Anda di halaman 1dari 22

Pengaruh Revolusi Perancis Terhadap Perkembangan Ilmu Sosiologi

Pengertian revolusi Perancis menurut wikipedia adalah:


“Masa dalam sejarah Perancis antara tahun 1789 dan 1799 di mana
para demokrat dan pendukung republikanisme menjatuhkan monark
absolut di Perancis dan memaksa Gereja Katolik Roma menjalani
restrukturisasi yang radikal. Banyak penyebab yang melatarbelakangi
terjadinya revolusi Perancis antara lain: Kemarahan terhadap
kekuasaan raja yang mutlak atau absolut, situasi ekonomi yang
buruk, kebencian terhadap intoleransi agama, ketidakstabilan dan
diskriminasi hak, golongan bangsawan dan kaum rohaniwan memiliki
hak-hak istimewa, seperti memungut pajak, tidak dikenai pajak, dan
memiliki tanah, sebaliknya rakyat kecil malah diberati pajak, dan lain-
lain. Penyebab yang paling mendominasi terjadinya revolusi di
Perancis adalah keserakahan Raja Louis XVI dan Maria Antoinette (
istri Raja Louis XVI ), yang mempergunakan uang rakyat untuk
kepentingan pribadinya.Ia juga mengatakan: “L'etat c'est moi” yang
berarti “Negara adalah saya!” yang merupakan semboyannya yang
paling terkenal.

Pada saat menjelang revolusi banyak kerusuhan-


kerusuhan yang terjadi yang dilakukan oleh rakyat karena pada
saat itu terjadi perebutan kudeta antara rakyat dan rajanya.
Puncak kemarahan rakyat terjadi pada tanggal 14 Juli 1849
yang ditandai dengan penyerangan atas penyerbuan dan
sekaligus meluluhlantahkan penjara Bastille. Hari itu pula
merupakan awal dimulainya revolusi Perancis, yang kelak juga
menjadi inspirasi revolusi di sejumlah negara Eropa dan juga
revolusi industri. Penjara ini merupakan lambang kekuasaan
dan kesewenangan Raja Louis. Setelah itu, Kerajaan Perancis
diubah menjadi sebuah republik dan diperintah oleh
pemerintahan Terror atau Reign of Terror (suatu sistem
pemerintahan dengan cara-cara diktator). Kemudian, pada
tahun 1795, sistem pemerintahan Terror itu dibentuk sistem
pemerintahan Directorie (1795-1799), tetapi tidak berhasil
mengatasi kekacauan-kekacauan yang terjadi di Perancis.
Kemudian Revolusi Perancis berhasil ditaklukkan oleh
Napoleon Bonaparte, lalu Ia di angkat menjadi kaisar Perancis.
Revolusi berhasil menguasai istana, pada tanggal 16 Januari
1793 M. Raja Louis XVI dipenggal dengan pisau Guillotine,
kemudian menyusul Maria Antoinette. Perancis di bawah
pemerintahan revolusioner membentuk negara, dengan tentara
milisi dipimpin Napoleon Bonnaparte yang bersemboyan
liberte, egalite, dan fraternette yang diabadikan pada warna
bendera biru-putih-merah. Pada perang koalisi VI, tahun 1814,
Perancis dikalahkan oleh pasukan koalisi dan Napoleon
dibuang ke pulau Elba. Pada tahun 1815 Napoleon meloloskan
diri dan terjadi perang koalisi ke VII, akhirnya Perancis dapat
dikalahkan kembali dan Napoleon dibuang ke pulau St. Helena.

Revolusi Perancis membawa pengaruh yang sangat


luas , secara politis lahirnya paham-paham baru seperti
liberalism, demokrasi, dan nasionalisme sebagai
perkembangan dari semboyan revolusi liberte, egalite, dan
fraternette. berakhirnya Revolusi Perancis, semua orang
berharap bahwa kesamaan (egalite), persaudaraan (fraternite),
dan kebebasan liberte) yangmenjadi semboyan revolusi benar-
benar akan terwujud. Ketiga semboyan itu memiliki kaitan yang
erat satu sama lain.

Namun, dalam kenyataannya berbeda dengan apa yang


diharapkan. Revolusi memang telah mendatangkan perubahan,
namun pada saat yang sama juga telah mendatangkan
kekuatiran yanglebih besar. Apa sesungguhnya yang terjadi?
yang terjadi adalah timbulnya anarki (situasi tanpaaturan) dan
kekacauan (chaos) yang lebih besar setelah terjadinya
Revolusi Perancis. Banyak sekali ketegangan-ketegangan
pada saat itu seperti pendiskriminasian terhadap orang miskin.
August Comte adalah orang yang pertama kali membuat
deskipsi ilmiah atas situasi sosial seperti ini. Dialah yang
pertama kali menggunakan kata "sosiologi". Walaupun
sosiologi muncul pada abad ke-19 pada masanya August
Comte, akan tetapi perhatian terhadap mayarakat sudah ada
sebelum abad 19, hanya saja masih berupa pemikiran-
pemikiran dan belum menjadi suatu ilmu. Contohnya
Aristoteles (384-322 SM), didalam bukunya politics, Aristoteles
mengadakan suatu analisis mendalam terhadap lembaga-
lembaga politik dalam masyarakat, abad ke-17 ditandai tulisan
Hobbes (1588-1679) yang berjudul The Leviathan, Inti
ajarannya di ilhami oleh hukum alam, fisika dan matematika.
Dia beranggapan bahwadalam keadaan alamiah, kehidupan
manusia didasarkan pada keinginan-keinginan yangmekanis,
sehingga manusia selalu ingin berkelahi, akan tetapi mereka
mempunyai pikiran bahwa hidup damai dan tentram jauh lebih
baik, awal abad ke-19 muncullah ajaran Saint Simon (1760-
1825) yang terutama mengatakan bahwa manusia hendaknya
dipelajari dalam kehidupan berkelompok. Muncullah di abad
ke-19 nama Auguste Comte yang telah menulis beberapa buah
buku yang berisikan tentang pendekatan-pendekatan umum
untuk mempelajari masyarakat. Nama yang dipakai pada saat
itu adalah "sosiologi" ( 1839) yang berasal darikata latin socius
yang berarti "kawan", "teman", "masyarakat" dan dari kata
yunani logos yang berarti "kata", "berbicara". Jadi sosiologi
adalah berbicara tentang masyarakat.Lahirnya sosiologi,
tercatat pada 1842,
REVOLUSI PRANCIS

Sebelum meletus revolusi, masyarakat Prancis terbagi ke


dalam tiga golongan politik: pertama, golongan bangsawan
kaya yang berjumlah sekitar 400.000 orang; kedua, terdiri dari
golongan gereja atau agamawan yang berjumlah sekitar
100.000 yang terdiri dari rahib dan biarawan katolik, pendeta
dan uskup; dan ketiga, meliputi sekitar 99% warga negara
Prancis.

Golongan ketiga ini pun dibagi ke dalam tiga bagian:


(1) golongan menengah (borjuis) seperti ahli hukum, dokter,
pedagang, pengusaha dan pemilik pabrik;
(2) kaum buruh dan pekerja, dan;
(3) golongan petani.

Hak-hak politik dan hak-hak istimewa dapat dimiliki seseorang


bergantung dari kedudukannya dalam golongannya tersebut.
Masyarakat Prancis merasakan adanya ketidakadilan sebagai
akibat dari perbedaan pemberian hak dan kewajiban
khususnya pada golongan yang ke tiga.

1. Latar Belakang Lahirnya Revolusi Prancis

a. Ketidakadilan Politik dan Ekonomi


Kaum bangsawan memegang peranan yang sangat penting
dalam bidang politik, sehingga segala sesuatunya ditentukan
oleh bangsawan sedangkan raja hanya mengesahkan saja.
Ketidakadilan dalam bidang politik dapat dilihat dari pemilihan
pegawai-pegawai pemerintah yang berdasarkan keturunan dan
bukan berdasarkan profesi atau keahlian, Hal ini menyebabkan
administrasi negara menjadi kacau dan berakibat munculnya
tindakan korupsi. Ketidakadilan politik lainnya adalah tidak
diperkenankannya masyarakat kecil untuk ikut berpartisipasi
dalam kegiatan pemerintahan.

Penyebab lain meletusnya Revolusi Prancis adalah masalah


keuangan yang disebabkan oleh pengeluaran yang berlebihan
oleh raja-raja Prancis pada tahun 1600-1700-an. Untuk
menanggulangi masalah tersebut, raja Prancis menggunakan
sistem pajak kepada rakyatnya. Namun, sistem pajak yang
digunakan tidak mampu memberikan keadilan bagi rakyatnya.
Golongan I dan II bebas dari pajak tertentu. Sebagian borjuis
yang kaya juga terbebas dari pajak dengan cara membeli surat
lisensi bebas pajak, sedangkan golongan III, yakni para petani
dan buruh, dikenakan semua jenis pajak antara lain pajak diri,
pajak penghasilan, pajak tanah dan rumah, pajak garam, dan
pajak anggur.

b. Lemahnya Wibawa Raja Perancis

Raja Prancis seperti Louis XV dan XVI menyadari bahwa


masalah keuangan negara dapat teratasi bila setiap orang atau
golongan membayar pajak. Akan tetapi karena mereka tidak
memiliki kewibawaan dalam menindak golongan I dan II, maka
golongan tersebut tetap memiliki hak-hak istimewa dan bebas
dari pajak.

1) Munculnya Filsuf-filsuf Pembaharu


Pada pertengahan abad ke-18 di Prancis bermunculan para
penulis dan filsuf terkenal. Tulisan-tulisan yang mereka buat
banyak menyinggung kelemahan dan kesalahan pemerintah,
seperti ketidakadilan sosial, politik dan ekonomi. Adapun tokoh-
tokoh pembaharu tersebut di antaranya:
(a) Montesquieu, yang menulis buku berjudul Lesprit des Lois
(Jiwa Undang-undang) yang menerangkan sejarah
undangundang dan peraturan pemerintah beserta kelebihan
dan kelemahannya. Inti dari buku tersebut menerangkan
kekuasaan negara yang dibagi ke dalam tiga kekuasaan yakni
legislatif, eksekutif dan yudikatif yang dikenal dengan nama
Trias Politica.
(b) Voltaire, seorang tokoh pembaharu yang bersifat kritis
terhadap pemerintah. Ia mengecam peraturan-peraturan
negara dan menyatakan bahwa pemerintahan Raja Louis XVI
bukanlah sebuah pemerintahan demokratis melainkan
pemerintahan otokrasi yang berpusat pada kekuasaan seorang
raja. Dalam hal ini raja menjalankan pemerintahan bukan untuk
kepentingan rakyat akan tetapi untuk kepentingan pribadi atau
golongan.
(c) J.J. Rousseau, seorang filsuf yang menaruh perhatian
terhadap pelaksanaan kedaulatan dan persamaan rakyat dan
menganjurkan agar Prancis melaksanakan sistem
pemerintahan demokrasi. Atas idenya tersebut ia dianggap
sebagai “Bapak Demokrasi Modern”.

c. Absolutisme Monarki

Absolutisme monarki adalah suatu bentuk pemerintahan


kerajaan yang rajanya berkuasa secara mutlak dan tidak
dibatasi oleh undang-undang. Dalam pemerintahan ini, nasib
negara berada di tangan raja. Raja Louis XVI adalah raja yang
tidak memiliki kewibawaan, tidak mampu membuat
keseragaman administrasi dan bersifat depotisme serta
feodalisme. Hal ini mengakibatkan banyak para pejabat
pemerintahan yang melakukan penyelewengan dan
ketidakadilan bagi rakyat.

2. Penyerangan ke Penjara Bastille: Kelahiran Revolusi Prancis

Seperti yang telah disinggung di atas bahwa salah satu sebab


yang mengakibatkan Revolusi Prancis adalah masalah
keuangan. Sebagai tindak lanjut dalam mengatasi
permasalahan keuangan, Raja Louis XVI berusaha
menerapkan pajak kepada Golongan I dan II. Akan tetapi
tindakan ini mengalami kegagalan karena tidak disetujui oleh
golongan bangsawan. Golongan ini berpendapat bahwa semua
pajak yang baru yang akan diterapkan harus mendapat
persetujuan dari Estates General atau Badan Legislatif yang
merupakan badan perwakilan dari ke tiga golongan masyarakat
Prancis.
Masyarakat Perancis mengharapkan agar Estates General
dapat berperan dalam kehidupan politik di Prancis. Namun,
dalam tubuh Estates General sendiri terdapat perselisihan
pendapat tentang tata cara pemungutan suara (voting) di
antara ke tiga golongan. Golongan I dan II menghendaki voting
dilakukan oleh golongan mereka (estates). Sedangkan
golongan III menyadari bahwa jumlah mereka jauh lebih
banyak dan menghendaki agar voting dilakukan secara
individual.

Perselisihan tersebut diakhiri dengan pengusiran anggota


golongan III dari tempat sidang pertemuan oleh Louis XVI.
Golongan III tersebut akhirnya bersidang di lapangan tenis
tertutup (jeu de pume). Di tempat tersebut mereka membentuk
Dewan Nasional atau National Assembly atas anjuran Abbe
Syies pada tanggal 17 Juni 1789.

Hal ini dianggap sebagai awal dimulainya Revolusi Prancis.


Tuntutan Dewan Nasional adalah menuntut adanya peran
politik yang besar dalam pemerintahan serta diakuinya hak-hak
mereka dan meminta terbentuknya undang-undang atau
konstitusi bagi Prancis sesuai dengan sumpah Jeu de Paume.

Pada 9 Juli 1789 terbentuklah Assembly National Constituante


(Dewan Nasional Konstituante) yang terdiri dari perwakilan
semua golongan yang bertugas membuat rancangan
undangundang dasar. Lahirnya lembaga ini menunjukkan
lemahnya kedudukan dan kewibawaan Raja Louis XVI dan
keberanian Assembly National. Bastille adalah sebuah benteng
pertahanan kota Paris yang dibangun pada tahun 1300.
Benteng ini diubah menjadi penjara bagi tawanan politik yang
membahayakan kekuasaan raja.

Penyerangan penduduk Prancis ke penjara Bastille


dilatarbelakangi oleh kabar tentang pengumpulan pasukan
kerajaan yang berjumlah 20.000 orang untuk membubarkan
Dewan Nasional dan melawan revolusi. Alasan lain
penyerbuan penduduk terhadap penjara Bastille adalah raja
bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat, rakyat ingin
menghancurkan simbol kekuasaan raja, rakyat ingin
membebaskan para tokoh dan pimpinan politik yang di penjara
yang seluruhnya berjumlah 7 orang. Singkatnya, Bastille
adalah simbol dari kejahatan Raja Louis. Dikeluarkannya
“Deklarasi Hak-hak Manusia dan Warga Negara” (Declaration
des Droits de I’home et du Citoyen) pada tanggal 26 Agustus
1789 oleh pihak kerajaan, telah memicu rakyat Paris untuk
memberontak.

Melalui deklarasi ini rakyat Prancis memiliki hak kemerdekaan,


hak milik, hak keamanan dan hak perlindungan dari tindakan
kekerasan. Dalam deklarasi ini juga dinyatakan bahwa semua
orang memiliki persamaan (equality) di depan hukum, memiliki
hak untuk berbicara, memilih agama dan kebebasan pers. Inti
deklarasi ini merujuk pada ajaran Rousseau yang memuat asas
kedaulatan rakyat, kemerdekaan, persaudaraan dan
persamaan.
Prinsip-prinsip kemerdekaan (liberty), persamaan (equality),
dan hak-hak alami (natural right) dirumuskan kembali dalam
konstitusi Prancis yang baru. Pada dasarnya konstitusi tersebut
berisi jaminan hak-hak rakyat dan pembatasan kekuasaan raja.
Raja Louis XVI menerima konstitusi tersebut sehingga corak
pemerintahan Prancis menjadi monarki konstitusional, yang
berarti kerajaan yang mempunyai undang-undang dasar.

3. Bentuk-bentuk Pemerintahan Prancis Pasca Revolusi

a. Pemerintahan Monarki Konstitusional (1789-1793)

14 Juli 1789 merupakan langkah awal yang diambil oleh


pemerintah revolusi, yaitu dengan dibentuk Pasukan
Keamanan Nasional yang dipimpin oleh Jendral Lafayette.
Selanjutnya dibentuk Majelis Konstituante untuk menghapus
hak-hak istimewa raja, bangsawan, dan pimpinan gereja.
Semboyan rakyat segera dikumandangkan oleh J.J. Rousseau
yaitu liberte, egalite dan fraternite. Dewan perancang undang-
undang terdiri atas Partai Feullant dan Partai Jacobin. Partai
Feullant bersifat pro terhadap raja yang absolut, sedangkan
Partai Jacobin menghendaki Prancis berbentuk republik.

Mereka beranggotakan kaum Gerondin dan Montagne di


bawah pimpinan Maxmilien de’Robespierre, Marat, dan
Danton. Pada masa ini juga raja Louis XVI dijatuhi hukuman
pancung (guillotine) pada 22 Januari 1793 pada saat itu bentuk
pemerintahan Prancis adalah republik.
b. Pemerintahan Teror atau Konvensi Nasional (1793-1794)

Pada masa ini pemegang kekuasaan pemerintahan bersikap


keras, tegas, dan radikal demi penyelamatan negara.
Pemerintahan terror dipimpin oleh Robespierre dari kelompok
Montagne. Di bawah pemerintahannya setiap orang yang
kontra terhadap revolusi akan dianggap sebagai musuh
Prancis. Akibatnya dalam waktu satu tahun terdapat 2.500
orang Prancis dieksekusi, termasuk permaisuri Louis XVI,
Marie Antoinette.

Hal ini menimbulkan reaksi keras dari berbagai pihak. Akhirnya


terjadi perebutan kekuasaan oleh kaum Girondin. Robespierre
ditangkap dan dieksekusi dengan cara dipancung bersama
dengan 20 orang pengikutnya. Pada Oktober 1795
terbentuklah pemerintahan baru yang lebih moderat yang
disebut Pemerintahan Direktori.

c. Pemerintahan Direktori atau Direktorat (1795-1799)

Pada masa Direktori, pemerintahan dipimpin oleh lima orang


warga negara terbaik yang disebut direktur. Masing-masing
direktur memiliki kewenangan dalam mengatur masalah
ekonomi, politik sosial, pertahanan-keamanan, dan
keagamaan. Direktori dipilih oleh Parlemen. Pemerintah
direktori ini tidak bersifat demokratis sebab hak pilih hanya
diberikan kepada pria dewasa yang membayar pajak.
Dengan demikian wanita dan penduduk miskin tidak memiliki
hak suara dan tidak dapat berpartisipasi. Pada masa
pemerintahan direktori, rakyat tidak mempercayai pemerintah
karena sering terjadinya tindak korupsi yang dilakukan oleh
pejabat pemerintah yang berakibat terancamnya kesatuan
nasional Prancis. Akan tetapi, dari segi militer Prancis
mengalami kemajuan yang pesat, hal ini berkat kehebatan
Napoleon Bonaparte. Ketidakpercayaan rakyat terhadap
pemerintah ini berhasil dimanfaatkan Napoleon untuk merebut
pemerintahan pada tahun 1799.

d. Pemerintahan Konsulat (1799-1804)

Pemerintahan konsulat dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu


Napoleon sebagai Konsulat I, Cambaseres sebagai Konsulat II,
dan Lebrun sebagai Konsulat III. Akan tetapi dalam perjalanan
sejarah selanjutnya Napoleon berhasil memerintah sendiri. Di
bawah pimpinan Konsulat Napoleon, Perancis berhasil
mencapai puncak kejayaannya. Tidak hanya dalam bidang
militer akan tetapi juga dalam bidang sosial, politik, ekonomi,
dan budaya. Pada tahun 1803 Napoleon terpilih sebagai kaisar
Prancis atas dasar voting dalam sidang legislatif.
Penobatannya dilaksanakan pada 2 Desember 1804 oleh Paus
VII.

e. Masa Pemerintahan Kaisar (1804-1815)

Napoleon sebagai kaisar dimulai dengan pemerintahannya


yang bersifat absolut. Hal ini jelas tidak disukai oleh rakyat
Prancis. Napoleon memiliki keinginan untuk mengembalikan
kekuasaan raja secara turun-temurun dan menguasai seluruh
wilayah Eropa. Ia mengangkat saudara-saudaranya menjadi
kepala Negara terhadap wilayah yang berhasil ditaklukannya.
Oleh karena itu, pemerintahan Napoleon disebut juga
pemerintahan nepotisme.

Pemerintahan kekaisaran berakhir setelah Napoleon ditangkap


pada tahun 1814 setelah kalah oleh negara-negara koalisi dan
dibuang di Pulau Elba. Karena kecerdikannya Napoleon
berhasil melarikan diri dan segera memimpin kembali pasukan
Prancis untuk melawan tentara koalisi selama 100 hari.
Namun, karena kekuatan militer yang tak seimbang, akhirnya
Napoleon mengalami kekalahan dalam pertempuran di
Waterloo pada tahun 1915. Dia dibuang ke pulau terpencil di
Pasifik bagian selatan, St. Helena sampai akhirnya meninggal
pada tahun 1821.

f. Pemerintahan Reaksioner

Rakyat merasa tidak senang terhadap sistem pemerintahan


absolute yang dilakukan oleh Napoleon. Oleh karena itu rakyat
kembali memberi peluang pada keturunan Raja Louis XVIII
untuk menjadi raja di Prancis kembali (1815-1842). Raja yang
berkuasa pada saat sistem pemerintahan Reaksioner, selain
Raja Louis XVIII, adalah Raja Charles X (1824-1840) dan Raja
Louis Philippe (1830-1848).
4. Dampak Revolusi Prancis

Revolusi Prancis secara politik telah mengakibatkan


berkembangnya faham liberal yang menghendaki demokrasi
dan kebebasan individu, lahirnya negara-negara republik yang
demokratis, munculnya aksi-aksi revolusioner untuk menentang
penguasa absolut. Prancis yang pada awalnya bersifat
absolute (kekuasaan raja yang tidak terbatas) menjadi negara
yang demokratis (negara yang berundang-undang dan
mempunyai Dewan Perwakilan Rakyat).

Revolusi Prancis secara ekonomi telah mengakibatkan sistem


pajak feodal dihapus, berkembangnya industri modern,
munculnya system perdagangan bebas dan keadilan dalam
sistem perpajakan. Revolusi Prancis secara sosial-budaya
telah mengakibatkan sistem feodalisme terhapus, munculnya
susunan masyarakat yang baru tanpa kelas, adanya usaha
pemerataan pendidikan dan pengajaran, adanya kebebasan
beragama, serta langkah Napoleon diikuti oleh banyak negara
lain.

Di abad ke-14 terjadi apa yang dinamakan Renaisance di Eropa yang


dimulaikan dari Itali. Renaisance atau terlahir kembali; seorang
sejarahwan Belanda Johan Huizinga, menamakan sebagai suatu
zaman impian pada masa lampau dimana kaum intelek Eropa
memimpikan suatu masa kebesaran dan kejayaan. “The Intelect
Beauty” seperti apa yang dilihat oleh pelukis Botticelli dalam karya
lukisannya “Lahirnya Venus” lukisan “David” dari Michelangelo,
Monalisanya Leonardo da Vinci, Loirenya Erasmus dan banyak lagi
ahli-ahli pahat dan bangunan. Pendek kata Huruf “R” berarti
“Individualisme” dan “Modernisasi” bagi Eropa yang telah
dimulaikan dari Itali. Lebih rinci adalah suatu kesempatan dimana
seseorang lebih melihat ke dalam individunya dan karya kesanggupan
mencipta.

Tetapi “R” bisa juga berkembang menjadi sebuah mitos, karena


kesempurnaan yang ingin dimiliki manusia adalah tanpa batas, dan
tak mudah terpuaskan bahkan bisa berkembang kearah yang salah
karena tak terkontrol dan ini telah dibuktikan oleh sejarah yang terjadi
di Perancis.

Sejak zaman Louis XII, yang beristrikan Maria de Midici seorang


putri Italia, kerajaan Perancis telah bercita-cita bahwa Perancis akan
menjadi pusat kebudayaan di Eropa, mengambil alih kebesaran Itali.
Cita-cita ini menurun ke Louis ke-XIV atau si Raja Matahari. Untuk
itulah Versailles telah dibangun, dan tatakrama kaum bangsawan
dilatih, demikian pula budi bahasanya. Versailles adalah simbol
kecemerlangan Renaissance (”R”).

Bentuk Pemerintahan Perancis sebelum Revolusi.

Raja mempunyai kekuasaan yang tidak terbatas, memuncak pada


Louis ke-XIV, yang selalu mengulangi perkataan: “Lietat c’est moi”
(I am the state). Namun demikian negara berbentuk Collonne
dibawah pengawasan umum, setiap daerah memperhatikan
kesejahteraannya sendiri-sendiri. Penduduk terdiri dari kaum
bangsawan, kaum agama dan rakyat.

Kaum bangsawan dan agama punya hak-hak istimewa namun rakyat


tidak punya hak apapun. Mereka hanya berkewajiban membayar
pajak, dan jumlah dari rakyat inilah yang paling banyak. Pajak-pajak
yang harus ditanggung rakyat adalah : pajak diri (capitation), pajak
penghasilan, pajak rumah dan harta tetap, pajak tanah, pajak garam,
pajak untuk gereja, pajak untuk kaum bangsawan, pajak untuk
barang-barang kerajinan yang dihasilkan rakyat, pajak berdagang dan
banyak lagi. Rakyat tidak punya hak untuk duduk dalam
pemerintahannya. Hanya kaum bangsawan dan kaum agama yang
bisa memegang pemerintahan, tidak dari golongan rakyat yang
dianggap bodoh dan tidak terdidik. Oleh karena itu golongan
rakyatpun berusaha untuk bersungguh-sungguh dalam bidang
kerajinan, menenun, belajar sendiri, dan berdagang secara kecil-
kecilan. Yang paling penting dari golongan rakyat ini muncul ahli-
ahli pikir yang kemudian membela hak-hak mereka sebagai rakyat.

Lahirnya para pemikir penganjur perubahan.

J.J. Rousseau (1712 - 1775)

Pemujaan dan pujiannya kepada rakyat dapat dikatakan terlalu


berlebihan. Sebagai seorang penulis dia tergolong pemuja alam, sama
seperti dua orang kawannya dari Inggris yaitu William Words Worth
dan Charles Dickens. Manusia adalah bagian dari alam, dan dia lebih
memuja rakyat, karena dalam tingkah laku rakyat yang polos terdapat
ketulusan, tidak pada orang yang telah dihaluskan atau telah dipoles
oleh tatakrama. Rakyat adalah segala-galanya bagi dia. J.J. Rousseau
menyiarkan faham kemerdekaan bagi manusia dan persamaan.
Rousseau menulis buku yang berjudul “Contract Sosial“.
Dijelaskannya bagaimana seharusnya undang-undang dan peraturan-
peraturan untuk manusia yang beradab. Tulisan Rousseau ini amat
mendapat perhatian rakyat Perancis, dipandang sebagai buku suci ke
arah perubahan sehingga semua rakyat merasa berkewajiban untuk
membacanya. Inti dari Sociale Contract bahwa kekuasaan adalah
ditangan rakyat.

Voltaire (1694 1778)

Sebenarnya pada zamannya, Voltaire lebih dikenal sebagai seorang


pujangga daripada seorang ahli hukum. Dengan tegas dan jitu
dikritiknya pemerintahan Louis ke-XIV yang aristokrat. Dia
membandingkan pemerintahan di Inggris yang berparlemen dengan di
Perancis yang hanya namanya punya parlemen, sedangkan, parlemen
sejak Louis ke-XIII tidak lagi berfungsi. Kemudian dia
membandingkan pemerintahan Frederick II di Jerman yang bertindak
demi masyarakat banyak. Voltaire menyokong pendapat J.J. Rousseau
dengan mengatakan bahwa semua peraturan yang telah tidak sesuai
harus ditiadakan.
Montesqueu (1659-1755)

Bukunya adalah “L’Esprit des Lois” (Jiwanya Undang-Undang).


Diterangkan sejarah dari Undang-Undang dan peraturan-peraturan
pemerintah, dirincinya segala keburukan dan kebaikannya. Kekuasaan
membuat undang-undang, menjalankan undang-undang dan
kehakiman harus dipisahkan.

Ketiga penulis ini, banyak mempengaruhi meletusnya revolusi


Perancis. Ajaran Rousseau adalah yang paling menonjol, dia punya
banyak pengikut dari kaum bangsawan maupun dari kaum agama.
Idea Rousseau kecintaan pada rakyat, dan kembali ke alam, disambut
di seluruh Eropa bahkan di Amerika Utara (New World atau Amerika
Serikat sekarang ini). Ketiga penulis ini semasa hidupnya di zaman
Louis ke-XIV tidak pernah hidup di Perancis. Rousseau memilih
Swiss (Zurich) sebagai tempat tinggalnya hingga ajal, sedangkan
Voltaire pernah tinggal di Inggris kemudian mendapat perlindungan
raja Frederick II dari Jerman (temannya Voltaire) namun pernah pula
dipenjarakan di Bastille, demikian pula Montesque.

Para sejarahwan kemudian mencatat bahwa J.J. Rousseau yang


dengan seluruh jiwanya untuk rakyat, tidak sempat lagi melihat
kemarahan dan pengadilan rakyat dimasa Revolusi Perancis itu.

Meletusnya Revolusi Perancis.

Ketika, kesulitan sedang memuncak raja Louis XV mangkat. Raja ini


terkenal, tidak pernah berbuat apapun untuk rakyatnya, dia hanya
terkenal di meja judi, dan menjalankan garis-garis kebijkasanaannya
yang telah ditetapkan oleh Louis XIV. Louis ke-XV diganti oleh
anaknya Louis Ke-XVI. Rakyat mempunyai sedikit harapan akan ada
perbaikan, karena diketahui bahwa Louis ke-XVI orangnya baik hati
walaupun tersiar desas-desus bahwa permaisurinya Maria Antoinette,
(anak Maharani Austria) adalah ratu yang manja dan boros. Semasa
Louis Ke-XVI, Necker dijadikan menteri keuangan, rakyat banyak
berharap kepada kebijaksanaan Necker, karena dia meniadakan segala
tunjangan istimewa untuk para bangsawan.
Tetapi karena bermacam intrik istana, Necker kemudian diasingkan
raja, dan hal ini menimbulkan kemarahan rakyat. Rakyat berbondong-
bondong ke Versailles (Istana tempat raja berdiam) hendak
menanyakan akan hal itu, tetapi mereka dihadang oleh pasukan
keamanan dan banyak dari rakyat yang menjadi korban. Maka rakyat
berseru, kita harus pula cari senjata, dimana ada senjata? Senjata
disimpan dipenjara Bastille, maka seluruh rakyat kota Paris
berbondong ke Bastille pada tanggal 14 Juli 1789 itu, dan memporak-
porandakan penjara yang angker itu serta melepaskan seluruh tahanan
politik. Bastille adalah lambang kekejaman dari aristokrasi Perancis,
dan keruntuhan Bastille hingga saat ini dirayakan sebagai hari
kemerdekaan Perancis. Rakyat yang telah punya senjata meminta
Jendral Lafayette ( yang dikenal sebagai Jendral yang pro rakyat)
untuk memimpin mereka, dan Lafayette menyanggupinya.

Brunswick adalah Jendral yang dipercayakan untuk menjaga


keamanan raja, yang pada waktu itu meminta bantuan tentara Jerman
untuk menjaga keamanan kota Paris.

Pada tanggal 14 Juli itu pula, di Versailles L’Assemblee Nationale/


Majelis kebangsaan bersidang lagi, sesudah badan itu dilumpuhkan
untuk waktu yang cukup lama. Persidangan terakhir adalah pada
tahun 1614. Para bangsawan tercengang melihat kefasihan berbicara
dari pemimpin-pemimpin rakyat. Terdapat banyak orator yang sejak
itu berbicara di pojok-pojok jalan, maupun taman-taman terbuka,
yang isinya hanyalah membakar semangat rakyat.

Sementara itu, ekonomi Perancis makin parah harga roti terus


menanjak. Tiba-tiba saja di tanggal 6 Oktober itu (1789) seorang anak
perempuan kecil memukul-mukul mangkok susunya yang terbuat dari
kaleng. Sambil mengatakan lapar-lapar, mana roti, mana roti. Ucapan
yang memelas dari anak itu telah menggerakkan hati semua kaum ibu
disekitar tempat itu. Semua mereka mengatakan, apa yang akan kita
lakukan bila anak-anak kita lapar? Suara itu dengan cepat didengar di
seluruh kota Paris. Muncul wanita-wanita sebagai pemimpin, ayo kita
ke Versailles. Setiap rombongan itu lewat, banyak yang bergabung
sehingga kelompok membesar memenuhi jalan ke arah Versailles.
Golongan ini adalah golongan ibu-ibu yang compang-camping, badan
mereka tidak bermandikan parfum sebagai wanita-wanita bangsawan
yang hidup di Versailles. Setiba di istana Versailles hari telah malam,
maka mereka berkemah disekitar Istana.

Pagi-pagi kaum agitator telah datang dan berpidato pada mereka.


Mireabau, angkat bicara, siapa bilang wanita-wanita Perancis tidak
cantik? Semua mereka cantik melebihi kecantikan Maria Antoinette,
kekurangannya karena mereka tidak mandi dengan susu setiap hari
dan bersiramkan parfum. Maka ramailah tempat itu. Kalian mau roti?
Mintalah pada si tukang roti dan istrinya (maksudnya raja dan ratu),
tempat itu menjadi semakin gaduh.

Mari kita ajak si tukang roti, dan istrinya ke Paris, biar mereka tahu
betapa miskinnya kami. Maka berteriaklah perempuan-perempuan itu
dihadapan istana Versailles meminta raja pindah ke Paris. Raja
mengabulkan permintaan mereka, dan rombongan perempuan itu
bagaikan menyeret kereta keluarga raja, menuju Paris, sambil mereka
bernyanyi-nyanyi, kami tidak akan kekurangan roti lagi, karena si
tukang roti, istrinya dan anaknya (putra mahkota) telah kami bawa ke
Paris untuk mengolah roti kami. Sejak itu keluarga Louis XVI,
mendiami kembali sitana tua, Louvres di tengah-tengah kota paris,
(sekarang digunakan sebagai museum). Lukisan-lukisan yang
diabadikan oleh seorang pelukis Perancis tentang kemarahan
perempuan-perempuan itu, tersimpan dalam museum ini.

Dipihak lain, para bangsawan Eropa mengikuti dengan cemas


perkembangan Revolusi di perancis. Mereka juga tidak setuju dengan
cara Louis ke-XVI menuruti kemauan rakyatnya, raja telah menjadi
permainan dari para agitator. Jerman, Austria, Belgia dan Belanda
menyatakan perang pada Perancis. Tetapi gegap gempita Revolusi
terus bergema.

Para bangsawan bermodal, secara diam-diam telah meninggalkan


Perancis dan transfer uang dari Bank of Paris ke Bank of England
menjadi sibuk. Raja telah berkali-kali diperingati oleh saudara-
saudaranya yang telah selamat tiba di Itali, Jerman dan Inggris untuk
mencari jalan segera meninggalkan tempat itu. Tetapi Louis ke XVI
selalu menjawab dia tidak percaya bila rakyatnya sendiri akan
menyakiti dia, dan bila hal itu sampai terjadi dia rela. Ketika raja
berhasil dibujuk oleh Maria Antoinnette untuk tinggalkan Paris,
keadaan telah terlambat, mereka tertangkap di Verrennes.

Kaum bermodal lari meningggalkan negeri Perancis, dan banyak dari


mereka yang memilih “The New World” (AS sekarang ini) sebagai
tempat penanaman modal (Baca The Ambassadors: Henry James).

Majelis kebangsaan, tidak menghasilkan apa-apa, sehingga akhirnya


keadaan dikuasai oleh kaum anarkhi. Raja diseret ke pengadilan
rakyat. Seorang intellektual yang pinternya semacam apapun tak
dapat melawan emosi rakyat yang bertindak karena dendam.

Jendral La Fayette, sebagai seorang tokoh militer yang dianggap


dapat menyelesaikan keadaan tidak dapat berbuat banyak. Mungkin
pada waktu itu dia terlalu tua, lagi pula dia telah lebih banyak
memikirkan kebangkitan Amerika Serikat, Jendral La Fayette adalah
juga salah seorang penanda tangan Deklarasi Philadelphia di tahun
1776 di Amerika.

Pengadilan Rakyat dan Pengadilan untuk Raja.

Sejak keadaan tak terkendalikan lagi, sebenarnya yang berlaku adalah


suasana pembalasan dendam. Seorang pujangga Inggris seperti
Charles Dickens, yang khusus datang ke Paris untuk menyaksikan
peristiwa-peristiwa itu, menulis bahwa: “Suatu generasi yang paling
terdidik, dan dianggap paling berbudaya habis dilanda Revolusi itu.”
Rakyat yang dibelenggu berabad-abad hidup bagaikan binatang, telah
berubah dari domba-domba yang penurut, menjadi serigala-serigala
yang lapar, yang siap merobek siapa saja yang dianggap akan tambah
menyengsarakan mereka. Adakah hukum sebagaimana yang dicita-
citakan oleh Voltaire, dan pengadilan yang dimaksudkan oleh
Montesqueu berlaku dalam suasana yang demikian? Dimanakah
keluguan rakyat dan kelembutan rakyat yang dibayangkan oleh J.J.
Rousseau? Yang bergema pada waktu itu hanyalah Guilty atau tidak
guilty dan guilitin adalah jawabannya.

Bentuk pengadilan untuk raja, tak terhindar dari pengadilan rakyat.


Pengacara yang disediakan adalah seorang pengacara yang dianggap
tersohor diseluruh Eropa, Deseze namanya dan pada persidangan
yang dikatakan sebagai muktamar kebangsaan ini, kalimat Deseze
dicatat dalam sejarah hukum, seperti berikut: ” Saya cari diantara
tuan-tuan siapa yang menjadi hakim diantara tuan-tuan?” Ternyata
aku tidak berhasil menemukannya, dan ini sudah pratanda suatu
kegagalan hukum. Tuan-tuan semuanya adalah pendakwa.”

7 Januari 1793 Muktamar Kebangsaan menjatuhkan hukuman mati


pada Louis Capet, dengan cara memungut suara yaitu 387 melawan
334. Dalam kata-kata penyerahannya, raja berkata semoga darah saya
dan darah yang telah mengalir selama ini akan membahagiakan rakyat
Perancis, dihari-hari mendatang.

Pemburu-pemburu kekuasaan; Robberpierre, Danton, Marrat dan


Mirrebeau.

Setelah raja dihukum mati, maka muncullah banyak partai. Semua


menyuarakan untuk rakyat dan demi kesucian cita-cita politik mereka.
Partai Republik partai Yacobijn, Girodin dll. Singa-singa panggung
adalah Robbespierre, Marrat dan Danton duduk dalam partai
Yacobijn.

Robbespierre, ahli pidato digolongkan pada penganjur terror seperti


juga Marrat dan Danton. Setelah beberapa tahun berjalan menjadi
negara Republik, maka Perancis pun tidak tahan akan tekanan-
tekanan luar apalagi tiga serangkai yang dikenal sebagai “Tukang
sembelih” yang bercokol dalam partai Yacobijn seperti Robberpierre,
Danton dan Marrat berada dalam partai ini. Perancis berusaha
mendapatkan kembali julukan sebagai negara yang berbudaya di
Eropa, dan terdapatnya tukang-tukang sembelih itu di partai Yacobijn
dianggap sebagai suatu yang amat memalukan. Oleh karena itu
terjadilah perpecahan dalam partai itu. Dan Robbespierre dihukum
mati.

Danton, terkenal sebagai diktator Paris terkenal dengan peristiwa


berdarah September 1789 dimana dalam tiga malam saja 1000 (seribu
orang) yang diduga pro raja telah dibantai dan menganjurkan agar di
kota-kota besar lain di perancis dilakukan hal yang sama. Ketika
rakyat mulai menginginkan ketenangan maka Danton pun dipenggal
dengan Gulitin.

Mirrabeau, Mirreabeau sebenarnya telah pertama-tama digulitin oleh


pengadilan revolusi, karena dituduh telah mengadakan persetujuan
secara rahasia dengan mantan ratu Maria Antoinette. Mirrabeau
adalah seorang orator terkenal yang mematahkan pidato raja di dewan
kebangsaan pada tanggal 5 Mei 1789.

Marrat, Dia adalah seorang yang pergi dari satu kota ke kota yang
lain, di Perancis untuk mengumpulkan nama-nama dari orang-orang
yang dicurigai masih menjadi pengikut raja. Biasanya nama yang
telah dalam daftarnya tak akan lolos lagi dari penyembelihan. Disaat
itu partai Yacobijn telah hancur berantakan terjadi tuduh menuduh
diantara mereka. Maka Marrat berpidato dengan berapi-api mencela
pemimpin-pemimpin yang menurut dia adalah pengkhianat bangsa.
Dimusim semi bulan April 1793 itu, dia berada di Gaen, daerah
Bregtagne. Sementara itu disalah satu pojok taman itu, seorang gadis
dengan tekun mendengarkan pidato Marrat. Nama gadis itu,
“Charlotte Corday” rupanya gadis itu tak tahan lagi mendengarkan
keganasan-keganasan yang dianjurkan Marrat. Maka dia mengikuti
Marrat ke Paris. Sesampai di kantor Marrat gadis yang lugu itu
berkata: ” Saya datang dari Gaen ingin bertemu tuan Marrat”. Malihat
gadis itu dengan segera Marrat berkata: “Manakah nama-nama
pengkhianat dari negerimu ? Marrat duduk untuk menuliskan nama-
nama, tetapi dengan cepat gadis itu menusukkan pisau yang sangat
tajam ke dada Marrat. Maka berakhirlah hidupnya di musim semi
tahun 1793 itu. Kematian keempat ahli terror ini dicatat dalam sejarah
Eropa sebagai pemburu-pemburu kekuasaan yang tak segan-segan
menjadikan rakyat yang lugu sebagai korban permainan politik
mereka.

Berkaca pada sejarah revolusi Perancis, dalam mengatasi


kebingungan rakyat, sekarang ini adalah lebih baik diam, tidak perlu
banyak memberi tanggapan, salah satu, apalagi berlebihan maka anda
tak lebih dari seorang agitator. Semoga Tuhan melindungi kita, dan
terhindar dari marabahaya.

Anda mungkin juga menyukai