Anda di halaman 1dari 17

Jurnal Pakarena

Volume 4 Nomor 1, Juni 2019


e-ISSN: 2550-102X dan p-ISSN: 1693-3990
This work is licensed under a Creative Commons Attribution
4.0 International License

BENTUK, FUNGSI, DAN MAKNA PAMOR SENJATA KAWALI DALAM


MASYARAKAT BUGIS

Satriadi

Keywords : ABSTRAK
Senjata Kawali; Kawali merupakan warisan kebudayaan fisik dan juga
Pamor; Bugis; merupakan produk kesenian berupa senjata tikam jarak pendek
dengan bilah yang hanya memiliki satu sisi tajam dan ujung
Corespondensi Author yang runcing. Kawali secara utuh memiliki tiga elemen pokok
Desain Komunikasi Visual, yaitu bilah, wanoa dan pangulu. Masing-masing elemen
Universitas Negeri Makassar, tersebut memiliki bentuk dan makna tersendiri. Bilah
Fakultas Seni dan Desain Jln. merupakan elemen paling pokok karena di dalamnya terdapat
Dg. Tata Kampus UNM motif pamor yang mengadung pesan atau makna simbolik yang
Parangtambung dijadikan pedoman masyarakat pendukungnya, dalam hal ini
satriadi@unm.ac.id masyarakat Bugis. Oleh karena itu, ada dua aspek kesenian
yang perlu diperhatikan dalam menganalisis bentuk dan makna
simbolik motif pamor pada kawali yaitu konteks estetika atau
penyajian yang mencakup bentuk dan gaya, kedua adalah
konteks makna (meaning) yang mencakup pesan dan kaitan
dengan simbol-simbolnya (simbolic value). Penelusuran bentuk
dan makna motif pamor melalui interpretasi analsis dengan
pendekatan Estetika Nusantara dan penjelasan emik dalam
kebudayaan, sehingga diketahui bahwa eksistensi pamor kawali
adalah selain sebagai motif penghias bilah juga sebagai pesan
yang menggambarkan kehidupan yang ideal dalam masyarakat
Bugis.

ABSTRACT
Kawali is the physical and cultural heritage is also a
product of art in the form of short-range stabbing weapons
with blades that have only one sharp edge and a pointed
end. Kawali as a whole has three main elements, namely
bilah, wanoa and pangulu. Each of these elements has its
own form and meaning. Bilah is the most essential element
because it constitutes a pamor motive having message or
symbolic meaning guiding the supporting people, in this
case the Bugis people. Therefore, there are two aspects of
art that need to be considered in analyzing the shape and
symbolic meaning pamor motive in kawali that context
aesthetic or presentation that includes the shape and style,
the second is the context of meaning (meaning) that includes
the message and the link with the symbols (symbolic value).
Search form and meaning through interpretation pamor
motive to approach the analysis and Nusantara Aesthetics
explanation emic in the culture, so it is known that the
existence of kawali pamor is other than as a motive trimmer
Satriadi, Bentuk, Fungsi, Dan Makna Pamor Senjata Kawali Dalam Masyarakat Bugis, hlm. 12-27
13

blades as well as a message that describes the ideal life in


Bugis people.

PENDAHULUAN mempengaruhi aktivitas sosial masyarakat


Bugis, oleh karena itu secara umum penelitian
Sulawesi selatan merupakan wilayah ini menggunakan pendekatan budaya untuk
administrasi yang didukung oleh empat etnis mengkaji permasalahan yang diajukan dalam
besar yaitu Bugis, Makassar, Mandar dan penelitian.
Toraja (Mattulada, 1995:5). Bugis merupakan METODE
etnis yang memiliki populasi yang paling besar
dan menduduki wilayah yang luas. Etnis Bugis Metode penelitian yang dipilih untuk
memiliki kebudayaan yang unik dan spesifik. memperoleh data-data dan informasi,
Salah satu keunikan dan kespesifikan menginventarisasi, mengolah dan
kebudayaannya tercermin dalam sistem menganalisisnya yaitu metode penelitian
pengetahuan mengenai senjata tradisional. kualitatif. Penelitian kualitatif tidak
Senjata tradisional yang identik dengan Bugis menekankan pada kuantum atau jumlah, jadi
adalah badik, dimana dalam istilah lokal dikenal lebih menekankan pada segi kualitas secara
dengan sebutan kawali. kawali merupakan alamiah karena menyangkut pengertian,
wujud kebudayaan Bugis dalam bentuk artefak konsep, nilai serta ciri-ciri yang melekat pada
berupa senjata tradisional. objek penelitian lainnya. Penelitian ini akan
Koentjaraningrat menyebutkan, ada tiga mendeskripsikan tentang eksistensi kawali,
wujud kebudayaan: 1) wujud kebudayaan bentuk pamor dan maknanya. Agar
sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, menghasilkan sebuah hasil penelitian yang
nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan relevan dengan tujuannya, maka rencana
sebagainya; 2) wujud kebudayaan sebagai suatu penelitian ini diperlukan metode penelitian
kompleks aktivitas kelakuan berpola dari berupa metode; (1) penentuan sumber data, (2)
manusia dalam masyarakat; 3) wujud teknik pengumpulan data, dan (3) analisis data.
kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya
manusia, berupa kebudayaan fisik yang 1. Sumber data
berbentuk nyata dan merupakan hasil karya a. Karya kawali
masyarakat. Ketiga wujud kebudayaan tersebut Karya kawali yang dikaji merupakan
oleh Koentjaraningrat dinyatakan sebagai karya-karya kawali yang tersebar di beberapa
sistem-sistem yang erat kaitannya satu sama daerah di wilayah Bugis. kawali-kawali yang
lainnya, dan dalam hal ini sistem yang paling menjadi sumber referensi antara lain koleksi
abstrak (ideas) seakan-akan berada di atas pribadi Andi Ancu, Andi Basri, Tenri Ewa,
untuk mengatur aktivitas sistem sosial yang Imran Syahruddin, dan Galery Adi Pusaka.
lebih kongkrit, sedangkan aktivitas dalam Sumber data berupa ini dapat digunakan untuk
sistem sosial menghasilkan kebudayaan menganalisis berbagai varian bentuk bilah dan
material (artifact). Sebaliknya sistem yang bentuk pamornya.
berada di bawah dan bersifat konkrit memberi
energi kepada yang di atas (1986:186-188). b. Nara Sumber
Adanya ide dan gagasan mengakibatkan 1) Panre bessi/ mpu
terjadinya aktivitas yang menghasilkan suatu Panre bessi adalah orang yang ahli dalam
karya (kebudayaan fisik). Selanjutnya menempa bilah kawali. Data yang diharapkan
kebudayaan fisik berpengaruh terhadap dari Panre bessi ini adalah data tentang proses
lingkungan tertentu sehingga makin lama dan teknik pembuatan bilah kawali, mulai pada
makin menjauhkan manusia dari kondisi asli tahap persiapan penempaan hingga pasca
lingkungan alam, hal yang selanjutnya penempaan, selain itu juga diharapakn data
mempengaruhi pola-pola berpikirnya dan juga mengenai teknik-teknik pembentukan pamor.
cara bergaul, dan cara bertindak. Dalam hal ini, Adapun panre yang dimaksud adalah A. Tenri
kawali merupakan artifak kebudayaan Polo Jiwa, Panre Lawu, Panre Co’tang.
masyarakat Bugis yang memuat idea dan 2) Perajin wanoa dan hulu
digunakan dalam aktivitas sehari-hari serta

13
Jurnal Pakarena, Volume 4 Nomor 1, Juni 2019
14

Sebuah kawali yang utuh adalah kawali mendata motif-motif pamor, beserta unsur
yang dilengkapi dengan wanoa dan pangulu. pembentuknya digunakan metode observasi,
Data yang diharapkan dari perajin ini adalah dan untuk meyakinkan data observasi,
proses dan teknik pembuatan wanoa dan dilakukan wawancara dan studi kepustakaan.
pangulu dalam berbagai variasi bentuk dan Metode observasi dapat diartikan sebagai
motif ragam hias yang diterapkan. Adapun pengamatan dan pencatatan secara sistematik
orang yang dimaksud adalah Daeng Aries. Data terhadap fenomena-fenomena yang diselidiki.
yang diperoleh dari narasumber ini adalah Untuk memperlancar penelitian dan agar dapat
bahan dan teknik pembuatan kelengkapan berjalan secara sistematis maka dibuat tahapan-
kawali. tahapan penelitian yang meliputi; (1) tahap
3) Budayawan penentuan sasaran penelitian; (2) tahap
Kawali sangat berkaitan erat dengan pengumpulan data dan (3) tahap pembahasan
kebudayaan Bugis, maka dibutuhkan data dari data. Sasaran penelitian ini adalah seluruh
seorang budayawan untuk menjelaskan bentuk pamor rekan dan tiban yang melekat
bagaimana keberadaan kawali dalam kaitannya pada bilah kawali. Penelitian ditujukan untuk
dengan aktivitas sosial masyarakat yang mengadakan indetivikasi bentuk motif pola dan
berkaitan dengan kawali, sejarah kawali dan pola pamor dengan mengenali, menandai,
bagaimana peranannya dari dulu hingga membuat klasifikasi dan menginterpretasikan.
sekarang. Adapun budayawan yang dimaksud Agar dapat memperoleh data seperti yang
adalah A. Kahar Wahid, Andi Baso Bone, Andi diharapkan sesuai dengan rumusan masalah
Darwis Petta Mabbangkungnge, Halilintar dalam penelitian ini, maka perlu digunakan
Latief, Andi Singke, Andi Basri, dan Andi suatu metode pengumpulan data yang tepat.
Haedar. Metode pengumpulan data yang digunakan
4) Kolektor adalah studi pustaka, metode observasi, metode
Kolektor merupakan orang yang wawancara dan dokumentasi.
menyimpan dan merawat berbagai jenis kawali. a. Studi Pustaka
Data yang diharapkan dari kolektor adalah Studi pustaka dilakukan dengan
berupa dokumentasi mengenai pamor kawali, mengumpulkan sumber pustaka yang
serta makna dari pamor tersebut. Adapun berhubungan dengan masalah penelitian yang
kolektor yang dimaksud adalah Andi Halilintar kemudian dengan cara membaca, lalu mencatat
Latif, Imran Syahruddin, Andi Haedar, Andi yang dianggap penting yang berhubungan
Basri, dan Andi Andu. dengan masalah penelitian, dan kalau
diperlukan dilakukan translate bahasa, karena
c. Dokumen atau arsip data-data manuskrip dan naskah kuno
Dokumen atau arsip dalam penelitian ini umumnya berbahasa Bugis dengan huruf
adalah data-data tertulis mengenai semua lontara’. Langkah-langkah dalam studi pustaka
materi yang terkait dengan pokok permasalahan diawali dengan pemilahan data-data pustaka
dalam penelitian ini yang didapat dari studi yang berupa manuskrip, buku-buku kuno yang
pustaka dan literatur. Dokumen berupa catatan sudah tidak diterbitkan dan buku-buku baru
lontara’ dan arsip-arsip berupa foto-foto lama yang berhubungan dengan tema yang sedang
mengenai bentuk-bentuk pamor atau peristiwa- dikaji. Setelah dilakukan pemilahan dan
peristiwa yang berhubungan dengan pendataan dilakukan pembacaan dan pencatatan
penggunaan kawali. Adapun dokumen atau yang dianggap penting.
arsip yang dimaksud adalah Lontara
Pangurissengen Appasisikeng yang telah b. Observasi
ditransliterasi, berisi tentang cara-cara melihat Metode observasi adalah metode yang
baik dan buruknya sisi’ dari sebuah senjata, digunakan untuk mengamati sesuatu,
termasuk di dalamnya kawali serta lontara’ seseorang, suatu lingkungan, atau situasi secara
pananrang yang berisi hari-hari yang dianggap tajam terinci, dan mencatatnya secara akurat
baik untuk melakukan suatu aktivitas tertentu. dalam beberapa cara. Metode observasi dalam
2. Teknik pengumpulan data penelitian seni dilaksanakan untuk memperoleh
Salah satu tujuan penelitian ini adalah data tentang karya seni dalam suatu kegiatan
untuk mengetahui bentuk motif pamor dan dan situasi yang relevan dengan masalah
maknanya pada bilah kawali, sehingga untuk penelitian (Rohendi, 2011:182). Metode
Satriadi, Bentuk, Fungsi, Dan Makna Pamor Senjata Kawali Dalam Masyarakat Bugis, hlm. 12-27
15

observasi juga merupakan salah satu metode d. Dokumentasi


yang dapat digunakan untuk keperluan Dokumen merupakan penggalian data
identifikasi. Hal tersebut karena cara kerja dari arsip-arsip atau data-data dokumen berupa
metode observasi menyadarkan pada gambar, foto ataupun tulisan. Penggalian data
pengamatan dan pencatatan langsung pada dokumen dilakukan dengan beberapa langkah,
objek yang bersangkutan. antara lain pemilahan dan pengklasifikasian
Metode observasi yang digunakan dalam dokumen yang berupa arsip atau data-data, foto
penelitian ini adalah metode observasi secara atau ilustrasi gambar sesuai dengan tema
langsung, yaitu pengamatan yang dilakukan penelitian kemudian dilakukan pencatatan dari
secara langsung seksama, dan mendetail untuk data atau arsip-arsip tersebut, dilakukan repro
mengetahui rupa pamor yang melekat pada ulang melalui foto dan scaner, dan apabila tidak
bilah kawali, kemudian dilakukan pencatatan, dapat diperoleh hasil maksimal diperlukan
pengukuran dan pendokumentasian melalui pembuatan ilustrasi dengan cara digambar
pemotretan, sedangkan bentuk-bentuk yang dengan tangan secara langsung.
tidak dapat dijangkau dengan dokumentasi
potret maka dilakukan pembuatan sketsa 3. Teknik Analisis Data
terhadap objek yang diteliti sehingga data-data Tahap analisis data bertujuan untuk
yang diinginkan dapat diperoleh dengan baik. mendapatkan ketetapan kenyataan dan
penetapan konsep sebagai konsep
c. Wawancara pengklarifikasian data yang didapatkan di
Wawancara adalah suatu teknik yang lapangan sebagai data awal. Setelah itu data-
digunakan untuk memperoleh informasi tentang data tersebut direduksi. Reduksi data
kejadian yang oleh peneliti tidak dapat diamati merupakan komponen pertama dalam analisis
sendiri secara langsung, baik karena tindakan data, meliputi proses selektif pemfokusan,
atau peristiwa yang terjadi dimasa lampau penyederhanaan, dan abstraksi data dari catatan
ataupun karena peneliti tidak diperbolehkan lapangan (Sutopo, 2006:9). Analisis data yang
hadir ditempat kejadian itu (Rohendi, dilakukan bersifat induktif. Dalam analisis
2011:208). Wawancara dilakukan dengan cara induktif data yang diperoleh disimpulkan dan
tanya jawab dengan narasumber. Wawancara dikomparasikan dengan data-data lain yang
dilakukan untuk meyakinkan dan memperoleh berkaitan dengan tujuan penelitian dengan
data-data penelitian yang berhubungan dengan beberapa tahapan analisis. Agar dapat
keberadaan kawali dalam masyarakat Bugis, menjawab setiap rumusan masalah pada
dan makna motif pamor pada bilah kawali. rencana penelitian ini, secara eksplisit penulis
Metode wawancara yang dilakukan menggunakan pendekatan budaya untuk
adalah metode wawancara mendalam (in deep mengetahui kebudayaan dan adat istiadat
interviewing). Wawancara mendalam lebih masyarakat Bugis secara komprehensif.
menyerupai percakapan dibanding dengan Penelitian ini menggunakan analisis dengan dua
wawancara terstruktur secara formal. model analisis data, yaitu interaksi analisis dan
Narasumber yang dipilih berdasarkan Interpretasi analisis.
pengalaman dan pengetahuan yang mumpuni
agar bisa mendapat informasi yang benar, a. Interaksi Analisis
lengkap dan mendalam. Analisis dengan pendekatan interaksi
Wawancara dilakukan pada informan analisis digunakan untuk menjawab rumusan
yang dianggap memiliki kompetensi dan masalah pertama dan kedua yaitu bagaimana
memahami permasalahan studi, seperti para eksistensi kawali dan bagaimana tanggapa
empu atau panre bessi, para pakar kawali dan masyarakat mengenai pamor rekan dan pamor
para pecinta atau kolektor kawali. Wawancara tiban. Untuk menjawab rumusan masalah
yang dilakukan lebih bersifat terbuka ini akan tersebut maka interaksi analisis ini ditunjang
memberi peluang keleluasaan terhadap oleh bidang keilmuan lain yaitu sejarah untuk
penggalian informasi dengan fokus-fokus mengetahui latar belakang munculnya kawali
tertentu sehingga diperolah informasi yang dalam masyarakat Bugis, sosiologi untuk
mendalam terkait dengan unit analisisnya. mengetahui aktivitas kehidupan masyarakatnya
dan antropologi untuk mengetahui lingkungan
serta adat istiadat masyarakat Bugis.
15
Jurnal Pakarena, Volume 4 Nomor 1, Juni 2019
16

Karakteristik data yang digunakan dalam religius. Penciptaan karya seni yang bersifat
interaksi analisis menekankan pada penggunaan simbolik merupakan ciri dan karakter dari
data emik. Riset emik merupakan penelitian estetika Nusantara (Dharsono, 2007: 31).
yang berlandasakan data yang didapatkan dari Estetika Nusantara selalu berhubungan dengan
lapangan berupa wawancara dari narasumber nilai tontonan (estetis), tuntunan (falsafah) dan
dan pengamatan di lokasi penelitian. Selain itu dipengaruhi oleh sugesti alam, karena manusia
digunakan pula data etik sebagai bentuk analisis merasa menjadi bagian dari alam. Karakteristik
yang bersumber dari kajian pustaka dan inilah yang membedakan antara pandangan
dokumen yang relevan dengan penelitian. filsafat modern dan filsafat Nusantara. Filsafat
Proses interaksi analisis data meliputi Nusantara mencerminkan hubungan mikro-
tiga alur kegiatan sebagai suatu sistem, yaitu (1) meta-makrokosmos dan mendudukan diri
reduksi data, (2) sajian data, dan (3) penarikan manusia menjadi bagian dari alam, sehingga
kesimpulan/verifikasi (Miles dan Huberman, berpengaruh terhadap suatu pencapaian
1992:24). Ketiga komponen analisis tersebut karakter tertentu melalui simbol yang
aktivitasnya dilakukan dalam bentuk interaktif merupakan ekspresi yang bersifat kultural dan
dengan proses pengumpulan data sebagai suatu dasar struktur yang terencana (Yuwono, 2010:
proses siklus (Sutopo, 2006:117-120). Teknik 39).
triangulasi yang dipakai, triangulasi data dan Karakteristik dari visualisasi motif
triangulasi metode. Triangulasi data tradisional Nusantara dijelaskan oleh Dharsono
mengarahkan penelitian untuk menggunakan yang berpijak pada pola motif batik sebagai
beberapa data sejenis sebagai pembanding berikut: pola/motif disusun berasarkan pola
dengan demikian data yang satu bisa lebih teruji yang sudah baku yang terdiri dari bagian, yaitu;
jika dibanding dengan data sejenis yang 1) ‘motif utama’, merupakan unsur pokok pola,
diperoleh dari sumber lain, sedangkan teknik berupa gambar-gambar bentuk tertentu karena
triangulasi metode dilakukan dengan cara merupakan unsur pokok, maka disebut pula
membandingkan data sejenis dengan ornamen pokok (utama). 2) ‘motif pengisi’,
pengumpulan data yang berbeda (Sutopo, 2006: merupakan pola berupa gambar-gambar untuk
71-72). mengisi bidang, bentuk lebih kecil dan turut
Proses model analisis interaktif tersebut membentuk artti atau jiwa pola tersebut, dan 3)
dapat digambarkan dengan skema berikut : ‘isen’, untuk memperindah pola secara
keseluruhan, baik ornamen pokok maupun
Pengumpulan ornamen pengisi diberi isian berupa hiasan:
Data
titik-titik, garis-garis, gabungan titik dan garis
Reduksi Data Sajian Data
(Dharsono,2007:87).
Dalam sebilah kawali mengandung dua
aspek yaitu aspek tontonan (keindahan) dan
Penarikan tuntunan (ajaran/ filosofis). Aspek tontonan
Simpulan atau
Verivikasi dapat dilihat dari struktur kawali yang tediri dari
wanoa, laca’ dan pangulu’. Diantara tiga
elemen tersebut bilah kawali merupakan
Bagan 2. Model Analisis Interaktif (Sutopo, elemen pokok karena di dalamnya termuat
2006:120) pamor yang mengandung motif yang
menggambarkan nilai fisofis (aspek tuntunan.
b. Interpretasi analisis Motif utama kemudian dimaknai secara
Analisis dengan pendekatan interpretatif filosofis dengan merelasikan dengan perilaku
analisis digunakan untuk menjawab rumusan dan kepercayaan masyarakat yang berhubungan
masalah ketiga yaitu bagaimana bentuk motif dengan motif utama. Oleh karena itu, dapat
pamor pada kawali dan maknanya. Analisis dikatakan bahwa interpretasi dilakukan dengan
interpretasi pada penelitian ini menggunakan pendekatan estetika Nusantara dengan
pendekatan Konsep Estetika Nusantara yaitu penjelasan emik dalam kebudayaan.
untuk menjelaskan keberadaan bentuk dan
makna simbolik pamor pada kawali. Konsep
estetika kesenian Nusantara memperlihatkan
sifatnya yang khas, yaitu dari mistis hingga
Satriadi, Bentuk, Fungsi, Dan Makna Pamor Senjata Kawali Dalam Masyarakat Bugis, hlm. 12-27
17

Pengejaran Belanda masih tetap berlangsung


Kawali
terhadap Raja Bone Lapawawoi Arung Segeri
Tontonan Tuntunan
(Keindahan) (Ajaran/
Filosofi)
yang dilindungi oleh panglima perangnya Petta
Ponggawae, meskipun Belanda sudah
Struktur Kawali
Pandangan
menduduki istana kerajaan Bone. Bagi Belanda
Hidup
Laca’ Wanoa Pangulu sebelum menangkap sang raja dan panglima
perangnya, berarti belum menguasai kerajaan
Falsafah
Pamor
Bone sepenuhnya. Akhirnya, tanggal 18
Pola Motif
November 1905, panglima perang Bone Petta
Utam Pendukung Isia
a n Ponggawae tewas tertembak di bagian dada
Bagan 3. Skema interpretasi analisis dengan dengan senapan dan kawali tergenggam kuat di
konsep estetika Nusantara tangan (Palloge, 1990:203-204).
Kawali dengan fungsi sebagai senjata
HASIL DAN PEMBAHASAN biasanya tidak mementingkan keindahan
Fungsi Kawali dalam Masyarakat Bugis pamor, karena adanya kepercayaan masyarakat
bahwa tidak ada pamor yang membunuh
Masyarakat tradisional lebih menekankan (degaga pamoro pawunu), bahkan terdapat
pada aspek-aspek simbolis religius yang magis tuturan masyarakat di Bone mengatakan bahwa
dan baru kemudian mengolahnya menjadi suatu nappemmaliangngi to-bone we pake luwu,
benda yang memenuhi fungsi sosial dan artinya bagi orang Bone pemali mengunakan
teknomiknya (fungsi fisik) sebagai suatu alat kawali luwu (Andi Basri, wawancara 2 Agustus
untuk beradaptasi atau menaklukkan 2015). Keterangan tersebut memberikan
lingkungannya demi menjaga lingkungan konotasi bahwa kawali sebagai senjata
hidupnya (Yuwono, 2011:181). Sebuah benda pembunuh tidak mementingkan pamor
diciptakan manusia setidaknya mewakili tiga sebagaimana kawali Luwu yang banyak
fungsi dasar yaitu fungsi teknomik, fungsi mengandung pamor yang indah. Namun kawali
sosial, dan fungsi religius. sebagai senjata pembunuh lebih mementingkan
1. Fungsi Teknomik ketajaman dan racun yang dikandungnya
Fungsi awal kawali adalah sebagai senjata. (amosoangeng) (Andi Singke, wawancara 31
Kawali merupakan senjata tajam yang secara Juli 2015).
fungsi guna (teknomik) dapat digunakan 2. Fungsi sosial
sebagai senjata tikam yang efektif dalam Kawali sebagai simbol kedewasaaan.
pertarungan jarak dekat. Dalam budaya Bugis, Gambaran sosial tentang sosok laki-laki ideal
kawali tergolong sebagai senjata assigajangen, adalah mereka yang sudah menyelipkan kawali
artinya senjata untuk saling tikam (Andi Basri, dipingangnya, sebagaimana tuturan yang
wawancara 2 Agustus 2015). mengatakan bahwa tania orowane narekko de
Peran kawali sebagai kelengkapan senjata nakkawali, arinya bukan laki-laki jika tidak
perang juga banyak dijumpai dalam cerita dan menyelipkan kawali di pinggang. Salah satu
tulisan-tulisan sejarah. Dalam sejarah kerajaan penanda bahwa seorang laki-laki Bugis sudah
Bone dikatakan bahwa utuh adalah ketika telah memiliki baine (istri),
“Pertempuran segera berkobar tatkala bola (rumah), tana (tanah persawahan atau
pasukan pendaratan tersebut mencapai kebun), anyareng (kuda/kendaraan) dan
puncak sebuah bukit bersemak-semak. parewa bessi (kawali) (Kahar Wahid,
Ratusan prajurit Bone menghadang dengan wawancara 15 Maret 2018).
tembakan-tembakan gencar. Tembak Kawali sebagai penanda garis keturunan.
menembak itu disusul degan pergulatan kawali pusaka milik suatu keluarga dapat
sengit beberapa jam lamanya dengan diwariskan kepada anak keturunan dari
mempergunakan keris, kawali, kalewang keluarga tersebut. Dalam tradisi orang Bugis,
dan tombak...” (Palloge, 1990:199). kawali pusaka biasanya diberikan kepada anak
laki-laki tertua dalam keluarga. kawali yang
Keterangan tersebut memberi gambaran telah diwariskan disebut dengan kawali mana’.
mengenai perlawanan pasukan Bugis Apabila semua anaknya perempuan, maka
menghadapi Belanda di dalam hutan dengan kawali diwariskan kepada menantu laki-laki
bersenjatakan salah satunya adalah kawali. (Kahar Wahid, wawancara 15 Maret 2018).
17
Jurnal Pakarena, Volume 4 Nomor 1, Juni 2019
18

Pewaris kawali mana’ secara turun temurun busana memiliki tampilan menarik karena
dilakukan secara lisan, misalnya seorang ayah dilihat oleh banyak orang. Busana lengkap
cukup mengatakan kawali ini akan diwariskan orang bugis terdiri dari songko recca, jas tutup
kepada anak laki-laki tertua dalam keluarga. dan sarung sabbe, serta kawali terselip di
Orang yang mewarisi kawali mana’ akan pinggang kiri. Biasanya busana lengkap
berusaha merawat mana’ yang diterimanya tersebut dipakai dalam acara-acara resmi,
dengan penuh hati-hati dan selalu mengikuti misalnya acara pertemuan kebudayaan,
tradisi yang berlaku dalam lingkungan pernikahan atau upacara adat lainnya.
keluarganya. Biasanya para pewaris kawali 3. Fungsi Religius
mana’ tidak mengetahui secara tepat asal-usul Terdapat kepercayaan yang masih kuat di
mana’ tersebut, sehingga semakin lama sejarah kalangan masyarakat Bugis bahwa kawali
pusaka tersebut semakin kabur, bahkan tertentu memiliki kekuatan magis atau tuah
dibumbui dengan cerita-cerita mitos yang dapat memberikan pengaruh tertentu.
kemunculannya. Misalnya kawali yang berpamor daun padi
Kawali sebagai simbol status. Telah (daung ase) digunakan dalam ritual maddoja
dijelaskan pada sub bab sebelumnya (sub-bab bine. Maddoja bine adalah ritual begadang
mengenai kawali dan hirarki) bahwa status hingga pagi bersama benih padi (bine) yang
seseorang dalam masyarakat dapat diketahui sebelumnya telah direndam air. Dalam ritual itu
dari kawali yang disandangnya. Bentuk kawali kawali madaung ase ditempatkan disamping
dan bahan-bahan yang digunakan untuk bine dan pelita. Hal itu dilakukan dengan
elemen-elemennya menggambarkan harapan bahwa padi yang kelak akan ditanam
kemampuan finansial pemiliknya. kawali jenis menjadi subur, bebas dari gangguan hama
raja hanya boleh dimiliki oleh bangsawan sehingga nantinya kelak panen berlimpah
(anakarung) (Senewe, dalam Ubbe, 2011:161). (Pabittei, 1994:56; Hamid, 1990:31).
Bahkan kawali dengan pamor tertentu dibuat Selain dari fungsi ritual di atas, kawali
ketika seorang anak bangsawan akan menikah, tertentu juga dipercaya dapat menangkal atau
misalnya pamor gamacca (Ewa, 2014:34) penawar bagi orang yang kena penyakit “guna-
Kawali sebagai alat peraga. Setiap pasukan guna”, yaitu dengan cara meminum air yang
yang akan diberangkatkan berperang maka sebelumnya diaduk dengan kawali yang
terlebih dahulu dilakukan sumpah setia prajurit dianggap bertuah (Andi Singke, wawancara 31
kepada sang raja. Sumpah setia ini disebut Juli 2015). Kawali juga sering digunakan orang-
dengan mangaru’ atau osong. Andi Ardiman orang tua, terutama ibu-ibu untuk menidurkan
mengatakan bahwa osong terbagi atas tiga jenis bayinya dengan cara menaruh kawali dalam
yaitu (1) osong pakkanna, ialah pernyataan ayunan bersama sang bayi. Hal itu dilakukan
kesetiaan kepada raja pada waktu kerajaan dengan harapan bahwa sang bayi dapat
menyatakan perang terhadap musuh. Biasanya terhindar dari gangguan mahluk halus yang
menggunakan properti kawali yang diacungkan dapat mendatangkan penyakit. Hingga saat ini,
secara vertikal saja, (2) osong pattuppu, yaitu di kalangan orang Bugis masih banyak yang
pernyataan yang digunakan bila menjemput menyimpan kawali di rumahnya sebagai
tamu kerajaan. Pattuppu artinya tetamu, dan penjaga rumah (pangonrong bola).
(3) osong pakkuru' sumange', yaitu pernyataan
yang ditujukan kepada raja yang baru terpilih
bertujuan untuk memberi semangat dalam
memimpin rakyat. Orang yang melakukan
osong disebut mangosong’ yakni bersumpah,
berikrar, menyatakan kesetiaan. Seorang yang
melakukan osong’ haruslah berpakaian adat,
mengucapkannya harus lantang, tegas dan Gambar 1. Kawali maddaung ase
sambil menghunus kawali (wawancara, 29 Mei (Foto, Satriadi 2018)
2015). Ritual osong hingga saat ini masih sering
dilakukan untuk menjemput tamu-tamu
terhormat.
Kawali sebagai asesoris pelengkap busana.
Kawali yang digunakan sebgai pelengkap
Satriadi, Bentuk, Fungsi, Dan Makna Pamor Senjata Kawali Dalam Masyarakat Bugis, hlm. 12-27
19

Bentuk dan pamor kawali dalam


masyarakat Bugis

1. Elemen kawali
Sebagai karya yang utuh kawali memiliki
karakteristik bentuk tersendiri sehingga dapat
dibedakan dengan parewa matareng (Jawa:
tosan aji) lainnya. Karya berupa kawali secara
utuh terdiri dari tiga elemen pokok yaitu bilah
(laca’), warangka (wanoa), dan hulu (pangulu).
Kawali yang hanya terdiri dari bilah saja belum
dapat dikatakan kawali, begitupun juga
sebaliknya wanoa tanpa bilah atau pangulu
tanpa bilah belum dapat disebut sebagai kawali
yang utuh. Gambaran mengenai bentuk
kawali/badik dijelaskan oleh Harsrinuksmo Gambar 2. Jenis laca’ (bilah) kawali.
sebagai berikut: (a) laca’ lu’, (b) laca toasi, (c) laca’ gecong,
Bentuk badik (kawali) hampir dan (d) laca’ raja dan (e) laca’ mangkasara’
menyerupai pisau raut dengan bagian (badi’)
tajam hanya pada salah satu mata sisinya, (Ilustrasi, Satriadi, 2018)
yakni sisi depan. Ujungnya runcing.
Tangkainya (hulu) dibuat dari kayu, Laca’ lu’ merupakan bentuk bilah kawali
gading, tulang, atau tanduk. Sarung yang paling umum digunakan di wilayah
badik (wanoa) terbuat dari kayu, kerajaan Luwu sebagai kerajaan tertua di
biasanya trembalo. Banyak juga sarung Sulawesi Selatan, dengan karakteristik bilah
badik yang dibuat dari kayu biasa, tetapi lurus (mirip keris lurus) dan tidak memiliki
dilapisi dengan emas atau perak kallong dan “perut”-nya rata atau datar. Laca’
(Harsrinuksmo, 2004:80). toasi merupakan bilah kawali khas kerajaan
Sawitto (sekarang Kabupaten Pinrang), sebuah
Keterangan di atas memberi gambaran kerajaan kecil yang berbatasan dengan kerajaan
bentuk kawali secara utuh yaitu terdiri dari bilah Luwu di sebelah utara (Andi Basri, wawancara,
yang runcing, wanoa, dan pangulu. Elemen- 2 Juni 2015). Laca’ toasi memiliki karakteristik
elemen tersebut merupakan satu kesatuan utuh bilah yang hampir mirip dengan laca’ lu’, yang
untuk dapat disebut kawali. Berikut akan membedakan hanya pada bagian pangkal bilah
diuraikan elemen-elemen yang dimaksud. yang memiliki kallong yang tidak terlalu
a. Bilah melengkung sehingga sehingga menimbulkan
Bilah pada kawali merupakan bagian sedikit lengkungan pada bagian perut. Laca’
paling utama di antara bagian-bagian lainnya. gecong merupakan bentuk bilah yang pertama
Karena bilah menentukan jenis kawali, mamoso dibuat di Addatuan Sidenreng (sekarang
atau tidak, tempat munculnya pamor, dan kabupaten Sidenreng Rappang), dengan
tempat munculnya sisi’/ketandaan. Secara karakteristik bilah yang lebih menunduk dan
umum jenis kawali berdasarkan bentuk lebih lebar, serta kallong lebih kecil dari laca’
bilahnya ada tiga yaitu raja, gecong, toasi dan toasi. Laca’ raja merupakan bilah khas kerajaan
luwu. Bagi seorang kolektor kawali, hanya Bone, dengan karakteristik perut lebih besar di
dengan melihat bilah maka dia sudah dapat antara laca’ ugi lainnya dan maccingkallong
mengetahui jenis kawali itu. Perbedaan dari (lihat gambar 2.1). Laca’ mangkasara’
ketiga jenis kawali ini dapat dilihat dari laca’ merupakan bilah khas pada badi’ (sebutan oleh
(bentuk bilah), sedangkan laca’ ditentukan oleh orang-orang Makassar untuk Badik), dengan
recco’ (ukuran perbandingan). karakter perut besar sehingga biasa disebut
dengan Badik Lompa battang (si perut besar)
dan buncitnya lebih mendekati pangkal bilah.
Jenis ini tidak banyak dibahas dalam tulisan ini
karena merupakan senjata khas orang-orang

19
Jurnal Pakarena, Volume 4 Nomor 1, Juni 2019
20

Makassar, sementara tulisan ini membahas wanoa tatarapeng salaka dan sering ditambah
senjata tradisional Bugis. hiasan batu permata. Lapisan wanoa yang tidak
b. Wanoa menutupi seluruh permukaan kayu (bagian
Wanoa adalah salah satu bagian pada bangi tidak tertutupi) disebut dengan wanoa
kawali yang berfungsi untuk melindungi bilah pasangtimpo (Ubbe, 2011:72). Sedangkan
atau membungkus bilah. Biasa juga disebut wanoa yang diikat dengan gelang-gelang logam
sarung badik. Secara etimologi, wanoa berasal disebut dengan wanoa tabbu-tabbu (Andi Tenri
dari kata “wanua” berarti wilayah suatu negeri. Polojiwa, wawancara 1 Agustus 2015).
Bagi orang bugis, wanua secara simbolik Timpalaja merupakan salah satu simbol
dianggap sebagai suatu wilayah terbatas pada status sosial dalam masyarakat Bugis. Susunan
diri manusia yang harus dikendalikan sendiri. timpalaja paling banyak adalah berjumlah lima
Wanoa berfungsi sebagai pelindung bilah, merupakan status paling tinggi yaitu arung
dimana bilah dianggap sebagai personifikasi yang memerintah atau lapisan keturunan raja
dari badan manusia. (anakarung). Susun tiga untuk to-maradeka,
Secara garis besar, ada tiga bagian utama sedangkan tanpa susunan atau timpalaja kosong
wanoa, yaitu (1) bangi, secara etimologi bangi berarti itu tempat tinggal ata (Pangeran,
berarti dagu. Ketika kawali diselipkan di wawancara 17 Juli 2015).
pinggang, maka bagian bangi selalu menghadap Angka lima dikaitkan dengan pesan yang
ke kanan dan condong ke arah pusar (posi). disampaikan “Orang Pintar di Luwu” (pasengna
Arah kanan selalu dikonotasikan dengan segala maccae ri luwu) kepada sang raja, bahwa lima
hal-hal yang baik sedangkan posi dianggap hal yang harus diperhatikan sang raja agar
sebagai sumber sumange’ yang menjadi tenang dalam kerajaannya, jujur (malempu),
kekuatan yang hakiki dari setiap manusia. (2) berhati-hati (makkalitutu), murah hati
pakkallasa’ merupakan ikatan berupa cincin- (masempo pangkaukeng), teguh pendirian
cincin pada bagian tengah wanoa. Secara fisik (magetteng). Berani (warani) (Mallombasi,
fungsi pakkallasa’ adalah untuk memperkuat 2012:117-123).
wanoa, di sisi lain juga berfungsi simbolik. Pada Sedangkan angka tiga merupakan tiga
zaman dahulu, jumlah pakkallasa’ disesuaikan pesan (paseng) yang juga dipesan oleh Maccae
dengan status sosial pemiliknya dalam ri Luwu kepada anak cucunya/orang
masyarakat (Dian Cahyadi, wawancara 28 Juli kebanyakan (to-sama), bahwa ada tiga hal
2018). Di dalam masyarakat Bugis, salah satu dipakai memerintah negeri yaitu, orang yang
cara mengetahui status seseorang dapat dilihat diperintah menurut kesenangannya (cenning
dari rumahnya, yaitu melihat bagian timpalaja ati), diperintah orang dengan menjaga harga
Wanoa yang baik biasanya terbuat dari dirinya (siri’) dan orang yang diperintah dengan
kayu cendana (aju cendrana). Kayu cendana menjaga ketakutannya (matau’) (Mallombasi,
disamping memiliki tekstur garis yang indah 2012:124). Namun kini, jumlah pakkallasa’
juga dipercaya mengandung minyak alami yang pada wanoa tidak lagi berdasarkan hal di atas.
baik untuk melindungi bilah dari karat. Bagian Pakkallasa’ dijadikan elemen-elemen estetis
kayu yang paling baik adalah kayu yang berasal untuk memperindah penampilan wanoa.
dari bagian pohon pangkal akar, paling bawah Sehingga kadang ditemukan jumlah
pohon (sekitar setengah meter dari pangkal pakkallasa’ lebih dari lima atau kurang dari
akar, dan bagian atasnya 1,5 meter dari tiga.
permukaan tanah) (Harsrinuksmo, 2011:517). Kemudian bagian yang ketiga adalah pocci
Bagi orang Bugis bagian kayu seperti itu atau sepatu. Secara fisik pocci berfungsi untuk
disebut dengan tampusu’. Di kalangan memperkuat dan sekaligus melindungi ujung
bangsawan Bugis atau orang berada (to- bawah wanoa. Secara simbolik, pocci
deceng), wanoa keris, tombak, pedang, kawali, merupakan pengalas wanoa supaya tidak
dan jenis senjata lainnya sering kali masih langsung menyentuh tanah. Hal itu
dihiasi lagi dengan lapisan logam dan permata. dihubungkan dengan perlakuan khusus kepada
Biasanya yang digunakan untuk melapisi para bangsawan Bugis, khususnya bangsawan
wanoa adalah emas, perak, atau kuningan. yang memerintah, kemanapun ia pergi maka
Wanoa yang seluruh permukaannya dilapisi selalu ditandu oleh atanna, dengan kata lain
dengan emas disebut dengan wanoa tatarapeng tidak boleh menyentuh tanah.
ulaweng sedangkan jika dilapisi perak disebut c. Pangulu
Satriadi, Bentuk, Fungsi, Dan Makna Pamor Senjata Kawali Dalam Masyarakat Bugis, hlm. 12-27
21

Hulu sebagai pegangan senjata, oleh orang mendekati bentuk pangulu pada keris Bugis
Bugis disebut pangulu. Secara etimologi, (tappi) yang berbentuk kepala burung laut, hal
pangulu berarti pemimpin. Fungsinya sebagai itu dikarenakan kehidupan masyarakat Bugis
pembungkus oting agar lebih nyaman dikenal sebagai “suku bangsa pelaut”. Burung
digengam. Ada beberapa bentuk pangulu yang laut merupakan lambang keberanian, lambang
biasa digunakan dalam kawali yaitu pangulu keselamatan, dan lambang keberhasilan. Kepala
rekko, pangulu kulu-kulu, dan pangulu calabai. burung itu selalu menghadap frontal (Hamzuri,
1988: 39).
Pangulu kulu-kulu (kepala-kepalaan)
merupakan pangulu kawali yang menyerupai
bentuk kepala (ujungnya bulat). Pangulu jenis
ini juga banyak digunakan pada parang
(bangkung), dimana menurut penulis sendiri
Gambar 3. Pangulu rekko, pangulu kulu-kulu, kawali merupakan bentuk minimalis dari
dan pangulu calabai. bangkung, karena bentuk bilahnya sama, yang
(Foto Repro Satriadi, 2018) membedakan hanya ukuran dan cara
penggunaannya. Jika kawali digunakan dengan
Pangulu rekko merupakan simbol cara tikam maka bangkung digunakan dengan
ketegasan seorang pemimpin. Bentuk pangulu cara tebas
rekko memiliki kemiringan antara 90°- ≤135°. Pangulu calabai, merupakan gabungan
Secara etimologi rekko berarti “menundukkan”. dari bentuk pangulu rekko dan pangulu kulu-
Hal ini dihubungkan dengan kepercayaan orang kulu. Pangulu rekko memiliki kesan laki-laki
Bugis bahwa kawali yang menggunakan (tegas) sedangkan pangulu kulu-kulu lebih
pangulu rekko dapat menundukkan lawan, berkesan feminim, sehingga ketika bentuk itu
sehingga pangulu jenis ini biasanya banyak digabungkan maka menghasilkan bentuk
digunakan pada kawali dengan tujuan saling calabai. Secara etimologis, calabai berarti
tikam (assigajangeng). Pada dasarnya, Pangulu orang yang berperawakan laki-laki dan
rekko ditekuk (rekko) sebanyak tiga kali. Rekko perempuan. Hal itu mengingatkan kita pada
tiga bermakna tiga hal yang harus dipegang oleh bissu, yaitu seorang yang berperawakan seperti
pemimpin, yaitu “aga mupikkiriki iya tonaro laki-laki dan perempuan dalam masyarakat
mu pau, aga mu pau iya tonaro mujama” (apa Bugis. Sebelum Islam menjadi agama resmi
yang kamu pikirkan itu yang kamu ucapkan itu orang Bugis (abad XVII) seorang bissu
juga yang kamu lakukan), sementara orang memiliki status sosial yang tinggi dalam
Bone mengatakan “taro ada taro gau” (ucapan kerajaan karena mereka memiliki peranan
harus disertai dengan kelakukan) (Cahyadi, sebagai pendeta, dukun, serta ahli “ritual
wawancara 28 Juli 2018). Hal serupa juga trance” (kemasukan roh), yang dalam bahasa
terdapat pada paseng yang berbunyi bahwa Bugis disebut a’soloreng dan kini mereka
“sadda mappabati ada, ada mappabbati gau’, bertugas untuk menjaga arajang. Mereka
gau’ mappabbati tau (bunyi mewujudkan kata, merupakan penghubung antara umat manusia
kata mewujudkan perbuatan dan perbuatan dengan dunia dewata, serta memiliki pasangan
mewujudkan manusia) (Mattulada,1998:85). mistis dari mahluk khayangan (Pelras, 2006:
Ungkapan-ungkapan tersebut merupakan 97). Dalam hal ini, Bissu merupakan tokoh
ungkapan ketegasan dan cara berpikir cepat paradoks. Yang paradoks itu berupa bersatunya
orang Bugis dalam mengambil keputusan. Sifat dua unsur yang saling bertentangan. Kondisi
itu harus dimiliki oleh seorang pemimpin paradoks menghadirkan daya-daya transenden
terutama pada setiap laki-laki, karena laki-laki (descend power), yang tak nampak
merupakan pemimpin bagi keluarga, bangsa, (mallinrung) hadir dalam simbol nampak (talle)
bahkan bagi dirinya sendiri. (Sumardjo, 2010:218-220).
Di sisi lain, pangulu rekko merupakan Selain bentuk-bentuk pangulu di atas,
simbolisasi seorang pemimpin yang tetap terdapat juga pangulu yang dipercaya
tunduk pada rakyatnya. Hal ini sesuai dengan memberikan keselamatan terhadap pemiliknya.
konsep kepemimpinan orang Bugis yang Terutama ketika digunakan dalam kondisi yang
pertama yaitu kepemimpinan to-manurung. membahayakan, misalnya saat terjadi perang,
Secara bentuk fisik, pangulu rekko lebih dikepung lawan, saat duel dan sebagainya.
21
Jurnal Pakarena, Volume 4 Nomor 1, Juni 2019
22

Mereka percaya bahwa pangulu dengan tanda- antara etnik yang satu dengan etnik yang
tanda khusus dapat membuat lawan tidak lainnya (Guntur, 2004).
melihat, atau membuat lawan tidak bisa Haryono Haryoguritno kemudian
mencabut kawalinya. Dalam kepercayaan orang menjelaskan manfaat dari pamor yakni sebagai
Bugis, terdapat ilmu pakuraga yaitu ilmu yang berikut:
membuat lawan tidak dapat mecabut kawalinya, “Pamor memberi manfaat teknis,
pangulu caredo merupakan pangulu yang estetis, filosofis, simbolis dan spiritual.
dianggap dapat menangkal ilmu tersebut (Dray Manfaat teknis karena bahan pamor
vibrianto, dalam Ubbe, 2011:170). Pangulu merupakan salah satu unsur penguat
yang demikian mereka sebut pangulu struktur pada bahan yang direkayasa,
mallinrung ri totona (bersembunyi di balik terutama dengan lapisan-lapisan
takdirnya) (Andi Basri, wawancara 2 Juni sejajar. Selain itu, pola gambar lapisan
2018). Pangulu caredo memiliki tanda-tanda pamor yang muncul pada permukaan
khusus yaitu tonjolan yang keluar tepat pada bilah keris akan memperindah
bagian bawah yang melengkung. Biasanya penampilannya, sekaligus menambah
terbuat dari kayu kemuning, kayu santigi, kayu wibawa kerisnya. Keindahan pola
trembalo, atau kayu hitam, yang melengkung pamor pada permukaan bilah keris
secara alami (rekko kalena). Secara teknis, kayu menjadi salah satu kriteria untuk
dengan bentuk seperti itu tidak mudah pecah menilai mutu keris. Ini berarti bahwa
dan patah. pola pamor juga memberikan manfaat
2. Pamor kawali estetis. Dan yang terakhir, pola pamor
Pamor berasal dari akar kata amor atau wor itu seolah-olah melambangkan
yang berarti campur, atau bercampurnya kekuatan spritual dalam keris itu”
beberapa unsur logam. Jadi pamor adalah (Haryoguritno, 2006:198).
lukisan pada tosan aji yang terjadi dari
campuran beberapa unsur logam yang terbentuk Pamor dalam istilah bugis disebut ure’.
dengan seni tempa (Prasida Wibawa, 2008: 14). Ure’ secara etimologi berarti “urat” (Ubbe,dkk.
Kata pamor dapat berarti bahan pencampur 2011: 92-93). Ure’ dalam bentuk pamor kawali
yang digunakan dalam pembuatan keris, dapat tampak seperti guratan-guratan kasar
juga berarti teknik tempa lapisan pamor dan membentuk garis lurus, lengkung, ataupun
juga bisa diartikan ‘jenis pola’ yang tampak menyudut. Bentuk-bentuk pamor pada bilah
pada permukaan bilah keris (Haryoguritno, kawali yang sekarang merupakan tiruan-tiruan
2006:87) bentuk yang pernah diciptakan oleh panre
Pamor dalam tosan aji menempati fungsi sebelumnya. Dharsono menyebut hal ini
fisik sebagai tulang dari senjata atau tosan aji sebagai karya sanggit, yaitu bentuk reproduksi
kemudian besi sebagai bahan pengikat, dengan inovasi garap dengan mengacu pada
sementara baja merupakan penajam bilah. konsep revitalisasi (Dharsono, 2015:100).
Selain sebagai tulang dari senjata, pamor juga Karya-karya kawali yang dibuat sekarang tetap
sebagai motif hiasan tosan aji dan juga sebagai mengacu pada karya lama oleh karena dianggap
hiasan dan fungsi simbol metafisis (Zazuli, sudah baku dan tidak perlu dirubah lagi.
2004:15). Pamor sengaja ditambahkan sebagai Pamor pada kawali pada umumnya lebih
ornamen yang melekat pada bilah keris ataupun banyak berupa pamor-pamor yang tergolong
jenis tosan aji lainnya. Sebagai produk pamor tiban atau tanpa direkayasa (ure’ tuo).
kesenian, ornamen juga merupakan produk Yang berpamor rekan (ure a’kebbureng) relatif
budaya. Ornamen merupakan ekspresi gagasan, lebih sedikit. Ure’ tuo pada kawali yang paling
sikap dan perilaku masyarakat. Sebagai sistem banyak dan populer adalah pamor tebba jampu,
budaya ornamen merupakan model untuk dan pamor balo pakke. Sedangkan jenis ure’
berperilaku, ornamen mengusun pesan-pesan a’kebbureng yang biasa dijumpai adalah teknik
sosial, moral, religi dan bahkan politis. Sebagai pamor rekan miring (ure’ tapping) dan pamor
model dari perilaku, ekspresi ornamen bersifat rekan puntiran (ure’ kurissi), misalnya pamor
khas berdasar pada eko-budaya, sosio-budaya, maddaung ase, pamor gemme silampa, pamor
dan religio-budaya masyarakat pemiliknya. kurissi daun kaluku, dan lain sebagainya.
Oleh karena itu ekspresi ornamen disuatu 1. Pamor tiban (Ure’ Tuo)
daerah berbeda dengan daerah lain berbeda pula
Satriadi, Bentuk, Fungsi, Dan Makna Pamor Senjata Kawali Dalam Masyarakat Bugis, hlm. 12-27
23

Ure’ tuo yaitu teknik dasar pembuatan pola dijadikan sebagai indikasi bahwa kawali itu
pamor dengan cara penempa tanpa maksud memiliki kualitas yang baik. Yang termasuk
membuat pola tertentu, cukup apa saja jadinya ure’ tuo pada kawali memiliki motif seperti
saja, hampir tanpa rekayasa. Hasil akhir belahan kayu jambu (tebba jampu) dan belang
pamornya non-figuratif atau tanpa pola. Bagi tokek (balo pakke). Andi Ancu menambahkan
masyarakat Bugis tidak mengenal istilah bahwa pamor “batu” merupakan pamor yang
“pamor tiban”, akan tetapi lebih mengenal pertama dibuat oleh para panre terdahulu,
istilah ure’ tuo (pamor hidup). Ure’ dalam karena langsung mengolah biji besi dari batu.
istilah lokal berarti akar, yang menurut mereka Kemudian disusul dengan penemuan pamor
bahwa pada hakikatnya besi itu memiliki ure’ dato’-dato’, balo pakke dan tebba jampu
(akar) seperti pohon. Orang-orang Bugis sangat (wawancara 1 Agustus 2018).
menyukai bahkan mencari kawali “makkure”. 2. Pamor rekan (ure’ ebbureng)
Motif pamor pada kawali tidak dapat ditentukan Pamor rekan dalam istilah Bugis disebut
oleh panre akan tetapi ditentukan oleh “Api sebagai ure’ akke’bu-kebbureng atau ebbureng
Dewata” (Andi Basri, wawancara Agustus berarti sesuatu yang dibuat-buat atau dirancang.
2018). “Api Dewata” dalam hal ini adalah Ure’ ebbureng merupakan pamor yang
kehendak Yang Maha Kuasa, sehingga tempaan sebelumnya direkayasa, sehingga menghasilkan
oleh api dewata dianggap sebagai were dari motif sesuai dengan yang diinginkan, biasanya
Allah SWT yang wajib disyukuri. Were menghasilkan motif figuratif. Pamor rekayasa
merupakan pandangan hidup orang Bugis yang merupakan penguasaan atau keterampilan
mengatakan bahwa resopa temmangingi pencampuran logam yang dapat dikontrol,
malomo naletei pammase dewata (hanya keterampilan ini ditemukan oleh panre/mpu
dengan keras tanpa putus asa yang akan berdasarkan pengalamannya dalam membuat
memperoleh hidayah Dewata). Paseng tersebut pamor tiban sehingga timbullah ide untuk
merupakan dasar pengharapan dan semangat membuat motif tertentu pada bilah pusaka
kerja orang-orang Bugis dalam mengarungi (Andi Ancu, wawancara 1 Agustus 2018).
kehidupan ini. Pembuatan ure’ ebbureng banyak dilakukan
Lebih lanjut dikatakan oleh Andi Basri ketika We Tadangpali berhasil sembuh dari
bahwa pamor khas pada kawali yang tergolong penyakit yang dideritanya, jadi sebagai bentuk
tiban, yaitu pamor balo pakke dan tebba jampu” kegembiraan atas kesembuhan itu maka
(wawancara 2 Juni 2018). Hal serupa juga dibuatlah pusaka-pusaka yang tampilannya
dipertegas oleh Andi Darwis bahwa cantik termasuk pamornya, sebagaimana
“...namo maga gellona pamoro’na kecantikan We Tadangpali (Andi Basri,
kawalie narekko degaga pamoro tuo na, wawancara 2 Agustus 2018).
padai bessi biasa. Iyaro riyaseng E Data tersebut bersumber dari cerita
pamoro tuo mattebba pada jampue mitologi tentang putri Datu Luwu yang dibuang
pamoro’na mapute pada salaka e, iyatosi karena penyakit yang dideritanya. Sementara
ise’na ure tuo mapute pada jarung ko jika menelusuri perkembangan kerajaan Luwu,
pallawangenna baja’e na bessi laloe. ditemukan adanya hubungan dengan kerajaan
(sebagus apapun pamor kawali jika tidak Majapahit secara intensif sebagai penyuplai
mempunyai pamor hidup maka sama saja besi dan bahan pamor untuk membuat senjata
dengan besi biasa, yang dimaksud atau tosan aji. Hubungan ini kemudian lebih
dengan pamoro tuo motifnya seperti diperkuat dengan menjaling hubungan keluarga
pohon jambu dan warnanya putih seperti antar kedua kerajaan dengan perkawinan.
besi putih, sementara isi dari pamoro Interaksi-interaksi yang intensif dilakukan antar
hidup adalah berwarna putih berserat kedua kerajaan tersebut menimbulkan
yang biasa muncul di sela baja dan besi) terjadinya akulturasi budaya Jawa dan Bugis,
(Andi Darwis, dalam Rustam, 2013). termasuk penyebaran pamor rekan dari Jawa.
Hal ini dapat dilihat pada kawali Luwu yang
Berdasarkan data di atas, dapat dikatakan lebih dominan pamor rekan yang diterapkan
bahwa pamor tiban pada kawali dikenal oleh pada bilah kawali.
masyarakat Bugis sebagai “ure’ tuo”, berwarna “berdasarkan Nagara Kertagama dan
putih seperti perak, dan kelihatan berserat sumber-sumber naskah lokal serta
muncul di antara besi dan baja. Ure’ tuo toponimi yang dijumpai di Luwu, ada
23
Jurnal Pakarena, Volume 4 Nomor 1, Juni 2019
24

dugaan kuatnya relasi antara Mahapahit dalam bentuk pamor kawali dengan
dan Luwu di masa lalu. Relasi inilah yang maksud supaya pemiliknya bisa
diduga menimbulkan irisan penggunaan bermanfaat dalam masyarakat.
bahan baku dan teknologi dalam 3. Motif balo pakke adalah motif berupa
pembuatan tosan aji di antara dua belang-belang yang menyerupai kulit
kebudayaan ini. Tak hanya mengirim binatang tokek. pakke itu binatang yang
bahan baku besi-nikel ke Jawa- disakralkan oleh masyarakat Bugis, karena
Majapahit, namun sejumlah pandai besi memiliki kemampuan melekat yang luar
dari Jawa diperkirakan bermukin di biasa. Apapun yang melekat pada kakinya
kawasan Luwu menandai intensifnya akan sulit untuk dilepas, oleh karena itu
interaksi antara kedua peradaban ini” pakke dijadikan sennuangen untuk
(Arif dalam Saptono (ed), 2015: 37). pemikat atau daya tarik, sehingga pada
zaman dahulu kawali yang berpamor balo
Dalam pembuatan pamor rekayasa pada pakke hanya dimiliki oleh bangsawan
bilah kawali dikenal ada tiga cara, yaitu teknik Bugis dengan harapan agar dicintai oleh
lonjo’, teknik tapping, dan teknik kurissi. rakyatnya” (Kahar Wahid, wawancara 21
Teknik lonjo’ merupakan teknik penyusunan November 2015).
bala-bala pamor dengan posisi sejajar dengan 4. Motif pesse’ pelleng adalah motif
inti baja. Teknik tapping merupakan melingkar di bagian tengahnya yang mirip
penyusunan bala-bala pamor dengan posisi bekas sidik jari, motif tersebut memenuhi
tegak lurus terhadap inti baja. Sedangkan teknik permukaan bilah dari pangkal hingga
kurissi biasa juga disebut teknik puntir yaitu ujung. Pesse pelleng adalah lampu yang
teknik pembuatan pamor dengan cara memutar digunakan oleh orang-orang Bugis dulu
bala-bala pamor. untuk penerangan. Dibuat dengan balutan
dedak pada potongan bambu dengan cara
Makna simbolik motif pamor kawali di pijit-pijit dengan jari-jari (ripesse’-
pesse). Jika pesse pelleng diterapkan pada
Estetika nusantara selalu berkaitan dengan kawali sebagai bentuk motif, maka itu
nilai tontonan (keindahan) dan nilai tuntunan berarti simbol penerangan. Karena orang-
(falasafah) dan dipengaruhi oleh sugesti alam. orang Bugis dulu selalu menjadikan sennu-
Motif pamor pada bilah kawali selain sebagai sennuangeng sebagai harapan (Kahar
penghias pada bilahnya juga mengandung Wahid, wawancara 21 November 2015).
makna filosofis yang dijadikan pedoman 5. Motif ma’daung ase adalah motif berupa
masyarakat Bugis. lapisan-lapisan garis memanjang bersusun
1. Motif tebba’ jampu adalah motif pamor dari pangkal hingga ke ujung bilah. Motif
berupa garis-garis tak beraturan. tebba daung ase merupakan simbol kesuburan.
jampu itu merupakan simbol kekuatan Padi (ase) bagi masyarakat Bugis adalah
sebagaimana kuatnya kayu jambu. Bentuk- simbol kehidupan dan kesejahteraan.
bentuk pada jambu diterapkan dalam 6. Motif mata tedong adalah motif berbentuk
bentuk pamor kawali karena batang jambu spiral yang direpetisi dari pangkal hingga
biji memiliki karakter yang nampak pada ujung bilah. Tedong melambangkan
kulitnya. Kulitnya pun memiliki karakter kesabaran dan keuletan dalam bekerja,
khas yaitu apabila kulitnya lepas maka serta simbol kesuburan. Dalam hal ini,
akan muncul lagi kulit yang baru” pamor bermotif mata tedong sebagai
(wawancara 21 November 2015). sennuangeng (makna simbolik) bahwa
2. Motif ma’dato’-dato adalah motif berupa pemilik kawali tersebut diharapkan
gumpalan-gumpalan menyerupai dato- memiliki sifat sabar, pekerja keras, dan
dato atau awan yang hampir memenuhi patuh pada aturan atau panggadereng, baik
permukaan bilah motif. Pamor dato’- dia sebagai pemimpin dalam keluarga
dato’/ awan yang ada pada bilah kawali maupun sebagai orang yang dipimpin
merupakan simbol pengharapan akan dalam masyarakat. Ajaran ini juga dapat
datangnya berkah dari langit sehingga ditemukan dalam paseng to riolo bahwa
kehidupan akan terus berlanjut. Sehingga “resopa temmanginngi, namatinulu,
harapan-harapan itu pun diaplikasikan malomo naletei pammase Dewata” (hanya
Satriadi, Bentuk, Fungsi, Dan Makna Pamor Senjata Kawali Dalam Masyarakat Bugis, hlm. 12-27
25

dengan kerja keras, tanpa putus asa, akan majang digunakan untuk memandikan
memperoleh hidayah yang maha kuasa). mayat
7. Motif sikadoi adalah motif berupa garis 11. Motif daung alosi (daun pinang) adalah
lengkung yang saling berhadapan. Dalam motif berupa lapisan-lapisan garis diagonal
bahasa Bugis, “sikadoi” diartikan “saling berkelompok. Karakteristik daung pinang
menganguk”. Saling mengangguk berarti adalah ruas daun yang naik dan turun
saling menyetujui. “...sikadoi itu berarti secara berselang-seling (atas-bawah) yang
dua orang atau lebih yang kado’ atau saling maknanya sama dengan pepatah Bugis
menyetujui. Biasanya orang Bugis yang mengatakan “siselle-selle muto aje
menggunakan kawali yang berpamor “ure we lo riolo” (kaki itu bergantian maju
sikadoi” untuk pergi melamar dengan mundur ke depan dan belakang). Hal itu
harapan agar lamarannya diterima” (Kahar bermakna saling tolong menolong, karena
Wahid, wawancara 21 November 2015). manusia sebagai mahluk sosial tetap
8. Motif gamacca adalah motif utama berupa membutuhkan bantuan dari orang lain.
garis zigzag dengan pola berderet ke ujung Selain itu juga bermakna rebba sipaoto’i,
bilah dengan bentuk dasar segitiga malilu sipakainge, mali siparappe (jatuh
bersusun timbal balik. Gamacca’ dalam saling membangungkan, khilaf saling
bahasa Bugis berarti anyaman bambu. mengingatkan dan hanyut saling meraih)
Dalam arsitektur rumah Bugis gamacca’ artinya saling mengingatkan dalam
sering digunakan sebagai dinding kebaikan dan tidak egois dalam segala hal.
(pelindung). Sementara dalam ritual-ritual 12. Motif mattulu tellu, merupakan motif yang
religi, gamacca’ merupakan bahan dari mirip bentuk “bunga majang” tapi ukuran
pembuatan walasuji, sehingga sebagian lebih kecil, memanjang dan tersusun
masyarakat juga menyebutnya sebagai sebanyak tiga buah yang oleh masyarakat
ure’ walasuji Bugis disebut dengan ure’ mattulu tellu
9. Motif ma’daung kaluku adalah motif (pamor pilin tiga tali). Tulu (tali) sering
pamor dengan bentuk garis-garis rapat dihubungkan dengan ikatan yang
dengan arah diagonal yang bertemu pada bermakna ketegasan yang harus dimiliki
bagian tengah bilah. Daun kelapa itu oleh seorang laki-laki Bugis. Jumlah tiga
merupakan simbol kebersamaan tali disini bermakna simbol ketegasan
(assiolompolongeng), karena daun-daun dalam tiga hal, yaitu “aga mupikkiriki iya
kelapa yang banyak itu semua tonaro mu pau, aga pura mu pau iya
berpegangan pada ruasnya. Itulah yang tonaro mujama” (apa yang kamu pikirkan
dijadikan simbol oleh orang-orang Bugis itu yang kamu ucapkan itu juga yang kamu
untuk terus menjaga tali persaudaraan lakukan). Pepatah tersebut merupakan
sebagaimana daun-daun kelapa tidak jatuh ungkapan ketegasan yang mengandung
atau lepas dari ruasnya” (Kahar Wahid, pesan supaya pikiran, perkataan dan
wawancara November 2015). perbuatan itu sejalan.
10. Motif bunga majang adalah motif segi 13. Motif boting cala’ adalah motif berupa
empat yang setiap sisinya melengkung ke guratan berbentuk huruf “S”. Jacob
dalam sehingga menyerupai bintang segi Sumardjo menyebut motif seperti itu
empat. Dalam kehidupan sehari-hari orang dengan “pola dua berbalikan”. Motif huruf
Bugis, bunga majang merupakan hal yang “S” adalah motif paling tua di Indonesia,
paling penting terutama dalam upacara karena motif tersebut telah ada pada zaman
daur hidup, yaitu kelahiran, pernikahan prasejarah (Sumardjo, 2010:223). Lebih
dan kematian. Pada acara tersebut bunga lanjut, Jacob Sumardjo mengatakan bahwa
majang selalu dihadirkan sebagai motif huruf “S” atau huruf “S” terbalik ini,
pelengkap upacara ritual. Pada upacara simbol dari bentuk paradoks laki-
aqiqah (maccera’ ana’), bunga majang perempuan yang bermakna jamak. “boting
dihadirkan sesaat setelah sang anak lahir, cala”, secara harpiah “boting” berarti
sementara dalam acara pernikahan menikah, atau pernikahan antara laki-laki
(ma’pabbotting), bunga majang digunakan dan perempuan atau gabungan dari dua
untuk air mandi calon penganting, dan unsur yang berbeda. sedangkan “cala”
pada saat upacara kematian pun bunga dalam masyarakat Bugis berarti laki-laki
25
Jurnal Pakarena, Volume 4 Nomor 1, Juni 2019
26

palsu (calalai), laki-laki yang berwatak Simpulan


seperti perempuan atau perempuan palsu
(calabai). Jadi “boting cala” berarti dua Kawali merupakan wujud kebudayaan
watak yang berbeda, yaitu laki-laki dan masyarakat Bugis. Setiap elemen-elemen
perempuan, hal ini sejalan dengan kawali menggambarkan nilai-nilai kebudayaan
penjelasan Jacob Sumardjo di atas. “boting Bugis. Pangulu menggambarkan
cala” menunjukkan dua pola atau watak kepemimpinan orang Bugis yang tegas. Wanoa
yang berbeda akan tetapi saling memenuhi. dianggap sebagai wilayah tempat pemimpin
Karena manusia itu dualistik, yakni mengatur masyarakatnya. Bilah merupakan
merupakan pasangan kembar yang saling bagian paling pokok karena di dalamnya
bertentangan tetapi komplementer, maka terdapat pamor yang menggambarkan nilai-
dua alam yang lain juga demikian. Inilah nilai falsafah orang Bugis. pamor kawali
sebabnya simbol lelaki dan perempuan menggambarkan nilai kehidupan yang ideal
amat domian (Sumardjo, 2010:234). yaitu kekayaan (abbaramparangeng),
14. Motif lataring tellu adalah motif berupa kepemimpinan dan kemuliaan (arajangeng),
bulatan kecil berjumlah tiga yang terletak keselamatan (asalamakeng), kelaki-lakian
pada pangkal bilah. Lataring tellu sering (arowanengeng), kerukunan dalam rumah
dihubungkan oleh masyarakat dengan cita- tangga (alaibinengeng). Kelima point utama
cita kesatuan antara tiga kerajaan besar tersebut merupakan faktor yang paling
Bugis Bone, Soppeng dan Wajo, yang menentukan siri’ (harga diri dan kehormatan)
menyatukan diri melalui perjanjian tellung seseorang, karena bagi orang Bugis, siri’
poccoe (tiga puncak: Bone, Soppeng dan merupakan ideologi tertinggi yang dipegang
Wajo) untuk membebaskan diri dari teguh oleh semua etnis di Sulawesi Selatan,
kekuasaan Gowa dan VOC (Ubbe, khususnya Bugis. sehingga mereka mengatakan
2011:102). Hal tersebut dipertegas oleh siri’ e mi riongroang lino, hanya karena siri’
Kahar Wahid, bahwa “angka tiga dalam kita hidup di dunia.
kepercayaan orang Bugis merupakan
simbol kekuatan. Sebagaimana kaki meja Daftar Pustaka
yang berjumlah tiga, kesemua kakinya Arif, Ahmad. Besi Luwu, Pasang Surut
menopang, tidak ada kaki yang istirahat” Metalurgi Nusantara, dalam Hariadi
(wawancara 21 November 2015). Saptono (ed). Keris dan Senjata
15. Motif taiganja adalah stilisasi kelamin Pusaka Bahari. Jakarta: Bentara
perempuan (Ubbe, 2011:328). Menurut Budaya Jakarta, 2015, hlm. 31-50.
Jacob Sumardjo, motif seperti itu
merupakan motif pilin berganda atau Dharsono, Estetika Nusantara. Surakarta:
pengembangan dari motif dasarnya Institut Seni Indonesia Surakarta,
berbentuk huruf “S” (2010:225). Namun 2015.
pada motif taiganja, pengulangan bentuk
“S” dibuat dengan saling membelakangi. Dray Vibrianto, “Kawali Tanah Bugis” dalam
Motif taiganja merupakan gabungan dari Ubbe, Ahmad. Pamor dan Landasan
simbol laki-laki dan perempuan (simbol Spiritual Senjata Bugis. Jakarta,
dualistik). Sehingga disebut juga dengan Gramedia Pustaka Utama, 2011.
simbol paradoks. Gabungan dari laki-laki
dan perempuan dalam masyarakat Bugis Ewa, Tenri. Pamor Senjata Pusaka Sulawesi
disebut dengan “cala” (lihat pembahasan Selatan Dan Maknanya”, Makassar:
mengenai simbol “boting cala”), yaitu Penerbit Buku.com, 2014.
manusia bissu, yang dikenal dengan
manusia kebal. Simbol tersebut sama Guntur. Studi Ornamen, sebuah pengantar,
maknanya dengan simbol huruf “S” cetakan I. Surakarta: STSI Press,
(boting cala) pada pembahasan 2004.
sebelumnya, yaitu sebagai tula’ bala.
Hamid, Senjata Tradisional Sulawesi Selatan.
Jakarta: Departemen Pendidikan Dan
Kebudayaan, 1990.
Satriadi, Bentuk, Fungsi, Dan Makna Pamor Senjata Kawali Dalam Masyarakat Bugis, hlm. 12-27
27

Zazuli, Achmad. Pamor Eksotik Tosan Aji.


Hamzuri. Keris. Jakarta: Djambatan, 1988. Solo: CV. Aneka, 2004.

Harsrinuksmo, Ensiklopedi Keris. Jakarta: PT.


Gramedia Pustaka, 2011.

Haryoguritno, Haryono. Keris Jawa, Antara


Mistik dan Nalar. Jakarta: PT
Indonesia Kebanggaanku, 2006.

Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi.


Jakarta: Aksara Baru, 1986.

Mattulada, Latoa: Suatu Lukisan Analisis


Terhadap Antropologi Politik Orang
Bugis. Makassar: Hasanuddin
University Press, 1995.
Mattulada, Sejarah, Masyarakat dan
Kebudayaan Sulawesi Selatan.
Makasar: Hasanuddin University
Press, 1998.

Pabittei, Badik Sulawesi Selatan. Bagian


Proyek Pembinaan Permuseuman
Sulawesi Selatan, 1994.

Palloge, Sejarah Kerajaan Tanah Bone.


Makassar: Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Sulawesi Selatan. 1990.

Pelras, Christian. Manusia Bugis. Terj. Abdul


Rahman Abu, Hasriadi dan Nurhady
Simorok. Forum Jakarta-Paris, Ecole
Francais D’extreme-Orient. Jakarta:
Nalar, 2006.

Rustan. “Kawali, Identitas Laki-Laki Bugis”


Skripsi S1 Karya Film Dokumenter,
Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Hasanuddin, 2013.

Sumardjo, Jakob. Estetika Paradoks. Bandung:


Sunan Ambu, 2006.

Satriadi, 2016. Kawali dalam masyarakat Bugis


(tesis) . Surakarta: ISI Surakarta.

Ubbe, Ahmad, Andi M. Irwan Zulfikar dan


Dray Febriyanto Senewe. Pamor dan
Landasan Spiritual Senjata Bugis.
Jakarta, Gramedia Pustaka Utama,
2011.

27
Jurnal Pakarena, Volume 4 Nomor 1, Juni 2019
28

Anda mungkin juga menyukai