Anda di halaman 1dari 42

REKAYASA HIDROLOGI

I. PENDAHULUAN
Ilmu Hidrologi adalah ilmu yang mempelajari tentang pergerakan air yang berbasis siklus hidrologi
dalam suatu Daerah Pengaliran Sungai atau Catchment Area dimana curah hujan atau presipitasi
tahunan (Precipitation:P) yang jatuh ke permukaan bumi akan mengalami banyak “kehilangan” atau
(Losses:L) jumlah/volume yang diakibatkan penguapan evapotranspirasi, infiltrasi, perkolasi dan
lainnya sehingga (Run off:R) atau air larian akan mengalir sebagai debit/banjir (discharge) sungai.
Debit banjir sungai adalah merupakan sumber air yang dikenal sebagai Air Hidrologis (Hydro
Hydrology). Pergerakkan siklus air dalam siklus Hidrologi ini bisa dinyatakan sebagai: (P = L + R)
atau (R = P – L).mm
Sebagaimana diketahui bahwa presipitasi yang jatuh sebagai hujan begitu mengalir diatas permukaan
bumi akan mengakibatkan erosi atas butir~butir tanah sehingga akan nampak bahwa aliran debit
banjir sungai akan berwarna keruh hal ini menunjukan adanya kandungan sedimen yang terbawa
dalam aliran debit banjir tersebut.
Dengan demikian dalam Siklus Hidrologi dimana kita akan memperhitungkan hubungan antara Debit
Banjir Sungai dari Runoff yang terjadi, total jumlah Presipitasi yang berasal dalam bentuk hujan serta
besar Pengangkutan Sedimen yang terjadi akan menjadi materi bahasan dalam Mata Kuliah
Rekayasa Hirologi ini.
Analisis dari ketiga materi pokok tersebut diatas yaitu besaran Total Jumlah Presipitasi yang mengalir
sebagai Volume Runoff ataupun mengalir sebagai Debit Banjir Sungai serta Besaran Sedimen yang
terangkut pada aliran Debit Banjir Sungai akan menjadi bahan kajian dalam rangka Rekayasa
Pengembangan Sumber Daya Air (PSDA) sebagai domain keahlian Teknik Sipil.

1.Rekayasa Hidrologi untuk PSDA


Tujuan utama mempelajari Hidrologi adalah untuk mengetahui besaran debit pengaliran sungai dan
pengangkutan sedimennya yang akan digunakan sebagai komponen utama program Pengembangan
Sumber Daya Air (PSDA) dalam rangka pemanfaatan air untuk keperluan kehidupan manusia, serta
penanggulan daya rusaknya.

1.1.Penyusunan Satuan Wilayah Sungai dalam PSDA


Dilaksanakan dengan mengacu pada tiga criteria pokok yaitu:

a. Hubungan hidrografis, hidrogeografis, hidogeologis yakni kesatuan wilayah pengembangan


SDA berdasarkan kondisi geofisik dan topografi wilayah administrasi.

b. Hubungan administrasi, yaitu menyangkut hubungan yang terjadi kerena wewenang yang
timbul dari hak pengusaan negara atas wilayah sungai.

c. Hubungan perencanaan, yakni hubungan yang terjadi akibat kebututhan koordinasi dan
integrasi perencanaan dalam wilayah sungai yang bersangkutan.
Untuk pengelolaan SDA perlu dilakukan dengan berbagai upaya antara lain dengan:

1.2..Pemanfatan SDA dengan Pola Pendekatan Hemat Air

Pemanfaatan SDA secara keseluruhan di Indonesia baru sekitar 1% dari jumlah air terbarui sacara
keseluruhan, dengan beberapa wilayah sungai tertentu sudah melampui tingkat kekritisan
keseimbangan antara penyediaan dan perminataan air, lebih-lebih pada musim kemarau. Kekritisan
yang terjadi bukan hanya menyangkut jumlah air yang tersedia akan tetapi juga menyangkut kualitas
SDA sebagai akibat pencemaran yang tak terkendali. Salah satu upaya untuk menanggulangi masalah
ini adalah dengan meningkatkan efisiensi melalui pertimbangan cermat antara kebutuhan (demand)
dan ketersediaan (supply) air melalui pendekatan hemat air dalam semua proses pengembangan SDA,
baik ditinjau dari Strategi, Policy Statement, Teknologi, Kelembagaan, Pengelolaan maupun segi
Partisipasi seluruh lapisan masyarakat.

Hasil pendataan: Jumlah SDA di Indonesia diperkirakan sekitar 2.530 km3. yang terpakai sekitar 1%
atau 96 m3/kapita/tahun, terdiri dari a.76 (73 m3/kapita/tahun) untuk pertanian, b. 13 % (12,50
m3/kapita/thun) untuk keperluan domestik c. 11% ( 10,50 m3/kapita/tahun) untuk air baku industri.

Dari pemakaian untuk irigasi ada 25% air terbuang lewat saluran drainase. Sedang dari hasil
penelitian menyatakan bahwa efisiensi irigasi masih berkisar 25% - 35%, disini menunjukan bahwa
ada lebih dari 65% merupakan pemborosan,yang perlu ada langkah-langkah penghematan.

1.3.Pemetaan Sumber Daya Air::


Sumber Daya Air meliputi potensi air berasal dari air hujan, air permukaan dan air tanah, ini harus
disajikan dalam bentuk peta yang mencantumkan secara jelas batas Daerah Pengaliran Sungai (DPS)
maupun SUB DPS nya, serta batas Areal Cekungan Air Tanah (CAT) nya.
1. Mencantumkan rata-rata besaran aliran mingguan, debit pengaliran dengan kala ulang
tertentu serta potensi debit air tanah, data kualitas, kandungan mineral, microbiologi dll.
2 .Mencantumkan jumlah kebutuhan alokasi air untuk pengairan, kebutuhan domestik, industri,
serta peruntukan lainnya.

3. Mencantumkan potensi pemanfaatan sumber daya air yang bisa dilakukan dengan rincian
jenis-jenis potensi pemanfaatannya berikut pertimbangan ekonomisnya, untuk proyeksi
kedepan.

Proses pemetaan tersebut diatas perlu keterlibatan semua pihak ( stake holders) yang terkait dengan
pemanfataan SDA dalam satu wilayah atau antar wilayah yang berdekatan. Harus diingat pula bahwa
potensi SDA juga dimungkinkan untuk dikembangkan sebagai usaha bisnis pengelolaan air apabila
hal ini memungkinkan.

1.4. Menerapakan Pola Kebijaksanaan “Terintegrasi dan Berkelanjutan”

Kebijaksanaan Pengembangan dan Pengelolaan Sumber Daya Air dilaksanakan dengan


TERINTEGRASI (menampung semua kepentingan stake holders) yang bertujuan agar
QUANTITAS maupun QUALITAS AIR seimbang dengan KEMAMPUAN DAYA DUKUNG
lingkungan terhadap KEBUTUHAN PENINGKATAN PEMBANGUNAN di saat-saat yang akan
datang (BERKELANJUTAN).

Pengembangan SDA akan dilakukan dengan mempertimbangkan upaya pembangunan, pengelolaan,


dan pengamanan sumberdaya air dalam DPS (wilayah sungai) maupun CAT, yang memberikan
manfaat yang sebesar-besarnya bagi negara dan masyarakat. Hal tersebut mencakup hal-hal teknis
fisik, non structural, non fisik yang semuanya berujung pada upaya pemanfaatan semaksimal
mungkin. Sebagai misal air baku yang kualitasnya rendah bisa diupayakan dengan pengolahan
tertentu agar bisa tetap dimanfaatkan. Pengisian waduk, embung, tandon air, waduk muara agar bisa
mendapatkan air baku yang bisa dimanfaatkan pada saat diperlukan. dll.

Penjabaran:

Untuk merealisir Pembangunan SDA perlu dilakukan koordinasi dengan penekanan analisis terhadap
apa yang dimaksudkan dengan hal-hal tersebut diatas, a.l.:

1. KEBUTUHAN AIR (quantitas) : diambil contoh yang paling dominan adalah kebutuhan-
kebutuhan air: domestik oleh PDAM, irigasi oleh DINAS PU, industri oleh DINAS
PERINDUSTRIAN, sanitasi oleh DINAS PU KOTA,dan kebutuhan lain dengan acuan yang
telah ada akan BISA DIHITUNG untuk proyeksi kebutuhan dimasa sekarang dan yang akan
datang (berkelanjutan). Disini KETERPADUAN (terintegrasi) antar INSTANSI akan
dilakukan.

2. KEMAMPUAN DAYA DUKUNG (potencially water availability): akan diinventarisir dan


DIPERHITUNGKAN dengan dilakukan studi oleh tenaga experts atas potensi-potensi yang
ada. Studi akan dilakukan dengan suatu PERENCANAAN dan PENGELOLAAN SDA yang
memadai, berdasarkan potensi ketersediaan air diatas permukaan maupun air tanah dengan
menggunakan kaidah-kaidah civil engineering Untuk itu diperlukan tenaga ahli yang handal.

3. IMPLEMENTASI: Untuk mewujudkan PERENCANAAN yang matang akan direncanakan


desain fisik maupun non fisik yang berujung pada upaya pemanfaatan maksimal.
PELAKSANAAN dengan ketepatan teknologi konstruksi serta menjaga kualitas konstruksi
sehingga konstruksi bangunan akan bisa berfungsi dalam jangka waktu lama.
PENGAWASAN pelaksanaan semua jenis pekerjaan akan dilakukan dengan ketat dan
akuntabel agar semua fungsi kepentingan akan bisa terpenuhi.

4. STRUKTUR FISIK: adalah semua bangunan dengan semua fasilitasnya (bendungan,


waduk,embung, sumur dalam dan fasilitas pemompaan, check dam/sediment control ,dll)
yang bisa mendukung ketersediaan sumber air. Hal ini adalah domain displin civil
engineering.
5. STRUKTUR NON FISIK: merupakan segala upaya untuk mengajak semua pihak (multi
stake holder) bisa mengerti dan memahami akan arti penting Pengembangan dan Pengelolaan
SDA sehingga bisa ikut berpatisipasi dalam mewujudkan program tersebut (sosialisasi -
penyuluhan, brosur, ajakan prokasih, pengumuman, permusyawarahan, semua tentang
konservasi SDA)

1.5. Sumber-sumber air, pendayagunaan air

Sumber-sumber air, akan dibedakan berasal sebagai, sumber air:

1. Hidrologis: Air yang bersumber dari proses siklus curah hujan dalam jumlah yang “terbatas”,
perlu penampungan/waduk.

2. Hidrogeografis: Air yang bersumber dari air yang ada diatas permukaan tanah, air danau-
rawa lebih terjamin keberadaannya, perlu pengolahan, perlu jaringan distribusi

3 .Hidrogeologis: Air yang bersumebr dari cekungan air didalam tanah perlu ahli hidrogeologi,
tidak gampang investigasinya, perlu eksplorasi.
Ketiga sumber air tersebut menjadi acuan dalam Pengembangan dan Pengelolaan SDA secara
Terpadu dan Berkelanjutan.

Dari ketiga sumber air tersebut diatas,sebagai materi ajar PSDA utamanya akan dibahas sumber
air yang berasal dari Hidrologis. Sedang untuk sumber air Hidrogeografis dan Hidrogeologis tidak
akan dibahas secara teknis.Namun tidak tertutup kemungkinan dari kedua sumber air dimaksud
akan dimanfaatkan sebagai bagian dari sumber air PSDA.

1.6. Curah hujan, pengaliran sungai dalam PSDA


Sumber air Hidrologis yang akan dimanfaatkan dalam PSDA adalah datang sebagai curah
hujan, yang jatuh kepermukaan bumi, mengalir diatas permukaan bumi sebagai run off-meresap
(infiltrasi), menerobos(perkolasi) masuk kedalam perut bumi-sebagian akan menguap
(evaporasi) sebagai uap air, menguap melalui dedaunan (evapo-transporasi), dll. Run off, dalam
perjalanannya diatas permukaan bumi akan mengakibatkan erosi, mengangkut sedimen lepas,
dan mengendapkan sedimen disepanjang alur pengalirannya (sepanjang sistim sungai) (30%),
serta membawa sebagian besar (70%) sedimen mengalir masuk ke muara sungai / ke laut.
Keberadaan massa air Hidrologis dengan jumlah dan proses yang terjadi ini serta mekanisme
pergerakan air dan sedimen yang terangkut oleh run off ini akan menjadi pokok persoalan
bagaimana PSDA akan dikelola, untuk bisa dimanfaatkan secara positif (dengan membangun
bangunan PSDA) serta dikendalikan daya rusak negatifnya bagi manusia dan lingkungan
(dengan Program Pengendalian Banjir).

1.7. Bangunan fasilitas penunjang untuk fungsi pemanfatan

Untuk keperluan pemanfaatan air guna kepentingan kehidupan yang dalam ini antara lain adalah
untuk kebutuhan Irigasi, PLTA, Air Baku, Perikanan, Wisata, Penggelontoran Kota, dll. Serta
keperluan untuk penanggulangan banjir dengan segala aspeknya, maka akan diperlukan
bangunan-bangunan fasilitas sesuai dengan kebutuhannya. Untuk pemanfaatan PSDA terutama
adalah perlu dibangunnya Bendungan dan Waduk sebagai penampung air hujan agar bisa
berpotensi untuk diberdaya-gunakan, serta bangunan prasarana dan sarana Program Pengendalian
Banjir yang antara lain adalah Bangunan Persungaian (Tanggul, Parapet, Retaining Wall, Check-
Dam, dll), Retension Basin, Retarding Basin, Floodway, Short-Cut, Side Spillway, dll, semuanya
akan dibuat berdasarkan kebutuhan lapangan.
Untuk proses Perancangan Bangunan sebagaimana yang disebut diatas dieprlukan data Debit
Banjir Sungai dengan kala ulang tertentu yang akan dipakai untuk Analisis Design
komponen`komponen bangunan dimaksud.
Sebagai contoh, dalam perancangan:
 Untuk Pernacangan Bangunan Diversion Tunnel suatu Bendungan: akan diperlukan Debit
Banjir dengan kala ulang 5 tahunan (Q5)
 Untuk Perancangan Bangunan Spillway suatu Bendungan, akan diperlukan Debit Banjir
dengan kala ulang: (100, 200 atau lebih) tahunan. (Q100, Q200, Qpm).
 Untuk Perancangan Dimensi Sungai atau Tanggul Banjir Sungai dll, akan diperlukan
Debit Banjir sesuai dengan kapasitas dimensi sungai yang dibutuhkan. Dll.
Oleh sebab itu Analisis Debit Banjir yang akan dilakukan dengan menggunakan kaidah Hidrologi
sangat diperlukan bagi seorang ahli Teknik Sipil Hidro.

1.8. Sumber Daya Air dan Sumber Dana yang semakin terbatas

Harus diakui bahwa untuk Program Pembangunan PSDA butuh dana yang tidak sedikit.
Sedangkan untuk saat ini sumber dana untuk PSDA dirasakan sangat terbatas. Namun hal ini
tidak boleh menjadikan usaha PSDA akan surut atau tidak ada sama sekali, karena harus disadari
kehidupan manusia tidak akan bisa lepas dari kebutuhan air, dan tidak akan bisa lepas dari
ancaman bahaya banjir. Salah satu penyebab terkendalanya Pembangunan PSDA adalah belum
banyaknya tenaga yang benar-benar kompenten atas PSDA, terutama pada level pengambil
kebijakan pembangunan PSDA.
II. “RIVERINE DESIGN DISCHARGE ANALYSIS”
BERBASIS SIKLUS HIDROLOGI
2.1.Pengertian
Analisis Debit banjir yang mengalir pada suatu sungai dengan sumber air yang
berasal dari curah hujan dari Daerah Pengaliran Sungai (DPS) yang bersangkutan
disebut sebagai “Riverrine Discharge Analysis” atau sering dikenal sebagai debit
banjir kiriman.
Hal ini untuk membedakan dengan debit banjir yang masuk ke suatu sungai dengan
sumber air yang berasal dari Areal atau Daerah yang relative datar dan terbatas,
sebagaimana dilingkungan perkotaan atau lainnya, atau yang sering dikenal sebagai
debit banjir lokal.
2..2.Pokok Bahasan Hidrologi :
2.2.1.Pengertian DPS

Keterangan:
A = Collecting Sub-system
B = Transporting Sub-system
C = Dispersal Sub-system
1 = Parit/selokan
2 = Sungai-sungai kecil
3 = Sungai utama

hujan

Punggung bukit Punggung


(batas DAS) bukit
(batas DAS)
sungai

Penampang A-A

River System bermakna bahwa One River (system) terdiri dari:

1. Collecting sub system or Catchment Area; dikelola dengan Watershed Management


2. Transporting sub system or river as phisical : dikelola dengan konsep River Engineering
3. Dispersal sub system or river mouth: dikelola dengan konsep Coastal Engineering
2.2.2.Curah Hujan yang harus dicatat sepanjang tahun

Data curah hujan akan diambil oleh Dinas terkait (Dinas PSDA), dengan lokasi pengambilan data
adalah pada titik-titik pengambilan yang strategis dan merepresentasikan Daerah Pengaliran
Sungai. Strategis dimaksudkan adalah mempunyai akses yang mudah untuk dipetik datanya setiap
waktu oleh petugas, serta diperhitungkan sebagai representasi titik-titik dari DPS suatu sistim
sungai. Data akan diambil setiap hari (pada musim hujan), dan tercatat dengan benar sepanjang
tahun pengamatan. Pengabilan data akan dilaksanakan terus-menerus sepanjang tahun oleh
petugas Dinas PSDA sebagain kewajiban dinasnya.
(Sangat disayangkan bahwa pada kenyataan yang ada untuk saat-saat ini pengambilan data curah
hujan ini tidak lagi menjadi aktivitas rutin Dinas PSDA - inilah salah satu contoh tidak adanya
kompentensi dari Pejabat Pengelola PSDA )

2.2.3.Stasiun Pengukur curah hujan yang tersebar dalam kawasan DPS


Masing-masing sungai diwilayah kerja DinasPSDA akan mempunyai peta DPS yang
bersangkutan, dan pada DPS akan dirancang lokasi Stasiun-Satsiun Pengukur curah hujan
langkap dengan petugas pengambil data.
2.2.3.1.Siklus Hidrologi
Siklus hidrologi (hydrologic cycle) merupakan proses kontinyu dimana air bergerak dari bumi
ke atmosfer kemudian kembali ke bumi lagi. Keseluruhan jumlah air di bumi relatif tetap dari
masa ke masa. Selama daur hidrologi, air hujan akan tertahan (sementara) di sungai, danau atau
waduk dan di dalam tanah (Asdak, 2004; Suripin, 2004 dan Triatmodjo, 2010).
Dalam siklus hidrologi, air laut yang menguap akibat panas matahari akan terdorong oleh angin
musim dan menuju ke arah daratan dan mengalami sublimasi (perubahan uap air menjadi butir-
butir air) pada saat mencapai ketinggian tertentu. Air akan turun ke bumi sebagai presipitasi
(curah hujan), kemudian mengalami evaporasi (penguapan), transpirasi (menguap melalui
pepohonan), infiltrasi (meresap ke tanah) dan perkolasi (langsung masuk ke bumi). Sebagian air
hujan akan tertahan di permukaan bumi dan sebagaian besar akan mengalir di atas permukaan
bumi sebagai hujan larian (runoff).
Gambar 2.2 Siklus Hidrologi
(Sumber: Schultz, 2013)
Perkiraan secara kuantitatif dari siklus hidrologi dapat dinyatakan berdasarkan prinsip
konservasi massa yang dikenal dengan persamaan neraca air. Persamaan ini menggambarkan
dalam suatu hidrologi (DAS, waduk, danau, aliran permukaan) dapat dievaluasi air yang masuk
dan keluar dalam periode waktu tertentu.
∆S
P+Q i +G i−E−T −Q o−G o− =0 .....................................................(2.1)
∆t
Dimana,

P = Presipitasi
Qi, Qo = Debit aliran masuk dan keluar
Gi, Go = Aliran air tanah masuk dan keluar
E = Evaporasi
T = Evapotranspirasi
ΔS = Perubahan volume tampungan untuk selang waktu Δt
2.2.3.2.Presipitasi
Presipitasi merupakan segala bentuk air (hujan, salju, es maupun embun) yang turun dari
atmosfer menuju ke bumi. Untuk Indonesia sebagai negara beriklim tropis, yang paling dominan
adalah hujan. Selain hujan sangat kecil bahkan hampir tidak ada sama sekali, oleh sebab itu
presipitasi sering diidentikkan dengan hujan (Fachruddin, 1997). Hujan berasal dari uap di
atmosfer, sehingga bentuk dan jumlahnya dipengaruhi oleh faktor klimatologi (angin, temperatur
dan tekanan atmosfer). Uap air naik ke atmosfer dan mendingin, kemudian terjadi kondensasi
menjadi butir-butir air dan kristal es yang jatuh menjadi hujan (Triatmodjo, 2010).
Hujan adalah bentuk tetesan air yang mempunyai garis tengah lebih dari 0,50 mm atau lebih
kecil dan terhambur luas pada suatu kawasan. Hujan merupakan salah satu faktor yang
menentukan laju sedimen sebuah sungai. Biasanya dinyatakan oleh jumlah curah hujan dalam
suatu satuan waktu dan disebut intensitas curah hujan (Sentani, dkk., 2009).
Besaran dari presipitasi atau hujan biasanya dinyatakan dalam beberapa istilah seperti intensitas
hujan (rainfall intensity) dan jumlah hujan atau tinggi hujan (rainfall depth). Intensitas hujan
merupakan jumlah curah hujan per satuan waktu (mm/jam atau mm/hari) yang menunjukkan
derajat derasnya hujan dan diberi notasi i. Sedangkan rainfall depth adalah jumlah curah hujan
dalam suatu periode tertentu, dengan notasi P, misal hujan tahunan dinyatakan dalam mm/tahun
(Fachruddin, 1997). Sosrodarsono dan Takeda (1985) mengemukakan penggolongan hujan dan
intensitasnya serta ukuran butir hujan, massa dan kecepatan jatuh butir hujan.
Tabel 2.1 Keadaan dan Intensitas Curah Hujan
Intensitas Curah Hujan (mm)
Keadaan Curah Hujan
1 Jam 24 Jam
Hujan Sangat Ringan <1 <5
Hujan Ringan 1-5 5-20
Hujan Normal 5-20 20-50
Hujan Lebat 10-20 50-100
Hujan Sangat Lebat > 20 > 100
Sumber : Sosrodarsono dan Takeda, 1985
Tabel 2.2 Ukuran, Massa dan Kecepatan Jatuh Butir Hujan
Diameter Bola Massa Kecepatan Jatuh
Jenis
(mm) (mg) (m/sec)
Hujan Gerimis 0,15 0,002 0,5
4
Hujan Halus 0,5 0,065 2,1
Hujan Normal (Lemah) 1 0,52 4,0
Hujan Normal (Deras) 2 4,2 6,5
Hujan Sangat Deras 3 14 8,1
Sumber : Sosrodarsono dan Takeda, 1985

2.3.Pengertian curah hujan harian terbesar tahunan


Dari suatu DPS sungai tertentu, dengan stasiun-stasiun pengukur curah hujan yang ada
didalamnya, dan dengan data curah hujan harian terbesar tahunan akan dipakai untuk
memperhitungkan besaran CURAH HUJAN HARIAN REPRESENTATIF untuk setiap stasiun
pengukur curah hujan ybs. Untuk proses analisis hal tersebut diatas akan bisa digunakan Metode
Polygoon Thiessen.
2.3.1.Analisis Hidrologi
Faktor-faktor hidrologi yang sangat berpengaruh terhadap terjadinya erosi lahan adala hujan rata-
rata, intensitas hujan dan debit banjir. Setelah diketahui besar curah hujan, maka besar intensitas
hujan dapat dipakai untuk menghitung debit banjir pada suatu daerah (Susantiyo, dkk., 2008).
Debit air sungai tergantung pada curah hujan dan kualitas ruang hidrologi (Wibowo, 2005).
Debit maksimum rencana pada suatu periode bervariasi berdasarkan panjang sungai dan luas
daerah tangkapan (Pertiwi, dkk., 2011).

2.3.2.Curah Hujan
Curah hujan adalah jumlah air yang jatuh di permukaan tanah datar selama periode tertentu
yang diukur dengan satuan tinggi (mm) di atas permukaan horisontal sebelum terjadi evaporasi,
runoff dan infiltrasi (Andrie, 2012). Pengukuran curah hujan dapat dilakukan pada stasiun
pengukur curah hujan.

2.3.2.1.Stasiun Pengukur Curah Hujan


Stasiun pengukur curah hujan merupakan tempat yang digunakan untuk mengukur curah hujan.
Masing-masing sistem sungai diperlukan stasiun pengukur curah hujan, yang ditempatkan pada
areal DAS yang bersangkutan, dengan pemilihan tempat dan lokasi stasiun pengukur curah
hujan yang cukup strategis dalam arti cukup representative berada di dalam kawasan DAS serta
gampang untuk dikelola oleh petugas yang akan selalu mencatat data curah hujan yang terjadi
sepanjang tahun.

2.3.2.2.Pengambilan Data Curah Hujan


Data curah hujan akan diambil oleh Insttansi terkait (Badan Meteorolgi Klimatologi dan
Geofisika), dengan lokasi pengambilan data adalah stasiun pada tiap sistem sungai. Data akan
diambil setiap hari (pada musim hujan), dan tercatat dengan benar sepanjang tahun
pengamatan. Pengambilan data akan dilaksanakan terus-menerus sepanjang tahun oleh petugas
Badan Meteorolgi Klimatologi dan Geofisika sebagai kewajiban dinasnya.

2.3.2.3.Analisa Tinggi Curah Hujan dengan Metode Thiessen


Dengan menggunakan data curah hujan harian terbesar tahunan, peta DPS dengan lokasi stasiun
pengukur curah hujan yang merepresentasikan DPS ybs akan bisa dianalisis dan didapatkan
CURAH HUJAN HARIAN REPRESENTATIF yang mewakili kontribusi dari masing—masing
stasiun pengukur curah hujan ybs.
Data curah hujan harian terbesar tahunan dapat digunakan untuk menentukan tinggi curah hujan
terbesar tahunan. Kebanyakan peneliti menggunakan Metode Poligon Thiessen dalam
penelitiannya untuk menghitung curah hujan rata-rata di suatu wilayah.
Metode ini dilakukan dengan menarik garis-garis sumbu pada garis-garis yang menghubungkan
antara dua titik lokasi stasiun pengukur yang berdekatan, hingga diperoleh poligon. Dengan
demikian, hujan kawasan dapat diartikan jumlah hasil kali luas poligon dan curah hujan dari
pengukuran hujan. Dalam poligon tersebut dibagi dengan luas total ( luas daerah tangkapan A).

Dimana,

= Tinggi Curah Hujan Rata-rata Areal


R1, R2, R3, … Rn = Tinggi Curah Hujan pada Pos Penakar 1, 2, 3, …. n
A1, A2, A3,...An = Luas Daerah Pengaruh pada Pos Penakar 1, 2, 3, … n A =
Luas Areal
Gambar 2.5 Contoh Metode Poligon Thiessen

. Analisis “representative rainfall” dengan methode Thiessen, akan menghasilkan hujan


representatif (X), bagi kawasan DPS ybs
Rumus yang dipakai adalah:
R   “ X TOTAL” = X
n
dimana : R = curah hujan harian maximum tahunan
X=
X =
ANALISIS BOBOT KONTRIBUSI AREAL DPS dengan Metode Poligoon Thiessen:
CONTOH: PERHITUNGAN HUJAN REPRESENTATIF TAHUNAN: dari HUJAN
HARIAN MAXIMUM TAHUNAN TAHUNAN (dengan menggunakan Metode Poligoon
Thiessen).

2.4.Menghitung Probabilitas Curah Hujan Harian Maximum dengan


kala ulang tertentu.

2.4.1.Menghitung Probabilitas Curah Hujan Harian Maximum dengan Kala Ulang Tertentu
Hujan rencana merupakan kemungkinan tinggi hujan yang terjadi dalam periode ulang tertentu
sebagai hasil dari suatu rangkaian analisis hidrologi yang biasa disebut analisis frekuensi .Analisis
frekuensi merupakan prakiraan (forecasting) dalam arti probabilitas untuk terjadinya suatu peristiwa
hidrologi dalam bentuk hujan rencana yang berfungsi sebagai dasar perhitungan perencanaan
hidrologi untuk antisipasi setiap kemungkinan yang akan terjadi. Analisis frekuensi ini dilakukan
dengan menggunakan sebaran kemungkinan teori probability distribution. Menurut Triatmodjo
(2010), ada beberapa bentuk fungsi distribusi kontinyu (teoritis) yang sering digunakan dalam analisis
frekuensi untuk hidrologi, seperti distribusi normal, log normal, Gumbel, Pearson, Log Pearson dan
sebagainya.
Secara sistematis metode analisis frekuensi perhitungan hujan rencana ini dilakukan secara
berurutan sebagai berikut:
1. Parameter statistik
2. Pemilihan jenis sebaran
3. Uji kecocokan sebaran
4. Perhitungan hujan rencana

Berikut ini merupakan penjelasan urutan tahapan untuk menganilsa frekuensi perhitungan hujan
rencana:
1. Parameter Statistik
Parameter yang digunakan dalam perhitungan analisis frekuensi meliputi parameter nilai rata-

rata ( X ), standar deviasi (Sd), koefisien variasi (Cv), koefisien kemiringan (Cs) dan koefisien
kurtosis (Ck). Perhitungan parameter tersebut didasarkan pada data catatan tinggi hujan harian rata-
rata maksimum 15 tahun terakhir.
Untuk memudahkan perhitungan, maka proses analisisnya dilakukan secara matriks dengan
menggunakan tabel. Sementara untuk memperoleh harga parameter statistik dilakukan perhitungan
dengan rumus dasar sebagai berikut:
 Nilai Rata-rata

X=
∑ Xi
n ..................................................................................(2.3)
Dimana:
X = Nilai rata-rata curah hujan
∑ Xi
= Jumlah nilai pengukuran dari dari suatu curah hujan ke-i
n = Jumlah banyaknya data curah hujan
 Standar Deviasi
Apabila penyebaran data sangat besar terhadap nilai rata-rata, maka nilai standar deviasi
(Sd) akan besar, akan tetapi apabila penyebaran data sangat kecil terhadap nilai rata-rata, maka
Sd akan kecil. Standar deviasi dapat dihitung dengan rumus:
n

Dimana:
S d=
√ ∑ {X i− X }2
i−1
n−1 ................................................................. (2.4)

Sd = Standar deviasi dari sampel curah hujan


X = Nilai rata-rata curah hujan
∑ Xi = Jumlah nilai pengukuran dari dari suatu curah hujan ke-i
n = Jumlah banyaknya data curah hujan

 Koefisien Variasi (Cv)


Koefisien variasi (coefficient of variation) adalah nilai perbandingan antara standar
deviasi dengan nilai rata-rata dari suatu sebaran.
Sd
C v=
X .....................................................................................(2.5)
Dimana:
Cv = Koefisien variasi (coefficient of variation)
Sd = Standar deviasi dari sampel curah hujan
X = Nilai rata-rata curah hujan

 Koefisien Kemencengan (Cs)


Koefisien kemencengan (coefficient of skewness) adalah suatu nilai yang menunjukkan
derajat ketidak simetrisan (assymetry) dari suatu bentuk distribusi. Besarnya koefisien
kemencengan (coefficient of skewness) dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut ini:
α
C s=
Untuk populasi : σ3 .......................................................(2.6)
a
C s=
S3
Untuk sampel : d ........................................................(2.7)
n
1
α= ∑ ( X −μ )3
n i −n i .....................................................................(2.8)
n
n
a= ∑ ( X i− X )3
(n−1 )(n−2 ) n−1 ...................................................(2.9)

Dimana:
Cs = Koefisien kemencengan curah hujan
σ = Standar deviasidari populasi curah hujan
Sd = Standar deviasi dari sampel curah hujan
μ = Nilai rata-rata dari data populasi curah hujan
X = Nilai rata-rata curah hujan
Xi = Curah hujan ke-i
n = Jumlah banyaknya data curah hujan
a ,α = Parameter kemencengan

 Koefisien Kurtosis (Ck)


Koefisien kurtosis adalah suatu nilai yang menunjukkan keruncingan dari bentuk kurva
distribusi, yang umumnya dibandingkan dengan distribusi normal. Koefisien kurtosis digunakan
untuk menentukan keruncingan kurva distribusi, dan dapat dirumuskan sebagai berikut:
n
n2
C k= 4∑
( X i −X )4
( n−1 )( n−2 )(n−3 ). s i=1 ..............................(2.10)
Dimana:
Ck = koefisien kurtosis curah hujan
n = jumlah banyaknya data curah hujan
X = nilai rata-rata curah hujan
Xi = curah hujan ke-i

2. Pemilihan Jenis Sebaran


Dalam analisis frekuensi data hidrologi baik data hujan maupun data debit sungai terbukti
bahwa sangat jarang dijumpai seri data yang sesuai dengan sebaran normal. Sebaliknya, sebagian
besar data hidrologi sesuai dengan jenis sebaran yang lainnya.
Masing-masing sebaran memiliki sifat-sifat khas sehingga setiap data hidrologi harus diuji
kesesuaiannya dengan sifat statistik masing-masing sebaran tersebut. Pemilihan sebaran yang tidak
benar dapat mengundang kesalahan perkiraan yang cukup besar. Dengan demikian pengambilan salah
satu sebaran secara sembarang untuk analisis tanpa pengujian data hidrologi sangat tidak dianjurkan.
Berikut ini merupakan tabel pemilihan sebaran berdasarkan pengukuran dispersi:
Tabel 2.4 Pedoman Pemilihan Sebaran
No Jenis Sebaran Syarat
Cs ≈ 0
1 Normal
Ck ≈ 3
Cs ≈ 1,139
2 Gumbel
Ck ≈ 5,402
Cs ≈ 1,137
3 Log Normal
Ck ≈ 5,383
4 Log Pearson III Cs ≠ 0
Cv ≈ 0,3
Sumber: Sri Harto (1993)

2.4.2.Menghitung Probability Curah Hujan Harian Maximum dengan kala ulang


tertentu dengan Metode Gumbel.

Dari hasil perhitungan curah hujan harian representative yang telah dianalisis dengan metode
Polygoon Thiessen selanjutnya dari data dimaksud dan dengan menggunakan Metode Gumbel-
dimana akan digunakan koefisien-koefisien Gumbel dan Rumus-Rumus Gumbel akan bisa dianalis
besaran CURAH HUJAN HARIAN DENGAN KALA ULANG TERTENTU.
Penentuan jenis sebaran yang akan digunakan untuk analisis frekuensi dapat dipakai beberapa cara.
Cara penentuan jenis sebaran yang sering dipakai antara lain adalah distribusi Gumbel, Distribsi Log
Pearson III, Distribusi Normal, dan Distibusi Log Normal.

Dengan methode Gumbel, akan bisa diperoleh “probability daily rainfall with return period” ,
Rumus Gumbel, adalah:
XT = b + 1/a YT

1/a = ( x / y ) : Rumus Gumbel

x = [(X2) – (X)2 ] : Rumus Gumbel


Y & y : Koefisien Gumbel
dimana : XT = Probability Hujan Harian Kala Ulang tertentu
YT = Koefisien Gumbel

2.4.2.1.Distribusi Gumbel (Rumus, Koefisien dan parameter Gumbel)

Umumnya digunakan untuk analisis data maksimum, misal untuk analisis frekuensi banjir.
Analisis frekuensi dengan metode Gumbel biasanya dilakukan dengan persamaan berikut ini:
y – yn
x=x+ σn S ..........................................(2.11)
n

S= √ 1
n∑i=1
2
( x i – x ) .......................................................................(2.12)

Dimana,
x = Nilai variant dengan periode ulang tertentu
x́ = Nilai rata-rata hitung variant
S = Deviasi Standar
y = Nilai reduksi Gumbel
yn = Nilai rata-rata reduksi variant
σ n = Standar deviasi dari reduksi variant

Tabel 2.5 Hubungan Periode Ulang (T) dan Reduksi Gumbel (y)
T (tahun) y
2 0,3665
5 1,4999
10 2,2502
20 2,9606
25 3,1985
50 3,9019
100 4,6001
200 5,2960
500 6,2140
1000 6,9190
5000 8,5390
10000 9,9210
Sumber: Nisa, dkk., 2008

Tabel 2.6 Nilai yn dan σ n Fungsi Jumlah Data


n yn σn n yn σn n yn σn
8 0,4843 0,9043 39 0,5430 1,1388 70 0,554 1,185
9 0,4902 0,9288 40 0,5436 1,1413 71 8 4
10 0,4952 0,9497 41 0,5442 1,1436 72 0,555 1,186
11 0,4996 0,9676 42 0,5448 1,1458 73 0 3
12 0,5035 0,9833 43 0,5453 1,1480 74 0,555 1,187
13 0,5070 0,9971 44 0,5458 1,1499 75 2 3
14 0,5100 1,0095 45 0,5463 1,1519 76 0,555 1,188
15 0,5128 1,0206 46 0,5468 1,1538 77 5 1
16 0,5157 1,0316 47 0,5473 1,1557 78 0,555 1,189
17 0,5181 1,0411 48 0,5477 1,1574 79 7 0
18 0,5202 1,0493 49 0,5481 1,1590 80 0,555 1,189
19 0,5220 1,0565 50 0,5485 1,1607 81 9 8
20 0,5236 1,0628 51 0,5489 1,1623 82 0,556 1,190
21 0,5252 1,0696 52 0,5493 1,1638 83 1 6
22 0,5268 1,0754 53 0,5497 1,1658 84 0,556 1,191
23 0,5283 1,0811 54 0,5501 1,1667 85 3 5
24 0,5296 1,0864 55 0,5504 1,1681 86 0,556 1,192
25 0,5309 1,0915 56 0,5508 1,1696 87 5 3
26 0,5320 1,0961 57 0,5511 1,1708 88 0,556 1,193
27 0,5332 1,1004 58 0,5515 1,1721 89 7 0
28 0,5343 1,1047 59 0,5518 1,1734 90 0,556 1,193
29 0,5353 1,1086 60 0,5521 1,1747 91 9 8
30 0,5362 1,1124 61 0,5524 1,1759 92 0,557 1,194
31 0,5371 1,1159 62 0,5527 1,1770 93 0 5
32 0,5380 1,1193 63 0,5530 1,1782 94 0,557 1,195
33 0,5388 1,1226 64 0,5533 1,1793 95 2 3
34 0,5396 1,1255 65 0,5535 1,1803 96 0,557 1,195
35 0,5402 1,1285 66 0,5538 1,1814 97 4 9
36 0,5410 1,1313 67 0,5540 1,1824 98 0,557 1,196
37 0,5418 1,1339 68 0,5543 1,1834 99 6 7
0,557 1,197
8 3
0,558 1,198
0 0
0,558 1,198
1 7
0,558 1,199
3 4
0,558 1,200
5 1
0,558 1,200
6 7
0,558 1,201
7 3
0,558 1,202
9 0
0,559 1,202
1 6
0,559 1,203
2 2
0,559 1,203
3 8
0,559 1,204
5 4
0,559 1,204
6 9
0,559 1,205
8 5
0,559 1,206
9 0
Sumber: Triatmodjo, 201
2.5.POLA Perhitungan Hidrograf (menggunakan Metode Nakayasu)

2.5.1.Analisis Hidrograf Satuan


Hidrograf satuan digunakan sebagai langkah untuk melakukan transformasi dari hujan menjadi
debit aliran. Apabila data hidrolgraph tidak tersedia, maka dibuat hidrograf satuan sintetis (HSS) yang
didasarkan pada karakteristik fisik dari DAS (Triatmodjo, 2010).
HSS Nakayasu dikembangkan berdasarkan beberapa sungai di Jepang. Metode HSS Nakayasu
telah dipakai dibeberapa penelitian di Indonesia (Sutapa, 2005; Lily, 2009; Natakusumah, dkk., 2011
dan Tunas, dkk., 2011). Studi ini dilakukan sebagai perbandingan dari metode-metode yang lain
(Metode Snyder, GAMA I, Soil Conservation Service/SCS dan lain-lain).
Menurut Sutapa (2005), suatu hidrograf banjir perlu dicari karakteristik daerah pengalirannya.
Karakteristik-karakteristik tersebut adalah:

a. Tenggang waktu dari permulaan hujan sampai dengan puncak hidrograf (time to peak
magnitute);
b. Tenggang waktu dari titik berat hujan sampai dengan titik berat hidrograf (time log);
c. Tenggang waktu hidrograf (time base of hydrograf);
d. Luas daerah pengaliran;
e. Panjang alur sungai utama (length of the longest channel)

2.5.1.1.RUMUS Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu


a. Analisis Hidrograf Satuan diperoleh dengan Methode Nakayasu:

1 A Re
Rumus Nakayasu : (
Qp = 3,6 0,3Tp+T
0,3
)
atau : Q max = 1/3,6 .(A .Ro) / (0,3 Tp + T0,3 )

Untuk: (L > 15 km), berlaku:

Tp = 0,8 Tr + Tg (jam)

Tg = 0.40 + 0.058 L (jam)


Tr = 0,6 Tg (jam)
0,25
T0,3 = 0,47 (A x L) (jam)
2
T 0,3 = 1,5 T0,3 (jam)

Untuk: ( L < 15 km), berlaku:


0.7
Tg = 0.21 L (jam)
Tp = 0,8 Tr + Tg (jam)
Tr = 0,5 Tg (jam)
0,25
T0,3 = 0,4 (A x L) (jam)
2
T 0,3 = 1,5 T0,3 (jam)

dimana : Tg = tergantung L :

L = Panjang Aliran
Ro = Curah Hujan Spesifik

Besaran Debit (satuan hujan Spesifik:Rc= 1 mm):


1 A Re
adalah : Qp = 3,6 ( 0,3Tp+T 0,3 )
Dimana,

Qp = Debit puncak banjir


A = Luas DAS (km2)

Re = Curah hujan efektif (1 mm)

Tp = Waktu dari permulaan banjir sampai puncak hidrograf (jam)

T0,3 = Waktu dari puncak banjir sampai 0,3 kali debit puncak (jam)

tg = Waktu konsentrasi (jam)

Tr = Satuan waktu dari curah hujan (jam)


α = Koefisien karakteristik DAS (biasanya diambil = 2)
L = Panjang sungai utama (km)
Gambar : Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu
(Sumber: Sutapa, 2005)

Bentuk hidrograf satuan diberikan oleh persamaan berikut:


b. Pada kurva naik (0 < t < Tp)
2,4
t
Qt = Qp ( ) .......................................................................................(2.25)
Tp

c. Pada kurva turun (Tp< t < Tp + T0,3)


( t−T p )
Qr = Q ×0,3 T 0,3 ..................................................................................(2.26)
p

d. Pada kurva turun (Tp + T0,3< t < Tp + T0,3+ 1,5T0,3)


[ (t −T p )+( 0,5T 0,3 ) ]
Qt = ( 1,5T 0,3 ) ........................................................................(2.27)
Q p ×0,3

e. Pada kurva turun (t > Tp + T0,3+ 1,5T0,3)


[ (t −T p )+( 0,5T 0,3 ) ]
Qt = (2 T 0,3 ) .......................................................................(2.28)
Q p ×0,3
Dari CONTOH perhitungan DEBIT BANJIR dengan CURAH SPESIFIK (SATUAN = 1 mm)
sebagaimana HASIL ANALISIS NAKAYASU dan dengan selang pertambahan waktusebanyak t: (t
= 0,5 jam) untuk ( t: mulai = 0 bergerak menuju ke Tp kemudian ke T0,3 dan selanjutnya ke 1,5
T0,3) akan didapatkan hasil perhitungan sebagaimana TABEL dibawah in:
2.5.1.2.. Pola Pembagian Curah Hujan:
Untuk memperhitungkan Pola Pembagian Curah Hujan akan dipakai dasar analisis yang mengacu
pada kenyataan bahwa di Indonesia berdasarkan pola yang ada atau yang terjadi bahwa penyebab
terjadinya banjir adalah apabila hujan mempunyai INTENSITAS CURAH HUJAN TINGGI (dalam
hal ini yang akan dipake untuk perhitungnan adalah curah hujan effektif dengan kala ulang
tertentu, yaitu R24) dan LAMANYA HUJAN BERLANGSUNG (hasil pengamatan adalah 2 s/d 7
jam), TETAPI yang sering dipergunakan untuk analisis adalah t = 5 jam)

i. Rata-rata hujan sampai jam ke T


Ro = R24
5
RT = Ro ( 5/T ) 2/3
dimana: Ro = Curah Hujan Harian rata-rata (mm)
R24 = Hujan Harian, Efektif (mm/jam)
RT = Intensitas Hujan selama T jam (mm/jam)

ii. Curah hujan pada jam ke t;

Dapat dicari dengan menggunakan Rumus:

R = t . Rt - ( t – 1) R(1-0)

dimana: R = Curah Hujan pada jam ke t (mm)


t = Lamanya Hujan
Rt = Intensitas Hujan selama t jam
R(t-1)= Intensitas hujan selama (t-1) jam
Tabel: A.

Analisis: RATA~RATA CURAH HUJAN sampai pada jam ke t (RT) sampai pada jam ke t dan
CURAH HUJAN pada jam ke t ( R ) dapat dijelaskan dengan memperhatikan Tabel berikut ini
Jam ke t Curah hujan “perhitungan”
Rata2 hujan sampai
pd jam ke t ( R )
jam ke t (RT)
R = t.Rt.- (t – 1) R(1– 0) R = t.Rt.- (t – 1) R(1– 0)
RT = R24.(5/T)2/3
1 0.59 R24 0.59 R24 = {1.( 0.59 R24) – 0.(R (1-0)}
2 0.37 R24 0.15 R24 = {2.( 0.37 R24) – 1.( 0.59 R24)}
3 0.28 R24 0.10 R24 = {3.( 0.28 R24) – 2. 0.37 R24 ()}
4 0.23 R24 0.08 R24 = {4.( 0.23 R24) – 3.( 0.28 R24)}
5 0.20 R24 0.08 R24 = {5.( 0.20 R24) – 4.( 0.23 R24)}

2.5.1.3.. Pembagian Curah Hujan


Tabel: B.
Waktu Perban Interval kala ulang (tahun)
jam
dingn %
5 10 20 100 200 500 1000
0~1 59 17,7 25,4 33,4 54.3 63,7 76,7 87,9

1~2 15 4,5 6,5 8, 6 13,8 16,2 19, 5 22,4

2~3 10 3 4,3 5,6 9,2 10,8 13 14,9

3~4 8 2,4 3,4 4, 6 7,4 8,6 10,4 11,9

4 ~5 8 2,4 3,4 4,6 7,4 8,6 10,4 11,9

Hujan Efektif 30 43 57 92 108 130 149

R24
Koef.Ru Off: C % 36 42 47 56 59 63 66

n
Hujan dengan 83 103 122 164 183 206 225

Kala ulang R24

CATATAN:
HUJAN EFFEKTIF R24 = C x R24 akan DIBAGI atau DI DISTRIBUSIKAN (dengan Pola
Pembagian sebagaimana hasil Tabel: A. dan dalam kurun WAKTU LAMANYA HUJAN (1 s/d 5)
jam) ~ SEBAGAI CURAH HUJAN EFFEKTIF DENGAN KALA ULANG TERTENTU yang
selanjutnya akan DIPAKAI untuk PERHITUNGAN HIDROGRAF BANJIR DENGAN
MENGGUNAKAN HIDROGRAF SATUAN NAKAYASU sebagai ACUAN
PERHITUNGANNYA.
KOEFISIEN RUNOFF: ( C )
Koefisien Runoff C akan ditentukan terlebih dulu dengan cara DITENTUKAN MELALUI
HUBUNGAN Koefisien Runoff (C ) dengan Curah Hujan yang terjadi.
Hal tersebut diatas dilakukan dengan cara Observasi Lapangan:
(Koefisien Runoff = Volume Curah Hujan dibagi dengan Volume Runoff) sehingga
akan didapatkan Grafik sebagaimana dibawah ini:
2.5.1.3.Analisis Hidrograf Banjir:
Dengan Hidrograf Satuan & Hujan harian rata-rata dengan kala ulang tertentu, maka akan dapat
dibuat perhitungan Hidrograf Banjir.
Contoh Analisis Hidrograf Banjir bisa disajikan dalam TABEL~TABEL PERHITUNGAN
TERLAMPIR.
2.5.1.4.Selanjut dapat dibuat Gambar Hidrograf.

Dengan hasil perhitungan yang didapat dari point 5, akan bisa digambar suatu Grafik Hidrograf

untuk berbagai debit banjir dengan kala ulang, ( Q200, Q100, Q50, Q25, Q10, Q5, dll)
III. “LOCAL DESIGN DISCHARGE ANALYSIS”
( Analisis Debit Banjir Lokal)

Untuk memperhitungkan Debit Banjir Sungai pada areal atau kawasan tertentu dimana
Areal dimaksud merupakan kawasan relative datar, seperti daerah perkotaan, areal
irigasi, lahan tertentu lainnya dengan Luas kurang dari 100 km2 maka pada kawasan
tersebut untuk perhitungan debit banjir yang diakibatkan oleh Presipitasinya bisa
diperhitungkan Analysis Debit Banjir Lokal dengan menggunakan Metode de
Weduwen

3.1.Metode de Weduwen

Analisis Design Discharge untuk Areal Datar / Perkotaan ( CA: 1 s/d 100 km2)

- Lebih dikenal sebagai Analisis Debit Banjir untuk “Banjir Lokal”, digunakan rumus “de
Weduwen”. Dengan menggunakan:
- Nomogram
- Grafik
- Tabel
(terlampir)

Dengan Rumus: Q = A.( .  ). K,


didapatkan Debit Banjir dengan kala ulang tertentu.

3.1.1, (LAMPIRKAN NOMOGRAM; GRAFIK & TABEL de WEDUWEN) !!!


III.2. “MODIFIED RATIONAL METHOD” (Metode Rasional)

Qp = 1/3,6 C.Cs. I.A. = 0.278. C. Cs. I. A.


dimana: Qp : debit puncak ( m3/dt)
C : Koefisien Runoff
Cs : Koefisien storage (waduk)
I : Rata~rata curah hujan (mm/jam)
A ; DPS (km2)

III.3. Metode HASPERS


Qn = C.β. I.A.
C.= (1 + 0.012 A0.7) / (1+0.075 A0.7)
( dan metode~metode lainnya)

Semua metode diatas akan disesuaikan dengan Kaidah masing~masing Metode


(memodifikasi besaran R24 efektif (curah hujan harian efektif)) menjadi I
(dalam metode ybs)~(yang akan dikonversikan sebagai Curah Hujan
dengan Kala Ulang tertentu ybs). (sebagai contoh adalah sebagaimana yang ditunjukan
dalamMetode de Weduwen diatas.
IV.ANALYSIS SEDIMENT DISCHARGE

4.1. Pengertian tentang Sedimen


Pada dasarnya terangkutnya sedimen adalah dipengaruhi oleh parameter: “bottom shear stress”
(tegangan gesek dasar), “water depth” (kedalaman pengaliran) dan “bed roughness Ks ”
(kekasaran material dasar). Dengan demikian semakin besar tegangan gesek yang terjadi pada
dasar saluran atau sungai maka akan semakin bertambahlah besaran pengangkutan sedimen.
Mekanisme pengangkutan sedimen akan akan terpengaruh oleh “fall velocity :W” (kecepatan
jatuh) dan “critical velocity: U*” (kecepatan kritis) dari sedimen dan dibedakan menjadi 2 (dua),
yaitu:
1. Bed Load : gerak “pengangkutan sedimen” terhadap dasar saluran atau dasa
sungai bergerak dengan cara “rolling” (menggelinding), “sliding”
(berguling),dan “jumping” (melompat), dimana: (U*/W )< 1,5
2. Suspended Load: gerak “pengangkutan sedimen”dalam pengaliran akan terusmenerus
seimbang dengan gerak turbulensi pengaliran, dimana: (U*/W)> 1,5

Kedua jenis pengangkutan sedimen diatas akan berpengaruh terhadap terjadinya proses erosi dan
pengendapan sedimen yang bersangkutan.

4.2. Awal Gerak Sedimen

BUTIRAN SEDIMEN: mempunyai kekuatan untukTIDAK BERGERAKatau STABILITAS


adalah akibat dari Gaya Gravitasi dar butiran ybs.

G = π/6.D3. α2 (ρs – ρw) g.


BUTIRAN SEDIMEN akan mulai BERGERAK AWAL (initial of motion) disebabkan karena
“drag” (hentakan) dan “lift forces” (gaya angkat), yang tergantung dari “bottom shear stress”
(tegangan gesek dasar saluran”: dan “particle surface area” (luas permukaan butiran sedimen: D2)

F = τo.π/4. D2.α1
Pada keadaan: {F=τo.π/4. D2.α} ≥ {G=π/6.D3.α2 (ρs – ρw) g.} mulai gerak

Atau: τo ≥ {C (ρs – ρw) g.D} ………..sediment mulai bergerak.

DISINI “GAYA HENTAK” (DRAG) MULAI TERJADI dengan “DRAG FACTOR” (ΨCR):
ΨCR = τo ≥ { τocr / (Δ . ρw. g.D)}
Jadi Drag Factor Ψ, adalah menjadi factor utama terjadinya proses Sediment Transport.

Drag Factor Ψ akan dipengaruhi oleh berbagai kondisi lain, antara lain adalah karena GRADASI
BUTIRAN SEDIMEN (D), KEADAAN PENGALIRAN mengacu pada nilai koefisien pengaliran( C)

serta τo, sehingga dengan berbagai keadaan ataupun nilai2: D, C, τo maka dimungkinkan akan terjadinya

perubahan atau pengurangan nilainya, PENGURANGAN NILAI Ψ atas nilai D, C, τo disebut dengan
FAKTOR REDUKSI atau “RIPPLE FACTOR”: (μ) akan dipakai untuk memperhitungkan besqaran Sediment
Transport.:

μ = τ’/ τo ; μ= Ψ’ / Ψ0 ; μ = C’ / Co
Hubungan antara “sediment transport” (transport sedimen) dengan “flow conditions” (keadaan
pengaliran) sepenuhnya dipengaruhi oleh “bed shear stress” (tegangan gesek dasar saluran),
sedangkan “bed shear stress”dalam bentuk “grain roughness” sendiri akan sangat dipengaruhi oleh
kedalaman (h) dan slope (I) pengaliran,

JADI dalam setiap analisis Sediment Transport pada Debit Pengaliran (sungai), sebagai akibat dari

berbagai kondisi yang ada, terutama yang terkait oleh : D, C, τo maka selalu memperhitungkan
Ripple Factor μ.

4.3.Sediment Transport

4.3.1. Bed-Load sediment Transp

SECARA UMUM RUMUS “BED LOAD SEDIMENT TRANSPORT of Sediment” adalah:

Φ= S / {D3/2(g.Δ)1/2}

S = Φ. {D3/2(g.Δ)1/2}

dimana: S = Volume Sediment Transport (m3/m.s)

Φ = parameter transport sedimen


D = grain size
Δ = (ρs – ρw) / ρw = (2.65 – 1)/1 = 1.65

4.3.2.Suspended-Load Transport of Sediment

Suspended Load akan bisa ditentukan dengan mengukur atau menentukan besaran Uz (kecepatan
aliran pada jarak z dari dasar saluran) dan Cz (konsentrasi sedimen pada jarak z dari dasar saluran)

serta rumus integrasi : S = ʃoh Cz . Uz dz

4.3.2.1. Suspended Load Sediment Transport:

qs = 4.0514 {(U*2) / (ρo/ρc - 1).g.D50}2.135.U*.D50

dimana: D50 adalah: “Mean diameter”


= (“rata~rata” diameter dari 50% berat sedimen)

4.3.2.2. TOTAL VOLUME Sediment Transport, per day: (S bulk)

S bulk per day = 1/(1 – Ɛ) . S ./unit width dimana : Ɛ = 0,4

= 1/(1 – Ɛ) . S = 1/0,4. S.(86.400). B

T bulk per year = 1/(1 – 0.4) . S.(86.400 x 365). B


CONTOH Soal: bisa dilihat pada soal 6.6. halaman 6.8. Breusser.
Secara umum dapat disebutkan bahwa dalam Transport Sediment akan selalu diperhitungkan dengan

mencari nilai: “parameter of sediment transport: Φ” yang besarannya banyak diberikan


oleh ahli sesuai dengan bentuk penyajiannya maisng~masing.

Banyak ahli menyampaikan pendapatnya tentang rumus pengangkutan sedimen dengan “parameter

of sediment transport: Φ” dalam: Φ= S / {D3/2(g.Δ)1/2} dengan factor parameter


Ψ’ :“Bed Shear Stress”: Ψ’ = (μ.h.I) / ΔD = (U*’2) / ΔgD dari masing pendapatnya, yang
ternyata terdapat sedikit perbedaan yang apabila diperbandingkan akan terlihat sebagaimana Grafik
dibawah ini:

4.3.2.3.PARAMETER “TRANSPORT of SEDIMENT”: Φ: dimaksud dari::


 Kalinske (Φ= 2,5 Ψ’1/2 (…..???.....)
 Meyer ~Peter ~ Muller: Φ= {4Ψ’ – (0.188)3/2}
 Einstein
 Shinohara Tsubaki . Φ= {25(Ψ’)1,3 (Ψ’ – (0.038)}
 Engelund Hansen: Φ = Ψ’2,5 = U5* untuk suspended load.
Φ = Ψ’1,5 = U3* untuk bed~load
dan untuk: Ψ’ = (μ.h.I) / ΔD = (U*’2) / ΔgD : (dengan D adalah D50)

HUBUNGAN Φ dan Ψ’ dari rumusan ahli2 diatas :bisa dilihat dari Grafik dibawah ini:

Hubungan antara: Φ= S / {D3/2(g.Δ)1/2} dan Ψ’ = (μ.h.I) / ΔD = (U*’2) / ΔgD

Lampirkan Grafik 6.1 Breusser


V. SEDIMENT TRANSPORT versi KALINSKE:
5.1.Bed Load Sediment Transport:

qb = Sb = Φ U*3.{F(ζ/ζc)} /{(ρs/ρw).g}
dimana: Φs : untuk n (Manning) ≥ 0.025, maka: Φs = 0.623
Φs : untuk n (Manning) < 0.025 maka : Φs = 0.623 (40 n)-3.5
U* = kecepatan kritis = (g.R.I)0.5
F(ζ/ζc) = fungsi (ζ/ζc) tersaji pd (Sato, Yoshikawa & Ashi Formula)
ζc = tegangan geser kritis pengaliran sedimen
ζ = tegangan geser yang terjadi di dasar saluran

1.2. Suspended Load Sediment Transport:


qs = Ss = 4.0514 {(U*2) / (ρo/ρc - 1).g.D50}2.135.U*.D50

D50 = “Mean diameter” (“rata~rata” diameter dari 50% total berat sedimen)

5.3.TOTAL VOLUME SEDIMENT TERANGKUT per hari: (S bulk)

S bulk per day = 1/(1 – Ɛ) . S /unit m.s.


dimana : Ɛ = 0,4 (porosity: Ɛ = (35 ~ 45 )%

S bulk per day = 1/(1 – Ɛ) . S = 1/0,4. S. (86.400). B

T bulk per year = 1/(1 – 0.4) . S.(86.400 x …days). B


*Berdasarkan hasil riset SMEC (Snowy Mountain Engineering Corporation ~
Australia, 1982: (30%) Tbulk mengendap di Alur Pengaliran atau Sungai) &
(70%) Tbulk mengalir ke MUARA SUNGAI (dispersal site)

Anda mungkin juga menyukai