Anda di halaman 1dari 20

DOI: 10.5281/zenodo.

5741142

Stilistika Volume 10, Nomor 1, November 2021 ISSN P 2089-8460


ISSN E 2621-3338

STRUKTUR, FUNGSI, DAN MAKNA SATUA I LUBDAKA


PADA BUKU KUMPULAN SATUA
(DONGENG RAKYAT BALI)

oleh
Dewa Ayu Sri Intan Wandini i*, I Nyoman Suwijaii, Ni Wayan Sumitriiii
IKIP PGRI Bali, Universitas PGRI Mahadewa Indonesia
intandw909@gmail.com, inyoman.suwija63@gmail.com,
Sumitri2000@yahoo.com

Abstrak
Karya sastra Bali (Paribasa Bali) mempunyai potensi yang sangat besar dalam upaya
pembentukan karakter anak didik, sehingga anak didik memiliki karakter yang kokoh
berakar pada nilai-nilai budaya. Karya sastra (Paribasa Bali) adalah salah satu karya sastra
yang dapat dijadikan acuan dalam pendidikan karakter. Paribasa Bali yang mengandung
kearifan lokal diharapkan dapat memberikan kontribusi tersendiri dalam membentuk
karakter-karakter anak didik. Masalah yang dibahas dalam penelitin ini adalah (1)
bagaimanakah konsep kearifan lokal Bali (Paribasa Bali) mengajarkan pendidikan karakter
kepada peserta didik. (2) jenis-jenis pendidikan karakter apa saja yang ditemukan dalam
Paribasa Bali. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif. Digunakan juga
strategi survey bertujuan untuk mengumpulkan besar variabel melaui alat pengukur
wawancara. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk dapat mengetahui konsep dan jenis-
jenis pendidikan karakter yang dapat diajarkan kepada anak didik melalui karya sastra
khususnya Paribasa Bali.

Kata Kunci : Satua I Lubdaka, Struktur, Fungsi, Makna

STRUCTURE, FUNCTION, AND MEANING OF ONE


I LUBDAKA ON THE ONE BOOK
(BALINESE FOLK TALE)
Abstract
Balinese literary works (Paribasa Bali) have enormous potential in the effort to form the
character of students, so that students have a strong character rooted in cultural values.
Literary works (Paribasa Bali) is one of the literary works that can be used as a reference
in character education. Paribasa Bali which contains local wisdom is expected to be able
to make its own contribution in shaping the character of students. The problems discussed
in this research are (1) how the concept of Balinese local wisdom (Paribasa Bali) teaches
character education to students. (2) what types of character education are found in
Paribasa Bali. The method used is descriptive qualitative method. Survey strategies are
also used aimed at gathering large variables through interview gauges. The purpose of
this research is to be able to know the concepts and types of character education that can
be taught to students through literary works, especially Paribasa Bali.

Keywords: Satua I Lubdaka, Structure, Function, Mea

195
DOI: 10.5281/zenodo.5741142

Stilistika Volume 10, Nomor 1, November 2021 ISSN P 2089-8460


ISSN E 2621-3338

1. PENDAHULUAN Satua atau yang disebut


Kesusastraan Bali dengan dongeng dalam istilah bahasa
berbagai kekhasan yang dimilikinya Indoensia dinyatakan sebagai cerita
merupakan salah satu bagian dari khayal (fantasi) yang mengisahkan
khazanah kebudayaan Bali. Berbagai keanehan, keajaiban sesuatu Antara
kekhasan kesusastraan Bali tersebut (2009: 69). Bentuk penyampaian
adalah warisan dari para leluhurnya satua ada dua yaitu satua tutur/lisan
sebagai cermin kekayaan intelektual dan satua tulis.
orang Bali. Menurut Antara (2009: 29)
Menurut Badrun (2020) satua tutur adalah cerita rakyat
kesusastraan adalah kegiatan seni bentuk lisan dalam khasanah bahasa
yang mempergunakan bahasa dan Bali yang merupakan salah satu
simbol-simbol lain sebagai alat untuk bentuk (genre) yang penyampaiannya
menciptakan sesuatu yang bersifat dan pewarisannya dilakukan secara
imajinatif. Demikian pula halnya lisan, sedangkan satua tulis adalah
dengan kesusastraan Bali yang prosa fiksi Bali atau dogeng (cerita
menggunakan bahasa Bali sebagai rakyat) Bali secara lisan yang sudah
media dan tentunya juga mengandung ditulis/dicetak dalam bentuk tulisan
unsur imajinatif. Kesusatraan Bali berupabuku satua Bali.
seperti yang diungkapkan oleh Satua merupakan produk
Antara (2009: 2) adalah segala hasil budaya Bali masa silam sarat dengan
cipta sastra yang mempergunakan nilai-nilai budaya yang dapat
bahasa Bali sebagai media digunakan untuk menata pola
komunikasi dan memuat kehidupan perilaku dalam kehidupan
masyarakat Bali secara imajinatif. masyarakat. Oleh karena itu perlu
Semi (1993: 79) menyatakan cerita mendapat perhatian dari berbagai
rakyat adalah sesuatu yang dianggap pihak untuk menjaga kelestariannya.
sebagai kekayaan milik rakyat yang Berbagai upaya yang telah
kehadirannya atas dasar keinginan dilakukan dalam rangka kelestarian
untuk berhubungan sosial dengan dan pengembangan kesusatraan Bali
orang lain. purwa (tradisional) seperti

196
DOI: 10.5281/zenodo.5741142

Stilistika Volume 10, Nomor 1, November 2021 ISSN P 2089-8460


ISSN E 2621-3338

mewajibkan setiap jenjang Daerah Bali: Analisis Struktur dan


pendidikan dasar dan menengah Fungsi”. Kajian kedua, penelitian
mendapatkan pelajaran bahasa, Asri (2016) dengan judul “Satua I
aksara dan satra Bali sebagai Truna Asibak Tua Asibak Analisis
Kurikulum Muatan Lokal termasuk Struktur, Fungsi, dan Nilai”.Kajian
satua. Selain itu, diterbitkan ketiga, penelitian Kuntianthari (2012)
Peraturan Gubernur Bali Nomor 80 dengan judul “Struktur dan Fungsi
Tahun 2018 tentang Perlindungan dan Satua Larangan dalam Teks Ceraki”.
Penggunaan Bahasa Daerah Bali serta Teori Strukturalisme,
Pelaksanaan Bulan Bahasa Bali. Di Endraswara (2013: 49) kehadiran
samping latar belakang dan alasan di strukturalisme dalam penelitian
atas, berdasarkan pengamatan sastra, sering dipandang sebagai teori
terhadap tulisan-tulisan atau hasil dan atau pendekatan. Hal ini pun
penelitian yang telah ada sebelumnya tidak salah karena baik pendekatan
belum ada peneliti yang meneliti maupun teori saling melengkapi
satua I Lubdaka secara khusus dan dalam penelitian sastra.
mendalam terkait dengan struktur, Fungsi Karya Sastra, Fungsi
fungsi, dan makna. Oleh sebab itu, utama karya sastra adalah untuk
usaha nyata sangat diperlukan agar melukiskan, mencerminkan
satua sebagai kekayaan budaya lokal kehidupan manusia, sedangkan
tetap bisa eksis dan berkembang, kehidupan manusia selalu mengalami
diterapkan, dan diwariskan kepada perkembangan. Teori Semiotika
generasi berikutnya. Penelitian ini Sastra, teori semiotika sastra
merupakan salah satu ke arah itu, digunakan untuk menganalisis
yaitu upaya pendokumentasian dan makna-makna budaya yang terdapat
pengkajian. dalam keseluruhan bangunan Satua I
peneliti menggunakan 3 Lubdaka. Pengertian Satua, dogeng
kajian pustaka yaitu: kajian pertama, (cerita rakyat) atau satua Bali
penelitian Febriadiana (2018) dengan merupakan salah satu dari demikian
judul “ Teks Satua Betara banyak ragam tradisi lisan di daerah
Watugunung dalam Cerita Rakyat Bali. Suardiana dalam Suwija (2011:

197
DOI: 10.5281/zenodo.5741142

Stilistika Volume 10, Nomor 1, November 2021 ISSN P 2089-8460


ISSN E 2621-3338

1) mengatakan satua merupakan instrument atau alat penelitian adalah


salah satu karya sastra yang termasuk peneliti itu sendiri. Dalam Metode
ke dalam kesusastraan lisan. dan Tenik Pengumpulan Data, penelit
menggunakan studi kepustakaan
2. METODE Nasir (2017: 79) mengemukakan
Jenis penelitian ini adalah dalam mengadakan survey terhadap
penelitian deskriptif. Penelitian data yang ada merupakan langkah
deskriptif yaitu penelitian yang yang penting sekali dalam metode
berusaha untuk mendeskripsikan ilmiah.
pemecahan masalah yang ada Teknik pengumpulan data
berdasarkan data-data. Penulis Sugiyono (2015: 308) teknik
menggunakan metode deskriptif pengumpulan data adalah langkah
dengan data kualitatif karena utama dalam penelitian. Teknik
penelitian dilakukan dengan pengumpulan data penelitian ini
pendekatan atau pemahaman menggunakan teknik baca dan catat.
terhadap objek kajian yang diteliti Dalam menganalisis peneliti
yaitu satua I Lubdaka. menggunakan metode terjemahan
Sumber Data, jenis sumber yang berarti cara penerjemahan yang
data yang digunakan pada penelitian digunakan oleh penerjemahan dalam
ini dibagi menjadi dua yakni, sumber mengungkapkan makna bahasa
data primer dan data sekunder. Data sumber secara keseluruhan ke dalam
primer adalah satua I Lubdaka karya bahasa sasaran Syahabuddin (2005:
Dr. Drs. I Nyoman Suwija, M.Hum., 68).
A.Ma., Dr. Drs. I Made Darmana, Metode penyajian hasil
M.Pd., dan Drs. I Nyoman Rajeg analisis data merupakan suatu
Mulyawan, M.Pd. Satua I Lubdaka tahapan dalam penelitian yang
ini diterbitkan tahun 2019 oleh berbentuk laporan. Dalam hal ini,
penerbit Pelawa Sari. Jumlah metode yang dipergunakan dalam
halaman 179. penelitian ini adalah metode informal.
Instrumen Penelitian, dalam Sudaryanto (dalam Ratna 2015:50)
penelitian kualitatif, yang menjadi mengemukakan metode informal

198
DOI: 10.5281/zenodo.5741142

Stilistika Volume 10, Nomor 1, November 2021 ISSN P 2089-8460


ISSN E 2621-3338

adalah cara penyajiannya bukan Ngraos banggras, tur setata


dengkak-dengkik. Solah
dalam bentuk angka-angka, bagan, ngapak-apak, nyapa-kadi aku.
atau statistik melainkan metode (Suwija, 2019: 81)
Terjemahan:
informal ini cara penyajiannya Di ceritakan ada seorang
pemburu bernama si Lubdaka,
melalui kata-kata biasa. ia memiliki sifat keras, ketika
berbicara selalu dengan nada
yang tinggi dan ia selalu merasa
3. HASIL DAN PEMBAHASAN bahwa ia seorang yang paling
pintar.
Berdasarkan hasil analisis
data yang telah dilakukan, maka Pada kutipan di atas dijelaskan
struktur, fungsi, dan makna pada buku bahwa Lubdaka contohkan sebagai salah
kumpulan satua (dogeng rakyat Bali) satu masyarakat. Hal itu dapat dilihat
adalah sebagai berikut. pada kutipan berikut.
Sangkaning jagra utawi
magadang manira ngajahin
Struktur Intrinsik dalam Satua I
jadmané mangda
Lubdaka éling ring angga. Patut majagra
nemonin Panglong Patbelas,
Tema merupakan salah satu Tileming Sasih Kapitu. Sedeng
unsur yang sangat penting di dalam becik daweg punika, manira
ngelarang yoga samadi,
sebuah cerita yang dalam hal ini mawinan duk punika kaucap
rahina Siwaratri. (Suwija,
adalah satua (dogeng). Baldic (dalam 2019: 84)
Nurgiantoro 2015: 115) Terjemahan:
Ketika begadang, saya
mengemukakan bahwa tema adalah mengajarkan manusia agar
selalu ingat dengan diri sendiri.
gagasan abstrak utama yang terdapat Pada saat hari Panglong
dalam sebuah karya sastra. Pada satua Patbelas, Tileming Sasih Kapitu
sangat baik untuk begadang,
I Lubdaka bertemakan tentang sosial karena pada saat itu saya
bertapa maka dari itulah disebut
religius, dimana pada satua tersebut
dengan hari Siwaratri.
menceritakan kehidupan
bermasyarakat yang penuh dengan Pada kutipan di atas,

nuansa keagamaan. Hal itu dapat menggambarkan hari Siwaratri sebagai


malam Dewa Siwa.
dilihat pada kutipan berikut.
Penokohan (characterication)
Kacerita ipidan, ada koné juru
boros, madan I Lubdaka. Liatné adalah penghadiran tokoh dalam cerita
salap, fiksi atau drama dengan cara langsung

199
DOI: 10.5281/zenodo.5741142

Stilistika Volume 10, Nomor 1, November 2021 ISSN P 2089-8460


ISSN E 2621-3338

atau tidak langsung dan mengundang yaitu peduli dan selalu ingat dengan
pembaca untuk menafsirkan kualitas kewajiban menjadi seorang istri. Hal
dirinya lewat kata dan tindakannya. ini tampak pada kutipan berikut.
Lubdaka menjadi tokoh utama ialah Teked jumahné, enggal kurenané
tokoh yang paling banyak melukiskan nyambatsara, “Wih… Beli…
Nak ngudiang mara Beli teka?
interaksi dengan tokoh lain. Ditinjau Apa ke Beli Nemu baya di
alasé?” Masaut I Lubdaka kéné,
dari segi perwatakannya Lubdaka “Adi sayang… beli tusing mulih
dikisahkan memiliki watak sombong, ibi, sawiréh beli kapetengan di
alasé tur pajalan beliné, ngungsi
berkata kasar, dan pemarah. Hal ini lantas ka Alas. Tusing marasa
sagét suba sanja. (Suwija, 2019:
tampak pada kutipan berikut.
82).
Ada koné juru boros, madan
Lubdaka. Liatné salap, ngraos Terjemahan:
banggras, tur setata dengkak- Sesampainya di rumah, istri
dengkik. Solah ngapak-apak, Lubdaka langsung
nyapa-kadi-aku. Abedik sing ja menyambutnya, dan berkata
ngelah rasa welas asih, “Duh Beli kenapa baru datang?
morosin kidang, bojog, Apakah beli terkena bahaya di
irengan, muah ané lénan. hutan?” dijawablah oleh
(Suwija 2019: 81) Lubdaka, “Adi sayang…beli
Terjemahan: kemarin beli tidak pulang,
Seorang pemburu bernama karena beli sudah terlalu larut
Lubdaka, yang memiliki sifat malam di hutan dan beli tidak
keras, ketika berbicara pun mendapatkan hasil buruan.
selalu dengan nada yang tinggi Tidak terasa hari sudah sore.
dan ia selalu merasa bahwa ia
seorang yang paling pintar.
Ida Sang Hyang Yama
Sedikit pun tidak memiliki rasa
belas kasihan terhadap hewan merupakan tokoh tambahan kedua
yang ia bunuh seperti kijang,
monyet, dan hewan lainnya. dalam satua I Lubdaka, ditinjau dari
segi perwatakan, watak dari Ida Sang
Kutipan di atas menunjukan
Hyang Yama yaitu tidak mengetahui
Lubdaka seseorang yang memiliki
kebenarannya dan langsung
watak sombong, berkata kasar, dan
mengambil keputusannya sendiri,
pemarah.
tanpa mengetahui benar salahnya.
Istri Lubdaka merupakan
Hal ini tampak pada kutipan berikut.
tokoh tambahan dalam satua I Atman I Lubdaka malesat ka
Lubdaka ditinjau dari segi niskala, tur suba neked di
tengahing margasanga. Ditu
perwatakan, watak istri Lubdaka atman I Lubdaka begong,

200
DOI: 10.5281/zenodo.5741142

Stilistika Volume 10, Nomor 1, November 2021 ISSN P 2089-8460


ISSN E 2621-3338

sawiréh toden tatas tekén surga. Latar tempat diawali dengan


tongosé ané patut katuju. Teka
koné cikrabalan Ida Batara Lubdaka di rumah bergegas pergi
Yamané liu pesan, sahasa untuk berburu binatang. Hal ini
ngoros atma I Lubdaka.
(Suwija, 2019: 83) terlihat dalam kutipan berikut.
Terjemahan:
Nuju Panglong Ping Patbelas,
Roh Lubdaka, setelah lepas dari
Tilem Sasih Kapitu, semengan ia
jasadnya, melayang-layang di
suba luas ka alasé. Nanging tusing
angkasa. Roh Lubdaka bingung
pesan ia nepukin buron. Eda ja
tidak tahu jalan harus ke mana.
buron ané gedé, kadirasa lelasan
Datanglah Cikrabalan Ida
sing ja ada majlawatan. (Suwija,
Batara Yama yang jumlahnya
2019: 81)
sangat banyak, dan langsung
Terjemahan:
menyeret roh Lubdaka.
Ketika hari Panglong Ping
Patbelas, Tilem Sasih Kapitu,
Ida Sang Hyang Suratma pagi harinya ia bergegas pergi
merupakan tokoh tambahan dalam berburu binatang. Akan tetapi ia
tidak menemukan binatang satu
satua I Lubdaka. Ditunjau dari segi pun. Jangankan binatang yang
besar, kadal pun tidak ada lewat.
perwatakan Hyang Suratma berwatak
tegas dan kata-katanya sedikit kasar. Selanjutnya, digambarkan latar
Hal ini tampak pada kutipan berikut. Hutan. Lubdaka mulai melanjutakan
“Eh… Cai Atma perjalannya ke tengah hutan. Hal ini
kasasar…Nyén adan Cainé?
Apa geginan Cainé di terlihat pada kutipan berikut.
marcepada? Lautang jani Nanging tusing pesan ia nepukin
matur tekén manira!” Mara buron. Eda ja buron ané gedé,
kéto Ida Hyang Suratma, matur kadirasa lelasan sing ja ada
atman I Lubdaka sada ngejer, majlawatan. Sawiréh kéto, I
“Inggih Ratu… titiang mawastu Lubdaka lantas nuju ka Alas
I Lubdaka”. (Suwija, 2019: 83) Sripit”. (Suwija, 2019: 81)
Terjemahan: Terjemahan:
Eh….kamu roh yang tersesat… Akan tetapi ia tidak memperoleh
siapa namamu? Apa seekor pun binatang jangankan
pekerjaanmu selama di Bumi? hewan besar, kadal pun tidak
Segera jawab pertanyaan saya!” dijumpainya. Oleh sebab itulah
baru begitu Ida Sang Suratma, si
berbicara roh Lubdaka gemetar, Lubdaka melanjutkan
“Ia Ratu…saya bernama perjalanannya ke tengah hutan
Lubdaka. yang sangat lebat.

Latar tempat dalam satua I Latar tempat selanjutnya


Lubdaka yaitu: rumah Lubdaka, adalah Siwa Loka. Hal ini terlihat
hutan, angkasa, sawah, neraka, dan dalam kutipan berikut.

201
DOI: 10.5281/zenodo.5741142

Stilistika Volume 10, Nomor 1, November 2021 ISSN P 2089-8460


ISSN E 2621-3338

Kacerita, kalah Cikrabalané dalam hati, “Yah hari sudah


makejang, Atman I Lubdakané sore, kalau sekarang sayang
kagayot di joli emas baan para pulang, sudah pasti akan
Surapsarané. Tusing ja kemaleman di jalan.
makelo, teked koné di
Siwaloka, nglantas atman I
Lubdakané, katur ring Ida Latar penanda waktu
Sang Hyang Siwa”. (Suwija, selanjutnya yaitu malam hari. Hal ini
2019: 83-84)
Terjemahan: tampak pada kutipan berikut.
Diceritakan, pasukan dewa Yén jani idéwék mulih, sinah
Yama kalah, roh Si Lubdaka di lakar kapetengan di jalan.
tandu dengan tandu emas oleh Ah,… Paling melah dini dogen
pasukan dewa Siwa. Sampailah nginep”. Mongkod ia di punyan
Lubdaka di Siwaloka, setelah kayu bilané ané gedé. (Suwija,
itu roh Si Lubdaka, di haturkan 2019: 81)
ke dewa Siwa. Terjemahan:
Kalau sekarang saya pulang,
Latar waktu dalam satua I sudah pasti akan sangat malam
Lubdaka menyebutkn penanda waktu diperjalanan dan pastinya
banyak ada binatang buas.
pagi, siang, sore, dan malam. Hal ini Hanya disinilah tempat yang
paling aman untuk bermalam.
tampak pada kutipan berikut. Perlahan Lubdaka memanjat
Nuju Panglong Ping Patbelas, pohon maja yang besar.
Tilem Sasih Kapitu, semengan
ia suba luas ka alasé. Nanging
Latar Suasana
tusing pesan ia nepukin buron..
(Suwija, 2019: 81) Dalam satua I Lubdaka latar
Terjemahan:
Ketika hari Panglong Ping suasana meliputi kekecewaan,
Patbelas, Tilem Sasih Kapitu, ketakutan, penyesalan, kebingungan,
pada pagi harinya ia bergegas
pergi berburu ke hutan akan menegangkan, dan bahagia. Hal ini
tetapi ia tidak memperoleh
seekor pun binatang. tampak pada kutipan berikut.
Nuju Panglong Ping Patbelas,
Latar penanda waktu Tilem Sasih Kapitu, semengan
ia suba luas ka alasé. Nanging
selanjutnya yaitu sore. Hal ini tampak tusing pesan ia nepukin buron.
pada kutipan berikut. Eda ja buron ané gedé,
kadirasa lelasan sing ja ada
Disubané engseb Surya, kéné ia majlawatan.. (Suwija, 2019:
ngrenggeng, “Yéh… klan suba 81)
sanja, yén jani idéwék mulih, Terjemahan:
sinah lakar kapetengan di Ketika hari Panglong Ping
jalan.”(Suwija, 2019: 81) Patbelas, Tilem Sasih Kapitu,
Terjemahan: pada pagi harinya ia bergegas
Sampai hari menjelang sore pergi ke hutan akan tetapi ia
beginilah, Lubdaka berbicara tidak memperoleh seekor pun

202
DOI: 10.5281/zenodo.5741142

Stilistika Volume 10, Nomor 1, November 2021 ISSN P 2089-8460


ISSN E 2621-3338

binatang jangankan hewan pesan suba idéwék


besar, kadal pun tidak mapakardi pelih di guminé,
dijumpainya. yén terusang idupé dadi juru
boros, amat ya liunné lakar
mondong dosa”. Uli jani
Latar suasana selanjutnya lakar suud nyemak geginan
ketakutan”. Hal ini tampak pada maboros”. Kéto kenehné I
Lubdaka petenge ento.
kutipan berikut. (Suwija, 2019: 82)
Jejeh koné ia, sawiréh yén Terjemahan:
nyeriet abedik dogén, sinah ia Ketika ia sedang memetik daun
ulung di telagané. Kanggong bila, teringat-ingat ia dengan
ngilangang kiapné, ngelah ia Kijang yang di tumbaknya,
keneh mikpik don bilané tur tergeletak di tanah menahan
kaentungang di telagané. rasa sakit. Semakin lama
Sawiréh liu pesan don bilané semakin banyak rasanya
kapikpik, kanti mabejug don perbuatan tidak baik yang ia
bilané marupa lingga, lakukan, kedatangannya ia ke
makalinggih Ida Sang Hyang hutan hanya akan membuat
Siwa”. (Suwija, 2019: 81-82) hewan-hewan sengasara,
Terjemahan: beginilah ia berbicara dalam
Meskipun ia sangat mengantuk hati: “Aduh… banyak sekali
ia tidak berani tidur karena takut saya berbuat salah di bumi
akan terjatuh ditelaga, untuk kalau diteruskan hidup menjadi
menghilangkan rasa pemburu, akan sangat banyak
mengantuknya ia memetik menanggung dosa”. Dari
daun- sekarang akan berhenti
daun pohon bila dan mengambil perkerjaan sebagai
menjatuhkannya ke bawah, pemburu. Begitu pikiran Si
tanpa disadari daun-daun bila Lubdaka malam itu.
yang dipetiknya berbentuk
menyerupai Lingga (lambang Latar suasana selanjutnya
dari Dewa Siwa)”. kebingungun. Hal ini tampak pada
kutipan berikut.
Latar suasana selanjutnya
Kacerita di subané I Lubdaka tua,
penyesalan. Hal ini tampak pada suba jani ruyud tur katiben gelem
kutipan berikut. sanget, tusing dadi kelidin,
céndék pajalané emasina mati.
Ritatkala ia sedeng ngepik- Atman I Lubdaka malesat ka
ngepik don Bilwa, ditu kone niskala, tur suba neked di
marawat-rawat, I Kidang ane tengahing margasanga. Ditu
katumbak, maplisahan ngelur atman I Lubdaka bengong
di tanahé, naanang sakit. sawireh tonden tatas tekén
Ngancan makelo ngancan liu tongosé ané patut katuju”.
rasanga tingkahnyané tan (Suwija, 2019: 83)
patut, nuju ia maboros di Terjemahan:
alasé, tuah ngeranang Diceritakan si Lubdaka sudah
sangsaran I buron. Kéné ia mulai tua termakan oleh usia dan
ngrenggeng: “Aduh… liu

203
DOI: 10.5281/zenodo.5741142

Stilistika Volume 10, Nomor 1, November 2021 ISSN P 2089-8460


ISSN E 2621-3338

jatuh sakit, ia pun tidak berumur akan dipersembahkan ke Ida


panjang hingga akhirnya, Hyang Suratma. Bertanyalah
Lubdaka meninggal dunia. Roh Ida Hyang Suratma,
Lubdaka, setelah lepas dari Eh….kamu roh yang kesasar…
jasadnya, melayang-layang di siapa namamu? Apa
angkasa. Roh Lubdaka bingung pekerjaanmu selama di Bumi?
tidak tahu jalan harus ke mana. Segera jawab pertanyaan saya!”
baru begitu Ida Sang Suratma,
berbicara roh Lubdaka gemetar,
Latar suasana selanjutnya “Ia Ratu…saya bernama
menegangkan. Hal ini tampak pada Lubdaka. Pada saat di Bumi,
pekerjaan saya menjadi seorang
kutipan berikut. memburu. “kalau begitu
Teka kone cikrabalan Ida pekerjaanmu, itu dinamakan
Batara Yamané liu pesan, himsa karma. Buruk sekali
sahasa ngoros atma I tingkah lakumu. Kalau begitu
Lubdakané, katur ring Ida tanggung dosamu dengan
Hyang Suratma. Gelis Ida berendam di kawah yang panas
Hyang Suratma matakén, selama seratus tahun.
“Eh… Cai Atma kasasar… Kemudian para Cikrabalane
Nyén adan Cainé? Apa geginan diperintahkan untuk menyeret
Cainé di Marcepada? Lautang roh Lubdaka menuju ke kawah
jani matur tekén manira!” Candra Gohmukane. Di tengah
Mara keto Ida Hyang Suratma, perjalanan datanglah
matur atma I Lubdakané sada Surapsaran Ida Batara Siwa
ngejer, “Inggih Ratu… titiang yang membela roh Lubdaka.
mawasta I Lubdaka. Daweg
ring Marcapada, titiang dados Latar suasana selanjutnya
juru boros”. Sawiréh keto atur bahagia. Hal ini tampak pada kutipan
I Lubdakané, kacawis olih
Hyang Suratma, “Eh… berikut.
Lubdaka.. yén keto geginan
Ritatkala rahina Siwaratri,
Cainé, ento madan himsa
Lubdaka megadang sambilina
karma. Jelé pesan parisolah
mapineh tekén parisolahné
Cainé. Ané jani tandang dosan
mamati-mati buron.
Cainé, malebok di kawahé satus
Pamuputné maan koné ia
tiban. Ditu lantasan para
genah luih diswargaloka ulian
Cikrabalané katitahang ngoros
sasubané ia majagra
atma I Lubdakané nuju ka
ngiringan payogan Ida Batara
kawah Candra Gohmukané. Di
Siwa. (Suwija, 2019: 84-86)
tengah pajalan saget teka
Terjemahan:
Surapsara Ida Batara Siwané
Di malam Siwaratri, Lubdaka
liu pesan melanin atman I
begadang semalam suntuk dan
Lubdakané”. (Suwija, 2019:
sudah menyesali dosa-dosanya
83)
yang diperbuat di masa lalu.
Terjemahan:
Sehingga, roh Lubdaka berhak
Datanglah Cikrabalan Ida
mendapatkan pengampunan.
Batara Yama yang jumlahnya
Akhirnya, roh Lubdaka dibawa
sangat banyak, dan langsung
ke Siwa Loka. Pada akhirnya
menyeret roh Lubdaka, dan

204
DOI: 10.5281/zenodo.5741142

Stilistika Volume 10, Nomor 1, November 2021 ISSN P 2089-8460


ISSN E 2621-3338

Lubdaka mendapatkan tempat


yang baik di Surga karena ia Tahap Awal
menjalankan yoga semadi
majagra yang bertepatkan Tahap awal sebuah cerita
dengan malam Siwaratri
disebut sebagai tahap perkenalan.
(malam Dewa Siwa).
Tahap perkenalan pada umumnya
Kutipan di atas berisi informasi yang berkaitan
menggambarkan bahwa Lubdaka dengan berbagai hal yang dikisahkan
sangat bahagia karena sudah pada tahap-tahap berikutnya
mendapatkan mengampunan dari (Nurgiantoro, 2015: 202). Pada tahap
dewa Siwa, berkat buah hasil yang ia awal satua Bali (dogeng)
perbuat selama hidupnya walaupun menceritakan tentang seorang
pekerjaan yang ia lakukan semasa pemburu bernama Lubdaka pada saat
hidupnya sebagai seorang pemburu pagi hari (di rumah) ia bergegas
akan tetapi disaat Lubdaka meninggal hendak pergi berburu binatang. Hal
ia mendapatkan tempat di Surga. ini terlihat pada kutipan berikut.
Nuju Panglong Ping Patbelas,
Alur/Plot Tilem Sasih Kapitu, semengan
ia suba luas ka alasé. Nanging
Alur/plot adalah urutan dalam tusing pesan ia nepukin buron.
sebuah cerita sambung menyambung Eda ja buron ané gedé,
kadirasa lelasan sing ja ada
berdasarkan hubungan sebab akibat. majlawatan. (Suwija, 2019: 81)
Terjemahan:
Pemahaman alur akan memudahkan Ketika hari Panglong Ping
kita memahami peristiwa dalam Patbelas, Tilem Sasih Kapitu,
pada pagi harinya ia bergegas
sebuah cerita, misalnya cerita rakyat pergi berburu binatang ke hutan
akan tetapi ia tidak
atau dogeng. Untuk memperoleh
memperoleh seekor pun
keutuhan sebuah alur/plot, Aritoteles binatang jangankan hewan
besar, kadal pun tidak
(dalam Nurgiantoro, 2015: 201) dijumpainya.
mengemukakan bahwa alur atau plot
Berdasarkan kutipan di atas
haruslah terdiri dari tahap awal
dijelaskan bahwa pada tilem sasih
(beginning), tahap tengah (middle),
kapitu, ketika pagi harinya lubdaka
dan tahap akhir (end).
berkeinginan untuk pergi berburu
binatang. Namun Lubdaka tidak

205
DOI: 10.5281/zenodo.5741142

Stilistika Volume 10, Nomor 1, November 2021 ISSN P 2089-8460


ISSN E 2621-3338

menemukan satu pun binatang Para Cikrabalané katitahang


ngoros atman I Lubdakané nuju
buruannya. ka kawah Candra Gohmukané.
Di tengah pajalan sagét teka
Surapsara Ida Batara Siwané
Tahap Tengah
liu pesan mélanin atman I
Tahap tengah cerita juga dapat Lubdakané. Tuah saja I
Lubdaka masolah himsa karma,
disebut sebagai pertikaian nanging ipun sampun ngelar
menampilkan pertentangan dan atau brata, kanggén nglebur dosané
sami. Punika mawinan atman
konflik yang sudah dimulai Lubdaka polih genah sane
becik. (Suwija, 2019: 84)
dimunculkan pada tahap sebelumnya. Terjemahan
Nurgiantoro (2015: 204) konflik Pasukan Cikrabala
diperintahkan untuk menyeret
menjadi semakin meningkat dan roh Lubdaka menuju Kawah
Candra Gohmuka. Di tengah
semakin menegangkan. Konflik yang perjalanan datanglah Surapsara
dikisahnya, seperti yang Ida Betara Siwa yang sangat
banyak membela roh Lubdaka.
dikemukakan di atas, dapat berupa Di saat itulah, Dewa Siwa
datang mencegah pasukan
konflik internal, konflik yang terjadi
Cikrabala membawa roh
dalam diri seorang tokoh, konflik Lubdaka ke kawah Candra
Gohmuka. Menurut pasukan
eksternal atau pertentangan yang Cikrabala, roh Lubdaka harus
terjadi antartokoh cerita, antar tokoh dibawa ke neraka. Ini
disebabkan, semasa ia hidup, ia
protagonis dan antagonis sekaligus. kerap membunuh binatang.
Namun Dewa Siwa berkata lain,
Bagian tengah cerita merupakan Beliau mengatakan bahwa,
bagian terpanjang dan terpenting dari walaupun Lubdaka kerap
membunuh binatang, tapi pada
karya fiksi yang bersangkutan. suatu malam di malam Siwaratri,
Lubdaka begadang semalam
Pada tahap tengah pengarang
suntuk dan sudah menyesali
menceritakan konflik Lubdaka yang dosa-dosanya yang diperbuat di
masa lalu. Sehingga, roh
semasa hidupnya sebagai seorang Lubdaka berhak mendapatkan
pengampunan”.
memburu binatang, yang pada
akhirnya mendapat pengampunan dan
Kutipan di atas menjelaskan
rohnya tidak ditempatkan di kawah
bahwa roh Lubdaka penuh dengan
Candra Gohmuka. Hal ini terlihat
dosa karena semasa ia hidup
pada kutipan berikut.
pekerjaannya sebagai seorang
pemburu (membunuh binatang tidak

206
DOI: 10.5281/zenodo.5741142

Stilistika Volume 10, Nomor 1, November 2021 ISSN P 2089-8460


ISSN E 2621-3338

berdosa). Sehingga pasukan luih di swargaloka ulian


sasubané ia majagra
Cikrabala menyeret roh Lubdaka ngiringang payogan Ida Batara
untuk dibawa ke kawah Candra Siwa”. (Suwija, 2019: 86)
Terjemahan:
Gohmuka, akan tetapi dewa Siwa Begitulah cerita si Lubdaka
yang sebelumnya melakukan
mencegahnya karena ketika pada perbuatan sebagai pemburu
malam harinya bertepatan dengan yang memburu binatang tidak
dosa. Pada akhirnya Lubdaka
malam Siwaratri Lubdakan mendapatkan tempat yang baik
di Surga karena ia menjalankan
bergadang semalam suntuk dan telah yoga semadi majagra yang
menyesali segala perbuatannya. bertepatkan dengan malam
Siwaratri (malam dewa Siwa).

Tahap Akhir
Berdasarkan kutipan di atas
Tahap akhir sebuah cerita atau
terlihat bahwa roh Lubdaka bahagia
dapat juga disebut sebagai tahapan
karena telah mendapatkan tempat di
pelarian. Bentuk penyelesaian sebuah
surga, karena sebelum meninggal ia
cerita dalam banyak hal ditemukan
telah menjalankan yoga semadi
oleh hubungan antar tokoh dan
majagra yang membuat dewa Siwa
konflik yang dimunculkan
mengampuni segala dosa yang ia
(Nurgiantoro, 2015: 205). Aristoteles
perbuat dimasa hidupnya sebagai
(dalam Nurgiantoro, 2015: 205)
seorang pemburu.
membedakan akhir sebuah cerita ke
dalam dua kemungkinan yaitu Amanat
kebahagian (happy end) dan Suharso & Retnoningsih
kesedihan (sad end). (2017: 32) mengemukakan amanat
Tahap akhir dalam satua I adalah sesuatu pesan atau wejangan,
Lubdaka menceritakan bahwa roh keseluruhan makna atau isi
Lubdaka pada akhirnya mendapatkan pembicaraan yang disampaikan
tempat yang baik yaitu di Surga. Hal kepada pembaca atau pendengar.
ini tampak pada kutipan berikut. Amanat yang terdapat di dalam satua
Aketo satuan I Lubdaka ané I Lubdaka dapat dilihat pada kutipan
laadné liu malaksana pelih,
dadi juru boros, mamati-mati berikut.
soroh buron tan padosa,
pamuputné maan koné ia genah

207
DOI: 10.5281/zenodo.5741142

Stilistika Volume 10, Nomor 1, November 2021 ISSN P 2089-8460


ISSN E 2621-3338

Ngancan mekelo, ngancan liu diukur sejauh mana tujuan teks


rasanga tingkahnyané tan
patut, nuju ia maboros di alasé, bersatu dengan dampak meskipun
tuah ngeranang sangsaran i sangat sulit untuk mengetahui sejauh
buron. Kéné ia ngrenggeng:
“Aduh… liu pesan suba rasa mana kebersatuan dengan dampak itu
idéwék mapakardi pelih
diguminé, yén terusang idupé dapat dilacak. Pada dasarnya karya
dadi juru boros, amat ya liunné sastra sangat bermanfaat bagi
lakar mondong dosa. (Suwija,
2019: 82) kehidupan. Adapun fungsi-fungsi
Terjemahan:
yang diemban dalam satua I Lubdaka
Semakin lama, semakin banyak
ia merenungkan bahwa tingkah meliputi fungsi spiritual, fungsi
lakunya tidak baik. Ketika ia
berburu di hutan, hanya akan pertimbangan bertingkah laku, fungsi
membuat hewan disana
sebagai pendidikan moral, fungsi
sengsara. Begini ia berkata
dalam hati “Aduh… banyak hiburan, dan fungsi sebagai mendidik
sekali perbuatan salah yang
saya perbuat dibumi ini, kalau sebagai berikut.
diteruskan hidup menjadi
pemburu, berapa banyak dosa
lagi yang akan ditanggung.
Fungsi Spiritual
Mulai hari ini akan berhenti Kegiatan spiritual tidak akan
menjadi pemburu.
pernah lepas dari kehidupan
Kutipan di atas mengandung masyarakat karena itu merupakan
amanat bahwa kita sebagai makhluk salah satu kepercayaan Tuhan Yang
ciptaan tuhan hendaknya saling Maha Esa. Salah satunya yaitu
menghargai dan menyayangi semua masyarakat Hindu di Bali sangat
ciptaan Tuhan seperti binatang dan kental dengan kegiatan spiritual dan
jangan membunuh. Perbuatan hampir setiap hari dipenuhi dengan
membunuh itu merupakan perbuatan kegiatan spiritual. Salah satu kegiatan
yang tidak baik dan dilarang oleh spiritual yang datang setiap 6 bulan
ajaran agama. sekali yang dijalankan oleh
masyarakat Bali yaitu hari suci
Fungsi Satua I Lubdaka
Siwalatri.
Fungsi sebuah teks adalah
keseluruhan sifat yang bersama-sama
menuju tujuan yang sama serta
bagaimana dampaknya. Fungsi dapat

208
DOI: 10.5281/zenodo.5741142

Stilistika Volume 10, Nomor 1, November 2021 ISSN P 2089-8460


ISSN E 2621-3338

Fungsi Sebagai Pertimbangan Sehingga, roh Lubdaka berhak


mendapatkan pengampunan.
Bertingkah Laku Akhirnya, roh Lubdaka dibawa
Karya sastra berfungsi ke Siwa Loka.

sebagai pertimbangan bertingkah Kutipan di atas


laku. Tingkah laku ialah sekumpulan memperlihatkan sikap bijaksana dan
tingkah laku yang menonjolkan dan baik dari Ida Sang Hyang Siwa ketika
dipengaruhi oleh budaya, sikap, roh Lubdaka hendak dibawa ke
emosi nilai, etika, autoriti, hubungan Neraka. Dewa Siwapun
baik, hypnosis, pujukan, paksaan, dan mencegahnya, walaupun dewa Siwa
genetik. Fungsi sebagai pertimbangan mengetahui perbuatan Lubdaka
bertingkah laku dalam satua I semasa hidupnya sebagai pemburu
Lubdaka tercermin dalam kutipan dan patut mendapatkan hukuman.
berikut.
Atman I Lubdaka nuju ka kawah Fungsi Sebagai Pendidikan Moral
Candra Gohmuka, di tengah Moralitas adalah istilah
pajalan sagét teka Surapsaran
Ida Batara Siwané liu pesan manusia menyebut ke manusia atau
mélanin atman I Lubdakané.
Tuah saja I Lubdaka masolah orang lainnya dalam tindakan yang
himsa karma nanging nuju memiliki nilai positif. Manusia yang
panglong ping patbelas tilem
sasih kapitu, ipun sampun tidak memiliki moral disebut amoral
ngelar brata kanggén ngelebur
artinya tidak bermoral dan tidak
dosané makasami. Pamuputné
maan koné ia genah luih di memiliki nilai positif di mata manusia
swargaloka ulian sasubané ia
majagra ngiringang payogan lainnya. Satua I Lubdaka fungsi sebagai
Ida Batara Siwa”. (Suwija, pendidikan moral. Hal ini dapat dilihat
2019: 83-86)
Terjemahan: pada kutipan berikut.
Roh Lubdaka harus dibawa ke Ada koné juru boros, madan I
neraka. Ini disebabkan, semasa Lubdaka. Liatné salap, ngraos
ia hidup, ia kerap membunuh banggras, tur setata dengkak-
binatang. Namun Dewa Siwa dengkik. Solah ngapak-apak,
berkata lain, Beliau mengatakan nyapa-kadi-aku. Abedik sing
bahwa, walaupun Lubdaka ja ngelah rasa welas asih,
kerap membunuh binatang, tapi morosin kidang, bojog,
pada suatu malam di malam irengan, muah ané lénan.
Siwaratri, Lubdaka begadang (Suwija, 2019: 81)
semalam suntuk dan sudah Terjemahan
menyesali dosa-dosanya yang Di ceritakan ada seorang
diperbuat di masa lalu. pemburu bernama Lubdaka,

209
DOI: 10.5281/zenodo.5741142

Stilistika Volume 10, Nomor 1, November 2021 ISSN P 2089-8460


ISSN E 2621-3338

yang memiliki sifat keras, digunakan oleh para orang tua untuk
ketika berbicara pun selalu
dengan nada yang tinggi dan ia menidurkan anaknya dan
selalu merasa bahwa ia seorang dipergunakan sebagai media
yang paling pintar. Sedikit pun
tidak memiliki rasa belas komunikasi antara orang tua dan
kasihan terhadap hewan yang ia
bunuh seperti kijang, monyet, anak.
dan hewan lainnya”.
Fungsi Sebagai Didaktis
Kutipan di atas
(Mendidik)
menggambarkan seseorang yang
Fungsi didaktis (mendidik)
memiliki sifat sombong, keras, tidak
pada satua I Lubdaka, dimana pada
sopan, dan tidak memiliki rasa belas
satua ini mengajarkan dan mendidik
kasihan terhadap binatang tentu saja
agar bisa menyayangi makhluk
hal ini benar-benar mencerminkan
ciptaan Tuhan, tidak seenaknya
sikap yang tidak baik.
membunuh binatang yang tidak

Fungsi Sebagai Hiburan berdosa terkecuali untuk

Satua I Lubdaka sebgai salah dipersembahkan untuk beryadnya.

satu bentuk karya satra Bali Hal tersebut dapat dilihat pada

tradisional memiliki selain memiliki kutipan berikut.

nilai budaya dan moral juga memiliki Akéto satuan I Lubdakané ané
laadné liu malaksana pelih,
fungsi sebagai media hiburan. dadi juru boros, mamati-mati
soroh buron tan padosa,
Suharso & Retnoningsih (2017: 168) pamuputné maan koné ia genah
menyatakan bahwa hiburan adalah luih di swargaloka ulian
sasubané ia majagra
suatu hal yang menyenangkan dan ngiringang Ida Batara Siwa”
(Suwija 2019: 86)
dapat menyejukan hati yang susah Terjemahan:
dan lara. Unsur hiburan dalam satua Begitulah cerita si Lubdaka
yang sebelumnya melakukan
I Lubdaka dapat pula terlihat pada perbuatan sebagai pemburu
yang memburu binatang tidak
saat apa satu itu dituturkan. Biasanya
dosa. Pada akhirnya Lubdaka
penturan satua memilih waktu saat mendapatkan tempat yang baik
di Surga karena ia menjalankan
senggang sesusah orang melakukan yoga semadi majagra yang
aktivitas atau bekerja seperti pada bertepatkan dengan malam
Siwaratri (malam dewa Siwa).
malam hari. Pada zaman dulu satua

210
DOI: 10.5281/zenodo.5741142

Stilistika Volume 10, Nomor 1, November 2021 ISSN P 2089-8460


ISSN E 2621-3338

Makna Satua I Lubdaka Sangkaning jagra utawi


magadang manira ngajahin
Semiotik merupakan bahasa jadmané mangda éling ring
yang mencerminkan bahasa sastra angga. Patut majagra nemonin
Panglong Patbelas, Tileming
yang estetis, sistematis dan memiliki Sasih Kapitu. Sedeng becik
daweg punika, manira
pluralita makna ketika dibaca oleh ngelarang yoga samadi,
pembaca dalam memberi pemahaman mawinan duk punika kaucap
rahina Siwartri.(Suwija, 2019:
terhadap teks karya sastra. Makna 81& 84)
Terjemahan:
yang terkandung di dalam satua I Dengan begadang saya
Lubdaka dapat dilihat dari makna mengajarkan manusi agar
ingat dengan dirinya.
religius, makna filosofi, makna kasih Sangatlah baik jika begadang
ketika Panglong Patbelas,
sayang, makna pengendalian diri, dan
Tileming Sasih Kapitu.
makna didaktis sebagai berikut. Sangatlah baik karena ketika
itu saya (Dewa Siwa)
melakukan tapa brata karena
Makna Religius saat itu bertepatan dengan hari
Siwaratri.
Dalam cerita satua I Lubdaka
terdapat makna religius. Makna
Makna Filosofi
religius bergayut dengan kepercayaan
Secara filosofi makna dari
atau keyakinan terhadap Hyang Siwa
cerita I Lubdaka sebagai perenungan.
yang merupakan manifestasi Tuhan
Panglong ping partbelas, tilem sasih
sebagai pencipta alam semesta.
kapitu memiliki arti sehari sebelum
Makna religius ini berkaitan pula
bulan mati pada bulan “Magha”
dengan hari suci Siwaratri yang jatuh
(kepitu) yaitu malam yang paling
pada hari Panglong Patbelas,
gelap di dalam satu tahun. Dengan
Tileming Sasih Kapitu yang dipahami
demikian, secara interpretative
sebagai pemujaan Hyang Siwa di
menunjukkan bahwa adanya
mana umat Hindu ketika malam
pelukisan mengenai “pertobatan”
Siwaratri melakukan
pada puncak perilaku yang paling
persembahyangan. Hal ini dapat
kuat. Hal ini dapat dilihat pada
dilihat pada kutipan berikut.
kutipan berikut.

211
DOI: 10.5281/zenodo.5741142

Stilistika Volume 10, Nomor 1, November 2021 ISSN P 2089-8460


ISSN E 2621-3338

Ngancan mekelo, ngancan liu Kutipan di atas


rasanga tingkahnyané tan
patut, nuju ia maboros di alasé, menggambarkan bagaimana setelah
tuah ngeranang sangsaran i membayangkan dan
buron. Uli jani lakar suud
nyemak geginan maboros”. mengingat perbuatan yang dilakukan
Kéto kenehné I Lubdaka
petengé ento”. (Suwija, 2019: terasa sangat merugikan dan
81-82) membuat binatang sengsara.
Terjemahan
Lubdaka mulai menyesali
segala perbuatan jahat yang Makna Pengendalian Diri
pernah dilakukan sepanjang
hidupnya, baik yang disengaja Pada satua I Lubdaka terdapat
maupun tidak disengaja. Di atas makna untuk mengendalikan diri
pohon bila itu, hatinya bertekad
untuk berhenti bekerja sebagai dengan begadang/majagra, begadang
pemburu.
pada satua Lubdaka berarti berjaga.

Makna Kasih Sayang Dapat dilihat pada kutipan berikut.


I manusa sujatiné damuh sané
Dalam satua I Lubdaka
sering lali. Lali ring angga, lali
terdapat makna kasih sayang terhadap ring kawitan. Antuk laliné
mangliput, sering ipun paling,
binatang, karena binatang juga sama mawastu sering maparisolah
seperti manusia memiliki hak untuk dursila. Sangkaning jagra
utawi magadang manira
hidup. Hal ini dapat dilihat pada ngajahin jadmané mangda
eling ring angga. Sasih Kapitu.
kutipan berikut. Nglantur Ida Sang Hyang Siwa
Ditu koné marawat-rawat, I nlatarang (Suwija, 2019, 84)
Kidang ané katumbak, Terjemahan:
maplisahan ngelur di tanahé, Manusia sebenarnya mahkluk
naanang sakit. Panaké ngeling yang paling sering lupa. Lupa
jerit-jerit ban inané mati. dengan diri, lupa dengan tempat
Sawat-sawat dingeha, pacruet ia lahir. Karena terlalu banyak
eling panak bojogé, sawiréh yang dilupakan maka dari itu
inané kena tumbak. (Suwija, berprilaku buruk. Dengan
2019: 81-82) begadanglah diajarkan agar
Terjemahan manusia ingat dengan dirinya.
Disana ia terbayang-bayang,
Kijang yang tertembak,
tergelatak di tanah, menahan 4. PENUTUP
sakit. Anaknya menangis jerit-
jerit karena ibunya mati. Simpulan
Samar-samar di dengarnya, Satua I Lubdaka sebagai salah
begitupun anak monyet yang
menangis karena ibunya juga satu bentuk karya sastra prosa
tertembak.
memiliki struktur yang khas yang

212
DOI: 10.5281/zenodo.5741142

Stilistika Volume 10, Nomor 1, November 2021 ISSN P 2089-8460


ISSN E 2621-3338

didukung oleh unsur intrinsik. Unsur meningkatkan penelitian di bidang


intrinsik pasa satua I Lubdaka ini sastra, khususnya satua I Lubdaka,
yaitu: tema, penokohan, latar/setting, secara lebih mendalam dengan kajian
alur, dan amanat. Fungsi yang analisis yang berbeda.
terkandung pada satua I Lubdaka Saran kepada pembaca karya
yaitu: Fungsi Spiritual sebagai sastra, sebaiknya mengambil nilai-
Kegiatan spiritual tidak akan pernah nilai positif yang terdapat di dalam
lepas dari kehidupan masyarakat karya sastra yang telah di bacanya.
karena itu merupakan salah satu Pembaca juga di harapkan
kepercayaan Tuhan Yang Maha Esa. mengetahui dan memahami unsur
Fungsi sebagai hiburan terhadap struktur, fungsi, dan makna dalam
masyarakat yang biasnya dilakukan satua I Lubdaka.
pada malam hari. Fungsi sebagai Saran kepada sastrawan, hasil
pertimbangan tingkah laku. Fungsi penelitian ini dapat dijadikan umpan
sebagai pendidikan moral, dan Fungsi balik dalam menciptakan karya sastra
didaktis (mendidik) pada satua I berikutnya, dengan demikian karya
Lubdaka, dimana pada satua ini sastra yang dihasilkan sastrawan akan
mengajarkan dan mendidik agar bisa inspiratif dan berkualitas.
menyayangi makhluk ciptaan Tuhan.
Makna yang tersirat dalam satua I REFERENSI

Lubdaka yaitu: makna religius, Aminuddin. 2015. Pengantar


makna, makna filosofi, dan makna Apresiasi Karya Sastra.
Bandung: Sinar Baru
kasih sayang, makna pengendalian Algensindo.
diri.
Antara. 2009.Prosa Fiksi Bali
Tradisional.Denpasar: Balai
Saran Bahasa Denpasar.
Saran untuk peneliti lain,
Asri. Kadek. 2016. “Satua I Truna
dapat mengembangkan penelitian ini Asibak Tua Asibak Analisis
dari aspek atau sudut pandang yang Struktur, Fungsi,
dan Nilai”. Skripsi (tidak
berbeda. Oleh karena itu, penelitian diterbitkan). Program Studi
lain sebaliknya dapat terus Sastra Bali, Fakultas Ilmu

213
DOI: 10.5281/zenodo.5741142

Stilistika Volume 10, Nomor 1, November 2021 ISSN P 2089-8460


ISSN E 2621-3338

Budaya, Universitas Cerita Rakyat Bali: Analisis


Udayana. Struktur dan Fungsi”. Skripsi
Endraswara, Suwardi. 2013. (tidak diterbitkan). Program
Sosiologi Sastra. Studi Sastra Bali, Fakultas
Yogyakarta: Ombak. Ilmu Budaya, Universitas
Udayana.
Febriadiana. 2018. “Teks Satua
Betara Watugunung Dalam

214

Anda mungkin juga menyukai