Anda di halaman 1dari 4

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kesehatan jiwa menurut World Health Organization (WHO)

adalah ketika seseorang tersebut merasa sehat dan bahagia, mampu

menghadapi tantangan hidup serta dapat menerima orang lain sebagaimana

seharusnya serta mempunyai sikap positif terhadap diri sendiri dan orang

lain. Kesehatan jiwa adalah kondisi dimana seorang individu dapat

berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu

tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat

bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk

komunitasnya. Kondisi perkembangan yang tidak sesuai pada individu

disebut gangguan jiwa (UU No.18 tahun 2014).

Kesehatan jiwa dan gangguan jiwa sering kali sulit didefinisikan.

Orang dianggap sehat jika mereka mampu memainkan peran dalam

masyarakat dan prilaku mereka pantas dan adaptif. Sebaliknya, seseorang

dianggap sakit jika gagal memainkan peran dan memikul tanggung jawab

atau perilaku tidak pantas (Videbeck, 2009).

Gangguan jiwa merupakan adanya gangguan pada fungsi mental,

yang meliputi; emosi, pikiran, prilaku, perasaan, motivasi, kamauan,

keinginan, daya tilik diri dan persepsi sehingga menganggu dalam proses
hidup di masyarakat (Nasir & Muihth, 2011). Persepsi masyarakat bahwa

penderita gangguan jiwa adalah sesuatu yang mengancam juga harus

diluruskan. Selama ini keluarga masih beranggapan bahwa penanganan

penderita gangguan jiwa adalah tanggung jawab pihak Rumah Sakit Jiwa

saja, padahal faktor yang memegang peranan penting dalam hal perawatan

penderita adalah keluarga serta masyarakat di sekitar penderita gangguan

jiwa tersebut (Kusuma, 2009).

Hasil riset World Health Organization (WHO, 2016) lebih dari 450

juta penduduk dunia hidup dengan gangguan jiwa. Hal ini menandakan

setidaknya ada satu dari empat orang didunia mengalami masalah

gangguan jiwa. Sedangkan berdasarkan National Institute of Mental

Health (NIMH) prevalensi skizofrenia diseluruh dunia sekitar (1,1%) atau

sebesar 51 juta orang di dunia mengalami skizofrenia. Prevalensi

skizofrenia di negara berkembang dan di negara maju hampir sama, sekitar

(20%) dari jumlah penduduk dewasa (Kurnia, 2015).

Menurut World Health Organization (WHO, 2016) Indonesia

menduduki peringkat ke-4 dengan penduduk terbanyak di dunia.

Berdasarkan Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas, 2013), menunjukkan

prevalensi gangguan mental emosional yang menunjukkan depresi dan

kecemasan, usia 15 tahun keatas sebesar (6,0%) atau mencapai sekitar 14

juta orang dari jumlah penduduk Indonesia. Sedangkan prevalensi

gangguan jiwa berat, seperti skizofrenia sebesar (1,7%) atau mencapai

sekitar 400.000 orang. Dari jumlah tersebut provinsi dengan prevalensi


gangguan jiwa berat tertinggi adalah di DI Yogyakarta dan Aceh (2,7%),

sedangkan yang terendah di Kalimantan Barat (0,7%) atau sebanyak

4.377 orang. Untuk Sumatera Barat menepati urutan kelima (1,9%) dari

seluruh provinsi di Indonesia (Riset Kesehatan Dasar, 2013).

Angka penderita skizofrenia yang melakukan kunjungan ke Unit

Pelayanan Jiwa A (UPJA) RSJ Prof. HB. Saanin Padang yaitu sebanyak

388 penderita pada bulan Juli tahun 2017 (Nur, 2017).

Skizofrenia merupakan suatu penyakit yang mempengaruhi otak

dan menyebabkan timbulnya pikiran, persepsi, emosi, gerakan dan prilaku

aneh yang terganggu. Salah satu gejala umum skizofrenia yaitu adanya

halusinansi atau gangguan persepsi sensori. Lebih dari (90%) penderita

skizofrenia mengalami halusinasi. Halusinasi merupakan terganggunya

persepsi dari panca indera seseorang dalam membedakan rangsangan

internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar), dimana klien

memberi persepsi tentang lingkungan tanpa adanya suatu objek (Yosep,

2013).

Halusinasi pendengaran adalah jenis halusinasi yang paling banyak

terjadi, diantaranya mendengar suara-suara, paling sering adalah suara

manusia yang menyuruh untuk melakukan suatu tindakan. Respon klien

akibat terjadinya halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan, perasaan tidak

aman, gelisah dan bingung, perilaku merusak diri, kurang perhatian, tidak

mampu mengambil keputusan serta tidak dapat membedakan keadaan

nyata atau tidak nyata (Yosep, 2013). Penyebab halusinasi pendengaran


secara spesifik tidak diketahui namun banyak faktor yang mempengaruhi

seperti faktor biologis, psikologis, pemicu masalah sumber-sumber koping

dan mekanisme koping. Dampak yang dapat ditimbulkan oleh pasien yang

mengalami halusinasi adalah kehilangan control dirinya.dalam kondisi ini

pasien dapat melakukan bunuh diri (suicide), membunuh orang lain

(homcide), bahkan merusak lingkungan sekitarnyaa. Untuk memperkecil

dampak yang ditimbulkan dibutuhkan penanganan yang tepat (Hwari,

2009).

Berdasarkan data keseluruhan yang diperoleh dari Rekam Medis

RSUD Achman Mochtar Bukittinggi, jumlah penderita gangguan jiwa

yang berobat di Poliklinik dari tahun ke tahun mengalami peningkatan,

pada tahun 2016 sekitar ---- orang, sementara pada tahun 2017 yaitu

sekitar ---- orang. Dan berdasarkan laporan periode bulan Januari 2018

sampai bulan Agustus 2018, jumlah penderita gangguan jiwa yang berobat

di Poliklinik sekitar ---- orang dan didapatkan --- pasien yang mengalami

gangguan persepsi sensori : halusinasi, rata-rata berumur antara – tahun

sampai – tahun.

Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk menulis

Studi Kasus dengan judul “Asuhan Keperawatan pada Tn/Ny.-- Dengan

Gangguan Persepsi Sensori : Halusinasi Pendengaran pada Pasien

Skizofrenia di Poliklinik Jiwa RSUD Dr. Achmad Muchtar Bukittinggi”.

Anda mungkin juga menyukai