1
Poin Kedua. Masalah dari sisi kelembagaan pelaksana Reforma Agraria yang bernama Gugus Tugas Reforma Agraria
(GTRA). Kelembagaan ini harusnya dipimpin langsung oleh seorang Presiden, sesuai kesepakatan pertemuan
Presiden dengan KNPA pada 24 September 2019 di Aksi Hari Tani Nasional (HTN). Justru, pasca HTN 2019 Presiden
mengambil langkah mundur, dengan diturunkannya derajat kepemimpinan pelaksana Reforma Agraria dari setingkat
menteri kepada setingkat Wakil Menteri (Wamen) di Kementerian ATR/BPN. Kami sampaikan bahwa Pejabat Wamen
yang ditunjuk Presiden terbukti tidak perform dalam hal penguasaan masalah reforma agraria, tidak memiliki
pemahaman tentang kelompok Gerakan Reforma Agraria (GRA) dan organisasi tani. Juga tidak memiliki keinginan
untuk mengkonsolidasikan ragam kelompok dengan benar dan beretika. Bahkan di lapangan bersikap anti aktivis dan
kontraproduktif terhadap proses-proses Reforma Agraria yang sudah/tengah berjalan dengan kementerian, dan/atau
tengah diperjuangkan oleh organisasi tani Anggota KPA dan GRA.
Poin Ketiga. Ada problem struktural lama yang penyelesaiannya mengalami kemacetan. Tanah-tanah masyarakat
yang masih dikuasai oleh klaim-klaim kawasan hutan dan BUMN berupa perkampungan, desa-desa definitif, tanah
persawahan, kebun rakyat yang harusnya segera dibebaskan dan dilepaskan oleh Negara. Utamanya, wilayah-wilayah
konflik agraria, yang puluhan tahun tumpang-tindih dan berhadap-hadapan dengan Perhutani dan PTPN.
Kami mengingatkan kepada Presiden, contoh kejadian petani Sei Mencirim dan Simalingkar yang terpaksa berjalan
kaki dari kampungnya di Sumut ke Jakarta hanya untuk didengar dan mendapat solusi penyelesaian akibat kebuntuan
puluhan tahun. Pertanyaan KPA kepada Presiden dalam pertemuan tersebut, apakah petani semua dari penjuru
Tanah-Air harus sampai berjalan kaki kembali menuntut reforma agraria? Sebab tak ada kepemimpinan yang jelas dari
Negara untuk menuntaskan problem riil agraria di bawah.
Poin Keempat. KPA menyampaikan bahwa sudah berulangkali memberikan solusi kepada pemerintah. Kembali kami
menunjukkan dokumen tebal berisi Lokasi-lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) dari Anggota KPA sebanyak 502
desa seluas lebih dari 665 ribu hektar yang dikuasai dan ditempati oleh 195 ribu keluarga di 98 kabupaten di 20 provinsi.
Sejak 2016, dokumen LPRA telah berulangkali disampaikan kepada Presiden. Sudah sampai di meja-meja Menteri
ATR/BPN, Menteri LHK, Menko Perekonomian, Kepala KSP berulang kali. Juga kepada Kementerian BUMN untuk
turun tangan menyelesaian LPRA yang berhadapan dengan PTPN. Sayangnya tak ada respon sama sekali dari pihak
Kementerian BUMN.
Secara umum, ada kemunduran besar, dalam satu-dua tahun terakhir, dimana Reforma Agraria seolah-olah dijalankan,
yang diperparah oleh minimnya pelibatan masyarakat. Tidak ada keterbukaan terhadap GRA dari Kementerian-
kementerian di atas, hingga pemerintah tingkat daerah. Alhasil, dari 507 desa/kampung wilayah LPRA, selama 6
(enam) tahun terakhir pemerintahan ini berjalan, baru 5 wilayah rakyat di 5 desa yang betul-betul diselesaikan
konfliknya dan diredistribusikan kepada petani dengan hak penuh. Artinya terlalu sedikit tanah rakyat diakui, ketimbang
alokasi tanah yang maha dasyat bagi badan-badan usaha raksasa.
Poin Kelima. Kami sampaikan bahwa di tengah belum jelasnya pelaksanaan Reforma Agraria, justru telah lahir UU
Cipta Kerja yang mempreteli hak-hak konstitusional rakyat. Secara eksplisit kami sampaikan sangat kecewa, dimana
KPA termasuk organisasi yang menolak penuh UU Cipta Kerja. Sebab UU Cipta Kerja bukan saja persoalan
ketenagakerjaan yang dihadapi kaum buruh, dan masalah sempit penyediaan lapangan kerja, tetapi KPA menilai ini
merupakan produk hukum yang justru anti Reforma Agraria. Sebab, mengukuhkan tanah sebagai barang komoditas
yang bebas ditranksasikan oleh para pemilik modal.
Begitu liberalnya, ada banyak UU yang sudah dipreteli Omnibus Law, seperti UU pengadaan tanah untuk kepentingan
umum yang diperluas, UU pangan yang membuka lebih lebar impor pangan. Omnibus Law juga memasukan RUU
Pertanahan yang pada 2019 kami tolak. Intinya, UU Cipta Kerja adalah kemunduran jauh dari maksud Presiden
menjalankan RA, yang justru akan memperparah ketimpangan dan konflik, oleh karena tanah lagi-lagi diprioritaskan
bagi elit bisnis dan perusahaan melalui proyek-proyek pembangunan yang akan menggusur rakyat. Sayangnya sikap
protes rakyat di luar tidak didengar.
Poin Keenam. KPA juga menggunakan kesempatan untuk menyampaikan mengenai situasi konflik agraria sebagai
manifestasi adanya praktik perampasan tanah yang terus berlangsung, bahkan di masa pandemi. Dari September 2019
s.d September 2020 saja, kami laporkan ada 231 konflik agraria yang meletus di 335 desa di 29 provinsi dengan luasan
wilayah terdampak 314 ribu hektar yang dialami lebih dari 179 ribu KK. Konflik-konflik tersebut telah menyebabkan
jatuh korban di pihak petani, masyarakat adat dan nelayan, termasuk aktivis agraria dimana ada 14 korban tewas, 1
korban tertembak, 212 dikriminalisasi, dan 32 dianiaya. Jatuhnya korban disebabkan keterlibatan kepolisian dan TNI
yang masih menggunakan cara-cara represif dan intimidatif dalam menangani konflik agraria, dan kerap menjadi beking
perusahaan. Artinya, tak ada perubahan dari cara pemerintah menangani dan merespon sikap rakyat yang sedang
memperjuangkan RA.
2
Poin Ketujuh. Jika, pemaknaan dan praktik “RA” serta kelembagaan RA/GTRA masih tidak ada perubahan sama
sekali, masih dengan cara dan praktik yang sama, masih anti bekerjasama dengan aktivis dan organisasi rakyat, maka
ketimpangan, konflik, perampasan tanah dan wilayah adat, kantung-kantung kemiskinan akibat tak adanya jaminan
hak atas tanah, serta masalah-masalah lama agraria macam masalah PERHUTANI, PTPN, HTI, HGU yang expired,
perkebunan/tanah terlantar masih akan semakin kronis. Akibat lebih luas, gejolak sosial akan semakin meluas, dimana
rakyat kembali di ujung tanduk krisis berlapis.
Poin Kedelapan. Kelembagaan RA yang seturut dengan tujuan RA sejati harus mendorong terjadinya restrukturisasi
penguasaan sumber-sumber agraria dari penguasaan badan-badan usaha besar kepada rakyat yang menggantungkan
hidupnya kepada tanah dan keberlanjutan alam. Kelembagaan RA harus bekerja pada dua ranah pokok, yakni:
pertama, penyelesaian konflik agraria struktural di seluruh sektor. Kedua, redistribusi tanah kepada rakyat berupa
pelepasan klaim-klaim konsesi (hak/izin) perkebunan dan kehutanan atas wilayah perkampungan, desa-desa dan
tanah garapan rakyat.
Kami mengingatkan kembali tentang urgensi perubahan Perpres No. 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria yang
macet sejak tahun lalu. Revisi Perpres RA adalah syarat untuk menghadirkan kelembagaan RA yang otoritatif, lintas
sektor dan bersifat ad-hoc, yang dipimpin langsung seorang Presiden sebagai pemimpin negara dan pemerintahan
untuk memimpin penyelesaian problem struktural agraria di Indonesia melalui RA.
Setelah menyampaikan 8 (delapan) point pokok di atas, KPA menutupnya dengan mengajukan satu pertanyaan kepada
Presiden; kira-kira langkah apa yang hendak Presiden lakukan secara cepat dan benar untuk menjawab
masalah-masalah Reforma Agraria yang telah saya sampaikan? Sebab 6 (enam) tahun reforma agraria yang
menjadi aspirasi dan tuntutan rakyat tidak kunjung direalisasikan.
Demikianlah substansi yang disampaikan KPA dalam pertemuan tersebut.
Respon Presiden
Lalu apa respon Presiden terhadap pokok-pokok masalah Reforma Agraria yang kami sampaikan tersebut? Berikut
adalah respon dari Presiden:
1) Presiden menyatakan pengakuan bahwa ada masalah dalam pelaksanaan RA, sebab problem-problem yang
disampaikan kami masih sama.
2) Merespon kemacetan RA, meminta Mensesneg untuk menyelenggarakan Rapat Terbatas (RATAS) Presiden
dengan menteri-menteri terkait secara marathon, 2-3 kali Ratas untuk membahas masalah Reforma Agraria.
3) Menurut Presiden, pemerintah ingin sekali mempercepat Reforma Agraria terkait konflik dengan PTPN,
PERHUTANI, termasuk expired HGU dan tanah terlantar;
4) Terkait kekerasan dan kriminalisasi oleh kepolisian, akan memanggil Kapolri untuk hadir dalam Ratas Reforma
Agraria, sehingga kepolisian paham Reforma Agraria dan tidak menyebabkan kekerasan serta diskriminasi kepada
masyarakat yang memperjuangkan 3a katas tanahnya.
5) Presiden (kembali) menyatakan setuju mempimpin pelaksanaan Reforma Agraria dan meminta Mensesneg untuk
merevisi Perpres Reforma Agraria.
6) Pembiayaan (APBN) untuk Reforma Agraria harus diusulkan menteri terkait
7) Menurut Presiden, UU Cipta Kerja dibuat termasuk untuk mendorong percepatan penyelesaian konflik agraria.
Sikap KPA atas respon Presiden dan penyikapan organisasi ke depan pasca pertemuan
− Penting dicatat, bagi KPA respon Presiden semacam di atas tentu BUKANLAH HAL BARU. Enam poin pertama di
atas yang menjadi respon Presiden telah disampaikan pula kepada KPA dan jaringan KNPA sebelumnya,
khususnya pada Aksi Hari Tani Nasional 2019.
− Tujuan utama kami, 8 (delapan) problem pokok dan penyimpangan atas Reforma Agraria selama enam tahun ini
telah tersampaikan langsung. Sebagai prinsip organisasi, kami akan terus menyuarakan dan memberi peringatan
tentang krisis agraria yang terjadi, termasuk situasi di lapangan yang dialami oleh Anggota KPA. Juga menyuarakan
penyelewengan yang dilakukan elit kekuasaan bersama kroni bisnisnya atas nama Reforma Agraria melalui
berbagai cara. Baik langkah perjuangan yang dilakukan di kampung-kampung dimana basis Anggota KPA berada,
atau lewat aksi-aksi massa di jalanan di pusat-pusat kekuasaan di nasional dan daerah. Termasuk, dengan cara
menyuarakan secara langsung di forum-forum seperti pertemuan dengan Presiden.
3
− Atas respon dan pernyataan politik Presiden di atas, KPA akan mengawasi dan mengintervensi sejauh mana “janji
lama yang diperbaharui Presiden” tersebut betul-betul akan ditaati, dihormati dan direalisasikan secara konkrit
sampai keadilan betul-betul sampai ke tangan rakyat.
− Sebagai organisasi Gerakan Reforma Agraria di Indonesia, KPA akan tetap menuntut setiap periode kekuasaan,
termasuk pemerintahan saat ini untuk tidak mempermainkan agenda Reforma Agraria bagi kepentingan kekuasaan
politik sesaat.
Kami akan terus menuntut dan mendesakan Reforma Agraria sejati, yang sesuai ideologi Pancasila, UUD 1945,
UUPA 1960, dan TAP MPR IX/2001, sebab kedaulatan atas tanah dan keberlanjutan hidup bagi kaum tani dan
rakyat miskin adalah hak konstitusional yang wajib dipenuhi oleh Negara.
Selayaknya pula sebagai bangsa yang merdeka, yang mempunyai harga diri (dignity) dan kedaulatan atas Tanah-
Airnya untuk tidak terus-menerus mengobral sumber-sumber agraria, dimana penguasaannya, pengelolaannya,
hingga praktik eksploitasinya secara bebas merdeka dilakukan oleh badan-badan usaha raksasa, termasuk badan
usaha asing. Sehingga rakyat Indonesia hanya menjadi bangsa kuli kembali di atas tanahnya sendiri.
− Sambil terus mengkitisi kinerja konkrit pemerintahan terkait agenda Reforma Agraria, KPA bersama Anggota akan
terus berjuang melawan liberalisasi dan kapitalisme agaria di Indonesia. Dengan cara bersama-sama Anggota
Organisasi Rakyat KPA bergotong-royong menjalankan Reforma Agraria berbasiskan inisiatif rakyat tani dari
bawah. Reforma Agraria by leverage ini adalah orientasi perjuangan untuk mempertahankan wilayah dari ancaman
besar perampasan tanah dan penggusuran rakyat atas nama proyek-proyek pembangunan yang kolutif, manipulatif
dan menghisap kedaulatan agraria rakyat.
Menutup Siaran Pers ini, saya atas nama organisasi mengajak kepada komponen gerakan rakyat; utamanya organisasi
tani, organisasi buruh, masyarakat adat, mahasiswa dan pelajar, nelayan, perempuan, serta para aktivis, mari kita
membangun solidaritas persatuan nasional, sebab musuh kita semakin besar dan rakus menghisap modal sosial dan
sendi-sendi ekonomi kerakyatan.
Demikian hal-hal penting pokok mengenai pertemuan Presiden dengan KPA dan organisasi lainnya untuk diketahui
dan disebarkan oleh seluruh komponen Pengurus dan Anggota KPA di berbagai provinsi.
Kami berharap ini menjadi informasi yang utuh bagi Jaringan KPA, serta bagi kawan-kawan media massa.
Terima kasih atas perhatiannya. Waalaikumsalam, wr., wb.
Dewi Kartika
Sekretaris Jenderal
Konsorsium Pembaruan Agraria