Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN

KEPERAWATAN GERONTIK
“ASKEP LANSIA DENGAN ARTHITIS GOUT dan HERPES”

OLEH:
KELOMPOK 1
RISKA RIA SAGALA
17301038

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


STIKES PAYUNG NEGERI
PEKANBARU
2020
A. Konsep Teori Lansia
a. Definisi Lanjut Usia
Lanjut usia (lansia) adalah populasi manusia yang telah mencapai usia 65
tahun (Touhy & Jett, 2014). Hal ini serupa dengan yang diemukakan oleh para ahli
gerontology yang mengatakan bahwa seseorang dapat dikatakan lansia apabila
telah mencapai usia 65 tahun (Miller, 2012). Lansia sendiri terbagi dalam beberapa
tingkatan yaitu lansia muda dengan rentang usia 65-74 tahun, lansia pertengahan
dengan rentang usia 75-84 tahun, lansia sangat tua dengan rentang usia 85 tahun ke
atas (DeLaune & Ladner, 2002; Mauk, 2006).
Menurut undang-undang No. 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia di
Indonesia menyatakan bahwa yang dimaksud dengan lansia adalah penduduk yang
telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Sehingga setiap penduduk Indonesia yang
telah berusia 60 tahun atau lebih telah masuk dalam kategori lansia. Lansia di
Indonesia diklasifikasikan menjadi (1) kelompok usia prasenilis yaitu berusia 45-
59 tahun (2) kelompok usia lanjut yaitu berusia 60 tahun ke atas (3) kelompok usia
risiko tinggi yaitu berusia 70 tahun ke atas ataupun berusia 60 tahun ke atas dengan
masalah kesehatan (Departemen Kesehatan RI, 2009).
b. Proses menua
Proses menua adalah peristiwa yang akan terjadi pada laki-laki dan
perempuan, baik muda maupun tua (Miller,2012). Hal tersebut dikarenakan proses
menua merupakan bagian dari peristiwa siklus kehidupan manusia. Siklus
kehidupan manusia dimulai dari janin dan berakhir pada tahapan lanjut usia dan
kematian. Lanjut usia merupakan tahap akhir perkembangan manusia. Sehingga
lansia adalah manusia dewasa yang telah mengalami proses menua tahap akhir.
c. Klasifikasi Lansia
Klasifikasi berikut ini adalah lima klasifikasi pada lansia.
a. Pralansia (prasenilis) yaitu seseorang yang berusia antara 45-59 tahun.
b. Lansia yaitu seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih.
c. Lansia Resiko Tinggi yaitu seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih/seseorang
yang berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan (Depkes RI, 2003).
d. Lansia Potensial yaitu lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan/atau
kegiatan yang dapat menghasilkan barang/jasa (Depkes RI, 2003).
e. Lansia Tidak Potensial yaitu lansia yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga
hidupnya bergantung pada bantuan orang lain (Depkes RI, 2003).
d. Karakteristik Lansia
Lansia memiliki karakteristik sebagai berikut: berusia lebih dari 60 tahun (sesuai
dengan pasal 1 ayat (2) UU No.13 tentang kesehatan), kebutuhan dan masalah
yang bervariasi dari rentang sehat sampai sakit, dari kebutuhan biopsikososial
sampai spiritual, serta dari kondisi adaptif hingga kondisi maladaptif, lingkungan
tempat tinggal bervariasi (Maryam dkk, 2008).
e. Tipe Lansia
Beberapa tipe pada lansia bergantung pada karakter, pengalaman hidup,
lingkungan, kodisi fisik, mental, sosial, dan ekonominya (Nugroho 2000 dalam
Maryam dkk, 2008). Tipe tersebut dijabarkan sebagai berikut.
1) Tipe arif bijaksana
Kaya dengan hikmah, pengalaman, menyesuaikan diri dengan perubahan
zaman, mempunyai kesibukan, bersikap ramah, rendah hati, sederhana,
dermawan, memenuhi undangan, dan menjadi panutan.
2) Tipe mandiri
Mengganti kegiatan yang hilang dengan yang baru, selektif dalam mencari
pekerjaan, bergaul dengan teman, dan memenuhi undangan.
3) Tipe tidak puas. Konflik lahir batin menentang proses penuaan sehingga
menjadi pemarah, tidak sabar, mudah tersinggung, sulit dilayani, pengkritik
dan banyak menuntut.
4) Tipe pasrah
Menerima dan menunggu nasib baik, mengikuti kegiatan agama, dan
melakukan pekerjaan apa saja.
5) Tipe bingung
Kaget, kehilangan kepribadian, mengasingkan diri, minder, menyesal, pasif,
dan acuh tak acuh.
Tipe lain dari lansia adalah tipe optimis, tipe konstruktif, tipe independen
(ketergantungan), tipe defensife (bertahan), tipe militan dan serius, tipe
pemarah/frustasi (kecewa akibat kegagalan dalam melakukan sesuatu),
serta tipe putus asa (benci pada diri sendiri).
B. Konsep Artritis Gout
a. Definisi Artritis Gout
Gout adalah gangguan yang menyebabkan kesalahan metabolisme purin yang
menimbulkan hipersemia (kadar asam urat serum > 7,0 mg /100ml). Ini dapat
mempengaruhi sendi (kaki). Secara khas, sendi metatarsafalangeal pertama dari ibu
jari kaki besar adalah sisi primer yang terlibat. Sendi lain yang terlibat dapat
meliputi lutut dan pergelangan kaki. (Rencana Asuhan Keperawatan Medikal
Bedah, volume 2)
Artritis Gout adalah suatu sindrom klinis yang mempunyai gambaran khusus
yaitu artritis akut. Artritis gout lebih banyak terdapat pada pria daripada wanita.
Pada pria sering mengenai usia pertengahan, sedangkan pada wanita biasanya
mendekati masa menopause. (Kapita Selekta Kedokteran, edisi 3 jilid 1).
Artritis Gout adalah suatu sindrom klinis yang mempunyai gambaran khusus,
yaitu artritis akut. Merupakan jenis penyakit reumatik yang penatalaksanaannya
mudah dan efektif. Sebaliknya pada pengobatan yang tidak memadai, gout dapat
menyebabkan destruksi sendi. Kelainan ini berhubungan dengan gangguan kinetik
asam urat yaitu hiperurisemia. (Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1, edisi 3).
b. Etiologi Artritis Gout
1. Gejala Artritis akut disebabkan oleh reaksi inflamasi jaringan
terhadap pembentukan kristal monosodium urat monohidrat. Karena
itu dilihat dari penyebabnya penyakit ini termasuk dalam golongan
kelainan metabolit.
2. Faktor-faktor yang berperan dalam perkembangan gout adalah :
1) Pembedahan
2) Trauma
3) Obat-obatan
4) Alkohol
5) Stress emosional
6) Diet tinggi purin
3. a) Pembentukan Asam urat yang berlebihan
1) Gout primer metabolik disebabkan sintesis langsung yang
bertambah.
2) Gout sekunder metabolik disebabkan pembentukan asam urat
berlebihan karena penyakit.
3) Gout sekunder metabolik disebabkan pembentukan asam urat
berlebihan karena penyakit.
4. b) Kurangnya pengeluaran asam urat
1) Gout primer renal terjadi karena gangguan ekskresi asam
urat ditubuli distal ginjal
2) Gout sekunder renal disebabkan oleh kerusakan ginjal.
c. Patofisiologi Arthritis Gout
Menurut Corwin (2009) Banyak faktor yang berperan dalam mekanisme
serangan gout. Salah satunya yang telah diketahui peranannya adalah
kosentrasi asam urat dalam darah. Mekanisme serangan gout akut
berlangsung melalui beberapa fase secara berurutan.
a) Presipitasi kristal monosodium urat.
Presipitasi monosodium urat dapat terjadi di jaringan bila kosentrasi
dalam plasma lebih dari 9 mg/dl. Presipitasi ini terjadi di rawan,
sonovium, jaringan para- artikuler misalnya bursa, tendon, dan
selaputnya. Kristal urat yang bermuatan negatif akan dibungkus
(coate) oleh berbagai macam protein. Pembungkusan dengan IgG
akan merangsang netrofil untuk berespon terhadap pembentukan
kristal.
b) Respon leukosit polimorfonukuler (PMN)
Pembentukan kristal menghasilkan faktor kemotaksis yang
menimbulkan respon leukosit PMN dan selanjutnya akan terjadi
fagositosis kristal oleh leukosit.
c) Fagositosis
Kristal difagositosis olah leukosit membentuk fagolisosom dan
akhirnya membram vakuala disekeliling kristal bersatu dan
membram leukositik lisosom.
d) Kerusakan lisosom
Terjadi kerusakn lisosom, sesudah selaput protein dirusak, terjadi
ikatan hidrogen antara permukan kristal membram lisosom, peristiwa
ini menyebabkan robekan membram dan pelepasan enzim-enzim dan
oksidase radikal kedalam sitoplasma.
e) Kerusakan sel
Setelah terjadi kerusakan sel, enzim-enzim lisosom dilepaskan
kedalam cairan sinovial, yang menyebabkan kenaikan intensitas
inflamasi dan kerusakan jaringan.
d. Manifestasi Klinis Arthritis Gout
Terdapat empat stadium perjalanan klinis gout yang tidak diobati: (Silvi
A. price)
1) Stadium pertama adalah hiperurisemia asimtomatik. Pada stadium ini
asam urat serum laki-laki meningkat dan tanpa gejala selain dari
peningkatan asam urat serum.
2) Stadium kedua arthritis gout akut terjadi awitan mendadak
pembengkakan dan nyeri yang luar biasa, biasanya pada sendi ibu
jari kaki dan sendi metatarsophalangeal.
3) Stadium tiga setelah serangan gout akut adalah tahap interkritis.
Tidak terdapat gelaja-gejala pada tahap ini, yang dapat berlangsung
dari beberapa bulan sampai tahun. Kebanyakan orang mengalami
serangan gout berulang dalam waktu kurang dari 1 tahun jika tidak
diobati.
4) Stadium keempat adalah tahap gout kronik, dengan timbunan asam
urat yang terus meluas selama beberapa tahun jika pengobatantidak
dimulai. Peradangan kronik akibat Kristal-kristal asam urat
mengakibatkan nyeri, sakit, dan kaku, juga pembesaran dan
penonjolan sendi bengkak.
e. Klasifikasi Artritis Gout
Menurut (Ahmad, 2011) jenis asam urat yaitu :
1) Gout primer
Pada gout primer, 99% penyebabnya belum diketahui (idiopatik).
2) Gout sekunder
Pada gout sekunder disebabkan antara antara lain karena meningkatnya
produksi asam urat karena nutrisi, yaitu mengonsumsi makanan dengan
kadar purin tinggi.
f. Penatalaksanaan Rheumatoid Arthritis
Penanganan gout biasanya dibagi menjadi penanganan serangan akut dan kronik.
Ada 3 tahapan dalam terapi penyakit ini:
1) Mengatasi serangan akut
2) Mengurangi kadar asam urat untuk mnecegah penimbunan kristal urat pada
jaringan, terutama persendian
3) Terapi pencegahan menggunakan terapi hipouresemik
a. Terapi non farmakologi
b. Terapi non farmakologi merupakan strategi esensial dalam penanganan
gout. Intervensi seperti istirahat yang cukup, penggunaan kompres
dingin, modifikasi diet, mengurangi asupan alkohol dan menurunkan
berat badan pada pasien yang kelebihan berat badan terbukti efektif.
Terapi farmakologi
Serangan akut
Istirahat dan terapi cepat dnegan pemberian NSAID, misalnya indometasin 200
mg/hari atau diklofenak 159 mg/hari, merupakan terapi lini pertama dalam
menangani serangan akut gout, asalkan tidak ada kontraindikasi terhadap NSAID.
Aspirin harus dihindari karena ekskresi aspirin berkompetesi dengan asam urat dan
dapat memperparah serangan gout akut. Obat yang menurunkan kadar asam urat
serum (allopurinol dan obat urikosurik seperti probenesid dan sulfinpirazon) tidak
boleh digunakan pada serangan akut.
Penanganan NSAID, inhibitor cyclooxigenase-2 (COX 2), kolkisin dan
kortikosteroid untuk serangan akut dibicarakan berikut ini :
1. NSAID merupakan terapi lini pertama yang efektif untuk pasien yang
mengalami serangan gout akut. NSAID harus diberikan dengan dosis
sepenuhnya pada 24-48 jam pertama atau sampai rasa nyeri hilang. NSAID
yang umum digunakan untuk mengatasi episode gout akut adalah :
 Naproxen- awal 750 mg, kemudian 250 mg 3 kali/hari
 Piroxicam- awal 40 mg, kemudian 10-20 mg/hari
 Diclofenac- awal 100 ,g, kemudian 50 mg 3x/hari
2. COX-2 inhibitor; Etoricoxib merupakan satu-satunya COX-2 yang dilisensikan
untuk mengatasi serangan akut gout. Obat ini efektif tapi cukup mahal, dan
bermanfaat terutama bagi pasien yang tidak tahan terhadap efek gastrointestinal
NSAID non selektif. COX-2 inhibitor mempunyai resiko efek samping
gastrointestinal bagian atas lebih rendah dibanding NSAID non selektif.
3. Colchicine merupaka terapi spesifik dan efektif untuk serangan gout akut.
Namun dibanding NSAID kurang populer karena kerjanya lebih lambat dan
efek samping lebih sering dijumpai.
4. Steroid adalah strategi alternatif selain NSAID dan kolkisin. Cara ini dapat
meredakan serangan dengan cepat ketika hanya 1 atau 2 sendi yang terkena.
Namun, harus dipertimbangkan dengan cermat diferensial diagnosis antara
atrithis sepsis dan gout akut.
Serangan kronik
Kontrol jangka panjang hiperuriesmia merupakan faktor penting untuk mencegah
terjadinya serangan akut gout, keterlibatan ginjal dan pembentukan batu asam urat.
Penggunaan allopurinol, urikourik dan feboxsotat untuk terapi gout kronik
dijelaskan berikut ini:
1. Allopurinol ; obat hipouresemik pilihan untu gout kronik adalah alluporinol, selain
mengontrol gejala, obat ini juga melindungi fungsi ginjal. Allopurinol menurunkan
produksi asam urat dengan cara menghambat enzim xantin oksidase.
2. Obat urikosurik; kebanyakan pasien dengan hiperuresmia yang sedikit
mengekskresikan asam urat dapat terapi dengan obat urikosurik. Urikosurik seperti
probenesid (500 mg-1 g 2x/hari).
C. Konsep Herpes
a. Definisi Herpes zoster
Herpes zoster adalah infeksi virus akut yang memiliki karakteristik unilateral,
sebelum timbul manifestasi klinis pada kulit wajah dan mukosa mulut
biasanya akan didahului oleh gejala odontalgia. Timbulnya gejala odontalgia
pada Herpes zoster belum sepenuhnya diketahui (Harpaz R., dkk, 2009).
b. Etiologi Herpes zoster
Reaktivasi virus varisela zoster, Herpes zoster disebabkan oleh virus varicella
zoster.  Virus varicella zoster terdiri dari kapsid berbentuk ikosahedral dengan
diameter 100nm. Kapsid tersusun atas 162 sub unit protein-varion yang
lengkap dengan diameternya 150-200nm, dan hanya varion yang terselubung
yang bersifat infeksius. Infeksiositas virus ini dengan cepat dihancurkan oleh
bahan organic, deterjen, enzim proteolitik, panas dan suasana Ph yang tinggi.
Masa inkubasisnya 14-21 hari.
c. Patofisiologi Herpes zoster
Virus ini berdiam di gonglion susunan saraf tepi dan ganglion kranalis
kelainan kulit yang timbul memberikan lokasi yang setingkat dengan daerah
persyarafan gonglion tersebut. Kadang virus ini juga menyerang ganglion
anterion, bagian motorik kranalis sehingga memberikan gejala-gejala
gangguan motorik. Pada episode infeksi primer, virus dari luar masuk ketubuh
hospes (penerima virus). Faktor resiko Herpes zoster
1) Usia lebih dari 50 tahun, infeksi ini sering terjadi pada usia ini akibat
daya tahan tubuhnya lemah. Makin tua usia penderita herpes zoster
makin tinggi pula resiko terserang nyeri.
2) Orang yang mengalami penurunan kekebalan (immunocompromised)
seperti HIV dan leukemia. Adanya lesi pada ODHA merupakan
manifestasi pertama dan immunocompromised.
3) Orang dengan terapi radiasi dan kometerapi.
4) Orang dengan transplanasi organ mayor seperti tranplantasi sumsum
tulang.
Faktor pencetus kambuhnya Herpes zoster
1) Trauma/luka
2) Kelelahan
3) Demam
4) Alkohol
5) Gangguan pencernaan
6) Obat-obatan
7) Sinar ultraviolet
8) Haid
9) Setres
d. Tanda dan gejala
Daerah yang paling sering terkena adalah daerah thorakal. Frekuensi
penyakit inipada pria dan wanita sama. Sedangkan mengenai umur lebih
sering pada orang dewasa. Sebelum timbul gejala kulit terhadap gejala
prodromal baik sistemik seperti demam,pusing, malaise maupun lokal seperti
nyeri otot-tulang, gatal, pegal dan sebagainya.Setelah timbul eritema yang
dalam waktu singkat menjadi vesikel yang berkelompok dengan dasar kulit
yang eritema dan edema.
Vesikel ini berisi cairan jernih kemudian menjadi keruh (berwarna
abu-abu)dapat menjadi pastala dan krusta. Kadang vesikel mengandung darah
yang disebut herpeszoster haemoragik dapat pula timbul infeksi sekunder
sehingga menimbulkan ulkusdengan penyembuhan berupa sikatriks. Massa
tunasnya 7-12 hari. Massa aktif penyakitini berupa lesi-lesi baru yang tetap
timbul berlangsung kurang lebih 1-2 minggu.Disamping gejala kulit dapat
juga dijumpai pembesaran kelenjar geth bening regional.
e. Penatalaksanaan
1. Pengobatan topical
a. Pada stadium vesicular diberi bedak salicyl 2% atau bedak kocok
kalamin untuk mencegah vesikel pecah
b. Bila vesikel pecah dan basah, diberikan kompres terbuka dengan
larutan antiseptik atau kompres dingin dengan larutan burrow 3 x
sehari selama 20 menit
c. Apabila lesi berkrusta dan agak basah dapat diberikan salep
antibiotik (basitrasin/polysporin) untuk mencegah infeksi sekunder
selama 3 x sehari
2. Pengobatan sistemik
Drug of choice- nya adalah acyclovir yang dapat mengintervensi
sintesis virusdan replikasinya. Meski tidak menyembuhkan infeksi
herpes namun dapat menurunkankeparahan penyakit dan nyeri. Dapat
diberikan secara oral, topical atau parenteral.Pemberian lebih efektif
pada hari pertama dan kedua pasca kemunculan vesikel. Namunhanya
memiliki efek yang kecil terhadap postherpetic neuralgia.
a. Penderita dengan keluhan mata
Keterlibatan seluruh mata atau ujung hidung yang menunjukan
hubungan dengancabang nasosiliaris nervus optalmikus, harus
ditangani dengan konsultasi opthamologis. Dapat diobati dengan
salaep mata steroid topical dan mydriatik, anti virus dapat
diberikan
b. Neuralgia Pasca Herpes zoster
c. Bila nyeri masih terasa meskipun sudah diberikan acyclovir pada
fase akut, makadapat diberikan anti depresan trisiklik ( misalnya :
amitriptilin 10– 75 mg/hari)
d. Tindak lanjut ketat bagi penanganan nyeri dan dukungan
emosional merupakanbagian terpenting perawatan
e. Intervensi bedah atau rujukan ke klinik nyeri diperlukan pada
neuralgi berat yangtidak teratasi.
A. MCP
B.
Dx: Nyeri akut b.d adanya proses Dx: Hambatan mobilitas fisik b.d
inflamasi C. MD: Artrhitis Gout dan Herpes penurunan kekuatan otot
zoster Ds:
Ds: D. 1. Klien mengatakan kaki dan
KA:
1. klien mengatakan bila jongkok tangan terasa linu dan
kedua kakinya (lutut) sakit 1.  Hasil tes asam urat : 10
kesemutan terlebih saat
2. Klien mengatakan kedua mg/dl
melakukan aktivitas.
tangannya (jari) sedikit kaku 2. TD: 130/80 mmhg 2. Klien mengatakan sering terasa
3.  Pengkajian nyeri: 3. Nyeri sendi ditandai dengan
O : sejak 5 bulan yang lalu
terganggu dengan sakitnya.
P : jika jongkok dan banyak odem 3. Kadang sendi di tangan dan
gerak 4. Kaku dan nyeri pada sendi- kaki juga terasa sakit
Q : seperti patah sendi kaki dan tangan
R : kedua kaki kanan dan kiri 5. kadar asam urat tinggi (500 Do:
(lutut) dan kedua tangan (jari) 1. Pasien Ketika pengkajian
S : 4 mg % / liter per 24 jam)  

T : menetap 6. terdapat ruam dibagian wajah klien sering mengurut


Ds: kakinya
1. Tangan klien tampak  kaku di 2. Hasil tes asam urat : 10
jari dan persendian mg/d
2. TD: 130/80 mmhg
3. Hasil tes asam urat : 10
Terapi: Allopurinol
mg/dl

 Terapi: analgesic

Dx: Defisit pengetahuan b.d kurang


Dx: gangguan pola tidur b.d nyeri sumber pengetahuan, kurang informasi,
Dx : Gangguan integritas kulit
Ds: salah pengertian terhadap orang lain
b.d perubahan pigmentasi
1. Klien mengatakan susah tidur Ds:
Ds:
ketika nyeri itu muncul 1. Pasien mengatakan hanya
1. Kakek merasakan
terutama pada malam hari. tahu penyakitnya asam urat hidungnya sering
2. Pasien mengeluh kemampuan namun tidak tahu tentang melersejak kakek
beraktivitas menurun yang lainnya tentang asam menderita herpes
Do:
urat. yang timbul di
1. Pola tidak teratur, frekuensi
2.  Klien mengatakan tidak tahu mukanya 6 tahun lalu
tidur ± 4-6 jam.
tentang mana makanan Do:
2. Skala nyeri 7
pantangan untuk penderita 1. Tampak kerusakan
Terapi : Kolkisin asam urat jaringan dan/atau
lapisan kulit di bagian
Do: wajah
2. Pasien tampak meringis
1. Pasien tampak bertanya
tentang asam urat Terapi :acyclovir

Terapi : pemberian penkes


Intervensi keperawatan
Nd. 1: Nyeri b.d adanya proses inflamasi
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam
diharapkan nyeri pada pasien berkurang

Kriteria Hasil:
1. Nyeri hilang/terkontrol
2. Pasien dapat beristirahat
3. Pasien dapat mengikuti farmakologi yang diresepkan
INTERVENSI : Manajemen Nyeri
O T
1. Monitor TTV 1. Lakukan terapi relaksasi
2. Lakukan pengkajian nyeri 2. Aplikasikan panas atau dingin
komprehenship yang 3. Berikan kebutuhan kenyamanan
meliputi lokasi, karakteristik, dan aktivitas dan aktivitas lain
durasi, frekuensi, kualitas, yang dapat membantu relaksasi
intensitas atau beratnya untuk memfasilitasi penurunan
nyeri dan faktor pencetus nyeri
3. Observasi adanya petunjuk 4. Gunakan strategi komunikasi
nonverbal mengenai terapeutik untuk mengetahui
ketidaknyamanan terutama pengalaman nyeri dan sampaikan
pada mereka yang tidak bisa penerimaan nyeri pada pasien
berkomunikasi secara efektif 5. Lakukan akupressur
4. Monitor kepuasan pasien
terhadap manajemen nyeri
dalam interval yang spesifik
5. Monitor lokasi dan
kecenderungan adanya nyeri
dan ketidaknyamanan
selama pergerakan/aktivitas
6. Tentukan lokasi,
karaktersitik, kualitas dan
keparahan nyeri sebelum
mengobati pasien
7. Cek perintah pengobatan
meliputi obat, dosis dan
frekuensi obat analgesik yang
diresepkan
E K
1. Berikan informasi mengenai 1. Kolaborasi dengan pasien, orang
nyeri, seperti penyebab nyeri terdekat dan tim kesehatan
akan dirasakan, dan lainnya untuk memilih dan
antisipasi dari mengimplementasikan tindakan
ketidaknyamanan akibat penurunan nyeri nonfarmakologi
prosedur sesuai kebutuhan
2. Ajarkan penggunaan teknik 2. Berikan individu penurunan nyeri
non farmakologi (seperti: yang optimal dengan peresepan
biofeed-back, TENS, analgetik
hypnosis, relaksasi, terapi 3. Beritahu dokter jika tindakan
musik, terapi bermain, tidak berhasil atau jika keluhan
akupressur dll) pasien saat ini berubah signifikan
dari pengalaman nyeri
sebelumnya
4. Informasikan tim kesrhatan
lainnya atau keluarga mengenai
strategi nonfarmakologi yang
sedang digunakan untuk
mendorong pendekatan preventif
terkait dengan manajemen nyeri

Nd. 2: Hambatan mobilitas fisik b.d Gangguan muskuloskletal, kekuatan


otot, Nyeri
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam
diharapkan gangguan mobilitas fisik pasien teratasi

Kriteria Hasil:
1. Gerakan sendi klien kembali normal
2. Klien tidak mengeluhkan  kaku di jari dan persendian
INTERVENSI : Teknik latihan penguatan sendi
O T
1. Identifikasi keterbatasan 1. Lakukan pengendalian nyeri
fungsi dan gerak sendi sebelum melakukan latihan
2. Monitor lokasi dan sifat 2. Berikan posisi optimal untuk
ketidaknyamanan atau gerakan sendi pasif dan aktif
rasa sakit selama 3. Berikan penguatan positif untuk
gerakan / aktivitas melakukan latihan bersama
E C
1. Jelaskan kepada 1. Kolaborasi dengan fisioterapi
pasien/keluarga tujuan dan dalam mengembangkan dan
rencana latihan bersama melaksanakan program latihan
2. Anjurkan melakukan latihan
rentang gerak aktif dan pasif
secara sistematis

Nd. 3: Gangguan pola tidur b.d nyeri


Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam
diharapkan istirahat tidur tercukupi dengan

Kriteria Hasil:
1. Pola tidur teratur
2. Istirahat cukup
INTERVENSI : Terapi relaksasi
O T
1. Identifikasi teknik relaksasi 1. Ciptakan lingkungan tenang dan
yang pernah efektif tanpa gangguan dengan
digunakan pencahayaan dan suhu ruangan
2. Periksa ketegangan otot, yang nyaman, jika memungkinkan
frekuensi nadi, tekanan 2. Gunakan pakaian longgar
darah, dan suhu sebelum 3. Gunakan relaksasi sebagai strategi
dan sesudah latihan penunjang dengan analgestik atau
3. Monitor respons terhadap tindakan medis lain, jika sesuai
terapi relaksasi
E K
1. Jelaskan tujuan, manfaat, -
batasaan dan jenis relaksasi
yang tersedia
2. Jelaskan secara rinci
intervensi relaksasi yang
tersedia
3. Anjurkan mengambil posisi
nyaman
4. Anjurkan rileks dan
merasakan sensasi nyaman
5. Demonstrasikan dan latih
teknik relaksasi

Nd. 4: Defisit pengetahuan b.d kurang sumber pengetahuan, kurang


informasi, salah pengertian terhadap orang lain
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam
diharapkan pasien mampu melakukan diet asam urat

Kriteria Hasil:
1. Pasien paham tentang penyakit asam urat
2. Pasien Mampu  menjelaskan kembali apa yang dijelaskan
perawat/tim kesehatan lainnya
3. Klien mampu menjalankan diet asam urat yang dianjurkan
4. Asam urat dalam batas normal (3-8 mg/dl)
INTERVENSI
O T
1. Identifikasi kesiapan dan 1. Swdiakan materi dan media
kemampuan menerima pendidikan kesehatan
informasi 2. Jadwalkan pendidikan kesehatan
sesuai yang disepakati
3. Berikan kesempatan untuk
bertanya
4.
E K
1. Jelaskaan factor resiko yang 1. Rujukan pasien kepada kelompok
dapat mempengaruhi pendukung atau agen komunitas
kesehatan lokal sesuai kebutuhan
2. Ajarkan strategis yang dapat 2. Perkuat informasi yang diberikan
digunakan untuk dengan anggota tim kesehatan
meningkatkan perilaku lain sesuai kebutuhan
hidup sehat 3. Diskusikan pilihan terapi atau
penangan

Dx: Gangguan integritas kulit b.d perubahan pigmentasi


Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam
diharapkan gangguan integritas kulit pasien teratasi

Kriteria Hasil:
1. Keutuhan struktual dan fungsi fsiologis dari kulit pada wajah
pasien
INTERVENSI : Perawatan integritas kulit
O T
1. Monitor efek terapeutik 4. Lakukan prinsip 6 benar (pasien,
obat obat, dosis, waktu, rute ,
2. Monitor efek local pada dokumentasi)
kulit yang mengalami 5. Cuci tangan dan pasang sarung
gangguan kulit tangan
6. Bersihkan kulit dan hilangkan
obat sebelumnya
7. Oleskan agen topical pada kulit
yang tidak mengalami luka, iritasi
atau sensitif
E C
1. Jelaskan jenis obat, alas an -
pemberian yang diharapkan
dan efek samping sebelum
pemberian
2. Ajarkan teknik pemberian
obat secara mandiri, jika
perlu

DAFTAR PUSTAKA

Sylvia a price & Lorraine M Wilson. 1994. Patofisiologi Edisi 4. Jakarta: Buku Kedokteran
EGC.
Persatuan Ahli Penyakit dalam Indonesia.1996.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I edisi
III. Jakarta: Balai Penerbit.
Doengoes, Marilynn E , dkk. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC.
Fakultas Kedokteran UI.2000. Kapita Selekta Kedokteran. edisi 3, Jilid I. Jakarta: Media
Aescul
Corwin, Elizabeth J. Buku Saku Patofisiologi. Edisi 3. Jakarta: EGC, 2009.

Anda mungkin juga menyukai