Anda di halaman 1dari 12

KONSEP PENYEBAB PENYAKIT

Disusun oleh:
Marisa (1734005)
Berti Betrandas Rosari Ngole (1734013)
Distri Anggraini (1734024)

Dosen Pembimbing:
Margaretha Haiti, S.Pd, S.Kep.,M.Kes

PROGRAM STUDI DIV TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS KATOLIK MUSI CHARITAS
PALEMBANG
2020
A. Pengertian sakit dan manifestasi penyakit
1. Sakit
Sakit adalah kegagalan dari mekanisme adaptasi suatu organisme untuk
bereaksi secara tepat terhadap rangsangan atau tekanan sehingga timbullah
gangguan pada fungsi atau struktur dari bagian organ atau sistem dari tubuh.
Seseorang dikatakan sakit apabila ia menderita penyakit menahun (kronis), atau
gangguan kesehatan lain yang menyebabkan sakit (istilah sehari-hari) seperti
masuk angin, pilek, tetapi bila ia tidak terganggu untuk melaksanakan
kegiatannya, maka ia dianggap tidak sakit. Pengertian sakit menurut etiologi
naturalistik dapat dijelaskan dari segi impersonal dan sistematik, yaitu bahwa sakit
merupakan bahwa sakit merupakan suatu keadaan atau suatu hal yang disebabkan
oleh gangguan terhadap sistem tubuh manusia (Wahyuni Rajab et al., 2019)

2. Manifestasi penyakit
Manifestasi penyakit adalah proses memproyeksikan sesuatu dengan melihat
tanda dan gejala dari suatu penyakit tersebut (Denta, 2015).

B. Prinsip umum terjadinya penyakit


Pada abad ke XVI setelah masehi , yaitu pada zaman renaisans muncul
fracostorius di prancis yang meneruskan metode induktif Hippocrates. Dengan
metode ini ia menemukan prinsip kekhususan penyakit, yaitu setiap penyakit
disebabkan oleh benih yang khusus yang disebut semenaria. Benih inilah yang
diidentifikasi kemudian sebagai organisme yang menyebabkan penyakit (Lapau &
Birwin, 2017).

C. Sejarah perkembangan penyebab penyakit


Perkembangan epidemiologi melibatkan banyak pemain kunci untuk
memahami penyakit, cedera akibat penyakit dan kematian akibat penyakit.
Pemahaman ini diperoleh dari perspektif ilmiah melaluia observasi dan kajian-kajian
ilmiah lainnya. Perkembangan awal epidemiologi berjalan lambat, penegasan awal
konsep epidemiologi ditandai dengan adanya pemikiran Hipocrates (460-377 SM)
pertama kali mencoba menjelasnya penyebab penyakit secara rasional. Hipocrates
dalam bukunya mengemukakan sebuah konsep tentang hubungan kejadian penyakit
dengan berbagai faktor diantaranya tempat (geografi), penyediaan air bersih, kondisi
iklim, pola makan dan kondisi perumahan. Selain itu, Hipocrates juga telah menulis
tentang peran lingkungan terhadap kejadian penyakit, termasuk didalamnya musim,
air dan angin. Epidemic I, Epidemic III dan On Airs, Water and Places merupakan
karya Hipocrates yang menggambarkan kejadian penyakit secara rasional, tidak hanya
berbasis pada kejadian supranatural. Inilah alasan Hipocrates dianggap sebagai
epidemiolgis pertama. Banyak penemuan Hipocrates yang dituliskan dalam buku-
bukunya, namun hal essensial yang dituliskan mencangkup observasi terkait
bagaimana penyakit menginfeksi masyarakat dan bagaimana cara penyebarannya.
Dengan kata lain Hipocrates telah melihat bahwa distribusi frekuensi penyakit
tidaklah merata dan sangat ditentukan variabel waktu, tempat dan atribut orang dan
faktor lingsungan lain. Semua faktor ini dapat mempengaruhi terjadinya suatu
penyakit meskipun bukan sebagai determinan utama kejadian penyakit (Pitriani &
Herawanto, 2019).
Epidemiologi modern di mulai pada Abad ke 19, ciri kajian ini ditandai
dengan adanya pengamatan klinik lebih cermat, perhitungan kasus-kasus dengan tepat
dan jelas, dan terdapat hubungan antara kasus dan sifat populasi yang merupakan
tempat terjadinya kasus tersebut. Era epidemiologi modern ditandai terutama oleh jasa
John Snow yang sekaligus di anggap sebagai bapak epidemiologi lapangan. 20 tahun
sebelum pengembangan mikroskop, John Snow telat melakukan studi terkait wabah
kolera di Golden Square London untuk menemukan penyebab penyakit dan mencegah
wabah merebak kembali. Ignaz Semmelweis, Louis Pasteur, Robert Koch dan lainnya
juga memberikan konstribusi penting terhadap perkembangan epidemiologi saat ini.
Penerapan metode epidemiologi dalam penyelidikan terjadinya penyakit dimulai sejak
pertengahaan hingga akhir tahun 1800 an. Pada saat itu, sebagian besar peneliti
berfokus pada penyakit menular. Selanjutnya, pada 1940 an ahli epidemiologi mulai
memperluas metode kajian ke arah kejadian penyakit tidak menular, dan terus
berkembang hingga diterapkan pada selururh berbagai kajian bidang kesehatan
perilaku dan bahkan pengetahuan dan sikap (Pitriani & Herawanto, 2019).

D. Konsep single causation


Konsep Single Causation merupakan konsep penyebab tunggal. Pemikiran
para ahli menuntut bahwa pada tiap penyakit harus dapat ditemukannya penyebab
(kuman) yang spesifik untuk penyakit yang diderita seseorang. Contoh Robert Koch
berhasil menemukan basil Tuberculosis sebagai penyebab penyakit tuberkulosa
sehingga terkenal dengan Postulat Henle Koch. Postulat Henle Koch menyatakan
bahwa bibit penyakit dapat menyebabkan penyakit apabila memenuhi 4 syarat:
a. Kuman harus ada pada setiap kasus dan dibuktikan melalui kultur (faktor yang
diperlukan)
b. Kuman tersebut tidak ditemukan pada kasus kasus yang disebabkan oleh
penyakit lain (sufficcient factor)
c. Kuman harus dapat menimbulkan penyakit yang sama pada binatang percobaan,
atau dari binatang percobaan dapat ditemukan kuman yang dimaksud (spesifitas
efek)
d. Adanya faktor yang berkontribusi dan berperan dalam timbulnya penyakit,
misalnya kondisi umum, daya tahan, dan lain lain (faktor kontributor)

Pada perkembangan penyakit pada masanya konsep penyebab tunggal mulai


ditinggalkan karena banyak orang menyadari bahwa berkembangnya penyakit tidak
dapat dijelaskan hanya dengan mengenali jenis kumannya saja, diperlukan faktor
lain yang turut memengaruhi sehingga dikenal konsep atau model penyebab
majemuk (multiple causation) (Wahyudin Rajab, 2009)

E. Konsep single multiple causation


Konsep Multiple Causation merupakan model yang sering digunakan dalam
melihat terjadinya penyebab penyakit. Penyebab penyakit terdiri dari berbagai faktor
yang majemuk, faktor atau komponen tersebut saling terkait dan membentuk jaringan
sebab-akibat (web of causation) yang cukup rumit (Wahyudin Rajab, 2009).

F. Konsep ekologis
Konsep Terjadinya Penyakit
Konsep Segitiga / Trias Epidemiologi
Pengertian penyebab penyakit dalam epidemiologi berkembang dari rantai
sebab akibat ke suatu proses kejadian penyakit, yakni proses interaksi antara penjamu
(host), dengan penyebab (agent) serta dengan lingkungan . proses interaksi ketiga
unsur tersebut disebut juga dengan trias epidemiologi. Trias epidemiologi menjadi
konsep dasar epidemiologi yang memberikan gambaran tentang hubungan antara 3
faktor utama yang berperan dalam terjadi penyakit dan masalah kesehatan lainnya. 4
kemungkinan terjadinya sakit karena interaksi host, agent, dan envioronment terlihat
pada gambar berikut :

Pada keadaan 1 terlihat bahwa agent memberatkan keseimbangan sehingga


batang pengungkit miring ke arah agent. Pemberatan egent dalam keseimbangan
diartikan agent dapat dengan mudah menimbulkan penyakit pada host. Dengan kata
lain keadaan ini menunjukan adanya peningkatan kesanggupan agent dalam
menyebabkan penyakit. Contoh : mutasi virus influenza menjadi virus baru seperti
virus H5N1 atau virus yang menyebabkan flu burung. Ketika terdapat virus bar
populasi yang belum membentuk imun terhadap virus tersebut terpapar maka
sebagian besar akan menimbulkan sakit (Efendi & Makhfudli, 2009).

Keadaan 2 terjadi apabila host memberatkan keseimbangan, sehingga


pengungkit miring kearah host. Keadaan seperti ini dimungkinkan apabila host
menjadi rentan terhadap suatu penyakit. Misalnya apabila sebuah penduduk menjadi
muda atau proporsi jumlah penduduk balita bertambah besar, maka sebagian besa
populasi menjadi relatif rentan terhadap pe yakit anak. Contoh lain : ketika asupan
gizi balita kurang maka balita akan mudah teraserang penyakit (Efendi & Makhfudli,
2009).

Keadaan 3 berbeda dengan keadaan 1, dalam hal baah penyebab


ketidakseimbangan disebabkan oleh bergeser titik tumpu. Hal ini menggambarkan
terjadinya pergeseran kualitas lingkungan sehingga agent memberatkan
keseimbangan. Keadaan seperti ini berarti bahwa pergeseran kualitas lingkungan
memudahkan agent memasuki tubuh host dan menimbulkan penyakit. Dengan kata
lain pergeseran lingkungan yang memungkinkan penyebaran penyakit , contoh :
lingkungan yang ktor menyebabkan agent hidup berkembang biak dengan baik
sehingga menimbulkan berbagai macam penyakit seperti diare, kolera, disentri dan
lainnya.
Keadaan 4 berbeda pula dengan keadaan 2, dalam hal ini penyebab
ketidakseimbangan disebabkan oleh bergesernya titik tumpu kualitas lingkungan
berubah, sehingga host memberatkan keseimbangan atau perubahan lingkungan yang
meningkatkan kerentanan host, contoh :terjadinya pencemaran udara CO yang masuk
kedalam saluran pernafasan menyebabkan saluran udara paru-paru menyempit dapat
menghambat asupan oksigen, sehingga dapat menyebabkan kelainan pada paru-paru
bahkan pada organ jantung (Efendi & Makhfudli, 2009).

G. Tipe hubungan kausal penyakit


Proses mempelajari serangkaian beberapa pendekatan kejadian luar biasa
(KLB) penyakit di komunitas melibatkan pengembangan hubungan sebab-akibat
( kausal) yang menghasilkan kesimpulan. Kausalitas atau hubungan kausal berkaitan
dengan hubungan sebab-akibat digunakan untuk memastikan bagaimana kejadian atau
lingkungan yang berbeda berhubungan satu sama lain dan bagaimana kejadian
tersebut bisa berhubungan , contohnya : bagaimana pajanan tertentu dapat
menyebabkan suatu penyakit atau menimbulkan kejadian luar biasa dalam suatu
populasi. Sepuluh kriteria atau tipe kausalitas diantaranya sebagai berikut (Nangih,
2019) :
1. Konsistensi
Jika variabel, faktor atau peristiwa yang sama muncul dan muncul lagi dalam
keadaan yang berbeda dan memiliki hubungan berulangan yang sama dengan
penyakit ( penduduk asli papua nugini yang memandang pria,wanita, ataupun
usianya yang selalu memakan otak kerabatnya yang sudah meninggal akan
memperlihatkan gejala penyakit kuru) (Nangih, 2019).
2. Kekuatan
Jika hubungan menunjukan bahwa faktor tertentu menyebabkan beberapa
penyakit atau KLB, penyakit mungkin terjadi akibat keberadaan satu faktor
dibandingakn keberadaan faktor atau pristiwa lain dan enyakit itu terjadi dalam
tahap yang lebih parah atau dalam jmlah yang lebih besar. Hasil pengamatan
dr.john snow dalam epidemic colera tahun 1854 memperlihatkan bahwa semakin
banyak bakteri kolera yang ada, maka semakin parah penyakit yang diderita dan
semakin besar kemungkinan terkena penyakit (Nangih, 2019).
3. Spesifitas
Jika hubungan sebab-akibat dari suatu KLB berhubungan secara khusus
dengan satu atau dua penyakit yang saling berkaitan. Hubungan sebab akibat itu
memang memiliki kemampuan menghasilkan hubungan negatif sejati, yang dalam
sebuah KLB, pengkajian sebab-akibat difokuskan kepada mereka yang tidak
terjadit penyakit . kelompok masyarakat dalam populasi selama KLB berlangsung
tampaknya ternasuk dalam meteka yang tidak terkena penyakit dn dikategorikan
sebagai populasi yang tidak terkena penyakit. Dalam sebuah studi tentang kanker
paru, hampir semua bukan perokok ditetapkan tidak mengidap kanker paru
(Nangih, 2019).
4. Hubungan waktu
Jika hubungan sebab akibat suatu kejadian atau pajanan secara logis terjadi
sebelum penyakit atau kondisi berkembang, faktor waktu dipertimbangkan.
Gigitan nyamuk terjadi sebelumnya dan mengakibatkan malaria (Nangih, 2019).
5. Kongruensi
Jika suatu hubungan sebab-akibat dicuurigai, apakah hubungan tersebut sesuai
dengan pengetahuan yang ada dan apakah observasi dan pengkajian yang logis
secara ilmiah masuk akal, misalnya makan daging ayam mentah, yang secara
alamiah sering terkontaminasi bakteri sallmonela, menyebabkan keracunan
makanan sallmonelosis (Nangih, 2019).
6. Sensitifitas
Jika terjadi KLB apakah analisis sebab-akibat mengandung kebenaran dan
apakah pengkajian memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi dengan benar
bahw amereka yang sakit karna penyakit, pada kenyataanya, memang sakit akibat
penyakit yang dicurigai. Contohnya : kelompok burung menjalalani skrining
kanker paru, sejumlah 50% kasus mengidap kanker paru dan disimpulkan bahwa
kanker paru berhubungan dengan merokok. Infestigasi selanjutnya
mengungkapkan bahwa 80% pekerja yang mengidap kanker paru yaitu pekerja
yang dalam gendung terisolasi oleh asbestos selama 3 tahun. Setelah menjalani
pemeriksaan abestosis, dipastikan bahwa kanker paru berhubungan dengan
pajanan asbestos (Nangih, 2019).
7. Biologi atau medis
Jika hubungan didasarkan pada virulensi patogen atau faktor risiko,
kemampuan untuk menyebabkan penyakit atau suatu kondisi ( hubungan respons
dosis), serta tingkat kerentanan host, hubungannya adalah kausal. Contohnya,
orang yang tidak divaksinasi dipajankan pada virus polio, kemudian akan
memperlihatkan gejala awal penyakit (Nangih, 2019).
8. Plausibilitas (kelogisan)
Hubungan harus dibuktikan sebagai hubungan kausal dan didasarkan pada
ilmu pengetahuan biologis, kedokteran, epidemiologi, dan pengetahuan ilmiah.
Analis logis yang didasarkan pada pengetahuan yang baru jangan sampai
mencampuri atau membatasi kausal yang jelas dan masuk akal. Contohnya,
konsumsi air yang mengandung bibit penyakit kolera akan menyebabkan
munculnya penyakit (Nangih, 2019).
9. Eksperimen dan penelitian
Pengetahuan dan kesimpulan tentang hubungan sebab-akibat yang didasarkan
pada penelitian dan eksperimen menambah bukti pendukung substansial dan
bobot sifat kausal dari hubungan tersebut. Contohnya, penelitian yang
meperlihatkan bahwa cacar air dapat dicegah melalui imunisasi (Nangih, 2019).
10. Faktor analogi
Jika hubungan yang sama ternyata bersifat kausal dan memperlihatkan sebab-
akibat, transfer pengetahuan harus berguna dan secara analogis hubungan tersebut
dapat dievaluasi sebagai hubungan kausal. Contohnya, pengamatan historis bahwa
vaksinasi dengan Cowpox dapat mencegah smallpox (Nangih, 2019).

H. Postulat Hill
Studi epidemiologi memiliki tujuan untuk mencari penyebab dari suatu
penyakit yang didasarkan pada asosiasi dengan berbagai macam faktor risiko. Untuk
membuat kesimpulan mengenai penyebab penyakit, pertama-tama perlu
mengklasifikasi arti kausalitas. Dalam hubungan kausal terdapat kriteria yang dapat
menunjukkan hubungan antara paparan dengan hasil dalam suatu penelitian.
Berdasarkan hasil review, kriteria kausal dalam farmakoepidemiologi meliputi
kekuatan, konsistensi, spesifisitas, temporalitas, gradien biologi, theoritical
plausability, coherence, bukti eksperimental dan analogi (Sholeh et al., 2016).
a. Kekuatan
Menggambarkan ukuran dari asosiasi yang telah diperhitungkan
dengan tepat efeknya, meliputi (perbedaan resiko, resiko relative, rasio odds).
Semakin kuat asosiasi maka semakain besar pula kemungkinan hubungan
kausalitasnya. Contohnya resiko penderita kanker paru meningkat pada
perokok dibanding yang tidak merokok.
b. Konsistensi
Mengacu apakah asosiasi yang diamati memiliki keterulangan
pengamatan pada subjek dan lingkungan yang berbeda. Semakin konsisten
pengamatan pengamatan lain yang dilakukan pada populasi dan lingkungan
yang berbeda semakin kuat pula hubungan kausal. Dan dari konsistensi ini
dapat memberikan jaminan bahwa asosiasi bukan karena kebetulan atau bias
sistematik. Contohnya penelitian dengan metode yang berbeda (prospektif dan
retrospektif) membuktikan hal yang sama, meskipun berbeda populasinya.
c. Spesifisitas
Mengacu apakah paparan mengarah ke hasil tertentu. Faktor kausal
menghasilkan hanya sebuah penyakit dan bahwa penyakit tersebut dihasilkan
dari sebuah kausa tunggal. Semakin spesifik efek paparan semakin kuat
hubungan kausal. Contohnya campuran kompleks bahan kimia (misalnya, asap
tembakau) biasanya kurang spesifik ketika menggunakan desain studi
epidemiologi klasik, karena beberapa penyakit mendapatkan hasil dari
paparan. Namun, ada kemungkinan bahwa integrasi data dapat menjelaskan
beberapa kekhususan mekanistis antara beberapa variasi penyakit yang terkait
dengan campuran karsinogenik komplek.
d. Temporalitas
Untuk mengetahui sebuah faktor merupakan kausa penyakit, maka
harus dipastikan paparan terhadap faktor itu berlangsung sebelum terjadinya
penyakit. Contohnya pada kasus kanker paru paru sebagian besar didahului
oleh merokok.

e. Gradient biologi
Perubahan intensitas paparan yang selalu diikuti oleh perubahan
frekuensi penyakit meningkatkan kesimpulan hubungan kausal. Contohnya
acetaminophen menginduksi hepatotoksisitas dapat memenuhi kriteria ini,
dengan dosis yang lebih tinggi sesuai dengan memburuk resiko dari kegagalan
hati
f. Theoritical plausibility
Perubahan intensitas paparan yang selalu diikuti oleh perubahan
frekuensi penyakit meningkatkan kesimpulan hubungan kausal. Keyakinan
hubungan kausal semakin kuat apabila dapat dijelaskan dengan rasional dan
berdasarkan teori atau konseptual [3]. Contohnya teori biologi menyatakan
bahwa merokok dapat membuat jaringan tubuh rusak yang jika terus menerus
dapat menyebabkan terjadinya kanker.
g. Coherence
Berbagai bukti yang tersedia tentang riwayat alamiah, biologi dan
epidemiologi penyakit harus koheren satu sama lain sehingga membentuk
pemahaman yang serupa. Contohnya kesimpulan merokok dapat
menyebabkan kanker paru paru berdasarkan teori biologi dan proses
perjalanan penyakit.
h. Bukti eksperimental
Eksperimen terandomisasi dengan Multivariate Models pada subjek
penelitian dan pemberi perlakuan agar tidak mengetahui status perlakuan
memberikan bukti kuat hubungan kausa. Kriteria ini mengacu apakah ada
bukti pada manusia atau spesies lain untuk menguatkan koneksi. Contohnya
pada pengujian isotretinoinatau senyawa sejenis pada hewan uji, yang
sebenarnya mekanisme dari isotretinoin ini sebagian tidak diketahui, sehingga
dilakukan uji eksperimental dan didapatkan hasil bahwa tidak adanya obat
penawar untuk kasus tersebut.
i. Analogi
Kriteria analogi kurang tepat karena tidak spesifik mengingat mampu
mencetuskan banyak gagasan analogis, sehingga menyebabkan analogi tidak
spesifik lagi Contohnya pada analisis inflammatory bowel disease (IBD)
menyatakan bahwa tidak diketahui obat pemicu dari inflammatory bowel
disease (IBD) yang menggambarkan analogi, dan tidak ada senyawa retinoid
lainnya yang dapat dikaitkan dengan IBD (Sholeh et al., 2016)
DAFTAR PUSTAKA

Denta, A. (2015). Metode Ilmiah Yang Ampuh untuk Mewujudkan Segala Keinginan Anda
Melalui Penyelarasan Diri Dengan Tujuan Mulia. Sunrise.

Efendi, F., & Makhfudli. (2009). Keperawatan Kesehatan Komunitas Teori dan Praktik
dalam Keperawatan. Salemba Medika.

Lapau, B., & Birwin, A. (2017). Prinsip & Metode Epidemiologi. KENCANA.

Nangih, M. G. (2019). Dasar Epidemiologi. Depublish.

Pitriani, & Herawanto. (2019). Buku Ajar Epidemiologi Kesehatan Lingkungan. CV Nas
Media Pustaka.

Rajab, Wahyudin. (2009). Buku Ajar Epidemiologi untuk Mahasiswa Kebidanan. EGC.

Rajab, Wahyuni, Yudiya, F., & Fauziah. (2019). Konsep Dasar Keterampilan Kebidanan.
WINIEKA MEDIA.

Sholeh, N. R., Alfian, S. D., Farmasi, F., & Padjadjaran, U. (2016). ARTIKEL REVIEW:
KAUSALITAS DALAM FARMAKOEPIDEMIOLOGI. 14(2), 219–231.

Anda mungkin juga menyukai