Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Lanjut usia adalah tahap akhir dari proses penuaan. Menjadi tua (aging)

merupakan proses perubahan biologis secara terus menerus yang dialami pada

semua manusia pada semua tingkat umur dan waktu. Masa usia lanjut memang

masa yang tidak bisa dielakkan oleh siapapun khususnya bagi yang dikaruniai

umur panjang, yang bisa dilakukan oleh manusia hanyalah menghambat proses

menua agar tidak terlalu cepat, karena pada hakikatnya dalam proses menua

menjadi suatu kemunduran dan penurunan (Suardiman, 2011). Menurut WHO,

batasan lansia dibagi atas: usia pertengahan (middle age) yaitu antara 45-59

tahun, lanjut usia (elderly) yaitu 60-74 tahun, lanjut usia tua (old) 75-90 tahun,

dan usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun (Notoadmodjo, 2011).

Proses penuaan adalah siklus kehidupan yang ditandai dengan tahapan-

tahapan menurunnya berbagai fungsi organ tubuh, yang ditandai dengan semakin

rentannya tubuh terhadap berbagai serangan penyakit yang dapat menyebabkan

kematian misalnya pada sistem kardiovaskuler dan pembuluh darah, pernafasan,

pencernaan, endokrin dan lain sebagainya. Hal tersebut disebabkan seiring

meningkatnya usia sehingga terjadi perubahan dalam struktur dan fungsi sel,

jaringan, serta sistem organ. Perubahan tersebut pada umumnya mengaruh pada
kemunduran kesehatan fisik dan psikis yang pada akhirnya akan berpengaruh

pada ekonomi dan sosial lansia. Sehingga secara umum akan berpengaruh pada

activity of daily living (Fatmah, 2010).

Bertambahnya jumlah lanjut usia dapat diartikan bertambah pula

permasalahan kesehatan. Diantara berbagai masalah kesehatan pada lansia yang

menjadi kondisi kronik adalah penyakit sendi/rematik, hipertensi, dan diikuti

penyakit lainnya (Smeltzer,2011). Perubahan fisik yang terjadi pada lansia

tentunya akan mempengaruhi kemandirian lansia. Kemandirian adalah kebebasan

untuk bertindak, tidak tergantung pada orang lain, tidak terpengaruh pada orang

lain dan bebas mengatur diri sendiri atau aktivitas seseorang baik individu

maupun kelompok dari berbagai kesehatan atau penyakit (Ediawati, 2012).

Pengaruh peningkatan populasi usia lanjut ini juga akan sangat tampak

pada hal ekonomi dan sosial, dimana seperti kita ketahui saat ini angka kejadian

penyakit kronis, degeneratif, maupun berbagai macam kanker semakin

meningkat, juga angka kematian akibat penyakit-penyakit tersebut yang

meningkat. Kecacatan akibat penyakit degeneratif pun tidak akan terhindarkan,

sehingga menurunkan produktifitas para usia lanjut. Penurunan produktifitas dari

kelompok usia lanjut ini terjadi karena terjadi penurunan fungsi, sehingga akan

menyebabkan kelompok usia lanjut mengalami penurunan dalam melaksanakan

kegiatan harian seperti makan, ke kamar mandi, berpakaian, dan lainnya dalam

Activities Daily Living(ADL) (David, 2013).


Kemandirian pada lansia sangat penting untuk merawat dirinya sendiri

dalam memenuhi kebutuhan dasar manusia. Meskipun sulit bagi anggota

keluarga yang lebih muda untuk menerima orang tua melakukan aktivitas sehari-

hari secara lengkap dan lambat. Dengan pemikiran dan caranya sendiri lansia

diakui sebagai individu yang mempunyai karakteristik yang unik oleh sebab itu

perawat membutuhkan pengetahuan untuk memahami kemampuan lansia untuk

berpikir, berpendapat dan mengambil keputusan untuk meningkatkan

kesehatanya (Atut, 2013).

Hasil dari data SUSENAS menunjukkan bahwa angka rasio

ketergantungan penduduk lansia pada tahun 2012 adalah sebesar 11,90 %.

Angka rasio sebesar 11,90% menunjukkan bahwa setiap 100 orang pendudukusia

produktif harus menanggung sekitar 12 orang penduduk lansia. Namun bila

dibandingkan per jenis kelamin,angka rasio ketergantungan penduduk lansia

perempuan lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk lansia laki-laki (12,95%

berbanding 10,86%)(Kemenkes RI, 2012).

Lansia di Indonesia memiliki angka kesakitan di daerah perkotaan yaitu

sebesar 24,77 % yang artinya bahwa setiap 100 orang lansia di perkotaan pada

tahun 2012 terdapat 24 lansia yang sakit. Sedangkan dipedesaan 28,62% yang

berarti bahwa setiap 100 lansia di pedesaan pada tahun 2012 terdapat 28 lansia

yang sakit. Perlu diperhatikan bahwa lansia yang memiliki penyakit (dalam

keadaan sakit) pastinya akan mengalami gangguan dari kemandirian lansia atau
lansia tersebut akan memiliki ketergantungan terhadap anggota keluarganya. Dan

lansia yang memiliki penyakit pula merupakan salah satu penyebab dari

ketidakmandirian lansia(Kemenkes RI, 2012).

Lanjut usia sebagai individu sama halnya dengan klien yang digambarkan

oleh Orem (2001) yaitu suatu unit yang juga mengehendaki kemandirian dalam

mempertahankan hidup, kesehatan dan kesejateraannya. Kemandirian pada lanjut

usia tergantung pada kemampuan status fungsionalnya dalam melakukan

aktivitas sehari – hari (Ediawati, 2012).

Dalam kamus psikologi kemandirian berasal dari kata “independen” yang

diartikan sebagai suatu kondisi dimana seseorang tidak tergantung pada orang

lain dalam menentukan keputusan dan adanya sikap percaya diri (Husain, 2013)

. Kemandirian merupakan sikap individu yang diperoleh secara komulatif

dalam perkembangan dimana individu akan terus belajar untuk bersikap mandiri

dalam menghadapi berbagai situasi di lingkungan, sehingga individu mampu

berfikir dan bertindak sendiri. Dengan kemandirian seseorang dapat memilih

jalan hidupnya untuk berkembang ke yang lebih mantap (Husain, 2013).

Kemandirian lansia dalam ADL didefinisikan sebagai kemandirian seseorang

dalam melakukan aktivitas dan fungsi - fungsi kehidupan sehari - hari yang

dilakukan oleh manusia secara rutin dan universal (Ediawati, 2013).


Ketergantungan lanjut usia disebabkan kondisi orang lansia banyak

mengalami kemunduran fisik maupun psikis. Sedangkan bila dilihat dari tingkat

kemndiriannya yang dinilai berdasarkan kemampuan untuk melakukan aktifitas

sehari – hari. Kurang imobilitas fisik merupakan masalah yang sering dijumpai

pada pasien lanjut usia akibat berbagai masalah fisik, psikologis, dan lingkungan

yang di alami oleh lansia. Imobilisasi dapat menyebabkan komplikasi pada

hampir semua sistem organ. Kondisi kesehatan mental lanjut usia menunjukkan

bahwa pada umumnya lanjut usia tidak mampu melakukan aktifitas sehari – hari

(Malida, 2011).

Penyebab lansia kurang mandiri salah satunya timbulnya berbagai penyakit

pada lansia salah satunya rheumatoid arthritis merupakan peradangan sendi kronis

yang disebabkan oleh gangguan autoimun. Gangguan autoimun terjadi ketika sistem

kekebalan tubuh yang berfungsi sebagai pertahanan terhadap mikroorganisme

terganggu seperti virus, bakteri, jamur, dan dapat menyerang sel dalam jaringan

tubuh sendiri. Penyakit rheumatoid arthritis (rematik) merupakan sistem imun

gagal membedakan jaringan sendiri dengan benda asing, sehingga menyerang

jaringan tubuh sendiri, khususnya jaringan sinovium yaitu selaput tipis yang

melapisi sendi. Hasilnya dapat menyebabkan sendi bengkak, yang biasa mengalami

pembengkakan serta kelemahan adalah sendi bagian jari, pergelangan tangan, bahu,

lutut, dan kaki. (Haryono & Setianingsih, 2013).


Menurut WHO data penderita gangguan sendi di Indonesia pada tahu

2016 mencapai 81% dari populasi, hanya 24% yang pergi kedokter, sedangkan

71% nya cenderung langsung mengkonsumsi obat-obatan pereda nyeri yang

terjual bebas. Angka ini menempatkan Indonesia sebagai Negara yang paling

tinggi menderita gangguan sendi jika dibandingkan Negara-negara di Asia

lainnya seperti Hongkong, Malaysia, Singapura, dan Taiwan. Faktor-faktor yang

mempengaruhi penyakit sendi adalah umur, jenis kelamin, genetik, obesitas dan

penyakit metabolic, cedera sendi, pekerjaan dan olah raga (Riskesdas, 2018).

Hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2018 untuk penyakit sendi

secara nasional pravalensinya berdasarkan diagnosis dokter umur 65-74 tahun

(18.6%), umur >75 tahun (18.9%), berdasarkan jenis kelamin laki-laki (6.1%)

perempuan (8.9%). 1 Penyakit sendi tertinggi tahun 2018 adalah Aceh (13.3%),

diikuti bengkulu (12%), papua (10.3%), dan bali (11.7%). Prevalensi penyakit

sendi berdasarkan diagnosis dokter menurut karakteristik tertinggi adalah

tidak/belumpernah sekolah (13.7%) dan petani/buruh tani (9.90%)..

Pola 10 penyakit terbanyak di Provinsi Jambi pada tahun 2017

menunjukkan bahwa dari total kasus sebanyak 844.656 kasus, penyakit

Nasopharingitis Akut pada urutan pertama dengan jumlah kasus sebanyak

20,57% (173.726 kasus). Diikuti dengan penyakit Ispa dan Hipertensi sedangkan

penyakit sistim otot atau sendi berada di urutan sepuluh dengan jumlah kasus

sebnyak 4,68% (39.230 kasus). Kasus ini mengalami penurunan (0,15%) pada
tahun 2016 dengan kasus sebanyak 4,83%. (Riskesdas Dinas Kesehatan Kota

Jambi 2018)

Data Dinas Kesehatan Kota Sungai Penuh melaporkan bahwa kasus

rematik pada tahun 2018 menduduki peringkat ke 6 dari 10 penyakit terbanyak

di Kota Sungai Penuh, namun pada tahun 2019 kasus rematik meningkat

sehingga menempati urutan ke-4 dari 10 penyakit terbanyak dengan jumlah 4.168

kasus. (Laporan Tahunan Dinkes Kota Sungai Penuh 2018-2019). Sedangkan

Puskesmas Koto Baru dari 10 penyakit terbanyak yang ada di Puskesmas Koto

Baru ispa merupakan penyakit dengan urutan pertama, diikuti Gastritis

sedangkan reumatoid Artritis ada diurutan ketiga dan yang keempat penyakit

Hipertensi (UPTD Puskesmas Koto Baru Tahun 2019).

Rheumatoid arthritis mengalami nyeri sendi membuat penderita sering kali

takut untuk bergerak sehingga mengganggu aktivitas sehari-harinya. Rheumatoid

arthritis ialah penyakit degeneratif yang dapat menurunkan produktivitas usia

lanjut. Penurunan produktivitas usia lanjut terjadi karena penurunan fungsi organ

sehingga akan menyebabkan kelompok usia lanjut mengalami penurunan

kemampuan muskuloskeletal karena nyeri sendi dapat juga menurunkan aktivitas

fisik, sehingga akan mempengaruhi lansia dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari

seperti makan, minum, mandi, berpakaian dan lainnya dalam activiy daily living

(ADL) (Rohaedi, Putri, & Karimah, 2016). Rasa nyeri yang dirasakan oleh penderita

rheumatoid arthritis dari bagian sinovial sendi, sarung tendon, serta bursa yang
mengalami penebalan akibat dari radang serta adanya erosi tulang disekitar sendi

(Chabib, dkk, 2016).

The Internasional Association for the Study of Pain (2010), menyatakan

nyeri merupakan pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan

yang berhubungan dengan kerusakan jaringan atau potensial untuk terjadi

kerusakan jaringan. Nyeri Reumatoid Artritis merupakan nyeri yang disebabkan

oleh inflamasi. Nyeri Reumatoid Artritis ini akan bertambah berat pada pagi hari

saat bangun tidur membaik pada siang hari dan lebih berat pada malam hari.

Nyeri ini akan bertambah berat seiring dengan beratnya penyakit dan ambang

nyeri dari penderita. Makin bertambah berat penyakitnya maka akan semakin

bertambah pula rasa nyerinya (Isbagio, 2006).

Ada beberapa tingkatan nyeri, dikatakan nyeri ringan adalah apabila

tanda-tanda vital masih dalam batas normal, dan tampak meringis, nyeri sedang

apabila perubahan tanda-tanda vital,meringis dan memegang atau mengusap

bagian tubuh yang nyeri dan nyeri berat apabila menjerit kuat, tampak pucat,

sangat gelisah (Ester, 2007).

Rheumatoid artritis mengakibatkan peradangan pada lapisan dalam

pembungkus sendi. Penyakit ini berlangsung tahunan, menyerang berbagai sendi

biasanya simetris, jika radang ini menahun terjadi kerusakan pada tulang rawan

sendi dan tulang otot ligamen dalam sendi. Rheumatoid artritis menyerang
persendian seperti jari-jari tangan/kaki, pergelangan tangan, pergelangan kaki. 90

% keluhan utama rheumatoid artritis adalah nyeri sendi dan kaku sendi

(Sjahmien, Moehyi, 2012).

Walaupun penyebab rheumatoid arthritis masih belum diketahui secara

pasti, namun banyak faktor resiko yang dapat meningkatkan angka kejadian

rheumatoid arthritis. Diantaranya adalah faktor genetik, usia lanjut, jenis kelamin

perempuan, faktor sosial ekonomi, faktor hormonal, etnis, dan faktor lingkungan

seperti merokok, infeksi, faktor diet, polutan dan urbanisasi (Tobon et al,2009).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Wagiarti, d.l pada tahun 2013

dengan judul “Hubungan Nyeri dengn Pemenuhan Kebutuhan Activity Od Daily

Living (ADL) pada lansia yang mengalami Reumatoid Artritis” dengan hasil

analisa pengukuran tingkat kemandirian dalam pemenuhan ADL, hasil penelitian

di dapatkan bahwa 33 lansia (55,0%) mengalami nyeri ringan, 23 lansia (45,0%)

nyeri sedang dan 10 lansia (68,3%) nyeri berat. Disertai dengan tingkat

kemandirian 41 lansia (68,3%). Uji korelasi Chi Square dengan α=0,05 diperoleh

hasil bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara nyeri Reumatoid Artritis

terhadap pemenuhan kebutuhan Activity Od Daily Living (ADL) pada lansia di

Desa Lerep Kecamatan Ungaran Barat nilai p=0,005.

Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Chintyawati, c. (2014),

menunjukkan bahwa 20 responden (51,3%) mengalami nyeri rendah disertai


tingkat kemandirian yang tinggi, dan 19 responden (48,7%) mengalami nyeri

tinggi disertai tingkat kemandirian rendah. Hasil uji statistik menggunakan uji

chi-square dengan α=0,05 diperoleh hasil bahwa terdapat hubungan yang

bermakna antara nyeri Reumatoid Artritis dengan tingkat kemandirian dalam

melakukan aktivitas sehari-hari pada lansia (p value=0,000).

Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kartini, dkk. (2018),

menunjukkan bahwa 20 responden (95%) berarti mayoritas responden mandiri

dan memiliki nyeri rendah. Hasil uji chi-square dengan α=0,05 di peroleh nilai p

value = 0,047 yang berarti terlihat ada hubungan yang bermakna antara nyeri

rheumatoid artritis dengan kemandirian lansia dalam melakukan aktivitas sehari-

hari.

Berdasarkan hasil survei awal yang peneliti lakukan di Poli Lansia

Puskesmas Koto Baru pada tanggal 6-8 Agustus 2020 terhadap 10 orang lansia

yang berobat ke Puskesmas Koto Baru didapatkan 4 orang mengalami kesulitan

dalam melakukan aktivitas sehari-hari seperti susah berjalan ke kamar mandi

dengan rentan skala nyeri adalah 7-9 (nyeri berat) sehingga tergantung kepada

anggota keluarga yang lain, sedangkan 3 diantaranya mengatakan tidak

terganggu dalam melakukan aktivitas sehari-hari dengan rentang skala nyeri 1-3

(nyeri ringan) sehingga tidak tergantung kepada anggota keluarga yang lain. Dari

10 orang lansia 7 orang perempuan diantaranya sering mengalami ngilu/nyeri

pada persendian tangan dan susah dalam melakukan ativitas sehari-hari, 2 orang
laki-laki mengatakan nyeri pada persendian kaki dan susah dalam melakukan

aktivitas seperti jalan kaki, suasah untuk berdiri akibat nyeri persendian, 1 orang

diantaranya tidak mengetahui tanda dan gejala serta cara mengatasi penyakit

rematik tersebut.

Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti tertarik melakukan penelitian

tentang hubungan tingkat nyeri dengan tingkat kemandirian dalam aktivitas

kehidupan sehari-hari pada lansia dengan penyakit Reumatoid Artritis di Poli

Lansia Koto Baru tahun 2020.

B. Rumusan Masalah

Berdasakan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah Apakah ada hubungan tingkat nyeri dengan tingkat

kemandirian dalam aktivitas kehidupan sehari-hari pada lansia dengan penyakit

Reumatoid Artritis di Poli Lansia Puskesmas Koto Baru tahun 2020.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui hubungan tingkat nyeri dengan tingkat kemandirian dalam

aktivitas kehidupan sehari-hari pada lansia dengan penyakit Reumatoid Artritis

di Poli Lansia Puskesmas Koto Baru tahun 2020.


2. Tujuan Khusus

1. Mengetahui distribusi frekuensi tingkat nyeri Reumatoid Artritis pada

lansia di Poli Lansia Puskesmas Koto Baru tahun 2020.

2. Mengetahui distribusi frekuensi tingkat kemandirian dan tidak mandiri

dalam aktivitas kehidupan sehari-hari Pada Lansia di Poli Lansia

Puskesmas Koto Baru tahun 2020.

3. Mengetahui hubungan tingkat nyeri reumatoid arthritis dengan tingkat

kemandirian dalam aktivitas sehari-hari Pada Lansia di Poli Lansia

Puskesmas Koto Baru tahun 2020.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Institusi Pendidikan

Sebagai bahan masukan bagi institusi pendidikan dalam pengembangan

ilmu pengetahuan dibidang Keperawatan Gerontik.

2. Bagi Pelayanan Kesehatan atau Puskesmas

Sebagai masukan bagi pimpinan, petugas kesehatan dan kader yang diperoleh

dari hasil penelitian ini agar dapat meningkatkan pelayanan kepada

masyarakat khususnya terkait dengan upaya meningkatkan kemandirian lansia

dalam pemenuhan ADL dengan Reumatoid Artritis.

3. Bagi Peneliti
Agar dapat menambah pengalaman pembelajaran dibidang penelitian, dan

mengembangkan ilmu keperawatan Gerontik yang telah di pelajari selama

perkuliahan.

4. Bagi Peneliti Selanjutnya

Sebagai bahan atau sumber untuk penelitian selanjutnya, dan mendorong bagi

yang berkepentingan untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang

permasalahan tingkat kemandirian lansia.

E. Ruang Lingkup Peneliti

Peneliti ini membahas tentang hubungan tingkat nyeri dengan tingkat

kemandirian dalam aktivitas kehidupan sehari-hari pada lansia dengan penyakit

Reumatoid Artritis di Poli Lansia Puskesmas Koto Baru, yang menjadi variabel

independen (tingkat nyeri reumatoid) dan variabel dependen (tingkat

kemandirian pada lansia). Penelitian ini akan dilaksakan pada bulan September di

Poli Lansia Puskesmas Koto Baru. Pendekatan yang digunakan adalah Cross

Sectional Study. Populasi dalam penelitian ini adalah lansia yang menderita nyeri

Reumatoid di Poli Lansia Puskesmas Koto Baru berjumlah 42 orang. Teknik

pengambilan sampel adalah Total sampling. Hasil penelitian dianalisis secara

univariat dengan menggunakan deskriptif analitik dan analisa bivariat

menggunakan uji chi-square.

Anda mungkin juga menyukai