Anda di halaman 1dari 83

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pemberian pelayanan kesehatan oleh dokter rumah sakit kepada

pasien tidak sebatas penerapan teknologi kedokteran saja namun juga harus

dibarengi aktalisasi nilai–nilai sosial, budaya, etik, hukum maupun agama. Hal

ini telah dimaknai jauh sebelumnya oleh para tokoh dibidang kedokteran

dengan disusunnya Etika Profesi Kedokteran dalam bentuk Code Hammurabi

dan Code Of Hittiles selain itu dikenal juga sumpah Hippocrates yang

berisikan kewajiban–kewajiban dokter dalam berperilaku dan bersikap atau

semacam Code Of Conduct bagi dokter.5

Hubungan antara pasien dengan dokter dan tenaga kesehatan lainnya

rumah sakit, dikenal dengan apa yang dinamakan hubungan terapeutik atau

transaksi terapeutik,6 di mana terjadi suatu ikatan kontrak (meskipun tidak

tertulis) antara pasien dan dokter dalam hal pengobatan dan perawatan

penyakitnya serta antara pasien dengan rumah sakit dalam hal pelayanan

kesehatan dengan menyediakan sarana dan prasarana yang terstandar.

Dalam hubungan tersebut, walaupun pasien dari pihak yang awam

tentang masalah kesehatan, tetapi hendaknya pihak dokter dan rumah sakit

memenuhi kewajibannya untuk memberikan layanan kesehatan sesuai standar

pelayanan, standar profesi, dan standar operasional prosedur kepada pasien

5
http://id.scribd.com/doc/252093007/Teori, diakses tanggal 12 desember 2018, hari rabu jam
16.00 WIB.
6
Nasution, Bahder Johan, 2005, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, Jakarta, Rineka
Cipta, hlm. 11.

1
baik diminta maupun tidak diminta. Karena prinsipnya dari transaksi

terapeutik itu, pihak health provider dan pihak health receiver adalah sama-

sama merupakan subjek hukum yang mempunyai hak dan kewajiban, sesuai

dengan asas hukum equality before the law.2

Menjadi sangat penting melakukan komunikasi dengan baik dari pihak

dokter atau rumah sakit tentang masalah kesehatan pasien secara lengkap dan

detail sehingga pasien mengerti tentang kondisi kesehatan dan hak-haknya

sebagai seorang pasien yang juga dilindungi oleh hukum. Hal lain yang

menguntungkan dengan dilakukannya komunikasi yang baik adalah pasien

mengetahui bahwa sampai dimana tingkat kesehatannya atau keparahan

penyakitnya serta kemampuan dokter untuk membantu masalahnya sesuai

dengan kondisi yang ada pada saat itu.

Namun dalam beberapa tahun terakhir ini, hubungan dokter dan/atau

rumah sakit dengan pasien menghadapi tantangan karena beberapa kasus

pengaduan atau tuntutan atau tuduhan kepada dokter dan/atau rumah sakit

telah melakukan kesalahan dalam pelayanan kesehatan atau yang dikenal

dengan malpraktik, kerap dimuat dalam media masa. Malpraktik sendiri

terjadi bukan hanya pada pasien dengan dokter tetapi terkadang pihak pasien

dengan pihak rumah sakit, hal ini memberikan gambaran kepada kita bahwa

masyarakat sebagai health receiver kini telah menuntut pelaksanaan hak–hak

yang mereka miliki tersebut. Kini mereka telah berani menilai bahkan

mengkritik mutu pelayanan kesehatan yang mereka terima .

2
Masyarakat yang menjadi health receiver sekarang cenderung lebih

selektif ketika memilih dokter maupun ketika dokter melakukan tindakan

medis tertentu.

Fenomena perilaku pasien tersebut tidak bisa dipisahkan dari

berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya dalam bidang

informasi dan komunikasi yang semakin canggih, telah memberikan

kemudahan kepada setiap orang untuk memperoleh informasi tentang sistem

pelayanan kesehatan dibeberapa negara termasuk di dalamnya perkembangan

hak–hak pasien serta penentuan hak – hak tersebut.

Pada beberapa kondisi dimana pasien merasa dirinya kurang

mendapatkan pelayanan medik yang memuaskan, ataupun ketika terjadi

kesalahan pelayanan medik (Medical Malpraktik),

Peluang terbuka lainnya kemungkinan bakal terjadinya sengketa medik

adalah pihak dokter atau rumah sakit kurang memahami standar pelayanan

tentang aturan hukum kesehatan yang merupakan integral dari sistem hukum

nasional, yang menerapkan standar benar atau salah berdasarkan aturan yang

ada. Sementara itu paradigma yang ada pada seorang dokter adalah

mengurangi penderitaan pasien atau mencegah kecacatan atau kematian hanya

dengan berlandaskan niat baik sehingga masih banyak para dokter hanya

berbicara pada tatanan moral, yaitu mengedepankan fungsi luhur profesi untuk

berbuat baik kepada sesama, walaupun secara hukum banyak yang tidak

dibenarkan atau dilarang. Oleh karena itu di dalam penyelesaiannya perlu

memperhatikan masalah substansinya melalui penilaian disiplin profesi,

sehingga peran organisasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sangat penting untuk

3
membantu menyelesaikan masalah sengketa medik. Untuk itu organisasi

profesi IDI mempunyai peran dalam menjaga anggotanya dengan

mentertipkan kelengkapan administrasi seperti mempunyai kartu anggota yang

terdaftar pada wilayah tempat dokter tersebut bekerja, mempunyai surat tanda

registrasi dokter (STR) yang masih berlaku, mempunyai surat izin praktek

(SIP) yang masih berlaku, serta mempunyai sertifikat pelatihan. Ini

merupakan syarat utama yang harus dilengkapi oleh setiap dokter dalam

melakukan pelayan medik dimana tempat dokter tersebut bekerja dan

Organisasi profesi IDI juga menekankan agar setiap dokter melakukan

pelayanan medik bekerja sesuai dengan standar profesinya supaya dokter

tersebut terlindung dari tuntutan hukum apabila terjadi sengketa medik.

Masalah perlindungan hukum dalam kasus gawat darurat medik perlu

mendapat perhatian dan penyelesaiaan yang baik karena semakin banyak

terjadi kasus hukum medik akan membuat pelayanan kesehatan akan menjadi

lebih rumit, semakin mahal dan kepercayaan masyarakat pada pelayanan

kesehatan akan menurun. Dampak lainnya adalah semua pihak akan menjaga

jarak dan hal ini akan membuat hubungan dokter dan/atau rumah sakit dengan

pasien menjadi tidak harmonis. Hal tersebut akan berujung kepada penurunan

mutu pelayanan kesehatan.

Perlindungan hukum merupakan hak setiap warga negara tanpa

terkecuali termasuk dokter. Adapun objek perlindungan hukum pada

peraturan perundangan berbeda-beda berdasarkan tujuan peraturan itu

dibuat.7 Demikian pula dengan dokter, untuk menjaga hak-hak dokter ada

7
Salim HS, Erlies Septiana Nurbani, 2013, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis dan
Disertasi:Teori Perlindungan Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 263-265

4
pula peraturan-perundangan yang mengaturnya, seperti: Undang-undang

Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (selanjutnya disebut UU

Praktik Kedokteran), Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang

Kesehatan (selanjutnya disebut UU Kesehatan) dan Peraturan Pemerintah

Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan.

Dokter yang bertugas di unit gawat darurat dalam melakukan

tugasnya harus mendapatkan perlindungan hukum, asalkan tindakan medik

yang dilakukannya sesuai Standar Profesi (SP) dan Standar Prosedur

Operasional (SPO). Inilah yang dimaksud dengan Pasal 50 UU Praktik

Kedokteran huruf a, Pasal 27 Ayat (1) UU Kesehatan dan Pasal 24 Ayat (1)

Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan.

Standar Profesi (SP) atau dikenal juga dengan standar pelayanan

kedokteran merupakan pedoman yang harus diikuti oleh dokter yang

melakukan praktik kedokteran yang dibuat oleh profesi. Untuk standar

profesi IGD mengacu kepada banyak standar srofesi, tergantung dengan

kasus yang dihadapi di IGD, misalnya kasus penyakit dalam standar

profesinya mengacu ke standar profesi penyakit dalam, kasus saraf standar

profesi yang digunakan standar profesi saraf, kasus bedah standar profesi

yang digunakan standar profesi bedah, demikian dengan kasus-kasus lain.

Sedangkan, Standar Prosedur Operasional (SPO) adalah pedoman yang

berupa langka-langkah yang rutin dikerjakan yang dibuat oleh fasilitas

pelayanan kesehatan berdasarkan standar profesi. Misalnya SPO Penanganan

pasien gawat, SPO Pendelegasian tugas dokter ke perawat, SPO Konsultasi

ke spesialis, SPO Rujukan, dan banyak lagi SPO-SPO yang lain.

5
SP dan SPO ini saling berkaitan erat, keduanya menjadi panduan bagi

dokter yang berpraktik, baik praktik di rumah sakit maupun di klinik. Jika

suatu ketika terjadi sengketa medik, SP dan SPO akan membantu dokter

dari tuntutan hukum bahkan bisa membebaskan dokter dari jeratan hukum.

Untuk itu, dokter harus membiasakan diri melakukan tindakan sesuai dengan

SP dan SPO. Semua tindakan medik di rumah sakit butuh SP dan SPO,

termasuk tindakan dalam keadaan gawat darurat, tindakan penyelamatan

nyawa atau mencegah kecacatan.

Pelayanan kasus gawat darurat medik berbeda dengan pelayanan di

unit lain. Kasus darurat medik butuh tindakan cepat dan tepat, dokter dan

perawatnya harus terlatih, memiliki keahlian khusus menangani pasien gawat

darurat medik, disamping itu di unit ini kecepatan respone time penanganan

pasien sangat diperlukan.

Maka untuk itu dapat diartikan bahwa gawat adalah suatu keadaan

yang berbahaya, genting, penting, jika ditunda bisa fatal akibatnya

dikarenakan oleh suatu penyakit, sedangkan darurat adalah kejadian yang

tidak disangka-sangka sebelumnya dan memerlukan tindakan sesegera

mungkin.

Sebagai dokter dipelayanan unit gawat darurat tersebut, dituntut

dengan tanggung jawab yang besar serta mempunyai sertifikat dan pelatihan.

Dalam kategori ini dokter dipelayanan unit gawat darurat medik sangat

menunjang memiliki sertifikat ATLS (Advanced Trauma Life Support),

ACLS (Advanced Cardiac Life Support), dan PPGD (Pertolongan Pertama

Dalam Gawat Darurat). Hal ini merupakan syarat khusus yang harus dimiliki

6
oleh dokter dipelayan unit gawat darurat medik.

Pelayanan kegawat daruratan medik dirumah sakit ditunjang

berdasarkan kompetensi dan jenjang pendidik dokternya seperti :

1. Dokter terlatih dokter umum yang memiliki kompetensi untuk

melakukan kegawat daruratan medik dengan ditunjukkan mempunyai

sertifikat ATLS, ACLS, dan PPGD.

2. Dokter Spesialis Kedokteran Darurat (Emergency Medicine), yaitu yang

sudah menjalani program pendidikan dokter spesialis emergensi sesuai

dengan peraturan perundang-undangan.

3. Dokter Spesialis adlah dokter spesialis-subspesialis disiplin ilmmu

tertentu yang memiliki kompetensi pelatihan kegawat daruratan medik

sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Maka untuk itu setiap dokter memberikan standar pelayanan diunit

gawat darurat medik berdasarkan kompetensinya masing-masing, seperti

dokter umum menjalankan standar profesi sebagai dokter umum diunit gawat

darurat medik harus disertakan memiliki salah satu sertifikat ATLS,ACLS,

dan PPGD. Begitu pula pada masing-masing bagian dokter spesialis-

subspesialis menjalankan standar profesinya diunit gawat darurat medik

sesuai dengan kompetensinya.

Risiko bagi dokter menangani kasus gawat darurat medik lebih tinggi

jika dibandingkan dengan dokter yang bekerja di unit lain. Dalam

menghadapi kematian, dokter UGD menempati urutan kedua setelah dokter

onkologi.8

8
Herkutanto, 2007, “Aspek Medikolegal Pelayanan Gawat Darurat“, Majalah Kedokteran
Indonesia, Volum 57, Nomor 2 Februari 2007, hlm. 37-38.

7
Kasus gawat darurat medik di UGD, dokter sering menjadi sorotan,

banyak keluhan yang ditujukan ke dokter, baik yang berkaitan langsung

dengan tugas pokok dokter maupun tidak. Yang berkaitan langsung dengan

tugas pokok dokter, misalnya pasien minta ditangani terlebih dahulu padahal

pasien tidak gawat sementara di IGD ada pasien gawat yang sedang

ditangani dokter, ada lagi pasien minta dirawat inap padahal tidak ada

indikasi rawat inap, dan sebaliknya ada juga yang menolak dirawat inap

padahal ada indikasi rawat inap. Demikian pula masalah rujukan, ada pasien

yang minta dirujuk tanpa indikasi dan ada pula pasien yang menolak

dirujuk padahal penyakitnya butuh penanganan khusus di rumah sakit

lanjutan.

Keluhan yang tidak berkaitan dengan tugas pokok dokter, misalnya

kartu jaminan kesehatan yang tidak bisa digunakan di IGD karena diagnosis

pasien tidak termasuk dalam diagnosis gawat darurat atau pasien kecelakaan

lalu lintas yang mau menggunakan jaminan kesehatan Kartu Indonesia Sehat

(KIS) padahal untuk kasus kecelakaan lalu lintas ada jasaraharja yang

menanggungnya. Jika tidak dipenuhi dokter dilaporkan ke unit komplain

rumah sakit karena menelantarkan pasien dan dokter tidak kompeten dalam

bekerja bahkan sampai kemedia sosial, seperti Facebook, Whatshapp,

Intagram bahkan pernah sampai ke media cetak.

Kasus-kasus ini menyebabkan dokter yang bertugas di unit gawat

darurat merasa tidak nyaman. Perihal rumah sakit seharusnya memberikan

kenyamanan agar dokter bisa bekerja dengan baik. Oleh sebab itu, rumah

sakit harus menjamin perlindungan hukum baik terhadap pasien yang

8
membutuhkan jasa layanan maupun tenaga kesehatan yang bekerja di RSUD

Mukomuko. Pada tesis ini saya meneliti :

Peran IDI Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Dokter

Dalam Kasus Gawat Darurat Medik RSUD Mukomuko.

9
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang sudah dipaparkan, maka dapat

dirumuskan yang menjadi permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana peran organisasi profesi IDI dalam memberikan perlindungan

hukum terhadap dokter dalam kasus gawat darurat medik RSUD

Mukomuko?

2. Bagaimanakah bentuk-bentuk perlindungan hukum oleh organisasi

profesi IDI terhadap dokter dalam kasus gawat darurat medik RSUD

Mukomuko?

3. Apa upaya yang diperlukan organisasi profesi IDI dalam hal proteksi

hukum terhadap dokter dalam kasus gawat darurat medik RSUD

Mukomuko?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan kegiatan penelitian ini dilakukan oleh penulis agar

dapat menyajikan informasi yang akurat, sehingga dapat memberi manfaat dan

mampu menyelesaikan masalah yang sesuai atau berkaitan dengan judul.

Berdasarkan hal tersebut maka penulis mempunyai tujuan :

1. Untuk mengetahui dan menganalisis peran organisasi profesi IDI dalam

memberikan perlindungan terhadap dokter dalam kasus gawat darurat

medik RSUD Mukomuko.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan

perlunya IDI meberikan perlindungan hukum terhadap dokter dalam kasus

gawat darurat medik RSUD Mukomuko?

10
3. Untuk mengetahui dan menganalisis langkah-langkah apa yang di

tempuh IDI melindungi dokter dalam kasus gawat darurat medik

RSUD Mukomuko?

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan hasilnya dapat memberikan manfaat teoritis

dan praktis yaitu :

I. Manfaat Teoritis

Memberikan masukkan dan menambah informasi bagi pihak-pihak

terkait dalam hal ini adalah dokter, dinas kesehatan, manajemen pelayanan

kesehatan ruamah sakit, aparat penegak hukum, pasien dan masyarakat

mengenai peranan dari organisasi profesi IDI dalam memberikan

perlindungan hukum terhadap tindakan dokter RSUD Kabupaten

Mukomuko dalam menyikapi kasus gawat darurat medik di RSUD

Mukomuko.

II. Manfaat Praktis

a). Memberikan kontribusi pemikiran bagi para pengambil keputusan agar

dapat dijadikan salah satu masukan dari peran organisasi profesi IDI

dalam memberikan perlindungan hukum terhadap dokter dalam kasus

gawat darurat medik RSUD Mukomuko.

b). Agar terdapat kesamaan persepsi antara dokter, pasien, masyarakat dan

aparat penegak hukum mengenai peran organisasi profesi IDI dalam

memberikan perlindungan hukum terhadap dokter dalam kasus gawat

darurat medik RSUD Mukomuko.

11
c). Bagi para dokter agar lebih memahami tugas pokok dan fungsinya

masing-masing sesuai kompetensinya dan bekerja sesuai Standar

Operasional Prosedur dan Standar Profesi Kedokteran.

E. Kerangka Pemikiran

E1. Kerangka Teoritis

a) Teori Peran

Peran diartikan sebagai seperangkat tingkat yang diharapkan

dimiliki oleh orang atau lembaga yang berkedudukan di masyarakat.

Kedudukan adalah wadah yang isinya adalah hak da kewajiban

tertentu, sedangkan hak dan kewajiban tersebut dapat dikatakan

sebagai peran. Oleh karena itu, maka seseorang atau lembaga yang

mempunyai kedudukan tertentu dapat dikatakan sebagai pemegang

peran (role accupant). Suatu hak yang sebenarnya merupakan

wewenang untuk berbuat atau tidak berbuat, sedangkan kewajiban

adalah beban atau tugas.9

Secara sosiologi peran, adalah aspek dinamis yang berupa

tindakan atau perilaku yang dilaksanakan oleh seseorang atau lembaga

yang menempati atau memangku suatu posisi dan melaksanakan hak-

hak dan kewajiban sesuai dengan kedudukannya. Jika seseorang atau

lembaga menjalankan peran tersebut dengan baik, dengan sendirinya

akan berharap bahwa apa yang dijalankan sesuai dengan keinginan dari

9
Bakir, RS, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Karisma Publishing Group, Tanggerang, 2009.
hlm. 348.

12
lingkungannya. Peran secara umum adalah kehadiran di dalam

menentukan suatu proses keberlangsungan.10

b) Teori Perlindungan Hukum

Menurut Lili Rasjidi, pandangan hukum sosiologis artinya

suatu pandangan yang dalam hukum tidak bertujuan melihat

perwujudan tersebut dari satu atau asas absolut, melainkan menengok

suatu produk kenyataan masyarakat.11

Menurut Soerjono Soekanto, efektif atau tidaknya suatu hukum

ditentukan oleh 5 faktor, yaitu :12

1). Faktor hukumnya sendiri yaitu undang-undang

2). Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk

maupun menerapkan hukum.

3). Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

4). Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut

berlaku atau diterapkan.

5). Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang

didasarkan pada karsa kemanusian di dalam pergaulan hidup.

10
Soekanto, S 2002, Pokok-Pokok Sosiologi Suatu Pengantar, PT Rajawali Press, Jakarta,
Hlm.242
11
Lili.R, Gilissen JE, Gorle FE, 2011, Sejarah Hukum – Suatu Pengantar, PT Refika Aditama,
Bandung, hlm 20
12
Soerjono Soekanto, 2008, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, hlm 8.

13
Jadi perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang

diberikan kepada subyek hukum ke dalam bentuk perangkat baik yang

bersifat preventif maupun yang bersifat represif, baik yang lisan

maupun yang tertulis.

Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa perlindungan hukum

sebagai suatu gambaran tersendiri dari fungsi hukum itu sendiri, yang

memiliki konsep bahwa hukum memberikan suatu keadilan,

ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian.

c) Teori Perlindungan Hukum Preventif

Menurut Muchsin13, perlindungan hukum preventif merupakan

perlindungan hukum dalam bentuk pencegahan terjadinya pelanggaran

dan memberikan batasan dalam melakukan suatu kewajiban dengan

tujuan agar tidak terjadi sengketa, karena subjek hukum diberi

kesempatan untuk berpendapat sebelum pemerintah memberikan

putusan definitif.

Konsep perlindungan hukum pencegahan, subyek hukum

diberi waktu untuk menyampaikan keberatan dan pendapatnya

sebelum keputusan diambil. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah

munculnya sengketa.

Perlindungan hukum preventif mampu mendorong pemerintah

untuk bersifat hati-hati dalam pengambilan suatu keputusan. Saat ini,


13
Muchsin, 2003, Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia, Magister Ilmu
Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

14
Indonesia belum ada regulasi khusus yang mengatur perlindungan

hukum preventif ini.

d) Teori Perlindungan Hukum Represif

Perlindungan hukum ini bertujuan untuk menyelesaikan

masalah yang sudah terjadi, yang berperan pada pada fase ini adalah

lembaga peradilan dan penegak hukum, yang melahirkan sanksi

berupa denda atau penjara.

Prinsip perlindungan hukum bersumber dari konsep

pengakuan dan perlindungan menjalankan hak-hak asasi manusia.

Karena setiap manusia mempunyai hak untuk mendapatkan

perlindungan dan melindungi dari segala tindakan sewenang-wenang.

Dalam perlindungan hukum ini peran masyarakat dan pemerintah

sangat penting untuk menwujudkan kenyamanan bagi subjek hukum.

Penanganan perlindungan hukum oleh Pengadilan Umum dan

Pengadilan Administrasi di Indonesia termasuk kategori perlindungan

hukum ini.

e) Teori Perlindungan Hukum Medik


Perlindungan hukum medik merupakan perikatan dalam

transaksi terapiutik yang tujuannya adalah daya upaya melakukan

pertolongan maksimal (inspaning verbitenis) untuk pengobatan dan

tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya.14

Malpraktek mempunyai ciri-ciri kesamaan ukuran dalam

kelompok profesi medik dan hukum, termasuk dalam malpraktek


14
Faizal https://www.neliti.com/id/ikatan-dokter-indonesia, diakses 21 mei 2020, hari sabtu, jam
19.30 WIB

15
profesional (professional malprakctice). Salah satu definisi mal

praktek adalah : “Malpraktek adalah perilaku yang tercela dari

seorang professional, seperti dokter, insinyur, ahli hukum, akuntan,

dokter gigi, dokter hewan”.15

Dalam hukum medik bila ada ketidak puasan yang menyangkut

dengan adanya Malpraktek Medik agar tidak diajukan kepolisi seperti

banyak kasus selama ini, maka oleh hal ini tidak sesuai dengan aturan

kode etik, alternatif yang hendak dipilh adalah diajukan ke Majelis

Etik Kedokteran (MKEK). Masyarakat rupanya sudah salah kaprah,

karena tidak ada pengaturannya, tidak ada hukumnya dan tidak ada

penjelasan kemana harus diadukan dengan segala konsekuensinya.

Dengan demikian masyarakat perlu diberikan informasi tentang

masalah persoalan di bidang hukum medik ini yang peraturan belum

dan masih harus dibuat. 16

f) Teori Hukum Kedokteran

H.J.J. Leenen ahli hukum yang terkenal di bidang hukum

kedokteran dari Negara Belanda. Beliau menerangkan tentang

pengertian hukum kedokteran sebagai suatu bidang hukum yang

melingkupi seluruh aturan hukum yang berhubungan langsung dengan

pemeliharaan/ pelayanan kesehatan dan pengetrapanya dari hukum

15
J.Guwandi,SH, Pengantar Ilmu Hukum Medik dan Bio Etik, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Hal 29, Jakarta 2009
16
Ibid, hlm.62-63

16
perdata, hukum administrasi dan hukum pidana, dalam hubungan

tersebut ditambah dengan pedoman-pedoman Internasional, hukum

kebiasaan dan yurisprudensi. Menurut Sacipto Raharjo, pengertian

yang lebih ringkas dan mudah dipahami mengenai hukum kedokteran

yaitu ilmu hukum Kedokteran meliputi peraturan-peraturan dan

keputusan hukum yang mengatur pengelolaan praktek kedokteran.17

g) Teori Hukum Kesehatan

Negara berlandaskan hukum, sehingga berdasarkan sifat dan

hakikatnya hukum sangat besar pengaruhnya untuk mengatur setiap

hubungan hukum yang timbul, baik antara individu dan individu

maupun antara individu dengan masyarakat dalam hubungan

kehidupan, termasuk kesehatan. Hukum berlaku sesuai dengan sifat

dan hakikatnya tidak bisa dipisahkan dari sistem hukum yang dipakai

dan pola nilai yang berlaku dalam masyarakat .18

E2. Kerangka Konseptual

Untuk memahami judul yang di kemukakan, maka perlu adanya

definisi dari beberapa konsep. Konsep yang di maksud antara lain :

a). Ikatan Dokter Indonesia (IDI)

IDI adalah satu-satunya organisasi Profesi bagi dokter di seluruh

wilayah Indonesia seperti yang terdapat dalam Undang-Undang Praktek

17
Amri.A, Hukum Kesehatan, Bunga Ramapai Hukum Kesehatan , Widya Medika, Hlm 9-10,
Jakarta 1997.
18
Hendrik, 2015,Veronika K, 1999,Etika dan Hukum Kesehatan, Kedokteran EGC, Hlm 27-28,
jakarta .

17
Kedokteran No.29 tahun 2004.19   Organisasi profesi merupakan

organisasi yang anggotanya adalah para praktisi yang menetapkan diri

mereka sebagai profesi dan bergabung bersama untuk melaksanakan

fungsi-fungsi sosial yang tidak dapat mereka laksanakan dalam kapasitas

mereka sebagai individu.20

b) Dokter

Berikut ini pengertian dokter, yaitu :

1. Pasal 1 Ayat (2) Undang-undang Praktik Kedokteran

Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan

dokter gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran

gigi baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah

Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang- undangan.21

2. Menurut Kamus Besar bahasa Indonesia

Dokter adalah lulusan pendidikan kedokteran yang ahli dalam hal

penyakit dan pengobatanya.22

3. Astuti

Menurut Astuti, dokter adalah orang yang memiliki kewenangan dan

izin sebagaimana mestinya untuk melakukan pelayanan kesehatan,

khususnya memeriksa dan mengobati penyakit menurut hukum dalam

pelayanan kesehatan.23

19
Faizal https://www.neliti.com/id/ikatan-dokter-indonesia, diakses 16 mei 2020, hari sabtu, jam
14.30 WIB
20
Faizal, IDI Online, Pokok-Pokok Pikiran Ikatan Dokter Indonrsia Tentang Pembbangunan
Kesehatan Indonesia, www.idionline.org diunduh 23 februari 2019, hari sabtu, jam 10.00 WIB
21
Undang-Undang No.29, Tahun 2004, Pasal 1 AyT(2), Tentang Praktek Kedokteran.
22
Kamus Besar Bahasa Indonesia. http://kbbi.web.id/dokter.html, diakses tanggal 21 Maret
2019
23
Endang Kusuma Astuti. 2009. Transaksi Terapeutik dalam Upaya Pelayanan Medis di Rumah
Sakit. Citra Aditya. Bandung, hlm. 17.

18
c) Gawat Darurat Medik

Gawat adalah suatu keadaan yang berbahaya, genting, penting, jika

ditunda fatal akibatnya dari suatu penyakit. Sedangkan, darurat adalah

kejadian yang tidak disangka-sangka sebelumnya dan memerlukan

tindakan sesegera mungkin.24

Artinya dokter punya tanggung jawab moral untuk

memberikan pertolongan penyelamatan jiwa, mencegah kecacatan

dan kematian, namun dalam melaksanakan tugasnya dokter juga

harus mendapatkan perlindungan hukum berupa hak untuk dilindungi

secara hukum dalam melaksanakan profesinya.25

F. METODE PENELITIAN

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif yaitu penelitian

tentang riset yang bersifat deskriptif dan cendrung menggunakan analisis.

Proses dan makna (perspektif objek) lebih ditonjolkan dalam penelitian

deskritif. Landasan teori dimanfaatkan sebagai pemandu agar fokus

penelitian sesuai dengan fakta dilapangan. Artinya bahwa hasil penelitian

memberikan gambaran seutuhnya tentang fakta yang dijumpai di

lapangan mengenai kasus gawat darurat medik di RSUD Mukomuko dan

22
M. Jusuf Hanafiah, 2016, “Penanganan Pasien Gawat Darurat”, Y. Joko Suyono (Editor), Etika
Kedokteran & Hukum Kesehatan, EGC, Jakarta, 207.
24
25
Triana Widati. Hudi Asrori. Pujiyono, 2017, “Perlindungan Hukum bagi Pasien
Kegawatdaruratan BPJS dengan Diagnosa di Luar Daftar Diagnosa Gawat Darurat di RSUD
Kabupaten Sukuharjo”. Jurnal Pascasarjana Hukum UNS, Volume V, Nomor 2 Juli-Desember
2017, hlm. 161.

19
bagaimana sikap dari organisasi profesi IDI memberikan perlindungan

hukum.

2. Metode Pendekatan :

Dalam penelitian ini metode pendekatan yang dipakai adalah

pendekatan sosiologis (socio legal approach) yaitu merupakan kegiatan

ilmiah yang berupaya memperoleh pemecahan suatu masalah dengan

menggunakan data sekunder sebagai data awalnya kemudian dilanjutkan

dengan data primer atau data di lapangan. Penelitian hukum sosiologis

tetap mengacu kepada premis normatis.26 Unsur pendekatan yuridisnya,

adalah aturan-aturan hukum pada umumnya dan peraturan perundang-

undangan yang terkait dengan undang-undang kesehatan dan kedokteran,

dimana sangat berkaitan dengan penilitian ini. Sedangkan unsur

sosiologisnya, adalah dokter, tenaga kesehatan, dan pasien di RSUD

Mukomuko sebagai bagian pihak yang terkait dalam penilitian ini.

3. Jenis-jenis Data

Dalam menyusun proposal ini, data yang diperoleh dalam

penelitian dapat dikelompokkan dalam dua jenis, yaitu :

a. Data primer adalah Sumber data primer diperoleh dengan wawancara

dan melakukan pengamatan. Wawancara adalah situasi peran antara

seseorang bertatap muka (face to face) dengan pribadi lainnya yakni

pewawancara mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang

untuk memperoleh jawaban-jawaban yang sesuai dengan masalah yang

26
Amiruddin,dkk,2012, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Cetakan Ke-6, PT.Raja Grafindo
Persada, Jakarta, hlm 134.

20
diteliti dari penelitian seseorang. Teknik pengumpulan data yang di

gunakan dalam penelitian ini adalah dengan wawancara mendalam.

Wawancara ini bersifat terbuka, serta tidak terstruktur ketat dalam

suasana formal dan bisa dilakukan berulang pada informan yang sama.

Yang dijadikan informan dalam penilitian ini adalah : Kepala Dinas

Kesehatan, Direktur RSUD Mukomuko, Ketua IDI, Dokter dan

beberapa orang pasien.

Kepala Dinas Kesehatan adalah pimpinan dari SKPD (satuan

kerja perangkat daerah) yang mengambil kebijakan dalam membuat

keputusan secara hukum adminitrasi apabila terjadi dugaan malpraktik

terhadap tindakan dokter.

Direktur Rumah Sakit adalah pimpinan rumah sakit yang

memegang manajemen sehingga dianggap turut bertanggung jawab

atas terjadinya dugaan maalpraktek terhadeap tindakan dokter.

Ketua IDI diminta keterangan, karena bila ada permasalahan

yang diakibatkan tindakan dokter dalam memberikan pelayanan atau di

duga malpraktik medik tentang sesuatu yang tidak diinginkan akibat

tindakan medik, maka sebelum kasus itu diproses secara hukum maka

dokter harus diperiksa oleh organisasi profesi IDI yang membidangi

Komite Hukum dan Etik. Apakah dokter tersebut melakukan

pelanggaran etik atau tidak. Jika tidak ada pelanggaran etik, maka

dokter sudah dianggap bekerja sesuai SOP dan kasusnya tidak dapat

dilanjutkan ke ranah hukum. Jika terjadi pelanggaran etik, maka kasus

dugaan malpraktek dapat diproses ke ranah hukum.

21
Dokter diminta keterangan karena merupakan pelaku dari subjek

hukum yang terlibat langsung jika terjadi dugaan maal praktek medik

atau kelalaian tidak sesuai SOP

Pasien dimintai keterangan, karena merupakan objek hukum

yang menerima akibat dari tindakan diduga maal praktek dari hasil

tindakan sesuatu yang tidak diinginkan akibat tindakan medik.

b. Data Sekunder adalah data yang diperoleh dari berbagai macam

peraturan perundang-undangan seperti : Undang-Undang No. 36 tahun

2009 Tentang kesehatan, Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang

praktek kedokteran. Pasal 52 dan Pasal 53 Undang-Undang No. 29

Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran mengatur tentang hak dan

kewajiban pasien dalam hubungannya dengan kontrak terapeutik, di

mana pasien mempunyai hak dan kewajiban tertentu. Dan dari literatur,

dokumen-dokumen serta peraturan perundang-undangan lainnya yang

relevan dengan materi penulisan. Data jenis ini diperoleh melalui

perpustakaan atau dekumentasi pada instansi terkait.

4. Lokasi Penelitian

Untuk mempersempit ruang lingkup serta mempertajam

permasalahan maka penepatan lokasi penelitian hal yang sangat penting.

Oleh karena itu dipilih lokasi penelitian di RSUD Mukomuko dan untuk

memperoleh data dan informasi yang dibutuhkan dalam penyusunan

proposal ini, maka lokasi penelitian dilakukan di Kantor Ikatan Dokter

Indonesia (IDI) Kabupaten Mukomuko.

5. Instrumen Penilitian

22
Wawancara adalah situasi peran antara pribadi bertatap muka

(face a face) ketika seseorang yakni pewawancara mengajukan

pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban-

jawaban yang relevan dengan masalah penelitian kepada seseorang.

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

wawancara mendalam. Wawancara ini bersifat terbuka, serta tidak

terstruktur ketat dalam suasana formal dan bisa dilakukan berulang pada

informan yang sama yang akan dijadikan informan dalam penilitian ini

adalah : Direktur Rumah Sakit, Kepala Dinas Kesehatan, Ketua Ikatan

Dokter Indonesia, Dokter dan beberapa orang pasien.

6. Teknik Pengumpulan Data

Penulis melakuakan penelitian langsung di RSUD Mukomuko,

organisasi ikatan dokter Indonesia (IDI) Kabupaten Mukomuko dan

Dinas Kesehatan Kabupaten Mukomuko.

Dengan menggunakan teknik :

1. Wawancara langsung, yakni melakukan proses tanya jawab ( dialog )

dengan Dokter RSUD Mukomuko, Organisasi Ikatan Dokter

Indonesia (IDI) dan Kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Mukomuko,

Dokter dan pasien.

23
2. Studi Dokumentasi, yaitu penulis mengambil data dengan menelaah

buku-buku, tulisan-tulisan, dan peraturan perundang-undangan di

bidang hukum kesehatan, praktek kedokteran, dan bahan-bahan

kepustakaan dalam penelitian ini mencakup buku, artikel-artikel

ilmiah, dan situs-situs internet.

7. Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Dalam penulisan ini, data yang diperoleh kemudian di

kumpulkan baik secara primer maupun sekunder, dan dianalisis secara

mendalam. Selanjutnya diajukan secara kualitatif yaitu dengan

menjelaskan, landasan teori di manfaatkan sebagai pemandu agar fokus

penelitian dengan fakta dilapangan. Dimana dalam proses analisis data

melalui 4 komponen utama yaitu :

a. Pengumpulan Data

Proses kegiatan ini digunakan untuk memperoleh informasi

yang berupa kalimat-kalimat yang dikumpulkan melalui kegiatan

wawancara, observasi, dan dokumen, Data yang diperoleh masih

berupa data yang mentah dan tidak teratur, sehingga diperlukan

analisis agar data menjadi teratur.

b. Reduksi Data

Merupakan suatu proses seleksi, memfokuskan

penyederhanaan abstraksi dari field note (data mentah). Dalam proses

reduksi ini data yang diperoleh diseleksi, dipilih data apa yang

relevan dan bermakna yang pokok atau yang inti, memfokuskan pada

data yang mengarah untuk pemecahan masalah, penemuan,

24
pemaknaan atau menjawab pertanyaan penelitian, kemudian

menyerhanakanya, menyusun secara sistemati dengan menonjolkan

hal-hal yang pokok dan penting dan membuat sari ringkasan yang

memberikan gambaran mendalam tentang hasil temuan serta

maknanya.

c. Sajian Data.

Merupakan rakitan dari kumpulan informasi yang

memungkinkan kesimpulan riset dapat dilakukan. Sajian data dapat

berupa matriks, tabel,gambar atau skema, semuanya dirakit secara

teratur guna mempermudah pemahaman informasi.

d. Kesimpulan

Kesimpulan akhir akan diperoleh bukan hanya sampai pada

akhir pengumpulan data, melainkan dibutuhkan suatu verifikasi yang

berupa pengulangan dengan melihat kembali data mentah agar

kesimpulan yang diambil lebih kuat dan bisa dipertanggung

jawabkan.

Keempat komponen utama tersebut merupakan suatu rangkaian

dalam proses analisis data yang satu dengan yang lain sehingga tidak

dapat dipisahkan, dimana komponen yang satu merupakan langkah

menuju komponen yang lainnya, sehingga dapat dikatakan bahwa dalam

penilitian kualitatif tidak bisa mengandung salah satu komponen.

25
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian tentang Perlindungan Hukum

Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan yang semakin pesat

saat ini menimbulkan pengaruh buruk bagi pandangan dan cara berpikir

masyarakat khususnya di bidang pelayanan medis. Hal itu terbukti dengan

maraknya tuntutan hukum atas kasus dugaan malpraktek oleh pasien ditujukan

kepada dokter. Kasus-kasus dugaan malpraktek seringkali diberitakan secara

berlebihan oleh media massa. Para dokter dianggap tidak bertanggungjawab

dan tidak teliti dalam menjalankan profesinya. Padahal belum tentu

pemberitaan tersebut menyampaikan hal yang seutuhnya benar, justru hanya

26
menyesatkan masyarakat yang sebenarnya membutuhkan pertolongan medis

yang lebih baik.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ada dua

pengertian kata perlindungan, dimana perlindungan berasal dari kata lindung,

yaitu tempat berlindung dan hal (perbuatan) memperlindungi.

Memperlindungi adalah menjadikan atau menyebabkan berlindung.27

Perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman kepada hak asasi

manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan tersebut diberikan

kepada masyarakat agar mereka dapat menikmati semua hak-hak yang

diberikan oleh hukum atau dengan kata lain perlindungan hukum adalah

berbagai upaya hukum yang harus diberikan oleh aparat penegak hukum untuk

memberikan rasa aman, baik secara pikiran maupun fisik dari gangguan dan

berbagai ancaman dari pihak manapun.28

Menurut pakar ahli hokum Sudikno Mertokusumo mendefinisikan

hukum. Hukum merupakan kumpulan peraturan dimana isi dari peraturan itu

bersifat umum, normatif dan mengatur. Hukum dikatakan bersifat umum

karena hukum berlaku bagi setiap orang. Bersifat normatif artinya dijadikan

dasar untuk menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, ataupun

apa yang harus dilakukan. Sedangkan maksud dari sifat mengatur adalah

mengatur tentang cara melaksanakan peraturan tersebut.29

27
(Kamus Besar Bahasa Indonesia, http://kbbi.web.id/perlindungan.html, di akses pada tanggal 13
Mei 2019)

28
(Satjipto Rahardjo. Op. Cit., hlm. 74)

29
(Sudikno Mertokusomo, OP. Cit., hlm. 38.)

27
Maka perlindungan hukum adalah merupakan perbuatan untuk

menjaga kepentingan subjek hukum dengan aturan dan kaidah yang telah

ditetapkan.

1. Konsep Perlindungan Hukum secara Umum

a. Dasar Perlindungan Hukum

Peraturan perundang-undangan yang mmengatur tentang

perlindungan hukum terhadap semua warga negara terdapat dalam:

Pasal 27 ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 yang berbunyi:

“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum

dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu

dengan tidak ada kecualinya”.

Pasal 28 D ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945:

“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan

kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.

Pasal 28 ayat (5) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945:

“Untuk menegakkan dan melindungi Hak Asasi Manusia sesuai

dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan Hak

Asasi Manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-

undangan”.

28
b. Bentuk Perlindungan Hukum

Philipus M. Hadjon30 dan Muchsin31membagi bentuk perlindungan

hukum menjadi dua, yaitu:

1) Perlindungan Hukum Preventif

Philipus M. Hadjon berpendapat perlindungan hukum ini

bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, karena subjek hukum

diberi kesempatan untuk berpendapat sebelum pemerintah memberikan

putusan definitive. Sedangkan menurut Muchsin perlindungan hukum

preventif ini merupakan perlindungan hukum yang bertujuan untuk

mencegah terjadinya pelanggaran dan memberikan batasan dalam

melakukan suatu kewajiban.

Rancangan perlindungan hukum preventif, subyek hukum

diberi kesempatan untuk menyampaikan keberatan dan pendapatnya

sebelum keputusan difenitif diambil. Dengan tujuan agar permasalahan

bias diselesaikan tanpa ada persengketaan.

Dasar perlindungan hukum preventif mampu mendorong

pemerintah untuk bersifat hati-hati dalam pengambilan suatu keputusan.

Saat ini, Indonesia belum ada regulasi khusus yang mengatur

perlindungan hukum preventif ini.

2) Perlindungan Hukum Represif

Pada intinya perlindungan hukum represif bertujuan untuk

menyelesaikan masalah yang sudah terjadi dengan memberikan


30
(Philipus M. Hadjon, Op. Cit., Hlm. 30)
31
(Muchsin, Op. Cit., hlm. 20)

29
keputusan, yang berperan pada pada fase ini adalah lembaga peradilan

dan penegak hukum, yang melahirkan sanksi berupa denda atau

penjara.

Maka oleh karena itu perlindungan hukum bersumber dari

konsep pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia.

Konsep ini diarahkan kepada pembatasan dan peletakan kewajiban

masyarakat dan pemerintah.

c. Prinsip Perlindungan Hukum

Pancasila menjadi ideologi dan falsafah bangsa Indonesia dan

sebagai sumber lahirnya prinsip perlindungan hukum bagi warga negara

Indonesia. Inilah yang menjadi prinsip dari perlindungan hukum di

Indonesia yang mengutamakan pengakuan serta penghormatan terhadap

harkat dan martabat manusia.

Prinsip dasar perlindungan hukum adalah bersumber pada konsep

pengakuan terhadap HAM. Hak asasi ini harus dilindungi dan kewajiban

negaralah yang melindungi HAM. Perlindungan hukum merupakan hak

setiap warga negara. Artinya negara mempunyai kewajiban untuk

memberikan perlindungan hukum kepada warganya, termasuk perlindungan

hukum terhadap profesi. Tujuan negara hukum adalah adanya pengakuan

dan perlindungan terhadap HAM, pengakuan dan perlindungan terhadap

30
HAM mendapat tempat utama dan dapat dikaitkan dengan tujuan dari

negara hukum.

Untuk memenuhi rasa keadilan hukum positif, hukum harus

dibangun sesuai cita-cita hukum (rechtidee) di dalam negara hukum

(Rechstaats). Hukum berfungsi melindungi kepentingan manusia dengan

memperhatikan empat hal, yaitu:32

1) Kepastian hukum (Rechtssicherkeit)

2) Kemanfaat hukum (Zeweckmassigkeit)

3) Keadilan hukum (Gerechtigkeit)

4) Jaminan hukum (Doelmatigkeit)

Upaya untuk mewujudkan ide-ide dan konsep-konsep hukum

yang diharapakan rakyat Indonesia menjadi kenyataan dengan penagakan

hukum. Penegakan hukum merupakan suatu proses yang melibatkan banyak

hal.33

2. Konsep Perlindungan Hukum profesi Dokter

a. Dasar Hukum Perlindungan Hukum Profesi Dokter

Dasar hukum perlindungan profesi dokter adalah Pasal 50 UU

Praktik Kedokteran, pasal 24 Ayat (1), jo Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 29

UU Kesehatan, serta Pasal 24 Ayat (1) PP tentang Tenaga Kesehatan.

Pasal 50 UU Praktik Kedokteran.

32
Ishaq, 2009, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 43.
33
Dellyana, Shant, 1998, KonsepPenegakan Hukum, Liberty, Yogjakarta, hlm.32

31
Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran

mempunyai hak memperoleh perlindungan hukum sepanjang

melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur

operasional.

b. Syarat mendapatkan Perlindungan Hukum

Dalam melaksanakan profesi, dokter akan mendapatkan

perlindungan hukum, jika:

1) Memenuhi syarat administratif melakukan praktik kedokteran

Adapun syarat administratif yang dimaksud disini adalah

memiliki ijazah kedokteran, bukti lulus ujian kompetensi dengan

memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) serta memiliki Surat Izin

Praktik yang dikeluarkan oleh dinas kesehatan kota atau kabupaten.

Pasal 8 Ayat (1) PMK 2052 Tahun 2011 tentang Izin Praktik dan

Pelaksanaan Praktik Kedokteran (selanjutnya disingkat dengan PMK

Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran), berbunyi: Untuk

memperoleh SIP, Dokter dan Dokter Gigi harus mengajukan

permohonan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota tempat

praktik kedokteran dilaksanakan dengan melampirkan:

a) Fotokopi STR yang diterbitkan dan dilegalisasi asli oleh KKI;

b) Surat pernyataan mempunyai tempat praktik, atau surat keterangan

dari fasilitas pelayanan kesehatan sebagai tempat praktiknya;

c) Surat persetujuan dari atasan langsung bagi Dokter dan Dokter Gigi

yang bekerja pada instansi/fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah

32
atau pada instansi/fasilitas pelayanan kesehatan lain secara purna

waktu;

d) Surat rekomendasi dari organisasi profesi, sesuai tempat praktik;

dan

e) Pas foto berwarna ukuran 4x6 sebanyak 3 (tiga) lembar dan 3x4

sebanyak 2 (dua) lembar.

Konsil Kedokteran Indonesia juga mengatur tentang hal ini,

yaitu :

Pasal 10 Peraturan KKI Nomor 6 Tahun 2011 tentang Registrasi Dokter

dan Dokter Gigi, berbunyi:

Surat Tanda Registrasi Dokter/Dokter Gigi, yang selanjutnya

disingkat STR Dokter/Dokter Gigi adalah bukti tertulis yang diberikan

oleh Konsil Kedokteran Indonesia kepada Dokter/Dokter Gigi yang

telah diregistrasi.

Pasal 13 Peraturan KKI berbunyi:

Surat Izin Praktik, yang selanjutnya disingkat SIP adalah

bukti tertulis yang diberikan pemerintah kepada Dokter/Dokter Gigi

yang akan menjalankan Praktik Kedokteran setelah memenuhi

persyaratan.

2) Informed Consent

Informed consent merupakan bentuk bukti persetujuan setelah

mendapatkan penjelasan. Persetujuan diberikan oleh pasien atau

keluarga terdekat. Pasien yang dimaksud disini adalah pasien yang

33
kompeten, artinya pasien dewasa atau telah/pernah menikah, tidak

terganggu kesadaran fisiknya, mampu berkomunikasi secara wajar,

tidak mengalami kemunduran perkembangan (retardasi) mental dan

tidak mengalami penyakit mental sehingga mampu membuat keputusan

secara bebas. Keluarga terdekat adalah suami atau istri, ayah atau ibu

kandung, anak kandung, saudara kandung atau pengampunya.

Persetujuan diberikan setelah mendapatkan penjelasan secara

terperinci dan lengkap mengenai tindakan medik yang akan dilakukan

terhadap pasien.34 Ada saatnya informed consent tidak diperlukan atau

ditunda, yaitu ketika kasus gawat darurat untuk penyelamatan nyawa

dan mencegah kecacatan serta pada kondisi ada program pemerintah

demi kepentingan masyarakat banyak. Keputusan medik ditentukan

sendiri oleh dokter dan ditulis dalam rekam medik dan setelah tindakan

dokter wajib memberikan penjelasan sesegera mungkin kepada pasien

dan atau keluarganya .35

3) Rekam Medik

Rekam medik adalah berkas yang berisi catatan dokter dan

tenaga kesehatan lainnya tentang riwayat pemeriksaan pasien yang

wajib disimpan dan dijaga kerahasiaannya. Rekam medik ini milik

fasilitas kesehatan seperti: puskesmas, klinik, praktik dokter, dan rumah

sakit. Isinya milik pasien.

Pasal 5 Ayat (1) PMK Nomor 269 merupakan dasar hukum

bagi dokter untuk membuat rekam medik dalam praktik kedokteran.

34
Faizal, 2018, Informed Consent, dalam . https://dptdokhukes.wordpress.com/2018/02/19/informed-
consent/#more-15,
35
Ibid.

34
Setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran

wajib membuat rekam medis.

Beberapa kondisi dimana rekam medik hanya dapat dibuka

seperti: untuk keperluan kesehatan pasien, penegakan hukum,

pendidikan dan penelitian, audit medis, persetujuan pasien dan

permintaan institusi/lembaga penegak hukum. Meski demikian tetap

dengan aturan yang berlaku.

4) Bekerja sesuai Standar Prosedur Operasional (SPO)

Beberapa hak dokter yang harus dipenuhi dalam menjalankan

profesinya, salah satunya adalah hak untuk mendapatkan perlindungan

hukum. Hak perlindungan hukum ini hanya akan didapatkan jika dokter

dalam melaksanakan tugas profesinya berdasarkan SP dan SPO.36 SP

dibuat oleh kolegium yang disepakati bersama. Semantara, SPO dibuat

oleh fasilitas layanan kesehatan seperti rumah sakit, puskesmas, klinik

berupa prosedur tetap yang bertujuan untuk menjaga mutu layanan.

Standar pelayanan wajib dimiliki oleh sebuah Rumah Sakit,

dasar hukum pembuatan standar pelayanan rumah sakit adalah Pasal 29

Ayat (1) huruf b UU Rumah Sakit menyatakan: Setiap rumah sakit

mempunyai kewajiban memberi pelayanan kesehatan yang aman,

bermutu, anti diskriminasi dan efektif serta mengutamakan kepentingan

pasien sesuai dengan standar pelayanan Rumah Sakit.

36
Pasal 50 huruf a UU Praktik Kedokteran

35
B. Kajian tentang Profesi Kedokteran

1. Hak dan Kewajiban Dokter

Dokter dan pasien di Rumah Sakit masing-masing memiliki hak

dan kewajiban. Hak dokter menjadi kewajiban bagi pasien, sedangkan

kewajiban dokter menjadi hak bagi pasien. Menurut UU Praktik

Kedokteran dalam melaksanakan tugas profesinya dokter memiliki hak

dan kewajiban sebagai berikut:37

Hak dokter, terdiri dari hak:

a. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai

dengan standar profesi dan standar prosedur operasional;

b. Memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar

prosedur operasional;

c. Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau

keluarganya; dan

d. Menerima imbalan jasa.

Kewajiban dokter, terdiri dari:

a. Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar

prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien;

37
Pasal 50 Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran

36
b. Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai

keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu

melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan;

c. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan

juga setelah pasien itu meninggal dunia;

d. Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila

ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan

e. Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu

kedokteran atau kedokteran gigi.

2 Kompetensi Dokter

Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) Nomor 11 Tahun 2012

mengatur tentang Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) dan

dalam menjamin dan menjaga mutu pelayanan dokter wajib mengikuti

kegiatan Pendidikan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (P2KB)

dalam naungan Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

Ada empat tingkat kemampuan dokter (kompetensi) dalam

pengelolaan penyakit dalam SKDI, yaitu:38

a. Tingkat Kemampuan 1

Tingkat ini diharapkan dokter mampu mengenali suatu

penyakit dan menjelaskannya. Tapi tidak memberikan pengobatan.


38
Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, 2017, Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Primer, Jakarta, hlm. 1

37
b. Tingkat Kemampuan 2

Tingkat ini diharapkan dokter mampu mendiagnosis penyakit

tertentu dan menentukan rujukan yang tepat, juga tidak memberikan

pengobatan.

c. Tingkat kemampuan 3

Tingkatan ini, dikelompakkan lagi menjadi tingkat

kemampuan 3A dan tingkat kemampuan 3B. Pada tingkat ini dokter

mampu untuk mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan awal (tidak

tuntas) dan merujuk..

Tingkat kemampuan 3a dokter mampu menegakkan

mendiagnosis klinis, memberikan terapi pendahuluan dan menentukan

rujukan yang paling tepat (untuk kasus non emergensi). Sedangkan

tingkat kemampuan 3B dokter mampu menegakkan diagnosis klinis,

mampu memberikan pengobatan awal pada kasus gawat darurat dan

menentukan rujukan yang tepat.

d. Tingkat Kemampuan 4

Tingkat kemampuan 4 juga dikelompokkan menjadi dua,

yaitu:

Tingkat kemampuan 4A dan tingkat kemampuan 4B. Pada tingkat ini,

dokter mampu menegakkan diagnosis dan mampu melakukan

penatalaksanaan secara mandiri dan tuntas.

38
C. Kajian tentang Organisasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI)

Organisasi adalah suatu kelompok yang mempunyai tujuan yang

sama. Baik dalam penggunaan sehari-hari maupun alamiah. Istilah ini

digunakan dalam banyak cara. Profesi merupakan pekerjaan yang

membutuhkan pelatihan dan pengetahuan terhadap suatu pengetahuan khusus.

Suatu profesi biasanya memiliki asosiasi profesi, kode etik, serta proses

sertifikasi dan lisensi untuk bidang profesi tersebut. Organisasi profesi

merupakan organisasi yang anggotanya adalah para praktisi yang menetapkan

diri mereka sebagai profesi dan bergabung bersama untuk melaksanakan

fungsi-fungsi sosial yang tidak dapat mereka laksanakan dalam kapasitas

mereka sebagai individu.

Tujuan umum dari sebuah profesi adalah memenuhi tanggung

jawabnya dengan standar profesionalisme tinggi sesuai dengan bidangnya,

mencapai tingkat kinerja yang tinggi, dengan orientasi kepada kepentingan

publik.

Ada 4 kebutuhan dasar yang harus dipenuhi dalam sebuah profesi,

yaitu:

1. Kredibilitas

2. Profesionalisme

3. Kualitas jasa

4. Kepercayaan

Ciri-ciri organisasi profesi adalah :

1. Hanya ada satu organisasi untuk setiap profesi

2. Ikatan utama para anggota adalah kebanggan dan kehormatan

39
3. Tujuan utama adalah menjaga martabat dan kehormatan profesi.

4. Kedudukan dan hubungan antar anggota bersifat persaudaraan.

5. Memiliki sifat kepemimpinan kolektif.

6. Mekanisme pengambilan keputusan atas dasar kesepakatan.

Ikatan Dokter Indonesia (IDI)

Pada Anggaran Dasar Ikatan Dokter Indonesia (AD/ART IDI) Pasal

8 dikatakan bahwa Ikatan Dokter Indonesia merupakan organisasi profesi

kedokteran nasional. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) merupakan perhimpunan

dokter-dokter di Indonesia, yang tujuannya diantaranya adalah untuk

mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran, serta

meningkatkan derajat kesehatan rakyat Indonesia menuju masyarakat sehat

dan sejahtera. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) merupakan satu satunya

organisasi profesi yang di akui oleh UU nomer 29 tahun 2004 tentang praktik

kedokteran. Dalam situs www.idionline.org pada makalah yang berjudul

Pokok-Pokok Pikiran Ikatan Dokter Indonesia Tentang Pembangunan

Kesehatan Indonesia Yang Berkeadilan Disampaikan Kepada Yang Mulia

Wakil Presiden Republik Indonesia, IDI mengemban beberapa tugas Negara

melalui Undang Undang Praktik Kedokteran yang telah disebutkan yaitu:

1. Menerbitkan rekomendasi ijin praktek (Pasal 38).

2. Melalui kolegium menyelenggarakan Uji Kompetensi, menerbitkan

sertifikat kompetensi, membuat standar pendidikan, dan standar

kompetensi (Pasal 1 ayat 4, Pasal 26).

3. Menyelenggarakan dan mengakreditasi pendidikan berkelanjutan

(CPD/P2KB) (Pasal 28).

40
4. Melakukan kendali mutu dan kendali beaya (Pasal 49).

5. Melakukan audit medik praktik kedokteran (Pasal 74).

6. Melakukan pembinaan dan pengawasan praktik kedokteran (Pasal 54, 71).

IDI sebagai organisasi profesi dokter berperan dalam pemilihan

saksi ahli dan IDI akan membantu anggotanya yang dianggap bersalah oleh

penyidik apabila menurut IDI dokter tersebut sudah melaksanakan prosedur

sesuai dengan tugas profesinya.

D. Kajian tentang Tindakan Gawat Darurat Medik

1. Bentuk Tindakan Gawat Darurat Medik

Karakteristik pelayanan gawat darurat medik berbeda

dibandingkan dengan pelayanan lainnya. Mulai dari tata ruangan,

pengaturan staf medis dan paramedis serta pengaturan sistem layanannya.39

Kasus gawat darurat medik dapat terjadi kapan saja, dimana saja

dan menimpa siapa saja. Orang lain, teman, keluarga, ataupun kita sendiri.

Tidak bisa diprediksi, biasanya berlangsung cepat dan tiba-tiba, sehingga

kita tidak memiliki persiapan. Konflik antar dokter/para medis dengan

pasien/keluarga pasien sering terjadi di pelayanan ini. Berbagai usaha

dilakukan untuk meminimalisir terjadinya konflik. Konflik yang tidak

39
Herkutanto, Op.Cit., hlm. 37

41
dikelola dengan baik bisa berkembang menjadi lebih besar, inilah yang

disebut sengketa.

Norma hukum dan etik sangat dibutuhkan dalam upaya

mencegah dan mengatasi konflik, masing-masing memiliki tolak ukur

yang berbeda. Tolak hukum yang akan dipergunakan sebagai tolak ukur.

Demikian juga dengan etik, maka tolak ukurnya harus etik pula.40

2. Hubungan Dokter dan Pasien dalam Tindakan Gawat Darurat

Medik

Pengertian hubungan dokter dan pasien adalah hubungan

kepercayaan dan itikad baik keduannya yang tertuang didalam informed

consent.41 Adapun hubungan dokter dan pasien yang baik, jika antara

dokter dan pasien memahami hak dan kewajiban serta peraturan yang

berlaku. Berikut beberapa bentuk hubungan dokter dan pasien, yaitu:42

a) Activity-Pasivity, ini hubungan klasik dimana dokter mampu

melaksanakan ilmunya tanpa campur tangan pasien. Hubungan ini

terjadi pada saat pasien tidak sadar atau gawat darurat.

40
Ibid
41
Setyo Trisnadi, Op.Cit., hlm. 153
42
Iwan Aflanie, Nila Nirmalasari, Muhamad Hendy Arizal, 2017, Ilmu Kedokteran Forensik &
Medikolegal: Aspek Etik Medikolegal Pelayanan Medis dan Malpraktik Medis, Rajawali Pers,
Jakarta, hlm. 20-21

42
b) Guidance-Cooperation, hubungan yang timbal balik dan saling

kerjasama. Hubungan ini pada saat pasien tidak terlalu berat atau

penyakit baru.

c) Mutual Participation, dalam hubungan ini pasien berperan aktif dalam

pengobatannya. Hubungan ini pada saat pasien sakit kronik dalam

rangka memelihara kesehatannya.

Pada kondisi kasus gawat darurat hubungan dokter dan pasien

tidak bisa berdasarkan asas voluntarisme, artinya pasien tidak dapat memilih

dokter, tidak bisa berdasarkan kesepakatan. Untuk itu perlu ada asas yang

mengatur pelayanan gawat darurat. Asasnya adalah menolong sampai

tuntas, artinya pertolongan yang diberikan dalam keadaan darurat harus

tuntas, tanpa ada menunda untuk melakukan tindakan yang diperlukan

deengan tujuan menyelamatkan pasien, kecuali :

a) Ada penolong lain yang melanjutkan pertolongannya atau

b) Korban sudah stabil, tidak butuh pertolongan lagi.

Penolong dianggap menghalangi korban mendapatkan pertolongan

dari orang lain, jika sampai pertolongan yang diberikan tidak tuntas. Inilah

yang menjadi dasar penolong pada kasus gawat darurat bisa digugat, jika

pertolongan yang diberikan tidak dilakukan dengan tuntas.43

3. Penanganan Gawat Darurat Medik

Pelayanan kegawat daruratan yang ditangani di IGD melibatkan

multidisiplin ilmu. Pengertian kasus gawat darurat adalah kasus dengan

ancaman kematian dan kecacatan. Layanan disini bersifat integratif, yaitu


43
Herkunto, Op. Cit., hlm. 38

43
layanan yang melibatkan sejumlah tenaga kesehatan secara bersama-sama

untuk meberikan pelayanan kegawat daruratan kepada pasien. Jika angka

kematian pasien IGD tinggi, mutu rumah sakit kurang baik, kepercayaan

masyarakat turun sehingga menurunkan kunjungan yang berakibat turunnya

pendapatan rumah sakit.

Penanggulangan kasus gawat darurat medik memiliki dasar

hukum yaitu Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 47 Tahun 2018 tentang

Pelayanan Kegawatdaruratan dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 19

Tahun 2016 tentang Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu

(SPGDT). Regulasi ini menjadi dasar pembuatan SPO-SPO di UGD,

sehingga penanganan pasien di UGD akan lebih terintegritas dengan fokus

utama untuk mencegah kecacatan dan ancaman kematian bisa lebih optimal.

Selain itu regulasi ini juga dapat meningkatnya mutu layanan di UGD.

Standar pelayanan UGD harus dimiliki oleh setiap Rumah Sakit,

standar pelayanan berbeda-beda sesuai tipe rumah sakit itu sendiri. Rumah

sakit dengan tipe A berbeda standarnya dengan rumah sakit tipe B,

demikian pula dengan rumah sakit tipe C dan D. Namun prinsip penanganan

pasien UGD tetap sama yaitu fokus untuk mencegah kecacatan dan usaha

penyelamatan nyawa. Untuk itu, perlu standar yang meregulasi setiap

tindakan di UGD. Cepat, tepat sesuai standar harus menjadi moto staf di

layanan ini. Tujuan Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu

(SPGDT) adalah:44

a. Meningkatkan akses dan mutu pelayanan kegawatdaruratan; dan

44
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 19 Tahun 2016 tentang Sistem Penanggulangan Gawat
Darurat Terpadu (SPGDT)

44
b. Mempercepat waktu penanganan (respon time) Korban/Pasien Gawat

Darurat dan menurunkan angka kematian serta kecacatan.

Setiap Rumah Sakit harus memiliki layanan kegawat daruratan

dengan beberapa kewajiban UGD harus mampu untuk.45

a. Melakukan pemeriksaan awal kasus-kasus gawat darurat

b. Melakukan resusitasi dan stabilitasi (life saving)

c. Pelayanan di Instalasi Gawat Darurat Puskesmas harus dapat emberikan

pelayanan 24 jam dalam sehari dan tujuh hari dalam seminggu.

d. Berbagai nama untuk instalasi/unit pelayanan gawat darurat di Rumah

Sakit diseragamkan menjadi Instalasi Gawat Darurat (IGD).

e. Rumah Sakit tidak boleh meminta uang muka pada saat menangani kasus

gawat darurat.

f. Pasien gawat darurat harus ditangani paling lama 5 ( lima ) menit

setelah sampai di IGD.

Dalam pasal 3 Keputusan Menteri Kesehatan No. 47 Tahun 2018,

menjelaskan bahwa kriteria pelayanan kegawatdaruratan sebagai berikut :46

(1) Pelayanan Kegawatdaruratan harus memenuhi kriteria kegawat

daruratan.

(2) Kriteria kegawatdaruratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi

a. mengancam nyawa, membahayakan diri dan orang lain/lingkungan;

45
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 856 Tahun 2009 tentang Standar Instalasi Gawat Darurat.
46
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 856 Tahun 2009, Pasal 3, tentang Standar Instalasi Gawat
Darurat

45
b. adanya gangguan pada jalan nafas, pernafasan, dan sirkulasi;

c. adanya penurunan kesadaran;

d. adanya gangguan hemodinamik; dan/atau

e. memerlukan tindakan segera.

(3) Menteri dapat menetapkan kriteria gawat darurat selain sebagaimana

dimaksud pada ayat (2).

Dalam Pasal 4, Keputusan Menteri Kesehatan No. 47 Tahun 2018,

menjelaskan bahwa tentang pelayanan sebagai berikut : 47

(1) Pelayanan kegawat daruratan meliputi penanganan kegawat daruratan:

a. prafasilitas pelayanan kesehatan;

b. intrafasilitas pelayanan kesehatan; dan

c. antarfasilitas pelayanan kesehatan.

(2) Pelayanan Kegawatdaruratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilakukan melalui sistem penanggulangan gawat darurat terpadu

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 5,

(1) Penanganan kegawatdaruratan prafasilitas pelayanan kesehatan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a meliputi :

a. tindakan pertolongan; dan/atau

b. evakuasi medik, terhadap Pasien.

(2) Tindakan pertolongan terhadap Pasien sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) huruf a dilakukan di tempat kejadian atau pada saat evakuasi medik.

47
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 856 Tahun 2009, Pasal 4, Nomor 47, tentang Standar
Instalasi Gawat Darurat

46
(3) Evakuasi medik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan

upaya memindahkan Pasien dari lokasi kejadian ke Fasilitas Pelayanan

Kesehatan sesuai kebutuhan medis Pasien dengan menggunakan

ambulans transportasi atau ambulans Gawat Darurat disertai dengan

upaya menjaga resusitasi dan stabilisasi.

(4) Dalam hal tidak terdapat ambulans transportasi atau ambulans Gawat

Darurat, evakuasi medik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat

menggunakan alat transportasi lain di sekitar lokasi kejadian dengan

tetap melakukan upaya menjaga resusitasi dan stabilisasi.

Pasal 6,

(1) Setiap Fasilitas Pelayanan Kesehatan harus melakukan penanganan

Kegawatdaruratan intrafasilitas pelayanan kesehatan dan antarfasilitas

pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)

huruf b dan huruf c.

(2) Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

meliputi:

a. Rumah Sakit;

b. Puskesmas;

c. tempat praktik mandiri Dokter;

d. tempat praktik mandiri Dokter Gigi;

e. tempat praktik mandiri tenaga kesehatan lain; dan

f. Klinik.

Pasal 7,

(1) Penanganan kegawatdaruratan intrafasilitas pelayanan kesehatan

47
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b merupakan

pelayanan Gawat Darurat yang diberikan kepada Pasien di dalam

Fasilitas Pelayanan Kesehatan sesuai standar.

(2) Penanganan kegawatdaruratan intrafasilitas pelayanan kesehatan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikategorikan berdasarkan atas

kemampuan pelayanan:

a. sumber daya manusia;

b. sarana;

c. prasarana;

d. obat;

e. bahan medis habis pakai; dan

f. alat kesehatan.

Tingginya angka kematian di IGD, akan memunculkan aspek

hukum bagi Rumah Sakit, baik Direktur Rumah Sakit, medis, paramedis dan

tenaga kesehatan lainnya. Kematian pasien di UGD ada yang bisa dicegah

ada yang tidak bisa dicegah. Jika terjadi kematian yang seharusnya bisa

dicegah, berarti ada kesalahan dalam penanganan. Kesalahan dalam

penangan pasien UGD umumnya disebabkan oleh:48

a. Intentional professional misconduct, ini terjadi jika petugas dengan

sengaja tidak melakukan tindakan sesuai standar.

48
Rudy Limantara. Herjunianto. Arma Roosalina, 2015, “Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Tingginya Angka Kematian di IGD Rumah Sakit”, Jurnal Kedokteran Brawijaya Program Studi
Magister Manajemen Rumah Sakit Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, Volume 28,
Nomor 2, hlm. 201

48
b. Negligence, yaitu tidak sengajaan/kelalaian, dimana petugas lalai

melakukan tindakan yang seharusnya dilakukan sehingga menimbulkan

masalah kesehatan bagi pasien.

c. Lack of skill, yaitu petugas melakukan sesuatu diluar kompetensinya.

Ketiga hal ini bisa berakibat hukum bagi Rumah Sakit.

Penanganan pasien UGD yang tidak optimal bisa menimbulkan

kecacatan bahkan kematian, untuk itu perlu sistem penanganan pasien UGD

secara terpadu dan terintegrasi dengan melibatkan berbagai disiplin ilmu.

Sekarang sudah ada PMK SPGDT. PMK ini menjadi dasar hukum

bagaimana sistem penanggulangan pasien gawat darurat di UGD.49

4. Peraturan Perundang-undangan yang Berkaitan dengan Pelayana Gawat

Darurat

Beberapa peraturan-perundangan yang berkaitan dengan

pelayanan gawat darurat:

Pasal 1 Ayat (1) PMK SPGDT, mendefinisikan gawat darurat itu

adalah keadaan klinis pasien yang mebutuhkan tindakan medis segera untuk

penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan.

a. Pasal 32 Ayat (1) UU Kesehatan

Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah

maupun swasta, wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi

penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu.

b. Pasal 29 Ayat (1) huruf c UU Rumah Sakit

49
Pasal 2 PMK Nomor 19 Tahun 2016 tentang Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu
(SPGDT)

49
Setiap Rumah Sakit mempunyai kewajiban memberikan pelayanan gawat

darurat kepada pasien sesuai dengan kemampuan pelayanannya.

c. Pasal 51 huruf d UU Praktik Kedokteran Dokter atau dokter gigi dalam

melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban melakukan

pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada

orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya.

d. Pasal 22 Ayat (2) PMK Nomor 2052 Tahun 2011 tentang Izin Praktik

dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran menyatakan Dalam rangka

memberikan pertolongan pada keadaan gawat darurat guna penyelamatan

nyawa, dokter atau dokter gigi dapat melakukan tindakan kedokteran

atau kedokteran gigi di luar kewenangan klinisnya sesuai dengan

kebutuhan medis

e. Standar Instalasi Gawat Darurat yang digunakan sebagai pedoman bagi

rumah sakit, khususnya dokter dan tenaga kesehatan lainnya dalam

memberikan layanan kegawatdaruratan adalah Peraturan Menteri

Kesehatan Nomor 47 Tahun 2018 tentang Pelayanan Kegawatdaruratan.

f. Pasal 17 KODEK 2012

Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu wujud

tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan

mampu memberikannya.

E. Prosedur Penyelesaian Sengketa Medik dalam Upaya IDI Memberikan

Perlindungan Hukum terhadap Dokter.

Pasal 29 UU Kesehatan merupakan dasar hukum dalam

penyelesaian sengketa medik, Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan

50
kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus

diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi. Mediasi adalah salah satu cara

yang dilakukan oleh IDI jika ada sengketa antara dokter dan pasien/keluarga

pasien dengan tujuan untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi.

Mediasi dilakukan dengan melibatkan orang lain yang netral, tidak

memihak dan disepakati oleh dokter dan pasien/keluarga pasien. UU Praktik

Kedokteran mengamanatkan terbentuknya Majelis Kehormatan Disiplin

Kedokteran Indonesia (MKDKI). Lembaga ini merupakan lembaga otonom

dari KKI yang bersifat independen diawasi oleh IDI. Fungsi MKDKI adalah

menentukan adakah pelanggaran etik, disiplin ilmu kedokteran atau tidak dan

menetapkan sanksi jika dalam hal ini dokter terbukti bersalah. 50

Tata cara MKDKI dalam menangani kasus dugaan pelanggaran

disiplin kedokteran telah diatur dalam Peraturan KKI Nomor 2 Tahun 2011.

Penanganan kasus dilakukan setelah ada pengaduan. Syarat pengaduan terdiri

dari: (Pasal 3 Peraturan KKI Nomor 2 Tahun 2011 tentang Tata Cara

Penanganan Kasus Dugaan Pelanggaran Disiplin Dokter dan Dokter Gigi. )

a. Orang atau badan yang mengadukan, dokter atau dokter gigi yang

diadukan, dan peristiwa yang diadukan harus memenuhi kriteria .

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1, angka 2, angka 3, angka 5,

ngka 6, angka 7, dan angka 8.

b. Peristiwa yang diadukan terjadi setelah diundangkannya Undang-Undang

Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pada tanggal 6 Oktober

2004;

50
Michel Daniel Mangkey, Op. Cit., hlm. 19

51
c. Peristiwa yang diadukan tidak dimaksudkan untuk penyelesaian atas

tuntutan ganti rugi;

d. Keterangan atau informasi dalam pengaduan harus memuat:

1) Identitas pengadu, meliputi: nama lengkap, alamat lengkap, nomor

kontak (telepon, faksimili, atau imel (email) ) yang dapat dihubungi

(jika ada) dan kedudukan (hubungan dengan pasien);

2) Identitas pasien, meliputi: nama lengkap, tanggal lahir (usia), alamat

lengkap dan jenis kelamin;

3) Nama dan alamat tempat praktik dokter atau dokter gigi yang diadukan,

meliputi: nama dokter atau dokter gigi yang diadukan, STR dan/atau

SIP dokter atau dokter gigi yang diadukan (jika mengetahui) dan

alamat lengkap tempat praktik dokter atau dokter gigi yang diadukan

4) Waktu tindakan dilakukan;

5) Alasan pengaduan (kronologis peristiwa yang diadukan);

6) Nama saksi-saksi dan keterlibatannya (jika ada);

e. Pengaduan dilakukan secara tertulis dan bila tidak mampu mengadukan

secara tertulis dapat mengadukan secara lisan yang dilakukan di kantor

MKDKI I MKDKI-P; dan

Tahap pemeriksaan dugaan pelanggaran disiplin ilmu kedokteran

secara umum terdiri dari klarifikasi, pemeriksaan awal, pemeriksaan disiplin,

investigasi, sidang pemeriksaan disiplin, pembuktian dan keputusan. Setelah

pemeriksaan, Majelis Pemeriksa Disiplin (MPD) akan mengeluarkan putusan

dengan memberikan rekomendasi dari organisasi profesi IDI apakah dokter

tersebut bekerja sesui dengan SP dan SPO, sehingga dapat dinilai apakah ada

52
pelanggaran yang dilakukan oleh dokter tersebut baik berupa pelanggaran

etik, disiplinn atau kelalaian. Sehingga organisasi profesi IDI dapat

memberikan rekomendasi dari hasil pemeriksaan yang ditemui dilapangan.

Putusan sidang MPD dapat berupa: (Pasal 52 Ayat (2) Peraturan KKI Nomor

2 Tahun 2011 tentang Tata Cara Penanganan Kasus Dugaan Pelanggaran

Disiplin Dokter dan Dokter Gigi)

a. Dinyatakan tidak melakukan pelanggaran disiplin dokter atau dokter gigi

b. Pemberian sanksi disiplin.

Bentuk sanksi yang diberikan oleh IDI terhadap pelanggaran disiplin

kedokteran yang diberikan antara lain:

1) Peringatan tertulis

2) Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan, dan

3) Rekomendasi pencabutan STR atau SIP yang bersifat:

a) Sementara paling lama 1 (satu) tahun

b) Tetap atau selamanya atau pembatasan tindakan asuhan medis tertentu

pada suatu area ilmu kedokteran atau kedokteran gigi dalam

pelaksanaan praktik kedokteran.

Upaya organisasi profesi IDI dalam penyelesaian sengketa medis

antara dokter dan pasien dalam tahap awal IDI akan melakukan penyelidikan

terhadap kasus yang terjadi, sebagaimana tertuang dalam Pasal 50 UU Praktik

Kedokteran dan Pasal 57 Undang- Undang No. 36 Tahun 2014 tentang

Tenaga Kesehatan belum sepenuhnya memberikan perlindungan bagi dokter,

karena dalam praktiknya penanganan kasus dugaan malpraktik oleh penyidik

kepolisian tentunya akan menggunakan tata cara atau prosedur yang ada

53
terlebih dahulu meminta kepada IDI menyelidiki kasus tersebut apakah ada

pelanggaran etik, disiplin atau kelalaian. Kemudian IDI akan memberikan

rekomendasi kepada pihak kepolisian terhadap kasus tersebut. Apabila

ditemukan adanya pelanggaran maka oleh IDI akan menyediakan saksi ahli

sebagai bentuk perlindungan hukum yang dilakukan oleh IDI terhhaddap

dokter sebagaimana mengikuti di KUHAP sebagai acuannya, ini dikarenakan

UU Praktik Kedokteran tidak mengatur bagaimana beracaranya apabila ada

dugaan dokter melanggar pasal-pasal dalam UU Praktik Kedokteran.

Kondisi ini memungkinkan manakala dokter sudah melaksanakan

semua prosedur dan bekerja sesuai standar tetapi hasilnya pasien menderita

cacat atau bahkan meninggal dunia karena prinsip res ipsa loquitur tetap akan

diproses secara hukum jika ada laporan pasien atau keluarga pasien ke

penyidik, ada generalisasi setiap adverse event (kejadian tidak diharapkan)

adalah malpraktik.

Dokter sebagai profesional wajib melaksanakan norma etika yang

berlaku dalam organisasi profesi dokter (Ikatan Dokter Indonesia), norma

disiplin dan norma hukum. Sehingga dirasakan semua tindakan dokter dapat

dipertanggungjawabkan baik dari aspek prinsip, standar dan aturan profesi

dokter.51

Pada setiap permasalahan kasus klinik yang dihadapi seorang dokter

terdapat aspek etik, aspek medis dan aspek yuridis yang tidak dapat

dipisahkan sehingga diperlukan cara yang bijaksana oleh IDI untuk

mengambil keputusan klinis.

51
Setyo Trisnadi, Op.Cit., hlm. 40

54
BAB III

HASIL PENELITIAN

A. Peran Organisasi Profesi IDI Memberikan Perlindungan Hukum

Terhadap Dokter Dalam Kasus Gawat Darurat Medik RSUD

Mukomuko.

Dokter adalah sarjana lulusan pendidikan fakultas kedokteran yang

ahli dalam hal penyakit dan pengobatan. Dokter di Rumah Sakit mempunyai

tugas memberikan pelayanan kesehatan dan mengupayakan kesembuhan

pasien. Dalam melaksanakan tugasnya, terdapat hubungan rumah sakit,

dokter dan pasien. Hubungan antara dokter dengan pasien tersebut bersifat

khas yang disebut kontrak terapeutik yang berpedoman pada upaya

maksimal dokter untuk menyembuhkan pasiennya. Dokter tidak menjamin

kesembuhan pasiennya, dokter hanya akan melakukan upaya maksimal

terhadap pasiennya supaya kematian dapat dicegah, penyakitnya tidak

bertambah parah atau penyakitnya dapat disembuhkan.

55
Maka oleh karena itu untuk menjalankan pelayanan yang baik sesuai

standar pelayanan rumah sakit sebagai bagian dari tata kelola klinis yang baik,

dengan memperhatikan standar profesi, standar pelayanan masing-masing

tenaga kesehatan, standar prosedur operasional, kode etik profesi dan kode

etik rumah sakit Mukomuko dibentuk komite medik berdasarkan surat

keputusan direktur rumah sakit dan peraturan kementrian kesehatan No. 4

tahun 2018.

Segala permasalahan medik yang dilaporkan ke RSUD Mukomuko

melalui Direktur RSUD Mukomuko diteruskan ke Kabid Pelayanan medik

kemudian dilimpahkan ke Komite Medik untuk ditelusuri dan dipelajari titik

persoalan yang terjadi, dan dicari penyelesaianya. Di RSUD Mukomuko ada

beberapa kasus yang di selesaiakan melalui mediasi tidak sampai keranah

hukum. Penyelesaian yang paling di utamakan yaitu melalui mediasi antara

pasien dengan dokter dan pihak yang bersangkutan lainnya. Disini diupayakan

untuk memberikan perhatian yang lebih kepada pasien tersebut. Dengan

melibatkan Komite Medik RSUD Mukomuko pada Sub Komite Etik dan

Disiplin Profesi dimana salah satu tujuannya adalah melindungi pasien dari

pelayanan staf medis yang tidak memenuhi syarat dan tidak layak melakukan

asuhan klinis, maka salah satu konsep dari Komite Etik dan Disiplin Profesi di

RSUD Mukomuko merupakan upaya pendisplinan oleh komite medik staf

medis di RSUD Mukomuko yang bersangkutan sehingga pelaksanaan dan

keputusan tidak terkait dan tidak ada hubungannya dengan proses penegakan

disiplin profesi kedokteran di lembaga pemerintah, penegakan etika di

56
organisasi profesi maupun penegakan hukum. Apabila ditemukan adanya

pelanggaran terhadap dokter yang bersangkutan baik itu pelanggaran etik,

disiplin atau kelalaian, akan deserahkan ke organisasi profesi IDI melalui

MKEKDI untuk menentukan sikap yang akan diambil terhadap dokter

bersangkutan.

Gambar 3.1 Prosedur Kerja Penanganan Sangkaan Pelanggaran Etika


Kedokteran di Lingkungan Rumah Sakit Umum Daerah Mukomuko.52

PIHAK YANG BERSANGKUTAN

DIREKTUR RS

PELAYANAN MEDIS

KOMITE MEDIK

PENELUSURAN DAN LANGKAH PENYELESAIAN

SELESAI TIDAK SELESAI

DILAPOR DIREKTUR LAPOR DIREKTUR

BAHAN KAJIAN KOMITE MEDIK MEMINTA PERTIMBANGAN IDI

52
Alur penangan komplain masyarakat di RSUD Mukomuko

57
REKOMENDASI IDI REKOMENDASI IDI

SANKSI PELANGGARAN

PERINGATAN TERTULIS PEMBINAAN ETIKA DISIPLIN PIDANA

SAKSI AHLI

Gambar 3.2 STRUKTUR KOMITE MEDIK RSUD

MUKOMUKO.53

DIREKTUR

KOMITE MEDIK

SEKRETARIS

SUB. KOMITE SUB. KOMITE SUB. KOMITE


KREDENSIAL MUTU PROFESI ETIKA & DISIPLIN
PROFESI

Di RSUD Mukomuko dibentuk komite etik dan disiplin profesi

dengan tujuan :

53
Permenkes Nomor 775/PER/IV/2011.Penyelenggaraan Komite Medik di Rumah Sakit

58
1. Melindungi pasien dari staf medis yang tidak memenuhi syarat dan tidak

layak untuk melakukan asuhan klinis

2. Memelihra dan meningkatkan mutu profesionalisme staf medis di rumah

sakit.

Kasus pertama :

Tahun 2010 terjadi penanganan kasus kecelakaan oleh dokter umum

inisial B kepada pasiennya. Pada hari Senin pagi pasien masuk IGD RSUD

Mukomuko jam 8.20 WIB, dengan keluhan keluar darah dari hidung kiri

setelah mengalami kecelakaan motor roda dua. Dalam pemeriksaan dokter

ditemukan memar pada pipi kiri oleh karena benturan saat kecelakaan,

kemudian mau direncanakan untuk ronstgen kepala akan tetapi rontgen dalam

keadaan rusak, selanjutnya dilakukan penanganan pada pasien dan dirawat

inap, selama dalam perawatan darah terus mengalir dari hidung sebelah kiri,

keluarga pasien meminta untuk di rujuk ke Padang dengan harapan mendapat

penanganan lebih baik Namun dokter B yang menangani pasien tersebut

memberikan arahan kepada keluarga pasien agar pasien tetap dirawat dan

observasi di RSUD Mukomuko dengan menjelaskan bahwa kondisi pasien

saat ini tidak apa-apa dan darah dari hidung berhenti mengalir. Pada hari

berikutnya keluarga pasien pulang atas permintaan sendiri. Tampa surat

rujukan keluarga pasien membawa pasien berobat ke RSUP M. Djamil.

Selama di RSUP M. Djamil telah dilakukan pemeriksaan dan rontgen kepala

hasilnya menunjuk adanya fraktur tulang pipi, kemudian dilakukan operasi.

Akibat tindakan dokter B yang sebelumnya terkesan menahan pasien membuat

keluarga pasien komplain kepada dokter B. Keluarga pasien mengajukan

59
tuntutan kepada dokter B dengan alasan dokter tersebut tidak menyarankan

pasien untuk segera dirujuk ke spesialis bedah yang menyebabkan penanganan

tidak tuntas dan tertunda.

Kasus tersebut dilaporkan ke pihak Rumah Sakit dan oleh Direktur

Rumah Sakit diminta untuk diselesaiakan melalui Kabid Pelayanan Medik

ditembuskan ke Komite Medik bagian Hukum dan Etik. Atas kejadian

tersebut dari Komite Medik bagian Hukum dan Etik meminta peran organisasi

IDI untuk ikut serta membantu dalam menyelesaikan kasus tersebut apakah

terdapat pelanggaran hukum atau etik. Oleh Komite Medik di dampingi

organisasi IDI Mukomuko dilakukan audit medis meneliti apakah dokter B

sudah melakukan penanganan sesuai SOP atau tidak, yaitu meminta

keterangan dari dokter B tentang penanganan pasien serta menganalisa rekam

medik status pasien dan memanggil pihak keluarga pasien diminta untuk

menjelaskan kronologi kejadian yang sebenarnya. Hasil audit medis

dinyatakan bahwa dokter B menangani pasien dalam keadaan darurat medis

sesuai SOP, akan tetapi dokter B tidak memberikan informed consent tentang

prosedur penanganan pasien dan dokter B tidak menganjurkan merujuk pasien

ketingkat spesialistik dengan alasan jarak tempuh yang jauh dari kabupaten

Mukomuko ke kota Padang. Selain itu pertimbangan biaya apabila dirujuk ke

kota Padang. Sehingga organisasi profesi IDI menjadi penengah dalam

penyelesaian kasus tersebut agar jangan sampai ke ranah hukum. Pada kasus

ini ditemukan adanya pelanggaran etik oleh dokter B dikarenakan dokter B

tidak memberikan informed consent yang jelas kepada pasien dan keluarga

pasien. Dari hasil audit medis tersebut oleh komite medik dan organisasi IDI

60
melaporkan kepada Kabid Pelayanan Medis dan Direktur Rumah Sakit untuk

dilakukan mediasi antara pihak yang bersengketa di dampingi oleh organisasi

IDI. Permasalahan diselesaikaan secara kekeluaragaan dengan cara dokter

meminta maaf kepada keluarga pasien serta memberikan ganti rugi sebesar 6

juta rupiah untuk melanjutan pengobata pasien tersebut.

Informed consent, diberikan kepada pasien dengan tujuan untuk

menjelaskan kepada pasien tentang penyakitnya atau terhadap tindakan yang

akan dilakukan dokter dan memberi perlindungan hukum kepada dokter jika

terjadi kegagalan tindakan medis atau sesuatu yang tidak diinginkan, kerena

tindakan medis adalah sesuatu yang berisiko. Kemudian untuk menjaga

supaya kasus ini jangan terulang lagi dari organisasi IDI melalui Majelis

Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia memberikan peringatan tertulis

kepada dokter B sesuai Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia nomor

16/KKI/per/VIII/2006. Pasal 27 ayat (2) hurup (b).

Pasal 55 ayat (1) UU No.23 tahun 1992 :

“Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian

yang dilakukan oleh tenaga kesehatan”.

Kasus kedua :

Pada tahun 2012, saat dokter intersip melakuakan pelayanan di IGD

RSUD Mukomuko, datang seorang laki-laki umur 45 tahun alamat Bandar

Ratu Kec. Kota Mukomuko dengan keluhan utama nyeri di dada. Setelah

dilakukan pemeriksaan terhadap pasien dokter I menjelaskan kepada pasien

tersebut tentang penyakit yang dideritanya saat itu yaitu penyakit jantung

koroner yang berakibat menyebabkan kematian mendadak dan henti jantung

61
serta kemungkinan lain yang fatal bisa terjadi seperti kematian mendadak.

Penjelasan dokter tersebut menyebabkan pasien dan keluarga pasien menjadi

cemas dan takut, kemudian dokter I memberikan obat sesuai dengan hasil

diagnosa pasien. Beberapa hari kemudian pasien melakukan second oponion.

Pasien berobat dan melakukan pemeriksaan ke dokter R spesialis jantung dan

pembuluh darah yang praktek dikota Bengkulu. Dilakukan pemeriksaan

lengkap seperti laboratorium darah dan USG jantung. Dari hasil pemeriksaan

dokter R spesialis jantung tersebut didapat hasil jantung pasien masíh dalam

kondisi estándar/ normal. Dokter R menjelaskan kepada pasien bahwa pasien

tidak menderita penyakit jantung koroner dan menyampaikan bahwa diagnosa

dari dokter I adalah salah. Akibat dari diagnosa dan penjealsan dokter R

tersebut membuat pasien serta keluarga pasien merasa kecewa, sehingga

pasien melakukan konfirmasi ulang kepada dokter I atas kesalahan diagnosa

yang telah disampaikanya, penjelasan dokter I mengakibat kerugian moril

terhadap pasien dan keluarga pasien. Dari masalah tersebut pasien mengancam

akan melakukan tuntutan kepada dokter I dan pihak manajemen rumah sakit.

Kemudian kasus ini dilaporkan ke Direktur RSUD Mukomuko, Direktur

Rumah Sakit diminta untuk diselesaiakan melalui Kabid Pelayanan Medik

ditembuskan ke Komite Medik bagian Hukum dan Etik. Komite medik bagian

hukum dan etik memanggil secara lisan dokter I untuk memberikan penjelasan

dari peristiwa yang terjadi dari laporan keluarga pasien. Kabid Pelayanan

Medik menganalisa lapaoran dari keluarga pasien bahwa pelayanan dokter I

seharusnya di dampingi oleh dokter tetap berstatus ASN RSUD Mukomuko.

Maka disepakati bahwa dokter I mengakui kesalahanya dan meminta maaf

62
kepada keluarga pasien dan pihak rumah sakit akan memperbaiki sistim

pelayan supaya lebih baik. Kemudian dari hasil penyelesaian permasalahan

tersebut Komite Medik bagian Hukum dan Etik memberikan informasi kepada

organisasi profesi IDI terhadap kasus yang dialami oleh anggotanya.

Organisasi IDI membatu menyelesaiakn permasalahan salah satu anggotanya

dengan memberi bantuan hukum dengan menyiapakan pengacara apabila

permasalahan ini berlanjut ke ranah hukum. Akan tetapi oleh organisasi IDI

terlebih dahulu dilakukan mediasi untuk mencari solusi permasalahan

tersebut. Di sini dijelaskan bahwa dokter I adalah dokter magang dari

Kemenkes RI, selama menjalan tugas di RSUD Mukomuko didampingi oleh

dokter tetap berstatus ASN RSUD Mukomuko, akan tetapi dalam kasus pasien

ini dokter I tidak melaporkan ke dokter pendaping saat melayani pasien.

Pihak komite medis RSUD Mukomuko dan komite etik organisasi

IDI memberikan teguran lisan kepada dokter I dan dokter pendamping dengan

memberikan pembinaan . Dan kepada dokter R spesialis jantung dari

organisasi IDI diberikan teguran tertulis, pembinaan etik atas sikap yang

dilakukan kepada teman sejawat sesuai UU kedokteran pasal 16 : Kewajiaban

dokter terhadap teman sejawatnya :

“Setiap dokter memperlakukan teman sejawat sebagaimana ia sendiri

ingin diperlakukan”.

Peraturan konsil kedokteran nomor 16/KKI/per/VIII/2006 tentang

tata cara penanganan kasus dugaan pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi

oleh majelis kehormatan disiplin kedokteran Indonesia dan majelis

kehormatan disiplin kedokteran indonesia ditingkat provinsi.

63
Pengaduan, pasal 2 :

1). Setiap orang yang mengetahui atau kepentinganya dirugikan atas

tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik

kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada ketua

MKDKI atau ketua MKDKI-P

2). Apabila tidak mampu mengadukan secara tertulis sebagaimana

dimaksud ayat (1) dapat mengadukan secara lisan kepada

MKDKI atau MKDKI-P.

Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 16/KKI/PER/2006,

tentang tata cara penanganan kasus dugaan pelanggarandisiplin dokter dan

dokter gigi oleh majelis kehormatan disiplin kedokteran indonesia dan

majelis kehormatan disiplin kedokteran indonesia tingkat provinsi

Keputusan Majelis Pemeriksa Disiplin, Pasal 28 :

1). Sanksi disiplin sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 ayat (2) hurup

(b) dapat berupa

a. Pemberian peringatan tertulis

b. Rekomendasi pencabutab surat tanda registrasi atau SIP dan/atau

c. Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di Instansi

pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi.

Bentuk Pelanggaran Disiplin Kedokteran

1. Melakukan praktik kedokteran dengan tidak kompetensi.

Penjelasan

64
Dalam menjalankan asuhan klinis kepada pasien dokter atau dokter gigi

harus bekerja dalam batas-batas kompetensinya, baik dalam menegakkan

diagnosis maupun dalam penatalaksanaan pasien.

2. Tidak merujuk pasien kepada dokter atau dokter gigi lain yang tidak

memiliki kompetensi sesuai.

Penjelasan

a. Dalam situasi dimana penyakit atau kondisi pasien di luar

kompetensinya,maka dokter atau dokter gigi ajib menawarkan

kepada pasien untuk dirujuk atau di konsultasikan kepada dokter

atau dokter gigi atau sarana pelayanan kesehatan yang lebih sesuai.

b. Upaya perujukan dapat tidak dilakukan apabila yang terjadi antara

lain sebagai berikut :

1). Kondisi pasien tidak memungkinkan untuk dirujuk

2). Keberadaan dokter atau dokter gigi lain atau sarana kesehatan

yang lebih tepat sulit di jangkau atau sulit didatangkan

3). Atas kehendak pasien.

Wawancara dengan dr. Syafriadi,Sp.PD ketua komite medik RSUD

Mukomuko.54

Terungkap bahwa selama ini apabila terjadi permasalahan dalam

pelayanan gawat darurat medik selalu menekankan bekerja sesuai SOP

agar menghindari tuntutan hukum apabila terjadi tuntutan dari ketidak

puasan pasien maupun keluarga pasien dari pelayan medis yang hasilnya

54
Wawancara dr.Safriadi, SpPD,. Ketua komite medik RSUD Mukomuko, 27 Februari 2020

65
tidak diaharapkan seperti kematian, kecacatan, penyakit yang bertambah

parah. Dan apabila permasalahan tidak dapat diselesaikan oleh pihak

RSUD Mukomuko maka komite medik melalui direktur RSUD

Mukomuko meminta kepada organisasi profesi IDI melalui MKDKI dan

MKEK untuk memberikan bantuan hukum menyiapakan pengacara

apabila kasus berlanjut keranah hukum. Akan tetapi selama ini

permasalahan yang timbul bisa diselesaiakn secara mediasi dengan

menjalin komunikasi yang baik dengan pasien.

Wawancara dengan dr. Surya Darma Sp.B ketua IDI wilayah

Kabupaten Mukomuko.55

Terungkapungkap bahwa terjadinya pengaduan oleh masyarakat

karena ketidak puasan atas pelayanan yang diberikan oleh piahak RSUD

Mukomuko, dikarenakan diskomunikasi antara dokter dengan pasien

dimana dokter tidak menjelaskan informasi tindakan yang akan dilakukan

serta akibat atau resiko yang terjadi apabila tindakan itu dikerjakan. Dokter

sering melakukan penangan gawat darurat medik dan tidak meminta

persetujuan atas tindakan medis yang dilakukan, padahal itu sangat

penting untuk menjaga apabila terjadi tuntutan dari pasien dari hasil

tindakan yang tidak diharapkan. Dalam hal ini apabila terjadi pelanggaran

dibagi dua kategori yaitu:

1. Pelanggaran ringan, dan

55
Wawancara dr. Surya Darma,SpB. Ketua IDI wilayah Kabupaten Mukomuko, 25 Februari 2020

66
2. Pelanggaran berat.

Untuk menentukan berat ringan suatu pelanggaran perlu dinilai

kasus demi kasus dengan memperhatikan berbagai faktor, antara lain :

- Pelanggaran menyebabkan kematian, kecacatan,

- Pelanggaran yang menyebabkan kegoncangan dalam masyarakat

- Pelanggaran yang menyebabkan gangguan teman sejawat

Setiap pengaduan pelanggaran diselesaikan secara musyawarah

antara si pengadu dengan dokter yang bersangkutan disaksikan oleh wakil

MKEK (Majelis Kehormatan Etik Kedokteran), bila tidak bisa di

selesaiakan dengan musyawarah maka diteruskan ke IDI cabang. Jika IDI

cabang tidak bisa menyelesaikan kasus tersebut diteruskan ke MKDKI

(Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia) atau MKDKI-P

(Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia di Tingkat Provinsi)

seandainya ada unsur pidana atau perdata. Dalam kasus tersebut maka

harus terlebih dahulu diselesaiakn oleh pihak berwenang melalui

penyelidikan dengan meminta rekomendasi IDI apakah ada pelanggara

etik atau kelalaian.

Dokter yang dituduh melanggar etik akan dipanggil melalui tata

cara sebagai berikut :

1. Si pelanggar yang bekerja di Dinas Kesehatan akan di panggil secara

tertulis oleh kepala Dinas Kesehataan Kabupaten setelah mendapat

pemberitahuan dari IDI dengan tembusan kepala Dinas Propinsi dan

MKDKI-P

67
2. Bila si pelanggar bekerja di Instansi lain seperti RS dipanggil secara

tertulis oleh kepala dinas kesehtan kabupaten melalui kepala instansi

atau Direktur RS si pelanggar tempat bekerja setalah mendapat

pemberitahuan dari kepala dinas propinsi dengan tembusan MKDKI-P

dan IDI cabang.

3. Bila si pelanggar bekerja di tempat praktek swasta, perseorangan

swasta, dipanggil secara tertulis oleh IDI cabang dengan tembusan

kepala dinas kabupaten, kepala dinas propinsi, MKDKI-P, dan kepala

instansi tempat dokter tersebut bekerja.

4. Bila si pelanggar bukan anggota IDI, dipanggil secara tertulis oleh

kepala dinas kabupaten setelah mendapat pemberitahuan dari MKDKI-

P, tembusan kepala dinas propinsi dan IDI cabang.

Pada Anggaran Dasar Ikatan Dokter Indonesia (AD/ART IDI)

disebutkan bahwa yang termasuk anggota IDI antara lain

a. Anggota muda adalah sanjana kedokteran, warga negara Indonesia

yang berijazah dan diakui oleh Pemenintah Republik Indonesia.

b. Anggota biasa adalah dokter warga negara Indonesia yang berijazah

dan diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia.

c. Anggota luar biasa adalah dokter warga negara asing yang bekerja di

Indonesia.

d. Anggota kehormatan adalah mereka yang telah berjasa dalam lapangan

kesehatan dan atau kedokteran.

68
Selama menjabat sebagai ketua IDI kabupaten Mukomuko, IDI

siap memberikan perlindungan hukum kepada anggota yang mengalami

permasalahan hukum dalam melakukan tindakan medik. Pengaduan yang

dilaporkan pada umumnya diselesaikan dengan musyawarah dengan

menjalin komunikasi kekeluargaan yang baik sehingga masyarakat dapat

menerima setiap resiko tindakan gawat darurat medik yang dilakukan oleh

dokter. Agar supaya permasalahan tidak sampai menempuh jalur hukum.

Wawancara dengan Direktur RSUD Mukomuko dr. Tugur

Anjastiko.56

Terungkap bahwa pentingnya melibatkan organisasi IDI di RSUD

Mukomuko dimana semua dokter yang bekerja di RS adalah anggota IDI

dan kami dari pihak manajemen RS menyiapkan salah satu ruangan untuk

sekretariat IDI yang bisa digunakan para dokter. Direktur juga

menyampaikan bahwa dari pihak RS dan komite medik memantau kenerja

dokter berdasarkan SOP yang berlaku di RS sedangkan organisasi IDI

akan lebih berperanan dalam memantau dan menilai kinerja etik dari

dokter agar bekerja lebih mengutamakan etika baik terhadap pasien

maupun kepada teman sejawat dokter. Melalui organisasi profesi IDI

memberikan pelatihan, seminar untuk peningkatan ilmu yang menunjang

kinerja dokter di RSUD Mukomuko, dan juga dengan organisasi IDI bisa

memberikan pembinaan kepada anggotanya yang melakukan pelanggaran

etik.

56
Wawancara dr. Anjastiko, direktur RSUD Mukomuko, 23 Januari 2019

69
Dari wawancara dengan Kabid Pelayanan Medis RSUD

Mukomuko, Harnovi, SKM.57

Terungkap bahwa organisasi profesi IDI memberikan peranan penting

dalam peningkatan pelayan dokter di RS dan di masyarakat. IDI

merupakan wadah perhimpunan dokter yang melindungi anggotanya dari

tuntutan hukum apabila terjadi permaslahan di lapangan maka akan

dielesaikan secara kekeluargaan dengan melibatkan organisasi profesi IDI.

B. Bentuk-Bentuk Perlindungan Hukum Organisasi Profesi IDI Terhadap

Dokter Dalam Kasus Gawat Darurat Medik RSUD Mukomuko.

Dalam penanganan kasus sengketa medik di Kepolisian yang

menyangkut profesi dokter, penyidik dapat meminta bantuan organisasi

profesi yaitu Ikatan Dokter Indonesia (IDI). IDI ikut serta dalam penyelesaian

kasus sengketa medik jika diminta oleh Kepolisian. Hal ini karena dalam

memahami masalah hubungan dokter dan pasien tidak bisa hanya dilihat dari

adanya cedera ataupun meninggalnya pasien. Namun harus dilihat dari segi

disiplin profesinya dan keilmuannya.

Penilaian tersebut membutuhkan bantuan IDI sehingga penanganan

suatu kasus sengketa medik yang terjadi di RSUD Mukomuko dapat dinilai

segi materilnya yaitu ada tidaknya kesalahan dalam memberikan pemeriksaan

medik pada pasien. Kepolisian maupun pihak IDI dalam hal ini IDI dapat
57
Wawaancara Harnovi,SKM, kepala bidang pelayanan medis RSUD Mukomuko, 29 Januari
2019

70
membantu dalam hal memilih seorang dokter untuk dijadikan saksi ahli. Hal

ini sesuai dengan Surat Edaran Menteri Kesehatan tahun 2007 tentang

penegakan hukum di bidang kesehatan,yang isinya adalah:

a. Setiap dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh tenaga kesehatan

yang diajukan oleh masyarakat kiranya dapat disampaikan terlebih dahulu

kepada Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia untuk

penetapan ada atau tidaknya kesalahan dalam penerapan disiplin

kedokteran;

b. Proses penegakkan hukum yang dilakukan oleh pihak yang berwenang di

bidang kesehatan dilaksakan melalui pendekatan yang selalu menjunjung

tinggi harkat dan martabat profesi tenaga kesehatan, asas praduga tidak

bersalah, hubungan dokter dan tenaga kesehatan dengan pasien sebagai

hubungan kepercayaan harus sama-sama dilindungi kepentingan

hukumnya, tidak meresahkan tenaga kesehatan dan tidak mengganggu

pemberian pelayanan kesehatan kepada masyarakat;

c. Dalam penanganan dugaan pelanggaran hukum kesehatan yang

berhubungan dengan tenaga kesehatan agar berkoordinasi dengan pihak

penyidik setempat dengan mengikutsertakan organisasi profesi. Bila

terdapat keraguan dalam menyelidiki pelanggaran hukum kesehatan yang

disebabkan oleh hasil pengobatan yang tidak sesuai dengan yang

diharapkan berkaitan dengan penyelenggaraan praktik kedokteran, sedapat

mungkin dihindari penyebutan nama/identitas dokter, rumah sakit atau

sarana kesehatan oleh pers;

71
d. Dalam penanganan dugaan pelanggaran hukum kesehatan yang

berhubungan dengan tenaga kesehatan agar berkoordinasi dengan pihak

penyidik setempat dengan mengikutsertakan organisasi profesi terkait.

Dalam rangka kepentingan penyelidikan dan penyidikan oleh pihak

POLRI. Dinas Kesehatan terlebih dahulu memanfaatkan dan

memberdayakan Penyidik Aparatur Sipil Negara (PASN) bidang

kesehatan yang ada sesuai dengan kewenanganya masing-masing,

khususnya dalam hal-hal yang berkaitan dengan administrasi seperti STR,

SIP, Papan Nama Praktik.

e. Untuk membantu dalam proses penegakan hukum mulai dari penyelidikan

dan penyidikan sampai dengan penuntutan di Pengadilan diperlukan pihak

aparat penegak hukum, pihak organisasi profesi dibidang kesehatan dapat

dimintakan bantuannya sebagai saksi ahli sesuai bidang dan atau

pengalamannya masing-masing;

f. Dalam penegakan hukum tetap harus diperhatikan ketentuan tentang

Praktik Kedokteran dan kaedah-kaedah etika kedokteran yang lazim

berlaku seperti Ketentuan Wajib Simpan rahasia kedokteran dan Pedoman

Organisasi Kedokteran sedunia. Surat Edaran Menteri Kesehatan No 680

tahun 2007 merupakan pelaksanaan dari Pasal 29 UU No. 36 Tahun 2009

tentang Kesehatan yang berisi: Dalam hal tenaga kesehatan diduga

melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut

harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi.

72
IDI akan memilih seorang dokter untuk dijadikan saksi ahli. Dalam

pasal 1-4 Pada kutipan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa, IDI akan

memilih seorang yang akan dijadikan saksi ahli. Tentu kriteria saksi yang

dipilih oleh IDI harus sesuai dengan isi dari pasal 1-4 pada Anggaran Dasar

Ikatan Dokter Indonesia (AD/ART IDI). IDI merupakan organisasi profesi

yang dilibatkan dalam penyelesaian kasus sengketa medik di Kepolisian. Jika

ada laporan ke Polisi tentang kasus sengketa medik, pihak Kepolisian akan

menindak lanjuti, jika masalah yang ditemukan terkait medis yang belum

dikuasainya dia akan menghubungi dan berkoordinasi dengan IDI. Nantinya

IDI akan menyarankan dokter siapa yang cocok dijadikan saksi ahli untuk

kasus tersebut , IDI yang akan menentukan saksi ahli yang akan dipilih untuk

mendampingi dokter yang terkena kasus ini. Jumlah saksi ahli yang akan

dipanggil bisa satu ataupun lebih tergantung kasusnya, kadang ada yang

memakai dua saksi ahli. Saksi ahli yang kedua berfungsi mengungkapkan

second opinion. Saksi ahli yang dipilih adalah saksi ahli yang sesuai

kompetensi kasus misalnya kasus yang terjadi berhubungan dengan bedah

maka pihak IDI akan memilih dokter bedah sebagai saksi ahlinya sesuai

dengan kompetensi ilmunya. Dokter yang bersengketa mempunyai hak yang

sama dengan dokter yang lain didalam keanggotaan IDI. Salah satunya

mempunyai hak meminta bantuan IDI jika menghadapi sengketa medik. IDI

memiliki 3 badan kelengkapan yang disebutkan dalam AD ART IDI pada

pasal 13 yaitu Badan Pembinaan dan Pembelaan Anggota (BP2A), Badan

Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan (BPPKB), Badan

Pembinaan Penelitian dan Pengembangan (BP3). Kasus gawat darurat medik

73
sendiri dibagi menjadi 3 pelanggaran, apakah itu pelanggaran etik, disiplin

atau pidana. Jika dokter hanya melanggar etik tetapi dianggap melakukan

tindakan malpraktek maka IDI pasti turun tangan dan berusaha membantu

dokter yang terkena kasus tesebut. Jika dokter hanya melakukan pelanggaran

etik saja maka sudah ada badan yang khusus melakukan diagnosis terhadap

kasus tersebut yaitu Majelis Kehormatan Etika Kedokteran(MKEK).

Di RSUD Mukomuko setiap pelanggaran yang dilakukan oleh dokter

terlebih dahulu disampaikan kepada direktur rumah sakit dan dilanjutkan ke

bagian pelayanan medik kemudian diteruskan ke komite medik dari komite

medik meminta kepada IDI untuk memberikan rekomendasi apakah ada

ditemukan pelanggaran etik, disiplin atau kelalaian dari tindakan dookter

tersebut.

C. Upaya-Upaya yang Diperlukan Organisasi Profesi IDI Dalam Hal

Proteksi Hukum Terhadap Dokter Dalam Kasus Gawat Darurat Medik

RSUD Mukomuko.

Dalam hal ini untuk mencegah agar tidak terjadi konflik antara rumah

sakit, dokter dan pasien maka diperlukan perlindungan hukum. Perlindungan

hukum merupakan hak setiap warga negara, termasuk profesi kedokteran,

Untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum terhadap dokter, maka

organisasi profesi IDI mengharuskan setiap dokter di RSUD Mukomuko

memenuhi ketentuan berupa :

1. Menidentifikasi kelengkapan syarat administrasi dokter

 Mempunyai STR dan SIP

74
Pada hakikatnya, STR dan SIP itu untuk melindungi pasien.

Dokter yang sudah memiliki STR dan SIP memiliki kemampuan

untuk menjalankan profesi dokter sesuai dengan kompetensinya.

Namun disisi lain, dokter dalam menjalankan profesinya akan

mendapatkan perlindungan hukum jika dokter memenuhi syarat-

syarat administratif tersebut.

Dasar hukum pentingynya STR bagi dokter adalah Pasal 8

PMK Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran, Pasal 3

Peraturan KKI Nomor 6 Tahun 2011 tentang Registrasi Dokter dan

Dokter Gigi. Sedangkan, dasar hukum SIP diatur pada Pasal 23 Ayat

(3) UU Kesehatan, Pasal 36, 37 dan 38 UU Praktik Kedokteran serta

Pasal 2 Permenkes Nomor 2025 Tahun 2011 tentang Izin Praktik dan

Pelaksanaan Praktik Kedokteran.

Ada dua bentuk perlindungan hukum berdasarkan sifatnya,

yaitu: perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum

represif. Dokter dalam menjalankan profesinya mendapatkan kedua

perlindungan tersebut. SIP ini merupakan upaya perlindungan hukum

preventif terhadap dokter yang menjalankan profesinya.

Di RSUD Mukomuko masih ada sebagian dokter belum

lengkap administrasi yang merupakan syarat utama untuk berkerja di

unit gawat darurat medik disebabkan keterlambatan pengurus

perpanjangan STR dan pengurusan perpanjangan SIP

75
 Menjalankan tugas dalam tindakan gawat darurat medik sesuai dengan

SOP

Pasal 50 UU Praktik Kedokteran juga mengatur syarat dokter

mendapatkan perlindungan hukum sebagai haknya adalah bekerja sesuai

dengan SP dan SPO. SP dibuat oleh profesi, sedangkan SPO dibuat oleh

rumah sakit berdasarkan standar profesi yang berisi langkah-langkah

yang rutin dikerjakan.

Di RSUD Mukomuko masih ada sebagian dokter yang tidak

memperhatikan SP, SPO dan informed consen disebabkan oleh karena

dokter yang bekerja di unit gawat darurat medik saat menangani pasien

membutuhkan tindakan segera, cepat, dan tepat dalam menegakkan

diognosa penyakit pasien

2. Selalu mengikuti perkembangan kemajuan ilmu kedokteran melalui

pelatihan, seminar, diskusi ilmiah.

3. Selalu hati-hati dan teliti dalam melakukan tindakan darurat medik.

4. Tindakan itu mempunyai indikasi medik dengan tujuan perawatan yang

sifatnya kongkret;

5. Dilakukan sesuai dengan aturan–aturan yang berlaku di dalam ilmu

kedokteran; diizinkan oleh pasien. Dua norma yang pertama timbul

karena sifat tindakan tersebut sebagai tindakan medik. Adanya izin pasien

merupakan hak dari pasien. Hak tersebut menyebabkan timbulnya

kelompok norma–norma yang lain, yaitu norma untuk menghormati hak–

76
hak pasien sebagai individu dan norma yang mengatur agar pelayanan

kesehatan dapat berfungsi di dalam masyarakat untuk kepentingan orang

banyak, yang dalam hal ini adalah pasien sebagai anggota masyarat.

Dalam hal melaksanakan praktek kedokteran organisasi IDI telah

mengatur ketentuan hak dokter untuk melaksanakan tugasnya mengacu Pasal

50 undang – undang No. 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran

menyebutkan hak dokter dalam menjalankan tugas profesinya. Dokter atau

dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai hak :

1. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai

dengan standar profesi dan standar prosedur operasional. Dalam hal ini

dokter yang melakukan praktik sesuai dengan standar tidak dapat

disalahkan dan bertanggung jawab secara hukum atas kerugian atau

cedera yang diderita pasien karena kerugian dan cedera tersebut bukan

diakibatkan oleh kesalahan atau kelalaian dokter. Perlu diketahui bahwa

cedera atau kerugian yang diderita pasien dapat saja terjadi karena

perjalanan penyakitnya sendiri atau karena resiko medis yang dapat

diterima (acceptable) dan telah disetujui pasien dalam informed consent.

2. Melakukan praktik kedokteran sesuai dengan standar profesi dan

standar prosedur operasional. Dokter diberi hak untuk menolak

permintaan pasien atau keluarganya yang dianggapnya melanggar

standar profesi atau standar prosedur operasional.

3. Memperoleh informasi yang jujur dan lengkap dari pasien atau

keluarganya. Dokter tidak hanya memerlukan informasi kesehatan dari

pasien, melainkan juga informasi pendukung yang berkaitan dengan

77
identitas pasien dan faktor – faktor kontribusi yang berpengaruh

terhadap terjadinya penyakit dan penyembuhan penyakit.

Pada masa sekarang ini pemerintah sangat menggalakkan

masyarakat untuk memakai program asuransi kesehatan pemerintah

yaitu BPJS, sehingga tingkat rujukan untuk mendapatkan pelayanan

yang baik di RSUD Mukomuko semakin meningkat terutama terhadap

pelayanan gawat darurat medik, dimana setiap setiap kasus mempunyai

cirri tersendiri, sehingga dapat dikatakan hamper tidak ada dua kasus

yang persis sama. Tidak dapat di generalisasikan karena tergantung

kepada banyak factor, seperti :

- Situasi dan kondisi saat peristiwa itu terjadi

- Keadaan pasien pada saat masuk Unit Gawat Darurat

- Apakah sudah dilakukan tindakan berdasarkan standard profesi medik

- Apakah tidak terdapat kekeliruan dalam penilaian menegakkan

diagnosa

- Apakah tidak ada unsur kelalaian atau kemungkinan adanya

menelantarkan

- Apakah tidak ada kesalahan pada pasien itu sendiri karena ;

a. Tidak menceritakan semua keadaan dirinya dengan sejujurnya

b. Tidak menuruti nasihat dokter sehingga memperburuk

keadaanya.

Di RSUD Mukomuko masih kurang maksimalnya peranan IDI

melindungi anggotanya dari tuntutan pasien yang merasa dirugikan

terhadap tindakan dokter dalam keadaan darurat medis namun dalam hal

78
ini IDI lebih mengutamakan penyelesaian dengan melakukan mediasi

antara dokter, pasien dan pihak yang terkait dengan pemeriksaan yang

lebih intensip terhadap persoalan tersebut apakah ada pelanggaran hukum

yang dilakukan oleh dokter tersebut baik pelanggaran etik, disiplin,

administrasi atau kelalaian dengan melanggar SP/SOP, perdata, dan

pidana. Setelah hal itu ditemukan maka IDI akan mengambil sikap

berdasarkan ada atau tidak pelanggaran yang dilakukan.

Di RSUD Mukomuko apabila persoalan ini berlanjut ke jalur

hukum maka IDI yang akan menentukan saksi ahli yang akan dipilih untuk

mendampingi dokter yang terkena kasus IDI akan menyiapkan saksi ahli

dan pengacara guna melindungi anggotanya dari tuntutan hukum. Pada

umumnya permasalahan kasus darurat medik yang ditemukan di RSUD

mukomuko tidak sampai keranah hukum dapat diselesaikan melalui

mediasi dengan melibatkan organisasi profesi IDI. Namun hal ini belum

maksimal untuk dilaksanakan di RSUD Mukomuko oleh karena dari IDI

itu sendiri belum ada anggotanya yang berkompeten mengusai ilmu

hukum untuk menjadi saksi ahli dalam melindungi dokter dari tuntutan

hukum..

79
BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan pada bab-bab sebelumnya dapat ditarik

kesimpulan sebagai berikut :

1. IDI memberikan perlindungan hukum terhadap dokter dengan peran dalam

hal :

 Sebagai mediator dalam menyelesaikan permasalahan apabila terjadi

pengaduan dari pasien atau keluarga pasien, maka IDI akan memediasi

penyelesaian permasalahan dengan mengedepankan musyawarah.

80
 Sebagai audit medis terhadap tindakan dokter apabila permasalahan

berlanjut ke tingkat penyidik, dimana IDI akan melihat rekam medik

pasien dan informed consent persetujuan tindakan apabila diperlukan.

 Sebagai pengawas terhadap tindakan dokter agar bekerja sesuai standar

profesi dan standar prosedur operasional

 Sebagai saksi ahli yaitu menyediakan pengacara apabila kasus

berlanjut kepengadilan

2. Bentuk perlindungan hukum oleh IDI terhadap dokter berupa :

 Sebagai administrator yaitu menerbitkan dan mengidentifikasidan

kelengkapan administrasi dokter berupa Surat Tanda Registrasi

(STR), Surat Izin Praktek (SIP), sertifikat pelatihan, setifikat seminar,

sertifikat simposium, sertifikat work shop.

 Sebagai pembina yaitu membina anggotanya apabila terjadi

pelanggaran etik, disiplin, kelalaian, pidana.

3. Berdasrkan analisis penulis apa yang terjadi di RSUD Mukomuko bahwa

masih kurang maksimalnya peran organisasi profesi IDI dalam upaya

memberikan perlindungan hukum terhadap dokter menangani kasus gawat

darurat medik di RSUD Mukomuko hal ini disebabkan :

1. Belum maksimal peran IDI menjalin komunikasi IDI dengan anggota

sesama dokter RSUD Mukomuko sehingga banyak permasalahan yang

tidak diselesaikan secara baik.

2. Belum maksimalnya bentuk-bentuk perlindungan hukum oleh IDI

dikarenakan oleh faktor-faktor :

a. Dari IDI seperti, belum ada saksi ahli yang berkompeten menguasai

81
ilmu hukum, masih lemahnya pengawasan, serta pembinaan terhadap

dokter RSUD Mukomuko supaya melakukan pelayanan sesuai

standar etik, standar profesi dan standar prosedur operasional.

b. Dari dokter itu, kesadaran mengurus kelengkapan administrasi yang

sudah habis masa berlakunya seperti, STR, SIP, sertifikat pelatihan.

3. Kurangnya optimalnya IDI mengidentipikasi kelengkapan administrasi

dokter RSUD Mukomuko yang merupakan persaratan utama dalam

melakukan tindakan gawat darurat medis seperti STR, SIP, informed

consent atau persetujuan tindakan, sertifikat pelatihan gawat darurat

agar terhindar dari tuntutan hukum.

4. Masih belum optimalnya IDI menjalankan langkah-langkah yang

ditempuh dalam melindungi dokter tersangkut masalah hukum.

B. SARAN.

1. Hendaknya ditingkatkan peran IDI melindungi dokter dalam hal

menyelesaikan permasalahan medik dengan menjalin komunikasi antar

sesama dokter RSUD Mukomuko, pihak manajemen RSUD Mukoumko

dalam pelayanan pasien RSUD Mukomuko bisa diselesaikan secara

mediasi dengan mengedepankan musyawarah.

2. Hendaknya perlu ditingkatkan bentuk-bentuk perlindungan hukum oleh

IDI terhadap dokter bekerja berdasarkan standar etik, standar profesi, dan

standar prosedur operasional, supaya menghindari tuntutan hukum apabila

menangani kasus gawat darurat medik.

82
3. Organisasi profesi IDI hendaknya berupaya lebih selektif dalam

mengawasi kelengkapan administrasi dokter seperti STR, SIP, sertifikatt

pelatihan gawat darurat, informed consent, untuk melindungi anggotanya

dalam menangani kasus gawat darurat medik.

4. Memberi masukan kepada pihak manajemen RSUD Mukomuko agar

dokter yang melakukan pelayan gawat darurat medik memiliki sertifikat

pelatihan gawat darurat yang dikeluarkan oleh IDI.

83

Anda mungkin juga menyukai