Pendahuluan
Dalam lintas sejarah, dua konsep yang menjadi basis perjuangan
Mahatma Gandhi; Ahimsa dan Satyagraha.2 sering dianggap sebagai basis
humanisme yang mendorong seseorang mampu merangkul dan menebarkan
nilai-nilai kemanusiaan. Dalam konteks agama Islam sering disebut sebagai
fitrah manusia, seperti kata Nabi Muhammad; “Engkau semua diciptakan untuk
menegakan kemanusiaan (fitrah)”.
Penafsiran terhadap humanisme, diantaranya melahirkan pluralisme.
Yang menegaskan kemajemukan, keberagamaan dan perbedaan merupakan
satu-satunya kenyataan kemanusiaan, satu-satunya fitrah kemanusiaan, dan
tidak ada satu fakta kecuali heterogenitas.
Untuk menunjukan discourse dan praxis pluralisme, saya mengutip
pernyataan Gandhi dalam sebuah fillm documenter. Film yang mengangkat
perjuangan dan filsafat hidupnya, menunjukan semangat pluralisme Gandhi
yang extra-ordinary. Ia berkata; “Aku seorang Muslim, Kristiani, Budha, dan Hindu”.
Apa yang menjadi gagasan Gandhi tentang kesamaan agama-agama,
mirip dengan konsep agama menurut Cak Nur bahwa esensi Agama (din) dari
seluruh rasul adalah sama (Q.21:92; 23:52). Kesamaan dan kesatuan semua
agama yang dibawa oleh para Nabi ditegaskan dalam HadisBukhori, Rasulullah
bersabda, “Aku lebih berhak atas Isa putra Maryam didunia dan diakhirat. Para Nabi
adalah satu ayah dan satu ibu dengan agama berbeda-beda dan agama mereka
adalah satu.
Mohahamed Fathi Usman adalah seorang cendikiawan aktivis Pluralisme
Internasional yang mengadvokasikan tentang pentingnya Pluralisme didunia
Muslim terlebihlagi dinegara yang heterogen. Fathi Osman, yang menulis
pemikirannya dalam buku yang berjudul Islam. Pluralisme & Toleransi Keagamaan
dalam Pandangan Al-Qur’an, Kemanusiaan, Sejarah dan Peradaban, menyadarkan
pada kita bahwa apa yang terjadi didunia Islam sekarang ini, akan menentukan
Islam dimasa mendatang, itu pun tergantung berhasil atau tidaknya kita
menyemai benih-benih “Islam peradaban” (istilah yang sering dipakai oleh Cak
Nur)
22
ahimsa mengandung makna cinta dan kasih saying. Ia adalah kedamaian, kesucian dan
penghargaan sedalam-dalamnyaterhadap kemanusiaan. Satyagara aadalahberpagang teguh pada kebenaran,
kapanpun dan dimanapun. Gandhi berkata, “kebenaran adalah hakikat moralitas manusia”. Lihat R Wahan
Wegig, Dimensi Etis Ajaran Gandhi (Yogyakarta: Kanisius, 1989) hal27 & 32
1
Pemikiran Fathi Osman secara garis besar memiliki satu kesamaan
dengan apa yang di perjuangkan Nurcholish Madjid (Cak Nur). Pertama,
pemikiran Cak Nur mempunyai signifikasi Internasional, dimana pluralisme
telah menjadi bagian dari wacana internasional dan global untuk membangun
masyarakat yang lebih baik dalam hal toleransi beragama. Kedua, dengan
perbandingan pemikiran Cak Nur dengan Fathi Osman, kita dapat melihat dan
merasakan perubahan apa yang selama ini digembar-gemborkan oleh Cak Nur
dan dalam segi pengembangannya menuju pada hierarki konsep masyarakat
yang ideal, pasca pemikiran Nurcholish Madjid.
2
kesetaraan dan mengembangkan rasa persaudaraan diantara
manusia sebagai pribadi atau kelompok. Setiap kelompok
semestinya memiliki hak untuk berhimpun dan
berkembang,memelihara identitas dan kepentingannya, dan
menikmati kesetaraan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam
Negara dan dunia internasional.4
3
Plurlisme dalam agama mengakui keragaman kelompok-kelompok
keagamaan, dan hak-hak keimanan, pengungkapan, perkumpulan, dan
kegiatan-kegiatan ritual bagi setiap kelompok maupun individu dalam
melaksanakan kegiatan keberagamaan.
Kesatuan Agama-Agama
Secara fisik maupun psikologis diantara setiap manusia tidak terdapat
kesamaan antara satu sama lain. Betapapun dekat hubungan biologisnya yang
persis sama. Disamping perbedaan secara Ras, kesukuan, bahkan agama
sekalipun, terdapat sekian banyak perbedaan perolehan, antara lain
pengetahuan, gagasan, pendekatan, kesukaan, kemauan, penilaian, dan aspek-
aspek yang lainnya, keseluruhannya adalah anugerah yang diberikan tuhan
kepada anak cucu Adam.
Segenap manusia dngan perbedaan-perbedaan bawaan sekalipun agama
pada dasarnya adalah sama satu nenek moyang dan satu keturunan yaitu Adam,
yang diturunkan kedunia supaya tunduk pada Tuhan, dan pada dasarnya
semua agama yang berasal dari keturunan adam dikategorikan harus tunduk
secara mutlak kepada Tuhan tidak ada pengecualian.
Anak cucu Adam (banu Adam) disebut dalam Al-Qur’an Sebanyak tujuh
kali; manusia (insan) dalam bentuk tunggal 65 kali; manusia (ins, bashar) 54 kali,;
dan manusia (nash) dalam bentuk jamak 239 kalidan mereka secara langsung
dikemukakan sebanyak 53 kali. “mereka yang telah memperoleh keimanan” atau
orang-orang mukmin disebut atau dirujuk dakam bentuk-bentuk tunggal atau
jamak (mukmin, mu’minun, man amana, al-ladzina amanu)7
Ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang kesamaan spiritual dalam
wilayah agama-agama yang diciptakan oleh tuhan didalam diri setiap orang,
Dan ingatlah, ketika tuhanmu mengeluarkan anak cucu Adam dari
sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka
(seraya berfirman): “Bukankan aku ini tuhanmu (yang telah
menciptakanmu dan memeliharamu)” mereka menjawab:
“Betul(Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan
yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “
Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lemah terhadap ini” 8
7
Fathi Osman, Islam, Pluralisme dan Toleransi keagamaan. Dalam pandangan al-Qur’an,
kemanusiaan, sejarah, dan peradaban. (Hal 14).
8
Q,,7:172
4
Atas dasar itu, setiap pribadi memiliki spiritualitas masing-masing, yang
diarahkan dan diberi petunjuk oleh pesan-pesan Tuhan, melalui Ayat Al-Quran.
Menurut teks Al-Qur’an kata manusia di bedakan menjadi tiga bentuk,
yaitu; pertama, manusia (dalam bentuk tunggal), Al-Qur’an mengajak untuk
memperhatikan anugerah dan kasih saying Tuhan kepada setiap individu,
seperti potensi intelektual dan bahasa (Q,55:33, 96:1-5). Yang kedua manusia
(dalam bentuk jamak) diserukan untuk tetap selamanya sadar bahwa mereka
semuannya setara karena mereka semuannya berakar dari asal-usul yang satu,
apakah mereka pria atau wanita, apapun kemungkinan kebangsaan dan asal
kesukuannya. (Q,41:1, 49:13). Dan yang ketiga, manusia (dalam
bentukkeseluruhan), yaitu diharuskan belajar untuk bekerja sama dalam
mengembangkan diri mereka sendiri dan mengembangkan dunia disekitarnya.
(Q, 11:61).9
Jelas bahwa Al-Qur’an selain merujuk pada mukmin secara khusus juga
merujuk manusia secara keseluruhan, bukan hanya Islam tapi agama lain baik
yang terlembagakan maupun secara personal. Oleh sebab itu, konsep titik temu
agama-agama10, tidak bisa terlepas dari realitas kehidupan umat beragama
tentang menyikapi kebenaran karena kebenaran tidak mutlak ada pada satu
agama melainkan pada setiap agama memiliki konsep kebenarannya masing-
masing. Jadi sangat tidak beralasan yang menganggap klaim kebenaran hanya
ada pada Islam.
Manusia memahami kebenaran melalui intuisi. Sebuah daya intelek
adalah dasar bagi intuisi. Intuisi intelek membedakan antara yang riel dan ilusi,
antara wujud yang wajib dengan wujud yang mungkin. Implikasinya, ada
realitas transenden diluar dunia bentuk.11
Apa yang dikatakan menurut Frithjop Schoun bahwa kebenaran pada
manusia bersifat relative karena didasarkan pada intuisi dan pengalaman ruhani
yang bersifat being atau non being (yang-Ada atau tidak –Ada).
9
Fathi Osman, Islam, Pluralisme dan Toleransi keagamaan. Dalam pandangan al-Qur’an,
kemanusiaan, sejarah, dan peradaban. Hal 20
10
Ibid hal 3
11
Frithjop Schoun to have a center (Bloomington: Wolrd Wisdoom Books, 1990), 55
5
keyakinan. Begitupun juga pada masa sesudah beliau, kaum Yahudi, Nasrani,
Majusi, dan Hindu, dilindungi dan diperlakukan setara seperti layaknya orang
muslim, bahkan seorang pemimpin Kristen menjadi Tabib Khalifah, dan banyak
Yahudi yang mendapatkan posisi di istana Khalifah.
Khalifah Fatimah Al-Aziz mempunyai seorang menteri Kristen dan
menunjuk salah seorangYahudi sebagai Gubernur Syiria. Kemajemukan dalam
social ini dalam wilayah-wilayah Muslim tidak berarti bahwa ketegangan-
keteganan dan gangguan antara Muslim dan non-Muslim tidak peecah dari
waktu kewaktu. Factor utama yang menyebabkan perpeahan adalah
kecemburuan terhadap kekayaan atau pengaruh non-Muslimlah, sebagaimana
yang menimpa masyarakat-masyarakat dewasa ini.
Pluralisme dalam peradaban Muslim tak terlepas dari peran serta
pemerintahan Khalifah yang mengirimkan utusan khusus ke Konstantinipel
untuk mengkopi manuskrip-manuskkrip Yunani dan diterjemahkan, terutama
dalam bidang Filsafat seperti karya Plato, Aristoteles, Socrates, dan para Filsuf
Yunani Kuno. Sekitar Abad 8 hingga Abad 12, pemikiran bangsa Arab mencapai
puncaknya dalam khazanah ilmu pengetahuan dan Filsafat, dan mempengaruhi
peradaban dunia. Pengaruh Averroes (Ibni Rusyd 1126-1198) yang
mempengaruhi St. Thomas Aquinas, dalam pembahasannya tentang tempat dari
wahyu antara iman dan akal. Peradaban Islam juga melahirkan Filosof-Filosop
seperti; Al-Farabi, Al-Biruni, Ibnu Sina (Aviccena), Ibnu Khaldun, dan lain-lain.
Dan secara tidak langsung karya-karya Filosof Yahudi, Moses Maimonides
(1135-1204) telah menulis teks-teksnya dalam bahasa Arab.
Interaksi antara pemikiran keagamaan Muslim, Yahudi, Dan Kristen di
Eropa Barat di Abad pertengahan menghasilkan sebuah pengetahuan yang
sampai saat ini masih terasa, dan melahirkan Teknologi-teknologi yang canggih
buah dari peradaban yang Plural pada masa ke Khalifahan di dunia Muslim.
Dapatkah mamfaat pluralisme dalam peradaban Muslim masa lalu
dihidupkan kembali pada masa sekarang? Untuk melakukan itu kita dituntut
untuk melakukan usaha yang terus menerus didua sisi. Negeri-negeri yang maju
harus membangun hubungan yang konstruktif dengan kaum Muslim untuk
memberikan jalan keluarterhadap warisan yang terakumulasi tentang
subordinasi dan eksploitasi dari era colonial. Sementara bagi kaum Muslim
mereka harus melewati kegemilangan masa lalu dan ide statis yang tidak
realistis dan mustahil untuk dihidupkan kembali serta melewati kepedihan
akibat serangan Barat.
Untuk mengembalikan pada kejayaan lalu yang harus digaris bawahi
adalah sikap menerima dan menghormati adanya perbedaan, baik secara
institusi maupun secara individual, serta memelihara nilai-nilai abadi yang akan
6
tumbuh dari kemajuan dunia dewasa ini. Karena kemajuan peradaban dunia
tidak lepas dari sumbangan Islam.
Kesimpulan
Ide tentang pluralisme ini adalah prinsip dasar dalam islam, dan
pluralisme Islam dapat terus menerus ditransformasikan kedalam
pluralisme modern, yang merupakan sesuatu yang berbeda dari sikap
toleransi belaka. Pluralisme dipahami sebagai suatu “pertemuan sejati
dari keserbaragamaan dalam ikatan-akatan kesopanan (Bonds of
Civility)12
12
Nurcholish Madjid. Pluralisme agama di Indonesia (majalah Ulumul Qur’an. No 3. Vol 4. Tahun
2002; hal 66)