Anda di halaman 1dari 9

MANAJEMEN RISIKO BENCANA

A. Pengertian dan Tujuan


Manajemen risiko bencana (disaster risk management) adalah proses
pengelolaan yang sistematis dan terencana dalam penerapan strategi dan kebijakan
penanggulangan bencana dengan menekankan pada aspek-aspek pengurangan
risiko bencana. Perhatian utamanya adalah mencegah atau mengurangi dampak
bencana melalui serangkaian kegiatan dan tindakan pencegahan, mitigasi, dan
kesiapsiagaan. Tujuan umum dari manajemen risiko bencana adalah mengurangi
faktor-faktor yang mendasari munculnya risiko serta menciptakan kesiapsiagaan
terhadap bencana. Menurut Syarief dan Kondoatie (2006) mengutip Carter
(2001), manajemen risiko bencana adalah pengelolaan bencana sebagai suatu ilmu
pengetahuan terapan (aplikatif) yang mencari, dengan melakukan observasi secara
sistematis dan analisis bencana untuk meningkatkan tindakan-tindakan
(measures), terkait dengan pencegahan (preventif), pengurangan
(mitigasi)persiapan, respon darurat dan pemulihan. Manajemen dalam bantuan
bencana merupakan hal-hal yang penting bagi Manajemen puncak yang meliputi
perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), kepemimpinan
(directing), pengorganisasian (coordinating) dan pengendalian (controlling).
Tujuan dari Manajemen Risiko Bencana di antaranya:
1. Mengurangi atau menghindari kerugian secara fisik, ekonomi maupun
jiwa yang dialami oleh perorangan atau masyarakat dan negara.
2. Mengurangi penderitaan korban bencana.
3. Mempercepat pemulihan.
4. Memberikan perlindungan kepada pengungsi atau masyarakat yang
kehilangan tempat ketika kehidupannya terancam.
Manajemen risiko bencana terdapat tiga aspek yang menjadi perhatian,
yakni pencegahan bencana, mitigasi bencana, dan kesiapsiagaan bencana.
Pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan sebagai upaya
untuk menghilangkan dan/atau mengurangi ancaman bencana, sementara mitigasi
merupakan serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui
pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi
ancaman bencana. Kesiapsiagaan diartikan sebagai serangkaian kegiatan yang
dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui
langkah yang tepat guna dan berdaya guna. Dalam kesiapiagaan ini juga terdapat
peringatan dini yaitu serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera
mungkin kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencana pada suatu
tempat oleh lembaga yang berwenang. Proses sistematis manajemen risiko
bencana tersebut meliputi pengenalan dan pemantauan risiko bencana,
perencanaan partisipatif penanggulangan bencana, pengembangan budaya sadar
bencana, peningkatan komitmen terhadap pelaku penanggulangan bencana, serta
penerapan upaya fisik, nonfisik, dan pengaturan penanggulangan bencana.
Manajemen risiko bencana meliputi pengaturan pemanfaatan ruang (pemetaan
daerah rawan), keteknikan (rekayasa teknis teradap infrastruktur), pendidikan dan
pemberdayaan, serta kesiapan secara kelembagaan.
Perspektif disaster disk management merupakan perkembangan dari cara
pandang lama terhadap bencana. Jika sebelumnya bencana dilihat sebagai sebagai
kejadian tiba-tiba yang tidak bisa diprediksi, yang mengakibatkan kerusakan
serius bagi masyarakat atau sekelompok masyarakat tertentu, kini bencana
dipandang sebagai sebuah fase dalam satu siklus kehidupan normal manusia yang
dipengaruhi dan mempengaruhi keseluruhan kehidupan itu sendiri. Bencana,
dengan demikian, bukan semata-mata dilihat sebagai kejadian mendadak yang
disebabkan oleh gejala alam, namun juga kejadian yang berlangsung secara
bertahap akibat salah urus manusia. Pembangunan diletakkan sebagai kondisi dan
konteks terjadinya bencana, karena itu penanganan bencana perlu diintegrasikan
sebagai proses yang teratur dan terarah untuk mencegah, mengurangi dampak,
serta mengantisipasi risiko bencana yang mungkin terjadi. Penanganan bencana
juga tidak lagi dipandang sebagai rangkaian tindakan yang terbatas pada keadaan
darurat, namun menjadi manajemen resiko sehingga dampak buruk dari suatu
kejadian bencana dapat dikurangi atau dihilangkan sama sekali. Secara sederhana
dapat digambarkan bahwa manajemen risiko bencana meliputi hal-hal Sebelum
Bencana (yakni program-program pembangunan, penilaian risiko, pencegahan,
mitigasi kesiapsiagaan, dan peringatan dini), Tanggap Bencana (meliputi tindak
evakuasi, menyelamatkan manusia dan matapencaharian, bantuan darurat,
penghitungan kerusakan dan kerugian, dan Pasca Bencana (meliputi bantuan,
rekontruksi, pemulihan sosial ekonomi, kegiatan pembangunan, dan penilaian
risiko).
Menurut Agus Rahmat (2006:12) Manajemen Risiko Bencana merupakan
seluruh kegiatan yang meliputi aspek perencanaan dan penanggulangan bencana,
pada sebelum, saat, dan sesudah terjadi bencana yang dikenal sebagai siklus
Manajemen Risiko Bencana yang bertujuan antara lain:
1. Mencegah kehilangan jiwa seseorang
2. Mengurangi penderitaan manusia.
3. Memberikan informasi kepada masyarakat dan juga kepada pihak yang
berwenang mengenai risiko.
4. Mengurangi kerusakan insfrastruktur utama, harta benda dan kehilangan
sumber ekonomis lainnya
B. Kebijakan tentang Manajemen Risiko Bencana
Manajemen bencana adalah proses yang berkesinambungan dan terpadu
dimulai dari perencanaa, pengorganisasian, koordinasi dan langkah-langkah yang
perlu dilakukan antara lain: 1) Pencegahan dari bahaya atau ancaman bencana, 2)
Mitigasi atau pengurangan risiko bencana terhadap berbagai bencana, keparaham
dan konsekuensinya, 3) Peningkatan kapasitas, 4) Kesiapsiagaan terhadap
berbagai macam bencana, 5) Respon cepat terhadap situasi bencan maupun
bencana yang mengancam, 6) Menilai keparahan atau besarnya efek yang
ditimbulkan akibat bencana, 7) Evakuasi adalah prose penyelamatan dan
pemberian bantuan, dan 8) Rehabilitasi dan rekonstruksi (The DM Act, 2005).

Gambar 1. Siklus Manajemen Bencana (National Disaster Management Plan,


2016)
Menurut Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 7 Tahun 2013,
tahapan dalam pelaksanaan penanggulangan bencana diklasifikasikan menjadi
tiga, yaitu:
1. Tahap prabencana
Tahapan awal suatu bencana atau warning phase, informasi tentang
keadaan lingkungan akan diperoleh dari badan meterologi cuaca. Pada fase
ini seluruh pihak berkontibusi secara langsung baik dari pemerintahan,
lembaga, dan masyarakat (Santamaria (1995) dalam Efendi & Makhfuldi
(2009). Kegiatan yang dilakukan saat tahapan prabencana antara lain: a)
Kesiapan, b) Peringatan Dini, dan 3) Mitigasi. Ketiga kegiatan tersebut
bertujuan untuk menciptakan lingkungan, manusia, administratif
(penyusunan tata ruang, perijinan, dan pelatihan), serta budaya yang siap
jika suatu saat terjadi bencana (Haryanto, 2012).
2. Tahap saat bencana
Fase ini adalah fase puncak terjadinya bencana, seluruh masyarakat
berusaha untuk menyelamatkan diri dan bertahan hidup (survive) untuk
memnuhi kebutuhan. Kejadian bencana akan terus berlangsung sehingga
terjadi kerusakan secara fisik maupun non fisik dan bantuan darurat segera
diberikan (Santamaria (1995) dalam Efendi&Makhfuldi (2009). Kegiatan
yang dilakukan saat terjadi bencana yaitu melakukan pengkajian secara
cepat dan tepat terhadap lokasi yang terdampak bencana, melakukan
evakuasi secara cepat terhadap korban serta kelompok rentan, menentukan
status keadaan darurat bencana, dan pemulihan segera terkait sarana dan
prasarana (Muhammad, dkk. 2012).
3. Tahap pasca bencana
Fase ini adalah dimulainya proses perbaikan akibat bencana, masyarakat
kembali hidup normal dan beraktifitas untuk menumbuhkan kembali rasa
sosial antar masyarakat. Respon psikologis yang diterima masyarakat pasca
bencana adalah penolakan, marah, tawar-menawar, depresi, dan
penerimaan (Santamaria (1995) dalam Efendi&Makhfuldi (2009).Pada
pasca bencana peran pemerintah, organisasi masyarakat, dan warga yang
tidak terkena bencana sangat diperlukan dalam tahap pasca bencana,
terutama pada fase rehabilitasi dan rekonstruksi. Proses rehabilitasi
menekanan pada pemulihan masyarakat yang terdampak bencana dan
lingkungan sekitar, sedangkan tahap rekonstruksi lebih menekanan pada
pembangun pada sektor ekonomi, sosial, sarana, prasarana, peningkatan
pelayanan, serta merancang bangunan yang tepat guna (Muhammad, dkk.
2012).
Pengurangan resiko bencana merupakan perubahan wujud paradigma
penanggulangan bencana secara konvensional menjadi pendekatan holistik, tidak
hanya menekankan pada aspek tanggap darurat namun secara keseluruhan
manajemen resiko.Tujuan dari penyelenggaraan penanggulangan bencana untuk
meminimalisir dampak buruk yang mungkin timbul yang dilaksanakan sebelum
bencana terjadi (Efendi & Makhfudli, 2009). Undang-Undang RI No. 2 Tahun
2007 Pasal 35 Ayat 1 Tentang Penanggulangan Bencana menerangkan bahwa
pengurangan risiko bencana adalah suatu kegiatan yang dilakukan untuk
mengurangi dampak buruk yang mungkin timbul, terutama dilakukan dalam
situasi sedang tidak terjadi bencana.
Pengurangan risiko bencana upaya meminimalisir jumlah korban dan
kerusakan melalui perencanaan sesuai dengan langkah-langkah, prosedur, dan
aplikasi yang maksimal dalam menghadapi bencana (Benson (2009) dalam
Susanti, Sari, Milfayetty, Dirhamsyah (2014)). Pengurangan risiko bencana (PRB)
bertujuan untuk mengurangi permasalahan sosial-ekonomi yang akan muncul
setelah terjadi bencana, menangani bahaya-bahaya yang akan muncul, dan
memastkan bahwa kebijakan dan program yang diterapkan tidak akan menambah
maupun meningkatkan risiko (Twigg, 2015).Meminimalisir risiko yang
diakibatkan oleh bencana, dalam pengurangan risiko bencana masyarakat berperan
penting untuk membangun keamanan serta pemenuhan kebutuhan masyarakat.
Keterlibatan masyarakat dalam kegiatan ini disebut dengan pengurangan risiko
bencana berbasis masyarakat (PRBBK) yang merupakan internalisasi dari PRB
(Paripurno (2006) dalam United Nations Development Programme and
Government of Indonesia , (2012)).
Komponen-komponen dalam proses pengurangan risiko bencana (PRB)
menurut UNISDR (2015), yaitu:
a. Kesadaran penilaian risiko, yang didalamnya terdapat analisis ancaman
serta analisis kapasitas dan kerentanan
b. Meningkatkan pengetahuan melalui pendidikan, pelatihan, penelitian, dan
informasi Terdapat komitmen kebijakan dan kerangka kelembagaan,
seperti organisasi, kebijakan, legislasi dan aksi komunitas
c. Melakukan pengelolaan lingkungan, tata guna lahan, perencanaan
perkotaan, proteksi fasilitas-fasilitas sosial, penerapan ilmu dan teknologi
(penerapan ilmu dan teknologi dapat mengurangi risiko bencana gunung
api), kemitraan jejaring, dan instrumen keuangan
d. Peringatan dini sebagai alat prakiraan, sebaran peringatan, ukuran-ukuran
kesiapsiagaan, dan kapasitas respons

C. Kegiatan dalam Manajemen Risiko Bencana


Pemerintah Indonesia secara resmi dan legal menangani pengelolaan
bencana dengan membentuk Badan Koordinasi Nasional (Bakornas). Tugas
Bakornas adalah merumuskan dan menetapkan kebijakan, mengkoordinasikan
pelaksanaan serta memberikan standard dan pengarahan terhadap upaya
penanggulangan bencana. Bakornas menangani kordinasi upaya bantuan dan
penyelamatan darurat (emergency rilief and rescue) bekerjasama dengan Menteri
Koordinasi Kesejahteraan Rakyat, Menteri Sosial, Menteri Perhubungan, Militer,
pemda serta institusi swasta. Manajemen Risiko Bencana di Indonesia pada tingkat
nasional ditangani oleh Badan Koordinasi Nasional (BAKORNAS) atau The
National Management Agency. Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan
Bencana (Bakornas PB) merupakan wadah koordinasi antar departemen di tingkat
pusat. Organisasi ini di bentuk berdasarkan Perpres No. 83 Tahun 2005, yang
dipimpin oleh Wakil Presiden selaku Ketua, yang berada di bawah serta
bertanggung jawab langsung kepada Presiden.Penaggulangan Bencana dan
Penanganan Pengungsi (Bakornas PBP) pada tingkat nasional, sedangkan pada
tingkat propinsi disebut Satuan Koordinasi Pelaksana Pengungsi (Satkorlak PBP).
Satkorlah PBP merupakan organisasi di tingkat propinsi yang dipimpin oleh
Gubernur, yang bertanggung jawab melakukan penanggulangan bencana di
wilayahnya. Adapun tugas utama Satkorlak PBP ini adalah mengkoordinasikan
upaya penanggulangan bencana sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan
oleh Bakornas PBP.
Penanganan bencana pada tingkat kabupaten atau kotamadya dilakukan
oleh Satuan Pelaksana (Satlak PBP), dan untuk pelasksanaan di lapangan ditangani
oleh Satuan Gegana (Satgana PBP). Satuan Pelaksana Pengungsi (Satkorlak PBP).
Satkorlah PBP merupakan organisasi di tingkat propinsi yang dipimpin oleh
Gubernur, yang bertanggung jawab melakukan penanggulangan bencana di
wilayahnya. Adapun tugas utama Satkorlak PBP ini adalah mengkoordinasikan
upaya penanggulangan bencana sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan
oleh Bakornas PBP. Penanganan bencana pada tingkat kabupaten atau kotamadya
dilakukan oleh Satuan Pelaksana (Satlak PBP), dan untuk pelasksanaan di
lapangan ditangani oleh Satuan Gegana (Satgana PBP). Satuan Pelaksana
Penanggulangan Bencana (Satlak PB) merupakan organisasi di tingkat
Kabupaten / kotamadya yang dipimpin oleh Bupati atau Walikota, yang
bertanggung jawab menyelenggarakan penanggulangan bencana di wilayahnya
dengan tetap memperhatikan kebijakan dan arahan tehnis dari Bakornas PB, di
samping menyelenggarakan pencatatan yang dilakukan oleh dinas-dinas terkait
dan secara periodik melaporkan serta mempertanggungjawabkan kegiatannya
kepada Bakornas melalui Satkorlak PBP. Undang-undang RI Nomor 24 Tahun
2007 tentang Penanggulangan Bencana menjelaskan beberapa hal yang berkaitan
dengan siklus bencana sebagaimana tersebut dalam tabel 2 berikut ini.
Tabel 2. Tahapan Dalam Bantuan Bencana

Lahirnya UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan


peraturan pelaksana yang sudah dipersiapkan, diharapkan response terhadap
situasi bencana akan menjadi lebih cepat sehingga manajemen risiko bencana
menjadi lebih efektif. Pengelolaan manajemen risiko bencana yang efektif
memerlukan kombinasi empat konsep, yaitu atas semua bahaya, menyeluruh,
terpadu dan kesiapan masyarakat. Pendekatan terpadu pengelolaan bencana secara
efektif memerlukan kerjasama aktif dari berbagai pihak terkait. Artinya, semua
organisasi dengan tugasnya masingmasing bekerjasama dalam mengelola bencana.
Masyarakat yang terdiri dari masing-masing individu diharapkan selalu waspada
terhadap bahaya bencana dan tahu bagaimana cara melindungi dirinya, keluarga
rumah, dan harta bendanya dari bahaya bencana. Bila masing-masing dapat
melakukan tindakan perlindungan terhadap dampak bahaya bencana, tentu dapat
mengurangi ancaman bahaya bencana. Hal yang perlu diperhatikan adalah fokus
response pada aktivitas preparedness, migitation, response dan recovery
dapat dilakukan dengan baik, sehingga dampak peristiwa bencana akan lebih dapat
diminimalkan.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Irawan, Konstruksi dan Reproduksi Sosial atas Bencana Alam, Fak
Pascasarjana Universitas Gajahmada, Yogyakarta, 2008.
Abraham, Jonathan, Disaster Management in Australia: The National Emergency
Management System, Emergency Medicine,2006.
Darmawi, Herman, Manajemen Risiko, Bumi Aksara, 2004 Departemen
Keserhatan RI, Pedoman Teknis Penanggulangan Krisis Kesehatan
Akibat Bencana, 2007.
Kompas, Bencana Gempa dan Tsunani, 2006 Proyek Sphere, Piagam
Kemanusiaan dan Standar Minimal Dalam Response Bencana, Grasindo,
Jakarta, 2004
Purnomo, Hadi & Sugiantoro, Ronny, Manajemen Bencana, Media Pressindo,
Jakarta, 2010

Purnomo, Hadi & Utomo, Hargo, Keefektifan Kerjasama Antar Lembaga Dalam
Operasi Pemulihan Bencana , Studi Empiris di Yogyakarta dan Jateng,
Jurnal Ekonomi &
Bisnis, Fak. Ekonomi UGM, Yogyakarta, 2008
---- -, Http://www.Google.com

Anda mungkin juga menyukai