Anda di halaman 1dari 23

FILSAFAT ILMU SEBAGAI PENGEMBANGAN METODE ILMIAH

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu


Dosen Pengampu : Drs. Sulaiman, M.Pd., Ph.D
Dr. Ngadimun, M.M

Disusun Oleh:
Kelompok 8

AKHMAD KARYADI 2020111310012


ATO WARTONI 2020111310071
DAMI HUDA 2020111310036
HAIRUDIN 2020111310052
MARDHATINA DINIY 2020111320084
RASIDINURAHMAD 2020111310082
RISKI EMILIA 2020111320097
SETYONINGSIH 2020111320086
SYAMSURI ARSYAD 2020111310042
SURATMAN 2020111310005

PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN PENDIDIKAN


UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
2020
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan Taufik dan Hidayah-Nya kepada
kami sehingga dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Shalawat dan salam
selalu kita curahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat
dan pengikut beliau hingga akhir jaman.

Dalam kesempatan ini kami menyampaikan ucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada Bapak Sulaiman, M.Pd., Ph.D dan bapak Dr. Ngadimun, MM, selaku dosen
pengampu mata kuliah Filsafat Ilmu yang telah memberikan pengetahuan, arahan dan
bimbingan sehingga dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik dan tepat pada waktunya
dengan judul “Filsafat Ilmu Sebagai Pengembangan Metode Ilmiah”.
Kami menyadari bahwa dalam tulisan ini masih terdapat banyak kekurangan, baik dari
segi penulisan maupun isi dari makalah ini. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan
saran yang bersifat konstruktif dan membangun demi kesempurnaan makalah ini. Akhir kata
kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat dan digunakan sebagaimana mestinya.

Balangan, November 2020

Kelompok 8
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………..i
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………...ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................................1
A. Latar Belakang............................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..............................................................................................................1
C. Tujuan Penulisan........................................................................................................................2
D. Manfaat Penulisan......................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................................3
A. Metode Penelitian dan Berpikir Ilmiah....................................................................................3
B. Sarana Berpikir Ilmiah.......................................................................................................3
C. Hubungan Filsafat dan Metodologi Penelitian ......................................................................5
D. Paradigma Pengembangan Ilmu.........................................................................................7
1. Konsep Paradigma……………………………………………………………………..7
2. Macam-macam paradigma ………………………………………………………….....8
BAB III PENUTUP...................................................................................................................17
A. Kesimpulan........................................................................................................................17
1. Metode Penelitian dan Berpikir Ilmiah ………………………………………….17
2. Sarana Berpikir Ilmiah …………………………………………………………..17
3. Hubungan Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian …………………………….17
4. Paradigma Pengembangan Ilmu …………………………………………………17

B. Saran …………………………………………………………………………….18
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................19
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam konteks kegiatan penelitian, mengenali sebuah fakta, merumuskan masalah,
menyusun hipotesis, melakukan analisis dan menarik kesimpulan merupakan contoh
proses berpikir teratur dan sistematis. Itulah proses berpikir ilmiah yang selama ini
menjadi standar akademik. Menurut Sandy (1973) hal tersebut adalah ciri sebuah ilmu.
Ilmu yang diperoleh melalui proses berpikir logis, tentu akan membantu keselamatan
hidup. Sebuah kesimpulan penelitian mencerminkan “pengetahuan” yang dihasilkan
dari rasa “ingin tahu” (Curiousity) yang diungkap dalam kalimat pertanyaan penelitian
(Research Question). Keingintahuan manusia akan hadir terus menerus ketika
menyaksikan fakta kehidupan.

Para peneliti, pada sebuah instansi umumnya menghadapi persoalan bagaimana


merumuskan pertanyaan penelitian yang benar agar memperoleh pengetahuan baru
yang bermakna. Sebagian besar waktu (hampir 50%) dihabiskan untuk merumuskan
masalah, selebihnya untuk mengumpulkan data, melakukan analisis dan menarik
kesimpulan. Jika rumusan pertanyaannya benar maka akan diperoleh jawaban yang
benar. Sebaliknya, jika pertanyaan penelitiannya diungkap dalam kalimat yang tidak
jelas maka jawabannya pasti sulit diperoleh atau bahkan tidak akan ditemukan,
bagaimanapun caranya meneliti. Hal yang sama jika dikaitkan dengan kebenaran data
yang digunakan dalam penelitian (garbage in garbage out). Dalam proses semacam
ini, akurasi data yang dikelola dari fakta amat dibutuhkan. Data menjadi wahana
penting untuk mewujudkan jawaban atas rumusan masalah.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah Metode Penelitian dan berpikir ilmiah?


2. Bagaimanakah sarana berpikir ilmiah?
3. Bagaimanakah hubungan Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian?
4. Bagaimanakah paradigm pengembangan ilmu

1
2

C. Tujuan Penulisan

1. Mendeskripsikan Metode Penelitian dan berpikir ilmiah?


2. Mendeskripsikan sarana berpikir ilmiah?
3. Mendeskripsikan Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian
4. Mendeskripsikan Paradigma Pengembangan Ilmu

D. Manfaat Penulisan

Hasil penulisan ini bermanfaat bagi mahasiswa dan masyarakat luas sehingga
dapat mengerti bagaimana posisi filsafat ilmu sebagai pengembangan Metode Ilmiah
yang akhirnya dapat dimanfaatkan sebagai sumber pengetahuan bagi mahasiswa dan
masyarakat luas.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Metode Penelitian dan Berpikir Ilmiah

Sebagian besar tugas filsafat ilmu adalah melandasi manusia agar dapat
melakukan pengembangan metode ilmiah. Metode ilmiah dapat diraih melalui
penelitian. Metode penelitian merupakan jalan mencapai derajat ilmiah. Penelitian
ilmiah didahului dengan berpikir ilmiah, yakni secara sistematis. Dengan berpikir
sistematis, tertata dan koheren, manusia akan memperoleh pengetahuan.
Dalam konteks kegiatan penelitian, mengenali sebuah fakta, merumuskan
masalah, menyusun hipotesis, melakukan analisis dan menarik kesimpulan
merupakan contoh proses berpikir ilmiah yang selama ini menjadi standar akademik.
Menurut sandy (1973) hal tersebut adalah ciri sebuah ilmu. Ilmu yang diperoleh
melalui proses berpikir logis, tentu akan membantu keselamatan hidup. Sebuah
kesimpulan penelitian mencerminkan “pengetahuan” yang dihasilkan dari rasa “ingin
tahu” (curiousity) yang diungkap dalam kalimat pertanyaan penelitian (research
question). Keingintahuan manusia akan hadir terus-menerus ketika menyaksikan
fakta kehidupan.
Dalam upaya menjawab masalah, ada tiga pilihan metode yang dapat
digunakan, yaitu (1) Metode deduktif, yaitu upaya menjawab masalah dari hal-hal
umum, general dan universal menuju ke hal ihwal yang khusus, (2) Metode Induktif,
yaitu upaya menemukan jawaban dari persoalan khusus, kecil, terbatas menuju ke
hal-hal yang umum, dan (3) Gabungan metode deduktif dan induktif. Namun
demikian saat ini gabungan kedua metode deduktif dan metode induktif menjadi
pilihan banyak peneliti dalam menetapkan metode penelitiannya.

B. Sarana berpikir ilmiah


Untuk melakukan kegiatan ilmiah secara baik diperlukan sarana berpikir.
Tersedianya sarana tersebut memungkinkan memungkinkan dilakukannya
penelaahan ilmiah secara teratur dan cermat penguasaan sarana berpikir ilmiah ini
merupakan suatu hal yang bersifat imperatif bagi seorang ilmuwan. Tanpa menguasai
hal ini maka kegiatan ilmiah yang baik tak dapat dilakukan. Sarana ilmiah pada

3
4

dasarnya merupakan alat yang membantu kegiatan ilmiah dalam berbagai langkah
yang harus ditempuh nya. Pada langkah tertentu biasanya diperlukan sarana yang
tertentu pula. Oleh sebab itulah maka sebelum kita mempelajari sarana-sarana
berpikir ilmiah ini seyogyanya kita telah menguasai langkah-langkah dalam kegiatan
langkah tersebut. Setiap berpikir ilmiah membutuhkan langkah yang tepat, penuh
pertimbangan, dan tersistem.

Dengan jalan ini maka kita akan sampai pada hakikatnya sarana yang
sebenarnya sebab sarana merupakan alat yang membantu dalam mencapai suatu
tujuan tertentu. Dengan kata lain,sarana ilmiah mempunyai fungsi-fungsi yang khas
dalam kaitan kegiatan ilmiah secara menyeluruh. Dalam proses penelitian, sarana
berpikir ilmiah ini merupakan bidang studi tersendiri. Dalam hal ini kita harus
memperhatikan dua hal, yaitu: (a) Sarana ilmiah bukan merupakan kumpulan ilmu,
dalam pengertian bahwa sarana ilmiah itu merupakan kumpulan pengetahuan yang
didapatkan berdasarkan metode ilmiah. Seperti diketahui, salah satu diantara ciri-ciri
ilmu umpamanya adalah penggunaan induksi dan deduksi dalam mendapatkan
pengetahuan. Sarana berpikir ilmiah tidak selalu mempergunakan cara ini dalam
mendapatkan pengetahuannya. Secara lebih jelas dapat dikatakan bahwa ilmu
mempunyai metode tersendiri dalam mendapatkan pengetahuan yang berbeda
dengan sarana berpikir ilmiah. (b) Tujuan mempelajari sarana berpikir ilmiah adalah
untuk memungkinkan menelaah ilmu secara baik. Sedangkan tujuan mempelajari
ilmu dimaksudkan untuk mendapatkan pengetahuan yang memungkinkan kita dapat
memecahkan masalah hidup sehari-hari.dalam hal ini maka sarana berpikir ilmiah
merupakan alat bagi cabang-cabang ilmu untuk mengembangkan materi
pengetahuannya berdasarkan metode ilmiah.

Jelaslah bahwa mengapa sarana berpikir ilmiah mempunyai metode tersendiri yang
berbeda dengan metode ilmiah dalam mendapatkan pengetahuannya sebab fungsi sarana
berpikir ilmiah adalah membantu proses metode ilmiah dan bahkan merupakan ilmu
tersendiri. Dilihat dari pola berpikirnya maka ilmu merupakan gabungan antara berpikir
deduktif dan induktif. Untuk itu maka penalaran ilmiah menyandarkan diri pada sarana
berpikir (a) Proses logika deduktif dan (b) Proses logika induktif. Matematika
mempunyai peranan yang penting dalam berpikir deduktif ini sedangkan statistik
mempunyai peranan penting dalam berpikir induktif. Implikasi proses deduktif dan
5

induktif menggunakan logika ilmiah. Logika ilmiah merupakan sarana berpikir ilmiah
yang paling penting.

Proses pengujian dalam kegiatan ilmiah mengharuskan kita menguasai metode


penelitian ilmiah yang pada hakikatnya nya merupakan pengumpulan fakta untuk
menolak atau menerima hipotesis yang diajukan. kemampuan berpikir ilmiah yang baik
harus didukung oleh penguasaan sarana berpikir ini dengan baik pula. Salah satu
langkah ke arah penugasan penguasaan itu adalah mengetahui dengan benar peranan
masing-masing sarana berpikir tersebut dalam keseluruhan proses berpikir ilmiah.

Setiap jalur ilmu membutuhkan sarana berpikir ilmiah. Bila kita sekedar meneliti
sebuah kasus, tentu kita tidak akan menggunakan sarana berpikir deduktif, melainkan
menggunakan induktif yang tidak murni. Disebut induktif tidak murni karena, yang
dipentingkan dalam penelitian kasus, bukankah generalisasi, melainkan menangkap
gejala apa adanya. Gejala yang digali secara natural, mungkin sekali digali secara
induktif, tanpa teori, dan tanpa berpikir apriori. Proses naturalistik sebaiknya
menampilkan sebuah deskripsi sehingga yang berbicara adalah data. Data yang
terkumpul dijadikan landasan untuk menemukan sebuah kebenaran yang terbatas, tetapi
mendalam.

C. Hubungan Filsafat dan Metodologi Penelitian


Menurut Bahtiar dalam Endraswara, keterkaitan antara filsafat ilmu dengan metode
penelitian adalah bahwa filsafat ilmu merupakan fondasi metode penelitian dan metode
penelitian merupakan jalur utama bagi filsafat ilmu untuk menemukan kebenaran.
Filsafat ilmu merupakan cabang dari filsafat yang mengkaji hakikat ilmu, sedang
metodologi penelitian adalah ilmu tentang metode.

Metodologi penelitian yaitu ilmu yang mempelajari, menelusuri, mencari dan


mengumpulkan data kemudian mengolah, menganalisis dan menjadikan data yang
dilakukan secara sistematis supaya diperoleh suatu kebenaran yang obyektif. Data data
tersebut digali, diolah, disintesiskan menggunakan prinsip-prinsip berfikir filsafat.
Sistematika filsafat terbagi atas tiga cabang besar filsafat, yaitu pertama teori
pengetahuan, kedua teori hakikat dan ketiga teori nilai. Sebuah penelitian perlu
memperhatikan ketiga cabang berfikir filsafat untuk menemukan kebenaran. Filsafat
sebagai suatu proses berfikir bebas, sistematis dan radikal memilki cabang ontologi,
6

epistimologi dan aksioogi. Cabang ini apabila diikuti oleh langkah metodologi
penelitian akan menghasilkan kebenaran sejati, yang akan mendekati realitas

Penelitian membutuhkan pemikiran ontologi, sebagai teori hakikat, didalam


ontologi membahas dua bidang, pertama adalah bidang kosmologi yang membicarakan
tentang hakikat asal, susunan, keberadaan, tujuan dan kosmos yang kedua adalah
metafisik yang artinya ingin mengerti atau mengetahui apa yang ada dibalik alam atau
sesuatu yang tidak tampak. Dalam metode penelitian akan mengaitkan persoalan apa
fenomena yang diteliti, ada apa dibalik fenomena, dan sejauh mana eksistensi
fenomena, dalam konteks filsafat ilmu sering dibahas dalam epistimologi

Epistimologi membicarakan sumber pengetahuan dan bagaimana cara memperoleh


pengetahuan. Sistematika dan logika sangat berperan dalam epistimologi, contoh seperti
metode berfikir deduktif dan induktif. Ontologi memahami sesuatu adalah tunggal maka
cara memperoleh kebenarannya dengan penelitian kuantitatif, akan tetapi bila
ontologinya jamak, maka menggunakan penelitian kualitatif. Ontologi, epistimologi
juga berimplikasi pada aspek aksiologi.

Aksiologi adalah cabang filsafat yang menyelidiki nilai, menjelaskan apa yang
dianggap baik dalam tingkah laku manusia. Dalam aksiologi ini dipengaruhi oleh
ontologi yang digunakan. Ontologi yang memahami sesuatu itu tunggal, penelitiannya
jenis kuantitatif, ilmu yang dibentuknya disebut nomotetik dan bebas nilai, sedang
ontologi yang memahami sesuatu itu jamak, jenis penelitiannya adalah kualitatif

Menurut Suriasumantri dalam Endraswara metodologi ilmiah merupakan


pengkajian dari peraturan dalam metode ilmiah. Metode ini termasuk dalam
epistimologi yang membahas bagaimana cara memperoleh pengetahuan, sumber,
hakikat, jangkauan dan ruang lingkup. Hal ini menunjukkan bahwa metode ilmiah
mgolongan merupakan bagian dari metodologi ilmiah. Filsafat ilmu dan metodologi
penelitian mempunyai kedudukan yang sama dalam cabang filsafat, yaitu masuk dalam
golongan epistimologi

Menurut Bahtiar dalam Endraswara bahwa tujuan filsafat adalah pertama,


mendalami unsur-unsur pokok ilmu, sehingga secara menyeluruh kita dapat memahami
sumber hakikat dan tujuan ilmu, kedua, memahami sejarah pertumbuhan,
perkembangan dan kemajuan ilmu diberbagai bidang, sehingga kita mendapat gambaran
tentang proses ilmu kontemporer secara historis. Metodologi merupakan ilmu yang
7

membahas konsep berbagai metode, tentang kelebihan dan kekurangan, dan bagaimana
memilih metode. Sedang penelitian bertujuan menghimpun data yang akurat yang
kemudian diproses sehingga menemukan kebenaran atau menguji kebenaran tersebut

Metode ilmiah bertujuan untuk memperoleh ilmu pengetahuan yang benar,


karenanya diperlukan cara-cara yang benar pula. Menurut para pakar mencari
kebenaran, cara-cara memperoleh kebenaran disebut metode ilmiah yang terdiri dari
proses, pertama mencari masalah, kedua menemukan hipotesis, ketiga menghimpun
data, keempat menguji hipotesis dan kelima prinsip ini berlaku untuk semua sains
operasionalisasi metode ilmiah pada bidang studi metodologi penelitian

Disinilah letak keterkaitan antara filsafat ilmu dan metode penelitian. Keduanya
sama-sama hendak menemukan kebenaran ilmiah. Filsafat ilmu menjadi landasan
berfikir, adapun metodologi merupakan hal yang mengkaji langkah-langkah yang
ditempuh supaya pengetahuan yang diperoleh memenuhi pengetahuan yang ilmiah.
Untuk memahami prinsip metode filsafat perlu dibahas pengertian metodologi, dan
beberapa pandangan tentang prinsip metodologi.

Metodologi dapat diartikan sebagai ilmu metode-metode. Metode ialah cara


bertindak menurut aturan tertentu. Dalam metode ilmiah biasanya membicarakan
masalah-masalah; interpretasi, induksi deduksi, koherensi intern, holistik,
kesinambungan historis, idealisasi, komparasi, heuristika, analogi dan deskripsi. Unsur-
unsur ini akan selalu berkembang sesuai dengan zaman

D. Paradigma Pengembangan Ilmu

1. Konsep Paradigma
Paradigma adalah kerangka berpikir ilmiah. Ilmu membutuhkan kerangka
berpikir yang tajam. Metode penelitian juga membutuhkan paradigma berpikir, agar
tidak tumpang tindih satu sama lain.
Secara umum, paradigma di artikan sebagai seperangkat kepercayaan atau
keyakinan dasar yang menentukan seseorang dalam bertindak pada kehidupan
sehari-hari. Ada yang menyatakan bahwa paradigma merupakan suatu citra yang
fundamental dari pokok permasalahan dari suatu ilmu. Paradigma menggariskan apa
yang harus di pelajari, pernyataan-pernyataan apa yang seharusnya di kemukakan
dan kaidah-kaidah apa yang sebenarnya di ikuti dalam menafsirkan jawaban yang di
perolehnya.
8

Paradigma adalah ibarat sebuah jendela tempat orang mengamati dunia luar,
tempat orang bertolak menjelajahi dunia dengan wawasannya. Menurut Thomas
Kuhn, paradigma sebagai seperangkat keyakinan mendasar yang memandu
Tindakan-tindakan kita, baik Tindakan keeharian maupun dalam Pendidikan ilmiah.

Pendapat lain juga menyebutkan pengertian paradigma ini merupakan


seperangkat keyakinan, asumsi, ide, teori, konsep, nilai, serta juga praktik yang
diterapkan di dalam memandang realitas pada sebuah komunitas yang sama,
khususnya itu di dalam disiplin ilmu. Dari penjelasan tersebut maka dapat
disimpulkan bahwa istilah paradigma ini umumnya merujuk pada cara atau pola
berpikir atau juga cara penyelesaian masalah yang dilakukan manusia.

Istilah paradigma cenderung merujuk kepada dunia pola pikir atau pun teknis
penyelesaian masalah yang dilakukan oleh manusia. Istilah yang satu ini pertama kali
diperkenalkan oleh seorang ilmuan bernama Thomas Kuhn melalui buku buatannya
yang berjudul The Structure of Scientific Revolution.

Saat pertama kali diperkenalkan, istilah Paradigma tidak dijelaskan secara


gamblang oleh Thomas Khun. Pada waktu itu, paragima hanya diutarakan sebagai
termonologi kunci yang dipakai dalam model perkembangan ilmu pengetahuan saja.
Beberapa saat kemudian, barulah istilah Paradigma terdefenisi secara jelas oleh Robert
Fridrichs (merupakan orang pertama yang mengungkapkan apa itu paradigma secara
jelas dan gamblang).Pradigma berkaitan erat dengan prinsip – prinsi dasar yang
menentukan berbagai macam pandangan manusia terhadap dunia sebagai bagian dari
sistem bricoluer. Sebuah paradigma biasanya meliputi tiga elemen utama yaitu elemen
metodologi, elemen epistemologi, dan elemen ontologi. Dengan menggunakan tiga
elemen ini, manusia menggunakan paradigma untuk meraih berbagai macam
pengetahuan mengenai dunia dan berbagai macam fenomena yang terjadi di dalamnya.

2. Macam-Macam Paradigma

a. Positivisme

Positivisme merupakan paradigma ilmu pengetahuan yang paling awal muncul


dalam dunia ilmu pengetahuan. Keyakinan dasar aliran ini berakar dari paham
ontologi realisme yang menyatakan bahwa realitas ada (exist) dalam kenyataan yang
9

berjalan sesuai dengan hukum alam (natural laws). Dengan kata lain, Positivisme
merupakan suatu aliran filsafat yang menolak aktifitas yang berkenaan dengan
metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris.
Sesungguhnya aliran ini menolak adanya spekulasi teoritis sebagai suatu sarana
untuk memperoleh pengetahuan (seperti yang diusung oleh kaum idealisme
khususnya idealisme Jerman Klasik). Positivisme merupakan empirisme, yang dalam
segi-segi tertentu sampai kepada kesimpulan logis ekstrim karena pengetahuan apa
saja merupakan pengetahuan empiris dalam satu atau lain bentuk, maka tidak ada
spekulasi dapat menjadi pengetahuan.
Filsafat positivisme lahir pada abad ke-19. Titik tolak pemikirannya, segala
yang diketahui adalah yang faktual dan yang positif, sehingga metafisika ditolaknya.
Positif adalah segala gejala dan segala yang tampak seperti apa adanya, sebatas
pengalaman-pengalaman obyektif. Jadi, setelah fakta diperoleh, maka fakta-fakta
tersebut kita atur untuk dapat memberikan asumsi (proyeksi ke masa depan).
Beberapa tokoh diantaranya, August Comte (1798-1857), Jonh S. Mill (1806-1873),
Herbert Spencer (1820-1903).
Positivisme muncul pada abad ke-19 dimotori oleh sosiolog Auguste Comte,
dengan buah karyanya yang terdiri dari enam jilid dengan judul The Course of
Positive Philosophy (1830-1842). Ia lahir di Montpellier, Prancis. Sebuah karya
penting, Cours de Philosofia Positif (kursus tentang filsafat positif), dan berjasa dalam
mencipta ilmu sosiologi.
Positivisme memandang agama sebagai gejala peradaban manusia yang
primitive. August Comte, tokoh positivisme, membagi sejarah umat manusia atas tiga
tahap. Pertama, tahap teologis, yaitu manusia masih terpaku pada hakikat ‘batin’
segala sesuatu, sebab pertama, dan tujuan terakhir. Jadi seseorang masih percaya
kepada Yang Mutlak. Tingkat teologi menerangkan segala-galanya dengan pengaruh
dan sebab-sebab yang melebihi kodrat. Kedua, tahap metafisika, yaitu perubahan
bentuk saja dari zaman teologis. Kekeuatan-kekuatan adikridati yang berupa dewa
diganti dengan kekuatan yang abstrak lewat proses generalisasi. Ketiga, tahap positif,
yairtu ketika orang sadar bahwa tidak ada gunanya untuk berusaha mencapai
pengenalan, baik teologis maupun metafisis. Zaman ini, seseorang tidak mau lagi
melihat awal dan tujuan alam semesta, tetapi berusaha menemukan hokum-hukum
kesamaan yang ada dibelakang fakta lewat pengamatan dan akanya. Tujuan tertinggi
10

pada zaman ini akan tercapai, bila mana segala gejala telah dapat disusun dan diatur di
dalam satu fakta yang umum saja.
Comte berpendapat bahwa tiga tahap perkembangan umat manusia tidak saja
berlaku bagi suatu bangsa atau suku, tetapi juga individu dan ilmu. Ketika masa
kanak-kanak, seseorang menjadi teolog. Ketika remaja, dia menjadi meyafisikus, dan
ketika dewasa dia menjadi positivis. Ilmu juga demikian. Pada awalnya ilmu dikuasai
oleh teologis, sesudah itu di abstraksikan oleh metafisika, dan akhirnya baru
dicerahkan oleh hokum-hukum positif.
Menurut Emile Durkheim (1982:59) objek studi sosiologi adalah fakta sosial
(social-fact): Fakta sosial yang dimaksud meliputi: bahasa, sistem hukum, sistem
politik, pendidikan, dan lain-lain. Sekalipun fakta sosial berasal dari luar kesadaran
individu, tetapi dalam penelitian positivisme, informasi kebenaran itu ditanyakan oleh
penelitian kepada individu yang dijadikan responden penelitian. Untuk mencapai
kebenaran ini, maka seorang pencari kebenaran (penelitian) harus menanyakan
langsung kepada objek yang diteliti, dan objek dapat memberikan jawaban langsung
kepada penelitian yang bersangkutan. Hubungan epistemologi ini, harus menempatkan
si peneliti di belakang layar untuk mengobservasi hakekat realitas apa adanya untuk
menjaga objektifitas temuan. Karena itu secara metodologis, seorang penelitian
menggunakan metodologi eksperimen-empirik untuk menjamin agar temuan yang
diperoleh betul-betul objektif dalam menggambarkan keadaan yang sebenarnya.
Mereka mencari ketepatan yang tinggi, pengukuran yang akurat dan penelitian
objektif, juga mereka menguji hipotesis dengan jalan melakukan analisis terhadap
bilangan-bilangan yang berasal dari pengukuran.
Di bawah naungan payung positivisme, ditetapkan bahwa objek ilmu
pengetahuan maupun pernyataan-pernyataan ilmu pengetahuan (Scientific
Proporsition) haruslah memenuhi syarat-syarat (Kerlinger, 1973) sebagai berikut:
dapat di/ter-amati (observable), dapat di/ter-ulang (repeatable), dapat di/ter-ukur
(measurable), dapat di/ter-uji (testable), dan dapat di/ter-ramalkan (predictable).
Tokoh semasa dengan Comte yang juga memberi landasan positivisme adalah
Jeremy Bentham dan James Mill (1806-1873), menurut keduanya ilmu yang valid
adalah ilmu yang dilandaskan pada fakta. Ethik tradisional yang dilandaskan pada
moral diganti dengan ethik pada motif perilaku pada kepatuhan manusia pada aturan.
Mill menolak absolut dari agama. Mill berpendapat bahwa kebebasan manusia itu
11

bagaikan a secrad fortress (benteng suci) yang aman dari penyusupan otoritas apapun,
wawasan yang menjadi marak pada akhir abad 20-an ini.
Salah seorang pendukung positivism adalah Herbert Spencer. Spencer
sependapat dengan Comte, terutama tentang eksistensi Tuhan. Menurutnya,
keterangan mengenai dunia, baik yang bersifat keagamaan maupun yang bersifat
metafisik menimbulkan pertentangan. Agama dan metafisik ingin memberikan
penjelasan tentang asal mula sesuatu, padahal manusia tidak mampu mengetahui hal
itu.
Pemikiran Herbert Spencer (1820-1903) berpusat pada teori evolusi ia telah
mendahului Carles Darwin, ia memutuskan menulis karya tulis yang menetrpkan
prinsip evolusi srta sistematis. Hasilnya karya yang berjudul A system of synthetic
philosophy. Menurutnya kita hanya bisa mengenal gejala-gejala saja walaupun
dibelakang gejala tersebut ada dasar yang absolut, tetapi absolut itu tidak dapat
dikenal.
Seorang positivis, membatasi dunia pada hal-hal yang bias dilihat, yang bisa
diukur, dan yang bias dibuktikan kebenarannya. Karena agama-maksudnya Tuhan
tidak tidak bias dilihat, diukur, dan dibuktikan, maka agama tidak mempunyai arti dan
faedah. Suatu pernyataan dianggap benar oleh positivisme apabila pernyataan itu
sesuai dengan fakta.
Paradigma positivisme telah menjadi pegangan para ilmuwan untuk
mengungkapkan kebenaran realitas. Kebenaran yang dianut positivisme dalam
mencari kebenaran adalah teori korespondensi. Teori korespondensi menyebutkan
bahwa suatu pernyataan adalah benar jika terdapat fakta-fakta empiris yang
mendukung pernyataan tersebut. Atau dengan kata lain, suatu pernyataan dianggap
benar apabila materi yang terkandung dalam pernyataan tersebut bersesuaian
(korespodensi) dengan obyek faktual yang ditunjuk oleh pernyataan tersebut.[12]
Setelah positivisme ini berjasa dalam waktu yang cukup lama (± 400 tahun), kemudian
berkembang sejumlah ‘aliran’ paradigma baru yang menjadi landasan pengembangan
ilmu dalam berbagai bidang kehidupan.

b. Posts Positivisme
Paradigma merupakan aliran yang ingin memperbaiki kelemahan kelemahan
positivisme yang hanya mengandalkan kemampuan pengamatan langsung terhadap
objek yang diteliti. Secara ontologis aliran ini bersifat critical realism yang
12

memandang bahwa realitas memang ada dalam kenyataan sesuai Hukum alam, tetapi
satu hal yang mustahil bila suatu realitas dapat dilihat secara benar oleh manusia
(peneliti). Oleh karena itu,secara metodologis pendekatan eksperimental melalui
observasi tidaklah cukup, tetapi harus menggunakan metode triangulation, yaitu
penggunaan bermacam-macam metode, sumber data, peneliti dan teori.

Secara epistemologis, hubungan antara pengamat atau peneliti dengan objek atau
realitas yang diteliti tidaklah bisa dipisahkan seperti yang diusulkan oleh aliran
positivisme.aliran ini menyatakan suatu hal yang tidak mungkin mencapai atau
melihat kebenaran apabila pengamat berdiri di belakang layar tanpa ikut terlibat
dengan objek secara langsung.Oleh karena itu, hubungan antara pengamat dengan
objek harus bersifat interaktif, dengan catatan bahwa pengamat harus bersifat senetral
mungkin,sehingga tingkat subjektivitas dapat dikurangi secara minimal.

Untuk mengetahui pernyataan mendasar berikut, akan memberikan gambaran


tentang posisi aliran ini dalam kancah paradigma ilmu pengetahuan. Pertama,
bagaimana sebenarnya posisi postpositivisme diantara paradigma-paradigma ilmu
yang lain? apakah ini merupakan bentuk lain dari Positivisme yang posisinya lebih
lemah? Atau karena aliran ini datang setelah positivisme sehingga dinamakan
postpositivisme? Harus diakui bahwa aliran ini bukan suatu filsafat baru dalam bidang
keilmuan, tetapi memang amat dekat dengan paradigma positivisme.salah satu
indikator yang membedakan antara keduanya bahwa postpositivisme baby
memercayai proses verifikasi terhadap suatu temuan hasil observasi melalui berbagai
macam metode.dengan demikian suatu ilmu memang betul mencapai objektivitas
apabila telah diverifikasi oleh berbagai kalangan dengan berbagai cara.

Kedua, bukankah postpositivisme bergantung pada paradigma realisme yang


sudah sangat tua dan usang? Degan ini tidak seluruhnya benar. Pandangan awal aliran
positivisme (old-positivisme) adalah anti realis, yang menolak adanya realitas dari
suatu teori. Realisme modern bukanlah kelanjutan atau luncuran dari aliran
positivisme, tetapi merupakan perkembangan akhir dari pandangan postpositivisme.

Ketiga, banyak postpositivisme yang berpengaruh pada merupakan penganut


realisme. bukankah ini menunjukkan bahwa mereka tidak mengakui adanya sebuah
kenyataan (multiple realities) dalam setiap masyarakat membentuk realitas mereka
sendiri tanda tanya pandangan ini tidak benar karena relativisme tidak sesuai dengan
13

pengalaman sehari-hari dalam dunia ilmu. Yang postpositivisme mengakui bahwa


paradigma hanyalah berfungsi sebagai lensa bukan sebagai kacamata. Selanjutnya,
relativisme mengungkap bahwa semua pandangan itu benar, sedangkan realis hanya
berkepentingan terhadap pandangan yang dianggap baik dan benar. Postpositivisme
menolak pandangan bahwa masyarakat dapat menentukan banyak hal sebagai hal yang
nyata dan benar tentang suatu objek oleh anggotanya.

Keempat, karena pandangan bahwa persepsi orang berbeda,maka tidak ada


sesuatu yang benar-benar pasti. Bukankah postpositivisme menolak kriteria
objektivitas? Pandangan ini sama sekali tidak bisa diterima. Objektivitas merupakan
indikator kebenaran yang melandasi semua penyelidikan titik jika kita menolak prinsip
ini, maka tidak ada yang namanya penyelidikan. yang ditekankan bahwa objektivitas
tidak menjamin untuk mencapai kebenaran.

C. konstruktivisme

Konstruktivisme, satu diantara paham yang menyatakan bahwa positivisme


dan postposotivisme merupakan paham yang keliru dalam mengungkap realitas dunia.
Karena itu kerangka berpikir ke dua paham tersebut harus ditinggalkan dan diganti
dengan paham yang bersifat konstruktif. Paradigma ini muncul melalui proses yang
cukup lama setelah sekian generasi ilmuwan berpegang teguh pada paradigma
Positivisme. Konstruktivisme muncul setelah sejumlah ilmuwan menolak tiga prinsip
dasar positivisme : (1) ilmu merupakan upaya mengungkap realitas: (2) hubungan
antara subjek dan objek penelitian harus dapat dijelaskan: (3) hasil temuan
memungkinkan untuk digunakan proses generalisasi pada waktu dan tempat yang
berbeda.

Pada awal perkembangannya, paradigma ini mengembangkan sejumlah


indikator sebagai pijakan dalam melaksanakan penelitian dan pengembangan ilmu.
Beberapa indikator itu antara lain:

(1) Penggunaan metode kualitatif dalam proses pengumpulan data dan kegiatan
analisis data

(2) Mencari relevansi indikator kualitas untuk mencari data-data lapangan

(3) Teori-teori yang dikembangkan harus lebih bersifat membumi (grounded theory)
14

(4) kegiatan ilmu harus bersifat natural(apa adanya) dalam pengamatan dan
menghindarkan diri dengan kegiatan penelitian yang telah diatur dan bersifat serta
berorientasi laboratorium

(5) pola-pola yang diteliti dan berisi kategori-kategori jawaban menjadi unit analisis
dari variabel-variabel penelitian yang kaku dan steril

(6) penelitian lebih bersifat partisipatif daripada mengontrol sumber-sumber informasi


dan lain-lainnya.

Secara ontologis, paradigma ini menyatakan bahwa realitas bersifat sosial


dan karena itu akan menumbuhkan bangunan teori atas realitas majemuk dari
masyarakat. Dengan demikian,tidak ada suatu realitas yang dapat dijelaskan secara
tuntas oleh suatu ilmu pengetahuan. Realitas ada sebagai seperangkat bangunan
yang menyeluruh dan bermakna yang bersifat konfliktual dan dialektis. Karena itu,
paham ini menganut prinsip relativitas dalam memandang suatu fenomena alam
atau sosial. Jika tujuan penemuan ilmu dalam Positivisme adalah untuk membuat
generalisasi terhadap fenomena alam lainnya, konstruktivisme lebih cenderung
menciptakan ilmu yang diekspresikan dalam bentuk pola-pola teori, jaringan atau
hubungan timbal balik sebagai hipotesis kerja, bersifat sementara, lokal dan
spesifik. Dengan pernyataan lain, bahwa realitas itu merupakan konstruksi mental,
berdasarkan pengalaman sosial bersifat lokal dan spesifik dan tergantung pada
orang yang melakukannya. Karena itu suatu realitas yang diamati seseorang tidak
bisa digeneralisasikan kepada semua orang seperti yang biasa dilakukan kalangan
positivis atau postpositivis.

Sejalan dengan itu, secara filsuf, hubungan epistemologis antara pengamatan dan
objek, menurut aliran ini bersifat suatu kesatuan, subjektif dan merupakan hasil
perpaduan interaksi di antara keduanya. sementara secara metodologis, paham ini secara
jelas menyatakan bahwa penelitian harus dilakukan diluar laboratorium, yaitu di alam
bebas secara sewajarnya (natural) untuk menangkap fenomena alam apa adanya dan
secara menyeluruh tanpa mencampur tangan dan manipulasi pengamat atau pihak
peneliti. Dengan setting natural ini, maka metode yang paling banyak digunakan adalah
metode kualitatif daripada metode kuantitatif.

Suatu teori muncul berdasarkan data yang ada, bukan dibuat sebelumnya, dalam
bentuk hipotesis sebagaimana dalam penelitian kuantitatif. Untuk pengumpulan data
15

dilakukan metode hermeneutik dan dialektik yang difokuskan pada konstruksi pendapat
dari orang per orang, sedangkan metode kedua mencoba untuk membandingkan dan
menyilangkan pendapat dari orang per orang yang diperoleh melalui metode Pertama
dan untuk memperoleh suatu konsensus kebenaran yang disepakati bersama. Dengan
demikian, hasil akhir dari suatu kebenaran merupakan perpaduan pendapat yang bersifat
reflektif,subjektif, dan spesifik mengenai hal-hal tertentu.

Dengan ditemukannya paradigma konstruktivisme ini, dapat memberikan alternatif


paradigma dalam mencari kebenaran tentang realitas sosial,sekaligus menandai
terjadinya pergeseran model rasionalitas untuk mencari dan menentukan aturan-aturan
ke mode rasionalitas praktis yang menekankan peranan contoh dan interpretasi mental.
Konstruktivisme dapat melihat warna dan corak yang berbeda dalam berbagai disiplin
ilmu, khususnya disiplin ilmu-ilmu sosial yang memerlukan intensitas interaksi antara
peneliti dan objek yang di cermati, sehingga akan berpengaruh pada nilai-nilai yang
dianut, etika, akumulasi pengetahuan, model pengetahuan dan diskusi ilmiah.

d. Critical Theory
Yaitu suatu wacana atau cara pandang terhadap realitas yang mempunyai
otientasi ideologis terhadap paham tertentu. Ideology ini meliputi: Neo-Marxisme,
Materialisme, Feminisme, Frieresme, Partisipatory inquiry, dan paham-paham yang
setara. Critical Theory merupakan suatu aliran pengembangan keilmuan yang
didasarkan pada suatu konsepsi kritis terhadap berbagai pemikiran dan pandangan yang
sebelumnya ditemukan sebagai paham keilmuan lainnya.

Dilihat dari segi ontology, paradikma ini sama dengan postpositivisme yang
menilai objek atau realita secara (critical realism), yang tidak dapat dilihat secara benar
oleh pengamatan manusia. Karena itu untuk mengenal masalah ini, secara metodologis
paham ini mengajukan metode dialog dan komunikasi dengan transformasi untuk
menemukan kebenaran realitas yang hakiki. Secara epistemologis, hubungan antara
pengamat dengan realitas yang menjadi objek merupakan suatu hal yang yang tidak
bisa dipisahkan. Karena itu aliran ini lebih menekankan pada konsep subjektivitas
dalam menemukan ilmu pengetahuan, karena nilai-nilai yang dianut oleh subjek atau
pengamat ikut campur dalam menemukan kebenaran tentang suatu hal.
16

Sedikitnya ada dua konsepsi tentang Critical Theory, yaitu: pertama, kritek
internal terhadap analisis argument dan metode yang digunakan dalam berbagai
penelitian. Kedua, makna critical dalam memformulasikan masalah logika.

Ada enam tema pokok yang menjadi ciri pandang paradikma Critical Theory
dalam praktik keilmuan. Pertama, problem prosedur, metode dan metodologi
keilmuan. Kedua, perumusan kembali standar dan aturan keilmuan sebagai logika
dalam konteks historis. Ketiga, dikotomi objek dan subjek. Keempat,keberpihakan ilmu
dalam interaksi social. Kelima, pengembangan ilmu merupakan produksi nilai-nilai.
Dan keenam, ilmu pengetahuan (khususnya ilmu social) merupakan studi tentang masa
lalu.

Bermacam-macam paradikma ilmu, sebenarnya memberikan tantangan bagi


manusia untuk memilih paradikma mana yang tepat dalam menghadapi sebuah
phenomena kehidupan. Paradikma akan menuntun kesadaran para pencari kebenaran,
agar memperoleh pola-pola berpikir yang tepat. Upaya meraih kebenaran yang tepat
memilih paradikma, tentu menyebabkan ilmu tidak diragukan lagi.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Metode Penelitian dan Berpikir Ilmiah

Metode penelitian merupakan jalan mencapai derajat ilmiah, sedangkan


penelitian ilmiah didahului dengan berpikir ilmiah, yakni secara sistematis, teratur,
tertata, dan koheren sehingga akan memperoleh pengetahuan.
2. Sarana berpikir ilmiah
Sarana berpikir ilmiah merupakan alat yang membantu kegiatan ilmiah dalam
berbagai langkah yang harus ditempuhya. Sarana ilmiah mempunyai fungsi-fungsi
yang khas dalam kaitan kegiatan ilmiah secara menyeluruh. Dalam hal ini harus
memperhatikan dua hal yaitu (a) sarana ilmiah bukan bukan merupakan kumpulan
ilmu, dalam pengertian bahwa sarana ilmiah itu merupakan kumpulan pengetahuan
yang didapat berdasarkan metode ilmiah. (b) Tujuan mempelajari sarana berpikir
ilmiah adalah untuk memungkinkan menelaah ilmu secara baik.
3. Hubungan Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian
Filsafat ilmu merupakan kajian secara mendalam tentang dasar-dasar ilmu,
sedangkan metode penelitian merupakan upaya untuk mengembangkan ilmu.
Dengan kata lain hubungan filsafat ilmu dengan metodologi penelitian adalah
filsafat ilmu menjadi landasan berpikir, sedangkan metode penelitian sebagai
realisasi berpikir ilmiah.
4. Paradigma Pengembangan Ilmu
a. Konsep Paradigma
Merupakan sketsa keilmuan, abstrak dari sebuah proses panjang
pengembangan ilmu yang akan memperjelas metode sampai tingkat analisisnya.
b. Macam-macam Paradigma
 Positivisme
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Positivisme berarti aliran filsafat
yang beranggapan bahwa pengetahuan itu semata-mata berdasarkan
pengalaman dan ilmu yang pasti.

17
18

 Postpositivisme
Postpositivisme adalah aliran yang ingin memperbaiki kelemahan pada
Positivisme. Paham ini menentang positivisme, alasannya tidak mungkin
menyamaratakan ilmu-ilmu tentang manusia dengan ilmu alam, karena
tindakan manusia tidak bisa diprediksi dengan satu penjelasan yang mutlak
pasti, sebab manusia selalu berubah.
 Konstruktivisme
Sebuah teori yang memberikan keaktifan terhadap manusia untuk belajar
menemukan sendiri kompetensi, pengetahuan atau teknologi, dan hal lain
yang diperlukan guna mengembangkan dirinya sendiri.
 Critical Theory
Merupakan aliran pengembangan keilmuan yang didasarkan pada suatu
konsepsi kritis terhadap berbagai pemikiran dan pandangan yang sebelumnya
ditemukan sebagai peham keilmuan lainnya.
B. Saran

Kami menyadari bahwa makalah ini banyak sekali kesalahan dan sangat jauh dari
kesempurnaan. Tentunya, penulis akan terus memperbaiki makalah dengan
mengacu pada sumber yang dapat dipertanggungjawabkan nantinya. Oleh karena
itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran tentang pembahasan makalah
diatas.
19

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, Asmoro. 2010. Filsafat Umum. Jakarta: Rajawali Press.

Adib, Muhammad. 2015. Filsafat Ilmu Ontologi, Efistemologi, Aksiologi, dan Logika
Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Endraswara, Suwardi 2017. Filsafat Ilmu (Edisi Revisi0 Konsep Sejarah, dan
Pengembangan Metode Ilmiah. Yogyakarta: Pascasarjana Universitas Negeri
Yogyakarta.

Lubis, Nur A. Fadhil. 2015. Pengantar Filsafat Umum. Medan: Perdana Publishing. Tautan
Informasi Buku
Rusadi, Kantaprawira. 2009. Filsafat dan Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Bandung: AIPI.

Suhar. 2010. Filsafat Umum. Jakarta: GP Press.

Tim Penyusun MKD. 2012. Pengantar Filsafat. Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press.

Anda mungkin juga menyukai