 menit
16. Collection tube diganti dengan tube 1,5 mL dan dilakukan secara
hati-hati.
17. 150 µL buffer AE ditambahkan
18. Inkubasi di suhu ruang selama 5 menit
19. Kemudian disentrifuge 8000 rpm selama 1 menit
20. Spin column dibuang, dan disimpan kedalam tube 1,5 mL yang telah
berisi DNA
21. Tabung yang telah berisi DNA dilabel, lalu simpan ke dalam
refrigerator (pada 4oC jika disimpan dalam jangka waktu seminggu;
pada suhu -20 sampai -80oC jika disimpan dalam jangka waktu lebih
dari 1 bulan).
Reaksi PCR
Persiapan Mix. (Biorad T100 PCR Thermal Cycler, Singapura)
1. tube steril disiapkan dan reagensia yang akan digunakan, diletakkan
dalam suhu ruang

30
2. Reagen dicampurkan (mix) yang terdiri dari:
10x PCR amplification buffer 2,5 µL
5 mM MgCl2 2 µL
10 mm dNTP mixture 0,5 µL
Primer forward 1 µL
Primer reverse 1 µL
PCR grade water 13,6 µL
Taq polymerase 0,4 µL
Taq polymerase di campurkan terakhir untuk mencegah rusaknya enzim
Taq Polimerase.
Persiapan sampel
1. DNA dikeluarkan dari hasil ekstraksi ke suhu ruang, kemudian
dibiarkan mencair
2. Lalu di spin down
Prosedur Pelaksanaan PCR
1. PCR mix dibuat sesuai dengan komposisi dan perhitungan
2. kontrol negatif dibuat dengan menambahkan free nuclease water
(ddH2O) sejumlah 4 µL ke dalam 21 µL PCR mix.
3. DNA template ditambahkan sebanyak 4 µL ke dalam masing-masing
PCR tube yang telah di aliquot sehingga akan memberikan volume
akhir masing-masing 25 µL. Penambahan DNA dilakukan di dalam
ruangan yang berbeda dengan ruangan mix.
4. Microtube yang telah berisi mix dan DNA template dimasukkan ke
dalam mesin PCR yaitu Thermal Cycler. Program dan siklus PCR yang
digunakan yaitu :
Inisiasi 95ᵒC 3 menit
Denaturasi 95 ᵒC 3 menit
Annealing 58 ᵒC 1 menit 30 detik
Elongasi 72 ᵒC 1 menit 30 siklus
Post elongasi 72 ᵒC 10 menit
Finish 4 ᵒC
5. Hasil PCR dilanjutkan dengan proses elektroforesis. Apabila

31
elektroforesis tidak dilakukan di hari yang sama maka sampel hasil
amplifikasi disimpan ke dalam almari pendingin dengan suhu 2-8ᵒC.
f. Elektroforesis (Biorad GT Cell, Singapura)
1. Gel agarose dibuat dalam 2%
0,8 gr serbuk agarosa + 40 ml larutan TAE 1x dipanaskan hingga
homogen + 4 µL Gel Red dan dituangkan ke dalam tray
2. Elektroforesis dikondisi pada 80 V, 400 mA selama 60 menit
3. Visualisasi digunakan dengan transiluminasi UV
4. Sampel, loading dye dan marker (DNA Ladder) disiapkan.
5. Lempeng agar dimasukkan ke dalam bagian tengah alat
elektroforesis.
6. Bagian sumuran (well) diatur berada dekat dengan tombol hitam
(katoda), dan jangan terbalik
7. Bak elektroforesis diisi dengan buffer elektroforesis sampai lempeng
agar terendam
8. Loading dye diambil dengan mikropipete sebanyak 1 µl dan letakkan
di atas parafilm
9. Sampel diambil sebanyak 9 µL dan campur hingga homogen dengan
loading dye yang sudah di letakkan di atas parafilm.
10. Campuran dimasukkan yang terdiri dari sampel dan blue juice yang
sudah homogen ke dalam sumuran (well).
11. DNA Ladder dimasukkan sebanyak 10 µL ke dalam sumuran
sebagai marker.
12. Alat elektroforesis ditutup dan disambungkan ke kabel merah dan
hitam pada alat elektroforesis dengan soket pada stavol sesuai
dengan warnanya
13. Elektroforesis ditunggu sampai selesai. Warna loading (biru)
jangan sampai melewati agar.
14. Buffer diganti dalam setiap pemakaian 3 kali proses elektroforesis.
Hasil Analisa Gel Elektroforesis
Hasil positif ditunjukkan oleh munculnya pita yang sejajar dengan pita
positif kontrol (±144 bp gen 16S rRNA dan ±245 bp gen IS6110).

32
g. Pemeriksaan Mikrokospis (dilakukan oleh Laboratorium Loka Litbang
Biomedis Aceh)
a. Pembuatan sediaan BTA
Alat : Kaca sediaan frosted, pensil 2B, ose, lampu spiritus
(bunsen) dan pinset.
Bahan : Alkohol 70%, botol pasir alkohol 70 % yang tertutup,
dan bahan pemeriksaan/dahak
Cara Kerja:
1. Beri nomor identitas tiap sediaan dengan menggunakan pensil
2B pada bagian frosted, pemegangan slide disarankan pada
kedua sisi untuk menghindari sidik jari.
2. Buat hapusan dahak dengan menggunakan ose yang sudah
dipanaskan sampai merah, kemudian didiamkan sampai dingin,
ambil sedikit dahak pada bagian yang kental dan kunung
kehijau-hijauan, kemudian oles secara merata dengan gerakan
spiral kecil dari dalam keluar (jangan terlalu tebal, jangan terlalu
tipis)
3. Masukkan ose kedalam botol yang berisi pasir dan alkohol 70%,
kemudian digoyang-goyangkan untuk melepas partikel yang
melekat pada ose, setelah itu ose dibakar kembali di atas spiritus
hingga kemerahan dan didinginkan, lanjutkan lngkah seperti
sebelummnya untuk sampel selanjutnya.
4. Sediaan dikeringkan di udara terbuka, jangan terkena sinar
matahari langsung/di atas api (butuh waktu 15 – 30 menit)
sebelum di fiksasi. Gunakan pinset untuk mengambil sediaan
yang sudah kering pada sisi berlabel dan sediaan menghadap
keatas. Lalu fiksasi (melewatkan sekitar 2 – 5 detik) sebanyak 3
kali.
5. Simpan dalam kotak sediaan, berdasarkan nonor urut
stiker/label. Bagi dahak yang akan dikultur , setelah dahak
diambil, maka pot dahak harus ditutup rapat kembali.
b. Pewarnaan Sediaan BTA

33
Alat :
Rak untuk pengecatan sediaan, rak pengering, pipet, pinset, timer,
lampu spiritus, air mengalir ( bisa air kran atau air dari botol yang ada
selangnya) dan beberapa rak cadangan.
Bahan :
Botol gelas berwarna coklat berisi larutan carbol fuchsin 0,3%,
botol gelas berwarna coklat berisi alkohol (HCl – alkohol 3 %), botol gelas
berwarna coklat berisi methylen blue 0,3% dan spiritus.
Cara Kerja : 1. Sediaan dahak yang telah di fiksasi diletakkan pada rak,
bagian hapusan dahak menghadap keatas. Buatlah jarak
antar sediaan untuk mencegah terjadinya kontaminasi
antar sediaan.
2. Teteskan larutan carbol fuchsin 0,3% pada hapusan
dahak sampai menutupi seluruh permukaan.
3. Panaskan sediaan hapusan dahak dengan cara dilalui pada
api bunsen, selama 5 menit, tetapi, jangan sampai
mendidih, akan merusak hapusan dahak cukup uapannya
saja. Lalu diamkan selama 5 menit dan dicuci dengan air
yang mengalir pelan hingga zat warna merah terbuang.
4. Sediaan dikeringkan di udara terbuka, jangan terkena
sinar matahari langsung/di atas api (butuh waktu 15 – 30
menit) sebelum di fiksasi., gunakan pinset untuk
mengambil sediaan yang sudah kering pada sisi berlabel
dan sediaan menghadap keatas. Lalu fiksasi (
melewatkan sekitar 2 – 5 detik) sebanyak 3 kali.
5. Simpan dalam kotak sediaan, berdasarkan nonor urut
stiker/label. Bagi dahak yang akan dikultur , setelah
dahak diambil, maka pot dahak harus ditutup rapat
kembali.
c. Pembacaan Sediaan BTA
Alat : Mikroskop binokuler, minyak emersi, kertas tissue, eter
alkohol, kertas lensa dan baki..

34
Cara Pembacaan : 1. Letakkan sediaan diatas meja spesimen mikroskop
2. Cari lebih dahulu lapang pandang objektif 10X
3. Teteskan 1 tetes minyak emersi diatas hapusan dahak,
tidak boleh menyentuh kaca slide
4. Periksa dengan lensa okuler 10X dan 100X.
5. Lakukan pembacaan sediaan apus secara sistemis untuk
memastikan mewakili seluruh bagian sediaan
6. Pembacaan dimulai dari ujung kiri ke ujung kanan
7. Cari Basil Tahan Asam (BTA) yang berbentuk batang
warna merah.
8. Cara menggeser sediaan menurut arah
9. Pembacaan hasil pemeriksaan dahak dilakukan dengan
menggunakan skala IUATLD
10. Catat pemeriksaan mikroskopik pada kolom hasil
pemeriksaan BTA
11. Kaca sediaan yang telah diperiksa kemudian diletakkan
secara terbalik diatas diatas kertas tissue beberapa lapis
dan disusun di sebuah baki, diamkan selama 1 malam
12. Bersihkan lensa mikroskop dengan kapas yang telah
dibasahi dengan eter alkohol
13. Simpan slide tersebut kedalam box slide selesai dibaca.
Tabel 2. Pembacaan dan Pelaporan Hasil BTA Mikroskopis Skala IUATLD
Apa yang terlihat Apa yang dilaporkan
Tidak ditemukan BTA minimal BTA negatif
1 – 9 BTA dalam 100 lapang pandang Tuliskan jumlah BTA yang
ditemukan / 100 lapang pandang
10 – 99 BTA dalam 100 lapang pandang 1+
1 – 10 BTA dalam 1 lapang pandang , 2+
periksa minimal 50 lapang pandang
Lebih dari 10 BTA dalam 1 lapang 3+
pandang , periksa minimal 20 lapang
pandang

35
8. Pemeriksaan Kultur (dilakukan oleh BBLK Jakarta)
a. Pembuatan media Lowenstein-Jensen
Alat : Timbangan analitik, spatula, gelas ukur, gelas beker, pipet
ukur 10 ml dan 25 ml steril, labu erlenmeyer 250 dan 100
ml, botol Mc cartney/serupa, elpiji/bunsen, power
pipet/pipetor, pH meter/kertas pH, autoklaf, inspisator,
blender stailess steel, magnetic stirrer bar steril, gelas ukur
100 ml, corong steril, kain kasa steril, gelas beker 1000 ml
steril, blender stainless steel dengan gelas steril dan sikat.
Bahan : Bahan dasar medium LJ dengan komposisi
- Potassium dihydrogen phospate 2,5 gr
- Magnesium sulfate heptahydrate 0,24 gr
- Tri-magnesium disitrate 14-hydrate 0,6 gr
- L-asparagin 2,6 gr
- Potato meal 30 gr
- Malachite green 2 %
- Aquadest 600 ml
- Glyserol 12 ml
- Telur homogen 1000 ml

Cara Kerja :
1. Homogenisasi telur
- Telur ayam segar (≤ 7 hari) dibersihkan dengan sikat lalu bilas dengan
air dan keringkan.
- telur direndam dengan etanol 70% selama 15 menit
- Tangan dibersihkan sebelum memegang telur (desinfektan)
- telur dipecahkan dan tampung dalam gelas beker steril
- telur diblender ± 2 detik sampai homogen ( jangan terbentuk
gelembung)
- telur disaring dengan corong steril yang telah diberi kasa steril
- dengan menggunakan gelas ukur steril hasil saringan diukur sampai
didapatkan 1 liter ( catatan disarankan untuk tidak menggunakan telur

36
yang didapat dari perternakan besar, lebih disarankan dari peternakan
kecil, homogenisasi telur disarankan dilakukan dalam biosafety
cabinet untuk mencegah kontaminan udara)
2. Pembuatan media LJ
a. garam-garam dilarutkan, L-Asparagine (dan potato meal) media LJ
dalam 600 ml aquadest, pH 6,8-7,0
b. Ditambah 12 ml glycerol dan kemudian 20 ml larutan malachite green
2%
c. Setelah tercampur sempurna, disterilkan dengan otoklaf selama 15
menit pada suhu 121oC
d. Didinginkan sampai suhu ± 50 oC.
e. Ditambahkan telur homogen 1 liter yang telah dipersiapkan secara
steril
f. perlahan-lahan dicampur dan dihindari terbentuknya gelembung.
g. Kemudian dituang dalam Mc Cartney steril 6 – 8 ml
h. ditutup secara rapat dan diletakkan dengan kemiringan 30 oC dalam
inspisator yang telah dipanaskan sampai suhu 85 oC dan koagulasi
selama 45 menit
i. Dikeluarkan dari inspisator dan didiamkan sampai suhu kamar
j. Bila kualitas media tidak baik (perubahan warna, berlubang-lubang
atau gelembung-gelembung pada permukaan) maka media tersebut
tidak dapat digunakan
k. Catatan:
i) Media LJ dapat memakai potato meal atau tidak.
ii) Jika membuat dari media komersial, ikuti petunjuk dari pabrik
iii) Untuk membuat larutan malachite green tersendiri. Lakukan
sebagai berikut:
- 2 gr malachite green kristal ditimbang dalam gelas kimia
- digerus sampai halus dan ditambah aquadest 100 ml, campur
- ditempatkan pada stirring hot plate sampai terlarut sempurna
- lalu disaring dengan kertas saring whatman no. 4.
- Disimpan dalam botol coklat

37
- Larutan tahan 1 bulan pada suhu kamar.
3. Pembuatan Larutan yang diperlukan:
a. Pembuatan larutan NaOH 4% (1 N)
- 40 gr pelet NaOH kering ditimbang dengan cepat
- dimasukan dalam air di beker dan dibiarkan dingin
- dipindahkan ke botol dan diautoclaf pada suhu 121 oC selama 15
menit
- Simpan di suhu ruang
b. Pembuatan 0,067 M PBS pH 6,8
- Na2HPO4 anhidrat 9,47 gr, dilarutkan dalam 1000 ml aquadest atau
Na2HPO4 12H2O sebanyak 23,68 gr dalam 1000 ml aquadest.
- KH2PO4 ditimbang sebanyak 9,07 gr dalam 1000 ml aquadest
- dicampur dalam botol bertutup ulir
- Ditambah asam atau basa agar pH mencapai 6,8
- Dimasukkan kedalam autoclave pada suhu 121 oC selama 15 menit
- Simpan di lemari es
- Catatan: PBS dibuat bentuk konsentrat 10x (larutan kerja dibuat
dengan jalan menambahkan 1 bagian volume PBS 10x dengan 9
bagian volume aquadest.
c. Pembuatan HCl 2 N
- Kedalam volubemetrik dimasukkan 167 ml aquadest
- ditambah 33 ml konsentrat HCl (12 N atau 36%) dengan pipetor
secara pelan-pelan dalam air (hindari percikan dan jangan
menambah air pada asam)
- Beaker akan menjadi panas lalu dibiarkan dingin
- dimasukkan kedalam Autoclaf pada suhu 121 oC selama 15 menit
simpan disuhu kamar
- Catatan: HCl adalah asam keras (jika tumpah segera siram dengan
air sebanyak mungkin)
d. Pembuatan Indikator phenol red 8 mg
- Dengan menggunakan magnetix stirrer bubuk phenol red 8 mg
dilarutkan dalam 20 ml 4% NaOH.

38
- Lalu dipindahkan dalam gelas ukur, dan ditambah aquadest sampai
1000 ml
- Simpan di suhu kamar.
e. Pengolahan dengan NaOH 4%
- Jika dahak lebih dari 10 ml, diambil 10 ml bagian purulen,
berdarah dan mukoid, dituang dalam tabung sentrifuse 50 ml.
- ditambahkan NaOH 4% sama banyak
- Dicampur dengan vortex mixer sampai homogen. Didiamkan
dalam suhu ruang masa kontak dahak dengan NaOH dibatasi 15
menit.
- ditambahkan larutan PBS 50 ml dengan pipet (jangan menuang
langsung PBS ke dalam tabung karena beresiko timbulnya cemaran
silang)
- tabung sentrifuge min 3000 g ditutup rapat selama 15-20 menit
- dibiarkan pada suhu ruang selama 15 menit untuk mengendapkan
aerosol
- supernatant dituang dalam wadah bersisi desinfektan. Diusap
dengan 95% etanol (jangan sampai masuk ke dalam tabung)
- Ditambahkan PBS 1 ml dalam sendimen dikocok agar homogen
- Untuk menguji pH diteteskan 1 tetes phenol red indikator dan
segera dinetralisasi dengan 2 N HCL tetes demi tetes. pH netral
akan terlihat dengan perubahan warna merah menjadi kuning.
- Sediaan siap diinokulasi, dibuat dua sediaan untuk diwarnai dengan
Z-N pada sisa inokulan
- Catatan: jika dalam evaluasi ternayata 4% NaOH terlampau kuat,
ganti dengan NaOH 2%.
2. Inokulasi bahan pada media :
a. Dipipet 100 mikron sedimen ke dalam media LJ dibuat duplo
b. botol ditutup, tetapi jangan terlalu rapat
c. disebarkan secara merata bahan pemeriksaan tersebut di atas
permukaan media dengan cara menggerak-gerakkan botol

39
d. botol-botol diletakkan pada rak dengan kemiringan 30® selama 24
jam pada Incubator dengan suhu 35 - 37°C
e. Setelah 24 jam» dikencangkan tutup botol dan diletakkan
botol pada rak tabung dengan posisi tegak dan
dilanjutkan inkubasi. Jika memakai inkubator C02,
dilihat keterangan sebelumnya
f. Diamati pertumbuhan M. tuberculosis setiap minggu,
Pengamatan dilakukan sampai S minggu. Hasil negatif dinyatakan
Jika tak ada pertumbuhan setelah 8 minggu. Untuk spesimen yang
berasal dari kasus yang telah mendapat OAT atau paudbecilier,
dianjurkan diinkubasi sampai 12 minggu Tanda khas koloni M,
tuberkulosis adalah :
- kemudian Akan tampak pertumbuhan dalam waktu 3-4 minggu
- Koloni bewarna putih kekuning-kuningan (buiT cotoured),
permukaan kering dan rapuh dengan tepi yang tidak beraturan
(seperti bunga kol)
- Konfirmasi dengan membuat sediaan dari koloni dengan
pewarnaan Ziehl- Neelsen. M. tuberculosis akan memberikan
gambaran BTA yang bergerombol berbeniuk khas (seperti cord,
typical cord). Bila hasil BTA negatif, tidak dilanjutkan dengan
subkultur
g. Pengamatan pertumbuhan koloni dilakukan setiap minggu
h. dicatat hasil pengamatan setiap minggu pada buku catatan kultur
6. Subkultur Isolat M. tuberculosis
Subkultur diperlukan untuk memurnikan koloni dan meremajakan kuman
sebelum dilakukan uji kepekaan terhadap OAT, uji identifikasi dan jika
akan disimpan pada -70°C
Alat dan bahan yang diperlukan :
1. Media LJ atau Ogawa
2.Tabung reaksi dengan tutup ulir
3. Glass beads, diameter 1.5-3 mm
4.Vortex mixer

40
5.Aquades steril
6. Micropipette 100 mikron
7. Tip mikropipet
Cara kerja:
1. dipilih botol dengan pertumbuhan koloni yang paling baik untuk
dilakukan subkultur. Minimal satu untuk tes niaclrt, satu untuk uji PNB,
satu untuk uji kataiase, satu untuk uji nitrat, satu untuk disimpan pada -70
eC dan satu untuk uji kepekaan.
2. koloni diambil sebanyak 1 (satu) sengkelit penuh
3. lalu dimasukkan dalam tabung reaksi yang telah diisi dengan 1 ml
aquadest steril
4. tabung reaksi ditutup kembali
5. dicampur dengan menggunakan vortex mixer selama ± 1 menit
6. didiamkan minimal selama 15 menit
7. diambil supernatan sebanyak 100 pi dengan mikropipet
8. diinokulasi dalam botol Mc Cartney yang telah berisi media U
9. disebar secara merata bahan pemeriksaan tersebut di atas permukaan
media dengan cara menggerak-gerakkan botol
10. butir 7 - 9 dilakukan untuk botol lainnya
11. botol-botol pada rak diletakkan dengan kemiringan 30° selama 24 Jam
pada Incubator dengan suhu 35 - 37°C
12. Setelah 24 jam, tutup botol dikencangkan dan letakkan botol pada rak
tabung dengan posisi tegak dan lanjutkan Inkubasi
13. diamati pertumbuhan tiap minggu
Tabel 3. Pembacaan Hasil Kultur
PEMBACAAN PENCATATAN
> 500 koloni 4+
200 - 600 kolohi 3+
100 - 200 koloni 2+
20-100 koloni 1*
1 - 1 9 koloni Jumlah koloni
Tidak ada pertumbuhan Negatif

41
Keterangan:
- Bila terdapat kontaminasi pada kultur dilaporkan segera dan ulangi
pembuatan kultur
- Bila kultur POSITIF dan pertumbuhan dinilai sebagai M.tb,
laporkan segera pada pihak yang berkepentingan
- Pada minggu ke 4 dapat dibuat laporan sementara
- Pada minggu ke 8 dibuat laporan akhir (final)
M. tuberculosis mempunyai sifat:
- Tidak terjadi pembahan warna koloni setelah terpapar cahaya
- Uji akumulasi niasin positif
- Uji reduksi nitrat positif
- Uji katalase tahan panas 68°C negatif'
- Uji PNB negatif
Jika kondisi laboratorium masih tidak memadai, identifikasi M. tubercuiosis
minimal didasarkan pada hasil pewarnaan, kecepatan tumbuh morfologi koloni,
uji PNB dan salah satu uji dari uji niasin, reduksi nitrat, katalasa tahan panas.
ldentifikasi M. tuberculosis
Identifikasi M.tuberculosis harus dikerjakan pada isolat subkultur yang
berumur 2-3 minggu, jangan memakai kultur awal. Bila koloni
terkontaminasi, lakukan dekontaminasi dan sub kultur ulang. Tidak
satupun uji tunggal yang dapat dengan pasti membedakan M. tuberculosis
dengan mycobacteria lainnya. Oleh karena itu, selain pengamatan
morfologi koloni dibutuhkan satu atau lebih uji identifikasi lain. Beberapa
uji yang dianjurkan adalah sebagai berikut:
1. Uji Niasin
Semua mycobacteria menghasilkan asam nikotinat waktu tumbuh.
Kebanyakan galur M. tuberculosis dan beberapa galur M. slmlae dan M.
ohelonae tidak mampu memetabolisme asam nikotinat tersebut Asam
nikotinat terakumulasi dalam media. Jumlah asam nikotinat yang
dibentuk terbanyak pada media LJ dan bukan media lain. Karena Itu uji
niasin memerlukan isolat yang koloninya penuh pada media U. Aerasi

42
saat kultur sangat penting dalam metabolisme niasin, karena itu tutup
tabung kultur harus sedikit longgar selama proses inkubasi
2. Uji Niasin dengan Paper Strip
a. koloni dalam botol LJ ditambah aquadest ± 2 ml
b. botol dimiringkan hingga koloni terendam
c. diautoclave pada suhu 1210C selama 1 jam
d. diambil 1 ml ekstrak, dimasukkan dalam tabung reaksi
e. dimasukkan paper strip (tersedia kit komersial) dan tunggu 15-20
menit pada suhu kamar.
Pembacaan
Positif: warna kuning
Negatif: tidak berwarna
3. Uji Paranitro-Benzoic Acid (PNB)
Alat dan bahan:
1. Media LJ yang mengandung PNB (cara pembuatan media
mengandung PNB dapat dilihat pada cara pembuatan media dengan
obat)
2. Inkubator
3. Rak tabung
Cara kerja:
1. diambil 100 ul suspensi 1 mg/ml stok dan diinokulasi pada media
LJ yang mengandung PNB dan satu tabung tanpa PNB
2. botol ditutup, tetapi jangan terlalu rapat
3. Disebar secara merata bahan pemeriksaan tersebut di atas
permukaan media dengan cara menggerak-gerakkan botol
4. botol-botol diletakkan pada rak dengan kemiringan 30° selama 24
jam pada incubator dengan suhu 35 - 37°C
5. Setelah 24 jam, tutup botol dikencangkan dan letakkan botol pada
rak tabung dengan posisi tegak dan lanjutkan Inkubasi
6. Dilakukan pengamatan pertumbuhan M. tuberculosis setiap
minggu, pengamatan dilakukan sampai 8 minggu

43
7. Jika sesudah minggu ke 4 tidak terlihat adanya koloni, dilanjutkan
inkubasi sampai minggu ke 8 sebelum hasilnya dinyatakan tidak
ada pertumbuhan
8. dicatat hasil pengamatan setiap minggu pada buku catatan kuitur
9. Pertumbuhan M. tuberculosis akan dihambat oleh PNB
Tabel 4. Pertumbuhan Mycobacterium tuberculosis
Organisme Hari Pigmen Morfologi koloni pada LJ
Tumbuh Terang Gelap
Complex. 10-21 Buff Buff Tips, Transparan,
Avium mplex sampai sampai permukaan halus; kadang-
kuning kuning kadang seperti kubah;
beberapa diantaranya
permukaannya kasar dan
berkeriput; tepi meninggi
Bovis 25-90 Tak Tak Permukaan kasar; kering,
Berwarna Berwarna rapuh; bertumpuk ditengah
sampai sampai dengan tepi tipis berjejas;
buff buff kadang-kadang menyebar
Chelonae 3-7 Buff Buff Membulat, permukaan
halus, seperti anyaman,
tepi rata atau bergerigi,
beberapa kasar dan keriput
Forfuifum 3-7 Buff Buff Permukaan halus, seperti
kubah; kadang-kadang
kasar dengan filament
bercabang pada tepinya
Gastrii 10-21 Tak Tak Membulat, permukaan
berwarna berwarna halus, konveks, mengkilat
sampai sampai
buff buff
Gordonae 10-25 Kuning Kuning Membulat, permukaan
sampai sampai halus, konveks, kuning
oranye oranye sampai oranye, mengkilat
M.Konsasi 10-21 Kuning Buff Permukaan halus
meninggi; beberapa kasar
dan keriput
M. Marinum 5-14 Kuning Buff Membulat, permukaan
halus; beberapa keriput
M.dcr 10-14 Kuning Kuning Membulat, permukaan
pulaceum halus, kuning, lembab
M. simiae 7-14 Kuning Buff Permukaan halus, seperti
kubah
Szulgai 14-28 Kuning Kuning Permukaan halus sampai
sampai pada kasae, tepi tak beraturan
oranye 37oC

44
M. Terrae 10-21 Buff Buff Membulat, halus sampai
kasar, mengkilap, beberapa
tak berwarna
Tuberculosis 12-28 Buff Buff Kasar, kering, rapuh,
tengah bertumpuk dengan
tepi berjejas tipis; kadang-
kadang tipis dan menyebar
M. Xenopi 28-42 Kuning Kuning Kecil, seperti kubah,
kuning, halus dan kasar

9. Uji Sensitifitas OAT (dilakukan oleh BBLK Jakarta)


Bahan : NaOH 4 %, NaCL, PNB, INH, Rifampisin, Ethambutol, dan
Pyrazinamid
Cara Kerja Resistensi :
Untuk mendapatkan konsentrasi INH (0.1, 1.0, 5.0) dilakukan prosedur
berikut :
1. 1 mg INH dilarutkan dalam 10 ml aquadest steril sehingga didapatkan
konsentrasi INH 100 ug/ml (larutan A).
2. INH 0.1 ug : 0.1 ml larutan A (konsentrasi 100 ug/ml) + 100 ml medium.
3. INH 1 ug 1 ml larutan A ditambah dengan 100 ml medium.
4. INH 5 ug 5 ml larutan A ditambah dengan 100 ml medium.
Untuk mendapatkan konsentrasi Rifampisin (2.0, 10.0, 50.0 ug) dilakukan
prosedur berikut :
1. 10 mg Rifampisin dilarutkan dalam 10 ml Aquadest steril, sehingga
didapatkan konsentrasi Rifampicin 1000 ug/ml (larutan B).
2. Rif 2.0 ug: 0.2 ml larutan B ditambah dengan 100 ml medium.
3. Rif 10 ug: 1 ml larutan B ditambah dengan 100 ml medium.
4. Rif 50 ug: 5 ml larutan B ditambah dengan 100 ml medium.
Untuk mendapatkan konsentrasi Ethambutol (1.0, 5.0, 10.0 ug/ml) dilakukan
prosedur berikut :
1. 10 mg Ethambutol dilarutkan dalam 10 ml Aquadest steril, sehingga
didapatkan konsentrasi Ethambutol 1000 ug/ml (larutan C).
2. Eth 1.0 ug: 0.2 ml larutan C ditambah dengan 100 ml medium.
3. Eth 5.0 ug: 0.5 ml larutan C ditambah dengan 100 ml medium.
4. Eth 10 ug: 1 ml larutan C ditambah dengan 100 ml medium.

45
Untuk mendapatkan konsentrasi Pyrazinamid (30, 150, 750 ug/ml) dilakukan
prosedur berikut :
1. 100 mg Pyrazinamid dilarutkan dalam 10 ml Aquadest steril, sehingga
didapatkan konsentrasi Ethambutol 10.000 ug/ml (larutan D).
2. P 30 ug: 0.3 ml larutan D ditambah dengan 100 ml medium.
3. P 150 ug: 1.5 ml larutan D ditambah dengan 100 ml medium.
4. P 750 ug: 7.5 ml larutan D ditambah dengan 100 ml medium.
Cara buat suspensi kuman
Suspensi kuman di buat dengan prosedur berikut :
1. 1 ose koloni kuman dari medium Ogawa 3% diambil dan dimasukkan ke
dalam NaCl fisiologis, diaduk hingga homogen, hingga dicapai kekeruhan
dengan standart Mc Farland I (larutan A).
2. Pengenceran 1/1000 dilakukan dengan cara 0.01 ml larutan A dimasukkan ke
dalam 10 ml NaCl fisiologis, sehingga didapatkan kuman dengan
konsentrasi pengenceran 1/1000 (larutan B), larutan ini akan digunakan
sebagai kontrol.
3. Untuk larutan obat, digunakan suspensi kuman dengan pengenceran 1/100, di
lakukan dengan cara 0.1 ml larutan A dan dimasukkan ke dalam 10 ml NaCl
fisiologis (larutan C).
4. Pada medium kontrol,di masukkan 2 tetes suspensi kuman dengan
konsentrasi 1/1000 (larutan B) dan pada medium obat dimasukkan 2 tetes
suspensi kuman dengan konsentrasi 1/100 (larutan C).
5. Pertumbuhan kuman dilihat 3-4 minggu.
6. Tingkat resistensi dihitung berdasarkan perbandingan antara jumlah koloni
yang tumbuh pada medium kontrol dengan medium tanpa obat (metoda
proporsional).

Pengamatan dan pembacaan (pasca analitik)


Pada umumnya tanda pertumbuhan yang khas dari M. tuberculosis akan tampak
dalam waktu 3-4 minggu. Koloninya berwarna kuning muda, permukaan kering
dan rapuh, dengan sudut yang tidak rata. Pertumbuhan ini disebut eugenic.
Penegasan/kepastian tentang M. tuberculosis harus dilakukan dengan tes
identifikasi dengan media PNB.

46
1. Kultur diamati pada hari ke-7 untuk golongan yang tumbuhnya cepat dan
pada minggu ke-4 untuk golongan yang tumbuh lambat.
2. Koloni yang tanpak pada media diperiksa dengan dibuat preparat dan
diwarnai dengan Ziehl Neelsen untuk memastikan BTA.
3. Jika sudah minggu ke-4 tidak terlihat adanya koloni dilanjutkan inkubasi
selama 8 minggu sebelum hasilnya dinyatakan negatif.
Pencatatan dan pelaporan hasil (interprestasi)
Pelaporan dilakukan bukan hanya jumlah koloni yang tumbuh, tetapi juga
bentuk tumbuhnya. Menurut (Aditama & Luthni ,2002) pelaporan hasil biakan
menurut WHO, Technic Guide 67 adalah :

1. (-) tidak ada pertumbuhan


2. (1+): 1 – 200 koloni
3. (2+): ½ dari media tertutup oleh 200 – 500 koloni
4. (3+) ¾ dari media tertutup oleh hampir seluruh koloni, 500 – 2000 koloni
5. (4+) media tertutup seluruhnya oleh koloni, lebih dari 2000 koloni

1. Prosedur pengambilan darah


a. Pengambilan darah akan dilakukan oleh petugas Loka Litbang Biomedis
Aceh/laboratorium Prodia.
b. Darah yang akan diambil sebanyak 7 cc (pemeriksaan imunologis sebanyak 4
cc, pemeriksaan HbA1c sebanyak 3 cc)
c. Torniquet, spuit 5 cc, dan tabung reaksi disiapkan.
d. Lakukan pendekatan responden dengan tenang, usahakan pasien senyaman
mungkin.
e. Jelaskan maksud dan tujuan tentang tindakan yang akan dilakukan
f. Pasien di minta meluruskan lengannya, pilih tangan yang tidak banyak
melakukan aktivitas.
g. Pasien diminta untuk mengepalkan tangannya.
h. Torniquet di pasangkan kira-kira 10 cm diatas lipatan siku.

47
i. Pilih bagian vena mediana cubiti atau cephalica. Lakukan perabaan (palpasi)
untuk memastikan posisi vena. Vena teraba seperti sebuah pipa kecil, elastis
dan memiliki dinding tebal.
j. Jika vena tidak teraba maka lakukan pengurutan dari arah pergelangan ke
siku, atau kompres hangat selama 5 menit pada daerah lengan.
k. Kulit dibersihkan pada bagian yang akan diambil dengan kapas alkohol 70%
dan biarkan kering, dengan catatan kulit yang sudah dibersihkan jangan
diraba lagi.
l. Vena di tusuk dengan posisi lubang jarum menghadap ke atas. Jika jarum
telah masuk ke dalam vena, akan terlihat darah masuk kedalam semprit
(flash). Usahakan sekali tusuk vena, lalu torniquet dilepas.
m. Setelah volume darah dianggap cukup, pasien diminta membuka kepalan
tangannya.
n. Kapas di letakkan di tempat suntikan lalu segera lepaskan / tarik jarum. Tekan
kapas beberapa saat lalu plester selama ± 15 menit.
o. Sampel darah dimasukkan dalam tabung reaksi

2. Pemeriksaan HbA1c( dilakukan oleh Laboratorium Prodia Banda Aceh)


Alat : HPLC
Sampel: darah vena dengan anti koagulan (EDTA, heparin , oksalat)
Reagen berupa diluent solution
Cara kerja:
a. diluent solution 1,5 ml dimasukkan ke dalam tabung sampel
b. EDTA ditambahkan pada tabung yang berisi darah
c. Homogenisasi
d. Sampel diletakkan pada rak analisis
e. Sampel dimasukkkan ke dalam alat HPLC
f. Hasil akan muncul dalam bentuk gelombang kurva, dan gelombang HbA1C
berwarna hitam dan nilai dalam persentase (%) dan mmol/mol.
8.8.4 Pemeriksaan TNF-α dan IFN-γ (Dilakukan di Laboratorium Loka Litbang
Biomedis Aceh)

48
Pemeriksaan TNF-α menggunakan ELISA. Pemeriksaan IFN-γ menggunakan
IGRA
Pemeriksaan TNF-α
Alat : ELISA reader dan ELISA Washer merk Thermoscientific
Bahan : Kit ELISA
Cara Kerja :
a. Reagen, sampel dan standart disiapkan
b. 100 µL standart ditambahkan ke semua well inkubasi 2 jam di suhu 37°C
c. Homogenkan dan 100 uL reagen A Detection ditambahkan, diinkubasi selama
1 jam pada suhu 37°C
d. Homogenkan dan dicuci sebanyak 3 kali
e. 100 µL l reagen B Detection ditambahkan, diinkubasi selama 30 menit pada
suhu 37°C
f. Homogenkan dan dicuci sebanyak 5 kali
g. Substrat solution ditambahkan sebanyak 90 µL, diinkubasi selama 15-25 menit
pada suhu 37°C
h. 50 µL stop solution ditambahkan dan baca pada panjang gelombang 450 nm

Pemeriksaan IGRA
QuantiFERON-TB dibagi kedalam dua tahap besar, pertama diinkubasi darah dan
pemisahan plasma, lalu kedua pemeriksaan IFN-γ dengan metode ELISA.
a. Tes ini menggunakan tabung khusus untuk mengumpulkan darah. Ada tiga
tabung yang digunakan yaitu Nil Control (tutup abu) sebagai kontrol negatif, TB
Antigen (tutup merah) sebagai tabung tes, dan Mitogen Control (tutup ungu)
sebagai kontrol positif (opsional). Kontrol positif digunakan untuk memastikan
kondisi imun tubuh pasien, dan memastikan penanganan sampel serta inkubasi
dilakukan dengan benar
b. Darah vena diambil lalu di shaker dan diinkubasi selama 16 sampai 24 jam pada

suhu 37oC.
c. Darah di sentrifuge, lalu plasma dipisahkan kedalam tabung plasma.

d. Lakukan pemeriksaan jumlah produksi IFN-γ dalam responnya terhadap peptida

antigen menggunakan metode ELISA. IFN-γ dinyatakan dalam satuan IU/mL

49
e. Hasil tes dikatakan positif jika respon IFN-γ terhadap tabung TB Antigen secara

signifikan nilainya diatas tabung Nil Control.


f. Nilai rendah pada tabung Mitogen Control (<0,5 IU/mL) menunjukkan hasil

indeterminate (tak tentu) ketika respon yang sama juga terjadi pada tabung TB
Antigen.
g. Pola seperti ini dapat terjadi karena jumlah limfosit tidak cukup, pengurangan

aktivitas limfosit karena penanganan spesimen yang tidak tepat, tidak benar
ketika memasukan darah / pengocokan tabung mitogen, atau ketidakmampuan
sel limfosit pasien untuk menghasilkan IFN-γ.
10. Penyimpanan BBT untuk penelitian lebih lanjut
Penyimpanan BBT berupa darah/pbmc dan hasil kultur TB positif dilakukan di
BBLK Jakarta dan laboratorium Loka Litbang Biomedis Aceh.

Cara Kerja PBMC’s (Peripheral Blood Mononuclear cells) menggunakan Ficoll


Histopaque
Bahan dan Reagen:
1. Darah segar yang dikoleksi dengan menggunakan botol heparin
2. Reagen Ficoll histopaque (Sigma-aldrich no. Katalog 10771; MP
Biomedical nomor katalog 091692254)
3. PBS steril
4. Pencillin-streptomycin solution (Sigma-aldrich no. Katalog P-4333)
5. Botol heparin
6. Dulbecco’s modified eagle medium ditambah dengan 1 % pencillin-
streptomycin solution
Peralatan:
1. Sentrifuge
2. Tube sentrifuge 15 ml
3. Mikropipet dan tips 1 ml
Prosedur Kerja
1. Koleksi darah vena sebanyak 4 ml didalam tabung heparin dan tabung
dinolak balik dengan lembut
2. Masukkan 4 ml ficoll histopaque kedalam tabung sentrifus 15 ml

50
3. Masukkan darah kedalam tabung 15 ml yang sudah berisi ficol tadi,
dengan menggunakan pipet 1 ml secara perlahan, sehingga terbentuk 2
lapisan ficol dan darah.
4. Sentrifuge selama 30 menit (tanpa jeda) pada 100 x g di suhu 4 0C
5. Ambil lapisan buffy coat secara hati hati menggunakan mikropipet 1 ml
6. Pengambilan lapisan harus dilakukan segera tanpa jeda (max. 10 menit)
7. Cuci (centrifuge dalam 100 x g selama 10 menit) dua kali dengan 10 ml
PBS steril atau media elang dimodifikasi Dulbecco steril. Perkiraan hasil
sel dari 4 ml darah bervariasi antara 107-108.
Catatan Penting:
1. Gunakan darah heparinised yang baru dikumpulkan. Jika plasma perlu
digunakan untuk tujuan lain, pindahkan plasma dan tambahkan volume
yang sama dengan media Dulbecco’s modified eagle sebelum proses
selanjutnya
2. Rasio antara Ficoll Histopaque dan darah harus 1: 1 untuk darah
manusia. Rasionya bisa berbeda untuk pemurnian PBMC spesies lain.
3. Ficoll Histopaque disimpan pada suhu 4 ° C. Sebelum penggunaan
tabung harus didiamkan pada suhu kamar selama 1-2 jam

4. Gunakan darah heparinised yang baru dikumpulkan. Jika plasma perlu


digunakan untuk tujuan lain, pindahkan plasma dan tambahkan volume yang
sama dengan media Dulbecco’s modified eagle sebelum proses selanjutnya
5. Rasio antara Ficoll Histopaque dan darah harus 1:1 untuk darah manusia.
Rasionya bisa berbeda untuk pemurnian PBMC spesies lain.
6. Ficoll Histopaque disimpan pada suhu 4 ° C. Sebelum penggunaan tabung harus
didiamkan pada suhu kamar selama 1-2 jam
Penghitungan Sel
Bahan dan Reagen
1. Trypan Blue
2. Aqua steril
3. Haemocytometer set
4. Tips 0,1 ml

51
5. Eppendorf tube 5 ml
Peralatan
1. Mikroskop
2. Mikropipet
Prosedur Kerja
1. Haemocytometer dan cover glass dicuci bersih menggunakan aqua steril dan
dikeringkan
2. Trypan blue sebanyak 80 µl dimasukkan kedalam tabung eppendorf 5 ml
3. Diambil 20 µl PBMC yang telah disentrifugasi kedalam eppendorf 5 ml yang
berisi trypan blue
4. Lakukan penghitungan sel menggunakan haemocytometer
5. Hitung jumlah sel menggunakan rumus :
Jumlah sel TOTAL = jumlah sel terhitung x 5 x 5 x 10.000
6. Jumlah sel yang diharapkan adalah 30 juta sel ( 2,7x10 7), jika sel yang diperoleh
kurang dari jumlah tersebut, maka tube penyimpanan krioreservasi disesuiakan
jumlahnya sehingga memenuhi 30 juta sel.
Penyimpanan Sampel PBMC/Cryoreservasi
Bahan dan Reagen
1. FBS ( fetal bovine serum)
2. DMSO (dimethyl sulphoxide)
3. Nitrogen cair
4. Cryotube
5. Isopropanol
Peralatan
1. Tabung falcon 50 ml
2. Pipet ukur dan rubber bulb
3. Mr. Frosty
4. Frezer -80oC
5. Sentrifuge
Prosedur
1. FBS dan 10% DMSO (jika membuat freezing medium sebanyak 5 ml, maka : 4,5
ml FBS ditambahkan dengan 0,5 ml DMSO).

52
2. Tabung falcon berisi PBMC di letakkan dalam wadah es, kemudian
ditambahkan kedalam falcon tersebut freezing medium dengan rasio 1 ml
freezing medium : 10 juta sel/ml.
3. Campuran dipindahkan didalam cryotube dan diletakkan didalam mr. Frosty
yang telah diisi isopropanol, kemudian disimpan didalam frezer -80oC selama
1x24 jam
4. Pemindahan cryotube ke cryotank dilakukan dengan hati-hati dan menggunakan
topeng/mask tertutup serta sarung tangan khusus untuk pemindahan sampel ke
cryotank.
Pengecekan rutin pada cryotank harus sering dilakukan samapai waktu
pemakaian sampel kembali.

I. Analisis Data
Data yang dihasilkan akan disajkan secara deskriptif meliputi karakteristik
penderita TB paru dan hasil pemeriksaan.
1. Distribusi frekuensi karakteristik penderita TB paru
2. Distribusi frekuensi status gizi penderita TB paru
3. Distribusi frekuensi penyakit penyerta penderita TB paru
4. Distribusi frekuensi pengetahuan, sikap, dan perilaku penderita TB paru
5. Distribusi frekuensi lingkungan fisik penderita TB paru
6. Distribusi frekuensi diagnosis TB paru dengan pemeriksaan mikroskopis,
PCR, dan kultur
7. Distribusi frekuensi sensitivitas M.Tb terhadap OAT
8. Distribusi frekuensi penderita TB paru yang mengalami diabetes melitus
9. Distribusi frekuensi respon imun penderita TB paru dengan diabetes dan
tanpa diabetes
10. Distribusi frekuensi kesembuhan penderita TB paru
J. Persetujuan Etik
Penelitian ini mengikutsertakan manusia sebagai subyek penelitian sehingga
dibutuhkan pesetujuan etik dari Komisi Etik di Badan Litbangkes. Persetujuan etik
diperoleh dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan, Badan Litbangkes dengan nomor
LB.02.01/2/KE.162/2018.

53
BAB IV
HASIL

Penelitian gambaran penderita TB paru dilakukan di Kota Banda Aceh dan


Kabupaten Aceh Besar dengan menelusuri pasien TB dari PRM dan rumah sakit yang
telah menerapkan DOTS. Terkait dengan pengambilan sampel yang dimulai dari bulan
Juli sampai Desember 2018 maka setiap responden akan diikuti masa pengobatannya
dan kesembuhan terhadap penyakit TB paru. Target sampel adalah total populasi
sebanyak 508 penderita TB, namun yang berhasil di jaring dalam penelitian sebanyak
262 responden.
.
A. Karakteristik Responden Penderita TB Paru
Data karakteristik responden penderita TB paru di Kota Banda Aceh dan
Kabupaten Aceh Besar diperoleh dari hasil wawancara responden menggunakan
kuesioner. Wawancara dilakukan pada 262 responden yang terdapat di PRM dan rumah
sakit. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan karakteristik responden yang dapat dilihat
pada tabel 5.

Tabel 5. Karakteristik responden penderita TB paru di Kota Banda Aceh dan


Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh tahun 2018
No Variabel Kota Banda Aceh dan Kab. Ahceh
Besar
N %
1. Jenis kelamin
Laki-laki 178 67,9
Perempuan 84 32,1
Jumlah 262 100

2 Umur (tahun)
< =30 tahun 51 19,7
31-45 tahun 83 31,7
46-60 tahun 83 31,7
>=60 tahun 45 17,2
Jumlah 262 100

3 Pendidikan
Tidak pernah sekolah 14 5,3
Tidak tamat SD 29 11,1
Tamat SD 58 22,1
Tamat SLTP 46 17.6

54
No Variabel Kota Banda Aceh dan Kab. Ahceh
Besar
Tamat SLTA 90 34,4
Tamat D1/D2/D3 25 9,5
Jumlah 262 100
4 Pekerjaan
Tidak bekerja 82 31,3
Petani 35 13,4
Buruh 32 12,2
Pedagang 18 6,9
Swasta 47 17,9
Lainnya 48 18,3
Jumlah 262 100
5 Kategori pasien
Pasien baru 212 80.9
Pasien lama 50 19,1
 Pasien yang pernah berobat 6 bulan
(kambuh) (22=8,4%)
 Pasien yang putus berobat (28=10,7)
Jumlah 262 100

Berdasarkan tabel 5, dapat dilihat jumlah responden yang berhasil diwawancara


adalah 262 yang terdiri dari 178 laki-laki dan 84 perempuan dengan usia rata-rata 45
tahun. Responden terbanyak yang berpartisipasi dalam kegiatan ini merupakan lulusan
SLTA (34%) dan umumnya, responden bekerja sebagai buruh. Terdapat 212 pasien
baru dan 50 orang pasien lama pada tahun 2018. Berdasarkan adanya pasien baru, maka
dapat dipastikan bahwa masih terdapat sumber penularan/transmisi penyakit TB paru di
Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar.
Fasilitas kesehatan yang dimanfaatkan oleh penderita TB paru di Kota Banda
Aceh dan Kabupaten Aceh Besar adalah Puskesmas Ingin Jaya (18 penderita), BPKM
dan RS Meuraxa masing-masing 17 penderita, Puskesmas Meuraxa (16 penderita),
Puskesmas Darul Imrah (15 penderita), Puskesmas Baitussalam (14 penderita),
Puskesmas Kuta Baro (12 penderita), Puskesmas Kuta Alam (11 penderita), Puskesmas
Kuta Cot Glie (10 penderita). Selain itu, Puskesmas Suka Makmur dan Puskesmas
Darussalam masing-masing 9 penderita. Puskesmas Seulimum dan Krueng Barona Jaya
masing-masing merawat 8 penderita. Sedangkan Puskesmas Batoh, Puskesmas Aceh
Besar, Puskesmas Lhong, Puskesmas Lamteuba dan Puskesmas Lampisang masing-
masing merawat 7 penderita. Puskesmas Banda Raya, Puskesmas Ulee Kareng,
Puskesmas Indrapuri masing-masing merawat 5 penderita. Puskesmas Baiturrahman,

55
Puskesmas Lhoknga, Puskesmas Lembah Seulawah, Puskesmas Kuta Malaka masing
masing merawat 4 penderita. Puskesmas Jaya Baru, Puskesmas Leupung, Puskesmas Ie
Alang, Puskesmas Mesjid Raya, Puskesmas Blang Bintang masing-masing merawat 3
penderita. RS ZA, Puskesmas Jantho masing-masing merawat 2 penderita, Puskesmas
Lampaseh, dan Puskesmas Peukan Bada masing-masing merawat 1 penderita,

B. Status Gizi Penderita TB Paru


Umumnya status gizi responden yang ikut aktif dalam penelitian baik di Kota
Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar memiliki berat badan yang normal.
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan status gizi responden penderita TB paru
disajikan dalam tabel 6 dan rata-rata konsumsi zat gizi dapat dilihat dalam tabel 7.

Tabel 6. Status gizi (BMI /IMT)G responden penderita TB paru


di Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh tahun 2018
No Variabel Kota Banda Aceh dan Kab. Aceh Besar
N %
1. Body mask indeks
Sangat kurus 64 24,4
Kurus 41 15,6
Normal 129 49,2
Gemuk 17 6,5
Obesitas 9 3,4
Tidak ada hasil 2 0,8
Jumlah 262 100
2 Indeks massa tubuh
< 18,5 105 40,1
18,5 – 25 129 49,2
> 25 26 9,9
Tidak ada hasil 2 0,8
Jumlah 262 100

Berdasarkan tabel 6, sebanyak 129 (49,2%) penderita TB memiliki body mask


indeks normal antara 18,5-25. Penderita yang sangat kurus sebanyak 64 orang, kurus 41
orang, gemuk 17 orang, obesitas 9 orang. Terdapat 2 penderita yang tidak bias diukur
tinggi dan berat badan karena tidak dapat berdiri ataupun duduk. Jumlah responden
dengan BMI normal hampir mencapai 50% dari jumlah responden yang ikut
berpartisipasi. Sebanyak 105 responden memiliki indek masa tubuh kurang dari 18,5.

56
Tabel 7. Konsumsi zat gizi responden penderita TB paru
di Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh tahun 2018
Tahap dan konsumsi zat gizi Statistik
Minimum Maksimum Rata- Range Standar
rata Deviasi
Tahap 1 (n=108)
- Energi(kcal) 145,33 4.452,23 1.424,93 4306,90 841,33
- Karbohidrat(gram) 23,67 708,13 215,11 684,47 125,66
- Protein(gram) 3,50 195,60 56.10 192,10 36,40
- Lemak(gram) 1,37 162,00 40,59 160,63 33,03

Tahap 2 (n=131)
- Energi(kcal) 408,27 4.706,43 1.425,23 4.298,17 699,62
- Karbohidrat(gram) 53,93 798,53 224,37 744,60 125,22
- Protein(gram) 10,23 253,87 50,67 243,63 28,27
- Lemak(gram) 3,80 109,07 36,30 105,27 22,92
Tahap 3 (n=127)
- Energi(kcal) 205,29 3775,60 1.345,63 3.570,31 639,11
- Karbohidrat(gram) 27,05 704,20 212,66 677,15 112,82
- Protein(gram) 8,25 471,90 52,77 463,65 45,64
- Lemak(gram) 0,90 165,40 34,80 164,50 25,62

Berdasarkan tabel 7, dapat dilihat rata-rata konsumsi energi paling tinggi adalah
tahap 2 (1.425,23), sedangkan yang paling rendah pada tahap 3 (1.345,63). Rata-rata
konsumsi energi pasien TB tahap 1 dan 2 sama, namun pada tahap ketiga berkurang.
Konsumsi energi pasien TB tahap 1 berkisar antara 583 – 2.266 kkal, tahap 2 antara 725
– 2.124 kkal dan tahap 3 antara 706 – 1.984 kkal. Konsumsi zat gizi lain seperti
karbohidrat, protein, dan lemak mempunyai perbandingan yang tidak jauh berbeda
antara ketiga tahap pengobatan. Perbedaan konsumsi dapat dilihat pada nilai minimum
dan maksimum baik energi, karbohidrat, protein maupun lemak.

C. Penyakit Penyerta Pada Penderita TB


Data terkait penyakit penyerta pada responden penderita TB paru di Kota Banda
Aceh dan Kabupaten Aceh Besar diperoleh dari hasil wawancara responden
menggunakan kuesioner. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan data tentang penyakit
yang menyertai TB paru dapat dilihat pada tabel 8.

57
Tabel 8. Penyakit penyerta pada responden gambaran penderita TB paru
di Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh tahun 2018
No Variabel Kota Banda Aceh dan
Kabupaten Aceh Besar
N %
1. Penyakit Penyerta
Diabetes mellitus 74 28,2
Bukan Diabetes mellitus 188 71,7
Jumlah 262 100

Berdasarkan data dalam Tabel 8, diperoleh data penyakit penyerta pada


penderita TB paru adalah DM (28,2%). Sedangkan penyakit lain (bukan DM) yang
menyertai sebesar 71,7%, terdiri dari hipertensi, jantung, dispepsia/gastritis, rematik
dan lain-lain.
D. Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku (PSP) Penderita TB Paru
Pengetahuan, sikap dan perilaku responden penderita TB paru diperoleh dari
hasil wawancara terhadap responden menggunakan kuesioner. Berdasarkan hasil
penelitian didapatkan data tentang pengetahuan, sikap dan perilaku responden penderita
TB yang dapat dilihat pada tabel 9.

Tabel 9. Pengetahuan, sikap dan perilaku gambaran penderita TB paru


di Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh tahun 2018
Kategori Pengetahuan Sikap Perilaku
N % N % N %
Baik 54 20,6 101 38,5 228 87
Kurang 208 79,4 161 61,5 34 13
Total 262 100 162 100 262 100

Berdasarkan tabel 9, dapat dilihat bahwa pengetahuan responden tentang TB


paru didapatkan, 54 responden memiliki pengetahuan yang baik dan 208 memiliki
pengetahuan yang kurang baik terhadap TB. Sebanyak 101 (38,5%) responden memliki
sikap yang baik dan 161 (61,5%) responden memiliki sikap yang kurang baik terhadap
TB paru. Namun, 228 responden memiliki perilaku yang baik hanya 34 responden
memiliki perilaku yang kurang baik terhadap TB paru.
Meskipun tidak mencapai 50% jumlah responden memiliki pengetahuan dan
sikap yang baik tentang TB paru namun 87% responden berperilaku baik terhadap TB
paru. Kondisi ini menggambarkan responden/masyarakat akan menerima atau patuh
terhadap program pengendalian TB paru. Namun, karena ketidaktahuan maka banyak

58
responden yang sikapnya kurang baik terhadap penyakit TB paru. Oleh karena itu,
diperlukan tindakan atau penyuluhan dan pengawasan yang lebih dari pertugas
kesehatan, pengawas minum obat (PMO) atau pendamping lainnya.

E. Lingkungan Fisik Penderita TB Paru


Untuk mengetahui lingkungan fisik penderita TB diperoleh datanya melalui
hasil pengamatan. Berdasarkan hasil pengamatan maka diperoleh data terkait
lingkungan fisik penderita TB paru yang tersaji dalam tabel 10 dan tabel 11.

Tabel 10. Kondisi lingkungan fisik (kamar, dapur dan ruang keluarga gambaran
penderita TB paru di Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh
tahun 2018
Kategori Kepadatan Kondisi kamar Kondisi Kondisi ruang
Kamar tidur dapur keluarga
N % N % N % N %
Baik 106 40,5 217 82,8 215 82,1 222 84,7
Kurang 156 59,5 45 17,2 47 17,9 40 15,3
Total 262 100 162 100 262 100 262 100

Berdasarkan tabel 10, kondisi lingkungan fisik penderita TB paru yang dianalisis
meliputi kondisi kamar dan keadaan rumah. Berdasarkan data dalam Tabel 5 di bawah
ini, 40,5 % responden memiliki kondisi kepadatan kamar (hunian) yang baik, 82,8%
responden memiliki kondisi kamar tidur yang baik, 82,1% responden memiliki kondisi
dapur yang baik dan 84,7% responden memiliki kondisi ruang keluarga yang baik.
Tabel 11. Kondisi lingkungan (lantai, dinding, plavon, lingkungan sekitar, bahan
bakar masak) responden gambaran penderita TB paru di Kota Banda Aceh dan
Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh tahun 2018

No Variabel Kota Banda Aceh dan


Kabupaten Aceh Besar
N %
1. Jenis lantai
Keramik/Ubin/Marmer/Semen 221 84,4
Papan/Bambu/Rotan/Anyaman Bambu 40 15,3
Tanah 1 0,4
Jumlah 262 100
2 Jenis dinding (terluas)
Tembok 187 71,4
Kayu (papan/triplek) 74 28,2
Bambu 1 0,4
Seng 0 0

59
No Variabel Kota Banda Aceh dan
Kabupaten Aceh Besar
Jumlah 262 100
3 Jenis plavon
Beton 8 3,1
Gypsum 6 2,3
Asbes 11 4,2
Kayu/Triplek 147 56,1
Tidak ada 90 34,4
Jumlah 262 100
4 Keadaan lingkungan sekitar
Kumuh 22 8,4
Tidak 240 91,6
Jumlah 262 100
5 Penggunaan bahan bakar untuk masak
Kayu bakar 13 5
Arang 1 0,4
Minyak tanah 7 5,7
Gas 241 92
Listrik 0 0
Jumlah 262 100

Berdasarkan tabel 11, dapat dilihat responden yang rumahnya dengan lantai
keramik/ubin/marmer/semen mencapai 84,4 % yaitu 221 responden. Selebihnya yaitu
40 responden (15,3 %) lantai rumah terbuat dari papan/bamboo/rotan/anyaman bamboo
dan hanya 1 responden yang lantai rumahnya tanah. Sedangkan untuk kondisi dnding
rumah, 187 responden berdinding tembok, 74 responden berdinding kayu
(papan/triplek).
Untuk kondisi plavon rumah, 8 responden plavon rumah terbuat dari beton, 6
rsponden dengan plavon rumah terbuat dari gypsum, 11 responden plavon rumahnya
terbuat dari asbes, dan 147 responden yang plavon rumahnya terbuat dari kayu atau
triplek dan 90 responden tidak memiliki plavon rumah.
Untuk kondisi lingkungan dalam kategori kumuh atau tidak kumuh, hasil
analisis data menunjukkan hanya 22 responden tinggal di wilayah yang kumuh
sedangkan 240 responden menetap di wilayah yang tidak kumuh. Secara umum
responden yang terlibat dalam kegiatan ini, menggunakan gas sebagai bahan bakar
untuk memasak, hanya 13 responden yang memasak menggunakan kayu bakar, 1
responden menggunakan arang dan 7 responden menggunakan minyak tanah.

60
F. Keakuratan Diagnosis TB Paru Menggunakan Beberapa Metode Pemeriksaan
(Mikroskopis, PCR, dan Kultur).
Untuk mengetahui bagaimana keakuratan diagnosis TB paru digunakan
beberapa metode pemeriksaan seperti mikroskopis, PCR dan kultur. Sampel dalam
pemeriksaan ini adalah dahak responden penderita TB paru. Berdasarkan hasil
pemeriksaan diperoleh data terkait hasil pemeriksaan yang dapat dilihat pada tabel 12.
Tabel 12. Keakuratan diagnosis TB dengan pemeriksaan mikroskopis, PCR, dan
kultur gambaran penderita TB paru di Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh
Besar, Provinsi Aceh Tahun 2018
No Variabel Kota Banda Aceh dan
Kabupaten Aceh Besar
N %
1. Mikroskopis
Positif 43 16,4
Negatif 212 80,9
Tidak ada/tidak teridentifikasi 7 2,7
Jumlah 262 100
2 PCR (Gen 16S rRNA )
Positif 215 82,1
Negatif 42 16,0
Tidak teridentifikasi 5 1,9

Jumlah 262 100


2 PCR (Gen IS6110)
Positif 48 18,3
Negatif 209 79,8
Tidak teridentifikasi 5 1,9

Jumlah 262 100


3 Kultur
2+ (100-200 koloni) 5 1,9
1+ (20-100 koloni) 25 9,5
1-19 koloni 8 3,1
Negatif 219 83,6
Tidak teridentifikasi 5 1,9
Jumlah 262 100

Berdasarkan tabel 12, hasil analisis sampel dahak yang diperiksa secara
mikroskopis didapatkan 43 BTA positif, 212 BTA negatif dan 7 tidak teridentifikasi.
Untuk sampel dahak yang diperiksa dengan metode PCR dengan gen 16S rRNA
diperoleh banyak sampel yang positif 215 (82,1%), sedangkan dengan gen IS6110, sampel
yang positif nilainya lebih sedikit 48 (18,3%). Ada 5 sampel yang tidak dapat
diidentifikasi karena sampel terdiri dari air liur dan ada sampel yang sudah kering..

61
Hasil pemeriksaan kultur dahak dari 262 sampel, diperoleh paling banyak hasilnya
negatif (83,6%), sedangkan yang positif 1+ (20-100 koloni) yang terbentuk, yaitu 9,5%,
sedangkan lainnya diperoleh hasil 2+ (100-200 koloni) 1,9%, 1-19 koloni yaitu 3,1 %,
dan 5 sampel tidak dapat didentifikasi karena sampel terdiri dari air liur dan ada sampel
yang sudah kering sehingga tidak di kultur.

G. Sensitivitas Mycobacterium tuberculosis Terhadap Obat Anti Tuberkulosis


(OAT)
Untuk mengetahui sensitivitas kuman M. Tb terhadap OAT maka dilakukan uji
sentivitas terhadap OAT sehingga dapat dilihat OAT apa saja yang masih sensitif dan
resisten terhadap kuman M. Tb. Berdasarkan hasil pengujian diperoleh sensitivitas
kuman M. Tb terhadap OAT yang disajikan dalam tabel 13.

Tabel 13. Sensitivitas Mycobacterium tuberculosis terhadap Obat Anti


Tuberkulosis (OAT) pada penderita TB paru di Kota Banda Aceh dan Kabupaten
Aceh Besar, Provinsi Aceh Tahun 2018
No Variabel Kota Banda Aceh dan
Kabupaten Aceh Besar
N %
1. Sensitivitas OAT
Susceptible 16 42,1
Monoresisten 18 47,3
Poliresisten 4 10,5
MDR 0 0
XDR 0 0
Jumlah 38 100
2. Susceptible dan Resistensi OAT
Susceptible 16 42,1
Monoresisten
Streptomisin 4 10,5
Isoniazid (INH) 10 26,3
Rifampisin 1 2,6
Etambutol 3 7,9
Poliresisten
Steptomisin dan Isoniazid (INH) 4 10,5
Jumlah 38 100

Berdasarkan tabel 13, sebanyak 38 sampel dahak yang positif dari hasil kultur
kemudian diuji lagi untuk mengetahui sensitivitas M. Tb terhadap OAT. Dari 38 sampel
dinilai kepekaan terhadap OAT, yaitu streptomisin, isoniazid (INH), rifampisin dan
etambutol. Monoresisten OAT paling tinggi diantara resisten OAT yaitu sampai 47,3%
dan isoniazid (INH) adalah yang paling tinggi resistennya dibanding OAT lainnya

62
(26,3%). Sebanyak 42,1% masih susceptible terhadap OAT dan 10,5% dengan kondisi
poliresisten terhadap dua OAT yaitu streptomisin dan isoniazid (INH).

H. Proporsi Penderita TB Paru Yang Mengalami Diabetes Mellitus


Untuk mendapatkan proporsi penderita TB paru yang mengalami diabetes mellitus
maka dilakukan pemeriksaan HbA1C pada sampel darah. Prevalensi penderita TB paru
yang mengalami diabetes mellitus dapat dilihat dalam tabel 14.

Tabel 14. Proporsi penderita TB paru yang mengalami diabetes mellitus


di Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar Provinsi Aceh, 2018
No Variabel Kota Banda Aceh dan Kab. Aceh Besar
N %
1 Pemeriksaan Darah
(HbA1C)
Diabetes 74 28,2
Tidak diabetes 174 66,4
Tidak teridentifikasi 14 5,3
Jumlah 262 100
Rata-rata kadar HbA1C = 7,011

Berdasarkan tabel 14, diperoleh hasil bahwa populasi penderita TB yang


mengalami DM sebanyak 28,2%. Sisanya menunjukkan kondisi tidak DM dan terdapat
14 sampel sampel darah yang tidak memenuhi syarat untuk diperiksa HbA1C.

I. Respon Imun Penderita TB-DM dan TB Tanpa DM.


Untuk menilai respon imun penderita tuberkulosis dengan diabetes mellitus dan
penderita tuberkulosis tanpa diabetes mellitus maka dilakukan pemeriksaan IGRA
(Interferon Gamma Release Assay) atau IFN-γ dan TNF-α. Hasil respon imun
responden untuk pemeriksaan IFN-γ dapat dilihat dalam gambar 1, 2, 3, dan 4 dibawah
ini.

63
Gambar 1. Rata-rata konsentrasi IFN-γ penderita TB-DM (TB 1) pada
gambaran penderita TB paru di Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh
Besar, Provinsi Aceh tahun 2018 adalah 2,2863 IU/Ml

Konsentrasi IFN-ɣ Pasien TB-Non DM

Gambar 2. Rata-rata konsentrasi IFN-γ penderita TB- tanpa DM (TB 1) pada


gambaran penderita TB paru di Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar,
Provinsi Aceh tahun 2018 adalah 1,9035 IU/mL

64
Berdasarkan gambar 1 dan 2 hasil pemeriksaan kadar IFN-γ yang dilakukan
dengan teknik IGRA pada tabung TB 1 memperlihatkan konsentrasi IFN-γ lebih tinggi
pada kelompok TB DM dibandingkan dengan TB tanpa DM.

Konsentrasi IFN-ɣ Pasien TB-DM

Gambar 3. Rata-rata konsentrasi IFN-γ penderita TB-DM (TB 2) pada


gambaran penderita TB paru di Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh
Besar, Provinsi Aceh tahun 2018 adalah 2,7818 IU/mL

65
Gambar 4. Rata-rata konsentrasi IFN-γ penderita TB- tanpa DM (TB 2)
pada gambaran penderita TB paru di Kota Banda Aceh dan Kabupaten
Aceh Besar, Provinsi Aceh tahun 2018 adalah 2,4982 IU/mL

Berdasarkan gambar 3 dan 4 hasil pemeriksaan kadar IFN-γ yang dilakukan


denga n teknik IGRA pada tabung TB 2 memperlihatkan konsentrasi IFN-γ lebih
tinggi pada kelompok TB DM dibandingkan dengan TB tanpa DM.

Hasil respon imun responden untuk pemeriksaan TNF-α. dapat dilihat dalam
gambar 5 dan 6 dibawah ini.

66
Konsentrasi Protein TNF-α Pasien TB-DM

Gambar 5. Rata-rata konsentrasi TNF-α pada pasien TB DM pada


gambaran penderita TB paru di Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh
Besar, Provinsi Aceh tahun 2018 adalah 0,0872 pg/mL

Konsentrasi Protein TNF-α Pasien TB-Non DM

Gambar 6. Rata-rata konsentrasi TNF-α pada penderita TB tanpa DM


pada gambaran penderita TB paru di Kota Banda Aceh dan Kabupaten
Aceh Besar, Provinsi Aceh tahun 2018 adalah 0,1585 pg/mL

67
Berdasarkan gambar 5 dan 6 hasil pemeriksaan kadar TNF-α pada serum
penderita TB-DM dan TB –Non DM dilakukan dengan teknik sandwich ELISA di
peroleh hasil bahwa pada kelompok TB tanpa DM konsentrasi TNF alfa cenderung
lebih tinggi dibandingkan kelompok TB DM. Dengan kata lain pada serum penderita TB-
DM, konsentrasi protein TNF-α lebih rendah dibandingkan dengan penderita TB tanpa DM.

J. Tingkat Kesembuhan Penderita TB Paru Berdasarkan Pemeriksaan


Mikroskopis dan Kultur.
Tingkat kesembuhan pasien TB paru dinilai berdasarkan h. Persentase tingkat
kesembuhan dapat dilihat dalam tabel 15.

Tabel 15. Tingkat Kesembuhan Penderita TB Paru berdasarkan pemeriksaan


mikroskopis dan kultur di Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar, Provinsi
Aceh tahun 2018
No Variabel Kota Banda Aceh dan Kab. Aceh
Besar
N %
1. Pemeriksaan Mikroskopis Tahap 3 (akhir)
Positif 1 3,3
Negatif 29 96,6

Jumlah 30 100
2. Pemeriksaan Kultur Tahap 3 (akhir)
Positif 1 3,7
Negatif 26 96,3

Jumlah 27 100

Berdasarkan tabel 15, diperoleh hasil pemeriksaan mikroskopis dan kultur tahap
tiga (tahap akhir/bulan ke 6 pengobatan) memperlihatkan tingkat kesembuhan yang
besar dan signifikan berdasarkan banyaknya nilai pemeriksaan yang negatif.

68
BAB V
PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan di PRM dan rumah sakit yang telah menerapkan DOTS
di Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar dengan menelusuri pasien TB. Target
sampel yang seharusnya dicapai sebanyak 508 responden (total populasi/ tahun), namun
yang didapatkan hanya 262 responden. Hal ini disebabkan karena pada saat
pengumpulan data untuk pengambilan sampel dimulai dari bulan Juli sampai Desember
2018 (pengumpulan data sudah pertengahan tahun), sehingga jumlah yang terjaring juga
lebih sedikit dari target. Selain itu faktor kurangnya tenaga pengumpul data dan lokasi
yang jauh membuat tim kewalahan dalam mendapatkan data tersebut.

A. Karakteristik Responden Penderita TB Paru


TB paru masih menjadi masalah kesehatan di negara-negara berkembang
termasuk Indoensia. Sebanyak 262 responden ikut berpartisipasi dalam penelitian
gambaran penderita tuberkulosis (TB) paru di Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh
Besar pada tahun 2018. Sama halnya dengan hasil penelitian ini, pada beberapa kajian
sebelumnya jumlah penderita TB paru didominasi oleh laki-laki. Gambaran penderita
TB di wilayah kerja Puskesmas Darul Imarah Kabupaten Aceh Besar sebagian besar
responden yang terlibat adalah laki-laki pada usia produktif.4
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Saraswati DL (2014) bahwa prevalensi
diabetes mellitus dan TB Paru di Semarang Utara lebih dominan laki-laki yaitu 35 dari
60 responden.52 Demikian juga halnya di ruang rawat inap penyakit dalam RSUP Dr.
M. Djamil Padang, responden yang di rawat dan ikut serta pada kegiatan insidensi TB
pada pasien diabetes mellitus terbanyak ditemukan pada kelompok jenis kelamin laki-
laki (58,62%) usia <60 tahun (72,41%) dengan rata-rata usia 54,66 tahun,53 namun rata-
rata usia tersebut berbeda dengan rata-rata usia dalam penelitian ini yaitu 45 tahun.
Berdasarkan Tabel 1, dominan penderita TB tingkat pedidikannya tamat SLTA.
Hal ini berbeda dengan survei di Puskesmas Seberang Ulu 1 Palembang. Karakteristik
penderita TB paling banyak adalah berpendidikan tingkat sekolah dasar namun tetap
dominan pada laki-laki kelompok usia produktif (12-35 tahun) dan usia dewasa (49-61
tahun). Umumnya karakteristik penderita TB paru adalah mereka memiliki pekerjaan
sebagai buruh, sosial ekonomi rendah serta perokok aktif.54,55 Berdasarkan pekerjaan,

69
hasil analisis data dalam penelitian ini menujukkan bahwa buruh lebih banyak
menderita TB paru.

B. Status Gizi Penderita TB Paru


Status gizi responden penderita TB terbanyak adalah normal (sebanyak 129
responden) dengan indeks massa tubuh normal antara 18,5-25. Namun, 105 responden
tergolong kurus dan sangat kurus. (Tabel 2). Hal ini juga serupa dengan yang dilaporkan
oleh Putri (2016), penderita TB Paru yang dirawat di RSUD Arifin Ahmad Pekan Baru,
berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT), pengukuran lingkar lengan atas (LLA) dan dan
Malnutrition Universal Screening Tools (MUST) maka responden terbanyak tergolong
56
underweight, malnutrisi dan berisiko tinggi akan mengalami malnutrisi.
Pada penderita TB paru yang dirawat terjadi penurunan nafsu makan
disebabakan oleh mual,muntah, batuk darah, dan sesak napas berat. Hal ini
mengakibatkan asupan nutrisi (karbohidrat, lemak, protein) menjadi berkurang.
Akibatnya tubuh kekurangan energi sehingga terjadi pemecahan massa lemak dan otot
yang berakibat terhadap penurunan berat badan yang pada akhirnya mempengaruhi
IMT.56 Selain itu, penurunan nafsu makan dapat terjadi karena infeksi Mycobacterium
tuberculosis merangsang aktifasi makrofag oleh IFN-γ dan produksi pirogen endogen
IL-1, IL-4, IL-6 dan TNF-α. Metabolisme pirogen endogen ini akan memberikan sinyal
ke hipotalamus yang merangsang produksi prostaglandin berakibat pada rangsangan
cortex cerebral sehingga terjadi akumulasi produksi leptin yang mebuat supresi nafsu
makan. 57,58
Rentang umur terbanyak responden penderita TB paru berada pada kisaran 31-
45 tahun dan 46-60 tahun. Angka kecukupan energi yang dianjurkan untuk orang
Indonesia (per orang per hari) untuk laki-laki 30-49 tahun adalah 2625 kkal, umur 50-64
tahun adalah 2325 kkal. Sedangkan untuk perempuan umur 30-49 tahun 2150 kkal dan
umur 50-64 tahun adalah 1900 kkal.59 Kebutuhan energi pasien TB paru dalam
penelitian ini tidak terpenuhi karena hanya sekitar 1400 kkal pada tahap 1 dan 2
sedangkan pada tahap 3 malah turun jadi 1300-an kkal. Pengaturan pola makan dan
perbaikan status gizi dapat mempengaruhi tingkat kesembuhan pasien TB paru sehingga
dapat memperbaiki kualitas hidup.42 Mayoritas penderita TB paru yang tidak bekerja

70
memungkinkan mereka tidak memiliki penghasilan yang layak untuk memenuhi
kebutuhan gizi mereka.

C. Penyakit Penyerta Pada Penderita TB Paru


Untuk penyakit penyerta pada penderita TB paru sangat bervariasi. Sebanyak 33
responden menyatakan bahwa penyakit yang dirasakan bersamaan dengan penyakit TB
adalah penyakit lambung serta 15 responden mengalami diabetes millitus. Infeksi
Mycobacterium tuberculosis berakibat penurunan asupan, malabsorpsi nutrien dan
perubahan metabolisme tubuh yang berefek pada proses penurunan massa otot dan
lemak sebagai manifestasi malnutrisi energi protein. Gejala klinis penderita TB yang
berhubungan dengan status nutrisi buruk adalah anoreksia, penurunan berat badan serta
penurunan kadar albumin serum.43,57 Menurut pendapat Baghei, di wilayah yang
endemik TB, maka kasus diabetes mellitus dapat meningkat58 dan pendapat Bailey
(2011), pada penderita TB maka akan memicu terjadi diabetes millitus sehingga
semakin memperparah infeksi TB.60

D. Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku (PSP) Penderita TB Paru


Pengetahuan dan sikap responden terhadap infeksi TB paru dapat dikatakan
belum cukup baik. Hal ini tergambarkan dari 262 responden yang terlibat hanya 20,6%
dan 38,5% yang memiliki pengetahaun yang baik terhadap gambaran infeksi TB paru.
Akan tetapi, perilaku responden terhadap infeksi TB sudah cukup baik, ini terlihat dari
262 responden yang diwawancara 87% berperilaku baik terhadap infeksi TB paru. Hal
yang sama juga terjadi di Tangerang, umumnya responden belum mengetahui secara
benar tentang tanda-tanda TB paru namun perilaku mencari pengobatan sudah cukup
baik ini dimana umumnya penderita berobat ke fasilitas kesehatan (Puskesmas). 61,62
Pengetahuan masyarakat di wilayah Tanah Datar Sumatera Barat tentang TB
paru relatif cukup baik. Walaupun sebagian masyarakat lainnya masih beranggapan
bahwa penyebab penyakit TB paru adalah berkaitan dengan hal-hal yang ghaib/magic
dan karena keturunan.63 Nygroho dan Astuti berpendapat, lebih dari 50% responden
yaitu 14 responden (56%) memiliki tingkat pengetahuan yang baik dan mayoritas
responden memiliki sikap baik yaitu 24 responden (96%) dan sebagian besar responden

71
memiliki sikap baik dan cukup 11 responden (44%) terhadap pencegahan tuberkulosis
paru.64

E. Lingkungan Fisik Penderita TB Paru


Menurut pendapat Siddiq (2013), rumah yang padat (OR=0,775) dan ventilasi
rumah yang kurang (OR=1,220) tidak menjadi faktor risiko infeksi TB paru, yang
menjadi faktor risiko adalah kelembaban rumah yang tidak memenuhi syarat
65
(OR=2,974), dan energi penerangan (OR = 1,804, p = 0.032). Pendapat Rukmini,
hasil riset kesehatan dasar tahun 2010 di Indoensia, kondisi rumah tidak padat huni
(baik) pada penderita TB paru mencapai 145 (76,4%) responden. Oleh karena itu,
kondisi hunian yang baik pada penderita TB paru di Kota Banda Aceh dan Aceh Besar
pada tahun 2018 di bawah persentase responden penderita TB nasional. 66 Namun, bila
kita rujuk pada kondisi kamar tidur dan ruang keluarga, maka persentase responden TB
paru di Kota Banda Aceh dan Aceh Besar lebih dari persentase nasional yaitu 82,1%
dan 84,7%.
Persentase nasional hasil riskesdas tahun 2010 oleh Rukmini, lantai yang
memenuhi syarat kesehatan mencapai 63,9% (122 responden TB). Demikian juga
halnya dengan jenis dinding rumah. 95,8% responden penderita TB memenuhi syarat
dinding rumah yang baik dan 91 responden penderita TB memenuhi syarat
plafon/langit-langit kamar yang baik. Namun belum dijelaskan lantai, dinding dan
plafon terbuat dari bahan apa.66
F. Keakuratan Diagnosis TB Paru Menggunakan Beberapa Metode Pemeriksaan
(Mikroskopis, PCR, dan Kultur)
Klasifikasi tuberkulosis paru sebagai penyakit menular berdasarkan hasil
pemeriksaan dahak secara mikroskopis maka dapat diketahui BTA positif dan BTA
negatif. Hasil mikroskopis pada 262 responden TB paru adalah 212 responden (80,9%)
BTA negatif dan hanya 43 responden (16,4%) yang BTA positif. Hal ini serupa dengan
pendapat Ramadhan R (2017), dari 29 responden yang diperiksa, hanya 3,4% (1
14
responden) yang BTA positif dan 96,6% (28 responden) BTA negatif. Hasil yang
berbeda didapatkan oleh Nurkumalasari (2016), dari 270 responden yang diperiksa 208
BTA positif (77%), dan hanya 62 responden (23%) BTA negatif. 67

72
Dalam penelitian ini amplifikasi PCR menggunakan gen target IS6110 dan 16S
rRNA. Pemeriksaan PCR menggunakan gen 16S rRNA mendapatkan banyak hasil yang
positif dibandingkan dengan gen IS6110. Gen 16S rRNA dapat dijumpai pada setiap
organisme dan merupakan gen yang memiliki sifat lestari. Struktur yang lestari ini membuat
gen 16S rRNA dapat digunakan dalam PCR dan analisis sekuensing. 68 Untuk tujuan klinis
praktis, organisme yang sulit untuk dikultur seperti Mycobacterium tuberculosis, maka
penggunaan biomarker gen 16S rRNA menawarkan metode identifikasi yang lebih mudah
untuk kebutuhan perawatan pasien yang sudah kritis dan mengendalikan epidemi
populasi.69 Pemeriksaan PCR konvensional maupun real-time PCR menggunakan gen target
16S rRNA diperoleh hasil lebih sensitif dalam mendeteksi Mycobacterium tuberculosis
complex.70 Sementara itu, dari hasil penelitian lain menyebutkan uji PCR dengan gen target
IS6110 sensitivitasnya hanya 49,2%.71
Deteksi M. Tb baik dengan teknik PCR maupun dengan pemeriksaan kultur
secara statistik terdapat perbedaan bermakna dari deteksi BTA secara mikroskopik. 28
Studi lain mengungkapkan pemeriksaan molekular cepat seperti PCR lebih dari satu gen
terget & Real Time PCR mempunyai peranan penting untuk diagnosis dini (mengurangi
durasi waktu) untuk kasus-kasus TB ekstra paru yang tidak dapat didiagnosis dengan
metode pewarnaan dan kultur.72 Interpretasi hasil PCR harus dikombinasikan dengan
temuan klinis dan radiologis pasien untuk kasus di mana hasil prosedur konvensional
yang tidak jelas hasilnya.73 Teknik PCR merupakan metode yang cepat dan handal
untuk diagnosis TB paru dan ekstra paru. Hasil positif tertinggi didapatkan dari sampel
sputum dan terendah dari spesimen darah. 74 Namun, sampai saat ini metode kultur
merupakan baku emas pemeriksaan dahak untuk mendiagnosis TB paru berdasarkan
tingkat keakuratan.

G. Sensitivitas Mycobacterium tuberculosis Terhadap OAT


Pada penelitian ini diperoleh hasil resistensi M. Tb terhadap isoniazid lebih tinggi, yaitu
26,3% dibanding OAT lainnya. Sejalan dengan hasil penelitian Yuniarti dari hasil uji
sensitivitas kuman M. Tb terhadap OAT pada pasien TB paru dengan DM diperoleh
hasil resistensi terhadap satu obat yaitu isoniazid sampai 10% dan OAT lainnya tidak
terdapat resistensi.75 . Tidak adekuatnya pengobatan dan ketidakpatuhan penderita TB
paru mengkonsumsi isoniazid (INH) merupakan faktor tersering menyebabkan mutasi
pada gen KatG Ser315Thr (G944C). Mutasi pada kodon ini adalah penyebab tersering

73
terjadinya resistensi INH dan hal ini sangat berpotensi menjadi marker genetik untuk
memprediksi MDR-TB.76 Hasil penelitian lain juga menyebutkan telah terjadi resistensi
Mycobacterium sp. terhadap isoniazid, dimana 40% dari total isolat adalah resisten,
20% adalah intermediate resistant dan 40% adalah sensitif.77 Untuk kasus poliresisten
OAT ditemukan juga pada ethambutol dan streptomycin sebesar 47,1%.78

H. Proporsi Penderita TB Paru yang Mengalami Diabetes Mellitus


Menurut Amare (2013), penderita DM berisiko 3 kali berkembang menjadi TB
paru aktif dibanding yang tidak DM.79 Sementara itu Magee MJ (2011) dalam
reviewnya mengatakan, pada beberapa negara yang endemis TB paru, akan terjadi
peningkatan prevalensi tertinggi TB paru dengan insiden TB paru akibat DM dari
11,4% kasus menjadi 14,1% kasus pada tahun 2030. 80 Dalam penelitian ini, yang
menjadi subjek penelitian adalah penderita TB paru namun kemudian saat dilakukan
pemeriksaan HbA1C ditemukan 74 responden merupakan penderita DM (28,2 %).
Tingkat HbA1C lebih tinggi pada kelompok pasien DM + TB (rata-rata menjadi 8,1 ±
0,56%).81 Diabetes mellitus memiliki faktor risiko aktif 2 kali lebih tinggi terhadap
kematian dan komorbiditas pada 16% kematian pada penderita TB. 65,82

I. Respon Imum Penderita TB Paru dengan Diabetes Mellitus dan TB Paru Tanpa
Diabetes Mellitus
Penyakit DM memberikan dampak terhadap penurunan kualitas sumber daya
manusia dan merupakan penyakit menahun bahkan diderita seumur hidup. Diabetes
mellitus merupakan salah satu fakto risiko paling penting untuk terjadinya perburukan
TB. Diabetes mellitus type 2 merupakan penyumbang terbesar diseluruh dunia. 20
Penelitian yang dilakukan di Jakarta dan Bandung menunjukkan prevalensi DM pada
pasien TB yaitu berturut-turut sebanyak 17,1% dan 11,6 %.46
Diabetes mellitus pada penderita TB paru menyebabkan kegagalan dalam
pengobatan dan memperburuk penyakit dibandingkan dengan TB paru tanpa DM.
Penelitian yang telah dilakukan menunjukkan kaitan DM dengan TB, DM merupakan
faktor risiko yang penting dalam perkembangan TB aktif. DM yang merupakan
penyakit kronis akan melemahkan sistem kekebalan tubuh sehingga kemungkinan
terserang TB aktif menjadi 3 kali lebih tinggi.83 Peningkatan risiko dan tingkat

74
keparahan penyakit TB, DM signifikan memberi dampak negatif terhadap kesehatan
masyarakat, khususnya di negara-negara di mana kedua keadaan tersebut lazim terjadi.
Mengingat kompleksitas mekanisme komplikasi diabetes dan banyak hal yang ikut
terlibat, kemungkinan respon imun terhadap infeksi M. Tb terpengaruh di banyak
tingkatan84
Penyakit TB paru dengan diabetes ditandai dengan meningkatnya respon sitokin yang
mengindikasikan adanya peradangan kronis yang mendasari DM tipe 2. Hal ini
berpotensi untuk memberikan kontribusi terhadap peningkatan patologi kekebalan dan
kontrol yang buruk pada infeksi TB paru.85 Fungsi efektor untuk eliminasi bakteri
dimediasi oleh makrofag yang diaktifkan oleh sitokin yang berasal dari limfosit T,
khususnya IFN-γ dan TNF-α.86 Pemeriksaan IGRA dinilai cocok untuk diagnosa infeksi
TB pada pasien DM dan diperlukan untuk menilai risiko penyakit TB. Sensitivitas
IGRA juga tidak terganggu oleh diabetes pada penderita TB. Meningkatnya jumlah
pasien diabetes yang terpapar M. Tb, IGRA mungkin terbukti menjadi instrumen yang
bernilai untuk membantu pencegahan TB.87

J. Tingkat Kesembuhan Penderita TB Paru Berdasarkan Pemeriksaan


Mikroskopis dan Kultur
Kebijakan tentang tata laksana TB paru dan peningkatan program DOTS untuk
kesembuhan penderita TB paru perlu terus ditingkatkan. Tingkat kesembuhan penderita
TB paru sangat dipengaruhi oleh kepatuhan minum obat, pengawas minum obat (PMO),
dan perilaku buang dahak. Puskesmas dapat berperan untuk meningkatkan penyuluhan
pada penderita tentang pentingnya dukungan keluarga, kepatuhan minum obat, peran
PMO dan perilaku buang dahak terhadap kesembuhan penderita TBC. 88
Hasil penelitian lain menyebutkan, perbedaan gender berdampak pada angka
kejadian tuberkulosis, baik pada proses penemuan kasus, diagnosis, maupun
pengobatan.89Pengobatan TB paru di puskesmas gratis, tetapi masih banyak penderita
TB paru yang putus minum obat di tengah jalan karena anggapan mereka bahwa
penyakitnya sudah sembuh. Faktor pengetahuan yang masih kurang dan persepsi
terhadap penyakit TB paru masih negatif. Faktor pendidikan juga ikut mempengaruhi
kepatuhan pasien untuk minum obat. 90 Penemuan pasien TB paru, melakukan

75
pengobatan yang intensif dan tuntas sampai sembuh merupakan cara untuk
menanggulangi penyakit TB paru.91

76
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Gambaran penderita TB paru pada 262 responden di Kota Banda Aceh dan
Kabupaten Aceh Besar adalah :
1. Umumnya TB paru terjadi pada laki-laki, dengan rerata umur 45 tahun,
mayoritas tingkat pendidikan adalah tamat SLTA, tidak bekerja dan paling
banyak merupakan pasien baru.
2. Umumnya status gizi responden tergolong baik.
3. Berdasarkan food recall, kebutuhan energi pasien TB tidak terpenuhi dengan
baik dinilai dari konsumsi energi rata-rata sesuai dengan pedoman gizi
seimbang.
4. Penyakit penyerta pada pasien TB paru terbanyak adalah DM.
5. Pengetahuan dan sikap responden tentang TB paru rata-rata kurang, sedangkan
perilaku rata-rata baik.
6. Kepadatan kamar (lingkungan fisik) dinilai masih kurang, sedangkan untuk
kondisi kamar tidur, dapur dan ruang keluarga rata-rata nilainya baik.
7. Hasil pemeriksaan mikroskopis dan kultur sebagian besar negatif, namun
pemeriksaan dengan PCR sebagian besar menunjukkan hasil yang positif
terutama untuk gen 16S rRNA.
8. Obat anti tuberkulosis sebagian besar masih susceptible dan sebagian kecil telah
terjadi poliresisten untuk jenis OAT streptomisin dan isoniazid (INH).
9. Proporsi penderita TB yang mengalami DM cukup tinggi (28,2%) dari hasil
pemeriksaan HbA1C.
10. Konsentrasi IFN-γ lebih tinggi pada kelompok TB-DM (2,2863 IU/mL)
dibanding kelompok TB tanpa DM (1,9035 IU/mL), sedangkan konsentrasi TNF
α cenderung lebih tinggi pada kelompok TB tanpa DM (0,1585 pg/ mL),
dibandingkan kelompok TB-DM (0,0872 pg/ mL).
11. Tingkat kesembuhan responden penderita TB paru berdasarkan hasil
pemeriksaan mikroskopis dan kultur tahap dua dan tiga memperlihatkan tingkat
kesembuhan yang tinggi.

77
B. Saran
1. Meningkatkan kesadaran masyarakat untuk pencegahan dan penularan penyakit TB
paru.
2. Masyarakat diharapkan memiliki motivasi yang tinggi untuk memperoleh
pengetahuan tentang TB paru sehingga akan lebih baik dalam melakukan
penatalaksanaan TBC.
3. Meningkatkan kelengkapan profil pasien TB paru terutama di Puskesmas.
4. Pemerintah perlu memantau penyedia layanan kesehatan dalam pengobatan TB paru
dan menyediakan kualitas obat yang adekuat dengan kadar terapetik yang tepat.
5. Hasil penelitian dapat menjadi masukan bagi dinas kesehatan untuk terus menemukan
penderita TB paru di masyarakat dan memantau PMO dalam mendampingi pasien
minum obat secara rutin dan teratur.

DAFTAR KEPUSTAKAAN
1. WHO. Global Tuberculosis Report 2014. Vol 2014.; 2014.
doi:10.1155/2014/187842.

2. Kusuma HMSC. Diagnostik Tuberkulosis Baru. Sari Pediatr. 2007;8(4):143-151.

3. Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman Nasional


Pengendalian Tuberkulosis. 2014.

4. Marissa N, Nur A. Gambaran infeksi Mycobacterium tuberculosis pada anggota


rumah tangga pasien Tb paru ( Studi Kasus di Wilayah Kerja Puskesmas Darul
Imarah Kabupaten Aceh Besar ). Media Litbang Kesehat. 2014;24(2):89-94.

5. Girsang M, Tobing K, Rafrizal. Faktor Penyebab Kejadian Tuberculosis serta


Hubungannya dengan Lingkungan Tempat Tinggal di Provinsi Jawa Tengah
(Analisis Lanjut Riskesdas 2007). Bul Penelit Kesehat. 2011;39(1):34-41.

6. World Health Organization. World Health Statistics - Monitoring Health for the
SDGs.; 2016. doi:10.1017/CBO9781107415324.004.

7. Balitbangkes RI. Hasil utama Riskesdas. https://www.litbang.kemkes.go.id/hasil-

78
utama-riskesdas-2018/. Published 2018. Accessed February 27, 2018.

8. Aditama TY, Dkk. Survei Prevalensi Tuberkulosis 2013-2014 Di Indonesia.


Jakarta; 2015.

9. Kementerian Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia 2015. Jakarta; 2016.


doi:351.077 Ind.

10. Dinas Kesehatan Provinsi Aceh. Profil Kesehatan Provinsi Aceh 2015. Banda
Aceh; 2016.

11. Dinas Kesehatan Provinsi Aceh. Kasus Tuberkulosis Di Aceh.(2016).

12. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan Republik


Indonesia No. 67 Tahun 2016 Tentang Penanggulangan Tuberkulosis. Indonesia;
2016:1-163.

13. Hadifah Z. Identifikasi Mycobacterium Tuberculosis Di Tiga Kabupaten Provinsi


Aceh Tahun 2014. Banda Aceh; 2014.

14. Ramadhan R. Analisis Keakuratan Pemeriksaan Mikroskopis TB Dibandingkan


Dengan Metode PCR Di Aceh Besar. Banda Aceh; 2016.

15. Utami BS, Harun S, Ekowatiningsih R, Yuwarni E, Kurniawan L, Aditama TY.


Uji validitas teknik PCR (Polymerase Chain Reaction) dan pemeriksaan
mikroskopis bakteri tahan asam sebagai alat diagnosis penderita TB paru di
Rumah Sakit Persahabatan Jakarta. Media Litbang Kesehat. 2002;XII(3):24-29.

16. Erma Lestari. Nilai diagnostik pemeriksaan mikroskopis basil tahan asam metode
konsentrasi dibandingkan dengan kultur pada sputum tersangka tuberkulosis
paru. 2005.

17. Pusdatin Kemenkes RI. Infodatin Tuberkulosis : Temukan Obati Sampai


Sembuh. Pusdatin Kemenkes RI. 2016:2-10. doi:24442-7659.

18. Roselinda, Setiawaty V. The stages of HIV infection and the risk of opportunistic
Tuberculosis infection. Heal Sci J Indones. 2015;6(2):121-125.

79
19. Sahal YP, Afghani A, Nilapsari R. Hubungan jumlah sel limfosit dengan usia dan
status nutrisi pada penderita tuberculosis. Glob Med Heal Commun.
2014;2(2):73-78.

20. WHO. Global Report on Diabetes. Geneva, Switzerland; 2016.

21. Pangaribuan L, Lolong DB. Faktor Determinan Terjadinya Tuberculosis di


Indonesia, 2007. Ekol Kesehat. 2010;9(1):116-117.

22. Mihardja L, Lolong DB, Lannywati. G. Prevalensi Diabetes Melitus pada


Tuberculosis dan Masalah Terapi. J Ekol Kesehat. 2015;14(4):350-358.

23. Wulandari DR, Sugiri YJ. Diabetes Melitus dan Permasalahannya pada Infeksi
Tuberkulosis. J Respirasi Indones. 2013;33(2):126-134.

24. PDPI. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis Dan Penatalaksanaan Di Indonesia.


Jakarta: Persatuan Dokter Paru Indonesia; 2006.

25. Sirait N, Parwati I, Dewi NS, et al. Validitas Metode Polymerase Chain Reaction
GeneXpert MTB / RIF pada Bahan Pemeriksaan Sputum untuk Mendiagnosis
Multidrug Resistant Tuberculosis. Maj Kedokt Bandung. 2013;45(4):234-240.

26. Frida E, Ibrahim S. Tuberculosis (Analysis of Acid Fast Bacilli ( AFB ) Findings
and Concentrated Slides in Suspected Tuberculosis ). Indones J Clin Pathol Med
Lab. 2006;12(2):62-64.

27. Inayati. Nilai Diagnostik Pemeriksaan Mikroskopis Sputum BTA Pada Pasien
Klinis Tuberkulosis Paru Di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Yogyakarta;
2016.

28. Jasaputra DK, Onggowidjaja P, Soeng S. Akurasi Deteksi Mycobacterium


tuberculosis dengan Teknik PCR menggunakan “ Primer X ” dibandingkan
dengan Pemeriksaan Mikroskopik ( BTA ) dan Kultur Sputum Penderita dengan
Gejala Tuberkulosis Paru. Maranatha J Med Heal. 2004;5(1 Juli 2015):7-14.

29. WHO. Global Tuberculosis Report. Geneva, Switzerland; 2016.

30. Rinanda T, Y A. Molecular Analysis of Isoniazid, Rifampicin, Pirazinamide,

80
Ethambutol and Streptomycin of Mycobacterium Tuberculosis Isolates in
Suspected Mulltidrug Resistant Tuber- Culosis Patients in Aceh. Jakarta; 2013.

31. Doucette K, Cooper R. Tuberculosis. In: Grippi MA, Elias JA, Fishman JA, et
al., eds. Fishman’s Manual of Pulmonary Diseases and Disorders. Philadelphia:
McGraw Hill; 2002.

32. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.


Diagnosis Dan Tatalaksana Tuberkulosis Anak. Jakarta: Kemenkes RI; 2008.

33. Amin Z, Bahar S. Tuberkulosis Paru. In: Aru S, ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta: FKUI; 2007.

34. Syahrini H. Tuberkulosis Paru Resistensi Ganda. 2008:1-19.

35. Munir SM, Nawas A, Soetoyo DK. Pengamatan Pasien Tuberkulosis Paru
dengan Multidrug Resistant ( TB-MDR ) di Poliklinik Paru RSUP Persahabatan.
J Respir Indo. 2010;30(2):92-104.

36. Teguh WJ, Jasaputra DK, Roostati. RL. Analisis Kadar Interferon Gamma Pada
Penderita Tuberkulosis Paru dan Orang Sehat. J Respir Indo. 2010;30(2):119-
124.

37. Tambunan, Agustina B, Wiwin J, Nugraha J, Soedarsono. CD4+ dan CD8+


Iterferon Gamma Tuberkulosis Paru Aktif dan Tuberkulosis Laten. J Clin Pathol
Med Lab. 2016;22(2):137-140.

38. Novriandi F. Kadar interferon gamma ( IFN- γ ) cairan pleura pada efusi pleura
tuberkulosis dan non-tuberkulosis. 2016.

39. Setiawan H, Nugraha J. Analisis Kadar IFN-γ dan IL-10 pada PBMC Penderita
Tuberkulosis Aktif, Laten dan Orang Sehat, Setelah di Stimulasi dengan Antigen
ESAT-6. J Biosains. 2016;18(1).

40. Mohan VP, Scanga CA, Yu K, et al. Effects of Tumor Necrosis Factor Alpha on
Host Immune Response in Chronic Persistent Tuberculosis: Possible Role for
Limiting Pathology. Infect Immun. 2001;69(3):1847-1855.

81
doi:10.1128/IAI.69.3.1847.

41. Masdar H. Pencegahan Komplikasi Tuberculosis Akibat Pemberian Tnf- Α


Antagonis. Maj Kedokt Andalas. 2009;33(1 Januari-Juni):1-7.

42. Puspita E, Christianto E, Yovi I. Gambaran Status Gizi Pada Pasien Tuberkulosis
Paru (TB Paru) Yang Menjalani Rawat Jalan Di RSUD Arifin Achmad Pekan
Baru. JOM FK. 2016;3(2):1-16.

43. Gupta KB, Gupta R, Atreja A, Verma M, Vishvkarma S. Tuberculosis and


nutrition. Lung India. 2009;26(1):9-16.

44. Karyadi E, Schultink W, Nelwan RHH, et al. Community and International


Nutrition Poor Micronutrient Status of Active Pulmonary Tuberculosis Patients
in Indonesia 1. J Nutr. 2000;130(12):2953-2958.

45. Kementerian Kesehatan RI. Petunjuk Teknis Tata Laksana Klinis Ko-Infeksi Tb-
Hiv.; 2012.

46. Alisjahbana B, Sahiratmadja E, Nelwan EJ, et al. The Effect of Type 2 Diabetes
Mellitus on the Presentation and Treatment Response of Pulmonary
Tuberculosis. Clin Infect Dis. 2007;45(4):428-435. doi:10.1086/519841.

47. Wijayanto A, Burhan E, Nawas A, Rochsismandoko. Faktor Terjadinya


Tuberkulosis Paru pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2. J Respir Indo.
2015;35(1):1-11.

48. Ljubiæ S, Balachandran A, Pavliæ-Renar I, Barada A, Metelko1 Z. Pulmonary


infections and diabetes mellitus. Diabetol Croat. 2004;33(4):115-124.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/8739488.

49. Balitbangkes. Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta; 2013. doi:10.1007/s13398-


014-0173-7.2.

50. Menteri Sekretaris Negara. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20


Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Indonesia; 2003.

51. Kemenkes. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

82
1077/MENKES/PER/V/2011 Tentang Pedoman Penyehatan Udara dalam
Rumah. 2011:1-32.

52. Saraswati LD. Prevalens diabetes mellitus dan tuberkulosis paru. J Kesehat
Masy. 2014;9(2):192-196.

53. Fauziah DF, Basyar M, Manaf A. Insidensi tuberkulosis paru pada pasien
diabetes melitus tipe 2 di Ruang Rawat Inap Penyakit Dalam RSUP Dr . M .
Djamil Padang. J Kesehat Andalas. 2016;5(2):349-354.

54. Novita E, Ismah Z. Studi karakeristik pasien tuberkulosis di Puskesmas Seberang


Ulu Palembang. Unnes J Public Heal. 2017;1(1):218-224.
doi:https://doi.org/10.15294/ujph.v6i4.15219.

55. Mahfuzhah I. Gambaran faktor resiko penderita tb paru berdasarkan status gizi
dan pendidikan di RSUD Dokter Soedarso. Progr Stud Pendidik Dr. 2014.
doi:10.1017/CBO9781107415324.004.

56. Putri wina asri, Munir S melati, Christiano E. Gambaran Status gizi pada pasien
tuberkulosis paru yang menjalani rawat inap di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru.
JOM FK. 2016;3(2):1-16.

57. Pratomo IP, Burhan E, Tambunan V. Malnutrisi dan Tuberkulosis. J Indones


Med Assoc. 2014;62(6 June 2012):230-236.

58. Baghaei P, Marjani M, Javanmard P, Tabarsi P, Masjedi MR. Diabetes mellitus


and tuberculosis facts and controversies. J Diabetes Metab Disord.
2013;12(58):2-8. doi:10.1186/2251-6581-12-58.

59. Kemenkes. Pedoman Gizi Seimbang.; 2014.

60. Bailey S Lou, Grant P. The tubercular diabetic: the impact of diabetes mellitus on
tuberculosis and its threat to global tuberculosis control. Clin Med (Northfield Il).
2011;11(4):344-347.

61. Manalu HSP, Sp R. Pengetahuan sikap dan perilaku penderita tb paru di


Kabupaten Tangerang. J Ekol Kesehat. 2010;9(2):1200-1206.

83
62. Manalu HSP, Sukana B. Aspek pengetahuan sikap dan perilaku masyarakat
kaitannya dengan penyakit TB paru. Media Litbang Kesehat. 2011;21(1):39-46.
http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php.

63. Media Y. Pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat tentang penyakit


tuberkulosis (TB) paru di Kecamatan Sungai Tarab, Kabupaten Tanah Datar
Propinsi Sumatera Barat. Media Litbang Kesehat. 2011;21(2):82-88.

64. Nugroho FA, Astuti EP. Hubungan tingkat pengetahuan dan sikap dengan
perilaku pencegahan penularan tuberkulosis paru pada keluarga. J STIKES RS
Baptis. 2010;3(1):19-28.

65. Sidiq N, Wahiduddin, Sidik D. Faktor risiko lingkungan terhadap kejadian


tuberkulosis paru di wilayah kerja Puskesmas Somba Opu. J MKMI.
2013;9(1):29-35.

66. Rukmini, W CU. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian tb paru


dewasa di Indonesia (analisis data Riset Kesehatan Dasar tahun 2010). Bul
Penelit Sist Kesehat. 2011;14(4):320-331. doi:10.1016/j.bios.2010.06.056.

67. Nurkumalasari, Wahyuni D, Ningsih N. Hubungan karakteristik penderita


tuberkulosis paru dengan hasil pemeriksaan dahak di Kabupaten Ogan Ilir. J
Keperawatan Sriwij. 2016;3(2355):51-58.

68. Rinanda T. Analisis sekuensing 16s rRNA di bidang mikrobiologi. J Kedokt


Syiah Kuala. 2011;11(3):172-177.

69. Srinivasan R, Karaoz U, Volegova M, et al. Use of 16S rRNA Gene for
Identification of a Broad Range of Clinically Relevant Bacterial Pathogens. PLoS
One. 2015;10(2):1-22. doi:10.1371/journal.pone.0117617.

70. Choi Y, Hong SR, Jeon BY, et al. Conventional and real-time PCR targeting 16S
ribosomal RNA for the detection of Mycobacterium tuberculosis complex. Int J
Tuberc Lung Dis. 2015;19(9):1102-1108. doi:10.5588/ijtld.14.0472.

71. Farzam B, Feizabadi MM, Imani Fooladi AA, Izadi M, Hossaini HM.
Comparison of cyp141 and IS6110 for detection of Mycobacterium tuberculosis

84
from clinical specimens by PCR. J Infect Public Health. 2014;8(1):32-36.
doi:10.1016/j.jiph.2014.08.005.

72. Singh M, Singh P, Myneedu VP, Bhalla M, Adlakha P. Evaluation of Polymerase


Chain Reaction and Cobas TaqMan Real Time PCR in the Diagnosis of
Tuberculosis : Indian Prospective. Immunol Infect Dis. 2013;1(1):1-9.
doi:10.13189/iid.2013.010101.

73. Aryal R, Sah AK, Paudel DS, et al. Polymerase Chain Reaction using the MPB64
fragment for detection of mycobacterium tuberculosis complex DNA in
suspected TB cases. Int J Med Sci Public Heal. 2014;3(11):1421.
doi:10.5455/ijmsph.2014.150820142.

74. Hanif F, Satti L, Ikram A, Roshan M, Abbasi SA. Utility of Polymerase Chain
Reaction in Diagnosis of Tuberculosis in Our Setup: A Ten Years Experience. J
Coll Physicians Surg Pakistan. 2012;22(5):298-301.

75. Yuniarti E. Uji sensitivitas Mycobacterium tuberculosis Terhadap Obat Anti


Tuberculosis pada Penderita TB Paru dengan Diabetes Mellitus. J Sainstek.
2015;VII(1):51-58.

76. Siregar MIT. Mekanisme Resistensi Isoniazid & Mutasi Gen KatG Ser315Thr (
G944C ) Mycobacterium tuberculosis Sebagai Penyebab Tersering Resistensi
Isoniazid. Jambi Med J. 2015;3:119-131.

77. Yuni Nur Hidayati D, Nugrahani R. Uji Kepekaan Mycobacterium sp. terhadap
Isoniazid (INH) Menggunakan Metode Rasio Resistensi secara In Vitro
Sensitivity test of Mycobacterium sp. against Isoniazid (INH) Using In Vitro
Resistance Ratio Method. Mutiara Med. 2013;13(3):187-195.

78. Nikmawati A, Windarwati, Hardjoeno. Resistensi Mycobacterium tuberculosis


Terhadap Obat Anti Tuberculosis. Indones J Clin Pathol Med Lab.
2006;12(2):58-61.

79. Amare H, Gelaw A, Anagaw B, Gelaw B. Smear positive pulmonary tuberculosis


among diabetic patients at the Dessie referral hospital, Northeast Ethiopia. Infect

85
Dis Poverty. 2013;2(1):2-9. doi:10.1186/2049-9957-2-6.

80. Magee MJ, Blumberg HM, Narayan KV. Commentary: Co-occurrence of


tuberculosis and diabetes: New paradigm of epidemiological transition. Int J
Epidemiol. 2011;40(2):428-431. doi:10.1093/ije/dyq268.

81. Singh C. Vitamin and HbA1C status in tuberculosis patients with diabetes and its
association. IJIRMS. 2018;03(07):2108-2113.

82. Bukhary ZA. Rediscovering the association between tuberculosis and diabetes
mellitus: A perspective. J Taibah Univ Med Sci. 2013;3(1):1-6.
doi:10.1016/s1658-3612(08)70047-7.

83. PERKENI. Konsensus Pengendalian Dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2


Di Indonesia 2015.; 2015. doi:10.1017/CBO9781107415324.004.

84. Martinez N, Kornfeld H. Diabetes and immunity to tuberculosis. Eur J Immunol.


2014;44(3):617-626. doi:10.1002/eji.201344301.

85. Kumar NP, Sridhar R, Banurekha V V., et al. Type 2 Diabetes Mellitus
Coincident with Pulmonary Tuberculosis Is Associated with Heightened
Systemic Type 1, Type 17, and Other Proinflammatory Cytokines. Ann Am
Thorac Soc. 2013;10(5):441-449. doi:10.1513/annalsats.201305-112oc.

86. Cavalcanti YVN, Brelaz MCA, Lemoine Neves JK de A, Lemoine Neves JK de


A, Ferraz JC, Pereira VRA. Role of TNF-Alpha, IFN-Gamma, and IL-10 in the
Development of Pulmonary Tuberculosis. Pulm Med. 2012;2012:1-10.
doi:10.1155/2012/745483.

87. Walsh MC, Camerlin AJ, Miles R, et al. The sensitivity of interferon-gamma
release assays is not compromised in tuberculosis patients with diabetes. Int J
Tuberc Lung Dis. 2011;15(2):179-184.

88. Muniroh N, Aisah S, Mifbakhuddin M. Faktor-faktor yang berhubungan dengan


kesembuhan penyakit tuberkulosis (TBC) paru di wilayah kerja Puskesmas
Mangkang Semarang Barat. J Keperawatan Komunitas. 2013;1(1):33-42.

86
89. Rokhmah D. Gender dan penyakit tuberkulosis : implikasinya terhadap akses
layanan kesehatan masyarakat miskin yang rendah. J Kesehat Masy Nas.
2013;7(10):447-452.

90. Suadnyani Pasek M, Suryani N, Murdani PK. Hubungan persepsi dan tingkat
pengetahuan penderita tuberkulosis dengan kepatuhan pengobatan di wilayah
kerja Puskesmas Buleleng. J Magister Kedokt Kel. 2013;1(1):14-23.

91. Fitria E, Raisuli R. Karakteristik Penderita Tuberkulosis Paru di Puskesmas


Rujukan Mikroskopis Kabupaten Aceh Besar. SEL J Penelit Kesehat.
2017;4(1):13-20.

87
Lampiran 1
BIODATA KETUA PELAKSANA

NAMA PENGUSUL:
Abidah Nur, S.Gz
ALAMAT:
Kantor : Jl. Sultan Iskandar Muda Lr. Tgk. Dilangga No. 9 Lambaro, Aceh Besar
Telp: (0651)70189
Fax: (0651)70289
Rumah : Jalan Meunasah Lr.,Tgk Dja No.1 Gampong Cot
Telp. / HP : 085277301386
E-mail: abidahnur@yahoo.co.id

PENDIDIKAN PROFESIONAL:
Sarjana Gizi, UGM
PUBLIKASI:

1. Riwayat pemberian Air Susu Ibu dengan penyakit infeksi pada balita. Jurnal Kesmas.
Vol 9 (2). Hal : 144-149. November 2014. ISSN : 1907-7505.

2. Gambaran infeksi Mycobacterium Tuberculosis pada Anggota Rumah Tangga pasien


Mycobacterium tuberculosis (study kasus di wilayah kerja Puskesmas Darul Imarah
Kabupaten Aceh Besar). Jurnal Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Vol
24 (2). Hal : 89-94. Juni 2014. ISSN : 10853-9987 E-ISSN 2338-3445

3. Gambaran Bakteri Ulkus Diabetikum di Rumah Sakit Zainal Abidin dan Meuraxa
Tahun 2015. Buletin Penelitian Kesehatan. Vol 44 (3). September 2016. Hal : 187-196.
ISSN : 0125-9695.

4. Hubungan Pola Konsumsi dengan Diabetes Melitus Tipe 2 pada Pasien Rawat Jalan di
RSUD Dr.Fauziah Bireuen Provinsi Aceh. Media Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan. Vol 26 (3). September 2016. Hal : 145-150. ISSN : 0853-9987.

5. Ragam kuliner meugang Idul Adha di Aceh tahun 2014. Jurnal Sel. Vol 2 (2).

88
November 2015. Hal : 72-76. ISSN : 2356-2501.

6. Perbedaan kadar kolesterol total sebelum dan sesudah meugang Hari Raya Idul Adha.
Jurnal Sel. Vol 2 (1). Juli 2015. Hal : 29-34. ISSN : 2356-2501.

7. Konsumsi zat gizi makro rumah tangga daerah perkotaan dan perdesaan di Provinsi
Aceh tahun 2012. Jurnal Sel. Vol 2 (1). Juli 2015. Hal : 35-42. ISSN : 2356-2501.

8. Penganan Khas Aceh pada Kejadian Diabetes Melitus. Jurnal Sel. Vol 3 (1). Juli 2016.
Hal : 10-15. ISSN : 2356-2501.

9. Kebiasaan Aktivitas Fisik Pasien Diabetes Mellitus terhadap Kadar Gula Darah di
Rumah Sakit Umum dr. Fauzah Bireuen. Jurnal Sel. Vol 3 (2). November 2016. Hal :
41-48. ISSN : 2356-2501.

89
KEMENTERIAN KESEHATAN R.I
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN
LOKA PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN BIOMEDIS ACEH
Jl. Sultan Iskandar Muda Blang Bintang Lr. Tgk. Dilangga no. 9 Lambaro Aceh Besar
(0651) 8070189 (0651) 8070289 upf_nad@litbang.depkes.go.id

Lampiran 2

NASKAH PENJELASAN

GAMBARAN PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DI KOTA BANDA


ACEH DAN KABUPATEN ACEH BESAR

Tim Peneliti Loka Penelitian dan Pengembangan Biomedis Aceh


Kementerian Kesehatan Republik Indonesia akan mengadakan penelitian tentang
“Gambaran penderita tuberkulosis paru di Kota Banda Aceh dan Kabupaten
Aceh Besar”. Tujuan penelitian adalah mendapatkan gambaran penderita TB paru
di Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar.
Kami meminta Saudara/i berpartisipasi dalam penelitian dengan
kesediaannya dilakukan penimbangan berat badan, pengukuran tinggi badan,
pengambilan dahak sebanyak 9 kali (3 kali pada awal penelitian, 3 kali 2 bulan
selang dan 3 kali 5 bulan selang), pengambilan darah (sebanyak 10 ml dengan 1
kali pengambilan), dan wawancara menggunakan kuesioner serta pengamatan
terhadap rumah dan lingkungan saudara/i.
Pengumpulan data dimulai dengan penimbangan berat badan, pengukuran
tinggi badan. Selanjutnya saudara/i akan di wawancara tentang penyakit yang
diderita diikuti pengambilan darah dan dahak. Darah yang diambil digunakan untuk
pemeriksaan respon imun sebagai reaksi dari tubuh yang menggambarkan keadaan
sistem pertahanan tubuh saudara/i terhadap penyakit. Dahak digunakan untuk
pemeriksaan mikroskopis, PCR dan kultur serta sensitivitas M.Tb terhadap OAT
sebagai diagnosis TB. Tahap akhir adalah pengamatan terhadap rumah dan
lingkungan saudara/i.
Tim penelitian datang ke rumah responden untuk melakukan pengambilan
darah. Pada proses pengambilan darah, Saudara/i akan merasa sedikit nyeri karena
diambil darah pada bagian lipatan tangan sebanyak 10 ml. Pengambilan darah
dilakukan oleh tenaga analis yang berpengalaman. Bila ada masalah saat
pengambilan darah, maka kami bertanggung jawab dengan membawa saudara/i ke
tempat pelayanan kesehatan terdekat. Pada proses pengambilan dahak, dahak
pertama diambil saat tim penelitian datang ke rumah saudara/i. Pengambilan dahak
kedua dan ketiga dilakukan oleh saudara/i langsung. Tim akan memberikan 2 botol
penampung dahak untuk saudara/i. Dahak kedua saudara/i kumpulkan di pagi hari
dan dahak ketiga dikumpulkan saat tim mengambil dahak kedua. Dahak yang sudah
ditampung ditutup erat dan dimasukkan dalam lemari pendingin. Penelitian ini
tanpa intervensi dan pengobatan apapun.
Dahak dan darah saudara/i disimpan sebagai sampel penelitian tahun 2019.
Sampel dahak digunakan untuk melihat jenis kuman dan perubahan gen yang

90
terjadi pada kuman tuberkulosis. Sampel darah digunakan untuk melihat perubahan
gen yang terjadi pada tubuh saudara/i selama menderita penyakit tuberkulosis.
Partisipasi Saudara/i dalam penelitian bermanfaat bagi sendiri dengan
mengetahui hasil pemeriksaan dan keadaan kesehatan. Saudara/i yang menjadi
responden dalam penelitian ini, ikut membantu pemerintah memberikan informasi
bagi program pengendalian penyakit tuberkulosis. Semua informasi yang saudara
berikan kami jaga kerahasiaannya dengan mengganti nama responden dengan kode
sampel dan akan digunakan demi kepentingan ilmiah.
Hasil penelitian akan kami sampaikan kepada PRM dan secara akumulatif
akan kami informasikan ke Dinas Kesehatan setempat dengan tujuan agar lebih
memberikan perhatian terhadap keadaan kesehatan penderita tuberculosis.
Saudara/i dapat menanyakan kepada petugas di PRM bila menginginkan informasi
mengenai hasil penelitian. Atas partisipasi yang Saudara/i berikan, kami
menyediakan pengganti waktu yang tersita untuk mengikuti penelitian ini berupa
uang tunai.
Apabila ada pertanyaan mengenai penelitian ini, dapat menghubungi
Abidah Nur, S.Gz, nomor kontak 085277301386, dengan alamat Jl. Meunasah
Lr.Tgk Dja No.1 Gampong Cot Kecamatan Darussalam Kabupaten Aceh Besar.
Peran serta Saudara/i dalam penelitian ini adalah sukarela, Saudara/i
berhak untuk tidak ikut serta atau menarik diri dari keikutsertaan dalam penelitian
ini setiap waktu dan tanpa ada sanksi. Bilamana ada hal yang kurang jelas jangan
merasa ragu untuk bertanya pada tim penelitian. Apabila Saudara/i menyetujui
untuk berpartisipasi silakan membubuhkan tanda tangan pada lembar persetujuan
(terlampir).
Demikianlah, kami ucapkan terimakasih banyak atas perhatian dan
kerjasamanya.

91
Lampiran 3

PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:


Nama :
Umur :
Alamat :

menyatakan bahwa saya telah mendapat penjelasan secara rinci dan telah mengerti
mengenai penelitian yang akan dilakukan dengan judul “Gambaran penderita TB paru
di Kota Bandah Aceh dan Kabupaten Aceh Besar”. Saya memutuskan setuju untuk
berpartisipasi secara sukarela dan tanpa paksaan. Selama penelitian ini, bila saya
menginginkan, maka saya dapat mengundurkan diri tanpa sanksi apapun.

………., ..............................2018
Saksi Yang membuat
pernyataan,

(...............................) (.................................)

……………, ................................ 2018


Ketua Pelaksana

Abidah Nur, S.Gz

92
Lampiran 4

KUESIONER TAHAP I
Gambaran penderita TB paru di Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar

Nama Pewawancara : No Responden


Tanggal Wawancara : No. Hp :
Kabupaten/Kota : GPS :
Puskesmas Rujukan Mikroskopis:

A. Isilah jawaban dari pertanyaan dibawah ini:

KARAKTERISTIK PENDERITA TB PARU


1. Nama Responden :
2. Umur :
3. Alamat :
4. Berat Badan :
5. Tinggi Badan :
6. Jumlah anggota keluarga :
7. Jenis Kelamin : 1. Laki-laki
2. Perempuan

8. Pendidikan: 1. Tidak pernah sekolah


2. Tidak tamat SD
3. Tamat SD
4. Tamat SLTP
5. Tamat SLTA
6. Tamat D3/S1/S2/S3

9. Pekerjaan: 1. Tidak bekerja


2. Petani
3. Buruh
4. Pedagang
5. Swasta
6. Lainnya

10. Sumber informasi tentang tuberkulosis: 1. Media cetak/elektronik


3. Leaflet/booklet/poster
4. Tenaga kesehatan
5. Toma, ART, orang lain
6. Lainnya (sebutkan ….….)

93
PENGOBATAN TB PARU
1. Tahun berapa Bapak/Ibu didiagnosa Tb Paru? ………………
2. Bapak/Ibu adalah :
1. Pasien baru
2. Pasien yang pernah berobat 6 bulan (kambuh)
3. Pasien TB yang putus berobat
4. Lainnya, sebutkan ……………………………..
3. Sebutkan layanan kesehatan yang mendiagnosa Bapak/Ibu terkena TB paru.
1. Puskesmas
2. Rumah Sakit
3. Klinik
4. Layanan kesehatan lainnya, sebutkan …………………………
4. Sebelum didiagnosa TB paru, apakah Bapak/Ibu diperiksa dahak?
1. Ya
2. Tidak
5. Sudah berapa lama Bapak/Ibu didiagnosa TB paru? ………………bulan
6. Apakah sebelum didiagnosa TB paru Bapak/Ibu merasakan gejala batuk-batuk?
1. Ya
2. Tidak
7. Berapa lama gejala tersebut timbul sebelum Bapak/Ibu memeriksakan diri ke
layanan kesehatan?
1. <2 minggu
2. 1 Bulan
3. 2 Bulan
4. >2 Bulan
8. Apakah layanan kesehatan tempat Bapak/Ibu memeriksakan kesehatan
memberikan obat?
1. Ya
2. Tidak  lanjut ke pertanyaan no.10
9. Obat apa saja yang diberikan?
1. Isoniazid
2. Ripamfisin
3. Pirazinamid
4. Ethambutol
5. Streptomisin (inj)
6. Lainnya, sebutkan……..
10. Apakah Bapak/Ibu minum obat yang diberikan oleh layanan kesehatan tersebut?
1. Ya
2. Tidak  lanjut ke pertanyaan no.10
11. Obat apa saja yang Bapak/Ibu konsumsi?
1. Isoniazid
2. Rifampisin
3. Pirazinamid
4. Ethambutol
5. Streptomisin (inj)
6. Lainnya, sebutkan ……………………………………
12. Apakah Bapak/Ibu minum obat secara teratur (sesuai anjuran dokter)?
1. Ya
2. Tidak
13. Apakah ada keluhan selama Bapak/Ibu minum obat?
1. Ya, sebutkan ……………………………………
2. Tidak
14. Apakah Bapak/Ibu pernah minum obat TB sebelumnya?

94
1. Ya, Sebutkan ……………………….........................................................
2. Tidak
15. Apakah Bapak/Ibu pernah didiagnosa Diabetes Mellitus (DM) oleh tenaga
kesehatan:
1. Ya, Tahun ………………
2. Tidak
16. Apakah Bapak/Ibu mendapatkan obat DM dari layanan kesehatan?
1. Ya
2. Tidak  lanjut ke pertanyaan no.14
17. Obat DM apa yang diberikan dari layanan kesehatan?
1. Insulin injeksi
2. Antidiabetik oral
3. Lainnya
18. Pernah didiagnosa HIV/AIDS oleh tenaga kesehatan :
1. Ya, Tahun ………………
2. Tidak
19. Terdapat Anggota Rumah Tangga (ART) lainnya yang didiagnosa TB
1. Ya
2. Tidak
20. Tahun ART didiagnosa TB: ………….
21. Jumlah ART yang didiagnosa TB: …………. hubungan dengan responden ….
22. Penyakit penyerta ………………………

95
PENGETAHUAN
(bacakan poin pertanyaan, berikan tanda silang atau lingkari pada jawaban yang
benar menurut responden)

1. Menurut [BAPAK/IBU] apa yang dimaksud dengan penyakit TB paru?


A. Merupakan penyakit menular
B. Merupakan penyakit tidak menular
C. Merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus
D. Bukan Salah Satu Diatas (BSSD)
E. Tidak tahu
2. Menurut [BAPAK/IBU] apa penyebab terjadinya penyakit TB paru?
A. Virus
B. Jamur
C. Merokok
D. Bakteri Mycobacterium tuberculosis
E. Tidak tahu
3. Apa gejala penyakit Tuberkulosis?
A. Obesitas
B. Batuk-batuk yang berlangsung lebih dari 2 minggu
C. Penglihatan terganggu/rabun
D. Nafsu makan meningkat
E. Tidak tahu
4. Apa yang [BAPAK/IBU] ketahui tentang PMO?
A. PMO adalah pengawas minum obat yang berasal dari anggota keluarga
B. PMO adalah pengawas minum obat yang berasal dari anggota kelurahan
C. PMO adalah pengawas minum obat yang berasal dari anggota puskesmas
D. Semua benar
E. Tidak tahu
5. Menurut [BAPAK/IBU] bagaimana cara penularan Tuberkulosis paru?
A. Melalui percikan ludah yang tercemar oleh kuman Tuberkulosis
B. Melalui berjabat tangan
C. Melalui hubungan intim
D. Melalui jarum suntik
E. Tidak tahu
6. Bagaimana cara mencegah Tuberkulosis paru?
A. Meludah di sembarang tempat
B. Tidak menggunakan masker
C. Tidak menutup mulut pada saat bersin
D. Melakukan vaksinasi BCG
E. Tidak tahu
7. Apakah kepanjangan dari OAT
b. Obat Anti Tumor
c. Obat Anti Tetanus
d. Obat Anti Tuberkolusis
e. Obat Antitusif
f. Tidak tahu
8. Apakah yang dimaksud dengan istilah TB MDR?
A. TB MDR adalah resisitensi bakteri TB terhadap OAT
B. TB MDR adalah resisitensi virus terhadap OAT
C. TB MDR adalah resisitensi jamur terhadap OAT
D. TB MDR adalah resisitensi kuman terhadap OAT

96
E. Tidak tahu
9. Apa yang [BAPAK/IBU] ketahui tentang TB MDR?
A. TB yang sudah resisten minimal terhadap 1 obat anti TB
B. TB yang sudah resisten minimal terhadap 2 obat anti TB
C. TB yang sudah resisten minimal terhadap 3 obat anti TB
D. TB yang sudah resisten minimal terhadap 4 obat anti TB
E. Tidak tahu
10. Apakah yang menyebabkan TB MDR?
A. Karena tidak minum obat sesuai aturan
B. Karena tidak pernah vaksinasi BCG
C. Karena tidak pernah meminum obat
D. Karena tidak periksa dahak
E. Tidak tahu

SIKAP
Jawablah pernyataan dibawah ini dengan mengisi tanda checklist (√) pada kotak Sangat
Setuju (SS), Setuju (S) dan Tidak Setuju (TS) sesuai pilihan jawaban [BAPAK/IBU].

No Pernyataan SS S TS
1 Saya akan belajar cara pencegahan penularan
penyakit TB paru karena saya sudah didiagnosa
dengan TB paru
2 Meludah dan batuk disembarang tempat tidak akan
menularkan penyakit Tuberkulosis paru kepada
orang lain.
3 Saya membutuhkan PMO pada saat minum obat TB
paru
4 Sinar matahari tidak harus masuk ke dalam rumah
5 Saya akan menyiapkan masker/menutup mulut saat
saya batuk atau bersin didepan orang lain
6 Penderita TB paru akan semakin baik jika mereka
mendapatkan asupan gizi yang baik.
7 Saya akan menjaga jarak bicara dengan keluarga
saya supaya tidak menular ke mereka
8 Saya akan minum obat jika ingat
9 Saya butuh dukungan dari keluarga dan orang sekitar
untuk sembuh
10 Saya akan menjauhi keluarga saya supaya mereka
tidak tertular TB paru
11 Saya harus banyak mencari informasi tentang TB
paru
12 TB resisten obat (MDR) sangat berbahaya, oleh
karena itu saya harus patuh minum obat sesuai aturan

PERILAKU
1. Apa yang [BAPAK/IBU] lakukan untuk mencegah penularan TB paru? (Bacakan
point A sampai dengan D, isikan kode jawaban dengan 1 = Ya atau 2 = Tidak)
A. Memakai masker C. Tidak meludah disembarang

97
tempat

B. Menutup hidung dan mulut D. Menutup diri dari lingkungan


saat batuk dan bersin
Jika jawaban pertanyaan No. 1 (B) berkode “1 = Ya”  pertanyaan No.
2, jika jawaban berkode “2 = Tidak”  pertanyaan No. 4
2. Dengan apa [BAPAK/IBU] menutup mulut/hidung saat batuk/bersin? (Tidak
dibacakan point A sampai dengan D, isikan kode jawaban dengan 1 = Ya atau
2 = Tidak)
A. Sapu tangan C. Telapak tangan

B. Tissue D. Siku tangan


3. Mengapa menutup mulut/hidung saat batuk/bersin? (Bacakan point A sampai
dengan D, isikan kode jawaban dengan 1 = Ya atau 2 = Tidak)
A. Sudah terbiasa menutup C. Menjaga kebersihan
mulut/hidung saat bersin

B. Agar mencegah penularan D. Supaya tidak mencemari


penyakit ke orang lain udara

4. Apa alasan [BAPAK/IBU] tidak menutup mulut/hidung saat batuk/bersin? (Tidak


dibacakan point A sampai dengan D, isikan kode jawaban dengan 1 = Ya atau
2 = Tidak)
A. Sudah terbiasa C. Repot
B. Malas D. Kotor tangan

5. Kemana [BAPAK/IBU] biasanya berobat /memeriksakan diri saat mengalami


gejala batuk berdahak baik berdarah atau tidak, keringat malam, lemas dan tidak
ada nafsu makan? (Bacakan point A sampai dengan D, isikan kode jawaban
dengan 1 = Ya atau 2 = Tidak)
A. Rumah sakit C. Klinik
B. Puskesmas D. Praktek pengobat tradisional
(batra)
6. Apakah [BAPAK/IBU] minum obat anti TB secara teratur sesuai anjuran?
A. Ya
B. Tidak, mengapa? (...................................................................................)
7. Apakah [BAPAK/IBU] didampingi oleh pengawas minum obat (PMO)?
A. Ya, siapa yang menjadi PMO (Suami / Istri / Anak / Lainnya,
sebutkan.........................................................................................)
B. Tidak, alasannya,
sebutkan.........................................................................................)
8. Dimana biasanya [BAPAK/IBU] meludah? (Jawaban tidak dibacakan)
A. WC C. Tempat khusus dahak
B. Tong sampah D. Sembarang tempat
9. Apakah [BAPAK/IBU] memiliki peralatan makan dan minum yang terpisah dengan
anggota rumah tangga lainnya?
A. Ya
B. Tidak
10. Apakah [BAPAK/IBU] tidur bersama dengan anggota rumah tangga lainnya?
A. Ya

98
B. Tidak
11. Apakah [BAPAK/IBU] sering membuka jendela kamar/ruangan agar sinar matahari
pagi dapat masuk ke dalam ruangan?
A. Ya
B. Tidak, mengapa? (……………………………………………....)
12. Apakah [BAPAK/IBU] pernah menjemur alas tidur/kasur/bantal/guling di bawah
sinar matahari?
A. Ya
B. Tidak, mengapa? (………………………………………………)

OBSERVASI LINGKUNGAN

1. Luas lantai rumah ………………………….m2


2. Luas kamar ………….m2 untuk …………orang ≥ 5 tahun
3. Keadaan ruangan dalam rumah:
Jenis Penggunaan Kebersihan Ketersediaan jendela Ventilasi Pencahayaan alami
ruangan 1. Terpisah 1. Bersih 1. Ada, dibuka tiap 1. Ada luas≥10 % luas 1. Cukup
2. Tidak 2. Tidak hari lantai 2. Tidak cukup
terpisah bersih 2. Ada, jarang dibuka 2. Ada luas < 10 % luas
3. Tidak ada lantai
3. Tidak ada
Tidur

Dapur

Keluarga

a) Jenis lantai (terluas):


1. Keramik / ubin / marmer / semen
2. Papan / bambu / rotan / anyaman bambu
3. Tanah

b) Jenis dinding (terluas):


1. Tembok
2. kayu (papan/triplek)
3. bambu
4. Seng
c) Jenis Plafon (terluas)
1. Beton
2. Gypsum
3. Asbes
4. Kayu/triplek
5. Ayaman bambu
6. Tidak ada
d) Keadaan Lingkungan sekitar: Kumuh / tidak kumuh *)
e) Penggunaan bahan bakar untuk memasak:
1. Kayu bakar

99
2. Arang
3. Minyak tanah
4. Gas
5. Listrik
PEMERIKSAAN

No. Pemeriksaan Hasil

1. Mikroskopis BTA

2. PCR

3. Kultur

100
FORMULIR RECAL 24 JAM

No Responden :

Nama :

Banyaknya
Waktu makan Menu makanan URT Gram
Pagi

Selingan pagI

Siang

Selingan siang

Malam

Selingan malam

101
FORMULIR RECAL 24 JAM

No Responden :

Nama :

Banyaknya
Waktu makan Menu makanan URT Gram
Pagi

Selingan pagI

Siang

Selingan siang

Malam

Selingan malam

102
FORMULIR RECAL 24 JAM

No Responden :

Nama :

Banyaknya
Waktu makan Menu makanan URT Gram
Pagi

Selingan pagI

Siang

Selingan siang

Malam

Selingan malam

103
KUESIONER TAHAP III
Gambaran penderita TB paru di Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar

BB : ……… kg TB :………. cm

PENGOBATAN TB PARU
1. Apakah Bapak/ibu masih berobat ke Pusat Layanan Kesehatan?
1. Ya
2. Tidak  lanjut ke pertanyaan no.7
2. Obat apa saja yang diberikan?
1. Isoniazid
2. Ripamfisin
3. Pirazinamid
4. Ethambutol
5. Streptomisin (inj)
6. Lainnya, sebutkan……..
3. Apakah Bapak/Ibu minum obat yang diberikan oleh layanan kesehatan tersebut?
1. Ya
2. Tidak, alasan …………………………………………………. Lanjut ke no 7
4. Obat apa saja yang Bapak/Ibu konsumsi?
1. Isoniazid
2. Rifampisin
3. Pirazinamid
4. Ethambutol
5. Streptomisin (inj)
6. Lainnya, sebutkan ……………………………………
5. Apakah Bapak/Ibu minum obat secara teratur (sesuai anjuran dokter)?
1. Ya
2. Tidak, alasan……………………………………………….
6. Apakah ada keluhan selama Bapak/Ibu minum obat?
1. Ya, sebutkan ……………………………………
2. Tidak
7. Apakah Bapak/Ibu masih mendapatkan obat DM dari layanan kesehatan?
1. Ya
2. Tidak , lanjut ke observasi lingkungan
8. Obat DM apa yang diberikan dari layanan kesehatan?
1. Insulin injeksi
2. Antidiabetik oral
3. Lainnya

104
OBSERVASI LINGKUNGAN

1. Keadaan ruangan dalam rumah:


Jenis Penggunaan Kebersihan Ketersediaan jendela Ventilasi Pencahayaan alami
ruangan 1. Terpisah 1. Bersih 1. Ada, dibuka tiap 1. Ada luas≥10 % luas 1. Cukup
2. Tidak 2. Tidak hari lantai 2. Tidak cukup
terpisah bersih 2. Ada, jarang dibuka 2. Ada luas < 10 %
3. Tidak ada luas lantai
3. Tidak ada
Tidur

Dapur

Keluarga

2. Keadaan Lingkungan sekitar: Kumuh / tidak kumuh *)

PEMERIKSAAN

No. Pemeriksaan Hasil

1. Mikroskopis BTA

2. PCR

3. Kultur

105
FORMULIR RECAL 24 JAM

No Responden :

Nama :

Banyaknya
Waktu makan Menu makanan URT Gram
Pagi

Selingan pagi

Siang

Selingan siang

Malam

Selingan malam

106
FORMULIR RECAL 24 JAM

No Responden :

Nama :

Banyaknya
Waktu makan Menu makanan URT Gram
Pagi

Selingan pagi

Siang

Selingan siang

Malam

Selingan malam

107
FORMULIR RECAL 24 JAM

No Responden :

Nama :

Banyaknya
Waktu makan Menu makanan URT Gram
Pagi

Selingan pagi

Siang

Selingan siang

Malam

Selingan malam

108
Lampiran 5

DOKUMENTASI KEGIATAN

Konsultasi dengan Petugas Pendamping Wawancara pasien Tb

Wawancara pasien Tb Wawancara pasien Tb

Pengukuran tinggi badan pasien Tb Penimbangan berat badan pasien Tb

109
Wawancara pasien Tb Pengambilan sampel darah

Pengambilan sampel darah Pengambilan sampel darah

Pewarnaan sampel sputum Pembuatan slide sputum

110
Pengamatan slide sputum Sampel darah IGRA

Pemeriksaan sampel darah IGRA Konsultasi dengan BBLK Jakarta

111

Anda mungkin juga menyukai