Anda di halaman 1dari 20

Nama : Amanina Zafira

No/Kelas : 05/XII MIA 2

BAB 3
KEHIDUPAN BANGSA INDONESIA PADA MASA ORDE BARU DAN REFORMASI

A. Indonesia pada Masa Orde Baru


1. Lahirnya Pemerintahan Orde Baru

Orde Baru adalah suatu tatanan seluruh peri kehidupan rakyat, bangsa, dan negara yang
diletakkan kembali kepada pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.

Orde Baru lahir setelah di keluarkannya supersemar, yang hadir dengan “koreksi total” atas
penyimpangan yang dilakukan oleh Orde Lama. Pemerintahan Orde Baru dipimpin oleh Presiden
Soeharto sejak tahun 1967-1998.

Usaha untuk penumpasan terhadap PKI dilakukan oleh banyak pihak, meliputi pemerintah
dan masyarakat. Pada tanggal 8 Januari 1966 muncul kesatuan-kesatuan aksi untuk menentang
G30S/PKI dengan agenda utamanya menuntut perbaikan terhadap kebijakan ekonomi Indonesia
yang bergabung dalam Front Pancasila dan dikenal dengan sebutan angkatan ’66, meliputi:
- Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI)
- Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI)
- Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI)
- Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI)

Pada tanggal 12 Januari 1966 berbagai kesatuan aksi yang bergabung dalam Front
Pancasila berkumpul di halaman gedung DPR GR untuk mengajukan tri tuntutan rakyat (tritura).
Isi tritura :
- Pembubaran PKI beserta organisasi masanya
- Pembersihan Kabinet Dwikora dari unsure PKI
- Penurunan harga-harga barang

Pada tanggal 15 Januari 1966 diadakan Sidang Paripurna Kabinet Dwikora di Istana Bogor
untuk menghadapi berbagai tuntutan dari berbagai masyarakat yang dihadiri oleh para wakil
mahasiswa. Presiden Soekarno menuduh bahwa aksi-aksi mahasiswa didalangi oleh CIA Amerika
Serikat. Akhirnya tuntutan mengenai perombakan cabinet dikabulkan dan pada tanggal 21
Januari 1966 Presiden Soekarno mengumumkan perubahan cabinet. Namun perubahan cabinet
tersebut tidak memuaskan hati rakyat karena banyak tokoh yang terlibat dalam G30S/PKI
berada dalam cabinet baru tersebut (Kabinet Seratus Menteri)
Pada tanggal 24 Februari 1966 saat pelaksanakan pelantikan cabinet banyak mahasiswa,
pelajar dan pemuda memenuhi jalan-jalan menuju Istana Merdeka. Namun, aksi itu dihadang
Pasukan Cakrabirawa sehingga terjadilah bentrokan hingga menyebabkan gugurnya seorang
mahasiswa dari Universitas Indonesia yang bernama Arief Rachman Hakim. Oleh para
demonstran, Arief Rachman Hakim dijadikan sebagai Pahlawan Ampera.

Pada tanggal 2 Oktober 1965 pascaperistiwa G30S/PKI terjadi ketidaksepakatan antara


Presiden Soekarno dengan Letjen Soeharto mengenai penyelesaian krisis politik yg terjadi di
Indonesia pada saat itu. Letjen Soeharto berpendapat bahwa satu-satunya langkah keluar untuk
meredakan krisis dalam negeri adalah menumpas PKI beserta antek-anteknya dengan cara
tersebut maka rasa keamanan dan keadilan akan terpenuhi. Sedangkan Soekarno berpendapat
bahwa tidak mungkin membubarkan PKI karena akan menimbulkan inkonsistensi terhadap
pelaksanaan prinsip Nasakom (nasionalis- agamis- komunis) yang telah menjadi dasar pemikiran
politik Indonesia pada masa itu.

Akhirnya pada tanggal 10 Maret 1966, Presiden Soekarno mengadakan pertemuan yang
dihadiri oleh berbagai partai politik, seperti PSII, NU, PI.Perti, Partai Katholik, Parkindo,
Muhammadiyah, PNI, Partindo, IPKI, dan Front Pancasila.

Dalam pertemuan tersebut Presiden Soekarno didampingi A.M. Hanafi, dr. Soemarno, Dr.
Soebandro,Dr. J Leimena, Mayjen Achmad, dan Dr. Chaerul Saleh. Presiden Soekarno
menyatakan pendapatnya dan menekankan agar partai-partai politik serta berbagai organisasi
masa yang hadir pada waktu itu menolak dan mengecam aksi demonstrasi mahasiswa dengan
tuntutan trituranya.

Pada tanggal 11 Maret 1966, digelar sidang paripurna yang agendanya merumuskan langkah
langkah keluar dari krisis ekonomi, social, dan politik Indonesia.Di tengah-tengah pidatonya,
Presiden Soekarno diberi tahuoleh Komandan Cakrabirawa Brigjen Sabur bahwa ada
konsentrasi pasukan tidak dikenal di luar istana. Presiden Soekarno kemudian pergi ke Istana
Bogor didampingi oleh Dr. Soebandrio (Waperdam I) dan Dr. Chairul Saleh (Waperdam III).
Kemudian Dr. J. Leimena (Waperdam II) menutup rapat dan menyusul ke Istana Bogor. Diikuti
dengan para perwira tinggi AD yaitu Mayjen Basuki Rahmat, Brigjen Amir Mahmud, dan
Brigjen M. Yusuf juga menyusul, namun sebelumnya mereka menghadap Letjen Soeharto dan
melaporkan tentang keadaan siding cabinet dan meminta izin untuk menemui Presiden di Istana
Bogor untuk melaporkan situasi yang sebenarnya di Jakarta bahwa tidak benar ada pasukan liar
di sekitar istana dan ABRI khususnya TNI AD tetap setia dan taat kepada Presiden Soekarno.

Presiden mengizinkan ketiga perwira tinggi tersebut untuk pergi ke Istana Bogor dan
berpesan bahwa Letjen Soeharto bersedia dan sanggup mengatasi keadaan apabila Presiden
Soekarno mempercayakan hal tersebut kepadanya.

Di Istana Bogor Presiden Soekarno memerintahkan kepada ketiga perwira tinggi bersama
Komandan Cakrabirawa Brigjen Sabur untuk merancang sebuah konsep surat perintah yang
ditujukan kepada Letjen Soeharto. Surat tersebut berisi perintah untuk mengatasi masalah
keamanan dan krisis politik yang terjadi pada saat itu atau yang lebih dikenal dengan Surat
Perintah 11 Maret (Supersemar).

Supersemar memerintahkan kepada Letjen Soeharto agar mengambil tindakan yang


dianggap perlu untuk menjamin keamanan, ketenangan dan kestabilan jalannya pemerintahan,
serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin
Besar Revolusi/Mandataris MPR demi untuk keutuhan bangsa dan Negara Republik Indonesia.

Sebagai pengemban Supersemar, Letjen Soeharto bertindak sebagai berikut :

a) Pada tanggal 12 Maret 1966 dikeluarkan SK yang berisi pembubaran dan larangan PKI beserta
dengan ormas-ormasnya. Diperkuat dengan Kepres/Pangti ABRI/Mandataris MPRS Nomor
1/3/1966 tanggal 12 Maret 1966
b) Pada tanggal 18 Maret 1966 Letjen Soeharto mengamankan lima belas orang menteri yang
dinilai tersangkut dalam G30S/PKI dan diragukan etika baiknya, hal tersebut dituangkan dalam
Kepres Nomor 5 tanggal 18 Maret 1966.
c) Pada tanggal 27 Maret 1966 Letjen Soeharto membentuk Kabinet Dwikora yang disempurnakan
untuk menjalankan pemerintahan dengan tokoh-tokoh yang tidak terlibat dalam G30S/PKI.
d) Membersihkan lembaga legislative yang dimulai dari tokoh-tokoh pimpinan MPRS dan DPR
GRyang diduga terlibat dalam G30S/PKI.
e) Memisahkan jabatan pimpinan DPR GR dengan jabatan eksekutif sehingga pimpinan DPR GR
tidak lagi diberi kedudukan sebagai menteri. MPRS dibersihkan dari unsure-unsur G30S/PKI dan
sesuai dengan UUD 1945, MPRS mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada lembaga
kepresidenan.

Pada tanggal 20 Juni- 5 Juli 1966 mengadakan Sidang Umum IV dengan menghasilkan 24
ketetapan penting, antara lain:
a) Ketetapan MPRS Nomor IX/MPRS/1966 tentang Pengesahan dan Pengukuhan Supersemar.
b) Ketetapan MPRS Nomor X/MPRS/1966 tentang Kedudukan Lembaga-Lembaga Negara Tingkat
Pusat dan Daerah.
c) Ketetapan MPRS Nomor XII/MPRS/1966 tentang Kebijakan Politik Luar Negeri Republik
Indonesia Bebas Aktif.
d) Ketetapan MPRS Nomor XIII/MPRS/1966 tentang Pembentukan Kabinet Ampera.
e) Ketetapan MPRS Nomor XV/MPRS/1966 tentang Pemilihan/Penunjukan Wakil Presiden dan Tata
Cara Pengangkatan Pejabat Presiden.
f) Ketetapan MPRS Nomor XIX/MPRS/1966 tentang Peninjauan Kembali Ketetapan MPRS yang
bertentangan dengan UUD 1945.
g) Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 tentang Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan
Tata Urutan Perundang-Undangan di Indonesia.
h) Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI dan Pernyataan PKI dan
Ormasnya sebagai Organisasi Terlarang di Indonesia
Dengan berakhirnya Sidang Umum IV MPRS berarti landasan awal Orde Baru telah
berhasil ditegakkan. Demikian pula dua dari tiga tritura juga telah terpenuhi, yaitu pembubaran
PKI dan pembersihan cabinet dari unsure-unsur PKI, sedangkan untuk tuntutan penurunan
harga membutuhkan waktu yang lama untuk mengatasinya.

Dengan dibentuknya Kabinet Ampera maka Presiden Soekarno membubarkan Kabinet


Dwikora yang disempurnakan. Kemudian Letjen Soeharto pada tanggal 25 Juli 1966 membentuk
Kabinet Ampera.
Berikut pertimbangan-pertimbangan yang mendasari:
a) Keseluruhan pidato presiden yang berjudul Nawaksara dan Pelengkap Nawaksara tidak
memenuhi harapan rakyat khususnya anggota-anggota MPRS karena tidak memuat secara jelas
pertanggungjawaban tentang kebijakan presiden mengenai pemberontakan G30S/PKI,
kemunduran ekonomi dan kemerosotan akhlak.
b) Presiden telah menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada pengemban Ketetapan MPRS
Nomor IX/MPRS/1966.

Selanjutnya Letjen Soeharto diambil sumpah dan dilantik sebagai pejabat presiden RI.
Pada tanggal 12 Maret 1967 beradasarkan Ketetapan Nomor XXXIII/MPRS/1967, akhirnya
kekuasaan Soekarno sebagai presiden RI secara resmi berakhir. Pada tanggal 27 Maret 1968,
MPRS mengangkat Letjen Soeharto sebagai presiden RI berdasarkan Ketetapan MPRS Nomor
XLIV/MPRS/1968 sampai presiden baru hasil pemilihan umum ditetapkan. Dengan dilantiknya
Letjen Soeharto sebagai pejabat presiden RI, maka secara resmi terjadi pergantian dari masa
Orde lama ke pemerintah yang baru (Orde Baru).

2. Kebijakan-Kebijakan Pemerintahan Orde Baru


a. Kebijakan-kebijakan Ekonomi
Pasca-Orde Lama, keadaan ekonomi Indonesia sangat parah. Utang Indonesia mencapai
US$2,2-2,7 miliar. Untuk mengatasi pemerintah Indonesia berusaha meminta negara
kreditur untuk menunda kembali pembayaran kembali utang Indonesia (rescheduling). Pada
tanggal 19-20 September 1966 diadakan perundingan di Tokyo, Jepang. Perundingan
tersebut disebut Tokyo Club. Dalam perundingan tersebut, pemerintahan Indonesia
mengemukakan bahwa devisa ekspor untuk pembayaran utang dipakai untuk mengimpor
bahan baku dan spare part sehingga keadaan ekonomi menjadi lebih baik, dan ditanggapi
baik oleh Negara kreditur seperti Jepang, Prancis, Inggris,Italia, Jerman Barat,Belanda dan
Amerika Serikat.
Kemudian diadakan perundingan lanjutan di Prancis (Prancis Club) dengan menghasilkan:
1) Indonesia mendapatkan penangguhan pembayaran utang luar negerinya, yang
seharusnya dibayar pada tahun 1968 menjadi ditangguhkan hingga kurun waktu tahun
1972-1978
2) Utang-utang Indonesia yang jatuh tempo pada tahun 1969 dan 1970 jugs mendapat
pertimbangan untuk ditunda dengan pemberian syarat-syarat yang lunak dalam
pelunasannya.

Indonesia juga bergabung dalam instituti ekonomi internasional seperti World Bank
(waktu itu bernama International Bank for Reconstruction and Development/IBRD),
International Monetary Fund (IMF), International Development Agency (IDA), dan Asian
Development Bank (ADB).

b. Kebijakan Pembangunan Masa Orde Baru


Tujuan pembangunan nasional pada Masa Orde Baru adalah mewujudkan masyarakat
adil dan makmur secara materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Isi Trilogi Pembangunan:
1) Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju pada terciptanya keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
2) Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
3) Stabilitas nasional yan sehat dan dinamis.

Untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan dapat bersaing di dunia
internasional, pemerintahan Orde Baru mencanangkan sebuah program pembangunan
jangka panjang yang bernama rencana pembangunan lima tahun (Rapelita). Rapelita ini
terbagi dalam pelaksanaan pembangunan lima tahun (pelita).

Sampai pada tanggal 31 Maret 1994, bangsa Indonesia telah berhasil menyelesaikan
pembangunan lima tahun tahap ke-5 atau dikenal dengan nama Pembangunan Jangka
Panjang Tahap Pertama (PJTP I). Mulai tanggal 1 April 1994 bangsa Indonesia telah memasuki
Pembangunan Jangka Panjang Tahap Kedua (PJTP II) yakni dimulainya Pelita VI.

Pelita-pelita yang dilaksanakan oleh pemerintah Orde Baru:

1) Pelita I (1 April 1969-31 Maret 1974)


2) Pelita II (1April 1974-31 Maret 1979)
3) Pelita III (1April 1979-31 Maret 1984)
4) Pelita IV (1April 1984-31 Maret 1989)
5) Pelita V (1April 1989-31 Maret 1994)
6) Pelita II (1April 1994-31 Maret 1999)
Pemilihan umum merupakan sarana untuk menegakkan demokrasi. Dengan melalui
pemilu rakyat dapat menggunakan hak politiknya untuk memilih calon-calon wakilnya yang
akan duduk dalam lembaga perwakilan rakyat. Pemilu pada masa Orde Baru dilaksanakan
sebanyak enam kali sebagai berikut.

1.     Pemilu Tahun 1971 (3 Juli 1971)

Pada pemilu tahun 1971 sangat berbeda dengan pemilu pada tahun 1955 karena para
pejabat negara pada pemilu tahun 1971 diharuskan bersikap netral, sedangkan pada pemilu
1955 para pejabat negara yang berasal dari partai peserta pemilu dapat ikut menjadi calon
partai secara formal.

Pada pemilu ini diikuti oleh sepuluh peserta yang terdiri atas Partai Serikat Islam
Indonesia (PSII), Nahdatul Ulama (NU), Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Murba, Partai
Islam Persatuan Tarbiyah Indonesia (PI. Perti), Partai Katolik, Partai Muslimin Indonesia
(Parmusi), Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Partai Kristen Indonesia
(Parkindo), dan Golongan Karya (Golkar).

Pada pemilu ini dimenangkan oleh Golkar dan sejak pemilu ini pula ABRI mulai
memainkan 2 peranan yang penting dalam pemerintahan Orde Baru, seperti menjadi
anggota dewan melalui jalur pengangkatan. Oleh karena itu, ABRI tidak menggunakan hak
pilihnya lagi seperti pada pemilu pertama tahun 1955.

Pemerintahan Orde Baru setelah pemilu 1971 melakukan penyederhanaan jumlah


partai dengan tidak menghapus partai tertentu, tetapi melakukan penggabungan (fusi).
Dalam penggabungan tersebut, sistem kepartaian tidak lagi didasarkan ideologi, tetapi atas
persamaan program. Penggabungan tersebut menghasilkan tiga kekuatan sosial politik
sebagai berikut.
a.     PPP, merupakan fusi dari NU, Parmusi, PSII, dan PI. Perti.
b.     PDI, merupakan fusi dari PNI, Partai Katolik, Partai Murba, IPKI, dan Parkindo.
c.      Golkar.

2.     Pemilu Tahun 1977 (2 Mei 1977)

Pada pemilu tahun 1977 hanya diikuti oleh tiga peserta yaitu PP, Golkar dan PDI. Pemilu
ini dimenangkan Golkar dengan memperoleh 232 kursi, PPP memperoleh 99 kursi, dan PDI
memperoleh 29 kursi.

3.     Pemilu Tahun 1982 (4 Mei 1982)

Pada pemilu ini perolehan suara dan kursi dari Golkar secara nasional meningkat, tetapi
gagal merebut kemenangan di Aceh. Secara nasional, Golkar berhasil memperoleh
tambahan 10 kursi, sedangkan PPP dan PDI kehilangan masing-masing 5 kursi.
4.     Pemilu Tahun 1987 (23 April 1987)

Pada pemilu ini ditandai dengan merosotnya suara PPP (kehilangan 33 kursi), sedangkan
Golkar memperoleh tambahan 53 kursi sehingga menjadi 299 kursi.

5.     Pemilu Tahun 1992 (9 Juni 1992)

Pada pemilu ini perolehan suara Golkar menurun, yaitu dari 299 kursi menjadi 282 kursi,
sedangkan PPP naik 1 kursi (menjadi 62 kursi) dan PDI meningkat menjadi 56 kursi.

6.     Pemilu Tahun 1997 (29 Mei 1997)

Hasil pemilu ini Golkar kembali merebut suara mayoritas. Kursinya bertambah menjadi
43 kursi dari hasil pemilu sebelumnya. Suara PPP juga mengalami peningkatan 27 kursi, dan
PDI yang mengalami konflik internal perolehan suaranya merosot.

Penyelenggaraan pemilu yang teratur pada masa Orde Baru menimnulkan kesan bahwa
demokrasi di Indonesia sudah tercipta. Apalagi pemilu itu berlangsung secara tertib dan
dijiwai oleh asas luber (langsung, umum, bebas dan rahasia). Namun, yang sebenarnya
terjadi, pemilu agaknya sudah diarahkan untuk kemenangan peserta tertentu, yaitu Golkar.

Dengan kemenangan Golkar yang selalu mencolok itu menguntungkan pemerintah.


Golkar menguasai suara di MPR dan DPR dan itulah yang memungkinkan Soeharto menjadi
presiden Republik Indonesia selama enam periode pemilihan. Hal itu pula yang
menyebabkan pertanggungjawaban, rancangan undang-undang, dan usulan lainnya dari
pemerintah selalu mendapat persetujuan dari MPR dan DPR tanpa catatan.

c. Kebijakan Sosial-Politik Orde Baru


Salah satu langkah yang dilakukan Soeharto dalam bidang politik adalah dengan
melakukan fusi (penggabungan) partai politik. Fusi partai politik tersebut dilakukan pada
tahun 1975 dengan berdasar pada UU No 3 Tahun 1975.
Proses fusi partai tersebut menghasilkan 3 partai besar, yaitu Partai Persatuan
Pembangunan (5 Januari 1973) yang terdiri dari NU, Partai Muslimin Indonesia, Partai
Serikat Islam Indonesia (PSII) dan Partai Islam Persatuan Tarbiyah Indonesia (PI.Perti). Partai
Demokrasi Indonesia (11 Januari 1973) yang terdiri dari Partai Nasional Indonesia (PNI),
Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Katholik, Ikatan Pendukung Kemerdekaan
Indonesia(IPKI), dan Partai Murba. Partai Golongan Karya yang terdiri dari berbagai
organisasi profesi.
3. Penataan Kembali Politik Luar Negeri Bebas Aktif
a) Indonesia Kembali Menjadi Anggota PBB

Pada tanggal 7 Januari 1965 Indoensia keluar dari keanggotaan PBB karena sebagai
protes diterimanya Federasi Malaysia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB,
sedangkan Indonesia pada saat itu sedang konfrontasi dengan Malaysia.

Pada masa Orde Baru, politik luar negeri Indonesia dikembalikan lagi pada politik luar
negeri bebas aktif sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Indonesia kembali aktif menjadi
anggota PBB dan turut serta dalam Sidang Majelis Umum PBB, Indonesia kembali menjadi
anggota PBB pada tanggal 28 September 1966 dan tercatat menjadi anggota PBB ke-60.

Manfaat yang diperoleh Indonesia semenjak menjadi anggota PBB, yaitu:

i. PBB turut berperan dalam penyelesaian konflik Indonesia-Belanda pada masa


Perang Kemerdekaan (1945-1949) dengan mengirimkan KTN dan UNCI.
ii. PBB berjasa menyelesaikan masalah pengembalian Irian Barat ke RI dengan
mengirim misi UNTEA.
iii. PBB banyak memberikan bantuan dalam bidang ekonomi, social, dan budaya
melalui organisasi (UNESCO, WHO, dll)

b) Normalisasi Hubungan Indonesia dengan Malaysia


Indonesia melakukan konfrontasi dengan Malaysia setelah presiden Soekarno pada
tanggal 3 Mei 1964 mengumukan Dwikora. Tindakan tersebut jelas menyimpang dari
pelaksanaan politik luar negeri bebas aktif. Upaya normalisasi hubungan Indonesia-
Malaysia dimulai dengan penyelenggaraan perundingan di Bangkok pada tanggal 29
Mei-1 Juni 1966. Adam Malik sebagai perwakilan Indonesia dan Tun Abdul Razak sebagai
perwakilan Malaysia.
Hasil persetujuan Bangkok :
i. Rakyat Sabah dan Serawak diberi kesempatan kembali untuk menegaskan
kembali keputusan yang telah mereka ambil mengenai kedudukan mereka
dalam Federasi Malaysia.
ii. Pemerintah kedua belah pihak menyetujui pemulihan hubungan diplomatic.
iii. Tindakan permusuhan diantara kedua pihak harus dihentikkan.

Pada tanggal 11 Agustus 1966 di Jakarta berlangsung peresmian normalisasi


hubungan kedua Negara dengan ditandatangani Jakarta Accord.Indonesia juga telah
memulihkan hubungan dengan Singapura.
c) Pembentukan ASEAN

Pada tanggal 8 Agustus 1967 dibentuk ASEAN dengan ditandatangani deklarasi


ASEAN atau Deklarasi Bangkok oleh lima menteri luar negeri. Keanggotaan ASEAN
terbuka bagi negara-negara di kawasan Asia Tenggara, sedangkan syarat menjadi
anggota adalah dapat menyetujui dasar dan tujuan pembentukan ASEAN. Sampai saat
ini negara yang telah resmi bergabung menjadi anggota ASEAN berjumlah 11 negara.

4. Menguatnya Peran Negara pada Masa Orde Baru dan Dampaknya bagi Masyarakat
 Dampak dalam bidang politik
1) Adanya Pemerintah yang Otoriter
2) Dominasi Golkar
3) Pemerintah yang Sentralis
 Dampak dalam bidang ekonomi
1) Munculnya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN)
2) Adanya kesenjangan ekonomi dan social
3) Konglomerasi
B. Indonesia pada Masa Awal Reformasi
Pada tanggal 21 Mei 1998 Soeharto mengakhiri masa jabatannya sebagai presiden yang
telah diembannya selama 32 tahun . Dengan Soeharto mengundurkan diri maka berakhirlah
masa Orde Baru di Indonesia, dan lahirlah Masa Orde Reformasi.

1. Kronologi Berakhirnya Kekuasaan Orde Baru

Munculnya Gerakan Reformasi

Reformasi merupakan suatu perubahan tatanan perikehidupan lama ketatanan


perikehidupan baru yang lebih baik. Hasil dari perjuangan reformasi tidak dapat dipetik dalam
waktu yang singkat tetapi membutuhkan proses dan waktu. Bahkan hasil dari reformasi tersebut
baru dapat dinikmati oleh masyarakat Indonesia secara bertahap, sehingga perlu adanya agenda
reformasi untuk memprioritaskan mana yang harus lebih dulu dilaksanakan. Kontrol terhadap
reformasi perlu dilakukan, agar pelaksanaan reformasi tepat pada tujuan dan sasaranya, karena
reformasi yang tidak terkendali akan kehilangan arah dan bahkan cenderung melanggar norma-
norma hukum, sehingga tidak membawa perbaikan dalam kehidupan masa depan masyarakat
Indonesia.

Menurunnya pamor pemerintah Orde Baru telah dimulai sejak adanya perjanjian pemberian
dana bantuan IMF pada tahun 1997, perjanjian pertama setelah terjadinya krisis moneter Asia
bulan Oktober 1997. Pemberian dana bantuan ini sebenarnya mengandung 2 kelemahan bagi
Indonesia. Kelemahan pertama terletak pada posisi dana bantuan. Pemberian dana bantuan
yang diturunkan IMF di sini adalah utang luar negeri yang harus dibayarkan kembali oleh
Indonesia beserta dengan bunganya, meskipun dengan presentase yang rendah. Kelemahan
kedua adalah adanya penerapan Structual Adjustment Program (Program Penyesuaian
Struktural) dari IMF yang menyertai penurunan dana bantuan tersebut. Structual Adjustment
Program adalah persyaratan IMF bagi indonesia dalam 4 bidang utama ( pengetatan kebijakan
fiskal, penghapusan subsidi, menutup 16 bank di Indonesia, dan memerintahkakn bank sentral
untuk menaikkna tingkat suku bunga). Perjanjian kedua dengan IMF ditantatangani pada tanggal
15 Januari 1998. Syarat yang ditekankan IMF bagi Indonesia adalah pemotongan seluruh subsidi
rakyat dan menghapus praktik monopoli serta penghapusan segala bentuk subsidi  usahha
nasional yang diberikan oleh pemerintah. Persyaratan IMF ini membawa Indonesia pada
keterpurukan ekonomi yang lebih dalam.

Dengan situasi politik dan ekonomi indonesia yang semakin tidak terkendali, rakyat
Indonesia menjadi semakin kritis dan menyatakan bahwa pemerintahan orde baru tidak berhasil
menciptakan kehidupan masyarakat yang makmur, adil dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan
UUD 1945. Oleh karena itu, kemudian muncul gerakan reformasi yang bertujuan untuk
memperbarui tatanan kehidupan bermasyarakat yang dipelopori oleh para mahasiswa.

Tujuan reformasi adalah terciptanya kehidupan dalam bidang politik, ekonomi, hukum dan
sosial yang lebih baik dari masa sebelumnya. Berikut adalah faktor pendorong terjadinya
gerakan reformasi.
a)     Faktor politik, meliputi:
1) Adanya KKN dalam kehidupan pemerintahan.
2) Adanya rasa tidak percaya kepada pemerintahan Orde Baru yang penuh dengan KKN.
3) Kekuasaan Orde Baru di bawah Soeharto otoriter tertutup.
4) Adanya keinginan demokratisasi dalam kehidupan berbangsa.
5) Mahasiswa menginginkan perubahan.
b)     Faktor ekonomi, meliputi:
1)  Adanya krisis mata uang Rupiah.
2)  Naiknya harga barang-barang kebutuhan masyarakat.
3)  Sulitnya mendapatkan barang-barang kebutuhan pokok.
c)      Faktor sosial masyarakat, seperti asanya kerusuhan pada tanggal 13 dan 14 Juni 1998
yangmelumpuhkan perekonomian rakyat.
d)    Faktor hukum, belum adanya keadilan dalam perlakuan hukum yang sama di antara warga
negara.
Beberapa agenda reformasi yang disuarakan mahasiswa adalah:
1) Mengadili Soeharto dan kroni-kroninya
2) Melakukan amandemen terhadap UUD 1945
3) Menghapus dwifungsi ABRI dalam struktur pemerintahan
4) Penegakan supremasi hokum di Indonesia
5) Menegakkan pemerintahan yang bersih dari unsur-unsur KKN
6) Otonomi daerah yang seluas-luasnya

Tujuan Reformasi adalah terciptanya kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya.

Kronologi Pengunduran Diri Soeharto dari Kursi Kepresidenan

Menanggapi kondisi perekonomian yang semakin para, mahasiswa bersama elemen-


elemen masyarakat pun mulai bergerak untuk turun kejalan berdemonstrasi menuntut
penurunan harga. Berbagai aksi-aksi yang digelar mahasiswa beserta elemen masyarakat
mulai bermunculan semenjak bulan Februari 1998, dan mencapai puncaknya bulan Mei
1998. Pada tanggal 12 Mei 1998, berbagai elemen mahasiswa menggelar aksi demontrasi
damai menuntut penurunan harga di Jakarta. Di Universitas Trisakti, aksi demontrasi damai
pun terjadi. Situasi aksi damai pada hari itu berjalan dengan sangat tertib. Bahkan beberapa
mahasiswa putri sempat memberikan bunga tanda simpati kepada para petugas yang sedang
bertugas mengamankan aksi demonstrasi damai tersebut. Akan tetapi, situasi kemudian
memanas sewaktu hari menjelang sore. Mahasiswa yang ingin melakukan long march
menuju DPR/MPR tidak diperbolehkan berjalan lebih jauh oleh para petugas. Mereka
diberhentikan tidak jauh dari pintu kampus Trisakti. Didalam insiden bentrokan ini, empat
mahasiswa tewas dan puluhan mengalami luka serius. Keempat mahasiswa tersebut adalah
Elang Mulya Lesmana, Hafidhin Royan, Hendriawan Sie, dan Heri Hartanto. Mereka kemudian
diberi gelar sebagai pahlawan reformasi.
Aksi penembakan terhadap empat mahasiswa inii mengundang berbagai reaksi keras
dari masyarakat dan elemen mahasiswa di bebagai daerah. Sebelumnya, seorang mahasiswa
dari Yogyakarta yang bernama Moses Gatotkaca juga tewas dalam sebuah bentrokan dengan
aparat keamanan sewaktu melakukan aksi menuntut mundurnya Presiden Soeharto. Moses
Gatotkaca meninggal pada 8 Mei 1998. Pada tanggal 13 dan 14 Mei 1998, kerusuhan massal
yang cenderung mengarah ke tindakan anarkis berupa penjarahan dan penganiayaan
menjalar luas di seluruh ibukota. Toko-toko dibakar, barang-barang yang berada di dalamnya
dijarah oleh para oknum pelaku kerusuhan, bahkan terjadi banyak kasus penganiayaan.
Korban pun banyak berjatuhan, yang jumlahnya mencapai ratusan. Sebagian besar karena
terperangkap di dalam toko-toko yang dibakar paksa oleh para oknum-oknum pelaku
kerusuhan. Tragedi kerusuhan 13 dan 14 Mei 1998 ini merupakan titik kulminasi depresi
masyarakat akibat krisis ekonomi Indonesia. Krisis sosial dan masyarakatpun mulai
bermunculan seiring dengan adanya gesekan sosial tersebut.

Suasana Jakarta yang sangat tegang pasca tragedi kerusuhan 13 dan 14 Mei 1998 ini
terus berlangsung hingga digelarnya aksi demonstrasi besar-besaran oleh para mahasiswa
pada tanggal 19 Mei 1998. Secara berbondong-bondong para mahasiswa yang berasal dari
berbagai perguruan tinggi di Jakarta dan kota-kota lainnya melakukan long march menuju
gedung MPR/DPR. Tujuannya adalah untuk menuntut turunnya Presiden Soeharto,
menggelar sidang istimewa MPR dan pelaksanaan reformasi aksi serupa juga terjadi di
Yogyakarta. Dikota ini, mahasiswa bersama elemen-elemen masyarakat Yogyakarta
berkumpul di alun-alun kota. Mereka ingin mendengar maklumat dari Sri Sultan
Hamengkubuwono dan Sri Paku Alam mengenai kondisi negara yang sedang tegang.

Pada tanggal yang sama, yaitu 19 Mei 1998, Presiden Soeharto mengundang tokoh-
tokoh masyarakat untuk datang ke Istana Negara. Agendanya adalah membahas segala
kemungkinan penanganan krisis negara. Tokoh-tokoh yang diundang berjumlah 9 orang.
Mereka adalah Nurcholis Madjid, Abdurrahman Wahid, Emha Ainun Nadjib, Ali Yafie, Malik
Fadjar, Cholil Baidlowi, Sutrisno Muhdam, Ma’aruf Amin dan Ahmad Bagdja. Selain itu, hadir
pula Yuhsril Ihza Mahendra, Sekretaris Militer Presiden Mayjen Jasril Jakub dan ajudan
Presiden. Didalam pertemuan yang berlangsung hingga 2,5 jam ini, tercapai kesepakatan
untuk membentuk suatu badan yang dinamakan Komite Reformasi. Komite ini sebelumnya
bernama Dewan Reformasi. Namun, kemudian di ubah karena hampir mirip dengan Dewan
Revolusi dan Dewan Jenderal seaktu terjadi peristiwa tragedi pemberontakan G-30-S/PKI
tahun 1965. Di dalam pertemuan ini, juga disepakati bahwa Presiden Soeharto akan
melakukan reshuffle Kabinet Pembangunan VI, dan mengubah nama susunan kabinet
Reformasi. Sedangkan, berdasarkan pidatonya beliau sesaat setelah pertemuan ini digelar,
Presiden Soeharto juga menyatakan tugas-tugas yang diemban oleh Komite Reformasi
menurut beliau dalam pidato ini adalah untuk menyelesaikan UU Kepartaian, UU Pemilu, UU
Susunan dan Kedudukan MPR/DPR serta DPRD, UU Anto-Monopoli, UU Anti-Korupsi dan
lainnya.
Masuk ketanggal 20 Mei 1998, suasana di gedung MPR/DPR telah penuh sesak oleh
mahasiswa. Berbagai elemen mahasiswa yang berasal dari perguruan-perguruan tinggi di
Indonesia berkumpul bersama.Jumlahnya mencapai 50.000 orang. Di lain sisi, berbagai tokoh
masyarakat seperti Amien Rain dan Emil Salim menyatakan kekecewaandengan pidato
Presiden Soeharto tersebut.penyebabnya adalah bahwa sebenarnya presiden Soeharto
meminta pemberian waktu enam bulan untuk mengelar pemilihan Umum secara
kontitusional. Akan tetapi, hal tersebut tidak dinyatakan di dalam pidato beliau selepas
pertemuan itu selesai. Sedangkan di lain sisi, Soeharto dari kursi kepresidenan pada saat itu.
Emil Salim, melalui Gema Madani menyerukan agar Presiden Soeharto melaksanakan niatnya
untuk lengser keprabon (turun dari tahta kekuasaan) pada saat itu juga (20 Mei 1998). Amin
Rais juga berada dalam posisi yang sama. Ia menginginkan reformasi dilaksanakan
secepatnya.

Sementara di lain sisi, isu untuk melakukan aksi memperingati Hari Kebangkitan
Nasional tanggal 20 Mei 1998 di Lapangan Monas pun sudah menyebar. Dalam kondisi
negara yang sangat tegang pada saat itu, aksi ini dimungkinkan akan menimbulkan bentrokan
yang besar dan mengakibatkan jatuhnya korban, karena pada saat yang bersamaan,
pengamanan di seputra Lapangan Monas dan Istana Negara juga sangat ketat. Akhirnya,
pada tanggal 20 Mei 1998 pukul 05.30 pagi, Amin Rais mengumumkan pembatalan apel dan
aksi di Monas tersebut.

Sementara, kekuatan mahasiswa makin menguat dan solit digedung MPR/DPR.


Mahasiswa pun memutuskan untuk memusatkan aksi memperingati Hari Kebangkitan
Nasional di Halaman gedung MPR/DPR. Aksi pada tanggal 20 Mei 1998 ini dihari oleh
barbagai tokoh-tokoh masyarakat. Pada pukul 11.30, Amien Rais datang ke gedung
MPR/DPR. Selanjutnya hadir pula tokoh-tokoh masyarakat seperti Deliar Noer, Emil Salim,
Erna Witoelar, Albert Hasibuan, Saparinah Sadli, Nursyahbani Katjasungkana, A.M. Fatwa,
Adnan Buyung Nasution, Permadi, Matori Abdul Djalil dan Wimar Witoelar. Bahkan, tokoh-
tokoh seni Indonesia pun hadir, seperti Dono Warkop, Garin Nugroho dan Neno Warisman.

Aksi ini secara sporadis memunculkan dukungan moral dari seluruh elemen bangsa.
Bahkan, sumbangan-sumbangan nasi bungkus dan air minum dari berbagai kalangan kepada
mahasiswa yang sedanga berdemo di gedung MPR/DPR pun terus berdatangan. Hal ini
merupakan simbol bahwa perjuangan mahasiswa pada saat itu secara moral telah berhasil
memunculkan solidaritas di kalangan masyarakat. Di tanggal ini pula (20 Mei 1998), Menteri
Luar Negeri Amerika Serikat Madeleine Albright secara nyata memberikan pernyataannya
yang meminta Presiden Soeharto untuk segera mundur. Pernyataan Albright ini disiarkan
secara live dalam breaking news CNN pada pukul 22.48 WIB. Ia menyatakan bahwa
penguduran diri Presiden Soeharto sudah merupakan jalan yang semestinya untuk memberi
jalan bagi transisi demokrasi di Indonesia. Ia menegaskan bahwa kesempatan ini merupakan
momentum bagi Presiden Seoharto untuk menorehkan langkah historisnya sebagai
negarawan.
Di tanggal ini pula, pada pukul 14.30, sejumlah 14 menteri yang berada di bawah
koordinasi Menko Ekuin, Ginandjar Kartasasmita menyatakan penolakannya untuk
dicalonkan kembali di dalam Kabinet Reformasi. Mahasiswa secara bersama masih terus
melakukan aksinya di gedung MPR/DPR. Sementara pada pukul 16.45, terjadi pertemuan
antara perwakilan mahasiswa dengan pimpinan MPR/DPR di lantai 3 gedung lama MPR/DPR.
Di dalam pertemuan ini, mahasiswa memberikan batas waktu pengunduran diri Soeharto
hingga hari jumat tanggal 22 Mei 1998. Apabila tidak ada kepastian lebih lanjut, maka pada
hari Senin tanggal 25 Mei 1998 pimpinan DPR akan mempersiapkan Sidang Istimewa MPR.

Aksi di gedung MPR/DPR mencapai puncaknya pada 21 Mei 1998. Pada pukul 09.06
WIB, Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya dari posisi Presiden Republik Indonesia.
Bertempat di Credential Room, Istana Negara Jakarta, dengan disaksikan oleh Ketua
Mahkamah Agung, Soeharto mengakhiri jabatan presidensialnya yang telah diemban selama
32 tahun. Naskah pengunduran diri Soeharto, Mahkamah Agung langsung melantik Wakil
Presiden Baharuddin Jusuf Habibie sebagai Presiden Republik Indonesia yang baru. Hal ini
sesuai amanat di dalam pasal 30 UUD 1945 yang berbunyi: “Jika Presiden mangkat, berhenti,
diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia diganti
oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya”. Momentum turunnya Soeharto pada
tanggal 21 Mei 1998 ini mengakhiri pemerintahan Orde Baru yang telah berjalan selama 32
tahun di Indonesia.

2. Perkembangan Kehidupan Bangsa Indonesia pada Awal Masa Reformasi


1) Presiden B.J Habibie

Pada tanggal 21 Mei 1998, pukul 10.00 WIB bertempat di Istana Negara, Presiden
Soeharti meletakkan jabatannya sebagai presiden di hadapan ketua dan beberapa anggota
dari Mahkamah Agung. Presiden menunjuk Wakil Presiden B.J. Habibie sesuai dengan yang
tertera pada UUD1945 untuk menggantikannya menjadi presiden, serta pelantikannya
dilakukan didepan Ketua Mahkamah Agung dan para anggotanya. Maka sejak saat itu,
Presiden Republik Indonesia dijabat oleh B.J. Habibie sebagai presiden yang ke-3.

Naiknya Habibie menjadi presiden menggantikan Presiden Soeharto menjadi polemik


dikalangan ahli hukum. Sebagian ahli menilai hal itu konstitusional, namun ada juga yang
berpendapat inkonstitusional. Adanya perbedaan pendapat itu disebabkan karena hukum
yang kita miliki kurang lengkap, sehingga menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda.
Diantara mereka menyatakan pengangkatan Habibie menjadi presiden konstitusional,
berpegang pada Pasal 8 UUD 1945 yang menyatakan bahwa "Bila Presiden mangkat, berhenti
atau tidak dapat melakukan kewajibannya, ia diganti oleh Wakil Presiden sampai habis
waktunya". Tetapi yang menyatakan bahwa naiknya Habibie sebagai presiden yang
inkonstitusional berpegang pada ketentuan Pasal 9 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa
"Sebelum presiden memangku jabatan maka presiden harus mengucapkan sumpah atau janji
di depan MPR atau DPR". Sementara, Habibie tidak melakukan hal itu dan ia mengucapkan
sumpah dan janji di depan Mahkamah Agung dan personil MPR dan DPR yang bukan bersifat
kelembagaan.

Dalam ketentuan lain yang terdapat pada Tap MPR No. VII/MPR/1973, memungkinkan
bahwa sumpah dam janji itu diucapkan didepan Mahkamah Agung. Namun, pada saat
Habibie menerima jabatan sebagai presiden tidak ada alasan bahwa sumpah dan janji
presiden dilakukan di depan MPR atau DPR, Artinya sumpah dan janji presiden dapat
dilakukan di depan rapat DPR, meskipun saat itu Gedung MPR/DPR masih diduduki dan
dikuasai oleh para mahasiswa. Bahkan Soeharto seharusnya mengembalikan dulu
mandatanya kepada MPR, yang mengangkatnya menjadi presiden.

Apabila dilihat dari segi hukum materiil, maka naiknya Habibie menjadi presiden adalah
sah dan konstitusional. Namun secara hukum formal hal itu tidak konstitusional, sebab
perbuatan hukum yang sangat penting yaitu pelimpahan wewenang atau kekuasaan dari
Soeharto kepada Habibie harus melalui acara resmi yang konstitusional. Apabila perbuatan
hukum itu dihasilkan dari acara yang tidak konstitusional, maka perbuatan hukum itu
menjadi tidak sah. Pada saat itu memang DPR tidak memungkinkan untuk bersidang, karena
Gedung DPR/MPR diduduki oleh puluhan ribu mahasiswa dan para cendekiawan. Dengan
demikian, hal ini dapat dinyatakan sebagai suatu alasan yang kuat dan hal itu harus
dinyatakan sendiri oleh DPR.[1]

Habibie yang menjabat sebagai presiden menghadapi keberadaan Indonesia yang serba
parah, baik dari segi ekonomi, politik, sosial dan budaya. Oleh karena itu, langkah-langkah
yang dilakukan oleh Habibie adalah berusaha untuk mengatasi krisis ekonomi dan politik.
Dalam menghadapi krisis itu, pemerintah Habibie sangat berhati-hati terutama dalam
pengelolaannya, sebab dampak yang ditimbulkannya dapat mengancam integrasi bangsa.
Untuk menjalankan pemerintahan, presiden habibie tidak mungkin dapat melaksanaknnya
sendiri tanpa dibantu oleh menteri-menteri dan kabinetnya. Oleh karena itu, Habibie
membentuk kabinet.

Pada tanggal 22 Mei 1998, Presiden Republik Indonesia yang ketiga B.J. Habibie
membentuk kabinet baru yang dinamakan Kabinet Reformasi Pembangunan. Kabinet itu
terdiri atas 16 orang menteri, dan para menteri itu diambil dari unsur-unsur militer (ABRI),
Golkar, PPP, PDI. Pada tanggal 25 Mei 1998 diselenggarakan pertemuan pertama kabinet
habibie. Pertemuan ini berhasil membentuk Komite untuk merancang undang-undang politik
yang lebih longgar dalam waktu satu tahun dan menyetujui pembatasan masa jabatan
presiden yaitu maksimal 2 periode (satu periode lamanya 5 tahun). Upaya terebut mendapat
sambutan positif, tetapi dedakan agar pemerintah Habibie dapat merealisasikan agenda
reformasi tetap muncul.
Pembaharuan yang dilakukan oleh B.J. Habibie antara lain:
1.) Bidang Ekonomi
Untuk menyelesaikan krisis moneter dan perbaikan ekonomi Indonesia, B.J. Habibie
melakukan langkah-langkah sebagai berikut :
- Merekapitulasi perbankan
- Melikuidasi beberapa bank yang bermasalah.
- Menaikkan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat
- Mengimplementasikan reformasi ekonomi yang diisyaratkan oleh IMF.
- Merekonstruksi perekonomian Indonesia.

2.) Bidang Politik


Memberi kebebasan pada rakyat untuk menyalurkan aspirasinya sehingga banyak
bermunculan partai-partai politik yang baru sebanyak 45 parpol.

Membentuk tiga undang-undang demokratis yaitu, (1) UU No. 2 tahun 1999 tentang
Partai Politik (2) UU No. 3 tahun 1999 tentang Pemilu (3) UU No. 4 tahun 1999 tentang Susduk
DPR/MPR ·
Menetapkan 12 ketetapan MPR dan ada 4 ketetapan yang mencerminkan jawaban dari
tuntutan reformasi yaitu:
(1) Tap No. VIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Tap No. IV/MPR/1983 tentang Referendum.
(2) Tap No. XVIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Tap No. II/MPR/1978 tentang Pancasila
Sebagai Asas Tunggal.
(3) Tap No. XII/MPR/1998 tentang Pencabutan Tap No. V/MPR/1998 tentang Presiden
Mendapat Mandat dari MPR untuk Memiliki Hak-Hak dan Kebijakan di Luar Batas Perundang-
undangan.
(4) Tap No. XIII/MPR/1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden
Maksimal Hanya Dua Kali Periode.

4.) Bidang Hukum


Untuk melakukan refomasi hukum, ada beberapa hal yang dilakukan dalam
pemerintahan B.J. Habibie yaitu, a) Melakukan rekonstruksi atau pembongkaran watak hukum
Orde Baru, baik berupa Undang-Undang, peraturan pemerintah, maupun peraturan menteri. b)
Melahirkan 69 Undang-undang. c) Penataan ulang struktur kekuasaan Kehakiman.

7.) Kebebasan Menyampaikan Pendapat


Presiden B.J. Habibie memberikan kebebasan dalam menyampaikan pendapat di depan
umum, baik dalam rapat maupun unjuk rasa. Dan mengatasi terhadap pelanggaran dalam
penyampaian pendapat ditindak dengan UU No. 28 tahun 1998.
8.) Masalah Dwifungsi ABRI
Ada beberapa perubahan yang muncul pada pemerintahan B.J. Habibie, yaitu :
· Jumlah anggota ABRI yang duduk di kursi MPR dikurangi, dari 75 orang menjadi 35 orang
· Polri memisahkan diri dari TNI dan menjadi Kepolisian Negara
· ABRI diubah menjadi TNI yang terdiri dari Angkatan Udara, Darat, dan Laut.

9.) Pemilihan Umum 1999


MPR yang terbentuk melalui hasil pemilu 1999 berhasil menetapkan GBHN, melakukan
amandemen pertama terhadap UUD 1945, serta presiden dan wakil presiden. Pada tanggal 20
Oktober 1999 MPR berhasil memilih K.H. Abdurrahman Wahid sebagai presiden keempat RI dan
sehari kemudian memilih Megawati Soekarnoputri sebagai wakil presiden.

2) Presiden K.H. Abdurrahman Wahid

Dalam menjalankan pemerintahan, K.H. Abdurrahman Wahid didampingi wakilnya


Megawati Soekarno Putri . K.H. Abdurrahman Wahid adalah seorang santri tradisional
yang memiliki wawasan kebangsaan yang tidak diragukan.

Pasangan K.H. Abdurrahman Wahid-Megawati membentuk Kabinet Persatuan


Nasional yang dilantik pada tanggal 28 Oktober 1999. K.H. Abdurrahman Wahid juga
membentuk Dewan Ekonomi Nasional (DEN) yang bertujuan untuk memperbaiki
ekonomi yang belum pulih akibat krisis yang berkepanjangan.

3) Presiden Megawati Soekarnoputri

Megawati Soekarno Putri (Diah Permata Megawati Setiawati Soekarnoputri dilantik


sebagai presiden ke-5 pada tanggal 21 Juli 2001. Dalam menjalankan tugasnya
Megawati Soekarnoputri didampingi oleh wakilnya Hamzah Haz. Kabinet Megawati
Soekarnoputri bernama Kabinet Gotongroyong.

Presiden Megawati Soekarnoputri merupakan peletak dasar ke arah Negara yang


demokratis, karena telah berhasil melaksanakan pemilu 2004 dengan aman dan damai.
Untuk pertamakalinya pada pemilu tersebut presiden dipilih langsung oleh rakyat.

4) Presiden Susilo Bambang Yudhoyono

Pada tanggal 20 Oktober 2004 Susilo Bambang Yudhoyono dilantik menjadi presiden
ke-6. Dalam menjalankan tugasnya Susilo Bambang Yudhoyono didampingi oleh
wakilnya Jusuf Kala. Kabinet Susilo Bambang Yudhoyono bernama Kabinet Indonesia
Bersatu yang anggotanya dilantik pada tanggal 21 Oktober 2004.
Pada pemilu tahun 2009 Susilo Bambang Yudhoyono berhasil memenangkan pemilu
dan terpilih kembali menjadi presiden yang ke-7 didampingi oleh Budiono. Kabinet yang
digunakan adalah Indonesia Bersatu II dan dilantik pada 22 Oktober 2009.

5) Presiden Joko Widodo

Pada pemilu tahun 2014 Joko Widodo terpilih sebagai presiden yang ke-8
didampingi oleh Jusuf Kala. Pada tanggal 26 Oktober 2014 Joko Widodo dilantik menjadi
presiden.

Pada tanggal 26 Oktober 2014 presiden Joko Widodo mengumumkan susunan


kabinetnya di Istana Negara. Kabinet tersebut bernama Kabinet Kerja. Sehari setelah
pengumuman, Kabinet Kerja dilantik.
C. Perubahan Politik dan Ketatanegaraan Indonesia
1. Pemilihan Umum Tahun 1999

Pemilu pertama setelah reformasi bergulir diselenggaraka pada tanggal 7 Juni 1999. Pemilu
ini dianggap paling demokratis disbanding pemilu-pemilu sebelumnya, dilaksanakan dengan
luber dan jurdil.

Dalam rangka persiapan tersebut, Presiden B.J Habibie mencabut UU pemilu yang dipakai
pada masa Orde Baru, dan sebagai gantinya ditetapkan 3 UU politik baru yang ditandatangani
pada tanggal 1 Februari 1999. Isi tiga UU tersebut mengenai partai politik, proses pemilihan
umum, serta susunan dan kedudukan MPR, DPR, DPRD. Hanya 48 partai yang lolos untuk melaju
dalam pemilihan umum 7 Juni 1999 dan 112 partai yang mendaftar ke Departemen Dalam
Negeri. Adapun panitia yang harus menyaring partai-partai tersebut adalah panitia 11. Sistem
pemilu ini diatur dalam UU No 3 Tahun 1999 yang menetapkan bahwa peraturan pemilu bersifat
campuran antara system proposional dan system distrik.

Pelaksanaan pemilu 1999 sudah ditangani oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) bukan lagi
Lembaga Pemilihan Umum (LPU).

2. Pemilihan Umum Tahun 2004


Dilaksanakan melalui beberapa tahap, yaitu:
 Tahap pertama (pemilu legislatif) dilaksanakan pada tanggal 5 April 2004. Pada
tahap ini untuk memilih para calon legislative mulai dari tingkat pusat hingga
daerah.
 Tahap kedua (pemilu presiden putaran pertama) dilaksanakan pada tanggal 5 Juli
2004. Pada tahap ini untuk memilih pasangan calon presiden dan calon wakil
presiden secara langsung.
 Tahap ketiga (pemilu presiden putaran kedua) dilaksanakan pada tanggal 24
September 2004. Pada tahap ini dimenangkan oleh pasangan Susilo Bambang
Yudhoyono- Jusuf Kala untuk periode 2004-2009.
3. Pemilihan Umum Tahun 2009

Pada pemilihan tahun 2009 dimenangkan oleh pasangan Susilo Bambang Yodhoyono-
Budiono.

4. Pemilihan Umum Tahun 2014

Pada pemilihan tahun 2014 ini dimenangkan oleh pasangan JokoWidodo-Jusuf Kala.
5. Dampak Reformasi

Reformasi telah mengubah kondisi pemerintahan di Indonesia, perubahan tersebut dapat


terlihat pada amanndemen UUD 1945. UUD 1945 harus diamandemen karena setiap generasi
pasti mengalami perubahan. Masalah yang dihadapi pun semakin banyak dan kompleks,
sehingga tidak mungkin menggunakan undang-undang yang sama.

Amandemen tersebut membawa banyak pengaruh besar dalam tata pemerintahan


Indonesia. Kini peran lembaga-lembaga pemerintahan lebih proporsional, pemerintahan mulai
berjalan secara transparan dan control terhadap kinerja mereka lebih ketat. Bahkan, rakyat
mulai aktif mengkritisi kinerja pemerintah.

Beberapa perubahan tersebut memebawa pengaruh dalam kehidupan masyarakat antara


lain, sebagai berikut :

 Kebebasan berekspresi dan berpartisipasi rakyat dilindungi oleh UUD 1945 sehingga
rakyat lebih berani menyuarakan aspirasinya.
 DPR tidak lagi berperan hanya sebagai lembaga yang mengikuti kemauan presiden,
tetapi menjadi lembaga yang sangat ketat mengontrol kekuasaan presiden.
 Presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat sehingga mereka
memiliki legitimasi yang kuat, tidak sekedar menajalankan kehendak MPR
 Dibentuknya lembaga-lembaga baru untuk meningkatkan kinerja pengelolaan negara.

Dampak reformasi juga terlihat dari munculnya lembaga-lembaga yang menyuarakan


aspirasi untuk menyelidiki dan mengawasi pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di Indonesia.
Banyak kasus seperti korupsi dan pelanggaran HAM yang belum terselesaikan yang terjadi pada
masa Orde Baru sampai pada masa Orde Reformasi. Oleh karena itu, sebagai sebuah momen
untuk menyampaikan aspirasi, masa reformasi menjadi otoritas bagi lembaga-lembaga
penyelidik untuk menyelidiki kasus-kasus pelanggaran, khususnya korupsi , hokum dan HAM.

Lembaga-lembaga tersebut antara lain, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Mahkamah Konstitusi (MK), Dewan Perwakilan Daerah
(DPD).

Anda mungkin juga menyukai