Anda di halaman 1dari 7

REFORMA AGRARIA

>> Perombakan kembali struktur keagrarian/pertanahan

>> Mengembalikan kembali pertanaahan di Indonesia sebagaimana mestinya

Hakekat maknanya adalah Penataan kembali (atau pembaruan) struktur pemilikan, penguasaan dan
penggunaan tanah/wilayah, demi kepentngan petani kecil, penyakap dan buruh tani tak bertanah.
Prisnsipnya: Tanah untuk penggarap!

Tanah adalah untuk rakyat, sebagaimana termaktub dalam Pasal 33 ayat 2 UUD 45

ASPEK HISTORI PERTANAHAN DI INDONESIA

1. Masa Feodalisme
>> Bahwa tanah adalah milik raja, dan rakyat boleh memanfaatkan (bertani) dengan syarat
harus memberikan upeti dari hasil panen kepada raja.
2. Masa Kolonialisme
>> Tanah dikuasai sebesar-besarnya oleh pemerintah Hindia-Belanda dengan peraturan
Undang-Undang Agraris Wet.
3. Masa Kemerdekaan dan Orde Lama
>> Tanah-tanah yang dikuasai oleh perusahaan-perusahan Belanda mulai dinasionalisasi dan
dalam rangka menuju kemakmuran rakyat tanah-tanah tersebut mulai diredistribusikan kepada
para petani penggarap melalui aturan UUPA 1960.
4. Masa Orde Baru
>> Pertanahan di Indonesia dikapling-kapling secara sektoral. Dalam rangka mempercepat
pertumbuhan ekonomi Indonesia Pemimpin Orba pada waktu itu membuka investasi sebesar-
besarnya bagi asing dengan mengeluarkan UUPMA. Perusahan pertama yang pertama masuk
setelah dikeluarkannya UUPMA adalah Freeport di Papua.

TUJUAN REFORMA AGRARIA :

 Tujuan secara makro adalah mengubah strukrtur masyarakat, dari susunan masyarakat warisan
feodalisme dan kolonialisme menjadi susunan masyarakat yang lebh adil dan merata.
 Secara mikro tujuannya adalah agar sedapat mungkin semua (atau sebagian besar) rakyat
mempunyai asset produksi (tanah) sehingga lebih produktif, dan pengangguran dapat diperkecil.

PRINSIF REFORMA GARARIA :

a. Tanah untuk mereka yang benar-benar mengerjakannya (penggarap),


b. Tanah tidak dijadikan komoditi komersial, yaitu tidak boleh dijadikan barang dagangan (jual-beli
yang semata-mata untuk mencari keuntungan),
c. Tanah mempunyai fungsi sosial
d. Meningkatkan tarap hidup ekonomi masyarakat penggarap

LANDASAN HUKUM REFORMA AGRARIA

- Pasal 33 ayat 2 UUD 1945


- Undang-undang No 5 Tahun 1960 (UUPA 1960)
- TAP MPR No 9 2001
- Perpres No 86 Tahun 2018
- SK Bupat Karawang NOMOR: 800.22/Kep. 192-Huk/2022

PELAKSANAAN REFORMA AGRARIA

Saat ini yang menjadi dasar pelaksanaan reforma agraria di Indonesia adalah Perpres No 86 tahun 2018.
Dalam perpres tersebut diatur secara teknis mengenai kepanitian dan tahapan-tahanpan pelaksanaan
reforma agraria.

Penyelenggaraan Reforma Agraria dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daera dengan
tahapan : perencanaan Reforma Agraria dan pelaksanaan Reforma Agraria

A. Perencanaan Reforma Agraria sebagaimana dimaksud meliputi:

1. perencanaan Penataan Aset terhadap penguasaan dan pemilikan Tanah Objek Reforma Agraria
(TORA)
2. perencanaan Penataan Akses dalam penggunaan dan pemanfaatan serta produksi atas TORA
3. perencanaan peningkatan kepastian hukum dan legalisasi atas TORA
4. perencanaan penanganan Sengketa dan Konflik Agraria
5. perencanaan kegiatan lain yang mendukung Reforma Agraria

B. Pelaksanaan Reforma Agraria sebagaimana dimaksud dilaksanakan melalui tahapan:


Penataan Aset dan Penataan Akses.

1. Penataan Aset (objek reform) >> Penataan Aset sebagaimana dimaksud terdiri atas:
a. redistribusi tanah
b. legalisasi aset

Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) :

- Tanah HGU dan HGB yang telah habis masa berlakunya


- Tanah Negara bekas tanah terlantar
- Tanah Negara Bebas (ex: tanah timbul & tanah klaim kehutanan)
- Tanah Hasil Pelepasan Kawasan Hutan
- Tanah kelebihan maksimum
- Tanah Absentee/Guntai

Subjek penerima redis :

- orang perseorangan
>> Semua lapisan masyarakat bawah, termasuk Pegawai Honorer, PNS dan Tentara yang
tidak memiliki tanah.
- kelompok masyarakat dengan Hak Kepemilikan Bersama
- badan hukum :
a. koperasi, perseroan terbatas, atau yayasan, yang dibentuk oleh Subjek Reforma
Agraria dengan Hak Kepemilikan Bersama
b. badan usaha milik desa.

2. Penataan Akses

Penataan akses yang dimaksud meliputi :


- pemetaan sosial
- peningkatan kapasitas kelembagaan
- pendampingan usaha
- peningkatan keterampilan
- penggunaan teknologi tepat guna
- diversifikasi (penganekaragaman) usaha
- fasilitasi akses permodalan
- fasilitasi akses pemasaran
- penyediaan infrastruktur pendukung

KELEMBAGAAN REFORMA AGRARIA

Dalam rangka penyelenggaraan Reforma Agraria dibentuk Tim Reforma Agraria Nasional. Tim Reforma
Agraria Nasional sebagaimana dimaksud mempunyai tugas sebagai berikut:

1. menetapkan kebijakan dan rencana Reforma Agraria


2. melakukan koordinasi dan penyelesaian kendala dalam penyelenggaraan Reforma Agraria
3. melakukan pengawasan serta pelaporan pelaksanaan Reforma Agraria.

Susunan keanggotaan Tim Reforma Agraria Nasional terdiri atas:

a. Ketua : Menteri Koordinator Bidang Perekonomian


b. Anggaota : Kementrian & lembaga negara terkait lainnya

Dalam rangka membantu pelaksanaan tugas Tim Reforma Agraria Nasional sebagaimana dimaksud
dibentuk Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA), yang bertugas mengkoordinasikan, mengawasi,
melaporkan kegiatan reforma agraria, serta mengurai dan menyelesaikan konflik agraria. Susunan GTRA
terdiri atas:

1. Gugus Tugas Reforma Agraria Pusat


2. Gugus Tugas Reforma Agraria Provinsi
3. Gugus Tugas Reforma Agraria Kabupaten/Kota.
Otoritas Kehutanan tidak memiliki legitimasi kekuasaan yang kuat atas tanah Eks Partikelir
Tegalwaroe Landen

1. Pelanggaran hukum yang dilakukan oleh otoritas kehutanan pada eks tanah partikelir
Tegalwaroe Landen
Kata ‘Hutan’ sangat erat kaitannya dengan terminologi hukum, bahwa suatu wilayah tidak bisa
dikatakan hutan jika secara hukum belum ditetepkan sebagai Kawasan Hutan melalui proses dan
bukti-bukti yuridis. Jika kita lihat konteks hutan dalam perspektif hukum sesuai UU no 41 Tahun
1999 bahwa tanah negara yang ditempati dan dikelola oleh masyarakat secara turun temurun
tidak bisa dikategorikan sebagai ‘hutan’ sebagaimana yang klaim oleh kehutanan pada wilayah
tersebut, kemudian hutan sendiri dalam pengertian undang-undang tersebut adalah suatu
kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi
pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat
dipisahkan. Jikapun benar wilah tersebut sebagai wilayah Kawasan Hutan berarti harus sesuai
dengan peraturan perundang-undangan, yaitu wilayah yang dikukuhkan oleh Pemerintah untuk
dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.
Proses pengukuhan Kawan Hutan itu sendiri harus melaluai 4 tahapan sebagai syarat bahwa
wilayah tersebut sudah ditetapkasn sebagai Kawasan Hutan, diantaranya
1) Penujukan Kawasan Hutan, (Sesuai SK Kementrian Tahun 1954, Tentang penunjukan
Kawasan Hutan di Jawa)
2) Penatan Batas, (dibuktikan dengan Berita Acara Tatat Batas/BATB)
3) Pemetaan dan
4) Penetapan.
Kemudian dalam kepanitian/kelembagaan penetapannyapun harus melibatkan masyarakat yang
berbatasan dengan kawasan tersebut, agar dikemudian hari tidak terjadi perselisihan tata batas
antara kawasan hutan dengan lahan-lahan milik masyarakat sekitar. Jika dalam hal ini tidak
dilakukan pada proses pengukuhan maka ada konstitusi yang dilanggar oleh otoritas kehutanan,
juga patut diduga ada niat dan praktek land grabing (perampasan tanah) pada lahan-lahan milik
masyarakat.
Pada kasus konflik agraria yang terjadi di Desa Mulyasejati, berdasarkan kronologis yang akan
diuraikan di bawah bahwa area LPRA Desa Mulyasejati pada dasarnya telah dikuasai oleh
masyarakat sejak turun temurun. Klaim hutan oleh otoritas kehutanan sampai saat ini tidak dapat
dibuktikan secara hukum yang benar, artinya otoritas kehutanan selama ini telah melakukan
tindak kriminal atas pelanggaran undang-undang yang berlaku di Indonesia melalui kegiatan klaim
hutan di atas tanah garapan masyarakat dan kegiatan produksi yang diselenggarakan oleh Perum
Perhutani.
Kronologis perampasan dan konflik agraria Desa Mulyasejati
Sebelum datangnya penjajahan Belanda ke desa Medalsari tanah yang dikuasai oleh Perum
Perhutani adalah tanah adat dan menjadi sumber penghidupan masyarakt, Kemudian pada tahun
1845 Belanada mengambil tanah garapan petani dengan maksud untuk dijadikan tanah partikelir
dengan pustusan surat Eigendom Verponding No.53, SU. No. 49, Tgl. 22 Januari 1845, atas nama
NV. Mij Exploitate De Tegalwaroelanden Merk Goan Soen Hien seluas 55.173 Ha.
Pasca kemerdekaan tanah-tanah partikelir dinasionalisasi oleh Indonesia berdasarkan Keputusan
Pemerintah Indonesia No. 1 Tahun 1949 Tgl. 8 April 1949, dengan Akta Perjanjian Pelepasan Hak
No. 72 dan Akta Pelepasan Hak No. 856, dihadapan Notaris L.J Van der Linden tanggal 17 Mei 1949.
Kemudian pada tahun 1958 Keluar Undang-Undang No. 1 Tahun 1958, tentang Penghapusan
Tanah Partikelir. Tanah bekas tanah partikelir Tegalwaroe Landen ditegaskan kembali menjadi
tanah negara, lalu diatur mengenai kedudukan hukum atas tanah usaha dan tanah kongsi. Pada
tahun 1961 dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 224 Tahun 1961, Pasal 1 huruf (d) bahwa Tanah
Negara yang berasal dari bekas tanah partikelir Tegalwaroe Landen dijadikan tanah obyek
landrefom dan pada tahun 1962 Tanah kongsi yang berupa tanah pertanian, bekas tanah partikelir
Tegalwaroe Landen ditegaskan menjadi tanah obyek landreform atas dasar Keputusan Menteri
Pertanian dan Agraria No. SK. 30/Ka/1962.
Pada Tahun 1965, terbentuklah Panitia Landreform Kabupaten Karawang pada 17 Juni 1965
melalui melalui Surat Bupati Karawang No. 29/PLD/VIII/52/1965 dan Sk. Kinag Jabar No.
228/C/VIII/52/11965. Tugas Panitia Landreform sebagaimana amanat PP No. 224 tahun 1961 dan
SK Bupati Karawang adalah menyelesaikan secara administrasi atau redistribusi atas objek tanah
landreform tanah partikelir eks Tegalwaroe Landen yang berada di Kecamatan Telukjambe dan
Pangkalan (sekarang menjadi Kecamatan Telukjambe Barat, Telukjame Timur, Ciampel, Pangkalan,
dan Tegalwaru) Kabupaten Karawang. Tujuannya memastikan status kepemilikan atas tanah
tersebut, sebab di dalamnya terdapat masyarakat yang sudah lama menggarap.
Ketika masa tugas panitia landreform itu berlangsung, terjadi gejolak sosial, politik, pertahanan,
dan keamanan negara yang disebabkan oleh tragedi Gerakan 30 September 1965, Partai Komunis
Indonesia. Situasi itu membuat Menteri Agraria mengeluarkan Surat Keputusan No. SK.
88/Depag/1965, tentang Penghentian Untuk Sementara Semua Kegiatan Anggota-anggota 10
Penjelasan Peraturan Pemerintah No. 224 Tahun 1961 Tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah
Dan Pemberian Ganti Kerugian Landreform Pusat/Daerah Yang Mewakili Barisan Tani Indonesia.
Dampaknya, proses pendataan dan redistribusi atas tanah partikelir bekas Tegalwaroe Landen
menjadi terhenti.
Setelah peralihan kekuasaan dari Presiden Soekarno ke Soeharto program reforma agraria seperti
‘dipeti es’ kan, konsep pertanahan di Indonesia diubah menjadi kongsi-kongsi usaha. Melaluia
undang-undang sektoral pertanahan Indonesia dikapling-kapling berdasar sector usahanya, salah
satunya adalah sector kehutanan di bawah Kementrian Kehutanan. Pada tahun 1972 Pemerintah
mendirikan Perum Perhutani berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1972. Perum
Perhutani memiliki tugas dan wewenang untuk menyelenggarakan perencanaan, pengurusan,
pengusahaan dan perlindungan hutan di wilayah kawasan hutan sebagai wilayah kerjanya sesuai
penunjukan, dan di Jawa Barat penunjukan Kawasan Hutan berdasarkan SK Kementrian Pertanian
Tahun 1954 (31 Agustus 1954).
Pada tahun 1970 otoritas kehutanan mengklaim perkampungan dan area garapan masyarakat
sebagai Kawasan Hutan tanpa bukti jelas pengukuhan kawasan hutan. Setelahnya pada tahun
1972-1974 Perhutani merampas bukti-bukti penguasaan tanah petani berupa girik untuk
dimusnahkan.
Perum Perhutani Karawang menambah luasan Kawasan Hutan secara sepihak tanpa persetujuan
masyarakat dengan cara melakukan penyerobotan lahan (land grabing) secara intimidatif di
wilayah lahan garapan masyarakat Desa Mulyasejati. Pada tahun 1987 di Desa Mulyasejati dan
beberapa desa lainya yang berada di sekitaran wilayah hutan (berdasar penujukan) diusir paksa
dari tanah garapannya, bahkan rumah-rumah yang ditinggali dibakar oleh pihak Perhutani.
Pada tahun 1988 sampai dengan tahun 1997 masyarakat menggarap kembali ke area tersebut
dengan menanam tanaman-tanaman holtikultura pada area-area kosong yang tidak ditanami oleh
Perhutani melakukan penanaman tanaman kayu besar seperti pohon sengon, mahoni dan jati
yang mengakibatkan tanaman-tanaman petani terindangi dari cahaya matahari sehingga
menyebabkan tanaman petani menjadi tumbuh tidak baik dan bahkan mati.
2. Kasus Tanah Masuk yang berada di kalim Kawasan Hutan
Tanah Masuk yang berada pada Kawan Hutan merupakan tanah penggantian dari proses tukar
guling/ruislagh yang diberikan oleh pihak pemohon ruislahg kepada kementrian kehutanan.
Kegiatan ruislagh tersebut tidak boleh keluar dari syarat-syarat dan tata cara yang berlaku sesuai
yang diatur oleh Peraturan Mentri Kehutanan Nomor 32 tahun 2010.
Kasus tanah masuk yang terjadi di beberapa lokasi klaim Kawasan Hutan di Karawang patut
dipertanyakan status keberadaannya, otoritas kehutanan harus mampu memberikan keterang
yang jelas dan komplit atas keberadaan tanah masuk tersebut. Adapun keterangan yang harus
dijelaskan dan dibuktikan adalah sebagai berikut :
- Perusahan man yang memberikan ruislagh tersebut ?,
- Tanah pengganti dari ruislagh tersebut berasal dari kawasan hutan mana ?,
- Buktikan izin usaha pada rislagh tersebut,
- Buktikan hasil penelitian dan rekomendari dari tim terpadu atas usulan ruislagh tersebut,
- Berapa luasan yang dilepas dan berapa luasan penggantiannya ?,
- Buktikan Berita Acara Tukar Menukar (BATM) Kawasan Hutan dan dokumentasi serta piak
mana saja yang terlibat dalam tim tukar menukan kawasan hutan sebagai bukti
pengukuhan kawasan hutan pada ruislagh tersebut ?,
- Tanah milik siapa saja yang dibebaskan untuk dijadikan penggantian ruislagh dan berikan
bukti warkah secara kronologis lengkap dan administratif atas tanah ruislagh tersebut ?,
- Terakhir, siapa saja para pelaku yang terlibat dalam ruislagh tersebut ?.
Jika serangkaian syarat-syarat yang harus dibuktikan di atas tidak dapat dipenuhi maka sudah
dipastikan proses dan penetapan ruislagh terindikasi cacat hukum. Biasanya sesuatu yang
disembunyikan dan atau ditutup-tutupi dalam proses hukum bisa diisinyalir terjadi pelanggaran
atas ketentuan hukum yang berlaku, kemungkinan besar sesuatu yang disembunyikan tersebut
mengarah pada tindak kriminal.
Ruislagh yang merupakan salah satu unsur kegiatan usaha dalam bentuk proses pemberian ijin
penggunaan Kawasan Hutan oleh otoritas kehutanan kepada pemohon harus sesuai dengan
peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Jikapun benar rangkainan ijin usaha tersebut
mampu dibuktikan secara lengkap dan benar maka di dalamnya ada biaya perijinan yang diberikan
pemohon dan diterima oleh otoritas Kehutanan, tetapi jka rangkainan ijin usaha tersebut tidak
mampu dibuktikan sebagai proses ruislah maka di sini terjadi tindak pidanan korupsi yng dilakukan
otoritas Kehutanan.
Yang paling parah pada ruislah tersebut adalah jika otoritas kehutanan tidak mampu membuktikan
pengukuhana kawasan hutan pada area klaim kawasan hutan yang digunakan untuk ditukar guling
tersebut, maka disini terjadi penyalahgunaan kewenangan dan tindak kriminal oleh otoritas
kehutanan atas Tanah Negara karena tanah tersebut belum diberikan beban hak apapun.
3. Dugaan korupsi pada ranah produksi yang dilakukan oleh PERHUTANI
Pasca peralihan kekuasaan dari Presiden Soekarno ke Soeharto program reforma agraria seperti
‘dipeti es’ kan, konsep pertanahan di Indonesia diubah menjadi kongsi-kongsi usaha. Melalui
undang-undang sektoral pertanahan Indonesia dikapling-kapling berdasar sector usahanya, salah
satunya adalah sector kehutanan di bawah Kementrian Kehutanan. Pada tahun 1972 Pemerintah
mendirikan Perum Perhutani berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1972. Perum
Perhutani memiliki tugas dan wewenang untuk menyelenggarakan perencanaan, pengurusan,
pengusahaan dan perlindungan hutan di wilayah kawasan hutan sebagai wilayah kerjanya sesuai
pengukuhan yang benar.
Kembali lagi pada uraian sebelumnya yang menjelaskan tentang tidak adanya legitimasi dari
otoritas kehutanan atas klaim kawasan hutan yang berada di LPRA Desa Mulyasejati, bahwa kaliam
tersebut merupakan sesuatu yang ilegal. Berarti selama ini Perum Perhutani telah melakukan
kegiata usaha di atas area yang bukan wilayah kerjanya, artinya Perum Perhutani telah melakukan
kegiatan usaha yang ilegal. Hal ini lah yang kemudian menjadi indikasi tindak pidana korupsi atas
penggunaan uang negara yang tidak sesuai peruntukan dalam kegiatan uasaha BUMN karena
dikerjakan diatas kegiatan yang ilagal oleh perum Perhutani di Karawang, sebab Perum Perhutani
sebagai BUMN dalam penyertaan modalnya bersumber dari uang negara berdasarkan PERATURAN
PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 72 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN
PEMERINTAH NOMOR 44 TAHUN 2005 TENTANG TATA CARA PENYERTAAN DAN PENATAUSAHAAN
MODAL NEGARA PADA BADAN USAHA MILIK NEGARA DAN PERSEROAN TERBATAS.

Hal lain juga yang menjadi pertanyaan atas keberadaan Perum Perhutani di Karawang adalah
apakah yang menjadi dasar bagi Kementrian Kehutanan menempatkan Perum Perhutani untuk
mengelola area eks partikelir Tegalwaroe Landen Jika tidak ada satupun dasar yang dapat
dibuktikan maka keberadaan Perum Perhutani di Karawang harus dibubarkan.

Anda mungkin juga menyukai