BAB 3
KEHIDUPAN BANGSA INDONESIA PADA MASA ORDE BARU DAN REFORMASI
Orde Baru adalah suatu tatanan seluruh peri kehidupan rakyat, bangsa, dan negara yang
diletakkan kembali kepada pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Orde Baru lahir setelah di keluarkannya supersemar, yang hadir dengan “koreksi total” atas
penyimpangan yang dilakukan oleh Orde Lama. Pemerintahan Orde Baru dipimpin oleh Presiden
Soeharto sejak tahun 1967-1998.
Usaha untuk penumpasan terhadap PKI dilakukan oleh banyak pihak, meliputi pemerintah
dan masyarakat. Pada tanggal 8 Januari 1966 muncul kesatuan-kesatuan aksi untuk menentang
G30S/PKI dengan agenda utamanya menuntut perbaikan terhadap kebijakan ekonomi Indonesia
yang bergabung dalam Front Pancasila dan dikenal dengan sebutan angkatan ’66, meliputi:
- Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI)
- Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI)
- Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI)
- Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI)
Pada tanggal 12 Januari 1966 berbagai kesatuan aksi yang bergabung dalam Front
Pancasila berkumpul di halaman gedung DPR GR untuk mengajukan tri tuntutan rakyat (tritura).
Isi tritura :
- Pembubaran PKI beserta organisasi masanya
- Pembersihan Kabinet Dwikora dari unsure PKI
- Penurunan harga-harga barang
Pada tanggal 15 Januari 1966 diadakan Sidang Paripurna Kabinet Dwikora di Istana Bogor
untuk menghadapi berbagai tuntutan dari berbagai masyarakat yang dihadiri oleh para wakil
mahasiswa. Presiden Soekarno menuduh bahwa aksi-aksi mahasiswa didalangi oleh CIA Amerika
Serikat. Akhirnya tuntutan mengenai perombakan cabinet dikabulkan dan pada tanggal 21
Januari 1966 Presiden Soekarno mengumumkan perubahan cabinet. Namun perubahan cabinet
tersebut tidak memuaskan hati rakyat karena banyak tokoh yang terlibat dalam G30S/PKI
berada dalam cabinet baru tersebut (Kabinet Seratus Menteri)
Pada tanggal 24 Februari 1966 saat pelaksanakan pelantikan cabinet banyak mahasiswa,
pelajar dan pemuda memenuhi jalan-jalan menuju Istana Merdeka. Namun, aksi itu dihadang
Pasukan Cakrabirawa sehingga terjadilah bentrokan hingga menyebabkan gugurnya seorang
mahasiswa dari Universitas Indonesia yang bernama Arief Rachman Hakim. Oleh para
demonstran, Arief Rachman Hakim dijadikan sebagai Pahlawan Ampera.
Akhirnya pada tanggal 10 Maret 1966, Presiden Soekarno mengadakan pertemuan yang
dihadiri oleh berbagai partai politik, seperti PSII, NU, PI.Perti, Partai Katholik, Parkindo,
Muhammadiyah, PNI, Partindo, IPKI, dan Front Pancasila.
Dalam pertemuan tersebut Presiden Soekarno didampingi A.M. Hanafi, dr. Soemarno, Dr.
Soebandro,Dr. J Leimena, Mayjen Achmad, dan Dr. Chaerul Saleh. Presiden Soekarno
menyatakan pendapatnya dan menekankan agar partai-partai politik serta berbagai organisasi
masa yang hadir pada waktu itu menolak dan mengecam aksi demonstrasi mahasiswa dengan
tuntutan trituranya.
Pada tanggal 11 Maret 1966, digelar sidang paripurna yang agendanya merumuskan langkah
langkah keluar dari krisis ekonomi, social, dan politik Indonesia.Di tengah-tengah pidatonya,
Presiden Soekarno diberi tahuoleh Komandan Cakrabirawa Brigjen Sabur bahwa ada
konsentrasi pasukan tidak dikenal di luar istana. Presiden Soekarno kemudian pergi ke Istana
Bogor didampingi oleh Dr. Soebandrio (Waperdam I) dan Dr. Chairul Saleh (Waperdam III).
Kemudian Dr. J. Leimena (Waperdam II) menutup rapat dan menyusul ke Istana Bogor. Diikuti
dengan para perwira tinggi AD yaitu Mayjen Basuki Rahmat, Brigjen Amir Mahmud, dan
Brigjen M. Yusuf juga menyusul, namun sebelumnya mereka menghadap Letjen Soeharto dan
melaporkan tentang keadaan siding cabinet dan meminta izin untuk menemui Presiden di Istana
Bogor untuk melaporkan situasi yang sebenarnya di Jakarta bahwa tidak benar ada pasukan liar
di sekitar istana dan ABRI khususnya TNI AD tetap setia dan taat kepada Presiden Soekarno.
Presiden mengizinkan ketiga perwira tinggi tersebut untuk pergi ke Istana Bogor dan
berpesan bahwa Letjen Soeharto bersedia dan sanggup mengatasi keadaan apabila Presiden
Soekarno mempercayakan hal tersebut kepadanya.
Di Istana Bogor Presiden Soekarno memerintahkan kepada ketiga perwira tinggi bersama
Komandan Cakrabirawa Brigjen Sabur untuk merancang sebuah konsep surat perintah yang
ditujukan kepada Letjen Soeharto. Surat tersebut berisi perintah untuk mengatasi masalah
keamanan dan krisis politik yang terjadi pada saat itu atau yang lebih dikenal dengan Surat
Perintah 11 Maret (Supersemar).
a) Pada tanggal 12 Maret 1966 dikeluarkan SK yang berisi pembubaran dan larangan PKI beserta
dengan ormas-ormasnya. Diperkuat dengan Kepres/Pangti ABRI/Mandataris MPRS Nomor
1/3/1966 tanggal 12 Maret 1966
b) Pada tanggal 18 Maret 1966 Letjen Soeharto mengamankan lima belas orang menteri yang
dinilai tersangkut dalam G30S/PKI dan diragukan etika baiknya, hal tersebut dituangkan dalam
Kepres Nomor 5 tanggal 18 Maret 1966.
c) Pada tanggal 27 Maret 1966 Letjen Soeharto membentuk Kabinet Dwikora yang disempurnakan
untuk menjalankan pemerintahan dengan tokoh-tokoh yang tidak terlibat dalam G30S/PKI.
d) Membersihkan lembaga legislative yang dimulai dari tokoh-tokoh pimpinan MPRS dan DPR
GRyang diduga terlibat dalam G30S/PKI.
e) Memisahkan jabatan pimpinan DPR GR dengan jabatan eksekutif sehingga pimpinan DPR GR
tidak lagi diberi kedudukan sebagai menteri. MPRS dibersihkan dari unsure-unsur G30S/PKI dan
sesuai dengan UUD 1945, MPRS mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada lembaga
kepresidenan.
Pada tanggal 20 Juni- 5 Juli 1966 mengadakan Sidang Umum IV dengan menghasilkan 24
ketetapan penting, antara lain:
a) Ketetapan MPRS Nomor IX/MPRS/1966 tentang Pengesahan dan Pengukuhan Supersemar.
b) Ketetapan MPRS Nomor X/MPRS/1966 tentang Kedudukan Lembaga-Lembaga Negara Tingkat
Pusat dan Daerah.
c) Ketetapan MPRS Nomor XII/MPRS/1966 tentang Kebijakan Politik Luar Negeri Republik
Indonesia Bebas Aktif.
d) Ketetapan MPRS Nomor XIII/MPRS/1966 tentang Pembentukan Kabinet Ampera.
e) Ketetapan MPRS Nomor XV/MPRS/1966 tentang Pemilihan/Penunjukan Wakil Presiden dan Tata
Cara Pengangkatan Pejabat Presiden.
f) Ketetapan MPRS Nomor XIX/MPRS/1966 tentang Peninjauan Kembali Ketetapan MPRS yang
bertentangan dengan UUD 1945.
g) Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 tentang Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan
Tata Urutan Perundang-Undangan di Indonesia.
h) Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI dan Pernyataan PKI dan
Ormasnya sebagai Organisasi Terlarang di Indonesia
Dengan berakhirnya Sidang Umum IV MPRS berarti landasan awal Orde Baru telah
berhasil ditegakkan. Demikian pula dua dari tiga tritura juga telah terpenuhi, yaitu pembubaran
PKI dan pembersihan cabinet dari unsure-unsur PKI, sedangkan untuk tuntutan penurunan
harga membutuhkan waktu yang lama untuk mengatasinya.
Selanjutnya Letjen Soeharto diambil sumpah dan dilantik sebagai pejabat presiden RI.
Pada tanggal 12 Maret 1967 beradasarkan Ketetapan Nomor XXXIII/MPRS/1967, akhirnya
kekuasaan Soekarno sebagai presiden RI secara resmi berakhir. Pada tanggal 27 Maret 1968,
MPRS mengangkat Letjen Soeharto sebagai presiden RI berdasarkan Ketetapan MPRS Nomor
XLIV/MPRS/1968 sampai presiden baru hasil pemilihan umum ditetapkan. Dengan dilantiknya
Letjen Soeharto sebagai pejabat presiden RI, maka secara resmi terjadi pergantian dari masa
Orde lama ke pemerintah yang baru (Orde Baru).
Indonesia juga bergabung dalam instituti ekonomi internasional seperti World Bank
(waktu itu bernama International Bank for Reconstruction and Development/IBRD),
International Monetary Fund (IMF), International Development Agency (IDA), dan Asian
Development Bank (ADB).
Untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan dapat bersaing di dunia
internasional, pemerintahan Orde Baru mencanangkan sebuah program pembangunan
jangka panjang yang bernama rencana pembangunan lima tahun (Rapelita). Rapelita ini
terbagi dalam pelaksanaan pembangunan lima tahun (pelita).
Sampai pada tanggal 31 Maret 1994, bangsa Indonesia telah berhasil menyelesaikan
pembangunan lima tahun tahap ke-5 atau dikenal dengan nama Pembangunan Jangka
Panjang Tahap Pertama (PJTP I). Mulai tanggal 1 April 1994 bangsa Indonesia telah memasuki
Pembangunan Jangka Panjang Tahap Kedua (PJTP II) yakni dimulainya Pelita VI.
Pada pemilu tahun 1971 sangat berbeda dengan pemilu pada tahun 1955 karena para
pejabat negara pada pemilu tahun 1971 diharuskan bersikap netral, sedangkan pada pemilu
1955 para pejabat negara yang berasal dari partai peserta pemilu dapat ikut menjadi calon
partai secara formal.
Pada pemilu ini diikuti oleh sepuluh peserta yang terdiri atas Partai Serikat Islam
Indonesia (PSII), Nahdatul Ulama (NU), Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Murba, Partai
Islam Persatuan Tarbiyah Indonesia (PI. Perti), Partai Katolik, Partai Muslimin Indonesia
(Parmusi), Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Partai Kristen Indonesia
(Parkindo), dan Golongan Karya (Golkar).
Pada pemilu ini dimenangkan oleh Golkar dan sejak pemilu ini pula ABRI mulai
memainkan 2 peranan yang penting dalam pemerintahan Orde Baru, seperti menjadi
anggota dewan melalui jalur pengangkatan. Oleh karena itu, ABRI tidak menggunakan hak
pilihnya lagi seperti pada pemilu pertama tahun 1955.
Pada pemilu tahun 1977 hanya diikuti oleh tiga peserta yaitu PP, Golkar dan PDI. Pemilu
ini dimenangkan Golkar dengan memperoleh 232 kursi, PPP memperoleh 99 kursi, dan PDI
memperoleh 29 kursi.
Pada pemilu ini perolehan suara dan kursi dari Golkar secara nasional meningkat, tetapi
gagal merebut kemenangan di Aceh. Secara nasional, Golkar berhasil memperoleh
tambahan 10 kursi, sedangkan PPP dan PDI kehilangan masing-masing 5 kursi.
4. Pemilu Tahun 1987 (23 April 1987)
Pada pemilu ini ditandai dengan merosotnya suara PPP (kehilangan 33 kursi), sedangkan
Golkar memperoleh tambahan 53 kursi sehingga menjadi 299 kursi.
Pada pemilu ini perolehan suara Golkar menurun, yaitu dari 299 kursi menjadi 282 kursi,
sedangkan PPP naik 1 kursi (menjadi 62 kursi) dan PDI meningkat menjadi 56 kursi.
Hasil pemilu ini Golkar kembali merebut suara mayoritas. Kursinya bertambah menjadi
43 kursi dari hasil pemilu sebelumnya. Suara PPP juga mengalami peningkatan 27 kursi, dan
PDI yang mengalami konflik internal perolehan suaranya merosot.
Penyelenggaraan pemilu yang teratur pada masa Orde Baru menimnulkan kesan bahwa
demokrasi di Indonesia sudah tercipta. Apalagi pemilu itu berlangsung secara tertib dan
dijiwai oleh asas luber (langsung, umum, bebas dan rahasia). Namun, yang sebenarnya
terjadi, pemilu agaknya sudah diarahkan untuk kemenangan peserta tertentu, yaitu Golkar.
Pada tanggal 7 Januari 1965 Indoensia keluar dari keanggotaan PBB karena sebagai
protes diterimanya Federasi Malaysia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB,
sedangkan Indonesia pada saat itu sedang konfrontasi dengan Malaysia.
Pada masa Orde Baru, politik luar negeri Indonesia dikembalikan lagi pada politik luar
negeri bebas aktif sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Indonesia kembali aktif menjadi
anggota PBB dan turut serta dalam Sidang Majelis Umum PBB, Indonesia kembali menjadi
anggota PBB pada tanggal 28 September 1966 dan tercatat menjadi anggota PBB ke-60.
4. Menguatnya Peran Negara pada Masa Orde Baru dan Dampaknya bagi Masyarakat
Dampak dalam bidang politik
1) Adanya Pemerintah yang Otoriter
2) Dominasi Golkar
3) Pemerintah yang Sentralis
Dampak dalam bidang ekonomi
1) Munculnya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN)
2) Adanya kesenjangan ekonomi dan social
3) Konglomerasi
B. Indonesia pada Masa Awal Reformasi
Pada tanggal 21 Mei 1998 Soeharto mengakhiri masa jabatannya sebagai presiden yang
telah diembannya selama 32 tahun . Dengan Soeharto mengundurkan diri maka berakhirlah
masa Orde Baru di Indonesia, dan lahirlah Masa Orde Reformasi.
Menurunnya pamor pemerintah Orde Baru telah dimulai sejak adanya perjanjian pemberian
dana bantuan IMF pada tahun 1997, perjanjian pertama setelah terjadinya krisis moneter Asia
bulan Oktober 1997. Pemberian dana bantuan ini sebenarnya mengandung 2 kelemahan bagi
Indonesia. Kelemahan pertama terletak pada posisi dana bantuan. Pemberian dana bantuan
yang diturunkan IMF di sini adalah utang luar negeri yang harus dibayarkan kembali oleh
Indonesia beserta dengan bunganya, meskipun dengan presentase yang rendah. Kelemahan
kedua adalah adanya penerapan Structual Adjustment Program (Program Penyesuaian
Struktural) dari IMF yang menyertai penurunan dana bantuan tersebut. Structual Adjustment
Program adalah persyaratan IMF bagi indonesia dalam 4 bidang utama ( pengetatan kebijakan
fiskal, penghapusan subsidi, menutup 16 bank di Indonesia, dan memerintahkakn bank sentral
untuk menaikkna tingkat suku bunga). Perjanjian kedua dengan IMF ditantatangani pada tanggal
15 Januari 1998. Syarat yang ditekankan IMF bagi Indonesia adalah pemotongan seluruh subsidi
rakyat dan menghapus praktik monopoli serta penghapusan segala bentuk subsidi usahha
nasional yang diberikan oleh pemerintah. Persyaratan IMF ini membawa Indonesia pada
keterpurukan ekonomi yang lebih dalam.
Dengan situasi politik dan ekonomi indonesia yang semakin tidak terkendali, rakyat
Indonesia menjadi semakin kritis dan menyatakan bahwa pemerintahan orde baru tidak berhasil
menciptakan kehidupan masyarakat yang makmur, adil dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan
UUD 1945. Oleh karena itu, kemudian muncul gerakan reformasi yang bertujuan untuk
memperbarui tatanan kehidupan bermasyarakat yang dipelopori oleh para mahasiswa.
Tujuan reformasi adalah terciptanya kehidupan dalam bidang politik, ekonomi, hukum dan
sosial yang lebih baik dari masa sebelumnya. Berikut adalah faktor pendorong terjadinya
gerakan reformasi.
a) Faktor politik, meliputi:
1) Adanya KKN dalam kehidupan pemerintahan.
2) Adanya rasa tidak percaya kepada pemerintahan Orde Baru yang penuh dengan KKN.
3) Kekuasaan Orde Baru di bawah Soeharto otoriter tertutup.
4) Adanya keinginan demokratisasi dalam kehidupan berbangsa.
5) Mahasiswa menginginkan perubahan.
b) Faktor ekonomi, meliputi:
1) Adanya krisis mata uang Rupiah.
2) Naiknya harga barang-barang kebutuhan masyarakat.
3) Sulitnya mendapatkan barang-barang kebutuhan pokok.
c) Faktor sosial masyarakat, seperti asanya kerusuhan pada tanggal 13 dan 14 Juni 1998
yangmelumpuhkan perekonomian rakyat.
d) Faktor hukum, belum adanya keadilan dalam perlakuan hukum yang sama di antara warga
negara.
Beberapa agenda reformasi yang disuarakan mahasiswa adalah:
1) Mengadili Soeharto dan kroni-kroninya
2) Melakukan amandemen terhadap UUD 1945
3) Menghapus dwifungsi ABRI dalam struktur pemerintahan
4) Penegakan supremasi hokum di Indonesia
5) Menegakkan pemerintahan yang bersih dari unsur-unsur KKN
6) Otonomi daerah yang seluas-luasnya
Tujuan Reformasi adalah terciptanya kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya.
Suasana Jakarta yang sangat tegang pasca tragedi kerusuhan 13 dan 14 Mei 1998 ini
terus berlangsung hingga digelarnya aksi demonstrasi besar-besaran oleh para mahasiswa
pada tanggal 19 Mei 1998. Secara berbondong-bondong para mahasiswa yang berasal dari
berbagai perguruan tinggi di Jakarta dan kota-kota lainnya melakukan long march menuju
gedung MPR/DPR. Tujuannya adalah untuk menuntut turunnya Presiden Soeharto,
menggelar sidang istimewa MPR dan pelaksanaan reformasi aksi serupa juga terjadi di
Yogyakarta. Dikota ini, mahasiswa bersama elemen-elemen masyarakat Yogyakarta
berkumpul di alun-alun kota. Mereka ingin mendengar maklumat dari Sri Sultan
Hamengkubuwono dan Sri Paku Alam mengenai kondisi negara yang sedang tegang.
Pada tanggal yang sama, yaitu 19 Mei 1998, Presiden Soeharto mengundang tokoh-
tokoh masyarakat untuk datang ke Istana Negara. Agendanya adalah membahas segala
kemungkinan penanganan krisis negara. Tokoh-tokoh yang diundang berjumlah 9 orang.
Mereka adalah Nurcholis Madjid, Abdurrahman Wahid, Emha Ainun Nadjib, Ali Yafie, Malik
Fadjar, Cholil Baidlowi, Sutrisno Muhdam, Ma’aruf Amin dan Ahmad Bagdja. Selain itu, hadir
pula Yuhsril Ihza Mahendra, Sekretaris Militer Presiden Mayjen Jasril Jakub dan ajudan
Presiden. Didalam pertemuan yang berlangsung hingga 2,5 jam ini, tercapai kesepakatan
untuk membentuk suatu badan yang dinamakan Komite Reformasi. Komite ini sebelumnya
bernama Dewan Reformasi. Namun, kemudian di ubah karena hampir mirip dengan Dewan
Revolusi dan Dewan Jenderal seaktu terjadi peristiwa tragedi pemberontakan G-30-S/PKI
tahun 1965. Di dalam pertemuan ini, juga disepakati bahwa Presiden Soeharto akan
melakukan reshuffle Kabinet Pembangunan VI, dan mengubah nama susunan kabinet
Reformasi. Sedangkan, berdasarkan pidatonya beliau sesaat setelah pertemuan ini digelar,
Presiden Soeharto juga menyatakan tugas-tugas yang diemban oleh Komite Reformasi
menurut beliau dalam pidato ini adalah untuk menyelesaikan UU Kepartaian, UU Pemilu, UU
Susunan dan Kedudukan MPR/DPR serta DPRD, UU Anto-Monopoli, UU Anti-Korupsi dan
lainnya.
Masuk ketanggal 20 Mei 1998, suasana di gedung MPR/DPR telah penuh sesak oleh
mahasiswa. Berbagai elemen mahasiswa yang berasal dari perguruan-perguruan tinggi di
Indonesia berkumpul bersama.Jumlahnya mencapai 50.000 orang. Di lain sisi, berbagai tokoh
masyarakat seperti Amien Rain dan Emil Salim menyatakan kekecewaandengan pidato
Presiden Soeharto tersebut.penyebabnya adalah bahwa sebenarnya presiden Soeharto
meminta pemberian waktu enam bulan untuk mengelar pemilihan Umum secara
kontitusional. Akan tetapi, hal tersebut tidak dinyatakan di dalam pidato beliau selepas
pertemuan itu selesai. Sedangkan di lain sisi, Soeharto dari kursi kepresidenan pada saat itu.
Emil Salim, melalui Gema Madani menyerukan agar Presiden Soeharto melaksanakan niatnya
untuk lengser keprabon (turun dari tahta kekuasaan) pada saat itu juga (20 Mei 1998). Amin
Rais juga berada dalam posisi yang sama. Ia menginginkan reformasi dilaksanakan
secepatnya.
Sementara di lain sisi, isu untuk melakukan aksi memperingati Hari Kebangkitan
Nasional tanggal 20 Mei 1998 di Lapangan Monas pun sudah menyebar. Dalam kondisi
negara yang sangat tegang pada saat itu, aksi ini dimungkinkan akan menimbulkan bentrokan
yang besar dan mengakibatkan jatuhnya korban, karena pada saat yang bersamaan,
pengamanan di seputra Lapangan Monas dan Istana Negara juga sangat ketat. Akhirnya,
pada tanggal 20 Mei 1998 pukul 05.30 pagi, Amin Rais mengumumkan pembatalan apel dan
aksi di Monas tersebut.
Aksi ini secara sporadis memunculkan dukungan moral dari seluruh elemen bangsa.
Bahkan, sumbangan-sumbangan nasi bungkus dan air minum dari berbagai kalangan kepada
mahasiswa yang sedanga berdemo di gedung MPR/DPR pun terus berdatangan. Hal ini
merupakan simbol bahwa perjuangan mahasiswa pada saat itu secara moral telah berhasil
memunculkan solidaritas di kalangan masyarakat. Di tanggal ini pula (20 Mei 1998), Menteri
Luar Negeri Amerika Serikat Madeleine Albright secara nyata memberikan pernyataannya
yang meminta Presiden Soeharto untuk segera mundur. Pernyataan Albright ini disiarkan
secara live dalam breaking news CNN pada pukul 22.48 WIB. Ia menyatakan bahwa
penguduran diri Presiden Soeharto sudah merupakan jalan yang semestinya untuk memberi
jalan bagi transisi demokrasi di Indonesia. Ia menegaskan bahwa kesempatan ini merupakan
momentum bagi Presiden Seoharto untuk menorehkan langkah historisnya sebagai
negarawan.
Di tanggal ini pula, pada pukul 14.30, sejumlah 14 menteri yang berada di bawah
koordinasi Menko Ekuin, Ginandjar Kartasasmita menyatakan penolakannya untuk
dicalonkan kembali di dalam Kabinet Reformasi. Mahasiswa secara bersama masih terus
melakukan aksinya di gedung MPR/DPR. Sementara pada pukul 16.45, terjadi pertemuan
antara perwakilan mahasiswa dengan pimpinan MPR/DPR di lantai 3 gedung lama MPR/DPR.
Di dalam pertemuan ini, mahasiswa memberikan batas waktu pengunduran diri Soeharto
hingga hari jumat tanggal 22 Mei 1998. Apabila tidak ada kepastian lebih lanjut, maka pada
hari Senin tanggal 25 Mei 1998 pimpinan DPR akan mempersiapkan Sidang Istimewa MPR.
Aksi di gedung MPR/DPR mencapai puncaknya pada 21 Mei 1998. Pada pukul 09.06
WIB, Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya dari posisi Presiden Republik Indonesia.
Bertempat di Credential Room, Istana Negara Jakarta, dengan disaksikan oleh Ketua
Mahkamah Agung, Soeharto mengakhiri jabatan presidensialnya yang telah diemban selama
32 tahun. Naskah pengunduran diri Soeharto, Mahkamah Agung langsung melantik Wakil
Presiden Baharuddin Jusuf Habibie sebagai Presiden Republik Indonesia yang baru. Hal ini
sesuai amanat di dalam pasal 30 UUD 1945 yang berbunyi: “Jika Presiden mangkat, berhenti,
diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia diganti
oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya”. Momentum turunnya Soeharto pada
tanggal 21 Mei 1998 ini mengakhiri pemerintahan Orde Baru yang telah berjalan selama 32
tahun di Indonesia.
Pada tanggal 21 Mei 1998, pukul 10.00 WIB bertempat di Istana Negara, Presiden
Soeharti meletakkan jabatannya sebagai presiden di hadapan ketua dan beberapa anggota
dari Mahkamah Agung. Presiden menunjuk Wakil Presiden B.J. Habibie sesuai dengan yang
tertera pada UUD1945 untuk menggantikannya menjadi presiden, serta pelantikannya
dilakukan didepan Ketua Mahkamah Agung dan para anggotanya. Maka sejak saat itu,
Presiden Republik Indonesia dijabat oleh B.J. Habibie sebagai presiden yang ke-3.
Dalam ketentuan lain yang terdapat pada Tap MPR No. VII/MPR/1973, memungkinkan
bahwa sumpah dam janji itu diucapkan didepan Mahkamah Agung. Namun, pada saat
Habibie menerima jabatan sebagai presiden tidak ada alasan bahwa sumpah dan janji
presiden dilakukan di depan MPR atau DPR, Artinya sumpah dan janji presiden dapat
dilakukan di depan rapat DPR, meskipun saat itu Gedung MPR/DPR masih diduduki dan
dikuasai oleh para mahasiswa. Bahkan Soeharto seharusnya mengembalikan dulu
mandatanya kepada MPR, yang mengangkatnya menjadi presiden.
Apabila dilihat dari segi hukum materiil, maka naiknya Habibie menjadi presiden adalah
sah dan konstitusional. Namun secara hukum formal hal itu tidak konstitusional, sebab
perbuatan hukum yang sangat penting yaitu pelimpahan wewenang atau kekuasaan dari
Soeharto kepada Habibie harus melalui acara resmi yang konstitusional. Apabila perbuatan
hukum itu dihasilkan dari acara yang tidak konstitusional, maka perbuatan hukum itu
menjadi tidak sah. Pada saat itu memang DPR tidak memungkinkan untuk bersidang, karena
Gedung DPR/MPR diduduki oleh puluhan ribu mahasiswa dan para cendekiawan. Dengan
demikian, hal ini dapat dinyatakan sebagai suatu alasan yang kuat dan hal itu harus
dinyatakan sendiri oleh DPR.[1]
Habibie yang menjabat sebagai presiden menghadapi keberadaan Indonesia yang serba
parah, baik dari segi ekonomi, politik, sosial dan budaya. Oleh karena itu, langkah-langkah
yang dilakukan oleh Habibie adalah berusaha untuk mengatasi krisis ekonomi dan politik.
Dalam menghadapi krisis itu, pemerintah Habibie sangat berhati-hati terutama dalam
pengelolaannya, sebab dampak yang ditimbulkannya dapat mengancam integrasi bangsa.
Untuk menjalankan pemerintahan, presiden habibie tidak mungkin dapat melaksanaknnya
sendiri tanpa dibantu oleh menteri-menteri dan kabinetnya. Oleh karena itu, Habibie
membentuk kabinet.
Pada tanggal 22 Mei 1998, Presiden Republik Indonesia yang ketiga B.J. Habibie
membentuk kabinet baru yang dinamakan Kabinet Reformasi Pembangunan. Kabinet itu
terdiri atas 16 orang menteri, dan para menteri itu diambil dari unsur-unsur militer (ABRI),
Golkar, PPP, PDI. Pada tanggal 25 Mei 1998 diselenggarakan pertemuan pertama kabinet
habibie. Pertemuan ini berhasil membentuk Komite untuk merancang undang-undang politik
yang lebih longgar dalam waktu satu tahun dan menyetujui pembatasan masa jabatan
presiden yaitu maksimal 2 periode (satu periode lamanya 5 tahun). Upaya terebut mendapat
sambutan positif, tetapi dedakan agar pemerintah Habibie dapat merealisasikan agenda
reformasi tetap muncul.
Pembaharuan yang dilakukan oleh B.J. Habibie antara lain:
1.) Bidang Ekonomi
Untuk menyelesaikan krisis moneter dan perbaikan ekonomi Indonesia, B.J. Habibie
melakukan langkah-langkah sebagai berikut :
- Merekapitulasi perbankan
- Melikuidasi beberapa bank yang bermasalah.
- Menaikkan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat
- Mengimplementasikan reformasi ekonomi yang diisyaratkan oleh IMF.
- Merekonstruksi perekonomian Indonesia.
Membentuk tiga undang-undang demokratis yaitu, (1) UU No. 2 tahun 1999 tentang
Partai Politik (2) UU No. 3 tahun 1999 tentang Pemilu (3) UU No. 4 tahun 1999 tentang Susduk
DPR/MPR ·
Menetapkan 12 ketetapan MPR dan ada 4 ketetapan yang mencerminkan jawaban dari
tuntutan reformasi yaitu:
(1) Tap No. VIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Tap No. IV/MPR/1983 tentang Referendum.
(2) Tap No. XVIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Tap No. II/MPR/1978 tentang Pancasila
Sebagai Asas Tunggal.
(3) Tap No. XII/MPR/1998 tentang Pencabutan Tap No. V/MPR/1998 tentang Presiden
Mendapat Mandat dari MPR untuk Memiliki Hak-Hak dan Kebijakan di Luar Batas Perundang-
undangan.
(4) Tap No. XIII/MPR/1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden
Maksimal Hanya Dua Kali Periode.
Pada tanggal 20 Oktober 2004 Susilo Bambang Yudhoyono dilantik menjadi presiden
ke-6. Dalam menjalankan tugasnya Susilo Bambang Yudhoyono didampingi oleh
wakilnya Jusuf Kala. Kabinet Susilo Bambang Yudhoyono bernama Kabinet Indonesia
Bersatu yang anggotanya dilantik pada tanggal 21 Oktober 2004.
Pada pemilu tahun 2009 Susilo Bambang Yudhoyono berhasil memenangkan pemilu
dan terpilih kembali menjadi presiden yang ke-7 didampingi oleh Budiono. Kabinet yang
digunakan adalah Indonesia Bersatu II dan dilantik pada 22 Oktober 2009.
Pada pemilu tahun 2014 Joko Widodo terpilih sebagai presiden yang ke-8
didampingi oleh Jusuf Kala. Pada tanggal 26 Oktober 2014 Joko Widodo dilantik menjadi
presiden.
Pemilu pertama setelah reformasi bergulir diselenggaraka pada tanggal 7 Juni 1999. Pemilu
ini dianggap paling demokratis disbanding pemilu-pemilu sebelumnya, dilaksanakan dengan
luber dan jurdil.
Dalam rangka persiapan tersebut, Presiden B.J Habibie mencabut UU pemilu yang dipakai
pada masa Orde Baru, dan sebagai gantinya ditetapkan 3 UU politik baru yang ditandatangani
pada tanggal 1 Februari 1999. Isi tiga UU tersebut mengenai partai politik, proses pemilihan
umum, serta susunan dan kedudukan MPR, DPR, DPRD. Hanya 48 partai yang lolos untuk melaju
dalam pemilihan umum 7 Juni 1999 dan 112 partai yang mendaftar ke Departemen Dalam
Negeri. Adapun panitia yang harus menyaring partai-partai tersebut adalah panitia 11. Sistem
pemilu ini diatur dalam UU No 3 Tahun 1999 yang menetapkan bahwa peraturan pemilu bersifat
campuran antara system proposional dan system distrik.
Pelaksanaan pemilu 1999 sudah ditangani oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) bukan lagi
Lembaga Pemilihan Umum (LPU).
Pada pemilihan tahun 2009 dimenangkan oleh pasangan Susilo Bambang Yodhoyono-
Budiono.
Pada pemilihan tahun 2014 ini dimenangkan oleh pasangan JokoWidodo-Jusuf Kala.
5. Dampak Reformasi
Kebebasan berekspresi dan berpartisipasi rakyat dilindungi oleh UUD 1945 sehingga
rakyat lebih berani menyuarakan aspirasinya.
DPR tidak lagi berperan hanya sebagai lembaga yang mengikuti kemauan presiden,
tetapi menjadi lembaga yang sangat ketat mengontrol kekuasaan presiden.
Presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat sehingga mereka
memiliki legitimasi yang kuat, tidak sekedar menajalankan kehendak MPR
Dibentuknya lembaga-lembaga baru untuk meningkatkan kinerja pengelolaan negara.
Lembaga-lembaga tersebut antara lain, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Mahkamah Konstitusi (MK), Dewan Perwakilan Daerah
(DPD).