Anda di halaman 1dari 23

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Demam Dengue dan Demam Berdarah Dengue


2.1.1 Epidemiologi
Dengue merupakan penyakit yang menjadi beban kesehatan, ekonomi dan sosial
pada populasi di daerah endemik. Dalam 50 tahun terakhir, insidensi dengue telah
meningkat 30 kali di seluruh dunia. Penyebaran nyamuk Aedes aegypti sebagai
vektor pembawa penyakit virus dengue adalah yang paling cepat ke seluruh dunia,
karena dapat hidup dan berkembang biak bukan hanya pada daerah tropis tapi
juga pada daerah subtropis. Di samping itu, adanya urbanisasi yang tidak ditata
dengan baik, pertumbuhan populasi dunia, percepatan dan mudahnya mobilitas
penduduk melalui jalur udara, darat dan laut mengakibatkan mudahnya pula
perpindahan penyakit ini ke daerah lain.1,2

Demam dengue mengenai semua orang. Tidak ada perbedaan jenis


kelamin, namun pernah dilaporkan bahwa beberapa kasus demam berdarah
dengue (dengue hemmorhagic fever/DHF) dan dengue shock syndrome/DSS
mengenai lebih banyak pria daripada wanita. Anak-anak usia kurang dari 15 tahun
yang terkena virus dengue dan tinggal pada daerah endemik, secara tipikal hanya
mengalami demam biasa yang tidak spesifik, dan sembuh dengan sendirinya.
Prevalensi imunitas yang tinggi pada penduduk dewasa di daerah endemik
kemungkinan mencegah terjadinya wabah pada anak-anak.2,3

Secara epidemiologi tahun 1970 ditemukan hanya 9 negara yang


mengalami wabah DHF, namun sekarang DHF menjadi penyakit yang tersebar di
lebih dari 100 negara, salah satunya Asia Tenggara. Pada akhir tahun 2016

dilaporkan terdapat sebanyak 291,964 kasus DHF yang ditemukan diseluruh


dunia. Kasus DHF terbanyak ditemukan di Pasifik Barat sebanyak 72,4%,
Amerika 19,4%, Asia Tenggara 4,8%, Mediterania Timur 1,5%, Eropa 1,5% dan
Afrika 0,3 %.4,5,6

15
Dalam 47 tahun terakhir, DHF masih merupakan salah satu penyakit yang
menjadi masalah utama di Indonesia. Di Indonesia DHF pertama kali ditemukan
di Surabaya pada tahun 1968, dimana sebanyak 58 orang terinfeksi dan 24 orang
diantaranya meninggal dunia, dengan angka kematian mencapai 41,3%, kemudian
outbreak DHF pertama di Indonesia adalah tahun 1977. Sejak saat itu, penyakit
ini menyebar luas ke seluruh Indonesia.4,5,6 Terjadinya peningkatan dan
penyebaran kasus DHF tersebut dapat disebabkan oleh perpindahan penduduk
yang tinggi, perubahan kepadatan dan distribusi penduduk, perkembangan
wilayah perkotaan, perubahan iklim, serta faktor epidemiologi lainnya yang masih
memerlukan penelitian lebih lanjut.2
Menurut data WHO (World Health Organization), Asia Pasifik
menanggung 75 persen dari beban dengue di dunia antara tahun 2004 dan 2010,
sementara Indonesia dilaporkan sebagai negara ke-2 dengan kasus DHF terbesar
diantara 30 negara wilayah endemis. Tahun 2017, kasus DHF yang terjadi di
Indonesia dengan jumlah kasus 68.407 mengalami penurunan yang signifikan dari
tahun 2016 sebanyak 204.171 kasus. Provinsi dengan jumlah kasus tertinggi
terjadi di tiga provinsi di pulau Jawa, masing-masing Jawa Barat dengan total
kasus sebanyak 10.016 kasus, Jawa Timur sebanyak 7.838 kasus dan Jawa Tengah
sebanyak 7400 kasus. Sedangkan jumlah terendah terjadi di Provinsi Maluku
Utara dengan jumlah 37 kasus.7

2.1.2 Definisi
Demam dengue dan DHF adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus
dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dana tau nyeri sendi yang
disertai leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diatesis hemoragik.
Pada DHF terjadi perembesan plasma yang ditandai dengan hemokonsentrasi atau
penumpukan cairan di rongga tubuh. DSS adalah DHF yang ditandai oleh
renjatan/syok.8

2.1.3 Etiologi

Demam dengue dan DHF disebabkan oleh virus dengue, yang termasuk kedalam
genus Flavivirus, keluarga flaviviridae. Virus ini memiliki 4 serotipe yaitu DEN-

16
1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 yang semuanya dapat menyebabkan demam
dengue atau DHF. Semua erotipe ini dapat ditemukan di Indonesia dengan angka
terbanyak yaitu DEN-3. Virus dengue ini menurut penelitian bereplikasi di dalam
tubuh nyamuk dengan genus Aedes, spesiesnya yaitu Aedes Aegypty dan Aedes
Albopictus.8

2.1.4 Klasifikasi
1 Demam Dengue Probable dengue
Gejala demam akut selama 2-7 hari dan ditandai dengan minimal 2 dari
manifestasi seperti : nyeri kepala, nyeri sendi, nyeri otot, nyeri retro
orbital, ruam kemerahan pada kulit, manifestasi perdarahan seperti
petechie dana tau uji bending positif, leukopenia, kenaikan hematokrit 5-
10% dan trombositopenia. Pemeriksaan serologi pasien didapatkan hasil
positif atau ditemukan pasien yang sudah positif DHF pada tempat dan
waktu yang sama. 8
2 Demam berdarah dengue
Diagnosis DHF ditegakkan bila semua gejala berikut terpenuhi, yaitu
demam atau riwayat demam akut antara 2-7 hari dengan pola bifasik,
terdapat minimal 1 manifestasi perdarahan (uji bending positif/ petechie/
echimossis/ purpura/ perdarahan mukosa, hematemesis/ melena), terdapat
minimal 1 tanda-tanda perdarahan (peningkatan hematokrit 20%
dibandingkan dengan nilai normal sesuai jenis kelamin dan usia),
trombositopenis, terdapat tanda-tanda kebocoran plasma (efusi pleura,
asites), dan penurunan hematokrit 20% setelah pemberian terapi cairan. 8
3 Dengue syok syndrome
Diagnosis DSS bila terdapat seluruh manifestasi dari DHF dengan tanda-
tanda kegagalan sirkulasi seperti hipotensi (turun <20 mmHg), bradikardi
dan denyut lemah. 8

2.1.5 Faktor Risiko


 Berdomisili di daerah tropis dan subtropis

17
Daerah tropis dan subtropis memiliki kelembapan tinggi, yang dapat
mendukung perkembangbiakan nyamuk dan memiliki udara panas yang
menyebabkan nyamuk dapat bertahan hidup9
 Riwayat bepergian ke daerah endemis DHF dan peningkatan global travel
Endemis artinya daerah tersebut memiliki angka kejadian yang tinggi
sehingga orang yang berpergian ke daerah tersebut memiliki resiko lebih
tinggi untuk terkena penyakit DHF.
Global travel dapat menjadi port de entry melalui orang yang habis bepergian
dari daerah endemis. 9
 Tinggal di lingkungan dengan distribusi dan supply air bersih terbatas
Supply air bersih yang kurang menyebabkan warga cenderung menampung air
lalu menjadi habitat nyamuk. 9
 Lingkungan dengan masalah manajemen sampah (solid waste)
Solid Waste yang banyak terutama kontainer plastik, ban bekas bila berisi
genangan air dapat menjadi habitat nyamuk sehingga meningkatkan resiko
terjadinya DHF. 9
 Kekurangan kontrol infrastruktur nyamuk (mosquito control infrastructure)
Lebih banyak nyamuk yang berkembang biak mengakibatkan meningkatnya
vektor sehingga resiko untuk terkena penyakit DHF lebih tinggi. 9
 Perilaku consumerism (perilaku konsumsi benda-benda non-
biodegradable seperti produk gelas kertas, plastik, ban bekas, kaleng, dll)
Perilaku consumerism secara tidak langsung meningkatkan solid waste yang
dapat menjadi habitat nyamuk. 9
 Musim hujan dengan suhu dan tingkat kelembapan yang tinggi
Musim hujan terutama pada tempat dengan solid waste tinggi akan menjadi
habitat nyamuk bertelur.
Kelembaban tinggi adalah kondisi lingkungan yang cocok untuk
perkembangbiakan nyamuk. 9

2.1.6 Patogenesis
a. Vektor DHF

18
Virus dengue dapat ditularkan dari orang ke orang melalui gigitan nyamuk
Aedes Aeaegypti yang merupakan vektor epidemi yang paling utama,
namun spesies lain seperti Aedes Albopictus, Aedes Polynesiensis dan
Aedes Niveus juga dianggap sebagai vektor sekunder, karena memiliki
daerah distribusi geografis yang terbatas. Aedes Aegypti merupakan
nyamuk pembawa virus dengue yang terdapat hampir di seluruh pelosok
Indonesia, kecuali di tempat-tempat dengan ketinggian lebih dari 1000
meter di atas permukaan laut. 10

b. Siklus penularan

Menghisap Nyamuk Aedes


Nyamuk
darah penderita pembawa virus
Aedes
DHF Dengue (infektif)

Manusia sehat,
tergigit
Inkubasi
2-14 hari
Terinfeksi
Gejala awal muncul :
virus Dengue
demam, pusing, myalgia,
(Inkubasi
dll
Eksterinsik

Gambar 2.1 Siklus penularan10


c. Masa inkubasi
Infeksi dengue memiliki masa inkubasi antara 2 sampai 14 hari, biasanya
4-7 hari. 10
d. Host
Virus dengue menginfeksi manusia dan beberapa spesies dari primata
rendah. Tubuh manusia adalah reservoir utama bagi virus dengue. Orang
yang dengan kekebalan tubuh yang sedang turun akan lebih rentan terkena
penyakit ini. Umumnya gejalanya lebih ringan terutama pada anak-anak
dibanding orang dewasa. 10

2.1.7 Fase berdasarkan manifestasi klinis

19
1 Fase Demam
Pasien akan mengalami demam tinggi secara mendadak yang berlangsung
selama 2-7 hari dan disertai wajah kemerahan, eritema pada kulit, myalgia,
atralgia, dan sakit kepala. 11
Pasien dapat mengalami gejala sakit tenggorokan, faring yang
hiperemis dan injeksi konjungtiva. Gejala umum seperti anoreksia, mual
dan muntah juga dapat terjadi sehingga sulit untuk membedakan dengan
demam non-dengue. Uji torniquet positif pada fase ini meningkatkan
kemungkinan dengue. 11
Manifestasi perdarahan ringan seperti petekie dan perdarahan
membran mukosa (hidung dan gusi), pembesaran hati dan terasa sakit juga
dapat terjadi setelah beberapa hari demam. Kelainan paling awal dalam
hitung darah lengkap adalah penurunan progresif total sel darah putih.
Untuk mengetahui penderita masuk ke fase kritis, diperlukan pemantau
tanda-tanda bahaya (warning sign). 11
2 Fase Transisi
Fase ini terjadi penurunan suhu tubuh menjadi <38°C namun terjadi
peningkatan permeabilitas kapiler dengan peningkatan kadar hematokrit
yang merupakan tanda awal dari fase ini (hari ke 3-7). Kebocoran plasma
yang signifikan secara klinis berlangsung selama 24 – 48 jam ditandai
dengan leukopenia yang progresif dan penurunan jumlah trombosit. Pasien
yang mengalami peningkatan permeabilitas kapiler akan bertambah parah
akibat kehilangan volume plasma. 11
Efusi pleura dan asites secara klinis dapat terdeteksi tergantung
tingkat keparahan kebocoran plasma yang dapat dideteksi dengan
peningkatan kadar hematokrit. Jika volume plasma berkurang akan masuk
dalam fase kritis, dan didahului oleh warning signs berupa nyeri perut,
muntah-muntah hebat, letargi, pembesaran hepar >2 cm, pendarahan
mukosa, trombositopeni dan penumpukan cairan di rongga tubuh karena
peningkatan permeabilitas pembuluh darah kapiler. Syok yang
berkepanjangan, menyebabkan hipoperfusi organ sehingga mengakibatkan

20
gangguan organ, asidosis metabolik dan Disseminated Intravascular
Coagulation (DIC). 11
3 Fase Penyembuhan/Recovery
Pasien yang melewati fase kritis akan masuk fase recovery dimana terjadi
reabsorpsi cairan extravaskular dalam 48-72 jam, keadaan umum akan
membaik seperti nafsu makan bertambah, gejala gastrointestinal mereda,
status hemodinamik stabil dan terjadi diuresis. Ruam, pruritis, bradikardi
dapat terjadi pada fase ini. Hematokrit menjadi stabil atau menurun akibat
dari efek pengenceran dan absorpsi cairan. 11
Leukosit akan meningkat perlahan setelah suhu tubuh menurun, diikuti
dengan peningkatan trombosit. Distres pernapasan akibat efusi pleura dan
asites dapat terjadi akibat dari terapi cairan intravena yang berlebihan
sewakti fase kritis atau fase recovery yang dikaitkan dengan edem paru
atau gagal jantung kongestif sehingga pemberian terapi harus diperhatikan.
11

2.1.8 Bagan Manifestasi Klinis

21
Infeksi Virus Dengue

Asimtomatik Simtomatik

Demam yang Demam dengue DHF Sindroma dengue


tidak khas (dengan kebocoran expanded Organopati
(sindrom viral) plasma) terisolasi (manifestasi
tidak lazim)

Dengan
DHF dengan syok
Tanpa perdarahan perdarahan Dengue Syok
DHF tanpa
yang tidak Syndrome (DDS)
syok
biasa

Gambar 2.2 Manifestasi klinis DHF9

Penjelasan dari bagan manfestasi virus dengue


Demam yang tidak khas
Demam dirasakan oleh bayi, anak-anak maupun dewasa yang disebabkan oleh
infeksi virus dengue, apabila infeksi terjadi pertama kali (infeksi dengue primer).
Demam tidak dapat dibedakan dengan demam akibat infeksi virus lainnya. Ruam
makulopapular dapat muncul menyertai demam ataupun pada saat demam
berangsur normal. Gejala lain yang sering menyertai adalah gejala yang
melibatkan sistem respirasi dan gastrointestinal. 9

Demam dengue
Demam dengue adalah suatu kondisi demam akut yang kadang-kadang memiliki
pola bifasik dan disertai sakit kepala hebat, mialgia, arthralgia, ruam di kulit,
leukopenia dan trombositopenia yang paling sering dijumpai pada kelompok usia
anak-anak, remaja dan dewasa. Demam dengue merupakan suatu kondisi yang

22
tidak berbahaya, namun dapat menyebabkan penderita khusunya orang dewasa
tidak dapat beraktivitas. Dapat muncul perdarahan yang tidak khas seperti
perdarahan gastrointestinal, serta epistaksis. Pada daerah yang epidemis demam
dengue, penularan demam dengue jarang terjadi antara sesama penduduk lokal. 9

DHF
Terjadi lebih sering pada anak-anak usia <15 tahun di area hiperendemik dan
menyebabkan infeksi dengue berulang. Insidensi pada orang dewasa juga
meningkat. 9
Demam Berdarah Dengu memiliki ciri berupa demam tinggi dengan onset
akut dan tanda gejala mirip dengan gejala demam dengue pada fase awal. Pada
DHF dapat dijumpai adanya kelainan dalam perdarahan misalnya, uji tourniquet
(rumple leed) positif, petekiae, lebam-lebam serta perdarahan saluran cerna pada
kasus yang lebih berat. Pada akhir fase demam dapat terjadi ancaman berupa syok
hipovolemik (DSS) karena adanya kebocoran plasma.9
Tanda-tanda peringatan (warning sign) seperti muntah persistensi, nyeri abdomen,
letargi, gelisah, mudah marah, serta oliguria merupakan hal yang penting untuk
segera ditindak lanjuti dalam rangka mencegah syok. Gangguan hemostatis dan
kebocoran plasma merupakan proses patofisiologi yang utama pada demam
berdarah dengue. Trombositopenia serta demam/onset syok merupakan gambaran
yang selalu ditemui sebelum terjadinta demam/onset dari syok.9

Sindroma dengue expanded


Manifestasi DHF maupun demam dengue dan terdapat keterlibatan organ-organ
seperti hati, ginjal, otak dan jantung yang memiliki kaitan dengan infeksi dengue,
namun tidak terdapat bukti adanya kebocoran plasma. Kemungkinan disebabkan
oleh koinfeksi, kormorbiditas, ataupun komplikasi dari syok yang
berkepanjangan. Studi yang lebih mendalam perlu dilakukan untuk kasus ini.9

2.1.9 Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium

23

Leukosit: dapat normal atau menurun(WBC < 5000 sel/mm3). Pada hari
ke-3 dapat ditemui limfositosis relatif (>45% dari total leukosit) disetai
limfosit plasma biru (>15%) dari jumlah total leukosit yang pada fase syok
akan meningkat.
 Trombosit: terdapat trombositopenia pada hari ke 3 – 8. Trombositopenia
ringan (100.000 – 150.000 sel/mm3) sering terjadi. Sekitar setengah dari
pasien demam dengue akan mengalami penurunan jumlah trombosit
hingga <100.000 sel/mm3, namun trombositopenia berat (<50.000
sel/mm3) jarang terjadi.

Hematokrit: kebocoran plasma dapat dibuktikan dengan ditemukannya
peningkatan hematokrit > 20% dari hematokrit awal yang terjadi pada hari
ke-3 demam.

Hemostasis: pemeriksaan PT, APTT, fibrinogen, D-Dimer, atau FDP pada
keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan pembekuan darah.

Protein/albumin: terjadi hipoproteinemia yang disebabkan kebocoran
plasma.

SGOT/SGPT: meningkat

Urem, kreatinin: meningkat, bila didapatkan gangguan fungsi ginjal

Elektrolit: menjadi parameter pemantuan pemberian cairan

Golongan darah dan cross match (uji cocok serasi): bila akan transfusi
darah atau komponen darah

Imunoserologi terhadap dengue
 IgM: terdeteksi pada hari ke 3-5, dapat meningkat sampai minggu
ketiga dan menghilang setelah 60-90 hari
 IgG: pada infeksi primer terdeteksi pada hari ke -14, pada infeksi
sekunder IgG terdeteksi pada hari ke-2

Uji HI: pengambilan bahan dilakukan pada hari pertama serta saat pulang
perawatan, uji ini digunakan untuk kepentingan surveilans

NS1: antigen NS1 dapat dideteksi pada awal demam hari pertama sampai
hari ke delapan. Sensitivitas antigen NS1 berkisar 63% - 93% dengan
spesifisitas 100% sama tingginya dengan spesifistas gold standard kultur

24
virus. Hasil negatif NS1 tidak menyingkirkan adanya infeksi virus dengue.
8

Pemeriksaan radiologi
 Foto dada dengan posisi lateral dekubitus kanan dapat ditemukan efusi
pleura, terutama pada hemitoraks kanan tetapi apabila terjadi pembesaran
plasma hebat, efusi pleura dapat dijumpai pada kedua hemitoraks
 Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan pemeriksaan USG

2.1.10 Klasifikasi Infeksi Dengue beserta Gradingnya

Tabel 2.1 Klasifikasi infeksi dengue9


DD/DHF Derajat Gejala dan Tanda Laboratorium
Demam Demam yang disertai dengan  Leukopenia (<5000
Dengue salah satu: sel/mm3)
 Sakit kepala  Trombositopenia
 Nyeri retroorbital (hitung platelet
 Mialgia <150.000 sel/mm3)
 Atralgia/nyeri tulang  Peningkatan

 Ruam kulit hematokrit (5-10%)

 Manifestasi perdarahan  Tidak ada kebocoran

 Tidak ada bukti plasma

kebocoran plasma
DHF I Demam dengan manifestasi Trombositopenia (hitung
perdarahan (uji torniquet positif platelet <100.000
serta adanya bukti kebocoran sel/mm3), peningkatan
plasma hematokrit > 20%
DHF II Seperti derajat I ditambah Trombositopenia
dengan perdarahan spontan (hitung platelet
<100.000 sel/mm3),
peningkatan
hematokrit > 20%
DHF III Seperti derajat I dan II Trombositopenia
ditambah dengan kegagalan (hitung platelet
sirkulasi (nadi lemah, <100.000 sel/mm3),

25
tekanan darah menurun peningkatan
<20mmHg), hipotensi, hematokrit > 20%
gelisah
DHF IV Seperti derajat II ditambah Trombositopenia
dengan syok yang nyata (hitung platelet
(tekanan darah dan nadi tidak <100.000 sel/mm3),
dapat terdeteksi peningkatan
hematokrit > 20%

2.1.11 Penanganan DHF Dewasa

26
DHF

Normal Hb, Ht normal, Hb, Ht normal, Hb, Ht meningkat,


Trombo 100.000 Trombo < 100.000 Trombo
– 150.000 normal/menurun
sel/mm3
sel/mm3

Observasi rawat Observasi rawat Rawat Rawat


jalan jalan
Periksa Hb, Ht, Periksa Hb, Ht,
Leuko, Leuko,
Trombo/24 jam Trombo/24 jam

Gambar 2.3 Penanganan DHF dewasa9


4
Suspek DBD
Perdarahan spontan dan masif (-)
Syok (-)

Hb, Ht normal Hb, Ht meningkat 10-20% Hb, Ht meningkat >20%


Tombosit < 100.000 sel/mm3 Tombosit < 100.000 sel/mm3 Trombosit < 100.000
Infus Kristaloid* Infus Kristaloid* sel/mm3
Hb, Ht, trombo setiap 24 Hb, Ht, trombo setiap 12 jam
jam **

Gambar 2.4 Pemberian cairan DHF dewasa di ruang rawat9


*Rumus kebutuhan volume cairan kristaloid per hari:
1500 + 20 x (BB dalam kg - 20)

27
5% deficit cairan

Terapi awal cairan intravena


Kristaloid 6-7 ml/kg/jam

Evaluasi
3-4 jam TIDAK MEMBAIK
PERBAIKAN Ht dan nadi meningkat,
tekanan darah menurun
Ht dan frekuensi nadi turun,
<20 mmHg, produksi urin
tekanan darah membaik,
menurun
produksi urin meningkat

TANDA VITAL DAN


Kurangi infus Infus kristaloid
kristaloid HEMATOKRIT 10 ml/kg/jam
5ml/kg/jam MEMBURUK

TIDAK MEMBAIK
PERBAIKAN PERBAIKAN

Infus kristaloid
Kurangi infus 15 ml/kg/jam
kristaloid
3ml/kg/jam

KONDISI MEMBURUK
Tanda syok
PERBAIKAN

Terapi cairan dihentikan Tatalaksana sesuai protocol


24-48 jam syok dan perdarahan

PERBAIKAN

Gambar 2.5 Penatalaksanaan DHF dengan Peningkatan Ht >20%.9

2.1.12 Kriteria Memulangkan Pasien


 Tampak perbaikan secara klinis

28
 Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik
 Tidak dijumpai distress pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau
asidosis)
 Hematocrit stabil
 Jumlah trombosit cenderung naik
 Tiga hari setelah syok teratasi
 Nafsu makan membaik

2.2 Demam Tifoid


2.2.1 Epidemiologi

Demam tifoid merupakan infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri Salmonella
enterica reservoar typhi, umumnya disebut Salmonella typhi (S.typhi). Jumlah
kasus demam tifoid di seluruh dunia diperkirakan terdapat 21 juta kasus dengan
128.000 sampai 161.000 kematian setiap tahun, kasus terbanyak terdapat di Asia
Selatan dan Asia Tenggara.11

Demam tifoid merupakan 10 besar penyakit terbanyak pada pasien rawat inap
rumah sakit di Indonesia dengan jumlah kasus tahun 2010 terdapat 41.801 kasus
dengan CFR (Case Fatality Rate) 0,67% dan tahun 2011 terdapat 55.098 kasus
dengan CFR 2,06%. Sedangkan, Berdasarkan SKDR Kemenkes bagian
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2PL), kasus demam tifoid di Jawa
Tengah selama 3 tahun berturutturut menempati urutan ke-3. Pada tahun 2014
terdapat 17.606 kasus, pada tahun 2015 terdapat 13.397 kasus, sedangkan pada
tahun 2016 terdapat sebanyak 244.071 kasus mengalahkan pneumonia,
leptospirosis, flu singapura dan penyakit lainnya. Distribusi suspek demam tifoid
menurut tempat, Kota Semarang menempati sepuluh besar pada 4 tahun terakhir
secara berturut-turut dan tahun 2016 menempati urutan ke-9 dari 35
kabupaten/kota di Jawa Tengah.12

Demam tifoid menduduki peringkat 3 dari 10 besar penyakit di rumah sakit


dengan jumlah 5798 kasus, sedangkan pada tahun 2013 menduduki peringkat 1
dari 10 besar penyakit di rumah sakit dengan jumlah 9357 kasus, dan pada tahun

29
2014 tetap menduduki peringkat 1 dari 10 besar penyakit di rumah sakit dengan
jumlah 9721 kasus, selanjutnya pada tahun 2015 demam tifoid tetap menduduki
peringkat 1 dari 10 besar penyakit dengan jumlah 9748 kasus.13

2.2.2 Definisi

Demam tifoid adalah infeksi akut saluran cerna yang disebabkan oleh S.typhi.
Demam paratifoid adalah penyakit sejenis yang disebabkan oleh Salmonella
Paratyphi A,B, dan C. Gejala dan tanda penyakit tersebut hampir sama, nanum
manifestasi paratifoid lebih ringan.14

2.2.3 Patogenesis

Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam tubuh


manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi. Sebagian kuman
dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan
selanjutnya berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus
kurang baik, maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan
selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan
difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan
berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawah ke plak peyeri
ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya
melalui ductus torasikus kuman yang terdapat didalam makrofag ini masuk ke
dalam sirkulassi darah (mengakibatkan bakterimia pertama yang asimtomatik) dan
menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di
organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang
biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk dalam sirkulasi darah
lagi mengakibatkan bacteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda
dan gejala penyakit infeksi sistemik.15

Kuman dapat masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak dan bersama
cairan empedu diekskresikan secara intermitten ke dalam lumen usus. Sebagian
kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi
setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, karena makrofag
yang telah teraktivasi, hiperaktif, maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi

30
pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan
gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, myalgia, sakit kepala,
sakit perut, gangguan vascular, mental dan koagulasi.15

Di dalam plak peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hyperplasia


jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat,
hyperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi
akibat erosi pembuluh darah sekitar plak peyeri yang sedang mengalami nekrosis
dan hyperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus. Proses
patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa
usus, dan dapat mengakibatkan perforasi.15

Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat


timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular,
pernapasan, dan gangguan organ lain. 15

2.2.4 Gambaran Klinis

Masa inkubasi demam tifod berlansung antara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis
yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari asimptomatik
hingga gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian. 15

Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala
serupa dengan penyakit infeksi akut lainnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing,
nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di
perut, batuk, dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan
meningkat. Sifat demam adalah meningkat perlahan-lahan terutama pada sore
hingga malam hari. Dalam minggu kedua, gejala menjadi lebih jelas berupa,
demam, bradikardia relative (bradikardia relative adalah peningkatan suhu 1˚C
tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8x/mnt), lidah yang berselaput (kotor
ditengah, tepi dan ujung lidah merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali,
meteorismus, gangguan mental berupa somnolen, spoor, koma, delirium atau
psikosis.15

2.2.5 Pemeriksaan Penunjang

31
 Pemeriksaan Rutin

Pada pemeriksaan darah perifer lengkap, sering ditemukan leukopenia, namun


dapat pula dijumpai leukositosis atau leukosit dalam batas normal. Leukositosis
dapat terjadi walaupun tanpa disertai infeksi sekunder. Selain itu dapat juga
dijumpai anemia ringan dan trombositopenia. Pada pemeriksaan hitung jenis
leukosit dapat terjadi aneosinofilia maupun limfopenia. Laju endap darah pada
demam tifoid dapat meningkat.15

SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal
setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memeerlukan penanganan
khusus. Pemeriksaan rutin lain yang dilakukan adalah uji widal dan kultur
Salmonella shigella. Sampai saat ini, kultur merupakan gold standart dalam
penegakkan diagnostic demam tifoid. Selain uji widal, terdapat beberapa metode
pemeriksaan serologi lain yang dapat dilakukan dengan cepat dan mudah serta
memiliki sensitivitas dan spesifisitas lebih baik, antara lain pemeriksaan serologi
IgM/IgG Salmonella.15

 Uji Widal

Uji widal dilakukan untuk deteksi antibody terhadap kuman S. thypi. Pada uji
widal terjadi reaksi aglutinasi antara antigen kuman S. thypi dengan antibody yang
disebut agglutinin. Antigen yang digunakan pada uji Widal adalah suspensi
Samonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji widal
adalah untuk menentukan adanya agglutinin dalam serum penderita tersangka
demam tifoid yaitu: Aglutinin O (dari tubuh kuman), Aglutinin H (flagella
kuman), dan Aglutinin Vi (simpai kuman).15

Dari ketiga agglutinin tersebut hanya agglutinin O dan H yang digunakan untuk
diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan
terinfeksi kuman ini. Pembentukan agglutinin mulai terjadi pada akhir minggu
pertama demam, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada
minggu ke-empat dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut mula-
mula timbul agglutinin O kemudian diikuti dengan agglutinin H. Pada orang yang
telah sembuh, agglutinin O masih dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin

32
H menetap lebih lama antara 9-12 bulan. Oleh karena itu uji widal bukan untuk
menentukan kesembuhan penyakit.15

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji widal yaitu: pengobatan dini dengan
antibiotic, gangguan pembentukan antibody, dan pemberian kortikosteroid, waktu
penggambilan darah, daerah endemic atau non endemic, riwayat vaksinasi, reaksi
anamnestic yaitu peningkatan titer agglutinin pada infeksi bukan demam tifoid
akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi, faktor teknik pemeriksaan
antar laboratorium, akibat aglutinasi silang, strain Salmonella yang digunakan
untuk suspense antigen.15

 Uji Typhidot

Uji Typhidot dapat mendeteksi antibody IgM dan IgG yang terdapat pada protein
membrane luar S. typhi. Hasil positif pada uji typhidot didapatkan 2-3 hari setelah
infeksi dan dapat mengidentifikasi secara spesifik antibodi IgM dan IgG terhadap
antigen S. typhi seberat 50kD yang terdapat pada strip nitroselulosa. Didapatkan
sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifisitas sebesar 76,6% dan efisiensi uji sebesar
84% pada penelitian yang dilakukan oleh Gopalakhrisnan dkk tahun 2002 yang
dilakukan pada 144 kasus demma tifoid. Pada penelitian lain yang dilakukan oleh
Olsen dkk, didapatkan sensifitas dan spesifisitas uji ini hamper sama dengan uji
Tubex yaitu 79% dan 89% dengan 78% dan 89%.15

Pada kasus reinfeksi, respon imun sekunder (IgG) teraktivasi secara berlebihan
sehingga IgM sulit terdeteksi. IgG dapat bertahan sampai 2 tahun sehingga
pendeteksian IgG saja tidak dapat digunakan untuk membedakan antara infeksi
akut dengan kasus reinfeksi atau konvalesen pada kasus infeksi primer. Untuk
mengatasi masalah tersebut, uji ini kemudian dimodifikasi dengan menginaktivasi
total IgG pada sampel serum. Uji ini, yang dikenal dengan nama uji Typhidot-M
memungkinkan ikatan antara antigen dengan IgM spesifik yang ada pada serum
pasien. Studi evaluasi yang dilakukan oleh Khoo KE dkk pada tahun 1997
terhadap yji Typhidot-M menunjukan bahwa uji ini bahkan lebih sensitive
mencapai 100% dan lebih cepat (3jam) dilakukan bila dibandingkan dengan
kultur. 15

33
 Uji IgM Dipstick

Uji ini secara khusus mendeteksi antibody IgM spesifik terhadap S. typhi pada
specimen serum atau whole blood. Uji ini menggunakan strip yang mengandung
antigen lipopolisakarida (LPS) S. typhi dan anti IgM (sebagai control), reagen
deteksi yang mengandung antibody anti IgM yang ditempelkan dengan lateks
pewarna, cairan membasahi strip sebelum diinkubasi dengan reagen dan serum
pasien, tabung uji. Komponen perlengkapan ini stabil untuk disimpan selama 2
tahun pada suhu 4-25˚C di tempat kering tanpa paparan sinar matahari.
Pemeriksaan dimulai dengan inkubasi strip pada larutan campuran reagen deteksi
dan serum, selama 3 jam pada suhu kamar. Setelah inkubasi, strip dibilas dengan
air mengalir dan dikeringankan. Secara remi kuantitatif, diberikan penilaian
terhadap garis uji dengan membandingkannya dengan reference strip. Garis
control harus terwarna dengan baik.15

House dkk tahun 2001 dan Gasem MH dkk tahun 2002 meneliti mengenai
penggunaan uji ini dibandingkan dengan pemeriksaan kultur darah di Indonesia
dan melaporkan sensitivitas sebesar 65-77% dan spesifisitas sebesar 95-100%.
Pemeriksaan ini mudan dan cepat (dalam 1 hari) dilakukan tanpa peralatan khusus
apapun, namun akurasi hasil didapatkan bila pemeriksaan dilakukan 1 minggu
setelah timbulnya gejala.15

 Kultur Darah

Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi hasil
negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin deisebabkan beberapa
hal seperti telah mendapat antibiotic sebelumnya, jika pasien mendapat antibiotic
sebelum dilakukan kultur darah, pertumbuhan kuman dalam media biakan
terhambat dan mungkin negatif, volume darah yang kurang (diperlukan kurang
lebih 5cc darah). Jika darah yang dibiak terlalu sedikit hasil biakan bisa negatif.
Darah yang diambil sebaiknya secara bedside langsung dimasukkan ke dalam
media cair empedu (oxgall) untuk pertumbuhan kuman. Riwayat vaksinasi dimasa
lampau menimbulakn antibody dalam darah pasien. Antibody (aglutinin) ini dapat

34
menekan bakterimia sehingga biakan darah dapat negatif. Waktu pengambilan
darah setelah minggu pertama, pada saat agglutinin semakin meningkat.15

 Tubex

Pemeriksaan IgM yang saat ini paling sering digunakan adalah tes tubex yang
mendi salah satu pilihan dalam penegakan diagnosis demam tifoid dikarenakan tes
tubex hanya memerlukan sampel darah yang sedikit dan tidak memerlukan waktu
lama dalam pengerjaannya. Sedangkan pemeriksaan dengan tes typhidot dan
dipstick masih lebih jarang digunakan dibandingkan dengan tes widal. Tes tubex
merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana.secara akurat
dapat mendeteksi infeksi akut karena dapat mendeteksi terbentuknya IgM. 15

2.2.6 Penatalaksanaan

Trilogi penatalaksanaan demam tifoid:

-
Istirahat dan perawatan. Tirah baring dan perawatan professional bertujuan
untuk mencegah komplikasi. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya
di tempat akan membantu dan mempercepat masa penyembuhan. Dalam
perawatan perlu sekali dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian dan
perlengkapan yang dipakai.posisi pasien perlu diawasi untuk mencegah
decubitus dan pneumonia ortostatik serta hiegine perorangan tetap perlu
diperhatikan dan dijaga. 15
-
Diet dan terapi penunjang. Diet merupakan hal yang cukup pending dalam
proses penyembuhan penyakit demam tifoid, karena makanan yang kurang
akan menurunkan keadaan umum dan gizi penderita akan semakin turun
dan proses penyembuhan akan menjadi lama. Di masa lampau penderita
demam tifoid diberi diet bubur saring, kemudian ditingkatkan menjadi
bubur kasar dan akhirnya diberikan nasi, dimana perubahan diet tersebut
disesuaikan dengan tingkat kesembuhan pasien. Pemberian bubur saring
tersebut ditujukan untuk menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna
atau perforasi usus. Hal ini disebabkan adanya pendapat bahwa usus harus
diistirahatkan. Beberapa peneliti menunjukan bahwa pemberian makan
padat dini yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (menghindari

35
sementara sayuran yang berserat) dapat diberikan dengan aman pada
pasien demam tifoid. 15
-
Pemberian antimikroba dengan tujuan menghentikan dan mencegah
penyebaran kuman. Obat yang sering digunakan untuk mengobati demam
tifoid adalah:
o
Kloramfenikol. Di Indonesia, kloramfenikol masih merupakan obat
pilihan untuk mengobati demam tifoid. Dosis yang diberikan
adalah 4x500mg per hari dan dapat diberikan per oral atau
intravena. Diberikan sampai dengan 7 hari bebas demam.
o
Tiamfenikol. Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid
hamper sama dengan kloramfenikol, akan tetapi komplikasi
hematologi seperti kemungkinan terjadinya anemia aplastic lebih
rendah dibandingkan dengan kloramfenikol. Dosis tiamfenikol
adalah 4x500mg. demam rata-rata menurun pada hari ke 5-6.
o
Kotrimoksazol. Efektivitas obat ini hampir sama dengan
kloramfenikol. Dosis untuk orang dewasa adalah 2x2 tab, dengan 1
tablet mengandung sulfametoksazol 400mg dan 80mg
trimeptoprim. Diberikan selama 2 minggu.
o
Ampisilin dan amoksisilin. Kemampuan obat ini untuk
menurunkan demam lebih rendah dibandingkan dengan
kloramfenikol, dosis yang dianjurkan berkisar antara 50-
150mg/kgBB dan digunakan selama 2 minggu.
o
Sefalosporin generasi ketiga. Hingga saat ini golongan sefalosporin
generasi k3 yang terbukti efektif untuk demam tifoid adalah
seftriaxon, dosis yang dianjurkan adalah antara 3-4 gram dalam
dextrose 100cc diberikan selama ½ jam perinfus sekali sehari,
diberikan selama 3-15 hari.
o
Fluorokuinolon. Beberapa jenis sediaan obat dan aturan pemberian:
 Norfloksasin dosis 2x400mg/hari selama 14 hari
 Siprofloksasin dosis 2x500mg/hari selama 6 hari
 Ofloksasin dosis 2x400mg/hari selama 7 hari
 Pefloksasin dosis 400mg/hari selama 7 hari

36
 Fleroksasin dosis 400mg/hari selama 7 hari
 Levofloksasin dosis 1x500mg/hari selama 5 hari
o
Azitromisin 2x 500mg menunjukan bahwa penggunaan obat ini
jika dibandingkan dengan fluorokuinolon, azitromisin secara
signifikan mengurangii kegagalan klinis dan durasi rawat inap,
terutama jika penelitian mengikutsertakan strain multi drug
resistance (MDR) maupun Nalidixic Acid Resistance S. Typhi
(NARST). Jika dibandingkan dengan seftriakson penggunaan
azitromisin dapat mengurangi angka relaps. Azitromisin mampu
menghasilkan konsentrasi dalam jaringan yang tinggi walaupun
konsentrasi dalam darah cenderung rendah. Antibiotika akan
terkonsentrasi di dalam sel, sehingga antibiotika ini menjadi ideal
untuk digunakan dalam pengobatan infeksi oleg S. typhi yang
merupakan kuman intraseluler. Keuntungan lain adalah azitromisin
tersedia dalam bentuk sediaan oral maupun suntikan. 15

37

Anda mungkin juga menyukai