Anda di halaman 1dari 7

Machine Translated by Google

Seri Konferensi IOP: Ilmu Bumi dan Lingkungan

KERTAS • AKSES TERBUKA

Nilai Kearifan Lokal dalam Mitigasi


Smong Bencana Tsunami di
Kabupaten Simeulue, Provinsi Aceh
Mengutip artikel ini: AN Gadeng et al 2018 IOP Conf. Ser.: Lingkungan Bumi. Sains. 145 012041

Lihat artikel online untuk pembaruan dan penyempurnaan.

Konten ini diunduh dari alamat IP 178.171.78.151 pada 05/04/2018 pukul 14:07
Machine Translated by Google

1st UPI International Geography Seminar 2017 IOP Publishing IOP Conf. Seri : Ilmu Bumi dan Lingkungan 145
1234567890 ''“”
(2018) 012041 doi :10.1088/1755-1315/145/1/012041

Nilai Kearifan Lokal Smong dalam Bencana Tsunami


Mitigasi di Kabupaten Simeulue Provinsi Aceh

AN Gadeng*, E Maryani dan D Rohmat

Jurusan Pendidikan Geografi Universitas Pendidikan Indonesia, Jl. dr.


Setiabudi 229, Bandung 40154, Indonesia

*nubliyuslian@gmail.com

Abstrak. Saat tsunami terjadi pada 26 Desember 2004, jumlah korban meninggal di daratan
Provinsi Aceh sebanyak 300.000 orang sedangkan di Simeulue hanya 7 orang yang meninggal.
Diduga terdapat kearifan lokal pada masyarakat Simeulue. Kajian ini bertujuan untuk mengungkap
wujud kearifan lokal smong pada masyarakat Simeulue. Pendekatan kualitatif verifikatif
digunakan untuk menguji kemampuan secara deskriptif. Teknik pengumpulan data menggunakan
wawancara mendalam, observasi partisipatif, studi dokumentasi dan studi pustaka. Teknik
analisis data menggunakan metode Delphi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kearifan lokal
smong adalah sistem peringatan dini tsunami yang diterapkan masyarakat Simeulue melalui
manafi-nafi (folkfore), mananga-nanga (buaian untuk menidurkan bayi), dan nandong
(senandung). Selain itu, morfologi dan tata guna lahan sangat mendukung mitigasi terhadap
tsunami. Masyarakat yang tinggal di balik bukit dilindungi oleh vegetasi yang subur sebagai
pemecah gelombang tsunami. Kearifan lokal smong disosialisasikan melalui papan informasi
himbauan dan lagu-lagu yang disertakan dalam produk UKM yang banyak dikonsumsi
masyarakat. Semua cara tersebut menjadi efektif dalam meningkatkan pengetahuan masyarakat
tentang mitigasi bencana tsunami. Konsistensi pemerintah untuk mensosialisasikan smong perlu
digencarkan kepada generasi muda agar kearifan lokal smong tidak hilang di masyarakat Simeulue.

1. Pendahuluan
Gempa dan tsunami pada tanggal 26 Desember 2004 di Provinsi Aceh tidak hanya menimbulkan kerusakan
infrastruktur saja, rumah dan bangunan yang rusak akibat gempa dan tsunami mencapai 1,3 juta unit [1], dan
menimbulkan kerugian yang sangat besar. kematian, dengan keseluruhan mencapai 300.000 orang [2-4]. Di saat
seluruh rakyat Aceh berduka, ada satu kabupaten di pesisir pantai barat provinsi Aceh yang membentuk kawasan
kepulauan, yaitu Kabupaten Simeulue. Kabupaten ini terkena dampak yang sangat parah ketika tsunami terjadi 13
tahun yang lalu, semua bangunan, perkantoran, dan tempat ibadah serta sarana dan prasarana lain yang berada
di pesisir pantai rusak parah, dan jumlah bangunan yang rusak sebanyak 13.022 unit [5 ]. Namun kondisi tersebut
berbanding terbalik dengan jumlah korban meninggal di Simeulue dimana hanya 7 orang yang meninggal dari total
jumlah penduduk yang tinggal di Simeulue pada tahun 2004 yaitu 71.517 orang [5]. Sedikitnya korban jiwa
disebabkan oleh kearifan lokal masyarakat Simeulue yang dikenal dengan kearifan lokal smong .

Nilai merupakan hal yang abstrak, nilai merupakan konsep yang abstrak [6], dan ada dalam semua unsur
kehidupan manusia, baik yang positif (baik) maupun negatif (buruk) dalam masyarakat, “membuat masyarakat terdorong

Konten dari karya ini dapat digunakan di bawah ketentuan lisensi Creative Commons Attribution 3.0. Setiap distribusi lebih lanjut dari karya
ini harus mempertahankan atribusi kepada penulis dan judul karya, kutipan jurnal dan DOI.
Diterbitkan di bawah lisensi oleh IOP Publishing Ltd 1
Machine Translated by Google

1st UPI International Geography Seminar 2017 IOP Publishing IOP Conf. Seri : Ilmu Bumi dan Lingkungan
1234567890 ''“”
145 (2018) 012041 doi :10.1088/1755-1315/145/1/012041

bersama dengan kewajiban masyarakat untuk menghidupkan dan mengamalkan nilai-nilai yang dianggap ideal” [7, 8].
Selanjutnya, nilai juga dianggap mampu mengatasi setiap proposisi yang terjadi dalam masyarakat, seiring dengan
kemanfaatan yang besar dalam kehidupan manusia, “nilai menjawab pertanyaan dasar eksistensial dan membantu
memberikan makna dalam kehidupan masyarakat” [9]. Nilai sebagai konsep atau keyakinan tentang perilaku atau
kondisi yang diharapkan, dapat mengatasi situasi tertentu, menjadi pedoman dalam memutuskan, mengevaluasi sikap
dan peristiwa” [10, 11] Perilaku atau tindakan yang ada dalam nilai-nilai ada yang bersifat spontan atau membutuhkan
lama untuk mengambil keputusan. [11]”. Sebelum tindakan itu dilakukan juga bisa direnungkan dengan cepat sampai
disebut spontan, ada juga yang perlu pertimbangan yang sangat dalam.” Sehingga benar-benar masuk akal dalam
kehidupan sehari-hari, ada orang yang mudah percaya dan ada orang yang membutuhkan waktu lama untuk percaya
pada suatu nilai, nilai yang biasanya ada dalam kearifan lokal yang berlaku di kelompok masyarakat tertentu. Kearifan
lokal merupakan pengertian-pengertian lokal yang bersifat arif, penuh kebijaksanaan, memiliki nilai-nilai kebaikan yang
telah tertanam dan dianut oleh anggota masyarakatnya. Kemudian, kearifan lokal sebagai kearifan atau pengetahuan
yang melahirkan perilaku sebagai hasil upaya adaptasi mereka terhadap lingkungan [13-16]. Kearifan lokal dapat
dipahami sebagai pengertian yang mengandung nilai dan berlaku di suatu wilayah tertentu, serta bersifat arif, penuh
kebijaksanaan, yang telah tertanam dengan baik dalam masyarakat setempat.

Kearifan lokal biasanya berasal dari nenek moyang mereka di masa lalu, yang diikuti oleh anggota masyarakatnya
secara turun-temurun. Apa yang tampaknya disadari oleh semua pemikir kuno adalah bahwa tanpa kebijaksanaan,
cara-cara mengetahui dibatasi oleh paradoks yang tragis: semakin jelas pandangan yang mereka berikan, semakin
terbatas irisan realitas yang mereka ungkapkan. Pemikiran terpadu laki-laki dan perempuan 'primitif', yang tidak
membedakan antara agama, seni, ilmu pengetahuan, kebiasaan, dan naluri, perlahan-lahan digantikan oleh “ranah-
ranah” pengetahuan yang semakin spesifik [17-20]. Sehingga kebenaran suatu kearifan lokal telah diyakini dengan
baik dan diaktualisasikan oleh setiap masyarakat, sebagai warisan budaya dari generasi lampau. Begitu pula dengan
kearifan lokal smong yang terbukti mampu menyelamatkan 71.517 jiwa saat tsunami menerjang Simeulue pada 26
Desember 2004. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kearifan lokal smong dalam mitigasi
bencana tsunami yang pernah terjadi di Indonesia. Kabupaten Simeulue, Provinsi Aceh.

2. Metode
Metode penelitian adalah verifikasi kualitatif yang akan dijelaskan dalam bentuk deskripsi, serta merupakan upaya
pendekatan induktif terhadap keseluruhan proses penelitian yang dilakukan. Lokasi penelitian berada di Kabupaten
Simeulue Provinsi Aceh, dan subjek penelitian ini adalah ketua adat, pejabat tinggi MAA (Majelis Adat Aceh),
pemerintah, instansi pemerintah, kepala BPBD Kabupaten Simeulue, dan masyarakat. Teknik pengumpulan data
menggunakan wawancara mendalam, observasi partisipatif, studi dokumentasi, dan studi pustaka. Teknik analisis
data menggunakan metode Delphi.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Outcome dalam penelitian ini adalah kearifan lokal Smong yang merupakan budaya tutur atau tradisi lisan yang ada
pada masyarakat Simeulue, yang telah ada sejak satu abad yang lalu yang diwariskan secara turun temurun, dari
satu generasi ke generasi berikutnya. generasi penerus bangsa. Kearifan lokal Smong memiliki hubungan yang sangat
erat dengan Sistem Peringatan Dini Tsunami, namun secara tradisional. Smong ternyata merupakan kata suci yang
dilestarikan dengan baik oleh masyarakat di Simeulue, kata smong tidak boleh sembarangan diucapkan dalam
keseharian di Simeulue. Karena dalam masyarakat Simeulue, smong berarti gelombang air laut yang berombak dan
memiliki ketinggian di atas normal gelombang laut pada umumnya. Disusul dengan tingginya air laut dan suara
dentuman besar yang berasal dari dalam laut, selanjutnya melanda seluruh pemukiman penduduk, dimana sebelumnya
didahului dengan terjadinya linon yang berkekuatan besar. Ada beberapa tanda-tanda sebelum datangnya smong,
yaitu: surutnya air laut puluhan mil dari pantai disertai suara gaduh yang sangat besar. Masyarakat Simeulue mengenal
kearifan lokal smong melalui puisi-puisi dalam manafi-nafi (cerita rakyat), mananga-nanga (lagu pengantar tidur anak),
nandong (senandung) yang dikenalkan kepada anak cucu sejak dari buaian hingga masa tua. Quoad puisi itu adalah:

2
Machine Translated by Google

1st UPI International Geography Seminar 2017 IOP Publishing IOP Conf. Seri : Ilmu Bumi dan Lingkungan
1234567890 ''“”
145 (2018) 012041 doi :10.1088/1755-1315/145/1/012041

Ini adalah hikayat dari Pulau Simeulue, menyampaikan pesan-pesan smong menurut pengalaman masa
lalu di tahun 1907. Kisah ini konon dari nenek moyang kita, jika gempa dahsyat, air laut surut dan
terdengar gemuruh dari laut. suara, dan ternak dan hewan peliharaan terganggu. Artinya air akan naik
atau smong namanya, jadi bersiaplah untuk mencari makan di tempat yang tinggi agar kita bisa selamat.

Puisi Smong
Berbahasa Devayan
“Enggel mon sao surito (mohon dengar cerita), Inang maso semonan (pada suatu ketika), Manoknop sao
fano (desa tenggelam), Uwillah da sesewan (diceritakan seperti itu), Unen ne alek linon (gempa bumi
yang dimulai), Fesang bakat ne mali (diikuti gelombang raksasa), Manoknop sao hampong
(menenggelamkan seluruh wilayah), Tibo-tibo maawi (tiba-tiba). Anga linon ne mali (jika gempa dahsyat),
Oek suruik sauli (diikuti air surut), Maheya mihawali (segera mencari tempat), Fano me singa aktaek
(dataran tinggi agar selamat), Ede smong kahan ne (smong namanya), Turiang da nenek ta (sejarah
nenek moyang kita), Mi redem teher ere (ingat ini semua). Pesan navi-navi da (pesan dan nasihat),
Smong dumek-dumek mo (Tsunami adalah air mandi Anda), Linon uak-uwak mo (gempa adalah buaian
Anda), Kilek sulu-sulu mo (kilat adalah pelita Anda), Eklaik kedang kedang mo (guntur adalah gendangmu)”.

Berdasarkan puisi di atas, dapat diketahui dengan jelas berbagai tanda-tanda yang terjadi sebelum tsunami,
kapan tsunami terjadi, dan bagaimana langkah-langkah yang harus dilakukan masyarakat agar dapat selamat dari
tsunami sebagai bagian dari mitigasi bencana tsunami. Puisi di atas diwariskan oleh masyarakat secara turun
temurun, yang menjadikan pengetahuan masyarakat Simeulue tentang mitigasi bencana tsunami sangat baik, dan
terbukti saat tsunami pada 26 Desember 2006 silam, beberapa saat setelah gempa bumi terjadi, masyarakat
memiliki sudah mulai diwaspadai, sehingga ketika tsunami terjadi seperti tanda-tanda yang telah diceritakan oleh
nenek moyang mereka dapat mengetahui tindakan apa yang harus mereka lakukan untuk menyelamatkan diri
ketika tsunami terjadi. Dan hasilnya, banyak masyarakat Simeulue yang selamat dari gelombang tsunami yang
berhasil menghancurkan Kabupaten Simeulue. Masyarakat Simeulue mulai mengenal smong yang memiliki arti
yang mirip dengan tsunami pada tahun 2004, sebelumnya mereka hanya mengenal istilah smong , tidak pernah
mengenal istilah tsunami.
Banyaknya masyarakat Simeulue yang terselamatkan dari bencana tsunami tidak semata-mata karena kearifan
lokal smong saja, tetapi juga dipengaruhi oleh keadaan morfologi dan penggunaan lahan yang sangat mendukung
agar dapat dengan mudah melakukan mitigasi bencana tsunami. Hal ini disebabkan oleh keberadaan gunung
atau bukit yang begitu dekat dengan pemukiman penduduk, jaraknya hanya sekitar 100 meter sampai dengan
300 meter dari pemukiman penduduk yang ada dan tersebar di seluruh Kabupaten Simeulue. Secara keseluruhan
Kabupaten Simeulue memiliki bentuk morfologi yang dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) macam, yaitu: pertama,
terdiri dari pantai, persawahan, pegunungan, dan perbukitan. Kedua, terdiri dari pesisir, pemukiman penduduk,
persawahan, serta pegunungan dan perbukitan. Ketiga, terdiri dari pantai, pemukiman, pegunungan dan
perbukitan, persawahan, dan diakhiri dengan pegunungan dan perbukitan. Selain dipengaruhi oleh keberadaan
perbukitan yang dekat dengan rumah penduduk, keberadaan formasi vegetasi di sekitar pantai yang berfungsi
sebagai pagar atau benteng, juga memiliki peran vital karena berfungsi sebagai pemecah gelombang saat tsunami
terjadi.
Selanjutnya akan dibahas tentang makna puisi yang ada dalam kearifan lokal smong pada masyarakat
Simeulue, Inang maso semonan (pada suatu ketika), menceritakan tentang smong yang terjadi pada tahun 1997
silam pada masyarakat Simeulue. Manoknop sao fano (desa tenggelam) menceritakan tentang tenggelamnya
pulau Simeulue saat terjadi smong pada hari Jumat tanggal 4 Januari 1907, akibat gempa M = 7,8 dengan pusat
gempa di bagian barat pulau Nias atau di selatan bagian dari Pulau Simeulue [21].

Unen ne alek linon (gempa yang dimulai), Anga linon ne mali (jika gempanya dahsyat), Oek suruik sauli (diikuti
air surut), Fesang bakat ne mali (diikuti gelombang raksasa),

3
Machine Translated by Google

1st UPI International Geography Seminar 2017 IOP Publishing IOP Conf. Seri : Ilmu Bumi dan Lingkungan
1234567890 ''“”
145 (2018) 012041 doi :10.1088/1755-1315/145/1/012041

Manoknop sao hampong (menenggelamkan seluruh wilayah), Ede smong kahan ne (namanya smong), smong atau
tsunami terjadi jika didahului dengan terjadinya gempa bumi yang berkekuatan besar. Kemudian disusul dengan
surutnya air sepanjang puluhan kilometer dari pantai, disusul dengan datangnya gelombang besar yang disebut
smong, gelombang besar dari laut datang menuju pemukiman penduduk di darat, yang menyebabkan tenggelamnya
seluruh wilayah. [22] Yaitu: “Dalam beberapa kasus tsunami yang pernah terjadi, penyebabnya adalah gempa bumi,
naiknya kolom air atau surutnya dasar laut, dan longsoran bawah laut. Secara umum, letusan dahsyat gunung berapi
di pesisir pantai (kapal selam) juga dapat menimbulkan daya impulsif yang mengangkat kolom air dan menimbulkan
tsunami. Sebaliknya, pergerakan daratan di laut super dan pengaruh tumbukan kosmik (seperti meteor) mengganggu
air dari sisi atas, seperti momentum jatuhnya reruntuhan material ke dalam air. “Gelombang dengan ketinggian 1-2
meter di laut tapi kecepatannya bisa melebihi kecepatan pesawat terbang.” Gelombang tsunami yang melanda Aceh
memiliki ketinggian 7-10 meter dengan kecepatan 500-800 km/jam [23]. Ketika gelombang mencapai perairan dangkal
di pantai, kecepatannya akan berkurang tetapi tinggi gelombang akan naik puluhan meter, tinggi gelombang inilah
yang menimbulkan kerusakan luar biasa di pantai. Dan juga tsunami dapat disebabkan oleh berbagai hal yang
menyebabkan pergerakan massa air yang sangat besar dari kondisi kesetimbangannya (keseimbangannya).

Maheya mihawali (segera cari tempat), Fano me singa aktaek (dataran tinggi agar selamat), Turiang da nenek ta
(sejarah nenek moyang kita), Mi redem teher ere (ingat ini semua), Pesan navi-navi da (pesan dan petuahnya), jika
terjadi smong atau tsunami dalam kehidupan kita, maka diperintahkan untuk pergi ke tempat yang lebih tinggi agar
terhindar dari gelombang smong atau tsunami, itu semua adalah pesan dan petuah yang disampaikan oleh nenek
moyang orang Simeulue sejak dulu. 1907. Jika dilihat dari sisi pesan dan nasehat yang disampaikan oleh nenek
moyang orang Simeulue, semua pesan dan nasehat tersebut merupakan langkah yang benar dan sangat mirip
dengan mitigasi bencana tsunami. [24] Kegiatan mitigasi tsunami di lingkungan pesisir adalah: 1) pemahaman karakter
bencana dan kerusakan yang terjadi di kawasan pesisir. 2) Pemahaman tentang tingkat resiko wilayah pesisir
terhadap bencana. 3)
Pemahaman tentang kondisi lingkungan, sosial budaya, dan kearifan lokal. 3) Pemahaman upaya mitigasi baik
struktural maupun non struktural. 4) Peningkatan kapasitas kelembagaan dan penegakan hukum, 5) Faktor yang
menjamin kelangsungannya. Selanjutnya, [25]
Penanggulangan bencana tsunami yang dapat dilakukan yaitu apabila terjadi gempa bumi dan air laut surut secara
tiba-tiba, maka segera informasikan kepada semua masyarakat, dan segera lari dari rumah-rumah mengikuti jalur
evakuasi yang disediakan ke tempat yang lebih tinggi, seperti dataran tinggi atau bangunan tinggi.
Masyarakat Simeulue telah mengenal dan memahami dengan baik, tindakan apa yang harus dilakukan dan juga
ke tempat atau tempat apa yang menjadi takdirnya, jalan apa yang bisa dipilih dan bisa dilalui dengan cepat agar bisa
sampai ke gunung dengan cepat, dan jalan apa yang harus ditempuh. dihindari karena bisa lebih lambat mencapai
tempat yang lebih tinggi untuk menyelamatkan diri ketika terjadi smong atau tsunami. Mengetahui jalur evakuasi
dengan baik akan membantu masyarakat dalam menemukan tempat yang lebih aman saat tsunami terjadi [26].
Kemudian, [27] mengidentifikasi tiga langkah menuju evakuasi yang aman setelah gempa bumi dan tsunami:
mengumpulkan informasi dan mengeluarkan peringatan resmi; mengambil keputusan untuk mengungsi berdasarkan
persepsi risiko dan pengalaman masa lalu masyarakat di daerah tersebut; dan memilih rute yang tepat dan tujuan
yang aman bagi para pengungsi. Selain itu, di Simeulue telah ada petunjuk arah jalur evakuasi yang tersebar di
seluruh wilayah Kabupaten Simeulue. Berfokus pada poin terakhir, salah satu cara untuk memberikan pengetahuan
kepada masyarakat tentang jalur dan tujuan yang aman adalah dengan melakukan latihan evakuasi secara berkala.
Namun, bor itu mahal untuk dilakukan dan sulit untuk memungkinkan banyak warga ikut serta [28]. Masyarakat juga
mengetahui tempat mana saja yang menjadi zona merah dari bencana tsunami, dan daerah mana saja yang aman dari tsunami.
Berlatih secara teratur dan mengenali jalur evakuasi sangat berguna saat terjadi bencana untuk menghindari
terjadinya kepanikan [29-32]. Masyarakat Simeulue tidak panik saat terjadi tsunami, karena masyarakat sudah sering
menggunakan jalur evakuasi untuk pergi ke ladang atau kebun yang dijadikan tempat bercocok tanam di perbukitan.
Secara tidak sadar, masyarakat kerap melakukan berbagai praktik di jalur evakuasi tsunami, dan itu menjadi salah
satu sikap yang sangat penting untuk mempersiapkan diri menghadapi tsunami. Tindakan lain yang dilakukan dalam
mitigasi bencana tsunami yang ada di Simeulue yaitu di pinggir pantai banyak terdapat pohon kelapa dan rumba
untuk menahan tsunami. Tindakan ini sesuai dengan pendapat dari [21, 33] bahwa mitigasi tsunami dapat dilakukan
melalui beberapa cara

4
Machine Translated by Google

1st UPI International Geography Seminar 2017 IOP Publishing IOP Conf. Seri : Ilmu Bumi dan Lingkungan
1234567890 ''“”
145 (2018) 012041 doi :10.1088/1755-1315/145/1/012041

langkah-langkahnya, yaitu: untuk mitigasi bencana tsunami, secara garis besar dibagi menjadi dua kategori yaitu
tindakan alami dan buatan. Tindakan alami meliputi penanaman vegetasi pantai, pelestarian dan perlindungan
pantai dan terumbu karang, sedangkan tindakan buatan meliputi pembangunan pemecah gelombang, tembok
laut dan adopsi konsep adaptasi dengan pembangunan infrastruktur pantai yang ditinggikan. Infrastruktur yang
ditinggikan berarti kedatangan gelombang tsunami tidak akan mencapai infrastruktur atau setidaknya infrastruktur
akan cukup kuat dan aman saat menghadapi tsunami.
Mitigasi bencana tsunami yang terdapat di simeulue dilakukan tidak hanya melalui tindakan tetapi juga
dengan pembangunan berbagai infrastruktur yang diperlukan pada saat dan setelah tsunami terjadi, dengan
membuat berbagai regulasi yang bermanfaat bagi masyarakat, agar dapat bertahan dari tsunami. Kemudian
dengan membangun tanggul di seluruh pantai yang digunakan sebagai pemecah gelombang, penghijauan
mangrove di bibir pantai, dan langkah-langkah lain yang akan bermanfaat bagi manusia sehingga dapat
meminimalkan jumlah korban, baik yang meninggal maupun yang terluka, yang terjadi di Kabupaten Simeulue.
pada tahun 2004, hanya ada 7 orang yang meninggal karena tsunami. Situasi seperti inilah yang diperkirakan
terjadi di tempat lain di Indonesia ketika terjadi bencana.

4. Kesimpulan
Kearifan lokal smong di masyarakat simeulue sudah ada sejak tahun 1907 dan terbukti mampu menyelamatkan
puluhan ribu jiwa dari smong atau tsunami pada 26 Desember 2004.
Kearifan lokal smong sangat erat kaitannya dengan penanggulangan bencana tsunami secara tradisional, dan
telah disampaikan melalui syair-syair yang terdapat dalam manafi-nafi (cerita rakyat), mananga-nanga (lagu
pengantar tidur), nandong (senandung) yang telah dikenalkan kepada anak cucu dari buaian sampai usia tua.
Kearifan lokal smong disosialisasikan melalui papan informasi yang ditempatkan di wilayah pesisir dan juga
tertulis pada kotak produk Usaha Kecil Menengah (UKM) yang banyak dikonsumsi masyarakat Simeulue.
Terakhir, kearifan lokal smong juga didukung oleh kondisi morfologi, tata guna lahan dan bentukan vegetasi
yang terdapat di Kabupaten Simeulue, sehingga memungkinkan masyarakat Simeulue melakukan mitigasi
tsunami dengan mudah dan aman.

Referensi
[1] Budiman Subandono, Diposaptono 2007 Hidup Akrab dengan Gempa dan Tsunami (Bogor:
Buku Ilmiah Populer)
[2] Tejakusuma IG 2005 Analisis Pasca Tsunami Aceh Jurnal Alami, Vol 10 No 2 Tahun 2005
[3] Rofi, Abdur D, Shannon R, Courtland 2006 Kematian dan perpindahan tsunami di Aceh
provinsi Indonesia Kompilasi Jurnal Bencana 2006, 30(3): 340ÿ350
[4] Shofiyati, Rizatus D, Dewanti RK, Agus W Dampak Tsunami 2005 Di Nanggroe Aceh
Darussalam Dan Provinsi Sumatera Utara Indonesia Asian Journal Of Geoinformatics
Jilid 5, No 2, Mei 2005 Hal: 1-16
[5] Diakses dari website BNPB GoId Pada Hari Selasa, Tanggal 04 Oktober 2016 Pukul 2239
[6] Nilai Smith, Peter B, dan Shalom Schwartz 1997 Dalam JW Berry, MH Segall, dan C Kagitcibasi,
eds Handbook of Cross-Cultural Psychology vol 3 (Boston: Allyn and Bacon)
[7] Sauri, Sofyan, Hufad, and Achmad 2007 Ilmu dan Aplikasi Pendidikan Bagian 3: Pendidikan
Nilai (Bandung: Imperial Bhakti Utama)
[8] Kamakura, A Wagner Novak, P Thomas P 1992 Segmentasi Sistem Nilai: Menjelajahi
Makna Cinta Jurnal Riset Konsumen Vol 19 Juni 1992 Pp : 119-132
[9] Grube, Joel W, Daniel M Mayton, dan Sandra BallRokeach 1994 Mendorong Perubahan Nilai,
Sikap, dan Perilaku: Teori Sistem Keyakinan dan Metode Nilai Konfrontasi Diri
Jurnal Masalah Sosial 50:153-174
[10] Bilsky W dan Schwartz SH 1994 Nilai dan Kepribadian Dalam European Journal of Personality
Vol 8/1994 hlm 163-181
[11] Sanusi, Achmad 2015 Sistem Nilai: Alternatif Wajah-Wajah Pendidikan (Bandung: Nuansa
Cendekia)
[12] Sartini 2004 Menggali Kearifan Lokal Nusantara: Sebuah Kajian Filsafat Jurnal Filsafat

5
Machine Translated by Google

1st UPI International Geography Seminar 2017 IOP Publishing IOP Conf. Seri : Ilmu Bumi dan Lingkungan
1234567890 ''“”
145 (2018) 012041 doi :10.1088/1755-1315/145/1/012041

Agustus 2004, Jilid 37, Nomor 2 (Yogyakarta: UGM)


[13] Suyami Dkk 2005 Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Nelayan Jepara Jawa Tengah
(Yogyakarta: Direktorat Kebudayaan Kementerian Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek
Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya)
[14] Keraf SA 2002 Etika Lingkungan (Jakarta: Pn Buku Kompas)
[15] Irianto, Agus Maladi 2009 Mahasiswa dan Kearifan Lokal Diakses dari
http://staffundipacid/sastra/agusmuladi (diakses tanggal 27 September 2016)
[16] Mungmachon, Roikhwanphut 2012 Pengetahuan Dan Kearifan Lokal: Harta Karun Masyarakat
Jurnal Internasional Humaniora Dan Ilmu Sosial Vol 2 No 13; Juli 2012
[17] Csikszentmihalyi, Mihaly Rathunde, Kevin 1995 Psikologi Kebijaksanaan: sebuah interpretasi
evolusioner (Diterbitkan oleh sindikat pers Universitas Cambridge)
[18] Nakhorn Thap S 1996 Laporan Studi tentang Pola Proses dalam Mempromosikan Guru dan
Partisipasi Sekolah untuk Pencegahan dan Pemecahan Masalah Pekerja Anak di
Thailand Journal of Research on Humanities Information Study Office of the National
Komisi Pendidikan
[19] Marfai, Aris, Muh 2012 Pengantar Etika Lingkungan dan Kearifan Lokal (Yogyakarta: Gadjah
Pers Universitas Mada)
[20] Koentjaraningrat 2009 Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Rineka Cipta)
[21] Sanny, Abdullah Teuku 2007 Gelombang Smong Dari Simeulue, Sebuah Kebangkitan dan Perubahan,
Pembangunan Strategis Pasca Tsunami Kabupaten Simeulue (Simeulue: Pemerintah Kabupaten
Simeulue)
[22] Kodoatie, Robert J dan Sjarief Roestam 2010 Tata Ruang Air (Yogyakarta: Andi)
[23] Saatcioglu M Dkk 2005 Pengaruh Gempa dan Tsunami Sumatera 26 Desember 2004 Terhadap
Prasarana Fisik Journal of Earthquake Technology Vol 42, No4 Hal 79-94
[24] Jokowinarno dan Dwi 2011 Mitigasi Bencana Tsunami Di Wilayah Pesisir Lampung Jurnal
Rekayasa Vol 15 No 1, April 2011
[25] Wesnawa, Astra I Gede dan Christiawan Putu Indra 2014 Geografi Bencana (Yogyakarta:
Graha Ilmu)
[26] Adiyoso, Wignyo and Kanegae, Hidehiko 2013 Efektifitas Dampak Penerapan Pendidikan
Kebencanaan di Sekolah terhadap Kesiapsiagaan Siswa Menghadapi Bencana Tsunami di
Aceh, Indonesia Majalahindd Spread 23 of 44 – Halaman (66, 23) Edisi 03/Tahun XIX/2013
[27] Imamura F 2009 Penyebarluasan informasi dan tata cara evakuasi tsunami 2004-2007, termasuk
Indian ocean Journal of Earthquake and Tsunami 2004 3 2 59–65
[28] Goto Y, Affan M, Agussabti, Nurdin Y, Yuliana DK, Ardiansyah 2012 Simulasi evakuasi tsunami untuk
pendidikan kebencanaan dan perencanaan kota Journal of Disaster Research vol 7, no 1, pp 1-10

[29] Baedaa Y, Achmad R, Taufiqur U, Hasdinar S, A Dadang 2014 Mitigation plan for future tsunami of
Seruni Beach Bantaeng 2nd International Seminar on Ocean and Coastal
Rekayasa, Lingkungan dan Manajemen Bencana Alam, ISOCEEN 2014 Procedia
Ilmu Bumi dan Planet 14 (2015) 179 – 185
[30] Laporan ICHARM-UNESCO 2010 tentang Lokakarya Internasional tentang Pengelolaan Bencana
Tsunami Berkelanjutan: Pengembangan Kesadaran, Pemetaan Bahaya dan Implementasi Hutan
Pantai Publikasi ICHARM no19
[31] Morin JN, Flohic F, dan Lavigne 2008 Pengembangan masyarakat tangguh tsunami di
Indonesia melalui aksi edukatif Pencegahan dan Penanggulangan Bencana 13 (1), 39-49
[32] Murata, S, Imamura, F, Katoh, K, Kawata, Y, Takahashi, S, and Takayama 2010 Tsunami: to
selamat dari tsunami (Singapore: World Scientifi c)
[33] Kongko, Widjo, Hidayat, dan Rahman 2014 Gempa-Tsunami di Jogjakarta Selatan
Indonesia: Potensi, Model Simulasi, dan Upaya Mitigasi TerkaitIOSR Journal of
Geologi dan Geofisika Terapan (IOSR-JAGG) e-ISSN: 2321–0990, p-ISSN: 2321–
0982Volume 2, Edisi 3 (Mei-Jun 2014), PP 18-22

Anda mungkin juga menyukai