Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH


“STRIKTUR URTRA”

AYU OKTAVIANI

AKADEMI KEPERAWATAN YASPEN JAKARTA


PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN
(2021)
LAPORAN PENDAHULUAN
STRIKTUR URETER
A. Definisi
Striktur uretra adalah kondisi dimana suatu bagian dari uretra menyempit.
Berbeda dengan obstruksi pada uretra yang disebabkan oleh batu, striktur uretra
merupakan adanya oklus dari dari meatus uretralis karena adanya jaringan yang fibrotik
dengan hipertrofi. Jaringan fibrotik yan tumbuh dengan abnormal akan menutupi/
mempersempit meatus uretralis, sehingga aliran urine (urine flow) akan menurun.
(Prabowo & Pranata, 2014: 144)
Striktur uretra adalah penyempitan lumen uretra karena fibrosis pada dindingnya.
Penyempitan lumen ini disebabkan karena dindingnya mengalami fibrosis dan pada
tingkat yang lebih parah terjadi fibrosis korpus spongiosum. (Purnomo, 2011: 153).
Striktur uretra adalah penyempitan lumen uretra akibat adanya jaringan parut dan
kontriksi. (Suharyanto & Madjid, 2013: 271)
Dari beberapa definisi tersebut, disimpulkan bahwa Striktur uretra merupakan
penyakit atau kelainan yang berupa penyempitan atau konstriksi dari lumen uretra akibat
adanya obstruksi kemudian terbentuk jaringan fibrotik (jaringan parut) pada daerah
uretra.
B. Etiologi
Berdasarkan penyebab/etiologinya struktur uretra di bagi menjadi 3 jenis :
1. Struktur uretra kongenital
Striktur ini bisanya sering terjadi di fossa navikularis dan pars membranase, sifat
striktur ini adalah stationer dan biasanya timbul terpisah atau bersamaan dengan
anomalia sakuran kemih yang lain.
2. Struktur uretra traumatik
Trauma ini akibat trauma sekunder seperti kecelakaan, atau karena instrumen, infeksi,
spasmus otot, atau tekanan dari luar, atau tekanan oleh struktur sambungan atau oleh
pertumbuhan tumor dari luar serta biasanya terjadi pada daerah kemaluan dapat
menimbulkan ruftur urethra, Timbul striktur traumatik dalam waktu 1 bulan. Striktur
akibat trauma lebih progresif daripada striktur akibat infeksi. Pada ruftur ini
ditemukan adanya hematuria gross.
3. Struktur akibat infeksi
Struktur ini biasanya sissebabkan oleh infeksi veneral. Timbulnya lebih lambat
daripada striktur traumatic.
Penyebab paling umum dari striktur uretra saat ini adalah traumatik atau iatrogenik.
Penyebab yang lebih jarang ditemui adalah peradangan atau infeksi, keganasan, dan
kongenital. Striktur akibat infeksi biasanya merupakan gejala sekunder dari urethritis
gonococcal, yang masih umum di beberapa populasi berisiko tinggi. Penyebab yang
paling penting adalah idiopati, reseksi transurethral, kateterisasi uretra, fraktur panggul
dan operasi hipospadia. Penyebab iatrogenik keseluruhan (reseksi transurethral,

2
kateterisasi uretra, sistoskopi, prostatektomi, operasi brachytherapy dan hipospadia)
adalah 45,5% dari kasus striktur. Pada pasien yang lebih muda dari 45 tahun penyebab
utama adalah idiopati, operasi hipospadia dan fraktur panggul. Pada pasien yang lebih tua
dari 45 tahun penyebab utama adalah reseksi transurethraldan idiopathy. Penyebab utama
penyakit penyempitan multifokal/panurethral adalah kateterisasi uretra anterior,
sedangkan fraktur panggul adalah penyebab utama dari striktur uretra posterior.
Etiologi striktur pada wanita berbeda dengan laki-laki, etiologi striktura uretra pada
wanita radang kronis. Biasanya di derita wanita usia diatas 40 tahun dengan sindroma
sistitis berulang yaitu disuria, frekuensi dan urgensi. Diagnosis striktur uretra dibuat
dengan bougie aboul’e, tanda khas dari pemeriksaan bougie aboul’e adalah pada waktu
dilepas terdapat flik/hambatan. Pengobatan dari striktura uretra pada wanita dengan
dilatasi, kalo gagal dengan otis uretrotomi.
C. Patofisiologi
Residu urine yang sedikit mungkin akan menimbulkan gangguan, namun jika
banyak dan melebihi batas kapasitas vesika memungkinan terjadinya refluks dan jika
berlangsung kronis kemungkinan menimbulkan hidronephrosis. Selain itu, stagnansi
urine yang lama menimbulkan sedimentasi sehingga kemungkinan akan terjadi
urolithiasis. Hal yang paling kompleks dari dampak striktur adalah terjadinya gagal
ginjal. Hal ini dikarenakan refluks pada ginjal akan memperberat kerja ginjal untuk
melakukan fungsinya.
Tubuh manusia memiliki banyak cara untuk mengatasi masalah, begitu pula
dengan akumulasi urine yang semakin bertambah dengan adanya striktur. Urine yang
bersifat asam/ basa akan berusaha mencari jalan baru sebgai saluran dengan
meningkatkan iritabilitas pada mukosa jaringan sekitar dan terbentukla fistel. (Prabowo
& Pranata, 2014: 147-149)
Proses radang akibat trauma atau infeksi pada uretra akan menyebabkan
terbentuknya jaringan sikatrik pada uretra. Jaringan sikatriks pada lumen uretra
menimbulkan hambatan aliran urine hingga retensi urine. Aliran urine yang terhambat
tersumbat mencari jalan keluar di tempat lain (di sebelah proksimal striktura) dan
akhirnya mengumpul di rongga periuretra. Jika terinfeksi menimbulkan abses periuretra
yang kemudian pecah membentuk fistula uretrokutan. Pada keadaan tertentu dijumpai
banyak sekali fistula sehingga disebut sebagai fistula seruling. (Purnomo, 2011: 144)
Trauma yang menyebabkan striktura uretra adalah trauma tumpul pada
selangkangan (straddle injury) dan fraktur tulang pelvis. Proses radang akibat trauma atau
infeksi pada uretra akan menyebabkan terbentuknya jaringan sikatriks pada uretra.
Jaringan sikatriks pada lumen uretra menimbulkan hambatan aliran urine hingga retensi
urine. Aliran urine yang terhambat mencari jalan keluar di tempat lain (di sebelah
proksimal striktura) dan akhirnya mengumpul di rongga periuretra. Jika terinfeksi
menimbulkan abses periuretra yang kemudian pecah membentuk fistula uretrokutan.
Pada keadaan tertentu banyak dijumpai fistula sehingga disebut sebagai fistula seruling.
Tindakan yang kurang hati-hati pada pemasangan kateter dapat menimbulkan
salah jalan ( false route) yang menimbulkan kerusakan uretra dan menyisakan strikture
dikemudian hari. Demikian pula fiksasi kateter yang tidak benar pada pemakaian kateter

3
menetap yang menyebabkan penekanan kateter pada perbatasan uretra bulbo-pendulare
yang mengakibatkan penekanan uretra terus menerus, menimbulkan hipoksia uretra
daerah itu, yang pada akhirnya menimbulkan fistula atau strikur uretra.
Pathway

4
D. Manifestasi Klinis
5
Manifestasi klinis pada umumnya mirip dengan obstruksi saluran kemih lainnya,
misalnya BPH. Namun ada beberapa yang khas dari klien striktur uretra, yaitu pancaran
urine yang kecil dan bercabang. Hal ini dikarenakan sumbatan/ obstruksi pada saluran
meatus uretralis, sehingga akan menurunkan patensi urine low dan obstruksi yang berada
di medial akan membuat alira urine terpecah, sehingga seolah-olah pancaran urine
terbelah dua. Gejala yang lain dari striktur uretra antara lain:
1. Frekuensi
Merupakan banyaknya jumlah berkemih dalam sehari. Peningkatan frekuensi untuk
berkemih pada klien striktur uretra dikarenakan tidak tuntasnya klien untuk
mengosongkan vesika, sehingga masih terdapat residu urine dalam vesika. Hal inilah
yang kemudian mendorong m.detrusor untuk berespon mengosongkan vesika.
2. Urgensi
Merupakan perasaan seseorang yang takut mengalami inkontinensia jika tidak
berkemih. Akumulasi yang kronis pada klien striktur uretra adalah mengakibatkan
iritabilitas vesika urinaria meningkat. Hal ini akan merangsang persarafan yang
mengontrol eliminasi uri untuk mengosongkan melalui efek kontraksi pada bladder.
Dengan demikian keinginan untuk miksi akan terjadi terus-menurus pada striktur uretra.
3. Disuria
Merupakan rasa sakit dan kesulitan untuk melakukan miksi. Klien striktur urtra akan
mengalami iritabilitas mukosa, baik pada uretra maupun pada vesika urinaria. Hal ini
dikarenakan akumulasi urine yang melebihi kapasitas bladder dan sifat pH dari urine
yang cenderung asam/ basa akan melukai mukosa saluran kemih. Selain itu, relaksasi
vesika yang melebihi dari kemampuan otot vesika akan menimbulkan inflamasi dan
nyeri.
4. Inkontenensia urine
Merupakan ketidakmampuan untuk mengontrol miksi ( bahasa awam : ngompol )
kejadian ini pada klien striktur uretra dipicu oleh iritabilitas sayaraf perkemihan sehingga
kemampuan untuk mengatur regulasi miksi menurun.
5. Urine menetes
Merupakan dampak dari residu urine dan adanya obsruksi pada meatus uretralis,
sehingga pancara urine melemah dan pengosongan tidak bisa spontan.
6. Penis membengkak
Bendungan urine dan obstruksi pada saluran uretra akan menyebabkan resistensi
kapiler jaringan sekitar meningkat dengan gejala inflamasi yang jelas, sehingga penis
akan membengkak.
7. Infiltrat
Jika obstruksi pada klien striktur uretra tidak tertangani dengan baik dan terjadi dalam
jangka waktu yang lama, maka kemungkinan infeksi pada striktur akan terjadi mengingat
urine merupakan media untuk pertumbuhan kuman yang baik. Jika hal ini terjadi,
inflamasi jaringan striktu akan menjadi abses dan infiltrasi akan terjadi pula.
8. Abses
Diakibatkan oleh invasi bakteri melalui urine kepada jaringan obstruksi striktur.
9. Fistel

6
Urine yang bersifat asam/ basa akan berusaha secara patologis untuk mencari jalan
keluar. Oleh karena itu, iritabilitas jaringan sekitar akan terus terjadi untuk membuat
saluran baru, sehingga kemungkinan akan terbentuk fistel sebagai jalan keluar urine baru.
10. Retensio urine
Striktur yang total akan menghambat secara total aliran urine, sehingga urine tidak
akan keluar sedikit pun dan terakumulasi pada vesika urinaria.
11. Kencing bercabang
Pancaran urine yang kecil dan bercabang. Hal ini dikarenakan sumbatan/ obstruksi
pada saluran meatus uretralis, sehingga akan menurunkan patensi urine low dan obstruksi
yang berada di medial akan membuat alira urine terpecah, sehingga seolah-olah pancaran
urine terbelah dua. (Prabowo & Pranata, 2014: 146)
E. Komplikasi
Adapun komplikasi dari Striktur Uretra jika adalah:
1. Trabekulasi, sakulasi dan divertikel
Pada striktur uretra kandung kencing harus berkontraksi lebih kuat, maka otot kalau
diberi beban akan berkontraksi lebih kuat sampai pada suatu saat kemudian akan
melemah. Jadi pada striktur uretra otot buli-buli mula-mula akan menebal terjadi
trabekulasi pada fase kompensasi, setelah itu pada fase dekompensasi timbul sakulasi dan
divertikel. Perbedaan antara sakulasi dan divertikel adalah penonjolan mukosa buli pada
sakulasi masih di dalam otot buli sedangkan divertikel menonjol di luar buli-buli, jadi
divertikel buli-buli adalah tonjolan mukosa keluar buli-buli tanpa dinding otot.
2. Residu urine
Pada fase kompensasi dimana otot buli-buli berkontraksi makin kuat tidak timbul
residu. Pada fase dekompensasi maka akan timbul residu. Residu adalah keadaan dimana
setelah kencing masih ada urine dalam kandung kencing.Dalam keadaan normal residu
ini tidak ada.
3. Refluks vesiko ureteral
Dalam keadaan normal pada waktu buang air kecil urine dikeluarkan buli-buli
melalui uretra. Pada striktur uretra dimana terdapat tekanan intravesika yang meninggi
maka akan terjadi refluks, yaitu keadaan dimana urine dari buli-buli akan masuk kembali
ke ureter bahkan sampai ginjal.
4. Infeksi saluran kemih dan gagal ginjal
Dalam keadaan normal, buli-buli dalam keadaan steril. Salah satu cara tubuh
mempertahankan buli-buli dalam keadaan steril adalah dengan jalan setiap saat
mengosongkan buli-buli waktu buang air kecil. Dalam keadaan dekompensasi maka akan
timbul residu, akibatnya maka buli-buli mudah terkena infeksi. Adanya kuman yang
berkembang biak di buli-buli dan timbul refluks, maka akan timbul pyelonefritis akut
maupun kronik yang akhirnya timbul gagal ginjal dengan segala akibatnya.
5. Infiltrat urine, abses dan fistulas
Adanya sumbatan pada uretra, tekanan intravesika yang meninggi maka bisa timbul
inhibisi urine keluar buli-buli atau uretra proksimal dari striktur. Urine yang terinfeksi
keluar dari buli-buli atau uretra menyebabkan timbulnya infiltrat urine, kalau tidak

7
diobati infiltrat urine akan timbul abses, abses pecah timbul fistula di supra pubis atau
uretra proksimal dari striktur.
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
a. Urin dan kultur urin untuk mengetahui adanya infeksi
b. Ureum dan kreatinin untuk mengetahui faal ginjal
2. Uroflowmetri
Uroflowmetri adalah pemeriksaan untuk menentukan kecepatan pancaran urin.
Volume urin yang dikeluarkan pada waktu miksi dibagi dengan lamanya proses miksi.
Kecepatan pancaran urin normal pada pria adalah 20 ml/detik dan pada wanita 25
ml/detik. Bila kecepatan pancaran kurang dari harga normal menandakan ada obstruksi
3. Radiologi
Diagnosa pasti dibuat dengan uretrografi, untuk melihat letak penyempitan dan
besarnya penyempitan uretra. Teknik pemeriksaan uretrogram adalah pemeriksaan
radiografi ureter dengan bahan kontras uretra. Untuk mengetahui lebih lengkap mengenai
panjang striktur adalah dengan membuat foto bipolar sistouretrografi dengan cara
memasukkan bahan kontras secara antegrad dari buli-buli dan secara retrograd dari
uretra. Dengan pemeriksaan ini panjang striktur dapat diketahui sehingga penting untuk
perencanaan terapi atau operasi
4. Instrumentasi
Pada pasien dengan striktur uretra dilakukan percobaan dengan memasukkan kateter
Foley ukuran 24 ch, apabila ada hambatan dicoba dengan kateter dengan ukuran yang
lebih kecil sampai dapat masuk ke buli- buli. Apabila dengan kateter ukuran kecil dapat
masuk menandakan adanya penyempitan lumen uretra.
5. Uretroskopi
Untuk melihat secara langsung adanya striktur di uretra.Jika diketemukan adanya
striktur langsung diikuti dengan uretrotomi interna (sachse) yaitu memotong jaringan
fibrotik dengan memakai pisau sachse.
G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan untuk penderita Striktur Uretra adalah dengan
menggunakan penatalaksanaan farmakologis dan non farmakologis.
1. Terapi Farmakologis
a. Bougie (Dilatasi)
Sebelum melakukan dilatasi, periksalah kadar hemoglobin pasien dan
periksa adanya glukosa dan protein dalam urin. Tersedia beberapa jenis bougie.
Bougie bengkok merupakan satu batang logam yang ditekuk sesuai dengan
kelengkungan uretra pria; bougie lurus, yang juga terbuat dari logam, mempunyai
ujung yang tumpul dan umumnya hanya sedikit melengkung; bougie filiformis
mempunyai diameter yang lebih kecil dan terbuat dari bahan yang lebih lunak.
Berikan sedatif ringan sebelum memulai prosedur dan mulailah
pengobatan dengan antibiotik, yang diteruskan selama 3 hari. Bersihkan glans
penis dan meatus uretra dengan cermat dan persiapkan kulit dengan antiseptik

8
yang lembut. Masukkan gel lidokain ke dalam uretra dan dipertahankan selama 5
menit. Tutupi pasien dengan sebuah duk lubang untuk mengisolasi penis.
Apabila striktur sangat tidak teratur, mulailah dengan memasukkan sebuah
bougie filiformis; biarkan bougie di dalam uretra dan teruskan memasukkan
bougie filiformis lain sampai bougie dapat melewati striktur tersebut. Kemudian
lanjutkan dengan dilatasi menggunakan bougie lurus.
Apabila striktur sedikit tidak teratur, mulailah dengan bougie bengkok
atau lurus ukuran sedang dan secara bertahap dinaikkan ukurannya. Dilatasi
dengan bougie logam yang dilakukan secara hati-hati. Tindakan yang kasar
tambah akan merusak uretra sehingga menimbulkan luka baru yang pada akhirnya
menimbulkan striktur lagi yang lebih berat. Karena itu, setiap dokter yang
bertugas di pusat kesehatan yang terpencil harus dilatih dengan baik untuk
memasukkan bougie. Penyulit dapat mencakup trauma dengan perdarahan dan
bahkan dengan pembentukan jalan yang salah (false passage). Perkecil
kemungkinan terjadinya bakteremi, septikemi, dan syok septic dengan tindakan
asepsis dan dengan penggunaan antibiotic
b. Uretrotomi interna
Tindakan ini dilakukan dengan menggunakan alat endoskopi yang
memotong jaringan sikatriks uretra dengan pisau Otis atau dengan pisau Sachse,
laser atau elektrokoter. Otis uretrotomi dikerjakan pada striktur uretra anterior
terutama bagian distal dari pendulans uretra dan fossa navicularis, otis uretrotomi
juga dilakukan pada wanita dengan striktur uretra.
Indikasi untuk melakukan bedah endoskopi dengan alat Sachse adalah
striktur uretra anterior atau posterior masih ada lumen walaupun kecil dan
panjang tidak lebih dari 2 cm serta tidak ada fistel, kateter dipasang selama 2- 3
hari pasca tindakan. Setelah pasien dipulangkan, pasien harus kontrol tiap minggu
selama 1 bulan kemudian 2 minggu sekali selama 6 bulan dan tiap 6 bulan sekali
seumur hidup. Pada waktu kontrol dilakukan pemeriksaan uroflowmetri, bila
pancaran urinnya < 10 ml/det dilakukan bouginasi.
c. Uretrotomi eksterna
Tindakan operasi terbuka berupa pemotongan jaringan fibrosis kemudian
dilakukan anastomosis end-to-end di antara jaringan uretra yang masih sehat, cara
ini tidak dapat dilakukan bila daerah strikur lebih dari 1 cm. Cara Johansson;
dilakukan bila daerah striktur panjang dan banyak jaringan fibrotik.
• Stadium I: daerah striktur disayat longitudinal dengan menyertakan
sedikit jaringan sehat di proksimal dan distalnya, lalu jaringan fibrotik dieksisi.
Mukosa uretra dijahit ke penis pendulans dan dipasang kateter selama 5-7 hari.
• Stadium II: beberapa bulan kemudian bila daerah striktur telah
melunak, dilakukan pembuatan uretra baru.
d. Uretroplasty
Dilakukan pada penderita dengan panjang striktur uretra lebih dari 2 cm atau
dengan fistel uretro-kutan atau penderita residif striktur pasca Uretrotomi Sachse.
Operasi uretroplasty ini bermacam-macam, pada umumnya setelah daerah striktur
9
di eksisi, uretra diganti dengan kulit preputium atau kulit penis dan dengan free
graft atau pedikel graft yaitu dibuat tabung uretra baru dari kulit preputium/kulit
penis dengan menyertakan pembuluh darahnya.
2. Penatalaksanaan Non Farmakologis
a. Menghindari terjadinya trauma pada uretra dan pelvis.
b. Tindakan transuretra dengan hati-hati, seperti pada pemasangan kateter.
c. Menghindari kontak langsung dengan penderita yang terinfeksi penyakit
menular seksual seperti gonorrhea, dengan jalan setia pada satu pasangan dan
memakai kondom.
d. Pengobatan dini striktur uretra dapat menghindari komplikasi seperti infeksi
dan gagal ginjal.
H. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Pengkajian fokus :
Palpasi :
1. Abdomen
Bagaimana bentuk abdomen. Pada klien dengan keluhan retensi umumnya ada
penonjolan kandung kemih pada supra pubik. Apakah ada nyeri tekan, turgornya bagaimana.
Pada klien biasanya terdapat hernia atau hemoroid. Hepar, lien, ginjal teraba atau tidak.
Peristaklit usus menurun atau meningkat.
2. Genitalia dan anus
Pada klien biasanya terdapat hernia. Pembesaran prostat dapat teraba pada saat rectal
touché. Pada klien yang terjadi retensi urine, apakah trpasang kateter, Bagaimana bentuk scrotum
dan testisnya. Pada anus biasanya ada haemorhoid.
Inspeksi :
a) Memeriksa uretra dari bagian meatus dan jaringan sekitarnya
b) Observasi adanya penyempitan, perdarahan, mukus atau cairan purulent (nanah)
c) Observasi kulit dan mukosa membran disekitar jaringan
d) Perhatikan adanya lesi hiperemi atau keadaan abnormal lainnya pada penis, scrotom,
labia dan orifisium Vagina.
e) Iritasi pada uretra ditunjukan pada klien dengan keluhan ketidak nyamanan pada saat
akan mixi.
b. Pengkajian psikososial :

10
1. Respon emosional pada penderita sistim perkemihan, yaitu : menarik diri, cemas, kelemahan,
gelisah, dan kesakitan.
2. Respon emosi pada pada perubahan masalah pada gambaran diri, takut dan kemampuan seks
menurun dan takut akan kematian. Riwayat psikososial terdiri dari :
a. Intra personal, Kebanyakan klien yang akan menjalani operasi akan muncul kecemasan.
Kecemasan ini muncul karena ketidaktahuan tentang prosedur pembedahan. Tingkat kecemasan
dapat dilihat dari perilaku klien, tanggapan klien tentang sakitnya.
a. Inter personal, Meliputi peran klien dalam keluarga dan peran klien dalam masyarakat.
b. Pengkajian diagnostic, Sedimen urine untuk mengetahui partikel-partikel urin yaitu sel,
eritrosit, leukosit, bakteria, kristal, dan protein.
c. Identitas klien, Meliputi nama, jenis kelamin, umur, agama / kepercayaan, status perkawinan,
pendidikan, pekerjaan, suku/ Bangsa, alamat, no. rigester dan diagnosa medis.
d. Riwayat penyakit sekarang, Pada klien striktur urethra keluhan-keluhan yang ada adalah
frekuensi , nokturia, urgensi, disuria, pancaran melemah, rasa tidak lampias/ puas sehabis miksi,
hesistensi, intermitency, dan waktu miksi memenjang dan akirnya menjadi retensio urine.
e. Riwayat penyakit dahulu, Adanya penyakit yang berhubungan dengan saluran perkemihan,
misalnya ISK (Infeksi Saluran Kencing ) yang berulang. Penyakit kronis yang pernah di derita.
Operasi yang pernah di jalani kecelakaan yang pernah dialami adanya riwayat penyakit DM dan
hipertensi.
f. Riwayat penyakit keluarga, Adanya riwayat keturunan dari salah satu anggota keluarga yang
menderita penyakit striktur urethra Anggota keluarga yang menderita DM, asma, atau hipertensi.
g. Pola Fungsi kesehatan
1. Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat
Klien ditanya tentang kebiasaan merokok, penggunaan tembakau, penggunaan obat-
obatan, penggunaan alkhohol dan upaya yang biasa dilakukan dalam mempertahankan kesehatan
diri (pemeriksaan kesehatan berkala, gizi makanan yang adekuat).
2. Pola nutrisi dan metabolisme
Klien ditanya frekuensi makan, jenis makanan, makanan pantangan, jumlah minum tiap
hari, jenis minuman, kesulitan menelan atau keadaan yang mengganggu nutrisi seperti nause,
stomatitis, anoreksia dan vomiting. Pada pola ini umumnya tidak mengalami gangguan atau
masalah.
h. Pola eliminasi, Klien ditanya tentang pola berkemih, termasuk frekuensinya, ragu ragu, jumlah
kecil dan tidak lancar menetes – netes, kekuatan system perkemihan. Klien juga ditanya apakah
mengedan untuk mulai atau mempertahankan aliran kemih. Klien ditanya tentang defikasi,
apakah ada kesulitan seperti konstipasi akibat dari p[enyempitan urethra kedalam rectum.

11
i. Pola tidur dan istirahat, Klien ditanya lamanya tidur, adanya waktu tidur yang berkurang
karena frekuensi miksi yang sering pada malam hari ( nokturia ). Kebiasaan tidur memekai
bantal atau situasi lingkungan waktu tidur juga perlu ditanyakan. Upaya mengatasi kesulitan
tidur.
j. Pola Aktifitas, Klien ditanya aktifitasnya sehari – hari, aktifitas penggunaan waktu senggang,
kebiasaan berolah raga. Apakah ada perubahan sebelum sakit dan selama sakit. Pada umumnya
aktifitas sebelum operasi tidak mengalami gangguan, dimana klien masih mampu memenuhi
kebutuhan sehari – hari sendiri.
k. Pola hubungan dan peran, Klien ditanya bagaimana hubungannya dengan anggota keluarga,
pasien lain, perawat atau dokter. Bagai mana peran klien dalam keluarga. Apakah klien dapat
berperan sebagai mana seharusnya.
l. Pola persepsi dan konsep diri, Meliputi informasi tentang perasaan atau emosi yang dialami
atau dirasakan klien sebelum pembedahan . Biasanya muncul kecemasan dalam menunggu acara
operasinya. Tanggapan klien tentang sakitnya dan dampaknya pada dirinya. Koping klien dalam
menghadapi sakitnya, apakah ada perasaan malu dan merasa tidak berdaya.
m. Pola sensori dan kognitif, Pola sensori meliputi daya penciuman, rasa, raba, lihat dan
pendengaran dari klien. Pola kognitif berisi tentang proses berpikir, isi pikiran, daya ingat dan
waham. Pada klien biasanya tidak terdapat gangguan atau masalah pada pola ini.
n. Pola reproduksi seksual, Klien ditanya jumlah anak, hubungannya dengan pasangannya,
pengetahuannya tantang seksualitas. Perlu dikaji pula keadaan seksual yang terjadi sekarang,
masalah seksual yang dialami sekarang (masalah kepuasan, ejakulasi dan ereksi ) dan pola
perilaku seksual
o. Pola Mekanisme Koping, Menanyakan apa klien merasakan stress, apa penyebab stress,
mekanisme penanggulangan terhadap stress yang dialami. Pemecahan masalah biasanya
dilakukan klien bersama siapa. Apakah mekanisme penanggulangan stressor positif atau negatif.
Pemeriksaan fisik
1. Status kesehatan umum
Keadaan penyakit, kesadaran, suara bicara, status/ habitus, pernafasan, tekanan darah, suhu
tubuh, nadi.
2. Kulit
Apakah tampak pucat, bagaimana permukaannya, adakah kelainan pigmentasi, bagaimana
keadaan rambut dan kuku klien
3. Kepala
Bentuk bagaimana, simetris atau tidak, adakah penonjolan, nyeri kepala atau trauma pada kepala.
4. Muka

12
Bentuk simetris atau tidak adakah odema, otot rahang bagaimana keadaannya, begitu pula
bagaimana otot mukanya.
5. Mata
Bagainama keadaan alis mata, kelopak mata odema atau tidak. Pada konjungtiva terdapat atau
tidak hiperemi dan perdarahan. Slera tampak ikterus atau tidak.
6. Telinga
Ada atau tidak keluar secret, serumen atau benda asing. Bagaimana bentuknya, apa ada
gangguan pendengaran.
7. Hidung
Bentuknya bagaimana, adakah pengeluaran secret, apa ada obstruksi atau polip, apakah hidung
berbau dan adakah pernafasan cuping hidung.
8. Mulut dan faring
Adakah caries gigi, bagaimana keadaan gusi apakah ada perdarahan atau ulkus. Lidah tremor
,parese atau tidak. Adakah pembesaran tonsil.
9. Leher
Bentuknya bagaimana, adakah kaku kuduk, pembesaran kelenjar limphe.
10. Thoraks
Betuknya bagaimana, adakah gynecomasti.
11. Paru
Bentuk bagaimana, apakah ada pencembungan atau penarikan. Pergerakan bagaimana, suara
nafasnya. Apakah ada suara nafas tambahan seperti ronchi , wheezing atau egofoni.
12. Jantung
Bagaimana pulsasi jantung (tampak atau tidak).Bagaimana dengan iktus atau getarannya.
13. Abdomen
Bagaimana bentuk abdomen. Pada klien dengan keluhan retensi umumnya ada penonjolan
kandung kemih pada supra pubik. Apakah ada nyeri tekan, turgornya bagaimana. Pada klien
biasanya terdapat hernia atau hemoroid. Hepar, lien, ginjal teraba atau tidak. Peristaklit usus
menurun atau meningkat.
14. Genitalia dan anus
Pada klien biasanya terdapat hernia. Pembesaran prostat dapat teraba pada saat rectal touché.
Pada klien yang terjadi retensi urine, apakah trpasang kateter, Bagaimana bentuk scrotum dan
testisnya. Pada anus biasanya ada haemorhoid.

13
15. Ekstrimitas dan tulang belakang
Apakah ada pembengkakan pada sendi. Jari – jari tremor apa tidak. Apakah ada infus pada
tangan. Pada sekitar pemasangan infus ada tanda – tanda infeksi seperti merah atau bengkak atau
nyeri tekan. Bentuk tulang belakang bagaimana.
2. Pengkajian post operasi sachse
Pengkajian ini dilakukan setelah klien menjalani operasi, yang meliputi:
a. Keluhan utama
Keluhan pada klien berbeda – beda antara klien yang satu dengan yang lain.
Kemungkinan keluhan yang bisa timbul pada klien post operasi Sachse adalah keluhan rasa tidak
nyaman, nyeri karena spasme kandung kemih atau karena adanya bekas insisi pada waktu
pembedahan. Hal ini ditunjukkan dari ekspresi klien dan ungkapan dari klien sendiri.
b. Keadaan umum
Kesadaran, GCS, ekspresi wajah klien, suara bicara.
c. Sistem respirasi
Bagaimana pernafasan klien, apa ada sumbatan pada jalan nafas atau tidak. Apakah perlu
dipasang O2. Frekuensi nafas , irama nafas, suara nafas. Ada wheezing dan ronchi atau tidak.
Gerakan otot Bantu nafas seperti gerakan cuping hidung, gerakan dada dan perut. Tanda – tanda
cyanosis ada atau tidak.
d. Sistem sirkulasi
Yang dikaji: nadi ( takikardi/bradikardi, irama ), tekanan darah, suhu tubuh, monitor
jantung ( EKG ).
e. Sistem gastrointestinal
Hal yang dikaji: Frekuensi defekasi, inkontinensia alvi, konstipasi / obstipasi, bagaimana
dengan bising usus, sudah flatus apa belum, apakah ada mual dan muntah.
f. Sistem muskuloskleletal
Bagaimana aktifitas klien sehari – hari setelah operasi. Bagaimana memenuhi
kebutuhannya. Apakah terpasang infus dan dibagian mana dipasang serta keadaan disekitar
daerah yang terpasang infus.
g. Sistem eliminasi
Apa ada ketidaknyamanan pada supra pubik, kandung kemih penuh . Masih ada
gangguan miksi seperti retensi. Kaji apakah ada tanda – tanda perdarahan, infeksi. Memakai
kateter jenis apa. Irigasi kandung kemih. Warna urine dan jumlah produksi urine tiap hari.
Bagaimana keadaan sekitar daerah pemasangan kateter. Terapi yang diberikan setelah operasi :
Infus yang terpasang, obat – obatan seperti antibiotika, analgetika, cairan irigasi kandung kemih.

14
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Adapun diagnosa keperawatan yang mungkin muncul antara lain :
a. Diagnosa sebelum operasi
1. Gangguan Eliminasi Urin: frekuensi, urgensi, hesistancy, inkontinensi, retensi,
nokturia atau perasaan tidak puas setelah miksi sehubungan dengan obstruksi
mekanik : pembesaran prostat.
2. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis: penyumbatan saluran
kencing sekunder terhadap struktur urethra
3. Ansietas berhubungan dengan hospitalisasi, prosedur pembedahan, kurang
pengetahuan tantang aktifitas rutin dan aktifitas post operasi
4. Resiko infeksi area pembedahan berhubungan dengan ketidak adekuatan pertahanan
primer
b. Diagnosa setelah operasi
1. Nyeri berhubungan dengan agen pencedera fisik spasme kandung kemih dan insisi
sekunder pada Sachse.
2. Resiko cedera jatuh berhubungan dengan trauma cedera dari kerusakan uretra.
3.Intervensi Keperawatan
a. Gangguan Eliminasi Urin: frekuensi, urgensi, hesistancy, inkontinensi, retensi, nokturia atau
perasaan tidak puas setelah miksi sehubungan dengan obstruksi mekanik : pembesaran prostat.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam diharapkan masalah eliminasi urine membaik
dengan kriteria hasil:
1. Urgensi menururn
2. Distensi kandung kemih menurun
3. Frekuensi membaik
4. Karakteristik urin membaik
Intervensi utama: Perawatan kateter urin
Obsevasi:
1. Monitor kepatenan kateter urine
2. Monitor tanda dan infeksi saluran kemih
3. Monitor tanda dan gejala obstruksi aliran urine.
4. Monitor kebocoran kateter, selang dan kantung urine.
5. Monitor input dan output cairan (jumlah dan karakteristik)
Terapeutik:
1. Gunakan teknik aseptik selama perawatan kateter urine.

15
2. Pastikan selang kateter dan kantung urine terbebas dari lipatan.
3. Pastikan kantung urine diletakkan di bawah ketinggian kandung kemih dan tidak dilantai.
4. Lakukan perawatan perineal (perineal hygiene) minimal 1 kali sehari.
5. Kosongkan kantung urine jika kantung urine telah terisi setengahnya
6. Ganti kateter dan kantung urine secara rutin sesuai protocol atau sesuai indikasi
7. Lepaskan kateter urine sesuai kebutuhan.
8. Jaga privasi selama melakukan tindakan
2. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis
Dalam waktu 3x24 jam diharapakan masalah keperawatan nyeri akut dapat teratasi, dengan
kriteria hasil:
- TTV dalam batas normal
- Klien dapat mengontrol nyeri
- Klien dapat melaporkan nyeri ektremitas berkurang
- Klien tampak rileks mampu tidur/istirahat
Intervensi :
a. Observasi
- Identifikasi lokasi, karakteriatik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
- Identifikasi skala nyeri
- Identifikasi respons nyeri non verbal
- Identifikasi faktor yang memperlambat dan meringankan nyeri
- Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
- Identifikasi pengaruh bdaya terhadap respon nyeri
- Identifikasi pengaruh nyeri padakualitas hidup
- Monitor efek samping penggunaan analgetik
b. Terapeutik
- Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri (mis. TENS, hipnosis,
teknik imajinasi, terapi pijat, kompres hangat/dingin)
- Konrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri (mis. suhu ruangan, pencahayaan,
kebisingan)

16
- Fasilitasi istirahat tidur
- Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemelihan strategi meredakan nyeri
c. Edukasi
- Jelaskan penyebab periode, dan pemicu nyeri
- Jelaskan strategi meredakan nyeri
- Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
- Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
- Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
d. Kolaborasi pemberian analgetik jika perlu
3. Ansietas berhubungan dengan kurang terpapar informasi
Setelah dilakukan tindakan selama 1x24 jam tingkat ansietas menurun dengan kriteria hasil:
1. Verbalisasi khawatir dan cemas menurun
2. Perilaku gelisah dan tegang menurun
3. Konsentrasi klien meningkat
Intervensi utama : reduksi ansietas
Observasi:
- Monitor tanda-tanda ansietas
Terapeutik:
- Ciptakan suasana teraputik
- Dengarkan dengan penuh perhatian
- Motivasi dalam menentukan sikap didepan klien
Edukasi:
- Jelaskan prosedur yang akan ditindakan kepada klien
- Informasikan secara faktual mengenai pengobatan anjurkan mengungkapkan perasaan

17
DAFTAR PUSTAKA

Academia. 2018. LP Striktur Uretra. Di akses melalui


https://www.academia.edu/40058231/LP_Striktur_Uretra. pada 18 Januari 20201
Brunner dan Suddarth. 2005. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.
Bulecheck, et all. 2013. Nursing Interventions Classification (NIC) Sixth Edition. Mosby:
Elsevier.
Lumen. Nicolaase, et al. Etiology of Urethral Stricture Disease in the 21st Century. The journal
of Uroogy. 2009; Vol 182, Issue 3, Pages 983-7

Scribid. 2015. Pathway Striktur Uretra. Diakses melalui


https://id.scribd.com/doc/273499947/Pathway-Striktur-Uretra pada 18 Januari 2021
Tim progja SDKI DPP PPNI (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi dan

indikator diagnostik, Jakarta : Dewan pengurus PPNI

Tim progja SIKI DPP PPNI (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Definisi dan

Tindakan Keperawatan, Jakarta : Dewan pengurus PPNI

Tim progja SLKI DPP PPNI (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia Definisi dan

Kriteria Hasil Keperawatan, Jakarta : Dewan pengurus PPNI

18

Anda mungkin juga menyukai