Anda di halaman 1dari 32

Analisis Regresi dan Korelasi

MAKALAH

METODE CHOHRANE-ORCUTT

UNTUK MENGATASI AUTOKORELASI

Dosen Pengampu

Dr. Elmanani Simamora, M.Si.

Disusun Oleh

Andre Yoel Siahaan (4173530005)

Daniel Unedo Tarigan (4173230004)

Lesman Hendry Manullang (4172230004)

PROGRAM STUDI MATEMATIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

2020

1
Kata Pengantar

Puji Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa oleh kerena kasih dan rahmat yang
diberikan sehingga Penulis dapat menyelesaikan makalah ini, dan tidak lupa Penulis
mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Elmanani Simamora, M.Si. selaku dosen
pengampu mata kuliah ini karena sudah memberikan penjelasan tentang OLS (Ordinary Least
Square). Pada makalah ini membahas tentang meteode Chochrane-Orcutt dalam mengatasi
Autokorelasi.

Hanya ini yang dapat Penulis sampaikan kepada para Pembaca sebagai kata pembuka,
kurang lebihnya penulis ucapakan terima kasih, dan jika ada yang kurang berkenan atau yang
salah dalam tulisan makalah ini Penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya, Penulis juga
menerima saran dan sanggahan dari pera pembaca.

Medan, Desember 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar...........................................................................................................i
Daftar isi.....................................................................................................................ii
Bab I. Pendahuluan....................................................................................................1
1.1. Latar belakang.....................................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah...............................................................................................2
1.3. Tujuan.................................................................................................................2
Bab II. Pembahasan....................................................................................................3
2.1. OLS.....................................................................................................................3
2.2. Autokorelasi........................................................................................................5
2.3. Sifat Dasar Autokorelasi.....................................................................................5
2.4. Penyebab autokorelasi.........................................................................................7
2.5 Konsekuensi adanya autokorelasi.......................................................................8
2.6 Mendeteksi autokorelasi.......................................................................................8
2.7 Metode Cochrane-Orcutt ....................................................................................12
2.8. Penerapan Chocrhane-Orcutt..............................................................................13
Bab III. Penutup.........................................................................................................27
3.1. Kesimpulan.........................................................................................................27
Daftar Pustaka............................................................................................................28

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Regresi merupakan salah satu teknik analisis data dalam statistika yang dapat
menjelaskan dan mengevaluasi hubungan antara suatu variabel respon dengan satu atau lebih
variabel predictor serta dapat digunakan untuk memprediksi variabel respon (Kutner,
Nachtsheim dan Neter, 2004). Salah satu model regresi yang paling banyak digunakan adalah
regresi ordinary least square atau regresi OLS (Montgomery, Jennings dan Kulahci, 2008).
Regresi ini banyak digunakan, karena analisis matematis dalam pemodelannya relatif mudah dan
banyak paket program komputer (software) statistik yang memberikan kemudahan untuk
menganalisisnya.

Dalam pemodelan regresi OLS terdapat salah satu asumsi penting yang harus dipenuhi
adalah tidak terjadi korelasi diantara variabel error modelnya atau tidak terjadi autokorelasi.
Autokorelasi merupakan salah satu pelanggaran terhadap asumsi regresi OLS. Jika terjadi
autokorelasi pada model regresi OLS, maka akan mengakibatkan penaksir parameter model
regresi yang diperoleh menjadi tidak best linear unbiased estimator (BLUE) karena tidak
mempunyai variansi yang minimum diantara penaksir yang lain, sehingga menyebabkan hasil
penaksiran interval dan pengujian parameter model regresi OLS menjadi tidak benar dan tidak
dapat digunakan untuk evaluasi hasil regresi (Gujarati (2003), Widarjono (2007)).

Ordinary Least Square (OLS) merupakan penaksir linear terbaik tak bias (Best Linear
Unbiased Estimator) bagi suatu model regresi dengan beberapa asumsi yang dimilikinya
(Supranto, 1983). Salah satu asumsinya, selayaknya  (error) hanya mengandung galat yang
berbentuk acak. Error tersebut mungkin berasal dari penyimpangan acak waktu mengadakan
pengukuran, misalnya dari alat ukur atau pembacaan alat ukur tersebut, atau faktor lain yang
tidak diukur tapi bersifat acak.  juga dapat berkorelasi dengan error pada pengamatan lain yang
disebut autokorelasi. Hal ini merupakan pelanggaran asumsi pada penaksiran dengan OLS
(Sembiring, 1995).

Autokorelasi merupakan pelanggaran asumsi OLS yang menyatakan bahwa dalam


pengamatan-pengamatan yang berbeda tidak terdapat autokorelasi antara error. Autokorelasi
dapat terjadi pada setiap penelitian dimana urutan pada pengamatan-pengamatan memiliki arti.
Oleh karenanya, autokorelasi sering disebut korelasi serial yang terjadi kebanyakan pada
serangkaian data runtun waktu. Intisari autokorelasi adalah bahwa error pada suatu periode
waktu secara sistematik tergantung kepada error pada periode waktu yang lain. (Sarwoko,

1
2002). Pada makalah ini akan dikaji metode Cochrane-Orcutt untuk mengatasi autokorelasi pada
regresi OLS, khususnya untuk model regresi OLS.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang tersebut dapat diketahui rumusan masalahsebagai berikut.
1. Apa yang dimaksud Autokorelasi?
2. Apakah metode Chochrane dapat mengatasi Autokorelasi ?

1.3 Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah :
1. Mengetahui apa itu Autokorelasi.
2. Mengetahui apakah Chohrane-Orcutt dapat mengatasi Autokorelasi dan bagaimana
caranya.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. OLS

Regresi OLS Regresi OLS adalah suatu model regresi linier yang menggunakan metode
OLS untuk mendapatkan taksiran modelnya. Metode OLS adalah suatu metode penaksiran
parameter model regresi yang meminimumkan jumlah kuadrat error. Model regresi OLS dengan
satu variabel prediktor dapat ditulis seperti pada persamaan berikut (Kutner, dkk. (2004),
Montgomery dkk (2008)):

dengan
X t adalah variabel prediktor pada pengamatan ke-t, Yt adalah variabel respon pada

pengamatan ke-t,
β ,β
0 1 adalah parameter model dan adalah variabel error pada pengamatan
ke-t. Penaksir OLS untuk parameter dan adalah seperti pada persamaan berikut (Sembiring,
(2003), Draper dan Smith (1992)).

Berdasarkan Persamaan (2) dan Persamaan (3) diperoleh taksiran model regresi OLS seperti
pada persamaan berikut (Sembiring, 2003).

Regresi merupakan suatu model yang dapat digunakan untuk menggambarkan hubungan antara
satu atau lebih peubah bebas (independen) dengan satu peubah takbebas (dependen) (Weisberg,
1985). Istilah regresi pertama kali diperkenalkan oleh seorang antropolog Inggris yang bernama
Sir Francis Galton pada tahun 1855. Selain untuk menggambarkan hubungan antara peubah
bebas dengan peubah takbebas, regresi juga dapat digunakan untuk kegiatan pengestimasian nilai
peubah takbebas jika nilai peubah bebasnya diketahui.

3
salah satu jenis regresi yang sering digunakan untuk menggambarkan hubungan antara satu
peubah bebas dengan satu peubah takbebas dalam bentuk persamaan linier disebut regresi linier
sederhana.

Bila persamaan di atas menggunakan lebih dari satu peubah bebas, maka model regresi linier
tersebut disebut regresi linier berganda.

Parameter beta 0,1,…,k pada persamaan regresi lineier diduga dengan beta topi 0,1,….,k .
Penduga parameter-parameter tersebut dapat diperoleh dengan menggunakan metode kuadrat
terkecil dengan cara meminimumkan jumlah kuadrat galat.
Penggunaan metode kuadrat terkecil dalam regresi linier harus memenuhi beberapa asumsi agar
diperoleh penduga yang baik. Asumsi-asumsi yang harus dipenuhi tersebut sering disebut dengan
asumsi klasik. Asumsi klasik tersebut mengharuskan hubungan antara X dengan Y bersifat linier,
tidak ada korelasi antara error dengan variabel independen, tidak ada korelasi diantara error
pengamatan, tidak ada multikolinieritas sempurna, dan error mengikuti distribusi Normal dengan
rata-rata nol dan varian yang konstan (Homokedastisitas) (Pindyck & Rubinfield, 1991).
Penggunaan regresi sebagai suatu teknik analisa sering kali berhadapan dengan data deret waktu
(time series). Salah satu pelanggaran terhadap asumsi klasik yang sering terjadi ialah terjadinya
korelasi diantara error menurut urutan waktu atau sering disebut dengan autokorelasi.
Permasalahan autokorelasi merupakan salah satu bentuk pelanggaran asumsi klasik yang dapat
menimbulkan permasalahan yang cukup serius. Permasalahan autokorelasi akan mempengaruhi
sifat-sifat yang dimiliki penduga metode kuadrat terkecil sehingga memerlukan jalan keluar yang
tepat untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Dari latar belakang permasalahan di atas, muncul ketertarikan untuk membahas lebih mendalam
permasalahan autokorelasi terutama dalam regresi linier sederhana, sehingga dapat menjelaskan
secara lebih luas apa yang dimaksud dengan autokorelasi, bagaimana cara untuk
melihat/mendeteksi keberadaan autokorelasi, apa akibat yang ditimbulkan autokorelasi, dan
bagaimana cara/jalan keluar untuk mengatasi permasalahan autokorelasi.

4
Tujuan dari penelitian ini adalah memberikan penjelasan mengenai pengertian autokorelasi,
bagaimana cara mendeteksi keberadaan autokorelasi, apa akibat yang ditimbulkan autokorelasi,
dan bagaimana cara mengatasi persoalan autokorelasi, terutama dalam regresi linier sederhana.
2.2. Autokorelasi
Menurut Gujarati (1999) autokorelasi merupakan korelasi diantara anggota seri observasi
yang disusun menurut urutan waktu (dalam data time series) atau menurut urutan tempat/ruang
(dalam data cross section). Autokorelasi atau juga sering disebut korelasi serial merupakan suatu
bentuk pelanggaran terhadap asumsi klasik yang lebih sering/dominan terjadi ketika regresi linier
sebagai sebagai suatu teknik analisa menggunakan data deret waktu (time series), walaupun
autokorelasi juga dapat terjadi dalam data cross section. Autokorelasi dapat disebabkan beberapa
faktor, diantaranya karena manipulasi data, tidak memasukkan peubah (variabel) yang
berpengaruh, atau karena kesalahan model.
Permasalahan Autokorelasi akan mengakibatkanCov (ε t , ε t−s )≠ 0 , sehingga terjadi korelasi
antara error (galat) dari suatu waktu pengamatan dengan error dari waktu pengamatan lain.
Ketika terjadi autokorelasi namun asumsi-asumsi klasik lainnya terpenuhi, maka autokorelasi
akan menghasikan matriks varian-kovarian error seperti berikut :

Elemen-elemen selain diagonal utama pada matriks varian-kovarian di atas seharusnya bernilai
0, yang menandakan tidak adanya korelasi diantara error.
2.3. Sifat Dasar Autokorelasi
Istilah autokorelasi didefinisikan sebagai korelasi yang terjadi antar anggota serangkaian
observasi yang diurutkan menurut waktu (seperti dalam data deret waktu) atau ruang (seperti
dalam data  cross sectional). Dalam konteks regresi, model regresi linear klasik mengasumsikan
bahwa autokorelasi tersebut tidak terdapat dalam gangguan ui. Sederhananya dapat dikatakan
bahwa usur gangguan yang berhubungan dengan observasi tidak dipengaruhi oleh unsur
gangguan yang berhubungan dengan pengamatan lain manapun.
Secara umum terdapat dua buah istilah terhadap konsep korelasi yang kita bicarakan disini yaitu
autokorelasi dan serial korelasi. Menurut Tintner definisi autokorelasi yaitu “korelasi ketinggalan
waktu (lag correlation) suatu deret tertentu dengan dirinya sendiri, tertinggal oleh sejumlah unit
waktu”. Sedangkan serial korelasi didefinisikan sebagai “korelasi ketinggalan waktu (lag
correlation) antara dua seri yang berbeda”. Dalam hal ini kaitannya dengan pengujian asumsi

5
dalam regresi kita menggunakan konsep dan definisi autokorelasi bukan konsepsi dan definisi
dari seria korelasi.
Pertanyaan sekarang adalah kenapa autokorelasi dalam model regresi dapat terjadi? Ada
beberapa alasan diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Inersia atau kelembaman. Sebagai misal, deret waktu untuk GNP, indeks harga, produksi,
kesempatan kerja dan pengangguran menunjukkan pola siklus. Dalam regresi yang meliputi
data deret waktu, observasi yang beruntutan nampak saling bergantung. Hal ini lah yang
mengindikasikan adanya autokorelasi pada model regresi yang terbentuk.
2. Bias spesifikasi : kasus variabel yang tidak dimasukan. Dalam analisis seringkali terjadi
bahwa peneliti memulainya dari model regresi yang masuk akal, yang mungkin bukan model
yang “sempurna”. Setelah mengevaluasi pada residual yang dihasilkan model, sangat
mungkin menyarankan bahwa beberapa variabel yang mulanya merupakan calon variabel
tetapi tidak dimasukan dalam model untuk berbagai alasan yang seharusnya dimasukan. Hal
tersebut merupakan kasus bias spesifikasi karena variabel yang tidak dimasukan. Seringkali
terjadi bahwa dengan memasukan variabel tersebut dapat menghilangkan pola korelasi yang
mungkin terjadi diantara residual.
3. Bias spesifikasi : bentuk fungsional yang tidak benar. Jika pada point 2 terkait masalah
variabel yang tidak dimasukan, dalam poin 3 autokorelasi disebabkan atas bentuk formulasi
model regresi atas variabel-variabelnya yang tidak sesuai dengan seharusnya (tidak sesuai
dengan formula standar atau formula yang benar). Sebagai misal kesalahan pada formulasi
model regresi atas biaya marjinal, hal ini dapat menimbulkan hasil taksiran model yang
terlalu tinggi (overestimate) ataupun terlalu rendah (underestimate).
4. Fenomena Cobweb. Autokorelasi yang terjadi pada penawaran banyak komoditi
pertanian dimana penawaran bereaksi terhadap harga dengan keterlambatan satu periode
waktu karena keputusan penawaran memerlukan waktu untuk penawarannya (periode
persiapan) jadi pada awal musim tanam tahun berjalan dipengaruhi oleh harga yang terjadi
tahun sebelumnya.
5. Manipulasi data. Dalam analisis empiris, data kasar seringkali “dimanipulasi”. Sebagai
misal, dalam regresi deret waktu yang melibatkan data kuartal, data seperti itu biasaya
diperoleh dari data bulanan dengan hanya menambahkan 3 observasi bulanan dan membagi
jumlah tadi dengan 3. Pemerataan ini menghasilkan penghalusan (smothnees) ke dalam data
dengan meratakan fluktuasi dalam data bulanan. Jadi, jika grafik yang memetakan data
kuartal nampak jauh lebih halus daripada data bulanan, dan kehalusan ini mungkin dengan
sendirinya mengakibatkan pola sistematis dalam gangguan, sehingga mengakibatkan
autokorelasi.

Hal yang perlu diperhatikan bahwa meskipun autokorelasi terutama terdapat dalam data deret
waktu, dapat juga terjadi dalam data cross sectional. Beberapa ahli menamakan autokorelasi
dalam data cross sectional sebagai autokorelasi ruang (spatial autocorrelation), yaitu korelasi
dalam ruang dan bukan dalam waktu. Oleh karenanya, dengan munculnya konsep keruangan
(spatial) maka muncul juga analisis regresi spatial yang akan dibahas pada artikel lainnya.

1. Penaksir OLS tidak bias, yaitu dalam penyampelan berulang nilai rata-ratanya sama
dengan nilai populasi yang sebenarnya.

6
2. Penaksir tadi konsisten yaitu dengan meningkatnya ukuran sampel secara terbatas,
penaksir tadi akan jatuh ke nilai yang sebenarnya.
3. Tetapi, karena terdapat autokorelasi penaksir tadi tidak lagi efisien (tidak mempunyai
varians minimum) baik dalam sampel kecil maupun besar asimtotik.
Jika kita tetap menerapkan OLS dalam situasi autokorelasi, konsekuensi berikut yang akan
terjadi.

1. Selang keyakinannya (dalam pengujian hipotesis) akan menjadi lebar secara tak perlu dan
pengujian arti (signifikansi) kurang kuat.
2. Pengujian t dan F yang biasa tidak lagi sah, dan jika diterapkan akan memberikan
kesimpulan yang menyesatkan secara serius mengenai arti statistik dari koefisien regresi yang
ditaksir.
3. Penaksir OLS akan memberikan gambaran yang menyimpang dari nilai populasi yang
sebenarnya. Dengan perkataan lain, penaksir OLS menjadi sensitif terhadap fluktuasi
penyampelan.

Tindakan Perbaikan
Karena dengan adanya autokorelasi penaksir OLS menjadi tidak efisien, penting untuk mencari
tindakan untuk perbaikannya. Tetapi perbaikannya tergantung apa yang diketahui mengenai sifat
ketergantungan di antara gangguan. Tindakan perbaikan di sini dibedakan menjadi 2 keadaan
diantaranya jika struktur autokorelasi diketahui dan jika tidak diketahui.

1. Jika Struktur Autokorelasi Diketahui. Karena gangguan ut tidak bisa diamati, sifat
autokorelasi sering merupakan soal spekulasi atau keadaan mendesak yang bersifat praktis.
Dalam prakteknya, biasanya diasumsikan bahwa gangguan ut mengikuti skema autoregresif
derajat pertama. Model regresi yang dibentuk dengan skema autoregresif derajat pertama
dikenal sebagai persamaan perbedaan yang digeneralisasikan. Persamaan regresi tersebut
menyangkut peregresian Y atas X, tidak dalam bentuk asli, tetapi dalam bentuk perbedaan
yang diperoleh dengan menggunakan suatu proporsi dari nilai suatu variabel dalam periode
waktu sebelumnya dari nilainya dalam periode saat ini.
(Y – ρYt-1) = β0(1-ρ) + β1(Xt – ρXt-1) + εt (model regresi yang terbentuk)
2. Jika Struktur Autokorelasi Tidak Diketahui. Meskipun jelas untuk diterapkan, regresi
perbedaan yang digeneralisasikan biasanya sulit untuk dilakukan karena ρ (korelasi) dalam
prakteknya tidak diketahui. Beberapa metode yang dapat diterapkan diantaranya,
 Metode perbedaan pertama (the first difference method). Model dengan perbedaan
pertama (persamaan poin 1 dengan asumsi ρ = -1) dikenal sebagai model regresi rata-rata
bergerak (dua periode) karena kita melakukan regresi nilai satu rata-rata bergerak
(moving average) terhadap yang lainnya.
 ρ (korelasi) didasarkan pada statistik, d Durbin-Watson. Nilai d Durbin-Watson
yang digunakan untuk mendapatkan harga taksiran ρ (korelasi) yang akan diterapkan pada
model pada poin 1. Dimana nilai ρ ditaksir dengan persamaan ρ = 1 – (d/2).

7
2.4. Penyebab autokorelasi
1. Kesalahan model (linier – non linier)
2. Penggunaan Lag (inertia) è data observasi pada periode sebelumnya dan periode sekarang,
kemungkinan besar akan saling ketergantungan (interdependence)
3. fenomena cobweb è Munculnya fenomena sarang laba-laba terutama terjadi pada penawaran
komoditi sektor pertanian è Misalnya, panen komoditi permulaan tahun dipengaruhi oleh harga
yang terjadi pada tahun sebelumnya è ui tidak lagi bersifat acak (random), tetapi mengikuti suatu
pola yaitu sarang laba-laba.
4. Tidak memasukkan variabel yang penting
5. Manipulasi data

2.5 Konsekuensi adanya autokorelasi :

1. Estimator yang dihasilkan masih unbiased, konsisten, dan asymptotical normally


distributed. Tetapi tidak lagi efisien->varians tidak minimum (tidak BLUE) 
2. Estimasi standard error dan varian koefisien regresi yang didapat akan ‘underestimate’. 
3. Pemerikasaan terhadap residualnya akan menemui permasalahan. 
4. Autokorelasi yang kuat dapat pula menyebabkan dua variabel yang tidak
berhubungan menjadi berhubungan. Biasa disebut spourious regression. Hal ini terlihat
dari R2.

2.6 Mendeteksi autokorelasi


1. Metode Grafik 

Metode ini merupakan metode yang paling sederhana untuk mendeteksi autokorelasi. Sekaligus
merupakan langkah awal untuk mendeteksi autokorelasi. Sesuai dengan definisinya, metode ini
membandingkan antara residual dengan variabel X. selain itu, dengan membandingkan antara
rasidual ke-t dengan residual ke-(t-1).

8
Suatu grafik mengindikasikan adanya autokorelasi dapat dilihat dari polanya. Suatu grafik
dikatakan mengandung autokorelasi ketika terdapat pola antara residual dengan waktu atau
antara residual ke-t sampai ke-(t-1).

Pada bagian (a) terlihat bahwa grafiknya membentuk pola siklus sehingga diindikasikan terdapat
autokorelasi. Hal itu juga didukung dengan grafik antara raesidual ke-t dengan residual ke-(t-1)
yang menunjukkan ada hubungan liniear..pada gambar tersebut terdapatnya autokorelasi positif
dan negatif. Autokorelasi positif terlihat pada bagian (a) sedangkan autokorelasi negatif pada
gambar bagian (b).

2. Uji Durbin Watson

Metode grafik diatas masih memiliki permasalahan. Pada metode ini, adanya autookorelasi agak
sulit untuk ditentukan karena hanya melalui subjektifitas peneliti. Sehingga, kemungkinan tiap
peniliti memiliki pandangan yang berbeda-beda. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengujian
formal yang dapat dipercaya secara ilmiah. Salah satu cara untuk mengetahui adanya
autokorelasi adalah uji durbin-watson.

hipotesis:
Ho=tidak ada autokorelasi
H1=ada autokorelasi

Statistik Uji :

9
Setelah mendapatkan statistik uji. Langkah selanjutnya adalah membandingkan dengan tabel
DW. Tabel DW tediri atas dua nilai, yaitu batas bawah (dL) dan batas atas(dl) dan batas
bawah(du). Berikut beberapa keputusan setelah membandingkan DW.

 Bila d < dL Þ tolak H0; Berarti ada korelasi yang positif atau kecenderungannya r= 1 
 Bila dL < d < dU Þ kita tidak dapat mengambil kesimpulan apa-apa
 Bila dU < d < 4 – dU Þ jangan tolak H0; Artinya tidak ada korelasi positif maupun
negatif 
 Bila 4 – dU < d < 4 – dL Þ kita tidak dapat mengambil kesimpulan apa-apa
 Bila d > 4 – dL Þ tolak H0; Berarti ada korelasi negatif

tabel durbin-watson dapat diperoleh disini

3. Uji Run

Uji durbin Watson juga memiliki kelemahan ketika berada antara nilai dL dan dU atau antara (4-
dU) dan (4-dL) maka keputusannya autokorelasi tidak bisa diketahui mempunyai autokorelasi
apa tidak. Sehingga dilakukan uji lain bisa dengan metode grafik atau metode formal lainnya.
Salah satu uji formal yaitu uji run.

Perinsip kerja uji run sangat sederhana yaitu dengan melihat tanda nilai residual negtaif atau
positif(+) atau negatif (-), tanpa memperhatikan nilainya. Sehingga run yang dimaksud disini
adalah sekelompok nilai residual yang mempunyai tanda sama secara bertusut-turut.

Contoh: (++++++)(-----)(+++++)(----)

Hipotesis:
H0=residual random
H1=tidak demikian

10
Untuk menghitungnya digunakan beberapa fungsi berikut:

Dimana: 
N=jumlah observasi
N1=jumlah run positif(+)
N2=jumlah run negatif(-)

Dalam melakukan pengujian hipotesis, digunakan analisis interval kepercayaan :

E(run)-1,96 <= run <= E(run)+1,96 run

   Keputusan:

Apabila nilai Run berada diantara interval tersebut maka terima H0sehingga disimpulkan
residualnya random dan tidak adanya unsur autokorelasi.
4. Uji Breusch-Godfrey(BG)/Lagrange Multiplier(LM)

Uji ini dikembangkan oleh breusch-bodfrey.

Berdasarkan model tersebut Breusch-bodfrey mengasumsikan bahwa Ut mengikuti autoregresif


ordo p(AR(p)), sehingga membentuk model berikut:

2.7 Metode Cochrane-Orcutt

11
Metode Cochrane-Orcutt ini merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk
mengatasi masalah autokorelasi pada regresi OLS, khususnya bila struktur autokorelasi tidak
diketahui (Gujarati (2003), Widarjono (2007)).

Metode Cochrane-Orcutt merupakan metode yang digunakan untuk perbaikan bila suatu model
regresi ditemukan terjadi autokorelasi. Ketika struktur autokorelasi tidak diketahui, maka untuk
mengetahui nilai ρ^ (koefisien autokorelasi) dapat ditentukan dengan menggunakan formula
sebagai berikut:

dimana
e i adalah nilai error pada observasi ke-i, e i−1 adalah nilai error pada observasi ke
( i−1 ) dan adalah banyaknya observasi. Pada metode ini autokorelasi dihilangkan secara
bertahap dari bentuk yang paling sederhana sehingga autokorelasi dapat diatasi. Tahapan pada
metode Cochrane-Orcutt sebagai berikut.
1. Menggunakan metode OLS untuk mendapatkan estimasi model regresi dan mendapatkan nilai
error dari model regresi.
2. Meregresikan error ke-i dengan error ke ( i−1 ) untuk mendapatkan nilai Nilai koefisien
autokorelasi dilambangkan dengan ρ ada pada Persamaan diatas.
3. Meregresikan nilai ρ^ pada persamaan berikut :

Sehingga diperoleh

Pada langkah ini belum diketahui apakah nilai ρ^ yang diperoleh pada iterasi pertama
merupakan nilai terbaik dalam mengatasi terjadinya autokorelasi. Nilai ρ^ ditransformasikan
ke Persamaan (6) sehingga diperoleh nilai error dari model yang baru. Langkah ini perlu
dilakukan secara berulang hingga diperoleh nilai ρ^ yang sudah bersifat konvergen .

12
2.8. Penerapan Cochrane Orcutt
Contoh kasus dalam penelitian mengunakan data yang merupakan dengan data yang kami
peroleh dari sebuah platform Youtube . Sebelum menganalisis menggunakan regresi akan
diperiksa terlebih dahulu apakah data tersebut mengalami autokorelasi. Untuk mendeteksi ada
tidaknya autokorelasi adalah dengan melihat nilai Durbin Watson. Dimana :
 Bila d < dL Þ tolak H0; Berarti ada korelasi yang positif atau kecenderungannya r = 1 .
 Bila dL < d < dU Þ kita tidak dapat mengambil kesimpulan apa-apa
 Bila dU < d < 4 – dU Þ jangan tolak H0; Artinya tidak ada korelasi positif maupun negatif
 Bila 4 – dU < d < 4 – dL Þ kita tidak dapat mengambil kesimpulan apa-apa
 Bila d > 4 – dL Þ tolak H0; Berarti ada korelasi negatif

Berikut data yang kami dapatkan :


X1 X2 Y
128983
8.75 7432.86
9
130184
8.25 7771.82
4
130538
7.75 7990.71
9
129763
7.5 7834.07
5
130537
7.25 8180.58
7
10206.6 133504
7
4 1
10011.3 133811
6.17
3 6
136594
6.5 9977.6
2

13
136607
6.5 9900.72
6
137756
6.5 9482.73
1
139757
6.5 9469.95
8
143793
6.5 9457.75
0
140564
6.5 9275.45
0
142878
6.5 9348.21
8
146511
6.5 9173.73
4
148632
6.5 9027.33
9
153155
6.5 9183.21
6
158649
6.5 9148.36
2
159798
6.5 9049.45
0
164043
6.5 8971.76
0
165914
6.5 8973.5
5
167563
6.5 8927.9
3
170640
6.5 8938.38
3
176584
6.5 9022.62
5
174600
6.5 9037.38
5
177388
6.75 8912.56
9
181484
6.75 8761.48
6
184353
6.75 8651.3
9
188946
6.75 8555.8
5
195072
6.75 8564
7
197359
6.75 8533.24
9
6.75 8523 203161

14
4
207926
6.75 8765.5
1
210695
6.5 8895.24
6
210615
6 9015.18
7
220009
6 9088.48
4
220025
6 9109.14
8
221796
5.75 9025.76
2
228272
5.75 9165.33
4
233421
5.75 9175.5
1
240365
5.75 9290.24
6
247038
5.75 9451.14
0
248783
5.75 9456.59
5
252798
5.75 9499.84
9
257305
5.75 9566.35
6
260176
5.75 9597.14
8
264793
5.75 9627.95
0
272567
5.75 9645.89
4
270560
5.75 9687.33
1
273668
5.75 9686.65
4
278737
5.75 9709.42
2
284481
5.75 9724.05
2
290908
5.75 9760.91
5
298243
6 9881.53
6
10073.3 304551
6.5
9 1

15
309142
7 10572.5
9
11346.2 317080
7.25
4 5
318294
7.25 11366.9
9
324104
7.5 11613.1
0
331984
7.5 12087.1
9
12179.6 328489
7.5
5 0
329346
7.5 11935.1
5
11427.0 334011
7.5
5 1
11435.7 338877
7.5
5 6
11525.9 342968
7.5
4 4

Kita lakukan Analisis dengan menggunakan SPSS :


1. Kita Masukkan data yang kita punya kedalam SPSS

2. Kemudian kit Klik Analyze > Regression > Linear

16
3. Kita Masukkan Variabel dependent dan independent nya

4. Pada Statistic, kita pilih Model Fit dan Durbit-Watson untuk melakukan uji melihat adanya
autokorelasi.

5. Pada Save, kita Klik Unstandardized pada Residuals

17
6. Diperoleh Tabel Anova dan Tabel Durbin Watson

ANOVAa
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression 17981198582179 2 8990599291089. 45.076 .000b
.566 783
Residual 12366146885770 62 199453982028.5
.367 54
Total 30347345467949 64
.934
a. Dependent Variable: Y
b. Predictors: (Constant), X2, X1

Coefficientsa
Standardized
Unstandardized Coefficients Coefficients
Model B Std. Error Beta t Sig.
1 (Constant) -1644169.692 698514.602 -2.354 .022
X1 -159995.490 81866.377 -.160 -1.954 .055
X2 510.678 53.976 .773 9.461 .000
a. Dependent Variable: Y

Maka Diperoleh persamaan Regresi :


Y^ =−1644169.692−159995.490 X 1+ 510.678 X 2

18
Dimana Nilai Durbin Watson nya adalah :

Model Summaryb
Adjusted R Std. Error of the
Model R R Square Square Estimate Durbin-Watson
a
1 .770 .593 .579 446602.71162 .137
a. Predictors: (Constant), X2, X1
b. Dependent Variable: Y

Dimana Nilai Durbin Watson nya adalah d = 0,137. Dari tabel durbin Watson, dengan Jumlah
sampel n = 65 dan jumlah variabel k = 3, diperoleh batas bawah durbin Watson dL = 1,53.
65. 3. 1.53553 1.66210
Dimana d < dL, yang artinya terdapat Autokorelasi Positif.
Selanjutnya Kita akan Mengatasi autokorelasi. Untuk Melakukan Metode Cochrane Orcutt kita
perlu memperoleh nilai Rho. Untuk mendapatkannya, maka langkah pertama ialah memilih error
atau residual dari regresi linear dengan data asli, di mana langkah tersebut sudah dilakukan di
atas, yaitu pada ketika centang Unstandardized pada Residuals. Langkah tersebut
mengembalikan hasil berupa Unstandardized Residual atau yang disebut juga dengan “Residual”
atau “error.”

7. Kita Melakukan Transformasi Lag. Lag artinya mengembalikan variabel gres yang merupakan
hasil pengurangan nilai dari sampel ke-i dikurangi sampel ke-i – 1. Sampel ke-i artinya sampel
yang bersangkutan dan sampel ke-i-1 ialah sampel sebelumnya dari sampel yang bersangkutan.
Caranya adalah
Klik transform, compute variable, pada kotak target isikan dengan “Lag_RES” dan pada
kotak numeric expression isikan dengan formula: “Lag(Res_1)” di
mana Res_1 ialah Residual.
Diperoleh :

19
8. Setelah itu kita lakukan regresi dengan variabel bebasnya “LAG_RES” dan variabel terikatnya
RES_1. Pada Pilihan statistic, centang estimasi dan Model fit dan pada Option, hilangkan ceklis
pada include constant.

9. Diperoleh Koefisien Rho = 0,925

Coefficientsa,b

20
Standardized
Unstandardized Coefficients Coefficients
Model B Std. Error Beta t Sig.
1 LAG_RES .925 .046 .930 20.087 .000
a. Dependent Variable: Unstandardized Residual
b. Linear Regression through the Origin

10. Kemudian kita akan Mencari LAG_X1 menggunakan nilai Rho yang telah kita peroleh tadi.

11. Kemudian kita akan Mencari LAG_X2 .

12. Kita akan Mencari LAG_Y

21
13. Maka diperoleh data baru LAG_X1 dan LAG_X2 dan LAG_Y adalah

14. Kemudian kita Regresikan Kembali, dan ternyata diperoleh nilai durbin Watson nya :
22
Model Summaryb
Adjusted R Std. Error of the
Model R R Square Square Estimate Durbin-Watson
1 .486a .236 .211 58136.60351 .587
a. Predictors: (Constant), LAG_X2, LAG_X1
b. Dependent Variable: LAG_Y

Diperoleh du = 0,587, dan pada tabel dL = 1,53

15. Ternyata hasilnya masih mengalami autokorelasi, kemudian kita ke iterasi kedua dengan
menggunakan variabel LAG_X1, LAG_X2, dan LAG_Y

16. Diperoleh Nilai Rho = 0,709


17. Kemudian Diperoleh Nilai Durbin Watson iterasi ke-2

Model Summaryb
Adjusted R Std. Error of the
Model R R Square Square Estimate Durbin-Watson
a
1 .333 .111 .081 35407.77842 2.285
a. Predictors: (Constant), LAG_X22, LAG_X12
b. Dependent Variable: LAG_Y2

Dimana du = 2.285 > dL = 1.53 (Tidak terjadi autokorelasi positif. Dan (4-du) = 1,715 > dU =
1,66 (Tidak terjadi autokorelasi negative).

Coefficientsa
Standardized
Unstandardized Coefficients Coefficients
Model B Std. Error Beta t Sig.
1 (Constant) 47949.733 6045.603 7.931 .000
LAG_X12 45370.359 25953.499 .222 1.748 .086
LAG_X22 20.475 13.584 .192 1.507 .137
a. Dependent Variable: LAG_Y2

Sehingga Persamaan Regresi nya menjadi :


Y^ =47949.733+45370.359 X 1 +20.475 X 2

23
Summary.
1. Data Awal

Model Summaryb
Adjusted R Std. Error of the
Model R R Square Square Estimate Durbin-Watson
a
1 .770 .593 .579 446602.71162 .137
a. Predictors: (Constant), X2, X1
b. Dependent Variable: Y

2. Data Iterasi 1
Model Summaryb
Adjusted R Std. Error of the
Model R R Square Square Estimate Durbin-Watson
a
1 .486 .236 .211 58136.60351 .587
a. Predictors: (Constant), LAG_X2, LAG_X1
b. Dependent Variable: LAG_Y

3. Data Iterasi 2
Model Summaryb
Adjusted R Std. Error of the
Model R R Square Square Estimate Durbin-Watson
1 .333a .111 .081 35407.77842 2.285
a. Predictors: (Constant), LAG_X22, LAG_X12
b. Dependent Variable: LAG_Y2

24
1. Data Awal
ANOVAa
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression 17981198582179 2 8990599291089. 45.076 .000b
.566 783
Residual 12366146885770 62 199453982028.5
.367 54
Total 30347345467949 64
.934
a. Dependent Variable: Y
b. Predictors: (Constant), X2, X1

2. Data Iterasi 1
ANOVAa
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression 63842317902.90 2 31921158951.45 9.445 .000b
4 2
Residual 206171744759.9 61 3379864668.195
01
Total 270014062662.8 63
05
a. Dependent Variable: LAG_Y
b. Predictors: (Constant), LAG_X2, LAG_X1

3. Data Iterasi 2
ANOVAa
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression 9365857406.057 2 4682928703.029 3.735 .030b
Residual 75222646368.51 60 1253710772.809
6
Total 84588503774.57 62
4
a. Dependent Variable: LAG_Y2

25
b. Predictors: (Constant), LAG_X22, LAG_X12

1. Data Awal
Coefficientsa
Standardized
Unstandardized Coefficients Coefficients
Model B Std. Error Beta t Sig.
1 (Constant) -1644169.692 698514.602 -2.354 .022
X1 -159995.490 81866.377 -.160 -1.954 .055
X2 510.678 53.976 .773 9.461 .000
a. Dependent Variable: Y

2. Data Iterasi 1
Coefficientsa
Standardized
Unstandardized Coefficients Coefficients
Model B Std. Error Beta t Sig.
1 (Constant) 92969.542 25418.467 3.658 .001
LAG_X1 143955.165 38950.758 .416 3.696 .000
LAG_X2 43.276 23.630 .206 1.831 .072
a. Dependent Variable: LAG_Y

3. Data Iterasi 2
Coefficientsa
Standardized
Unstandardized Coefficients Coefficients
Model B Std. Error Beta t Sig.
1 (Constant) 47949.733 6045.603 7.931 .000
LAG_X12 45370.359 25953.499 .222 1.748 .086
LAG_X22 20.475 13.584 .192 1.507 .137
a. Dependent Variable: LAG_Y2

26
1. Data Awal
Residuals Statisticsa
Minimum Maximum Mean Std. Deviation N
Predicted Value 751669.4375 3375746.0000 2166335.0308 530053.04248 65
Residual -1143110.25000 585390.56250 .00000 439569.15848 65
Std. Predicted Value -2.669 2.282 .000 1.000 65
Std. Residual -2.560 1.311 .000 .984 65
a. Dependent Variable: Y

2. Data Iterasi 1
Residuals Statisticsa
Minimum Maximum Mean Std. Deviation N
Predicted Value 73738.5078 289419.5938 194429.7184 31833.47492 64
Residual -121919.82812 102960.28125 .00000 57206.35784 64
Std. Predicted Value -3.791 2.984 .000 1.000 64
Std. Residual -2.097 1.771 .000 .984 64
a. Dependent Variable: LAG_Y

3. Data Iterasi 2

Residuals Statisticsa
Minimum Maximum Mean Std. Deviation N
Predicted Value -1981.9337 100134.0625 59071.7156 12290.73701 63
Residual -82414.71094 67740.46094 .00000 34832.00382 63
Std. Predicted Value -4.967 3.341 .000 1.000 63
Std. Residual -2.328 1.913 .000 .984 63
a. Dependent Variable: LAG_Y2

27
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Dari Penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa

1. Menurut Gujarati (1999) autokorelasi merupakan korelasi diantara anggota seri observasi
yang disusun menurut urutan waktu (dalam data time series) atau menurut urutan
tempat/ruang (dalam data cross section)
2. Berdasarkan hasil dari pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa metode Cochrane-Orcutt
dapat mengatasi autokorelasi pada regresi OLS dengan tahapan

a. Menggunakan metode OLS untuk mendapatkan estimasi model regresi dan mendapatkan
nilai error dari model regresi.
b. Meregresikan error ke-i dengan error ke ( i−1 ) untuk mendapatkan nilai Nilai
koefisien autokorelasi dilambangkan dengan ρ ada pada Persamaan diatas.
c. Meregresikan nilai ρ^ pada persamaan berikut :

Sehingga diperoleh

28
Daftar Pustaka

Aprianto, Ade dan Naomi Nessyana Debataraja, Nurfitri Imro’ah.2020. METODE


COCHRANE-ORCUTT UNTUK MENGATASI AUTOKORELASI PADA ESTIMASI
PARAMETER ORDINARY LEAST SQUARES. Buletin Ilmiah Mat, Stat, dan Terapannya
(Bimaster) : Volume 09, No. 1(2020), hal 95-102.

Fathurahman, M. 2012. Metode Cochrane-Orcutt untuk Mengatasi Autokorelasi pada Regresi


Ordinary Least Squares. Program Studi Statistika FMIPA Universitas Mulawarman : Jurnal
EKSPONENSIAL Volume 3, Nomor 1, Mei 2012

Tinungki, Georgina M.2016. Metode Pendeteksian Autokorelasi Murni dan Autokorelasi Tidak
Murni. Program Studi Statistika Universitas Hasanuddin, jurnal matematika dan komputasi : vol
13 No 1, 46-54

29

Anda mungkin juga menyukai