Anda di halaman 1dari 11

MENGGAGAS POLA PENGELOLAAN WILAYAH MENTAWAI

BERBASIS KEARIFAN LOKAL1


Oleh : Zainal Arifin2

A. PENDAHULUAN

Mentawai sebagai sebuah rangkaian kepulauan dengan luas areal ±


6.011,35 km2, dan dengan jumlah penduduk ± 76.173 jiwa (BPS Sumatera
Barat, 2012), memiliki kekhasan tersendiri di bandingkan dengan daerah-
daerah lainnya yang ada di propinsi Sumatera Barat. Tidak saja karena tipikal
geografis daerahnya yang terdiri dari rangkaian pulau-pulau muda, tetapi juga
karena secara sosial ekonomi budaya sangat berbeda dengan daerah daratan
lainnya (Minangkabau). Ini membuat Mentawai tidak saja memiliki potensi
sumberdaya yang relatif berbeda dengan daerah lainnya, tetapi juga
membutuhkan perlakuan yang juga berbeda.
Tercatat ada sekitar 20 spesies endemik yang hidup di kepulauan ini,
dimana empat diantaranya adalah primata, yaitu joja atau lutung Mentawai
(Presbytis potenziani), bilou atau siamang kecil (Hylobates klossi), simakobu
atau monyet berhidung pendek (Simias concolor), dan bokkoi atau beruk
Mentawai (Macaca pagensis). Disamping itu, pulau Mentawai juga mengandung
potensi tanaman obat yang tidak terhingga, yang sudah lama dimanfaatkan
oleh masyarakatnya dalam mengatasi berbagai penyakit yang ada (Badan
Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI. 2012.
Riset Tumbuhan Obat dan Jamu (Ristoja). Pengetahuan akan penyakit dan jenis
tumbuhan ramuan ini tidak saja dipahami oleh sikerei sebagai ahli pengobatan
tetapi juga oleh sebahagian masyarakat awam (simatak).
Potensi-potensi ini, tidak saja menjadi aset yang tidak ternilai harganya
bagi dunia (UNESCO) dengan ditetapkannya sebahagian wilayahnya menjadi
Taman Nasional Siberut, tetapi juga menjadi aset bagi masyarakat Mentawai itu

1
Disampaikan dalam Semiloka Hasil Kajian Komprehensif dan Rekomendasi Skema Acuan Pengelolaan
Wilayah Pulau Siberut, yang dilaksanakan oleh Yayasan Kirekat Indonesia (YKI) pada tanggal 11-12
Februari 2014.
2
Dosen di jurusan Antropologi, FISIP Universitas Andalas, Padang.

Semiloka Pengelolaan Kawasan Siberut (Zainal Arifin) ---------------------------------------------------------- Page | 1


sendiri. Akan tetapi perkembangan pengetahuan dan tekhnologi, serta berbagai
kepentingan untuk mengekploitasi potensi dan sumberdaya kepulauan
Mentawai, telah membawa dampak tersendiri bagi kelestarian dan pengelolaan
keberlanjutan kawasan hutan Mentawai ini. Untuk itu, melalui kajian
komprehensif, diharapkan tersusun sebuah rumusan acuan pengelolaan wilayah
ini, diharapkan akan memberikan dorongan kepada masyarakat agar mampu
menggali potensi dirinya sesuai dengan potensi, kemampuan dan kearifan lokal
yang dimilikinya.

B. KEARIFAN LOKAL DAN SUMBERDAYA

Kearifan lokal (local wisdom) adalah nilai-nilai, pengetahuan, konsepsi-


konsepsi, keyakinan dan kepercayaan-kepercayaan yang melekat dan
mengendap dalam kognitif sekelompok orang yang teraplikasi dalam perilaku
dan kebiasaan dalam berbagai aktivitas kehidupan masyarakatnya (Arifin,
2004). Oleh sebab itu, dalam beberapa konsepsi, maka kearifan lokal ini juga
sering dipahami sebagai bentuk kapasitas lokal (local capacity) yang dibedakan
dengan tradisi-tradisi yang dikembangkan dalam masyarakat dalam ujud seperti
perilaku, material dan tekhnologi. Akan tetapi dasar terbentuknya tradisi dan
tata cara penggunaan serta aplikasinya di tengah masyarakat akan dipengaruhi
oleh kearifan lokal itu sendiri.
Sebagai sesuatu yang mempedomani dan teraplikasi dalam kebiasaan
komunitasnya, maka kearifan lokal cenderung akan menjadi alternatif terbaik
bagi komunitas pemiliknya (insider), yang bisa saja dianggap oleh orang luar
(outsider) kurang baik, jelek bahkan dianggap negatif. Konsep cadiak dalam
masyarakat Minangkabau misalnya, sering dianggap sebagai konsepsi yang
jelek bagi orang luar (non-Minangkabau), walaupun bagi masyarakat
Minangkabau justru konsepsi ini lah yang mengendalikan kehidupan mereka
sehingga menjadi adaptif dalam kondisi dan ruang apapun. Merantau akhirnya
menjadi sesuatu yang tidak perlu ditakutkan karena perilakunya akan
dikendalikan melalui kearifan lokal dalam konsep cadiak ini.

Semiloka Pengelolaan Kawasan Siberut (Zainal Arifin) ---------------------------------------------------------- Page | 2


Dalam aplikasinya, kearifan lokal inilah yang memandu manusia dan
komunitas lokal dalam mengelolah dan memanfaatkan serta mengembangkan
potensi sumberdaya yang mereka miliki di lingkungannya. Oleh sebab itu,
kearifan lokal harus dipandang sebagai pedoman dalam berkehidupan yang
digunakan masyarakat dalam mengelolah potensi lingkungannya, bukan
sekedar nilai-nilai tradisional yang harus dihapus dan ditinggalkan. Banyak
contoh yang menunjukkan dimana potensi sumberdaya alam yang cukup besar
justru tidak mampu diolah menjadi sumberdaya ekonomi masyarakatnya, bukan
karena ketidakmampuan masyarakat dalam mengelolah tetapi sering
disebabkan karena pola pengelolaan tidak sesuai dengan kearifan lokal yang
berkembang dan dikembangkan dalam masyarakatnya.
Oleh sebab itu, banyak kasus menunjukkan dimana potensi sumberdaya
alam yang memadai dengan potensi sumberdaya manusia yang juga memadai,
ternyata tidak selalu akan memajukan suatu komunitasnya, karena tidak
terpakainya kearifan lokal yang mereka miliki. Sebaliknya, juga banyak kasus
yang menunjukkan dimana sebuah masyarakat tidaklah memiliki potensi
sumberdaya alam yang memadai dan tidaklah memiliki sumberdaya manusia
yang memadai, tetapi berkembang dan relatif terpakainya kearifan lokal yang
berkembang di tengah masyarakat, ternyata mampu memanfaatkan peluang
dan potensi sumberdaya yang terbatas yang mereka miliki.

Skema Pola Hubungan Kearifan Lokal dan Potensi Sumberdaya

Semiloka Pengelolaan Kawasan Siberut (Zainal Arifin) ---------------------------------------------------------- Page | 3


C. POTENSI SUMBERDAYA DAN KEARIFAN LOKAL MENTAWAI

Secara historis, masyarakat Mentawai menyakini bahwa mereka berasal


dari daerah yang relatif sama, yaitu berasal dari daerah hulu yang dikenal
sebagai Simatalu. Melalui migrasi, akhirnya masyarakat Mentawai tersebar tidak
saja di wilayah sekitar pulau Siberut, tetapi juga terus ke selatan ke pulau
Sipora dan Pagai. Proses mitologi, migrasi yang terjadi diyakini karena
terjadinya konflik internal di dalam masyarakat Mentawai itu sendiri, yang oleh
sebahagian masyarakat dikenal dengan istilah langgai suei (perang dengan
saling melempar duri). Mitologi ini sebenarnya bisa ditafsirkan sebagai bentuk
“ketidak-betahan” masyarakat di suatu daerah karena beberapa persoalan
tertentu, mulai dari persoalan sederhana sampai ke persoalan pelik seperti
konflik antar suku.3
Aspek lain yang juga sering dilekatkan pada masyarakat Mentawai
adalah masih dipegang teguhnya kepercayaan arat sabulungan (Delfi, 2013).4
Kepercayaan arat sabulungan ini lah yang menjadi dasar bagi masyarakatnya
dalam melakukan berbagai aktivitas kehidupan. Kepercayaan ini tidak saya
mengendalikan pola kehidupan sosial budaya, tetapi juga mengendalikan
kehidupan sosial ekonomi dan politik. Dengan kata lain, kepercayaan arat
sabulungan adalah bentuk kearifan lokal masyarakat Mentawai dalam
mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi dalam kehidupannya. Sebagai
bentuk kearifan lokal, maka alam dengan segala sumberdaya nya haruslah
diposisikan seimbang (harmonis) dengan kehidupan manusia itu sendiri, karena
alam tidak saja menjadi tempat hidup bagi manusia, tetapi juga sebagai tempat
hidup bagi para roh (soul).
Disamping masih kuatnya keyakinan arat sabulungan, ciri lain yang
sering dilekatkan dengan kearifan lokal Mentawai adalah aplikasinya dalam

3
Dalam kehidupan sehari-hari, aplikasi dari mitologi ini bisa terbaca dari kebiasaan masyarakat
Mentawai yang akhirnya suka bermigrasi, namun disisi lain juga telah membentuk nilai-nilai
kepemilikan lahan menjadi lebih terbuka
4
Secara etimologi, arat sabulungan berasal dari kata arat yang berarti adat atau tata aturan, dan bulug
yang berarti daun. Kata bulug yang berarti daun, apabila ditambahkan awalan (sa) dan akhiran (an)
maka mengandung arti sekumpulan daun-daunan. Oleh sebab itu, aplikasi kepercayaan arat
sabulungan tidak bisa dilepaskan dengan lingkungan yang melingkupinya.

Semiloka Pengelolaan Kawasan Siberut (Zainal Arifin) ---------------------------------------------------------- Page | 4


pertanian dan hubungan sosial. Dalam aspek pertanian, beberapa ciri penting
yang melekat adalah pola pertaniannya yang bersifat campur sari dimana dalam
sebuah lahan pertanian, cenderung memuat semua jenis tanaman yang
diinginkan dengan pola tanam yang tidak beraturan. Di satu sisi, pola pertanian
campur sari seperti ini telah menjadikan masyarakat Mentawai sebagai
masyarakat yang tidaki pernah mengalami masa paceklik (kelaparan), karena
kegagalan panen akan jenis tanaman tertentu bisa tergantikan oleh jenis
tanaman yang lannya. Namun di sisi lain, pola pertanian demikian akhirnya
membuat produksi pertanian menjadi tidak maksimal.
Masyarakat Mentawai cenderung juga tidak memiliki budaya perawatan
secara maksimal sesuai dengan kebutuhan jenis tanaman itu sendiri. Hal ini
membuat jenis tanaman yang tumbuh di lahan pertanian, cenderung akan
dibiarkan begitu saja dan baru akan mendapat perlakuan ekstra (perawatan)
apabila mau panen dan dijual. Budaya perawatan seperti tidak saja teraplikasi
dalam pertanian, tetapi cenderung juga akan teraplikasi dalam berbegai aspek
kehidupan, seperti dalam peternakan, dan tekhnologi yang dimiliki. Artinya,
ternak atau tekhnologi yang dimiliki cenderung akan dibiarkan begitu saja dan
hanya akan dapat perlakukan khusus bila dibutuhkan saja.
Disamping dalam aspek pertanian, ciri lain yang juga sering dilekatkan
sebagai nilai-nilai budaya Mentawai terlihat dalam pengorganisasian sosial,
yang cenderung bersifat klan. Bagi masyarakat Mentawai, kelompok utama
adalah klan sehingga cenderung tidak ada kewajiban utama bagi seseorang
untuk membantu orang lain yang bukan anggota klannya. Sebaliknya, dianggap
hal yang tabu bagi seseorang apabila mencoba meminta bagian sesuatu yang
sudah dipegang oleh orang lain yang bukan klannya. Bahkan dianggap hal yang
tabu apabila seseroang mencoba “menjadi pahlawan” untuk membantu orang
lain yang bukan klannya. Hal inilah yang membuat berbagai program yang
disodorkan kepada kepala desa (atas nama desa), cenderung hanya “dikuasai”
oleh kepala desa dan klan nya, dan masyarakat desa yang bukan satu klan
dengan kepala desa cenderung akan diam dan tidak berani meminta dan
protes.

Semiloka Pengelolaan Kawasan Siberut (Zainal Arifin) ---------------------------------------------------------- Page | 5


Pola pengorganisasian sosial yang demikian, tentu saja membuat
masyarakat akhirnya terkotak-kotak dalam berbagai kelompok sesuai dengan
klannya. Di satu sisi ini bisa melahirkan kemajuan melalui persaingan antar
klan, namun disisi lain justru akan menjadi kendala apabila program yang
dilakukan bersifat tunggal dan sentralistik. Pola pengorganisasian yang
demikian, juga membuat masyarakatnya tidak memiliki tokoh sentral yang bisa
menjadi referensi bersama, karena setiap klan cenderung akan memiliki
tokohnya sendiri. Oleh sebab itu pola musyawarah bersama cenderung menjadi
alternatif yang sering digunakan apabila muncul persoalan antara dua klan yang
berbeda, dan legitimasi dari perdamaian biasanya akan dilakukan melalui punen
(upacara).

D. MENGGAGAS PENGELOLAAN SUMBERDAYA BERBASIS KEARIFAN


LOKAL : USULAN REKOMENDASI

1. Pola Pertanian

Pola pertanian campur-sari yang berkembang di masyarakat Mentawai,


di satu sisi memang membuat produksi pertanian yang mereka lakukan
cenderung tidak menghasilkan produk yang maksimal. Tetapi, sebagai sebuah
kebiasaan, bukan hal yang gampang untuk mengubah pola pertanian campur-
sari ini. Oleh sebab itu, perlu adanya pemikiran bagi pelaksana program untuk
menyesuaikan diri dengan kearifan lokal penerima program tersebut.
Berangkat dari pemikiran di atas, maka usulan yang mungkin bisa
dipertimbangkan adalah mengubah pola pertanian campur-sari menjadi pola
pertanian tumpang-sari yaitu menanam beberapa jenis tanaman di lahan yang
sama dengan lebih mengutamakan satu jenis tanaman prioritas, dan dengan
pola tanam yang beraturan. Oleh sebab itu, juga perlu dipertimbangkan
beberapa jenis tanaman yang sangat memungkinkan bisa tetap menghasilkan
secara maksimal di lahan-lahan tumpangsari ini. Oleh sebab itu, ada dua pola
yang coba ditawarkan, yaitu dengan melakukan pembagian lahan sesuai
dengan kebutuhan petani, atau dengan melakukan pembelahan secara simetris
sebagaimana pola tanam yang biasa dilakukan di masyarakat Jawa.

Semiloka Pengelolaan Kawasan Siberut (Zainal Arifin) ---------------------------------------------------------- Page | 6


Skema Pola Tanam Tumpang Sari.

2. Perawatan Tanaman

Masyarakat Mentawai relatif belum memiliki pola perawatan jenis


tanaman sebagaimana yang diisyaratkan dalam sistem pertanian modern.
Kondisi ini di satu membawa keuntungan karena tutupan lahan menjadi
bervariasi (multikultur) sehingga keragaman hayati lebih tinggi. Namun di sisi
lain, produksi pertanian menjadi tidak maksimal bahkan sangat memungkinkan
tidak menghasilkan dan mati. Berangkat dari pemikiran tersebut, maka perlu
dipertimbangkan untuk melakukan penanaman jenis tanaman yang relatif tidak
membutuhkan perawatan yang tinggi tetapi bernilai ekonomis. Beberapa jenis
tanamam ekonomis seperti karet justru tidak memerlukan perawatan ekstra
tetapi bisa menghasilkan (getah) setiap saat. Persoalannya apakah jenis
tanaman ini cocok untuk lahan-lahan di Mentawai, dan apakah jenis tanaman
ini juga diakrabi dalam nilai-nilai budaya dan keyakinan masyarakat Mentawai.

3. Produksi Pertanian

Masyarakat Mentawai relatif masih bersifat subsistensi, dimana masih


dimanjakan dengan kondisi alamnya, sehingga kebutuhan untuk menanam
kembali atau meremajakan kembali jenis tanaman produktif lainnya cenderung
belum dilakukan. Oleh sebab itu, produksi pertanian cenderung hanya akan
diambil secara mentah dari pohon untuk kemudian dijual di pasaran. Bahkan

Semiloka Pengelolaan Kawasan Siberut (Zainal Arifin) ---------------------------------------------------------- Page | 7


beberapa jenis tanaman yang ada di biarkan sebagai jenis tanaman hutan dan
tidak diolah sebagaimana seharusnya.
Persoalan utama yang sering dihadapi banyak masyarakat (termasuk
Mentawai) adalah persoalan pemasaran yang relatif terbatas, disamping akses
ke pasar juga terbatas. Akibatnya beberapa produk pertanian olahan relatif
tidak memiliki pasar yang jelas, dan akses terbatas juga membuat produksi
menjadi mahal dan sulit dipasarkan. Berangkat dari pemikiran ini, ada dua pola
yang bisa ditawarkan, pertama perlu dipertimbangkan adanya bantuan pihak
terkait untuk menyediakan pasar bagi produk pertanian olahan yang dihasilkan
oleh masyarakatnya. Kedua, membuka peluang bagi masyarakat untuk
memangun sendiri ekonomi kreatif mereka, dan tugas pihak terkait hanyalah
menopang kegiatan tersebut melalui aksi-aksi lainnya.

4. Kelembagaan

Di masyarakat Mentawai relatif belum ada lembaga yang bisa


diandalkan sebagai penopang utama dalam peningkatan ekonomi
masyarakatnya, termasuk pemasaran produk pertaniannya. Di satu sisi ini lebih
disebabkan karena terbelahnya masyarakat kedalam kelompok-kelompok klan,
dan di sisi lain juga disebabkan karena tidak adanya tokoh yang bisa menjadi
media pemersatu bagi semua komponen masyarakatnya.
Berangkat dari pemikiran tersebut, maka perlu dipertimbangkan untuk
membangun kelembagaan yang kuat yang diharapkan bisa menjadi media bagi
masyarakat dalam meningkatkan ekonomi pertaniannya. Ada dua pola yang
mungkin bisa dipertimbangkan, pertama dengan memecah berbagai program
yang ada berdasarkan kelompok-kelompok klan. Persoalnnya, banyak program
(khususnya dari pemerintah) bersifat tunggal sehingga cenderung hanya
diserahkan kepada kepala desa. Akibatnya program akhirnya lebih terfokus
pada klan kepala desa, dan klan-klan lainnya cenderung tidak mendapat bagian
secara maksimal.
Untuk mengatasi persoalan ini, maka pola kedua, adalah dengan
menemukan tokoh sentral dalam masyarakat yang mendapat pengakuan secara

Semiloka Pengelolaan Kawasan Siberut (Zainal Arifin) ---------------------------------------------------------- Page | 8


bersama yang mampu mengakomodir semua kelompok masyarakatnya. Dalam
beberapa kasus tokoh-tokoh agama seperti bajak gereja relatif bisa diterima
semua kelompok masyarakat pemeluk agama tersebut. Persoalan akan muncul
apabila ada keragaman penganut agama di tengah masyarakatnya. Oleh sebab
itu, alternatif lain adalah dengan memunculkan tokoh luar (seperti tokoh NGO)
yang beraktivitas di wilayah tersebut untuk sekaligus menjadi tokoh sentral bagi
semua masyarakatnya. Di masyarakat Mentawai, untuk beberapa kasus, ini
sudah dibuktikan melalui oleh PNPM, dimana semua masyarakat yang
membutuhkan terlibat tanpa melihat klan, agama atau jenis kelamin.

E. KESIMPULAN

Kearifan lokal masyarakat Mentawai ini (khususnya di 4 lokasi kajian),


haruslah kita sambut secara baik, tetapi beberapa persoalan akan muncul dan
tidak akan memberi dampak positif bagi perkembangan ekonomi masyarakat,
apabila tidak dipahami secara holistik. Beberapa persoalan, diasumsikan akan
ikut saling pengaruh mempengaruhi antara nilai-nilai budaya tersebut dengan
upaya pemberdayaan masyarakatnya. Melalui kajian komprehensif pengelolaan
wilayah di masyarakat pulau Siberut ini, diharapkan akan melahirkan sebuah
formulasi tersendiri dalam pembangunan masyarakat Siberut tersebut.
Gagasan yang diusulkan dalam artikel ini hanyalah langkah awal untuk
menuju titik akhir yang diharapkan. Sebagai kerja awal, maka keberhasilan
mencapai titik akhir sangat ditentukan oleh berbagai aspek, baik tekhnis,
ideologi (kebijakan), maupun proses pelaksanaan. Berangkat dari pemikiran ini,
maka dirasa perlu rasa kita selalu bergandengan tangan agar tujuan mencapai
titik akhir tersebut bisa terujud dengan baik dengan hasil yang maksimal.

1. Sebagai penggagas awal, tentunya masih banyak sekali aspek-aspek


yang mungkin belum terbaca secara baik oleh tim pengkaji. Oleh sebab
itu, berbagai kritik dan masukan menjadi penting untuk perbaikan
kerangka acuan pengelolaan wilayah ini. Bahkan sangat dimungkinkan
bermunculannya berbagai kajian untuk memperdalam kerangka acuan
ini.

Semiloka Pengelolaan Kawasan Siberut (Zainal Arifin) ---------------------------------------------------------- Page | 9


2. Sebagai kerangka acuan, maka keberhasilan aplikasinya di lapangan
akan sangat ditentukan oleh berbagai aspek tidak saja dari aspek
kebijakan, tetapi juga kerjasama dan koordinasi antar berbagai pihak
yang terkait, dengan tetap mempertimbangkan potensi dan
kemampuan dasar yang dimiliki masyarakatnya.

F. DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Zainal. 2004. “Antropologi Ekologi: Suatu Pemikiran Teoritis” dalam Zainal
Arifin (ed) Ilmu Sosial dan Aplikasinya dalam Penelitian di Minangkabau.
Padang: Laboratorium Antropologi Mentawai FISIP Unand.
Arifin, Zainal. 2013. Kajian Kearifan Tradisional Dan Pemanfaatan Tanaman
Obat dalam Prosesi Sikerei dan Simatak di Empat Desa Sasaran di
Pulau Siberut, Mentawai. Padang: FKKM Sumatera Barat.
Arifin, Zainal. 2013. Kearifan Tradisional Tentang Perlindungan dan
Pemanfaatan Satwa Liar dan Endemik di Empat Desa Sekitar
Kawasan Taman Nasional Siberut (TNS). Padang: FKKM Sumatera
Barat.
Coronese, Stefano. 1986. Kebudayaan Suku Mentawai. Jakarta: Grafidian
Jaya.
Delfi, Maskota. 2013. “Kaipa Pulaggajatnu” : Wacana Kementawaian di Bumi
Sikerei. Yogyakarta: Disertasi Universitas Gadjah Mada (tidak
diterbitkan).
Hernawati, Tarida S. 2004. “Salappa’ Antara Kehidupan, Alam Dan Jiwa”
dalam Aldes, (Ed.), Profil Kebudayaan Mentawai. Padang: Yayasan
Citra Mandiri.
Pusat Penelitian Geografi Terapan Universitas Indonesia. 2013. Kajian Data
Sekunder Sosial, Budaya dan Ekonomi Pulau Siberut Kabupaten
Kepulauan Mentawai Sumatera Barat. Padang: FKKM Sumatera
Barat.
Pusat Penelitian Geografi Terapan Universitas Indonesia. 2013. Laporan
Survei Lapangan (Kajian Sosial-Ekonomi). Padang: FKKM Sumatera
Barat.
Rudito, Bambang. 1999. Masyarakat dan Kebudayaan Suku Bangsa
Mentawai. Padang: Laboratorium Antropologi “Mentawai” FISIP
Unand.
Rudito, Bambang., et all., 2002. Food Consumption and Hunting Value
Enculturation on Mentawai Children. Padang: Laboratorium
Antropologi “Mentawai” FISIP Universitas Andalas, kerjasaman

Semiloka Pengelolaan Kawasan Siberut (Zainal Arifin) ---------------------------------------------------------- Page |


10
dengan Cooperation with Neys-van Hoogstraaten Foundation The
Netherlands.
Rudito, Bambang., et all. 2004. Pulagajat : Konsep Kewilayahan dan Sistem
Pemerintahan Kebudayaan Mentawai. Jakarta: ICSD.
Schefold, Reimar. 1985. “Keseimbangan Mentawai dan Dunia Modern”,
dalam Michael R Dove, (ed.). Peranan Kebudayaan Tradisional
Indonesia dalam Modernisasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan
Penerbit Gramedia.
Scott, James C. 2000. Senjatanya Orang-Orang Yang Kalah. Bentuk-bentuk
Perlawanan Sehari-hari Kaum Tani. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Tulius, Juniator. 2000. Simatak Siaggailaggek dan Simabesik : Hubungan
Sosial dalam Sistem Pengobatan Masyarakat Mentawai di Pulau
Siberut. Skripsi, Padang: FISIP Universitas Andalas.

Semiloka Pengelolaan Kawasan Siberut (Zainal Arifin) ---------------------------------------------------------- Page |


11

Anda mungkin juga menyukai