Anda di halaman 1dari 50

PELAKSANAAN PEMBUKAAN RAHASIA KEDOKTERAN

DI MASA PANDEMI COVID-19

USULAN PENELITIAN TESIS

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


PROGRAM MAGISTER

OLEH
dr. GALUH JELITA PERMATASARI
NPM 191003741010832

UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SEMARANG


SEMARANG
2020

i
USULAN PENELITIAN TESIS

PELAKSANAAN PEMBUKAAN RAHASIA KEDOKTERAN


DI MASA PANDEMI COVID-19

OLEH
dr. GALUH JELITA PERMATASARI
NPM 191003741010832

Telah disetujui :

Tanggal.....................................

PEMBIMBING KETUA PROGRAM

Prof. DR. Retno Mawarini S., SH., M.Hum. DR. Krismiyarsi, SH., M.Hum.
NIDN. 0628026602 NIDN. 0627076301

PROGRAM STUDI HUKUM PROGRAM MAGISTER


UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SEMARANG
2020

ii
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL .................................................................................. i

HALAMAN PERSETUJUAN..................................................................... ii

DAFTAR ISI................................................................................................ iii

A. Latar Belakang.................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah............................................................................... 8

C. Tujuan Penelitian................................................................................ 9

D. Manfaat Penelitian.............................................................................. 9

E. Keaslian Penelitian............................................................................. 10

F. Kerangka Pemikiran........................................................................... 14

G. Tinjauan Pustaka................................................................................. 16

1. Tinjauan Umum Mengenai Hukum Kesehatan........................... 16

2. Tinjauan Umum Mengenai Implementasi Kebijakan.................. 16

3. Tinjauan Umum Mengenai Rahasia Kedokteran dalam Rekam

Medis........................................................................................... 23

4. Tinjauan Umum Mengenai Hak atas Rahasia Kedokteran.......... 28

5. Tinjauan Umum Mengenai Kewajiban Perlindungan Medis

Pada Kondisi Wabah................................................................... 32

H. Metode Penelitian............................................................................... 35

1. Metode Pendekatan..................................................................... 35

2. Spesifikasi Penelitian................................................................... 35

3. Sumber Data................................................................................ 36

iii
4. Metode Pengumpulan Data......................................................... 39

5. Metode Penyajiann Data.............................................................. 40

6. Metode Analisis Data.................................................................. 40

I. Sistematika Penulisan......................................................................... 41

J. Jadwal Penelitian................................................................................ 42

K. Daftar Pustaka

iv
1

A. Latar Belakang Masalah

Pembangunan kesehatan ditujukan untuk meningkatkan kesadaran,

kenyamanan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang dalam rangka

mewujudkan derajat kesehatan yang optimal sebagai salah satu unsur

kesejahteraan umum sebagaimana yang diamanatkan di dalam pembukaan

Undang-undang Dasar Rebublik Indonesia Tahun 1945. Sejak permulaan

sejarah kehidupan umat manusia telah diketahui adanya hubungan

kepercayaan diantara sesamanya. Dunia kedokteran juga mengenal hubungan

kepercayaan antara dokter dengan pasien. Pasien mempunyai hak atas

rahasia kedokteran, yaitu segala sesuatu yang oleh pasien secara sadar

atau tidak sadar disarnpaikan kepada dokter yang merawat dirinya.

Dokter merupakan salah satu profesi yang wajib merahasiakan

keterangan pasiennya atau segala hal ikhwal yang berkaitan dengan

pasiennya, dalam dunia kedokteran dikenal dengan istilah rahasia kedokteran.

Dokter harus menjaga kerahasiaan pasiennya yang berkaitan dengan segala

penyakit pasien.1

Sesuai dengan ketentuan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 29 Tahun

2004 tentang Praktik Kedokteran ditetapkan sebagai berikut :

1. Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik


kedokteran wajib menyimpan rahasia kedokteran.
2. Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan
kesehatan pasien, memenuhi permintaan aparatur penegak hokum
dalam rangka penegakan hukum, permintaan pasien sendiri, atau
berdasarkan ketentuan perundang-undangan.

1
Syahrul Machmud, 2008, Penegakan Hukum Dan Perlindungan Hukum Bagi Dokter
Yang Diduga Melakukan Medical Malpraktik. Mandar Maju, Bandung, hal. 2
2

Pasal 51 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek

Kedokteran mengatur dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik

kedokteran mempunyai kewajiban :

a memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan


standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien;
b merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai
keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu
melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan;
c merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien,
bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia;
d melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan,
kecuali bila Ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu
melakukannya; dan
e menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu
kedokteran atau kedokteran gigi

Salah satu ayat lafal Sumpah Dokter Indonesia yang diatur dalam

Peraturan Pemerintah No 26 Tahun 1960, yang mengatur “Saya akan

merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui kerena pekerjaan saya dan

karena keilmuan saya sebagai dokter”.

Juga dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia yang disahkan dengan

Surat Keputrusan Mentri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

434/MEN.KES/SK/X/1989 tentang berlakunya Kode Etik Kedokteran

Indonesia mempertegas jaminan tetap terjaganya rahasia pasien tersebut.

Pasal tersebut berbunyi, “Seorang dokter wajib merahasiakan segala sesuatu

yang diketahuinya tentang pasien, karena kepercayaan yang diberikan

kepadanya, bahkan juga setelah pasien meninggal dunia”.

Selain itu Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah

Sakit Pasal 38 ayat (1) menyatakan : “Setiap Rumah Sakit harus menyimpan
3

rahasia kedokteran”. Setiap orang harus dapat meminta pertolongan

kedokteran dengan perasaan aman dan bebas. Ia harus dapat menceritakan

dengan hati terbuka segala keluhan yang mengganggunya, baik yang bersifat

jasmaniah maupun rohaniah, dengan keyakinan bahwa hak itu berguna untuk

menyembuhkan dirinya. Ia tidak boleh merasa khawatir bahwa segala sesuatu

mengenai keadaannya akan disampaikan kepada orang lain, baik oleh dokter

mauipun oleh petugas kedokteran yang bekerja sama dengan dokter tersebut.

Dokter sebagai pemangku suatu jabatan ia wajib merahasiakan apa yang

diketahuinya karena jabatannya, menurut Pasal 322 Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur :

“Barang siapa dengan sengaja membuka suatu rahasia yang ia wajib


menyimpan oleh karena jabatan atau pekerjaannya baik yang
sekarang maupun yang dahulu, dihukum dengan penjara
selamalamanya Sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya
enam ratus ribu rupiah”. “Jika kejahatannya ini dilakukan terhadap
orang yang tertentu maka ini hanya dituntut atas pengaduan orang
itu”.

Untuk memperkokoh kedudukan rahasia jabatan dan pekerjaan dokter,

telah pula dikeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 Tahun 1966

tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran, dimana dinyatakan bahwa mentri

kesehatan dapat melakukan tindakan administrasi berdasarkan Pasal 188

Undang-undang Tentang Kesehatan, jika tidak dapat dipidanakan menurut

KUHP. Kewajiban menjaga rahasia melekat pada syarat yang dibebankan

kepada profesi tersebut. Setiap orang yang mempercayakan penyembuhannya

kepada seorang dokter, harus dapat mempercayai bahwa apa yang

diungkapkan oleh pasien itu sendiri atau yang kemudian diketahui dari hasil
4

pemeriksaan yang dianggap dipercayakan kepada dokter harus dianggap

sebagai rahasia.

Wabah COVID19 menyebabkan kekhawatiran semua pihak, sehingga

antisipasi terhadap bocornya rahasia medis yang ditulis dan dibagikan melalui

media sosial menjadi luput dari perhatian, terutama diawal-awal terjadinya

pandemi COVID19. Berikut disajikan gambar 1 jumlah peningkatan covid-19

di Indonesia.

Sumber:JHU CSSE COVID-19 Data

Gambar 1
Informasi Covid-19 di Indonesia

Berdasarkan gambar 1 menunjukkan bahwa jumlah Covid-19 di

Indonesia semakin meningkat. Mengacu pada Surat Keputusan Majelis

Kehormatan Etika Kedokteran Nomor 015/PB/K.MKEK/03/2020 tentang

Fatwa Etik Kedokteran, Kebijakan Kesehatan, dan Penelitian dalam Konteks

Pandemi COVID-19, identitas pasien, dengan atau tanpa gejala, serta kasus

positif tetap harus dilindungi. Telah dituangkan dalam Surat Keputusan


5

Majelis Kehormatan Etika Kedokteran Nomor Pada keadaan tertentu,

informasi dapat 015/PB/K.MKEK/03/2020 tentang Fatwa dibuka sebatas

inisial nama, jenis kelamin,status kesehatan singkat (meninggal, kliniskritis

berat, ataupun sembuh), usia dan kronologis yang relevan terhadap

penelusuran penularan. Adapun informasi klinis lainnya yang mendalam,

yang tidak ada kepentingan kesehatan masyarakat yang luas, seperti status

kesehatan terperinci, penyakit penyerta, dan tatalaksana sebaiknya tidak

dibuka. Akan tetapi, hal ini kembali lagi pada pengecualian terhadap

ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku, termasuk dalam

halnya menyangkut pembukaan nama penjabat public dan nama tenaga medis

yang menjadi korban dapat diberikan penghargaan oleh dunia profesi

kedokteran dan Negara.Dengan demikian, pembukaan rahasia medis yang

dikumpulkan pada kondisi wabah (termasuk nama, alamat, diagnosis, riwayat

keluarga dan sebagainya) tanpa persetujuan pasien dapat berisiko bagi

individu yang bersangkutan.

Data rekam medis pasien jika dibuka tentu akan bertentangan dengan

peraturan rekam medis seperti dijelaskan Permenkes Nomor 36 Tahun 2012

diatur tentang Rahasia Kedokteran, yang prinsipnya dalam hal tertentu

rahasia dapat dibuka tetapi terbatas sesuai kebutuhan. Hal ini dirumuskan

pada Pasal 5 Permenkes Nomor 36 Tahun 2012, yaitu :

1) Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan


kesehatan pasien, memenuhi permintaan aparatur penegak hukum
dalam rangkapenegakan hukum, permintaan pasien sendiri, atau
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2) Pembukaan rahasia kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan terbatas sesuai kebutuhan.
6

Pasal 6 Permenkes Nomor 36 Tahun 2012 menyebutkan bahwa

pembukaan rahasia kedokteran untuk kepentingan kesehatan pasien dilakukan

dengan persetujuan pasien baik secara tertulis maupun sistem informasi

elektronik. Namun Pasal 9 Permenkes Nomor 36 Tahun 2012 disebutkan

bahwa pembukaan rahasia kedokteran dapat dilakukan tanpa persetujuan

pasien dalam rangka kepentingan penegakan etik atau disiplin dan

kepentingan umum.

Dalam menyikapi pandemi Coronavirus Disease (COVID-19) yang

tengah merebak tentunya diperlukan pengambilan keputusan yang dituntut

cepat, meskipun bukti untuk pengambilan keputusan tersebut masih sedikit

dan sumber daya yang tersedia terbatas. Observasi dan pengumpulan data

yang sistematis menjadi komponen yang esensial dalam langkah penanganan,

baik sebagai panduan manajemen di waktu sekarang maupun di masa yang

akan datang. Mengacu pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang

Wabah Penyakit Menular dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009

tentang Kesehatan, salah satu upaya penanggulangan wabah yang harus

dilakukan adalah penyelidikan epidemiologis atau surveilans kesehatan oleh

pemerintah. Penyelenggaraan surveilans dengan pola kedaruratan pada wabah

pun diatur pada Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1116/Menkes/SK/VII/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem

Surveilans Epidemiologi Kesehatan. Walaupun surveilans kesehatan

masyarakat merupakan hal yang mendasar dan wajib dilakukan pada kejadian

wabah penyakit menular, hal tersebut harus diikuti dengan pendalaman etik
7

yang baik. Salah satunya adalah terkait pembukaan rahasia medis dan

identitas pasien serta dampaknya terhadap stigma di masyarakat.

Meskipun selalu ada keseimbangan antara hak individu dan kolektif,

aturan kesehatan masyarakat memberikan kekuatan besar dalam konteks

darurat kesehatan masyarakat. Beberapa ahli etika dan pembuat kebijakan

telah mengusulkan bahwa hak-hak individu, khususnya hak privasi dari

informasi kesehatan pribadi seseorang, harus dikalahkan untuk kepentingan

kolektif masyarakat ketika hal ini dilihat akan membantu mencegah

penyebaran yang lebih serius bagi masyarakat umum Informasi tentang

penyakit menular adalah informasi publik yang bersifat terbuka dan dapat

diakses masyarakat, tetapi jika terdapat informasi rahasia yang apabila dibuka

dapat memberikan konsekuensi negatif maka harus ada pertimbangan tertentu

sesuai dengan peraturan undang-undang. Dalam hal ini adalah data rekam

medis pasien jika dibuka tentu akan bertentangan dengan peraturan rekam

medis seperti dijelaskan Permenkes Nomor 36 Tahun 2012 diatur tentang

Rahasia Kedokteran, yang prinsipnya dalam hal tertentu rahasia dapat dibuka

tetapi terbatas sesuai kebutuhan.2

Namun disisi lain keadaan darurat kesehatan masyarakat, seperti

wabah COVID-19 ini, tentu menimbulkan tekanan bagi masyarakat.

Ketakutan dan kecemasan terhadap suatu penyakit dapat menyebabkan

stigma sosial terhadap orang, tempat, atau hal lain. Tentunya, beberapa

kelompok rentan terhadap stigma, seperti, pasien suspek, personel medis,

2
Ferry Fadlul Rahman, 2020, Dilema Etik Hukum Rahasia Kedokteraan saat Pandemic
Covid-19, Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur, hal. 2
8

bahkan pasien yang telah dinyatakan sembuh sekalipun. Stigma sosial dapat

menimbulkan penolakan sosial, diskriminasi dalam edukasi, pelayanan

kesehatan, pekerjaan, hingga menimbulkan kekerasan fisik.3

Di tengah pelaksanaan penanggulangan dan pencegahan wabah Covid-

19 terdapat pro kontra berkenaan dengan pembukaan transparansi data pasien

penderita Covid-19 menjadi polemic bagi pembuat kebijakan dan masyarakat.

Bagi pihak yang mendukung keterbukaan data pribadi pasien penderita

Covid-19 secara komprehensif beralasan bahwa tindakan tersebut dapat

membantu dalam mengantisipasi penularan secara terorganisasi. Namun

penolakan juga datang dari kalangan yang kontra dengan upaya ini,

dikarenakan hal tersebut berpotensi menimbulkan diskriminasi dan persekusi

sepihak dari masyarakat terhadap pasien serta keluarga dan orang

terdekatnya. Berdasarkan paparan di atas ternyata masih banyak pro dan

kontra mengenai dibukanya rahasia kedokteran di masa pandemic Covid-19,

untuk menggali permasalahan tersebut Peneliti mengambil judul penelitian

tesis “PELAKSANAAN PEMBUKAAN RAHASIA KEDOKTERAN DI

MASA PANDEMI COVID-19”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, maka dapat dirumuskan

permasalahan sebagai berikut :

3
World Health Organization, 2020, A Guide To Preventing And Addressing Social
Stigma, hal. 23.
9

1. Bagaimana pelaksanaan pembukaan rahasia kedokteran di Masa Pandemi

Covid-19?

2. Apa kendala pelaksanaan pembukaan rahasia kedokteran di Masa

Pandemi Covid-19?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian dalam penulisan tesis ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk memahami pelaksanaan pembukaan rahasia kedokteran di Masa

Pandemi Covid-19.

2. Untuk memahami kendala pelaksanaan pembukaan rahasia kedokteran di

Masa Pandemi Covid-19.

D. Manfaat Penelitian

Penulis berharap karya ilmiah dalam bentuk tesis ini dapat

memberikan manfaat-manfaat baik secara teoritis maupun praktis. Adapun

manfaat dalam peneilitian ini adalah :

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian secara teoritis diharapkan dapat memberikan

masukan untuk :

a. Kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan khususnya yang

berkaitan dengan pelaksanaan pembukaan rahasia kedokteran

khususnya di Masa Pandemi Covid-19.


10

b. Menambah literatur atau bahan rekomendasi yang dapat digunakan

untuk melakukan kajian dan penelitian selanjutnya.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini secara praktis diharapkan dapat memberikan

masukan :

a. Bagi pemerintah dalam pembuatan undang-undang tentang

pembukaan rahasia kedokteraan di masa pandemi Covid-19.

b. Bagi masyarakat penelitian ini dapat memberikan gambaran dan

pemahaman mengenai pelaksanaan pembukaan rahasia kekdokteran

di masa pandemic Covid-19.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian terdahulu terkait dengan pelaksanaan rahasia kedokteran

sudah pernah dilakukan. Menghindari kesamaan penulisan plagiatisme, maka

berikut ini peneliti sampaikan beberapa hasil penelitian sebelumnya yang

memiliki relevansi dengan penelitian ini, antara lain seperti yang tertera pada

tabel 1 dibawah ini.

Tabel 1
Penelitian Terdahulu

Nama Peneliti Judul Perguruan


No Fokus Kajian
Penelitian/Tahun Tinggi
1 Nirwana Tanggung Jawab Tesis Kewajiban menyimpan
Dokter Terhadap Universitas rahasia kedokteran
Kewajiban Hasanuddin sebagai kewajiban
Menyimpan Makassar dokter terhadap pasien,
Rahasia dalam pelaksanaannya
Kedokteran belum terlaksana
(2013) secara optimal. Hal ini
11

Nama Peneliti Judul Perguruan


No Fokus Kajian
Penelitian/Tahun Tinggi
disebabkan karena
adanya sebahagian
dokter dan perawat
yang belum
sepenuhnya
melaksanakan
kewajiban menyimpan
rahasia kedoktera, hal
ini terjadi karena
kurangnya pemahaman
dan pengetahuan
mereka tentang
pentingnya menjaga
rahasia kedokteran
dengan baik.
2. Wahyu Penerapan Prinsip Tesis Rahasia Kedokteran
Indianto Keseimbangan Universitas tidak berubah sesuai
Dalam Rahasia Sebelas Maret Sumpah Hippocrates
Kedokteran Surakarta termasuk dalam
Pasien HIV/AID rahasia pasien
Dalam Peraturan HIV/AIDS. Penerapan
Perundang Rahasia pasien
Undangan HIV/AIDS
Indonesia (2017) berkembang dalam
menyesuaikan
dengan perkembangan
nilai-nilai dalam
masyarakat dan dunia
kedokteran. Wajib
simpan rahasia ini
bukanlah suatu
kewajiban yang
mutlak tetapi suatu yag
bersifat prima facie,
sampai ada kewajiban
yang lebih besar yang
harus dijalankan
seperti untuk
melindungi pasangan
seksual penderita
HIV/AIDS atau untuk
melindungi
kepentingan
masyarakat. Asas
12

Nama Peneliti Judul Perguruan


No Fokus Kajian
Penelitian/Tahun Tinggi
keseimbangan ini
merupakan asas yang
berlaku umum.
Keseimbangan
Rahasia Kedokteran
berupa kepastian
perlindungan bagi
manusia, dalam hal ini
tenaga kesehatan/
dokter dan ODHA
serta juga harus bisa
memulihkan
keseimbangan tatanan
masyarakat yang
terganggu pada
keadaan semula.
Perkembangan makna
keseimbangan Rahasia
Kedokteran pada
penderita HIV/AIDS
telah berlangsung
dalam upaya
penaggulangan
HIV/AIDS yang
terwujud dalam
prinsip-prinsip yang
memuat persetujuan
tindakan (consent),
kepastian kerahasiaan
(confidentiality),
kepastian diagnosis
(Correct Test) dengan
konsekwensi
pemberian layanan
kesehatan (Conect to)
yang berupa
Perawatan Dukungan
Terapi (Care Support
and teratment).
Prinsip-prinsip layanan
ini dilaksanakan
dengan komprehensif
dan berkesinambungan
3. Wila Hak Jawab Teisi Dalam Pasal 44
13

Nama Peneliti Judul Perguruan


No Fokus Kajian
Penelitian/Tahun Tinggi
Chamndrawil Rumah Sakit dan Universitas Undang-Undang
a Kewajiban Katolik Tahun 2009 tentang
Menyimpan Soegijapranata Rumah Sakit untuk
Rahasia Semarang selanjutnya disebut
Kedokteran UURS, hak jawab ini
Dalam Sengketa merupakan
Medik perlindungan hukum
(2010) terhadap rumah sakit,
rumah sakit memiliki
hak jawab, yang mana
hak jawab tersebut
dapat mengungkapkan
tentang rahasia medic
pasien tersebut.
Namun dalam
praktiknya hal tersebut
mungkin akan sulit
dilakukan karena
mengungkapkan
rahasia kedokteran
diaturoleh peraturan
perundangan.

Berdasarkan uraian tersebut, walau telah ada penelitian sebelumnya

yang membahas mengenai pelaksanaan rahasia kedokteran namun terdapat

perbedaan dengan penelitian yang dilakukan peneliti. Penelitian ini

membahas mengenai pelaksanaan pembukaan rahasia kedokteran di masa

pandemi covid-19 yang belum pernah dilakukan penelitian sebelumnya

sehingga penelitian ini dianggap asli dan layak untuk diteliti karena

membahas pokok masalah yang baru.


14

F. Kerangka Pemikiran

Beberapa ahli etika dan pembuat kebijakan telah mengusulkan bahwa

hak-hak individu, khususnya hak privasi dari informasi kesehatan pribadi

seseorang, harus dikalahkan untuk kepentingan kolektif masyarakat ketika hal

ini dilihat akan membantu mencegah penyebaran yang lebih serius bagi

masyarakat umum Informasi tentang penyakit menular adalah informasi

publik yang bersifat terbuka dan dapat diakses masyarakat, tetapi jika terdapat

informasi rahasia yang apabila dibuka dapat memberikan konsekuensi negatif

maka harus ada pertimbangan tertentu sesuai dengan peraturan undang-

undang. Dalam hal ini adalah data rekam medis pasien jika dibuka tentu akan

bertentangan dengan peraturan rekam medis seperti dijelaskan Permenkes

Nomor 36 Tahun 2012 diatur tentang Rahasia Kedokteran, yang prinsipnya

dalam hal tertentu rahasia dapat dibuka tetapi terbatas sesuai kebutuhan.

Untuk lebih jelasnya, kerangka pikir yang dikemukakan diatas dapat dilihat

dalam diagram kerangka pikir sebagai berikut :


15

PELAKSANAAN PEMBUKAAN RAHASIA KEDOKTERAN


DI MASA PANDEMI COVID-19

DAS SOLLEN DAS SEIN

 Undang-Undang Praktik Kedokteran  Permenkes Nomor 36 Tahun 2012


dan Undang-Undang Nomor 36 diatur tentang Rahasia Kedokteran
Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Pasal 5 Rahasia kedokteran dapat
Kesehatan). Pada ketentuan Pasal 48 dibuka hanya untuk kepentingan
Undang-Undang Praktik Kedokteran kesehatan pasien, memenuhi
disebutkan bahwa : “setiap dokter permintaan aparatur penegak
atau dokter gigi dalam melaksanakan hukum dalam rangka penegakan
praktik kedokteran wajib menyimpan hukum, permintaan pasien sendiri,
rahasia kedokteran” atau berdasarkan ketentuan
 Pasal 57 Undang-Undang Nomor 36 peraturan perundang-undangan
Tahun 2009, disebutkan bahwa:  Pasal 9 ayat (1) Permenkes Nomor
Setiap orang berhak atas rahasia 36 Tahun 2012 menyatakan
kondisi kesehatan pribadinya yang Pembukaan rahasia kedokteran
telah dikemukakan kepada berdasarkan ketentuan peraturan
penyelenggara pelayanan kesehatan perundang-undangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 dilakukan
tanpa persetujuan pasien dalam
rangka kepentingan penegakan
etik atau disiplin, serta
kepentingan umum.
 Pasal 9 ayat (4) btir b Kepentingan
umum sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi : ancaman
Kejadian Luar Biasa/wabah
penyakit menular.
 Kasus Habib Rizieq yang tidak
mau membuka informasi
mengenai kesehatannya dalam hal
ini Covid-19

Kesenjangan:
1. Masih terdapat perbedaan pendapat mengenai rahasia kedokteran dapat dibuka dimuka
umum tanpa persetujuan pasien
2. Perkembangan wabah penyakit menular Covid-19 membutuhkan data pasien guna
kepetingan pihak terkait dalam mengendalikan wabah penyakit menular Covid-19

Permasalahan:
1. Bagaimana pelaksanaan rahasia kedokteran di Masa Pandemi Covid-19?
2. Apa kendala pelaksanaan pembukaan rahasia kedokteran di Masa Pandemi Covid-19?
16

G. Tinjauan Pustaka

1. Tinjauan Umum Mengenai Hukum Kesehatan

Hukum kesehatan termasuk hukum “lex specialis”, melindungi

secara khusus tugas profesi kesehatan (provider) dalam program

pelayanan kesehatan manusia menuju ke arah tujuan deklarasi health for

all dan perlindungan secara khusus terhadap pasien “receiver” untuk

mendapatkan pelayanan kesehatan.4 Hukum kesehatan dengan sendirinya

ini mengatur hak dan kewajiban masing-masing penyelenggara

pelayanan dan penerima pelayanan, baik sebagai perorangan (pasien)

atau kelompok masyarakat.5

Perhimpunan Hukum Kesehatan Indonesia dalam anggaran

dasarnya menyatakan bawha hukum kesehatan adalah semua ketentuan

hukum yang berhubungan langsung dengan pemeliharaan atau pelayanan

kesehatan dan penerapannya serta hak dan kewajiban baik perorangan

dan segenap lapisan masyarakat sebagai penerima pelayanan kesehatan

maupun dari pihak penyelenggara pelayanan kesehatan dalam segala

aspek organisasi; sarana pedoman medis nasional atau internasional,

hukum di bidang kedokteran, yurisprudensi serta ilmu pengetahuan

bidang kedokteran kesehatan. Hukum kedokteran yang dimaksud disini

ialah bagian hukum kesehatan yang menyangkut pelayanan medis.6

4
Cecep Triwibowo, 2014, Etika dan Hukum Kesehatan, Nuha Medika, Yogyakarta,
hal.16
5
Soekidjo Notoatmodjo, 2010, Etika dan Hukum Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta,
hal.44
6
Sri Siswati, 2013, Etika dan Hukum Kesehatan dalam Perspektif Undang-Undang
Kesehatan, Rajawali Pers, Jakarta, hal. 11
17

Hukum kesehatan menurut H.J.J. Lennen adalah keseluruhan

ketentuanketentuan hukum yang berkaitan langsung dengan pelayanan

kesehatan dan penerapan kaidah-kaidah hukum perdata, hukum

administrasi negara, dan hukum pidana dalam kaitannya dengan hal

tersebut.7 Hermien Hadiati Koeswadji menyatakan pada asasnya hukum

kesehatan bertumpu pada hak atas pemeliharaan kesehatan sebagai hak

dasar social (the right to health care) yang ditopang oleh 2 (dua) hak

dasar individual yang terdiri dari hak atas informasi (the right to

information) dan hak untuk menentukan nasib sendiri (the right of self

determination).8 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hukum

kesehatan adalah seluruh kumpulan peraturan yang mengatur tentang hal-

hal yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan. Sumber hukum

kesehatan tidak hanya bertumpu pada hukum tertulis (undang-undang),

namun juga pada jurisprudensi, traktat, konsensus, dan pendapat ahli

hukum serta ahli kedokteran (termasuk doktrin).9

2. Tinjauan Umum Mengenai Implementasi Kebijakan

a. Pengertian Implementasi Kebijakan

Mazmanian dan Sabatier mengemukakan implementasi

kebijakan berarti berusaha untuk memahami apa yang senyatanya

terjadi sesudah suatu program diberlakukan atau dirumuskan, yakni

7
Ibid, hal. 13
8
Hermien Hadijati Koeswadji, 1998, Hukum Kedokteran (Studi Tentang Hubungan
Hukum Dalam Mana Dokter Sebagai Salah Satu Pihak), Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 42.
9
Ta’adi, Hukum Kesehatan: 2013, Sanksi dan Motivasi bagi Perawat, Buku Kedokteran
EGC, Jakarta, hal. 5.
18

peristiwa-peristiwa dan kegiatan-kegiatan yang terjadi setelah proses

pengesahan/legislasi kebijakan publik, baik itu menyangkut usaha-

usaha untuk mengadministrasikannya maupun usaha-usaha untuk

memberikan dampak tertentu pada masyarakat ataupun peristiwa-

peristiwa”.10 Kebijakan publik menurut Subarsono adalah apapun

pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan (public

policy is whatever governments choose to do or not to do).11

Definisi kebijakan publik dari Thomas Dye mengandung

makna bahwa (1) kebijakan publik tersebut dibuat oleh badan

pemerintah, bukan organisasi swasta; (2) kebijakan publik

menyangkut pilihan yang harus dilakukan atau tidak dilakukan oleh

badan pemerintah. Dalam pandangan Subarsonoimplementasi

kebijakan dipengaruhi oleh empat variabel, yakni : komunikasi,

sumberdaya, disposisi dan struktur birokrasi.12

Proses kebijakan publik terdiri dari lima tahapan yaitu

sebagai berikut:13

1. Penyusunan agenda (agenda setting), yakni suatu proses


agar suatu masalah bisa mendapat perhatian dari
pemerintah.
2. Formulasi kebijakan (policy formulation), yakni proses
perumusan pilihanpilihan kebijakan oleh pemerintah.
3. Pembuatan kebijakan (decision making), yakni proses
ketika pemerintah memilih untuk melakukan suatu
tindakan atau tidak melakukan suatu tindakan.

10
Mazmanian, Daniel H, dan Paul A Sabatier, Op. Cit, hal 15.
11
AG. Subarsono, 2010, Analisis Kebijakan Publik Konsep Teori dan Aplikasi, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, hal 2.
12
Thomas R.Dye., 2009, Understanding Public Policy, Prentice-Hall, INC., USA, hal
56.
13
Ibid, hal. 57-58.
19

4. Implementasi kebijakan (policy implementation), yaitu


proses untuk melaksanakan kebijakan supaya mencapai
hasil.
5. Evaluasi kebijakan (policy evaluation), yakni proses
untuk memonitor dan menilai hasil atau kinerja
kebijakan.

Kerangka kerja kebijakan publik akan ditentukan oleh

beberapa variabel sebagai berikut:14

1. Tujuan yang akan dicapai. Ini mencangkup kompleksitas


tujuan yang akan dicapai. Apabila tujuan kebijakan
semakin kompleks, maka semakin sulit mencapai kinerja
kebijakan, sebaliknya apabila tujuan kebijakan semakin
sederhana, maka semakin mudah untuk mencapainya.
2. Preferensi nilai seperti apa yang perlu dipertimbangkan
dalam pembuatan kebijakan. Suatu kebijakan yang
mengandung berbagai variasi nilai akan jauh lebih sulit
untuk dicapai dibanding dengan suatu kebijakan yang
hanya mengejar satu nilai.
3. Sumberdaya yang mendukung kebijakan. Kinerja suatu
kebijakan akan ditentukan oleh sumberdaya finansial,
material, dan infrastruktur lainnya.
4. Kemampuan aktor yang terlibat dalam pembuatan
kebijakan. Kualitas dari suatu kebijakan akan
dipengaruhi oleh kualitas para aktor yang terlibat dalam
proses penetapan kebijakan. Kualitas tersebut akan
ditentukan dari tingkat pendidikan, kompetensi dalam
bidangnya, pengalaman kerja, dan integritas moralnya.
5. Lingkungan yang mencangkup lingkungan sosial,
ekonomi, politik dan sebagainya. Kinerja dari suatu
kebijakan akan dipengaruhi oleh konteks sosial,
ekonomi, politik tempat kebijakan tersebut
diimplementasikan.
6. Strategi yang digunakan untuk mencapai tujuan. Strategi
yang digunakan untuk mengimplementasikan suatu
kebijakan akan mempengaruhi kinerja dari suatu
kebijakan. Strategi yang digunakan dapat bersifat top-
down approach atau bottom-up approach, otoriter atau
demokratis.

14
AG. Subsarono, Op. Cit, hal. 6-8.
20

b. Kebijakan Pembukaan Rahasia Kedokteraan di Masa Pandemi

Wabah Covid-19 menyebabkan kekhawatiran semua pihak,

sehingga antisipasi terhadap bocornya rahasia medis yang ditulis dan

dibagikan melalui media sosial menjadi luput dari perhatian,

terutama diawal-awal terjadinya pandemi Covid-19. Maksudnya

mungkin saja baik, yaitu untuk memangkas waktu koordinasi dengan

pihak terkait, namun perlu dipahami bahwa media sosial memang

punya kekuatannya sendiri.

Pembukaan rahasia medis ini dapat dilakukan oleh Dokter

Penanggungjawab Pelayanan (DPJP), Pimpinan Fasyankes bila

DPJP tidak ada, ketua tim bila perawatan dilakukan oleh tim dan

anggota tim bila ketua tim tidak ada kepada pihak yang berwenang

menangani masalah kesehatan, dalam hal wabah Covid-19 tentunya

pihak tersebut adalah Dinas Kesehatan dan pihak terkait lainnya.

Maka jelas menurut etika dan hukum, rahasia medis pasien

Covid-19 dapat dibuka, namun untuk tidak dikonsumsi umum.

Terkait kerahasiaan pasien Covid-19 ini juga telah diatur oleh Ikatan

Dokter Indonesia (IDI) melalui SK Majelis Kehormatan Etik

Kedokteran (MKEK) nomor 015/PB/K.MKEK/03/2020 tentang

fatwa etik kedokteran, kebijakan kesehatan dan penelitian dalam

konteks pandemi Covid-19 bahwa Identitas pasien atau orang

dengan maupun tanpa gejala klinis dengan diagnosis positif Covid-

19 (kasus confirm) pada prinsipnya tetap harus dilindungi.


21

Dalam keadaan tertentu dapat dibuka sebatas inisial nama,

jenis kelamin, status kesehatan singkat (meninggal/klinis kritis

berat/sembuh), usia dan kronologi terbatas hanya yang relevan

dengan penularan, misalnya penjabaran lokasi potensi penularan

dengan maksud menjadi kewaspadaan publik dan penelusuran

kontak (penyelidikan epidemiologis).

Adapun informasi klinis terperinci, penyakit penyerta dan

tatalaksana sebaiknya tidak dibuka. Pengecualiaan hanya dapat

dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku, termasuk antara lain membuka nama pejabat publik dan

nama tenaga medis dan nama tenaga kesehatan yang menjadi korban

untuk kemudian diberikan penghargaan oleh dunia profesi

kedokteran dan negara.15

Pemberian informasi serta literasi yang transparan dan

aktual kepada publik harus diaplikasikan oleh Pemerintah dalam

mengontrol persebaran pandemic Covid-19. Langkah-langkah

antisipatif seperti perkembangan penanganan kasus dengan

menggunakan terapi plasma darah dari pasien yang sudah sembuh

dari Covid-19, tingkat kasus positif dan negatif pengidap Covid-19,

jumlah angka kematian, populasi pasien yang sembuh, metode

pengurangan rasio penyebaran, prosedur penanganan dan jenazah

penderita Covid-19 hingga lamanya masa karantina. Poin-poin

informasi yang bersifat akurat, terbuka dan akuntabel diharapkan


15
Rika Susanti, www.valora.co.id. Diakses tanggal 11 Desember 2020
22

dapat digunakan oleh Pemerintah dalam menekan resiko melalui

kebijakan-kebijakan yang tepat guna mengurangi peningkatan

jumlah masyarakat yang mengidap Virus Covid-19.16

Keterbukaan data informasi kepada masyarakat pada masa

Pandemic Covid-19 sebagaimana diatur pada beberapa aturan

Undang-Undang diatas merupakan tindak lanjut pengaturan hak

Asasi Manusia yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berdasarkan ketentuan

Pasal 28 (E) dan 28 (F) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 memberikan jaminan bagi seluruh warga

negara Indonesia untuk memiliki, memperoleh dan menyebarluaskan

berita informasi kepada masyarakat. Bila dikaitkan dengan

penanganan wabah Covid-19, Pemenuhan Kebutuhan informasi oleh

Pemerintah bagi masyarakat akan data yang valid, akurat dan terus

diperbaharui sesuai kondisi terkini serta mitigasi resiko wajib

dilaksanakan tanpa terkecuali. Keterbukaan dan koordinasi

Pemerintah Republik Indonesia pengiriman informasi secara

terintegrasi dengan Pemerintah Daerah menjadi kunci dalam

mengontrol penyebaran Covid-19 agar tidak semakin masif. Selain

itu akurasi dan penyampaian informasi yang akuntabel tentang

wabah Covid-19 dapat dijadikan sebagai rambu-rambu pencegahan

16
Rahandy Rizki Prananda, 2020, Batasan Hukum Keterbukaan Data Medis Pasien
Pengidap Covid-19: Perlindungan Privasi VS Transparansi Informasi Publik, Law, Development
& Justice Review, No. 1 Vol. 3, hal. 149.
23

penerimaan informasi yang asimetris yang membahayakan

masyarakat.

3. Tinjauan Umum Mengenai Rahasia Kedokteran dalam Rekam

Medis

Rekam Medis menurut Permenkes Nomor 269 Tahun 2008 adalah

berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien,

pemeriksaan, pengobatan, tindakan,dan pelayanan lain yang telah

diberikan kepada pasien. Rekam Medis masuk dalam rahasia kedokteran

seperti dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang

Praktik Kedokteran.17 Rahasia kedokteran mencakup data tentang (1)

Identitas pasien, (2) Data kesehatan pasien meliputi hasil anamnesis,

pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, penegakan diagnosis,

pengobatan dan atau tindakan kedokteran. Pasal 48 Undang-Undang

Nomor 29 Tahun 2004 menyebutkan bahwa setiap dokter atau dokter

gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran wajib menyimpan rahasia

kedokteran. Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan

kesehatan pasien, memenuhi permintaan aparatur penegak hukum, dan

atas permintaan pasien sendiri.

Di dalam Pasal 3 dan 5 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 4

Tahun 2018 tentang Kewajiban Rumah Sakit dan Kewajiban Pasien,

disebutkan, ada kewajiban rumah sakit untuk memberikan informasi

17
Anny Retnowati. 2006. Tinjauan Hukum Terhadap rekam Medis, Justitiaetpax, Juni
(26), No. 1, hal 6
24

yang benar tentang pelayanan kepada pasien Pasal 2 Undang-Undang

Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik disebutkan

bahwa setiap informasi publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh

setiap pengguna informasi publik,kecuali informasi tertentu bersifat ketat

dan terbatas. Informasi publik yang dikecualikan yang bersifat rahasia

sesuai dengan undang-undang. Informasi yang mengandung konsekuensi

jika ditutup dan dibuka untuk masyarakat harus dipertimbangkan

konsekuensinya dengan seksama untuk kepentingan yang lebih besar.

Data rekam medis secara principal terdiri dari dua aspek yaitu

informasi yang bersifat rahasia dan informasi yang tidak mengandung

kerahasiaan18. Informasi yang bersifat rahasia terdiri dari laporan atau

hasil pemeriksaan dari keadaan Kesehatan pasien, sehingga konten

dokumen ini tidak diperbolehkan untuk dibuka maupun disebarluaskan

kepada pihak-pihak yang tidak mempunyai kewenangan. Pemberitahuan

menyangkut penyakit pasien kepada pasien/keluarga menjadi tanggung

jawab dokter pasien, pihak lain tidak memiliki hak sama sekali.

Sementara itu, informasi yang tidak mengandung kerahasiaan antara lain

identitas dan informasi non medis. Informasi rekam medis milik pasien

penderita Covid-19 merupakan jenis informasi yang bersifat privat. Data

pribadi pasien merupakan informasi yang dikecualikan untuk diungkap

kepada masyarakat luas.

18
Anny Retnowati. 2013. Politik Hukum dalam Menata Rekam Medis ssebagai alt
perlindungan Hukum Terhadap Rumah Sakit, Pasien dan Dokter. Jurnal Yustisia Vol.2 No.2 Mei
-Agustus 2013 hal 145
25

Hak atas Informasi Kesehatan dalam Konsep The Right to Access

Health Care Dalam konsep hukum nasional informasi kesehatan

merupakan salah satu jenis informasi publik yang dirumuskan dalam

beberapa ketentuan perundang-undangan, salah satunya dirumuskan

dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan

Informasi Publik sebagaimana telah diuraikan di atas. Sementara itu,

pada Pasal 168 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang

Kesehatan (UU Kesehatan) dirumuskan sebagai berikut:

a untuk menyelenggarakan upaya kesehatan yang efektif dan


efisien diperlukan informasi kesehatan.
b informasi kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui system informasi dan melalui lintas sektor.
c ketentuan lebih lanjut mengenai sistem informasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan
Pemerintah

Selanjutnya pada Pasal 169 Undang-Undang Kesehatan diatur

bahwa, “Pemerintah memberikan kemudahan kepada masyarakat untuk

memperoleh akses terhadap informasi kesehatan dalam upaya

meningkatkan derajat kesehatan masyarakat”. Ketentuan sebagaimana

diuraikan di atas didasarkan pada amanat konstitusi yang dirumuskan

dalam Pasal 28 E ayat (2) dan 28 F yang menjamin bagi perolehan,

pemilikan, dan penyebaran informasi. Sementara itu, Undang-undang

Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pada ketentuan

Pasal 4 ayat (3) dengan jelas diberikan hak bagi konsumen yaitu hak atas

informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan

barang dan atau jasa, artinya konsumen barang dan jasa pelayanan
26

kesehatan berhak atas informasi yang jelas dan jujur, sedangkan Undang-

Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (UU Rumah Sakit)

pada ketentuan Pasal 29 ayat (1) butir a diatur bahwa salah satu

kewajiban rumah sakit adalah memberikan informasi yang benar tentang

pelayanan rumah sakit kepada masyarakat. Jika dikaitkan dengan

kewajiban rumah sakit untuk mengembangkan sistem informasi

kesehatan tersebut, sebenarnya yang dimaksud informasi kesehatan

adalah terkait dengan: bentuk dan macam layanan; transparansi

anggaran; kemudahan akses; dan kewajiban publik lainnya dalam

kedudukannya sebagai badan layanan publik.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dijelaskan bahwa hak atas

informasi publik dalam kaitannya dengan pelayanan kesehatan adalah

hak setiap orang/masyarakat untuk mendapatkan informasi dari

pemerintah selaku penanggung jawab untuk terjaminnya hak hidup sehat

bagi setiap orang. Dalam rangka perwujudan hak atas informasi

kesehatan tersebut, pemerintah mengembangkan sistem informasi

kesehatan. Pengembangan sistem informasi kesehatan juga dilakukan

agar hak akses dalam pelayanan kesehatan dapat terpenuhi, mutu

pelayanan dapat diawasi, sehingga derajat kesehatan yang baik tercapai.

Dalam informasi kesehatan terdapat informasi yang bersifat

publik atau dapat diinformasikan kepada publik dan informasi yang

bersifat privat atau yang tidak boleh dibuka kepada publik. Informasi

kesehatan yang dapat diinformasikan kepada publik terdiri dari


27

bermacam bentuk dan jenis. Sebagai contoh, sistem informasi kesehatan

di rumah sakit yang diinformasikan kepada publik antara lain:

menyangkut bentuk dan jenis layanan rumah sakit, prosedur layanan,

biaya, fasilitas pelayanan kesehatan, dan sistem pembiayaan. Contoh

yang lebih khusus adalah system informasi terkait pemberantasan

penyakit antara lain berupa: informasi hasil survey jenis penyakit tertentu

(melalui pelaporan, pendataan, pemetaan); program pencegahan

penyakit; tindakan penanggulangan penyakit; data perkembangan jenis-

jenis penyakit menular dan daerah penularannya; informasi tentang

angka kejadian penyakit tertentu, yang kesemuanya diamanatkan oleh

undang-undang.

Adapun informasi kesehatan yang bersifat privat adalah data dan

kondisi kesehatan, baik yang dituangkan dalam medical record maupun

yang diketahui, dilihat, atau didengar oleh tenaga kesehatan sebagaimana

diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 269

Tahun 2008 tentang Rekam Medis dan Permenkes Nomor 36 Tahun

2012 tentang Rahasia.

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa informasi

kesehatan yang bersifat publik dapat dibuka kepada publik, sedangkan

informasi kesehatan yang bersifat privat tidak boleh dibuka kepada

publik. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan

Informasi Publik secara tegas diatur bahwa informasi publik yang dapat

diberikan atau dibuka kepada publik dikecualikan informasi yang


28

berkaitan dengan hak-hak pribadi dan informasi yang berkaitan dengan

rahasia jabatan. Khusus untuk bidang kesehatan, informasi yang tidak

boleh diberikan kepada publik adalah data dan kondisi kesehatan

seseorang.

4. Tinjauan Umum Mengenai Hak atas Rahasia Kedokteran

Pembahasan tentang rahasia kedokteran (medical secrecy) tidak

mungkin dapat dilepaskan dari pembahasan tentang informed consent

dan medical record. Dalam pelayanan kesehatan, hal ini dikenal dengan

konsep trilogy rahasia kedokteran. Pengertian trilogi rahasia kedokteran

ini muncul, mengingat bahwa dalam setiap upaya pelayanan kesehatan

terdapat tiga hal penting yang merupakan satu rangkaian yang saling

terkait antara tindakan yang satu dengan tindakan lainnya.19

Informed consent merupakan hak pasien untuk memberikan

persetujuan atas tindakan medis terhadap dirinya, adalah hak pasien yang

bersumber dari hak asasi manusia yakni the right of self determination.

Informed consent dilakukan setelah pasien menerima informasi yang

cukup tentang kondisi kesehatannya, tindakan medis yang akan

dilakukan, bahkan biaya yang akan ditanggung. Ketentuan hokum

tentang informed consent diatur dalam Permenkes Nomor 290 Tahun

2008. Dalam pelaksanaan prosedur informed consent tersebut, informasi

harus diberikan dengan itikad baik, jujur, dan tidak menakut-nakuti.

Informasi kepada pasien merupakan hak pasien, jadi harus diberikan baik
19
J. Guwandi, 1992, Trilogi Rahasia Kedokteran, FK UI, Jakarta, hal. 15.
29

diminta maupun tidak diminta.20 Informasi yang diberikan tersebut harus

selengkap-Iengkapnya yaitu mencakup tentang keuntungan dan kerugian

dari tindakan kedokteran yang akan dilakukan, yaitu diagnostik maupun

terapeutik dan sebaiknya informasi atau penjelasan, sesuai dengan

pendapat Leenen, yaitu minimal mencakup informasi atau penjelasan

tentang:21

a Diagnosis;
b Terapi, dengan kemungkinan alternatif terapi;
c Tentang cara kerja dan pengalaman dokter;
d Risiko bila dilakukan atau tidak dilakukan tindakan
kedokteran tersebut;
e Kemungkinan perasaan sakit ataupun perasaan lainnya;
f Keuntungan terapi;
g Prognosa

Latar belakang dilakukannya prosedur informed consent dalam

pelayanan kesehatan, yang melibatkan hubungan antara dokter (tenaga

kesehatan) dengan pasien atau biasa dikenal dengan hubungan terapeutik,

didasarkan pada alasan:

a hubungan dokter-pasien adalah berdasarkan kepercayaan;

b adanya hak otonomi atau hak menentukan sendiri atas dirinya;

c adanya hubungan kontraktual antara dokter-pasien.

Sementara itu, tujuan dari informed consent adalah memberikan

perlindungan hukum, baik bagi pasien maupun dokter yang melakukan

tindakan medis.22 Pada prinsipnya, dalam prosedur informed consent,

yang merupakan hak pasien, diawali dengan pemberian informasi dari


20
Ibid, hal. 21
21
Ameln Fred, 1991, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Grafikatama Jaya, Jakarta, hal.
45
22
Ibid, hal. 21
30

dokter yang memberikan pelayanan medis dan diakhiri dengan

persetujuan pasien untuk dilakukan tindakan medis.

Dalam hal ini yang dimaksud informasi medis adalah informasi

tentang kondisi kesehatan seseorang, yang merupakan salah satu ‘hak

pasien’. Pada Pasal 7 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang

Kesehatan dijelaskan bahwa, “Setiap orang berhak untuk mendapatkan

informasi dan edukasi tentang kesehatan yang seimbang dan

bertanggungjawab”.Selanjutnya pada Pasal 8 dinyatakan bahwa, “Setiap

orang berhak memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya

termasuk tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang akan

diterimanya dari tenaga kesehatan”. Pada ketentuan ini dapat dijelaskan

pula bahwa informasi kesehatan dalam konteks ketentuan ini adalah

informasi kesehatan yang bersifat privat, sehingga yang boleh

mengetahui hanyalah yang berhak terutama pasien yang bersangkutan.

Data kesehatan pasien dicatat dalam suatu berkas yang disebut

rekam medis, yang memiliki nilai kerahasiaan. Ketentuan tentang

medical records dirumuskan dalam Permenkes Nomor 269 Tahun 2008.

Menurut Permenkes ini yang dimaksud medical record, adalah berkas

yang berisi catatan dan dokumen antara lain identitas pasien, hasil

pemeriksaan, pengobatan yang telah diberikan, serta tindakan dan

pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien. Catatan merupakan

tulisan- tulisan yang dibuat oleh dokter atau dokter gigi mengenai

tindakan-tindakan yang dilakukan kepada pasien dalam rangka pelayanan


31

kesehatan. Selanjutnya disebutkan bahwa bentuk medical record dapat

berupa manual yaitu tertulis lengkap dan jelas atau dalam bentuk

elektronik sesuai ketentuan. Rekam medis terdiri dari catatan- catatan

data pasien yang dilakukan dalam pelayanan kesehatan. Catatan-catatan

tersebut sangat penting untuk pelayanan bagi pasien karena data yang

lengkap dapat memberikan informasi yang menentukan berbagai

keputusan baik pengobatan, penanganan, tindakan medis dan lainnya.

Dokter atau dokter gigi diwajibkan membuat rekam medis sesuai aturan

yang berlaku.

Dalam Permenkes tersebut juga menyatakan bahwa isi rekam

medis adalah milik pasien, sedangkan dokumen adalah milik sarana

pelayanan kesehatan. Rekam medis merangkum kontak pasien dengan

sarana pelayanan kesehatan yang isinya meliputi: data pasien,

pemeriksaan, pengobatan dan tindakan yang diberikan, korespondensi

demi kesinambungan pelayanan (biasanya dalam bentuk kartu). Medical

records yang berisi data pasien merupakan hak pasien dan menjadi

kewajiban dokter untuk membuatnya. Data pasien yang dituangkan

dalam medical records merupakan informasi yang berisikan data yang

mengandung kerahasiaan, sehingga provider wajib mengelola data

tersebut dengan sebaik-baiknya.

5. Kewajiban Perlindungan Rahasia Medis Pada Kondisi Wabah

Rahasia medis mengikat hubungan dokter dan pasien dengan

didasari oleh berbagai peraturan. Sumpah Dokter Indonesia butir 4


32

menyatakan bahwa “Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya

ketahui krena keprofesiam saya”. Hal itu ditegaskan oleh Kode Etik

Kedokteran Indonesia Tahun 2012 pada Pasal 16 yang menyatakan

“Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya

tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia”

dan selaras dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang

Praktik Kedokteran Pasal 48 ayat 1 yang menyebutkan “Setiap dokter

atau dokter gigi dalam melaksanakann praktik kedokteran wajib

menyimpan rahasia kedokteran”. Rahasia kedokteran hanya dapatdibuka

apabila ada alasan kode etik yang kuat dan apabila dilakukan penuh

kehati-hatian.

Mengacu pada Surat Keputusan Majelis Kehormatan Etika

Kedokteran Nomor 015/PB/K.MKEK/03/2020 tentang Fatwa Etik

Kedokteran, Kebijakan Kesehatan, dan Penelitian dalam Konteks

Pandemi Covid-19, identitas pasien, dengan atau tanpa gejala, serta kasus

positif tetap harus dilindungi. Telah dituangkan dalam Surat Keputusan

Majelis Kehormatan Etika Kedokteran Nomor Pada keadaan tertentu,

informasi dapat 015/PB/K.MKEK/03/2020 tentang Fatwa dibuka sebatas

inisial nama, jenis kelamin,status kesehatan singkat (meninggal,

kliniskritis berat, ataupun sembuh), usia dan kronologis yang relevan

terhadap penelusuran penularan. Adapun informasi klinis lainnya yang

mendalam, yang tidak ada kepentingan kesehatan masyarakat yang luas,

seperti status kesehatan terperinci, penyakit penyerta, dan tatalaksana


33

sebaiknya tidak dibuka. Akan tetapi, hal ini kembali lagi pada

pengecualian terhadap ketentuan peraturan perundangundangan yang

berlaku, termasuk dalam halnya menyangkut pembukaan nama penjabat

public dan nama tenaga medis yang menjadi korban dapat diberikan

penghargaan oleh dunia profesi kedokteran dan Negara.Dengan

demikian, pembukaan rahasia medis yang dikumpulkan pada kondisi

wabah (termasuk nama, alamat, diagnosis, riwayat keluarga dan

sebagainya) tanpa persetujuan pasien dapat berisiko bagi individu yang

bersangkutan.

Pasal 50 huruf (a) Undang-Undang Nomor 29 Tahun

2004 tentang Praktik Kedokteran yang menyatakan bahwa, "Dokter atau

Dokter Gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai hak

memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai

dengan standar profesi dan standar prosedur operasional. Pasal 16 Kode

Etik Kedokteran Indonesia mewajibkan kepada Dokter untuk senantiasa

memelihara kesehatannya, supaya dapat bekerja dengan baik. Beban

kerja dan waktu kerja, sebenarnya telah diatur di dalam Pasal 77 Undang-

Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang membagi

waktu kerja menjadi dua skema, yaitu: 7 jam 1 hari dan 40 jam 1 minggu

untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu atau 8  jam 1 hari dan 40 jam 1

minggu untuk 5 hari kerja dalam 1 minggu. Namun, ketentuan ini sulit

diterapkan bagi Dokter karena seringkali Dokter menghadapi kewajiban

hukum yang tidak dapat dihindarinya ketika mengemban profesinya.


34

Misalnya, seorang dokter menerima penggilan emergency di luar waktu

kerja (kewajiban hukum berdasarkan Pasal 531 dan Pasal 304 Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana). Menyikapi hal ini, tentunya diperlukan

kebijakan dari sarana kesehatan untuk mengatur beban kerja dan waktu

kerja bagi Dokter agar tetap proporsional di masa kritis pandemi Covid

19.

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 585

Tahun 1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik, yang kemudian

diperbaharui dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor 290 Tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran.

Informed consent menjadi isu yang menarik terkait dengan pandemi

Covid-19 karena beberapa pasien menyampaikan informasi tidak secara

jujur (atau menutupi sebagian informasi) ketika mengakses pelayanan

medis kepada Dokter. Akibatnya, selain terapi yang diberikan oleh

Dokter menjadi tidak maksimal, maka Dokter berpotensi terpapar Covid-

19 jika ternyata pasien yang sedang dilayaninya merupakan carier dari

Covid-19. Hal ini memprihatinkan karena beberapa peraturan perundang-

undangan telah mengamanahkan agar pasien menyampaikan informasi

dengan jujur ketika mengakses pelayanan medis. 

Pasal 50 huruf (c) Undang-Undang Praktik Kedokteran

menyatakan bahwa, “Dokter atau Dokter Gigi dalam melaksanakan

praktik kedokteran mempunyai hak memperoleh informasi yang lengkap

dan jujur dari pasien atau keluarganya.” Pasal 7 ayat (2) huruf (a)
35

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2017

tentang Keselamatan Pasien mewajibkan kepada pasien dan keluarganya

untuk memberikan informasi yang benar, jelas, lengkap dan jujur.

H. Metode Penelitian

1. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini

adalah yuridis empiris, yaitu penelitian yang didasarkan pada perundang-

undangan dan juga menggunakan penelitian yang didasarkan pada fakta,

realita dan permasalahan yang ada di lapangan. 23 Yuridis empiris ini

merupakan cara atau prosedur yang digunakan untuk memecahkan

masalah penelitian dengan meneliti data sekunder terlebih dahulu untuk

kemudian dilanjutkan dengan meneliti data primer yang ada di lapangan.

Jadi pendekatan yuridis empiris merupakan suatu penelitian yang

meneliti tentang pelaksanaan pembukaan rahasia kedokteran di masa

Pandemi Covid-19.

2. Spesifikasi Penelitian

Penyusunan dan penulisan tesis ini akan mempergunakan salah

satu spesifikasi penelitian yaitu deskriptif analitis. Bersifat deskriptif

analitis karena penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran

23
Cholid Narbuko dan Abu Achmadi, 2010, Metodologi Penelitian, Bumi Aksara,
Jakarta, hal 80.
36

secara rinci, sistematis dan menyeluruh mengenai segala sesuatu baik

perundang-undangan maupun teori-teori hukum.24 Penelitian ini akan

menggambarkan mengenai pelaksanaan pembukaan rahasia kedokteran di

masa Pandemi Covid-19.

3. Sumber Data

Metode pendekatan yang digunakan merupakan metode

pendekatan yuridis empiris, maka data yang dikumpulkan berasal dari

data primer sebagai data utama dan data sekunder sebagai data

pendukung.

a. Sumber Data Primer

Data primer dalam penelitian ini diperoleh dengan melakukan

studi lapangan dengan menggunakan teknik atau metode wawancara.

Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari sumber

data. Data ini diperoleh dengan mengadakan wawancara secara

langsung dengan responden. Wawancara adalah proses tanya jawab

dalam penelitian yang berlangsung secara lisan dua orang atau lebih

bertatap muka mendengarkan secara langsung informasi-informasi

atau keterangan-keterangan.25 Data primer dalam penelitian

didapatkan dari wawancara langsung dengan responden yaitu :

1) Manajemen Rumah Sakit

2) Dokter

24
Ibid, hlm 81
25
Ibid, hlm 82.
37

3) Perawat

4) Pasien

Penentuan responden ini dilakukan secara purposive

sampling. Purposive sampling adalah tekhnik pengambilan sampel

sumber data dengan pertimbangan tertentu.26 Sumber data yang

dipilih yaitu orang-orang yang dianggap paling mengetahui

permasalahan yang akan diteliti atau juga yang berwenang dalam

masalah tersebut.

b. Sumber Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dengan melakukan studi

kepustakaan (liberary research). Pengumpulan data ini dilakukan

dengan studi atau peneilitian kepustakaan (liberary research), yaitu

dengan mempelajari peraturan-peraturan, dokumen-dokumen

maupun buku-buku yang ada kaitannya dengan masalah yang diteliti

dan doktrin atau pendapat para sarjana.27 Pengumpulan data

sekunder ini dilakukan dengan tujuan mendapatkan landasan teoritis

dan landasan hukum untuk berpijak dalam melakukan analisa data

hasil penelitian nantinya. Data yang dikumpulkan berupa bahan

hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

1) Bahan hukum Primer

a) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

26
Ibid. hlm 84.
27
Bambang Sunggono, 2013, Metodologi Penelitian Hukum, cetakan ke -14 Rajawali
Pers, Jakarta, hal 118.
38

b) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik

Kedokteran

c) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah

Sakit

d) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga

Kesehatan

e) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang

Keterbukaan Informasi Publik.

f) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen

g) Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 Tentang

Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona

Virus Disease

h) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 4 Tahun 2018 tentang

Kewajiban Rumah Sakit dan Kewajiban Pasien

i) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 36 Tahun 2012

tentang Rahasia Kedokteran

j) Surat Keputusan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia

Nomor 221 Tahun 2002 Tentang Penerapan Kode Etik

Kedokteran Indonesia.

2) Bahan hukum Sekunder

Buku-buku perpustakaan yang berkaitan pembukaan rahasia

kedokteraan, untuk mendapatkan konsep maupun teori sebagai


39

landasan dalam pembahasan hasil penelitian, demikian pula

hasil-hasil seminar yang relevan.

3) Bahan hukum Tersier

Kamus dan atau esiklopedia yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder.

4. Metode Pengumpulan Data

Untuk mengklasifikasikan data primer, pengumpulan data

dilakukan dengan cara yaitu wawancara. Wawancara (interview)

dilakukan dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan

dengan permasalahan yang diteliti. Data yang diperlukan dalam tesis ini

diperoleh melalui studi kepustakaan dan survey lapangan.

a. Studi Lapangan

Studi lapangan, yang dilakukan dengan cara wawancara

terhadap responden sampel. Jenis wawancara yang digunakan adalah

wawancara bebas terpimpin, yaitu wawancara yang didasarkan pada

konsep tetapi pelaksanaannya tidak kaku, sehingga dimungkinkan

memunculkan pertanyaan diluar konsep dalam upaya pengembangan

atau pendalaman.

b. Studi Kepustakaan

Data yang dikumpulkan dalam studi kepustakaan ini adalah

data sekunder. Data sekunder ini berguna sebagai landasan teori


40

untuk mendasari penganalisaan pokok-pokok permasalahan yang ada

dalam penelitian ini.

5. Metode Penyajian Data

Data yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk uraian yang

disusun secara sistematis dan mudah dipahami. Sistematis artinya

keseluruhan data yang diperoleh akan dihubungkan satu dengan yang

lainnya, disesuaikan dengan pokok permasalahan yang diteliti sehingga

merupakan satu kesatuan yang utuh dan mudah dipahami serta data

primer disajikan dalam bentuk tabel.

6. Metode Analisa Data

Pembahasan tesis ini, penulis menggunakan metode analisis

kualitatif yaitu analisis data yang bertitik tolak pada usaha-usaha

penemuan asas-asas dan informasi-informasi yang bersumber dari

responden. Cara berpikir untuk mengambil kesimpulan dari penelitian

yang dilakukan penulis dengan menggunakan metode induktif yaitu suatu

metode untuk mengambil kesimpulan berdasarkan suatu pengertian

khusus kemudian disimpulkan kepada pengertian yang bersifat umum.28

Data yang diperoleh dari hasil penelitian lapangan dan

kepustakaan, kemudian dianalisis dengan metode analisis kualitatif untuk

menjawab permasalahan yang telah dirumuskan, yaitu dengan

28
Suriasumantri, Jujun S. 2009, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta, hal. 60.
41

menganalisis kualitas dari data yang diperoleh, sehingga didapat

gambaran yang jelas dan relevan tentang mengenai pelaksanaan

pembukaan rahasia kedokteran di masa pandemi Covid-19.

I. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran

penelitian yang jelas dan sistematis sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan Penelitian

D. Manfaat Penelitian

E. Keaslian Penelitian

F. Kerangka Pemikiran

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1. Tinjauan Umum Mengenai Hukum Kesehatan

2. Tinjauan Umum Mengenai Implementasi Kebijakan

3. Tinjuan Umum Mengenai Rahasia kedokteran dalam Rekam

Medis

4. Tinjauan Umum Mengenai Hak atas Rahasia Kedokteran

5. Tinjauan Umum Mengenai Kewajiban Perlindungan Medis

Pada Kondisi Wabah


42

BAB III METODE PENELITIAN

1. Metode Pendekatan

2. Spesifikasi Penelitian

3. Sumber Data

4. Metode Pengumpulan Data

5. Metode Penyajian Data

6. Metode Analisa Data

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran.

J. Jadwal Penelitian

Bulan Ke
URAIAN
I II III IV
43
DAFTAR PUSTAKA

AG. Subarsono, 2010, Analisis Kebijakan Publik Konsep Teori dan Aplikasi,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Ameln Fred, 1991, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Grafikatama Jaya, Jakarta.

Bambang Sunggono, 2013, Metodologi Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta.

Cecep Triwibowo, 2014, Etika dan Hukum Kesehatan, Nuha Medika, Yogyakarta.

Cholid Narbuko dan Abu Achmadi, 2010, Metodologi Penelitian, Bumi Aksara,
Jakarta.

Hermien Hadijati Koeswadji, 1998, Hukum Kedokteran (Studi Tentang Hubungan


Hukum Dalam Mana Dokter Sebagai Salah Satu Pihak), Citra Aditya Bakti,
Bandung.

J. Guwandi, 1992, Trilogi Rahasia Kedokteran, FK UI, Jakarta.

Mazmanian, Daniel H, dan Paul A Sabatier, 2009, Implementation And Public


Policy, HarperCollins, New York.

Rianto Nugroho, 2009 Public Policy, Teori Kebijakan, Analisis Kebijakan Proses,
Elex Media Komputindo, Jakarta.

Soekidjo Notoatmodjo, 2010, Etika dan Hukum Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta.

Sri Siswati, 2013, Etika dan Hukum Kesehatan dalam Perspektif Undang-Undang
Kesehatan, Rajawali Pers, Jakarta.

Suriasumantri, Jujun S, 2009, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka


Sinar Harapan, Jakarta.

Syahrul Machmud, 2008, Penegakan Hukum Dan Perlindungan Hukum Bagi


Dokter Yang Diduga Melakukan Medical Malpraktik. Mandar Maju,
Bandung.

Ta’adi, Hukum Kesehatan: 2013, Sanksi dan Motivasi bagi Perawat, Buku
Kedokteran EGC, Jakarta.

Thomas R.Dye., 2009, Understanding Public Policy, Prentice-Hall, INC., USA

World Health Organization, 2020, A Guide To Preventing And Addressing Social


Stigma.
Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran

Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Penetapan Kedaruratan


Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 4 Tahun 2018 tentang Kewajiban Rumah


Sakit dan Kewajiban Pasien

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 36 Tahun 2012 tentang Rahasia Kedokteran

Surat Keputusan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia Nomor 221 Tahun 2002
Tentang Penerapan Kode Etik Kedokteran Indonesia

Jurnal

Anny Retnowati. 2006. Tinjauan Hukum Terhadap rekam Medis, Justitiaetpax,


Juni (26), No. 1

_____________, 2013. Politik Hukum dalam Menata Rekam Medis ssebagai alt
perlindungan Hukum Terhadap Rumah Sakit, Pasien dan Dokter. Jurnal
Yustisia Vol.2 No.2 Mei-Agustus 2013.

Ferry Fadlul Rahman, 2020, Dilema Etik Hukum Rahasia Kedokteraan saat
Pandemic Covid-19, Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur.

Hanoatubun, S. 2020, Dampak Covid-19 Terhadap Perekonomian Indonesia,


EdusPsyCoun Journal, Juranal of Education, Psyhology and Counseling, 2
(1).

Hsb, A. M., 2017,. Kegentingan yang Memaksa dalam Pembentukan Peraturan


Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Jurnal Legislasi Indonesia, 14 (1).
Meter, Donal, Van and Carl E. Van Horn, 2010, The Policy Implementation
Process. Sage Publication: Beverly Hill.

Rahandy Rizki Prananda, 2020, Batasan Hukum Keterbukaan Data Medis Pasien
Pengidap Covid-19: Perlindungan Privasi VS Transparansi Informasi
Publik, Law, Development & Justice Review, No. 1 Vol. 3.

Internet

Rika Susanti, www.valora.co.id. Diakses tanggal 11 Desember 2020

Anda mungkin juga menyukai