2011 12
Kartini Saade
Dinas Provinsi Sulawesi Selatan
ABSTRAK
pendidikan yang kita hadapi dewasa ini perhatian hanya sekedar pemberian dana,
adalah rendahnya mutu pendidikan pada padahal yang dituntut lebih dari itu.
setiap jenjang dan satuan pendidikan Mereka dituntut memberikan bantuan pada
khususnya pendidikan dasar. Berbagai proses pendidikan (pengambilan
usaha telah dilakukan, antara lain keputusan, pelaksanaan PBM, monitoring,
peningkatan kompetensi melalui berbagai evaluasi dan akuntabilitas) dalam rangka
pelatihan, peningkatan kualifikasi dan peningkatan mutu sekolah (Depdiknas,
sertifikasi guru, penyediaan dan perbaikan 2001).
sarana/prasarana pendidikan, program Kajian penelitian ini difokuskan
BOS (bantuan operasional sekolah) dan pada analisis implementasi program MBS
pendidikan gratis, serta peningkatan mutu yang dilaksanakan di Kabupaten Bantaeng
manajemen sekolah. Namun demikian, sebagai daerah yang menjadi piloting
berbagai indikator mutu pendidikan belum pertama (1999) pelaksanaan program
menunjukkan peningkatan yang merata. tersebut di Sulawesi Selatan. Bantaeng
Sebagian sekolah, terutama di kota-kota, telah dibina selama 9 tahun, baik melalui
menunjukkan peningkatan mutu yang bantuan UNICEF-UNESCO, APBD
cukup menggembirakan, namun sebagian Provinsi, dan APBD Kabupaten, namun
lainnya masih memprihatinkan. tidak menunjukkan peningkatan mutu
Walaupun sudah berbagai upaya pendidikan yang signifikan, bahkan akhir-
dilakukan untuk memperbaiki dan akhir ini menunjukkan adanya penurunan.
sekaligus meningkatkan mutu pendidikan, Rata-rata hasil ujian akhir sekolah tahun
namun hasil yang dicapai belum seperti 2008/2009 Kabupaten Bantaeng berada
yang diharapkan. Untuk itu perlu pada urutan 24 dari 24 Kabupaten/Kota di
dimunculkan pertanyaan "Apakah Sulawesi Selatan.
sebenarnya yang salah dalam proses
penyelenggaraan pendidikan di
Indonesia?" Demi menjawab pertanyaan TINJAUAN PUSTAKA
ini bisa dirujuk pernyataan dari Depdiknas
yang mengatakan bahwa sedikitnya ada 1. Implementasi kebijakan
tiga faktor yang menyebabkan mutu
pendidikan tidak mengalami peningkatan Implementasi dapat dipahami dari
secara merata yaitu: Pertama, program dan pendapat para ahli seperti Grindle (1980:
penyelenggaraan pendidikan nasional 7) menyatakan bahwa implementasi
menggunakan pendekatan educations / merupakan proses umum tindakan
production funtion atau input-output administratif yang dapat diteliti pada
analysis yang tidak dilaksanakan secara tingkat kebijakan tertentu. Grindle
konsekuen. Kedua, penyelenggaraan menambahkan bahwa proses implementasi
pendidikan nasional dilakukan secara baru akan dimulai apabila tujuan dan
birokratik-sentralistik, sehingga sekolah sasaran telah ditetapkan, program kegiatan
tidak memiliki motivasi, kreativitas, dan telah tersusun dan dana telah siap serta
kemandirian dalam hal usaha peningkatan telah disalurkan untuk mencapai sasaran.
mutu sekolah karena semua harus mengacu Sedangkan Van Meter dan Horn (Wibawa,
ke pusat, atau dengan kata lain sekolah dkk., 1994: 15) menyatakan bahwa
masih kurang diberdayakan dalam implementasi kebijakan merupakan
pengambilan program sehingga kadang- tindakan yang dilakukan oleh pemerintah
kadang tidak sesuai dengan kondisi dan swasta baik secara individu maupun
sekolah setempat. Ketiga, peran serta secara kelompok yang dimaksudkan untuk
masyarakat, khususnya orang tua siswa mencapai tujuan.
dalam penyelenggaraan pendidikan selama Grindle (1980: 6-10)
ini sangat minim, mereka memberikan memperkenalkan model implementasi
sebagai proses politik dan administrasi.
Kartini Sahade / Jurnal Administrasi Publik, Volume 2 No. 1 Thn. 2011 18
yang akan dihasilkan, dan (ii) jangkauan dimulai dengan peningkatan kualitas
atau ruang lingkup kesepakatan mengenai manajemen pendidikan itu sendiri.
tujuan oleh berbagai pihak yang terlibat Melihat konsep manajemen sekolah
dalam proses implementasi. Sejalan dalam hubungannya dengan usaha
dengan pendapat di atas, Korten (baca desentralisasi dan revitalisasi sekolah,
dalam Tarigan, 2000: 19) membuat Model maka konsep manajemen berbasis sekolah
Kesesuaian implementasi kebijakan atau dapat menjadi alternatif yang penting
program dengan memakai pendekatan sebagai salah satu jembatan untuk
proses pembelajaran. Model ini berintikan tercapainya peningkatan mutu pendidikan
kesesuaian antara tiga elemen yang ada yang telah ditetapkan.
dalam pelaksanaan program, yaitu program MBS dapat didefinisikan sebagai
itu sendiri, pelaksanaan program dan model manajemen yang memberikan
kelompok sasaran program. otonomi lebih besar kepada kepala
Model kesesuaian implementasi sekolah, memberikan
kebijakan yang diperkenalkan oleh Korten fleksibefitas/keluwesan lebih besar kepada
(1980) memperkaya model implementasi sekolah untuk mengelola sumber daya
kebijakan yang lain. Hal ini dapat sekolah, dan mendorong sekolah
dipahami dari kata, kunci kesesuaian yang meningkatan partisipasi warga sekolah dan
digunakan. Meskipun demikian, elemen masyarakat untuk memenuhi kebutuhan
yang disesuaikan satu sama lain - program, mutu sekolah untuk mencapai tujuan mutu
pemanfaat dan organisasi — juga sudah sekolah dalam kerangka pendidikan
termasuk baik dalam dimensi isi kebijakan nasional
(program) dan dimensi konteks Meskipun MBS menawarkan
implementasi (organisasi) maupun dalam otonomi dan kebebasan yang besar kepada
outcomes (pemanfaat) pada model proses sekolah, namun tetap disertai seperangkat
politik dan administrasi dari Grindle. tanggung jawab yang harus dipikul oleh
sekolah. Sekolah tidak memiliki kapasitas
untuk berjalan sendiri tanpa menghiraukan
2. Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) kebijakan prioritas dan standarisasi yang
Pada dasarnya manajemen adalah dirumuskan oleh pernerintah, karena
bekerja dengan orang orang untuk bagaimanapun sekolah berada dalam
menentukan, menginterpretasikan dan sistem pendidikan nasional. Pemerintah
mencapai tujuan tujuan organisasi dengan dalam hal ini berkewajiban membuat
pelaksanaan fungsi-fungsi perencanaan, regulasi dan mengevaluasi
pengorganisasian, penyusunan personalia, pelaksanaannya. Pemerintah sebagai
pengarahan, kepemimpinan dan eksekutif, memiliki kewenangan yang
pengawasan. Dengan demikian, tidak terbatas dalam melakukan telaah
pencapaian suatu tujuan melalui pimpinan terhadap berbagai implikasi dari
dan bersama dengan orang orang serta penyelenggaraan pendidikan.
mempergunakan alat untuk mencapai MBS harus dipersepsi sebagai
tujuan tersebut merupakan hakikat alternatif pemecahan masalah rendahnya
manajemen. Manajemen pendidikan adalah mutu pendidikan di sekolah melalui
bagian yang penting dalam peningkatan kemandirian, kreativitas, keberdayaan, dan
kualitas pendidikan, karena manajemen inisiatif sekolah. Namun, perlu disadari
akan mempengaruhi dan menentukan bahwa MBS tidak mungkin dapat
efektif tidaknya kurikulum, peralatan mendongkrak kualitas pendidikan apabila
belajar mengajar, waktu mengajar dan tidak didukung faktor lainnya.
proses pembelajaran. Karena itu, untuk Keberhasilannya sangat dipengaruhi dan
meningkatkan kualitas pendidikan harus ditentukan oleh sejumlah faktor, antara
lain: (1) tingkat kemampuan ekonomi
Kartini Sahade / Jurnal Administrasi Publik, Volume 2 No. 1 Thn. 2011 20
masyarakat, (2) sosial budaya dan politik, tahap impelementasi kebijakan publik
(3) taraf pendidikan masyarakat, (4) MBS dianggap lebih rumit karena masalah
program pemerintah, (5) organisasi dan impelementasi tersebut tidak hanya sebagai
kepemimpinan kepala sekolah, (6) strategi masalah teknis administratif belaka, tetapi
pembelajaran di kelas, (7) tata laksana merupakan masalah yang dinamis, yang
sekolah, (8) iklim dan kultur sekolah, (9) mungkin penuh dengan tekanan politik.
serta profesionalisme guru, (10) pengawas Hal ini terjadi dalam masyarakat yang
pendidikan dan pengajaran, dan (11) demokratis dimana implementasi program
tenaga kependidikan lainnya. tidak dilakukan secara paksa tetapi melalui
Dalam implementasi MBS ini proses penyamaan persepsi, negosiasi, dan
sekolah perlu melakukan perencanaan kompromi dengan berbagai pihak yang
strategis, yang didasarkan pada hasil berkepentingan.
identifikasi masalah. Analisis SWOT Berangkat dari pemikiran di atas dan
(Strengths Weakness – Opportunities - mengacu kepada pendapat Wohlstetter &
Threats) merupakan salah satu metode Mohrman yang dijelaskan kembali
yang dapat digunakan untuk membantu Nurkholis (2001: 42-44) bahwa dalam
sekolah mengungkap dan mengidentifikasi rangka implementasi MBS, setidaknya ada
permasalahan. Pentingnya analisis SWOT empat sumber daya yang harus
dilakukan agar dapat diketahui kekuatan didesentralisasikan oleh pusat kepada
dan kelemahan yang melekat dalam sekolah, yaitu (1) Kekuasaan/kewenangan
lingkungan internal sistem itu sendiri, serta (power/authority) (2) Pengetahuan
peluang dan tantangan yang datang dari (knowledge) (3) Informasi (information)
lingkungan eksternal sistem tersebut. (4) Penghargaan (reward).
Analisis SWOT dilaksanakan Melalui penerapan MBS maka
sebagai bagian dari perencanaan strategis fungsi birokrasi kependidikan lebih banyak
dalarn rangka implementasi MBS. memandu dan bukan melaksanakan sendiri
Mengingat filosofi MPMBS ialah operasional pendidikan. Oleh karena itu,
pemberdayaan dan otonomi dalam MBS mengembang dua dimensi
menentukan program pengembangan pemahaman, yaitu; (i) pembaharuan dalam
sekolah, maka menjadi hal yang sangat pengelolaan (manajemen) sekolah, dan (ii)
strategis bagi sekolah untuk mengenali dorongan menyeluruh terhadap
kemampuan yang dimiliki dan hambatan pembaharuan kurikulum dan pengajaran.
yang dihadapi. Untuk itu, maka gagasan MBS perlu
dipahami dengan baik oleh seluruh pihak
3. MBS dalam Konteks Kebijakan yang berkepentingan dalam
penyelenggaran pendidikan, khususnya
Publik sekolah. Hal ini dipahami karena
Dalam konteks MBS sebagai sebuah implementasi MBS tidak sekedar
kebijakan publik, walaupun baru dalam membawa perubahan dalam kewenangan
tahapan pelaksanaan yang bersifat rintisan akademik sekolah dan tatanan pengelolan
(uji coba) juga perlu dilakukan suatu sekolah, akan tetapi membawa perubahan
evaluasi yang lebih bersifat mengkaji pula dalam pola kebijakan dan orientasi
faktor-faktor yang berpengaruh terhadap partisipasi orang tua dan masyarakat dalam
pelaksanaan kebijakan tersebut. pengelolaan pendidikan yang mencakup
Sebagaimana diketahui bahwa tahap dimensi intelektual, sosial, kepribadian,
formulasi kebijakan Manajemen Berbasis dan produksi.
Sekolah merupakan tahap yang paling Manajemen berbasis sekolah
teratur (formally structured), aturan (MBS), sebagai inovasi dalam manajemen
mainnya lebih jelas sesuai dengan persekolahan yang diterapkan untuk
perundangan yang berlaku. Sedangkan meningkatkan efektivitas penyelenggaraan
Kartini Sahade / Jurnal Administrasi Publik, Volume 2 No. 1 Thn. 2011 21
sekolah, membutuhkan sumber daya variabel: (1) dorongan dan paksaan pada
manusia yang dapat memahami prinsip tingkat federal, (2) kapasitas pusat/negara,
prinsip penyelenggaraan manajemen dan (3) dorongan dan paksaan pada tingkat
berbasis sekolah. Prinsip prinsip ini pusat dan daerah. Pendapat Van Meter dan
berkaitan dengan adanya distribusi atau Van Horn bahwa terdapat variabel bebas
penyerahan kewenangan yang lebih besar yang saling berkaitan sekaligus
kepada kepala sekolah, guru, orang tua menghubungkan antara kebijakan dengan
peserta didik, anggota masyarakat dan prestasi kerja. Variabel yang dimaksud
peserta didik itu sendiri (stakeholders oleh keduanya meliputi: (i) ukuran dan
pendidikan). tujuan kebijakan, (ii) sumber kebijakan,
Desentralisasi pendidikan yang telah (iii) ciri atau sifat badan/instansi pelaksana,
menjadi kebijakan nasional, mensyaratkan (iv) komunikasi antar organisasi terkait
diterapkannya manajemen berbasis sekolah dan komunikasi kegiatan yang
dalam penyelenggaraan pendidikan dilaksanakan, (v) sikap para pelaksana, dan
persekolahan. Desentralisasi yang (vi) lingkungan ekonomi, sosial dan
diterapkan mengharuskan sekolah politik.
memiliki kewenangan yang cukup luas Quade memberikan gambaran
untuk mengatur dirinya secara mandiri, bahwa terdapat empat variabel yang harus
terutama dalam mengatur dan membuat diteliti dalam analisis implementasi
keputusan yang terkait dengan segala kebijakan publik, yaitu "(1) Kebijakan
sumber daya yang tersedia atau yang yang diimpikan, yaitu pola interaksi yang
dimilikinya. Sekolah memiliki diimpikan agar orang yang menetapkan
kewenangan untuk membuat perencanaan kebijakan berusaha untuk mewujudkan; (2)
tersendiri, strategi, teknik dan bahkan kiat Kelompok target, yaitu subyek yang
untuk menerapkannya. diharapkan dapat mengadopsi pola
interaksi baru melalui kebijakan dan
4. Kriteria Pengukuran Keberhasilan subyek yang harus berubah untuk
memenuhi kebutuhannya; (3) Organisasi
Implementasi Kebijakan
yang melaksanakan, yaitu biasanya berupa
Menurut Grindle (1980: 10) dan unit birokrasi pemerintah yang
Quade (1984: 310), untuk mengukur bertanggungjawab mengimplementasikan
kinerja implementasi suatu kebijakan kebijakan; dan (4) Faktor lingkungan, yaitu
publik harus memperhatikan variabel elemen dalam lingkungan yang
kebijakan, organisasi dan lingkungan. mempengaruhi implementasi kebijakan".
Kriteria pengukuran keberhasilan Sebagai komparasi dapat dipahami
implementasi menurut Ripley dan Franklin pemikiran Mazmanian dan Sabatier yang
(1986) didasarkan pada tiga aspek, yaitu mengembangkan "kerangka kerja analisis
(1) tingkat kepatuhan birokrasi terhadap implementasi. Menurutnya, peran penting
birokrasi di atasnya atau tingkatan analisis implementasi kebijakan negara
birokrasi sebagaimana diatur dalam ialah mengidentifikasi variabel yang
undang-undang, (2) adanya kelancaran mempengaruhi pencapaian tujuan formal
rutinitas dan tidak adanya masalah; serta pada keseluruhan proses implementasi.
(3) pelaksanaan dan dampak (manfaat) Variabel yang dimaksud diklasifikasikan
yang dikehendaki dari semua program ke dalam tiga kategori umum, yaitu: (1)
yang ada terarah. mudah atau sulitnya dikendalikan masalah
Sedangkan menurut Goggin et al. yang digarap; (2) kemampuan kebijakan
(1990) proses implementasi kebijakan untuk mensistematisasi proses
sebagai upaya transfer informasi atau implementasinya; dan (3) pengaruh
pesan dari institusi yang lebih tinggi ke langsung variabel politik terhadap
institusi yang lebih rendah diukur
keberhasilan kinerjanya berdasarkan
Kartini Sahade / Jurnal Administrasi Publik, Volume 2 No. 1 Thn. 2011 22
keseimbangan dukungan bagi tujuan yang MBS, kondisi lingkungan organisasi, dan
termuat dalam kebijakan. kapasitas organisasi pelaksana terhadap
Berdasarkan berbagai kajian teori di tingkat keberhasilan implementasi program
atas, maka dalam penelitian ini penulis MBS. Penelitian ini menggunakan metode
mengembangkan teori atau model analisis kuantitatif dengan model kausal,
implementasi sebagai proses politik dan karena selain sesuai sifat deskriptif dan
administrasi dari Grindle karena jika analisis yang mencirikan implementasi
semua model implementasi kebijakan kebijakan, juga sesuai dengan model
disandingkan, terlihat adanya kesamaan analisis implementasi kebijakan dengan
dari representasi elemen yang mencirikan. disain penelitian yang digunakan adalah
Ada tiga faktor atau variabel yang Structural Equation Modeling (SEM) yang
mempengaruhi implementasi program bersifat multivariat melibatkan variabel
MBS yaitu; (1) kejelasan program MBS later (variable yang tidak teramati) dengan
termasuk dimensi isi kebijakan dari menggunakan CFA (Confirmatory Factor
Grindle (1980), Goggin (1990), dan Korten Analysis).
(1980), (2) kondisi lingkungan organisasi Penelitian ini dilaksanakan pada
termasuk dimensi konteks implementasi sekolah dasar di Kabupaten Bantaeng yang
kebijakan, (3) kapasistas organisasi terdapat pada 8 (delapan) kecamatan.
pelaksana termasuk dimensi organisasi dari Populasi dalam penelitian ini adalah
Grindle (1980), Edward III, Quade (1984), seluruh guru sekolah dasar yang ada di
Model Linier, Model Interaktif, dan Kabupaten Bantaeng pada tahun pelajaran
Korten. Sekaitan dengan itu penelitian ini 2008/2009. Unit analisis penelitian ini
melihat variabel kejelasan program MBS adalah guru yang dikelompokkan dalam 23
sebagai isi kebijakan, dan variabel kondisi gugus (cluster) pada 8 (delapan)
lingkungan organisasi serta kapasitas kecamatan. Sampel penelitian ditarik dari
organisasi pelaksana sebagai konteks sebahagian populasi dengan teknik “cluster
implementasi kebijakan dari Grindle. purposive”, random sampling, yaitu
Peneliti menetapkan variabel menarik sampel sekolah (inti) yang ada
kejelasan program MBS, kondisi pada tiap gugus (cluster), sekolah imbas
lingkungan organisasi, dan kapasistas dipilih secara purposive yaitu dipilih
organisasi pelaksana karena jika kebijakan berdasarkan pertimbangan tertentu, dan
itu jelas tujuannya, tepat waktu dan sampel guru dipilih dari sekolah inti dan
sasarannya maka mendapatkan banyak imbas secara random (acak) sebanyak 5
dukungan dari masyarakat. Ditetapkan orang tiap sekolah. Jumlah sampel
lingkungan untuk melihat faktor yang seluruhnya yang terpilih adalah 5 orang
mempengaruhi implementasi, apakah dari 3 sekolah (1 inti dan 2 imbas) pada 23
menunjang atau menghambat. Walaupun gugus = 345 orang guru.
kebijakan itu jelas/ tepat ditunjang oleh
kondisi lingkungan organisasi tapi
organisasi atau pelaksana tidak
HASIL PENELITIAN DAN PEM-
berkapasitas maka implementasi kebijakan
BAHASAN
itu pasti tidak berhasil.
1. Tingkat Keberhasilan Implementasi
METODE PENELITIAN Program MBS
Hal ini sesuai dengan usaha yang Ketuntasan Minimal (KKM), 10) Kegiatan
dilakukan sekolah dasar di Kabupaten pembelajaran di sekolah meningkatkan
Bantaeng ternyata mampu memberikan kemampuan kognitif, afektif, dan
keberhasilan program MBS sebagaimana psikomotorik siswa, 11) Guru memberikan
gambaran implementasi dari berbagai pujian kepada siswa yang berhasil. Hasil
kriteria sudah terlaksana. tersebut menyatakan bahwa prinsip
Adapun kriteria implementasi pembelajaran menyenangkan sudah
program MBS yang dimaksud adalah: 1) dilaksanakan oleh sebagian guru, 12)
Rencana Kegiatan Sekolah (RKS) Pembelajaran di sekolah bebas dari
dilaksanakan secara bersama oleh warga ancaman/intimidasi/kekerasan sehingga
sekolah dan komite sekolah, 2) Rencana siswa tidak takut mengemukakan pendapat
Kerja dan Anggaran Sekolah (RKAS) 13) Masyarakat memberikan bantuan
mudah diakses/dilihat oleh masyarakat, 3) kepada sekolah berupa material/bahan
RKS dan RKAS dipertanggungjawabkan sebagai pengganti dana, 14) Masyarakat
kepada masyarakat, 4) Guru memberi memberikan bantuan kepada sekolah
kesempatan kepada siswa mengungkapkan berupa tenaga, 15) Masyarakat menjadi
gagasan/pendapatnya secara lisan/tertulis pelaksana kegiatan sekolah, dan 16)
dalam pembelajaran, 5) Siswa lebih Masyarakat terlibat dalam pengambilan
banyak diberi kesempatan melakukan keputusan sekolah.
pengamatan / percobaan dalam Melihat dari gambaran kriteria
pembelajaran, 6) Siswa memperlihatkan penilaian tersebut, meskipun belum secara
interaksi yang tinggi dalam pembelajaran, keseluruhan mampu terlaksana, tetapi
7) Guru mengelola siswa secara, bervariasi tingkat keberhasilan implementasi
sehingga siswa lebih kreatif dalam kebijakan MBS telah dilaksanakan dengan
pembelajaran. 8) Guru menggunakan baik. Berdasarkan ungkapan tersebut, hal
metode yang bervariasi sehingga siswa ini sesuai dengan analisis data hasil
lebih kreatif dalam pembelajaran, 9) pengisian kuesioner oleh 345 orang
Kegiatan pembelajaran mencapai tujuan responden, maka dapat dilihat pada tabel 1.
yang telah ditetapkan dalam Rencana
Program Pembelajaran (RPP) dan Kriteria