Anda di halaman 1dari 16

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dalam suatu metabolisme , terjadi reaksi yang begitu kompleks. Satu tahap
reaksi selesai, maka akan masuk pada tahapan selanjutnya. Demikian juga pada
tahap pembentukan ATP. Mitokondria sebagai organella pernapasan sel atau yang
sering disebut sebagai “powerhouse” ( pabrik energi) sel, karena didalamnya
berlangsung sebagian besar peristiwa penangkapan energi yang berasal dari
oksidasi dalam rantai pernapasan sel. Sistem dalam mitokondria yang
merangkaikan respirasi dengan produksi ATP sebagai suatu zat antara berenergi
tinggi dikenal dengan fosforilasi oksidatif.
Fosforilasi oksidatif memungkinkan organisme aerob menangkap energi
bebas dengan proporsi yang lebih besar. Pembentukan ATP dalam glikolisis
sempurna yaitu glukosa menjadi CO2 dan H2O, dari 30 ATP terbentuk menjadi
26 ATP berasal dari proses fosforilasi oksidatif.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa itu fosforilasi oksidatif ?


2. Tahapan fosforilasi oksidatif ?
3. faktor penghambat fosforilasi oksidatif ?
4. Apa hubungan fosforilasi oksidatif dengan kedokteran/biomedis ?

1.3 Tujuan

Untuk mengetahui apa itu fosforilasi oksidatif, bagaimana prosesnya, apa


saja faktor penghambat proses fosforilasi oksidatif dan apa hubungannya dengan
kedokteran/medis.

1
BAB 2

ISI

2.1 Pengertian Fosforilasi Oksidatif

Fosforilasi oksidatif adalah suatu lintasan metabolisme dengan penggunaan


energi yang dilepaskan oleh oksidasi nutrien untuk menghasilkan ATP, dan
mereduksi gas oksigen menjadi air. Fosforilasi oksidatif juga merupakan proses
pembentukan ATP akibat transfer elektron dari NADH atau FADH2 kepada
oksigen melalui serangkaian pengemban elektron. Proses ini adalah sumber utama
pembentukan ATP pada organisme aerob, dan proses ini terjadi pada membran
dalam mitokondria.

Gambar 1. Mitokondria dan Strukturnya

2.2 Tahapan Fosforilasi Oksidatif

Aliran elektron melalui rantai respiratorik menghasilkan ATP melalui proses


fosforilasi oksidatif .

2
2.2.1 Teori Kemiosmotik ( Peter Mitchell , 1961 )

Gambar 2. Teori kemiosmotik tentang fosforilasi oksidatif. Kompleks I,III,dan IV


bekerja sebagai pompa proton yang menciptakan suatu gradien proton di
sepanjang membran ( negatif sisi matriks ). Daya gerak proton yang dihasilkan
memicu sintesis ATP sewaktu proton mengalir balik ke dalam matriks melalui
enzim ATP sintase. Uncoupler ( pemisah kopel ) meningkatkan permeabilitas
membran terhadap ion sehingga menurunkan gradien proton dengan membiarkan
H+ lewat tanpa melalui ATP sintase sehingga elektron yang bebas mengalir
melalui kompleks respiratorik dari sintesis ATP. (sit,sitokrom; Q ,koenzim Q atau
ubikuinon).

Proses ini digandeng oleh gradien proton di sepanjang membran dalam


mitokondria sehingga daya gerak proton yang ditimbulkan oleh perbedaan
potensial elektrokimia (negatif di sisi matriks) memicu proses pembentukan ATP.
Kompleks I,III dan IV bekerja sebagai pompa proton. Karena membran dalam
mitokondria bersifat impermeable terhadap ion secara umum dan khususnya
terhadap proton , proton terakumulasi di ruang antar membran yang menghasilkan
daya gerak proton seperti diperkirakan dalam teori kemiosmotik.

3
2.2.2 Proses fosforilasi oksidatif

Komplek-komplek enzym yang terangkai pada membran dalam mitokondria


untuk pengangkutan elektron dari molekul NADH atau FADH2 ke oksigen

molekuler dimana terbentuk sejumlah ATP dan molekul air dikenal dengan rantai
pernapasan. Komplek enzym tersebut adalah NADH-Q reduktase, suksinat-Q
reduktase, sitokrom reduktase dan sitokrom oksidase. Suksinat-Q reduktase,
berbeda dengan ketiga komplek yang lain, tidak memompa proton. Dalam
fosforilasi oksidatif, daya gerak elektron diubah menjadi daya gerak proton dan
kemudian menjadi potensial fosforilasi.

Fase pertama adalah peran komplek enzym sebagai pompa proton yaitu
NADH-Q reduktase, sitokrom reduktase dan sitokrom oksidase. Komplek-
komplek transmembran ini mengandung banyak pusat oksidasi reduksi seperti
flavin, kuinon, besi-belerang, heme dan ion tembaga.

Fase kedua dilaksanakan oleh ATP sintase, suatu susunan pembentuk ATP
yang digerakkan melalui aliran balik proton kedalam matriks mitokondria.
Elektron potensial tinggi dari NADH masuk rantai pernapasan pada NADH-Q
reduktase atau disebut juga dengan NADH dehidrogenase atau komplek I.
Langkah awal adalah pengikatan NADH dan transfer dua elektronnya ke flavin
mononukleotida (FMN), gugus prostetik komplek ini, menjadi bentuk tereduksi,
FMNH2. Elektron kemudian ditransfer dari FMNH2 keserangkaian rumpun

belerang besi (4Fe-4S), jenis kedua gugus prostetik dalam NADH-Q reduktase.
Elektron dalam rumpun belerang-besi kemudian diangkut ke ko-enzym Q, dikenal
juga sebagai ubiquinon. Ubiquinon mengalami reduksi menjadi radikal bebas
anion semiquinon dan reduksi kedua terjadi dengan pengambilan elektron kedua
membentuk ubiquinol (QH2) yang terikat enzym. Pasangan elektron pada QH2

dipindahkan ke rumpun belerang besi (2Fe-2S) kedua yang ada pada NADH-Q
reduktase, dan akhirnya ke Q yang bersifat mobil dalam inti hidrofobik membran

4
dalam mitokondria. Aliran dua elektron ini menyebabkan terpompanya empat H+
dari matriks kesisi sitosol membran dalam mitokondria, dengan mekanisme yang
belum diketahui.

Ubiquinol ( QH 2 ) juga merupakan tempat masuk elektron dari FADH 2

enzym-enzym flavoprotein kerantai pernapasan. Suksinat dehidrogenase


merupakan bagian dari komplek suksinat-Q reduktase atau disebut juga komplek
II, suatu protein integral membran dalam mitokondria. FADH2 tidak

meninggalkan komplek, elektronnya ditransfer kerumpun belerang-besi dan


kemudian ke Q untuk masuk dalam rantai pernapasan. Enzym-enzym flavoprotein
lain seperti gliserol fosfat dehidrogenase dan asil-ko-A dehidrogenase yang
membentuk gugus prostetik tereduksi FADH2, elektronnya dipindahkan ke

flavoprotein kedua yang disebut flavoprotein pemindah elektron atau ETF


(electron transferring flavoprotein). Selanjutnya ETF memberikan elektronnya
kerumpun belerang besi dan Q untuk masuk rantai pernapasan dalam bentuk QH 2.

Berbeda dengan komplek I, komplek II dan enzym lain yang mentransfer elektron
dari FADH2 ke Q tidak memompa proton karena perubahan energi bebas dari

reaksi yang dikatalisanya terlalu kecil. Itulah sebabnya, ATP yang terbentuk pada
oksidasi FADH2 lebih sedikit dari pada melalui NADH.

Pompa proton kedua dalam rantai pernapasan adalah sitokrom reduktase atau
ubiquinol-sitokrom c reduktase atau komplek sitokrom bc 1 atau disebut juga

komplek III. Sitokrom merupakan protein pemindah elektron yang mengandung


heme sebagai gugus prostetik. Komplek III ini berfungsi mengkatalisir transfer
elektron dari QH2 kesitokrom c dan secara bersamaan memompa proton sebanyak

dua H+ melewati membran dalam mitokondria. Ada dua sitokrom yaitu b dan c 1

dalam komplek ini, juga mengandung protein Fe-S dan beberapa rantai
polipeptida lain. Heme pada sitokrom b berbeda dari heme yang ada pada
sitokrom c dan c1 yang terikat secara kovalen berupa ikatan tioester pada

5
proteinnya.Sitokrom oksidase, komponen terakhir dari tiga pompa proton dalam
rantai pernapasan, mengkatalisis transfer elektron dari ferositokrom c kemolekul
oksigen sebagai akseptor terakhir. Sitokrom oksidase mengandung dua gugus
heme yang berbeda dari heme pada sitokrom c dan c1 karena gugus rantai

samping hemenya dan ikatannya pada enzym secara non kovalen. Heme komplek
ini dikenali sebagai heme a dan heme a3, karenanya komplek ini juga disebut

sitokrom aa3. Selain heme komplek ini juga mengandung dua ion tembaga,

dikenal dengan CuA dan CuB. Ferositokrom c memberikan satu elektronnya

kerumpun heme a- CuA dan satu lagi kerumpun heme a3- CuB dimana oksigen

direduksi melalui serangkaian langkah menjadi dua molekul H2O. Molekul

oksigen merupakan ekseptor elektron terminal yang ideal. Afinitasnya yang tinggi
terhadap elektron memberi daya gerak termodinamik yang besar untuk fosforilasi

oksidatif. Terjadi pemompaan proton empat H+ kesisi sitosol dari membran.

Sejumlah ATP yang dibentuk pada peristiwa fosforilasi oksidatif dirantai


pernapasan tidak begitu pasti karena stoikiometri pompa proton, sintesa ATP dan
proses transport metabolite tidak harus dalam jumlah bulat atau bernilai tetap.

Menurut perkiraan saat ini, jumlah H+ yang dipompa dari matriks kesisi sitosol
membran oleh Komplek enzym I, III dan IV per pasangan elektron, masing-

masing adalah 4, 2 dan 4. Sintesa ATP digerakkan oleh aliran kira-kira tiga H+
melalui ATP sintase. Sedangkan untuk mengangkut ATP dari matriks kesitosol

memerlukan satu H+ tambahan. Dengan demikian terbentuk kira-kira 2,5 ATP


sitosol akibat aliran sepasang elektron dari NADH ke oksigen. Untuk elektron
yang masuk pada tahap komplek III, misalnya yang berasal dari oksidasi suksinat,
hasilnya adalah kira-kira 1,5 ATP per pasangan elektron.

Kecepatan fosforilasi oksidatif ditentukan oleh kebutuhan ATP. Transport


elektron terangkai erat dengan fosforilasi, elektron tidak mengalir melalui rantai
pernapasan ke oksigen bila tidak ada ADP yang secara simultan mengalami

6
fosforilasi menjadi ATP. Fosforilasi oksidatif memerlukan suplai NADH atau
sumber elektron lain dengan potensial tinggi, oksigen, ADP dan ortofosfat. Faktor
terpenting dalam menentukan kecepatan fosforilasi oksidatif adalah kadar ADP.
Kecepatan konsumsi oksigen oleh mitokondria meningkat tajam bila ditambahkan
ADP dan kembali kenilai semula bila ADP yang ditambahkan sudah difosforilasi
menjadi ATP. Pengaturan oleh kadar ADP ini disebut pengaturan respirasi.
Kepentingan fisiologis mekanisme pengaturan ini jelas,kadar ADP meningkat bila
ATP dipakai dan dengan demikian fosforilasi oksidatif terangkai dengan
penggunaan ATP. Elektron tidak mengalir dari molekul bahan bakar kemolekul
oksigen bila sintesa ATP tidak diperlukan.

2.3 Faktor Penghambat Fosforilasi Oksidatif

Transfer elektron dalam rantai pernapasan dapat dihambat oleh banyak


inhibitor spesifik. Inhibitor-inhibitor ini dibagi menjadi tiga golongan yaitu
inhibitor rantai pernapasan, inhibitor fosforilasi oksidatif dan pemutus rangkaian
(uncoupler) fosforilasi oksidatif.

1.Inhibitor rantai respirasi ,mencegah oksidasi subtrat yg berhubungan langsung


dengan rantai respirasi melalui enzim dehidrogenase berikatan NAD dengan
menyekat pemindahan dari Fe-S ke Q yaitu ; Gol barbiturat: amobarbitol,
antibiotik piesidin A, insektisida serta racun ikan rotenon.

2. Inhibitor fosforilasi oksidatif, menghambat fosforilasi dan dengan begitu juga


menghambat oksidasi ; Oligomisin: blokade proses fosforilasi pada F0 (Faktor
O). Atraktilosid hambat F0 yg menghambat pengangkutan ADP ke dalam
mitokndria dan ATP ke luar mitokondria.

3.Pemutus rangkaian (uncoupler), memisahkan oksidasi rantai pernafasan dengan


fosforilasi (in vivo), sehingga membuat rantai respirasi tak terkendali oleh karena
konsentrasi ADP atau Pi tidak lagi membatasi laju respirasi. Contoh: 2,4
diklorofenol, dinitrokresol, pentaklorofenol.

7
Racun klasik seperti H2S, karbon monoksida (CO), sianida (CN -) dan azida (N3-)

menghambat sitokrom oksidase dan dapat menghentikan respirasi secara total.

2.4 Hubungan Fosforilasi Oksidatif dengan Kedokteran/biomedis

Pada keadaan yang dikenal sebagai disfungsi ginjal dan miopati mitokondria
infantil fatal , terjadi penurunan hebat atau ketiadaan sebagian besar
oksidoreduktase dalam rantai respiratorik. MELAS ( ensefalopati mitokondria,
asidosis laktat, dan stroke ) adalah suatu sindrom herediter akibat difisiensi
NADH-Q oksidoreduktase ( Kompleks I ) atau sitokrom oksidase ( Kompleks IV )
. sindrom ini disebabkan oleh mutasi DNA mitokondria dan mungkin terlibat
dalam patogenesis penyakit Alzheimer dan diabetes melitus. Sejumlah obat dan
racun bekerja dengan menghambat fosforilasi oksidatif.

Manusia hidup memerlukan energi, energi ini tersedia dalam bentuk ATP.
Energi juga merupakan sumber tenaga bagi manusia, tanpa energi manusia tidak
dapat melakukan aktivitas dengan lancar.

Gambar 3. Manusia memerlukan energi untuk keberlangsungan hidupnya.

8
2.4.1 Pada kepentingan biomedis

fosforilasi oksidatif berguna untuk mempelajari proses obat/racun yg dpt


menghambat fosfolirasi oksidatif dan mempelajari kelainan bawaan
(miopati,encepalopati, dll).

2.4.2 Pemanfaatan Enzim Sebagai Alat Diagnosis

Pemanfaatan enzim untuk alat diagnosis secara garis besar dibagi dalam tiga
kelompok :
1.Enzim sebagai petanda (marker) dari kerusakan suatu jaringan atau organ akibat
penyakit tertentu.Penggunaan enzim sebagai petanda dari kerusakan suatu
jaringan mengikuti prinsip bahwasanya secara teoritis enzim intrasel seharusnya
tidak terlacak di cairan ekstrasel dalam jumlah yang signifikan. Pada
kenyataannya selalu ada bagian kecil enzim yang berada di cairan ekstrasel.
Keberadaan ini diakibatkan adanya sel yang mati dan pecah sehingga
mengeluarkan isinya (enzim) ke lingkungan ekstrasel, namun jumlahnya sangat
sedikir dan tetap. Apabila enzim intrasel terlacak di dalam cairan ekstrasel dalam
jumlah lebih besar dari yang seharusnya, atau mengalami peningkatan yang
bermakna/signifikan, maka dapat diperkirakan terjadi kematian (yang diikuti oleh
kebocoran akibat pecahnya membran) sel secara besar-besaran. Kematian sel ini
dapat diakibatkan oleh beberapa hal, seperti keracunan bahan kimia (yang
merusak tatanan lipid bilayer), kerusakan akibat senyawa radikal bebas, infeksi
(virus), berkurangnya aliran darah sehingga lisosom mengalami lisis dan
mengeluarkan enzim-enzimnya, atau terjadi perubahan komponen membrane
sehingga sel imun tidak mampu lagi mengenali sel-sel tubuh dan sel-sel asing, dan
akhirnya menyerang sel tubuh (penyakit autoimun) dan mengakibatkan kebocoran
membrane.
Contoh penggunaan enzim sebagai petanda adanya suatu kerusakan jaringan
adalah sebagai berikut:

9
a. Peningkatan aktivitas enzim renin menunjukkan adanya gangguan perfusi
darah ke glomerulus ginjal, sehingga renin akan menghasilkan angiotensin II dari
suatu protein serum yang berfungsi untuk menaikkan tekanan darah.
b. Peningkatan jumlah Alanin aminotransferase (ALT serum) hingga mencapai
seratus kali lipat (normal 1-23 sampai 55U/L) menunjukkan adanya infeksi virus
hepatitis, peningkatan sampai dua puluh kali dapat terjadi pada penyakit
mononucleosis infeksiosa, sedangkan peningkatan pada kadar yang lebih rendah
terjadi pada keadaan alkoholisme.
c. Peningkatan jumlah tripsinogen I (salah satu isozim dari tripsin) hingga empat
ratus kali menunjukkan adanya pankreasitis akut, dan lain-lain.

2. Enzim sebagai suatu reagensia diagnosis

Sebagai reagensia diagnosis, enzim dimanfaatkan menjadi bahan untuk


mencari petanda (marker) suatu senyawa. Dengan memanfaatkan enzim,
keberadaan suatu senyawa petanda yang dicari dapat diketahui dan diukur berapa
jumlahnya. Contoh penggunaan enzim sebagai reagen adalah sebagai berikut:
a. Uricase yang berasal dari jamur Candida utilis dan bakteri Arthobacter
globiformis dapat digunakan untuk mengukur asam urat.
b. Pengukuran kolesterol dapat dilakukan dengan bantuan enzim
kolesteroloksidase yang dihasilkan bakteri Pseudomonas fluorescens.
c. Pengukuran alkohol, terutama etanol pada penderita alkoholisme dan keracunan
alkohol dapat dilakukan dengan menggunakan enzim alkohol dehidrogenase yang
dihasilkan oleh Saccharomyces cerevisciae, dan lain-lain.

3. Enzim sebagai petanda pembantu dari reagensia

Sebagai petanda pembantu dari reagensia, enzim bekerja dengan


memperlihatkan reagensia lain dalam mengungkapkan senyawa yang dilacak.
Senyawa yang dilacak dan diukur sama sekali bukan substrat yang khas bagi
enzim yang digunakan. Selain itu, tidak semua senyawa memiliki enzimnya,
terutama senyawa-senyawa sintetis. Oleh karena itu, pengenalan terhadap substrat
dilakukan oleh antibodi. Adapun dalam hal ini enzim berfungsi dalam

10
memperlihatkan keberadaan reaksi antara antibodi dan antigen.Contoh
penggunaannya adalah sebagai berikut:
a. Pada teknik imunoenzimatik ELISA (Enzim Linked Immuno Sorbent Assay),
antibodi mengikat senyawa yang akan diukur, lalu antibodi kedua yang sudah
ditandai dengan enzim akan mengikat senyawa yang sama. Kompleks antibodi
senyawa ini lalu direaksikan dengan substrat enzim, hasilnya adalah zat
berwarna yang tidak dapat diperoleh dengan cara imunosupresi biasa. Zat
berwarna ini dapat digunakan untuk menghitung jumlah senyawa yang
direaksikan. Enzim yang lazim digunakan dalam teknik ini adalah peroksidase,
fosfatase alkali, glukosa oksidase, amilase, galaktosidase, dan asetil kolin
transferase.
b. Pada teknik EMIT (Enzim Multiplied Immunochemistry Test), molekul kecil
seperti obat atau hormon ditandai oleh enzim tepat di situs katalitiknya,
menyebabkan antibodi tidak dapat berikatan dengan molekul (obat atau hormon)
tersebut. Enzim yang lazim digunakan dalam teknik ini adalah lisozim, malat
dehidrogenase, dan gluksa-6-fosfat dehidrogenase. Pemanfaatan Enzim Di Bidang
Pengobatan Pemanfaatan enzim dalam pengobatan meliputi penggunaan enzim
sebagai obat, pemberian senyawa kimia untuk memanipulasi kinerja suatu enzim
dengan demikian suatu efek tertentu dapat dicapai (enzim sebagai sasaran
pengobatan), serta manipulasi terhadap ikatan protein-ligan sebagai sasaran
pengobatan. Penggunaan enzim sebagai obat biasanya mengacu kepada pemberian
enzim untuk mengatasi defisiensi enzim yang seyogyanya terdapat di dalam tubuh
manusia untuk mengkatalis rekasi-reaksi tertentu. Berdasarkan lamanya
pemberian enzim sebagai pengobatan, maka keadaan defisiensi enzim dapat
diklasifikasikan menjadi dua yaitu keadaan defisiensi enzim yang bersifat
sementara dan bersifat menetap.

11
2.4.3 Pemanfaatan enzim di bidang pengobatan
Penggunaan enzim sebagai obat biasanya mengacu kepada pemberian enzim
untuk mengatasi defisiensi enzim yang seyogyanya terdapat di dalam tubuh
manusia untuk mengkatalis rekasi-reaksi tertentu. Enzim sebagai sasaran
pengobatan merupakan terapi di mana senyawa tertentu digunakan untuk
memodifikasi kerja enzim, sehingga dengan demikian efek yang merugikan dapat
dihambat dan efek yang menguntungkan dapat dibuat. Pada terapi di mana enzim
sel individu sebagai sasaran kinerja terapi, digunakan senyawa-senyawa untuk
mempengaruhi kerja suatu enzim sebagai penghambat bersaing. Contoh penyakit
yang dapat diobati dengan terapi ini adalah:
a. Diabetes Melitus. Pada penyakit Diabetes Melitus, senyawa yang diinduksikan
adalah akarbosa (acarbose), di mana akarbosa akan bersaing dengan amilum
makanan untuk mendapatkan situs katalitik enzim amilase (pankreatik α-amilase)
yang seyogyanya akan mengubah amilum menjadi glukosa sederhana. Akibatnya
reaksi tersebut akan terganggu, sehingga kenaikan gula darah setelah makan dapat
dikendalikan.
b. Pengendalian tekanan darah diatur oleh enzim renin-EKA dan angiosintase.
Enzim renin-EKA berperan dalam menaikkan tekanan darah dengan
menghasilkan produk angiotensin II, sedangkan angiosintase bekerja terbalik
dengan mengurangi aktivitas angiotensin II. Untuk menghambat kenaikan tekanan
darah, maka manipulasi terhadap kerja enzim khususnya EKA dapat dilakukan
dengan pemberian obat penghambat EKA (ACE Inhibitor).
c. Dengan menggunakan prinsip pengaruh senyawa terhadap enzim, maka enzim
yang berfungsi untuk memecah AMP siklik (cAMP) yaitu fosfodiesterase (PD)
dapat dihambat oleh berbagai senyawa, antara lain kafein (trimetilxantin), teofilin,
pentoksifilin, dan sildenafil. Teofilin digunakan untuk mengobati sesak nafas
karena asma, pentoksifilin digunakan untuk menambah kelenturan membran sel
darah merah sehingga dapat memasuki relung kapiler, sedangkan sildenafil
menyebabkan relaksasi kapiler di daerah penis sehingga aliran darah yang masuk
akan bertambah dan tertahan untuk beberapa saat.

12
d. Penyakit kanker merupakan penyakit sel ganas yang harus dicegah
penyebarannya. Salah satu cara untuk mencegah penyebarannya adalah dengan
menghambat mitosis sel ganas. Seperti yang diketahui, proses mitosis
memerlukan pembentukan DNA baru (purin dan pirimidin). Pada pembentukan
basa purin, terdapat dua langkah reaksi yang melibatkan formilasi (penambahan
gugus formil) dari asam folat yang telah direduksi. Reduksi asam folat ini dapat
dihambat oleh senyawa ametopterin sehingga sintesis DNA menjadi tidak
berlangsung. Selain itu penggunaan azaserin dapat menghambat biosintesis purin
yang membutuhkan asam glutamate. 6-aminomerkaptopurin juga dapat
menghambat adenilosuksinase sehingga menghambat pembentukan AMP (salah
satu bahan DNA).
e. Pada penderita penyakit kejiwaan, pemberian obat anti-depresi (senyawa)
inhibitor monoamina oksidase (MAO inhibitor) dapat menghambat enzim
monoamina oksidase yang mengkatalisis oksidasi senyawa amina primer yang
berasal dari hasil dekarboksilasi asam amino. Enzim monoamina oksidase sendiri
merupakan enzim yang mengalami peningkatan jumlah pada sel susunan saraf
penderita penyakit kejiwaan.

13
BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Fosforilasi oksidatif memungkinkan organisme aerob mampu menangkap


jauh lebih banyak proporsi energi bebas yang tersedia dalam substrat respiratorik .
Sebagian besar proses pembentukan ATP berlangsung di dalam mitokondria yang
disebut sebagai pabrik energi sel. Respirasi digabungkan dengan pembentukan zat
antara berenergi- tinggi , yaitu ATP, oleh fosforilasi oksidatif. Untuk setiap mol
substrat yang dioksidasi melalui Kompleks I,III, dan IV dalam rantai respiratorik
( melalui NADH ) , dibentuk 2,5 mol ATP per separuh mol O 2 yang dikomsumsi
yaitu rasio P : O = 2,5. Dapat diperkirakan bahwa hampir 90% fosfat berenergi
tinggi yang dihasilkan dari oksidasi sempurna 1 mol glukosa diperoleh melalui
fosforilasi oksidatif yang digabungkan dengan rantai respiratorik. Sejumlah obat
(misalnya amobarbital) dan racun (misalnya sianida,karbon monoksida)
menghambat fosforilasi oksidatif dan biasanya berakibat fatal.

3.2 Saran

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa malakah ini masih jauh dari kata
sempurna, karna itu penulis membutuhkan kritik dan saran yang membangun dari
pembaca agar makalah ini bisa menjadi lebih baik, dapat dimengerti dan
menambah wawasan bagi setiap orang yang membacanya.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Champe P C PhD, Harvey R A PhD. Lippincott’s Illustrated Reviews:

Biochemistry 2nd .1994 : 61 – 72.

2. Davis S.P, 1985, prinsip-prinsip biokimia, Jakarta (BU II)


3. Gernida, 1996, Biokimia, Gramedia, jakarta (BA II)

4. Lehninger A, Nelson D, Cox M M. Principles of Biochemistry 2 nd 1993 :


364 - 394

5. Murray R K, et al. Harper’s Biochemistry 29th ed. Jakarta : EGC, 2014.


137 – 148.

6. Smeitink J, van den Heuvel L, DiMauro S : The genetics and pathology of


oxidative phosporylation. Nat Rev Genet 2001;2:342.
7. Tyler DD: The Mitochondrion in Health and Disease. VCH Publishers,
1992.
8. Wallace DC: Mitochondrial DNA in aging and disease.Sci Am
1997;277:22.

15
16

Anda mungkin juga menyukai