Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sekitar delapan juta perempuan/tahun mengalami komplikasi kehamilan

dan lebih dari setengah juta diantaranya meninggal dunia, dimana 99% terjadi di

Negara berkembang. Angka kematian akibat komplikasi kehamilan dan persalinan

di Negara maju yaitu 1 dari 5000 perempuan, dimana angka ini jauh lebih rendah

dibandingkan di Negara berkembang, yaitu 1 dari 11 perempuan meninggal akibat

komplikasi kehamilan dan persalinan. Tingginya angka kematian ibu (AKI) masih

merupakan masalah kesehatan di Indonesia dan juga mencerminkan kualitas

pelayanan kesehatan selama kehamilan dan nifas. AKI di Indonesia masih

merupakan salah satu yang tertinggi di negara Asia Tenggara. Berdasarkan Survei

Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012, AKI di Indonesia

sebesar 359 per 100.000 kelahiran hidup. Jika dibandingkan kawasan ASEAN,

AKI pada tahun 2007 masih cukup tinggi, AKI di Singapura hanya 6 per 100.000

kelahiran hidup, Brunei 33 per 100.000 kelahiran hidup, Filipina 112 per 100.000

kelahiran hidup, serta Malaysia dan Vietnam sama-sama mencapai 160 per

100.000 kelahiran hidup. Meskipun, Millenium development goal (MDG)

menargetkan penurunan AKI menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun

2015, namun pada tahun 2012 SDKI mencatat kenaikan AKI yang signifikan

yaitu dari 228 menjadi 359 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup.

Peningkatan jumlah penduduk dan jumlah kehamilan berisiko turut

mempengaruhi sulitnya pencapaian target ini. Berdasarkan prediksi Biro Sensus

1
Kependudukan Amerika, penduduk Indonesia akan mencapai 255 juta pada tahun

2015 dengan jumlah kehamilan berisiko sebesar 15 -20 % dari seluruh kehamilan.

Tiga penyebab utama kematian ibu adalah perdarahan (30%), hipertensi

dalam kehamilan (25%), dan infeksi (12%). WHO memperkirakan kasus

preeklampsia tujuh kali lebih tinggi di Negara berkembang daripada di negara

maju. Prevalensi preeklampsia di Negara maju adalah 1,3% - 6%, sedangkan di

Negara berkembang adalah 1,8% - 18%. Insiden preeklampsia di Indonesia

sendiri adalah 128.273/tahun atau sekitar 5,3%. Kecenderungan yang ada dalam

dua dekade terakhir ini tidak terlihat adanya penurunan yang nyata terhadap

insiden preeklampsia, berbeda dengan insiden infeksi yang semakin menurun

sesuai dengan perkembangan temuan antibiotik. Preeklampsia merupakan

masalah kedokteran yang serius dan memiliki tingkat kompleksitas yang tinggi.

Besarnya masalah ini bukan hanya karena preeklampsia berdampak pada ibu saat

hamil dan melahirkan, namun juga menimbulkan masalah pasca persalinan akibat

disfungsi endotel di berbagai organ, seperti risiko penyakit kardiometabolik dan

komplikasi lainnya. Dampak jangka panjang juga dapat terjadi pada bayi yang

dilahirkan dari ibu dengan preeklampsia, seperti berat badan lahir rendah akibat

persalinan prematur atau mengalami pertumbuhan janin terhambat, serta turut

menyumbangkan besarnya angka morbiditas dan mortalitas perinatal. Penyakit

hipertensi dalam kehamilan merupakan penyebab tersering kedua morbiditas dan

mortalitas perinatal. Bayi dengan berat badan lahir rendah atau mengalami

pertumbuhan janin terhambat juga memiliki risiko penyakit metabolik pada saat

dewasa. Penanganan preeklampsia dan kualitasnya di Indonesia masih beragam di

antara praktisi dan rumah sakit. Hal ini disebabkan bukan hanya karena belum ada

2
teori yang mampu menjelaskan pathogenesis penyakit ini secara jelas, namun juga

akibat kurangnya kesiapan sarana dan prasarana di daerah. Selain masalah

kedokteran, preeklampsia juga menimbulkan masalah ekonomi, karena biaya yang

dikeluarkan untuk kasus ini cukup tinggi.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

3
2.1 Definisi

Preeklampsia adalah timbulnya hipertensi disertai dengan proteinuria pada

umur kehamilan lebih dari 20 minggu atau segera setelah persalinan. Saat ini

oedema pada wanita hamil dianggap sebagai hal yang biasa dan tidak spesifik

dalam diagnosis preeklampsia. Hipertensi didefinisikan sebagai peningkatan

tekanan darah sistolik 140 mmHg atau tekanan darah diastolik 90 mmHg.

Proteinuria didefinisikan sebagai adanya protein dalam urin dalam jumlah 300

mg/ml dalam urin tampung 24 jam atau 30 mg/dl dari urin acak tengah yang tidak

menunjukkan tanda-tanda infeksi saluran kencing.

2.2 Faktor Resiko

Frekuensi preeklampsia untuk tiap negara berbeda-beda karena banyak

faktor yang mempengaruhinya. Pada primigravida frekuensi preeklampsia lebih

tinggi bila dibandingkan dengan multigravida, terutama primigravida muda.

Diabetes Mellitus, kehamilan ganda, preeklampsia pada kehamilan sebelumnya,

preeklampsia dalam keluarga, umur lebih dari 40 tahun serta obesitas merupakan

faktor predisposisi untuk terjadinya preeklampsia.

Di samping itu, wanita dengan kehamilan ganda memperlihatkan insiden

hipertensi gestasional dan preeklampsia yang secara bermakna lebih tinggi.

Wanita dengan kehamilan ganda memperlihatkan prognosis neonatus yang lebih

buruk daripada wanita dengan kehamilan tunggal.

2.3 Etiologi

4
Penyebab preeklampsia sampai saat ini masih belum diketahui secara

pasti, sehingga penyakit ini disebut dengan “The Diseases of Theories”. Banyak

teori-teori telah dikemukakan tentang terjadinya hipertensi dalam kehamilan,

tetapi tidak ada satupun teori tersebut yang dianggap mutlak benar. Teori-teori

yang sekarang banyak dianut :

a. Teori kelainan vaskularisasi plasenta

Gambar 2.1 Kelainan vaskularisasi plasenta

Pada kehamilan normal, rahim dan plasenta mendapatkan aliran darah dari

cabang- cabang arteri uterina dan arteri ovarika yang menembus miometrium dan

menjadi arteri arkuata, yang akan bercabang menjadi arteri radialis. Arteri radialis

menembus endometrium menjadi arteri basalis memberi cabang arteri spiralis.

Pada kehamilan terjadi invasi trofoblas kedalam lapisan otot arteri spiralis, yang

menimbulkan degenerasi lapisan otot tersebut sehingga terjadi distensi dan

vasodilatasi arteri spiralis, yang akan memberikan dampak penurunan tekanan

darah, penurunan resistensi vaskular, dan peningkatan aliran darah pada utero

plasenta. Akibatnya aliran darah ke janin cukup banyak dan perfusi jaringan juga

5
meningkat, sehingga menjamin pertumbuhan janin dengan baik. Proses ini

dinamakan remodelling arteri spiralis. Pada preeklamsia terjadi kegagalan

remodelling menyebabkan arteri spiralis menjadi kaku dan keras sehingga arteri

spiralis tidak mengalami distensi dan vasodilatasi, sehingga aliran darah utero

plasenta menurun dan terjadilah hipoksia dan iskemia plasenta.

b. Teori Iskemia Plasenta, Radikal bebas, dan Disfungsi Endotel

1. Iskemia Plasenta dan pembentukan Radikal Bebas

Karena kegagalan Remodelling arteri spiralis akan berakibat plasenta

mengalami iskemia, yang akan merangsang pembentukan radikal bebas, yaitu

radikal hidroksil (-OH) yang dianggap sebagai toksin. Radikal hidroksil akan

merusak membran sel yang banyak mengandung asam lemak tidak jenuh

menjadi peroksida lemak. Peroksida lemak juga akan merusak nukleus dan

protein sel endotel

2. Disfungsi Endotel

Kerusakan membran sel endotel mengakibatkan terganggunya fungsi

endotel, bahkan rusaknya seluruh struktur sel endotel keadaan ini disebut

disfungsi endotel, yang akan menyebabkan terjadinya :

a. Gangguan metabolisme prostalglandin, yaitu menurunnya produksi

prostasiklin (PGE2) yang merupakan suatu vasodilator kuat.

b. Agregasi sel-sel trombosit pada daerah endotel yang mengalami

kerusakan. Agregasi trombosit memproduksi tromboksan (TXA2)

yaitu suatu vasokonstriktor kuat. Dalam keadaan normal kadar

prostasiklin lebih banyak dari pada tromboksan. Sedangkan pada pre

6
eklampsia kadar tromboksan lebih banyak dari pada prostasiklin,

sehingga menyebabkan peningkatan tekanan darah.

c. Perubahan khas pada sel endotel kapiler glomerulus (glomerular

endotheliosis) .

d. Peningkatan permeabilitas kapiler.

e. Peningkatan produksi bahan – bahan vasopresor, yaitu endotelin.

Kadar NO (nitrat oksida) menurun sedangkan endotelin meningkat.

f. Peningkatan faktor koagulasi

c. Faktor angiogenik

Iskemia plasenta diperkirakan mensintesis peningkatan jumlah

pengeluaran vasoactive factors seperti soluble fms-like tyrosine kinase-1 (sFlt-1),

cytokines, dan mungkin angiotensin II (ANG II) type 1 receptor autoantibodies

(AT1-AA). Soluble fms-like tyrosine kinase 1 (sFlt-1) merupakan salah satu faktor

anti-angiogenic, sedangkan vascular endothelial growth factor (VEGF) receptor 1

dan placental growth factor (PlGF) merupakan faktor angiogenic. Pada kehamilan

normal, konsentrasi PIGF meningkat pada trimester pertama yang kemudian akan

mengalami penurunan pada trimester selanjutnya. Hal ini berbanding terbalik

dengan anti-angiogenic sFlt-1. Konsentrasi sFlt-1 stabil pada awal sampai

pertengahan kehamilan, dan akan mengalami peningkatan pada trimester terakhir

kehamilan. Pada preeklamsi, terjadi perubahan konsentrasi faktor anti-angiogenic

dan angiogenic. Tingkat sFlt-1 lebih tinggi dan PlGF lebih rendah dibandingkan

pada kehamilan normal. Ketika endotelium kekurangan angiogenik faktor (VEGF

dan PlGF) dan antiangiogenic berlebih seperti sFlt-1, endotelium menjadi

disfungsional dan mengarah ke sindrom klinis hipertensi dan proteinuria.

7
d. Teori intoleransi imunologik ibu dan janin

Pada perempuan normal respon imun tidak menolak adanya hasil konsepsi

yang bersifat asing. Hal ini disebabkan adanya Human Leukocyte Antigen Protein

G (HLA-G) yang dapat melindungi trofoblas janin dari lisis oleh sel natural killer

(NK) ibu. HLA-G juga akan mempermudah invasis sel trofoblas kedalam jaringan

desidua ibu. Pada plasenta ibu yang mengalami pre eklamsia terjadi ekspresi

penurunan HLA-G yang akan mengakibatkan terhambatnya invasi trofoblas ke

dalam desidua. Kemungkinan terjadi Immune-Maladaptation pada pre eklamsia.

e. Teori Adaptasi kardiovaskular

Pada kehamilan normal pembuluh darah refrakter terhadap bahan

vasopresor. Refrakter berarti pembuluh darah tidak peka terhadap rangsangan

vasopresor atau dibutuhkan kadar vasopresor yang lebih tinggi untuk

menimbulkan respon vasokonstriksi. Refrakter ini terjadi akibat adanya sintesis

prostalglandin oleh sel endotel. Pada pre eklamsia terjadi kehilangan kemampuan

refrakter terhadap bahan vasopresor sehingga pembuluh darah menjadi sangat

peka terhadap bahan vasopresor sehingga pembuluh darah akan mengalami

vasokonstriksi dan mengakibatkan hipertensi dalam kehamilan.

f. Teori Genetik

Ada faktor keturunan dan familial dengan model gen tunggal. Genotype

ibu lebih menentukan terjadinya hipertensi dalam kehamilan secara familial jika

dibandingkan dengan genotype janin. Telah terbukti bahwa ibu yang mengalami

preeklampsia, 20%-40% anak perempuannya akan mengalami preeklampsia pula,

sedangkan hanya 8% anak menantu mengalami preeklampsia.

g. Teori Defisiensi Gizi

8
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa defisiensi gizi berperan

dalam terjadinya hipertensi dalam kehamilan. Penelitian terakhir membuktikan

bahwa konsumsi minyak ikan dapat mengurangi resiko preeklampsia. Minyak

ikan banyak mengandung asam lemak tidak jenuh yang dapat menghambat

produksi tromboksan, menghambat aktivasi trombosit, dan mencegah

vasokonstriksi pembuluh darah.

h. Teori Stimulasi Inflamasi

Teori ini berdasarkan bahwa lepasnya debris trofoblas di dalam sirkulasi

darah merupakan rangsangan utama terjadinya proses inflamasi. Berbeda dengan

proses apoptosis pada preeklampsia, dimana pada preeklampsia terjadi

peningkatan stres oksidatif sehingga produksi debris trofoblas dan nekrorik

trofoblas juga meningkat. Keadaan ini mengakibatkan respon inflamasi yang

besar juga. Respon inflamasi akan mengaktifasi sel endotel dan sel

makrofag/granulosit yang lebih besar pula, sehingga terjadi reaksi inflamasi

menimbulkan gejala – gejala preeklampsia pada ibu.

2.4 Patogenesis Preeklampsia

Patogenesis yang mendasari preeklampsia tidak sepenuhnya dipahami,

tetapi saat ini diyakini bahwa inisiasi terjadinya preeklampsia adalah

berkurangnya perfusi plasenta, yang berkembang dari migrasi sitotrofoblas

menuju arteriol spiral rahim yang mengarah ke remodelling vaskular yang tidak

adekuat dan hipoperfusi plasenta. Adapun hipotesis yang diajukan diantaranya

adalah:

a. Iskemik Plasenta

9
Selama kehamilan normal, sitotrofoblas akan menginvasi sepertiga

bagian dalam miometrium dan arteri spiralis dengan mengganti endotel,

merusak jaringan elastik pada tunika media dan jaringan otot polos dinding

arteri. Perubahan tersebut berhubungan dengan perubahan fungsi arteri spiralis

seperti menurunkan resistensi pembuluh darah, yang sedikit sensitif atau

bahkan tidak sensitif terhadap substansi vasokonstriktif.

Pada preeklampsia tidak terjadi invasi sel-sel trofoblas pada lapisan

otot arteri spiralis dan jaringan matriks sekitarnya. Lapisan otot arteri spiralis

menjadi tetap kaku dan keras sehingga lumen arteri spiralis tidak

memungkinkan mengalami distensi dan vasodilatasi. Akibatnya arteri spiralis

relatif mengalami vasokonstriksi dan terjadi kegagalan remodelling arteri

spiralis sehingga aliran darah utero plasenta menurun dan terjadilah hipoksia

dan iskemia plasenta.

b. Disfungsi Endotel

Plasenta yang mengalami iskemia akibat tidak terjadinya invasi

trofoblas secara benar akan menghasilkan radikal bebas. Salah satu radikal

bebas yang dihasilkan plasenta iskemia adalah radikal hidroksil. Radikal

hidroksil akan mengubah asam lemak tidak jenuh menjadi peroksida lemak.

Peroksida lemak akan merusak membran sel endotel pembuluh darah dan

mengakibatkan terganggunya fungsi endotel, bahkan rusaknya seluruh struktur

sel endotel. Keadaan ini disebut sebagai disfungsi endotel.

Disfungsi endotel ditandai dengan peningkatan endotelin-1, sebuah

vasokonstriktor kuat, yang disekresi dari sel-sel endotel dan menurunnya

respon vaskular pada endotel yang dimediasi vasodilator. Sementara

10
mekanisme yang bertanggung jawab untuk disfungsi endotel sistemik ibu

hamil belum diketahui, mediator disfungsi endotel seperti penurunan nitrat

oksida (NO) telah memainkan peran dalam perkembangan hipertensi pada

wanita preeklampsia.

Perubahan selama kehamilan normal seperti peningkatan volume darah

dalam sistem kardiovaskular dapat ditoleransi melalui vasodilatasi sistemik

yang berkaitan dengan produksi NO, sehingga menunjukkan bahwa defisiensi

NO memainkan peranan penting dalam gangguan hipertensi kehamilan. Nitrat

oksida juga menghambat adhesi leukosit dan mempunyai efek antitrombotik

serta anti-apoptosis.

c. Tinjauan Imunologis

Pada penderita preeklampsia terjadi penurunan proporsi T-helper

diandingkan dengan penderita normotensi yang dimulai sejak awal trimester

dua. Antibodi yang melawan sel endotel ditemukan pada 50% wanita dengan

preeklampsia, sedangkan pada kontrol hanya terdapat 15% .

Maladaptasi sistem imun dapat menyebabkan invasi yang dangkal dari

arteri spiralis oleh sel sitotrofoblas endovaskuler dan disfungsi sel endotel

yang dimediasi oleh peningkatan pelepasan sitokin seperti Tumor Necroting

Factor (TNF-) dan interleukin-1 (IL-1), enzim proteolitik dan radikal bebas

oleh desidua. Sitokin TNF- dan IL-1 berperan dalam stres oksidatif yang

berhubungan dengan preeklampsia. Akibat dari stres oksidatif akan

meningkatkan produksi sel makrofag lipid laden, aktivasi dari faktor koagulasi

mikrovaskuler serta peningkatan permeabilitas mikrovaskuler.

2.5 Patofisiologi Preeklampsia

11
a. Otak

Tekanan darah yang tinggi dapat menyebabkan autoregulasi tidak

berfungsi. Pada saat autoregulasi tidak berfungsi sebagaimana mestinya, jembatan

penguat endotel akan terbuka dan dapat menyebabkan plasma dan sel-sel darah

merah keluar ke ruang ekstravaskular. Hal ini akan menimbulkan perdarahan

petekie atau perdarahan intrakranial yang sangat banyak. Dalam Sarwono, McCall

melaporkan bahwa resistensi pembuluh darah dalam otak pada pasien hipertensi

dalam kehamilan lebih meninggi pada eklampsia. Pada pasien preeklampsia,

aliran darah ke otak dan penggunaan oksigen otak masih dalam batas normal.

Pemakaian oksigen pada otak menurun pada pasien eklampsia.

b. Mata

Pada preeklampsia tampak edema retina, spasmus setempat atau

menyeluruh pada satu ataubeberapa arteri, jarang terjadi perdarahan atau eksudat.

Spasmus arteri retina yang nyata dapat menunjukkan adanya preeklampsia yang

berat, tetapi bukan berarti spasmus yang ringan adalah preeklampsia yang ringan.

Pada preeklampsia jarang terjadi ablasio retina yang disebabkan edema

intraokuler dan merupakan indikasi untuk terminasi kehamilan. Ablasio retina ini

biasanya disertai kehilangan penglihatan.

Skotoma, diplopia dan ambliopia pada penderita preeklampsia merupakan

gejala yang menunjukan akan terjadinya eklampsia. Keadaan ini disebabkan oleh

perubahan aliran darah dalam pusat penglihatan di korteks serebri atau dalam

retina. Selama periode 14 tahun, ditemukan 15 wanita dengan preeklampsia berat

dan eklampsia yang mengalami kebutaan yang dikemukakan oleh Cunningham.

c. Paru

12
Edema paru biasanya terjadi pada pasien preeklampsia berat dan

eklampsia dan merupakan penyebab utama kematian. Edema paru bisa

diakibatkan oleh kardiogenik ataupun non-kardiogenik dan biasa terjadi setelah

melahirkan. Pada beberapa kasus terjadi berhubungan dengan terjadinya

peningkatan cairan yang sangat banyak. Hal ini juga dapat berhubungan dengan

penurunan tekanan onkotik koloid plasma akibat proteinuria, penggunaan

kristaloid sebagai pengganti darah yang hilang, dan penurunan albumin yang

dihasilkan oleh hati

d. Hepar

Pada preeklampsia berat terkadang terdapat perubahan fungsi dan

integritas hepar, termasuk perlambatan ekskresi bromosulfoftalein dan

peningkatan kadar aspartat aminotransferase serum. Sebagian besar peningkatan

fosfatase alkali serum disebabkan oleh fosfatase alkali tahan panas yang berasal

dari plasenta. Pada penelitian yang dilakukan Oosterhof dkk (1994), dengan

menggunakan sonografi Doppler pada 37 wanita preeklampsia, terdapat resistensi

arteri hepatika. Nekrosis hemoragik periporta di bagian perifer lobulus hepar

kemungkinan besar penyebab terjadinya peningkatan enzim hati dalam serum.

Perdarahan pada lesi ini dapat menyebabkan ruptur hepatika, atau dapat meluas di

bawah kapsul hepar dan membentuk hematom subkapsular

e. Ginjal

Selama kehamilan normal, aliran darah dan laju filtrasi glomerulus

meningkat cukup besar. Dengan timbulnya preeklampsia, perfusi ginjal dan

filtrasi glomerulus menurun. Lesi karakteristik dari preeklampsia,

glomeruloendoteliosis, adalah pembengkakan dari kapiler endotel glomerular

13
yang menyebabkan penurunan perfusi dan laju filtrasi ginjal. Pada sebagian besar

wanita hamil dengan preeklampsia, penurunan ringan sampai sedang laju filtrasi

glomerulus tampaknya terjadi akibat berkurangnya konsentrasi asam urat plasma

biasanya meningkat, terutama pada wanita dengan penyakit berat.

Pada sebagian besar wanita hamil dengan preeklampsia, penurunan ringan

sampai sedang laju filtrasi glomerulus tampaknya terjadi akibat berkurangnya

volume plasma sehingga kadar kreatinin plasma hampir dua kali lipat

dibandingkan dengan kadar normal selama hamil (sekitar 0,5 ml/dl). Namun pada

beberapa kasus preeklampsia berat, keterlibatan ginjal menonjol dan kreatinin

plasma dapat meningkat beberapa kali lipat dari nilai normal ibu tidak hamil atau

berkisar hingga 2-3 mg/dl. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh perubahan

intrinsik ginjal yang ditimbulkan oleh vasospasme hebat yang dikemukakan oleh

Pritchard (1984).Filtrasi yang menurun hingga 50% dari normal dapat

menyebabkan diuresis turun, bahkan pada keadaan yang berat dapat menyebabkan

oligouria ataupun anuria. Lee (1987) melaporkan tekanan pengisian ventrikel

normal pada tujuh wanita dengan preeklampsia berat yang mengalami oligouria

dan menyimpulkan bahwa hal ini konsisten dengan vasospasme intrarenal.

Kelainan pada ginjal yang penting adalah dalam hubungan proteinuria dan retensi

garam dan air.

Preeklampsia berkaitan dengan penurunan ekskresi kalsium melalui urin

karena meningkatnya reabsorpsi di tubulus. Pada kehamilan normal, tingkat

reabsorpsi meningkat sesuai dengan peningkatan filtrasi dari glomerulus.

Penurunan filtrasi glomerulus akibat spasmus arteriol ginjal mengakibatkan

filtrasi natrium melalui glomerulus menurun, yang menyebabkan retensi garam

14
dan juga retensi air. Untuk mendiagnosis preeklampsia atau eklampsia harus

terdapat proteinuria. Namun, karena proteinuria muncul belakangan, sebagian

wanita mungkin sudah melahirkan sebelum gejala ini dijumpai. Meyer (1994)

menekankan bahwa yang diukur adalah ekskresi urin 24 jam. Mereka

mendapatkan bahwa proteinuria+1 atau lebih dengan dipstick memperkirakan

minimal terdapat 300 mg protein per 24 jam pada 92% kasus. Sebaliknya,

proteinuria yang samar (trace) atau negatif memiliki nilai prediktif negatif hanya

34 % pada wanita hipertensif. Kadar dipstick urin +3 atau +4 hanya bersifat

prediktif positif untuk preeklampsia berat pada 36% kasus.

Seperti pada glomerulopati lainnya, terjadi peningkatan permeabilitas

terhadap sebagian besar protein dengan berat molekul tinggi. Maka ekskresi

protein albumin juga disertai protein-protein lainnya seperti hemoglobin, globulin

dan transferin. Biasanya molekul-molekul besar ini tidak difiltrasi oleh

glomerulus dan kemunculan zat-zat ini dalam urin mengisyaratkan terjadinya

proses glomerulopati. Sebagian protein yang lebih kecil yang biasa difiltrasi

kemudian direabsorpsi juga terdeksi di dalam urin.

f. Darah

Kebanyakan pasien dengan preeklampsia memiliki pembekuan darah yang

normal. Perubahan tersamar yang mengarah ke koagulasi intravaskular dan

destruksi eritrosit (lebih jarang) sering dijumpai pada preeklampsia menurut

Baker (1999). Trombositopenia merupakan kelainan yang sangat sering, biasanya

jumlahnya kurang dari 150.000/μl yang ditemukan pada 15- 20% pasien. Level

fibrinogen meningkat sangat aktual pada pasien preeklampsia dibandingkan

dengan ibu hamil dengan tekanan darah normal. Level fibrinogen yang rendah

15
pada pasien preeklampsia biasanya berhubungan dengan terlepasnya plasenta

sebelum waktunya (placental abruption). Pada 10% pasien dengan preeklampsia

berat dan eklampsia menunjukan terjadinya HELLP syndrome yang ditandai

dengan adanya anemia hemolitik, peningkatan enzim hati dan jumlah platelet

rendah. Sindrom biasanya terjadi tidak jauh dengan waktu kelahiran (sekitar 31

minggu kehamilan) dan tanpa terjadi peningkatan tekanan darah. Kebanyakan

abnormalitas hematologik kembali ke normal dalam dua hingga tiga hari setelah

kelahiran tetapi trombositopenia bisa menetap selama seminggu.

g. Sistem Endokrin dan Metabolisme Air dan Elektrolit

Selama kehamilan normal, kadar renin, angiotensin II dan aldosteron

meningkat. Pada preeklampsia menyebabkan kadar berbagai zat ini menurun ke

kisaran normal pada ibu tidak hamil. Pada retensi natrium dan atau hipertensi,

sekresi renin oleh aparatus jukstaglomerulus berkurang sehingga proses

penghasilan aldosteron pun terhambat dan menurunkan kadar aldosteron dalam

darah.

Pada ibu hamil dengan preeklampsia juga meningkat kadar peptida

natriuretik atrium. Hal ini terjadi akibat ekspansi volume dan dapat menyebabkan

meningkatnya curah jantung dan menurunnya resistensi vaskular perifer baik pada

normotensif maupun preeklamptik. Hal ini menjelaskan temuan turunnya

resistensi vaskular perifer setelah ekspansi volume pada pasien preeklampsia.

Pada pasien preeklampsia terjadi hemokonsentrasi yang masih belum

diketahui penyebabnya. Pasien ini mengalami pergeseran cairan dari ruang

intravaskuler ke ruang interstisial. Kejadian ini diikuti dengan kenaikan

hematokrit, peningkatan protein serum, edema yang dapat menyebabkan

16
berkurangnya volume plasma, viskositas darah meningkat dan waktu peredaran

darah tepi meningkat. Hal tersebut mengakibatkan aliran darah ke jaringan

berkurang dan terjadi hipoksia. Pada pasien preeklampsia, jumlah natrium dan air

dalam tubuh lebih banyak dibandingkan pada ibu hamil normal. Penderita

preeklampsia tidak dapat mengeluarkan air dan garam dengan sempurna. Hal ini

disebabkan terjadinya penurunan filtrasi glomerulus namun penyerapan kembali

oleh tubulus ginjal tidak mengalami perubahan.

h. Plasenta dan Uterus

Menurunnya aliran darah ke plasenta mengakibatkan gangguan fungsi

plasenta. Pada hipertensi yang agak lama, pertumbuhan janin terganggu dan pada

hipertensi yang singkat dapat terjadi gawat janin hingga kematian janin akibat

kurangnya oksigenisasi untuk janin. Kenaikan tonus dari otot uterus dan kepekaan

terhadap perangsangan sering terjadi pada preeklampsia. Hal ini menyebabkan

sering terjadinya partus prematurus pada pasien preeklampsia.

Pada pasien preeklampsia terjadi dua masalah, yaitu arteri spiralis di

miometrium gagal untuk tidak dapat mempertahankan struktur

muskuloelastisitasnya dan atheroma akut berkembang pada segmen miometrium

dari arteri spiralis. Atheroma akut adalah nekrosis arteriopati pada ujung-ujung

plasenta yang mirip dengan lesi pada hipertensi malignan. Atheroma akut juga

dapat menyebabkan penyempitan kaliber dari lumen vaskular. Lesi ini dapat

menjadi pengangkatan lengkap dari pembuluh darah yang bertanggung jawab

terhadap terjadinya infark plasenta.

2.6 Klasifikasi Preeklampsia

17
Klasifikasi menurut American College of Obstetricians and Gynecologists

(ACOG) tahun 2013, yaitu:

1. Preeklampsia ringan sudah tidak digunakan lagi.

2. Preeklampsia berat diganti menjadi preeklampsia tanpa gejala berat dan

preeklampsia dengan gejala berat, bila disertai keadaan sebagai berikut:

 Tekanan darah sistolik lebih besar atau sama dengan 160 mmHg atau
diastolik lebih tinggi atau sama dengan 110 mmHg pada dua kali
pengukuran pada minimal jarak pengukuran 4 jam saat pasien berada di
tempat tidur (kecuali diberi terapi antihipertensi sebelumnya).
 Thrombositopenia (hitung platelet kurang dari 100.000/mikroliter).
 Gangguan fungsi hati diindikasikan dengan peningkatan enzim hati (dua
kali normal), nyeri hebat kuadran kanan atas atau nyeri epigastrium yang
tidak berespon dengan pengobatan dan tidak dapat diberikan penjelasan
dengan alternatif diagnosis atau keduanya.
 Renal insufisiensi progresif (Konsentrasi serum kreatinin lebih besar dari
1,1 mg/dl atau keraguan konsentrasi serum kreatinin pada tidak
ditemukannya kelainan ginjal).
 Edema paru
 Gangguan serebral atau visual.

2.7 Manifestasi Klinis

Dua gejala yang sangat penting pada preeklampsia adalah hipertensi dan

proteinuria. Gejala ini merupakan keadaan yang biasanya tidak disadari oleh

wanita hamil. Pada waktu keluhan lain seperti sakit kepala, gangguan penglihatan,

dan nyeri epigastrium mulai timbul, hipertensi dan proteinuria yang terjadi

biasanya sudah berat.

18
Tekanan darah. Kelainan dasar pada preeklampsia adalah vasospasme

arteriol sehingga tanda peringatan awal muncul adalah peningkatan tekanan darah.

Tekanan diastolik merupakan tanda prognostik yang lebih baik dibandingkan

tekanan sistolik dan tekanan diastolik sebesar 90 mmHg atau lebih menetap

menunjukan keadaan abnormal.

Kenaikan berat badan. Peningkatan berat badan yang terjadi tiba-tiba dan

kenaikan berat badan yang berlebihan merupakan tanda pertama preeklampsia.

Peningkatan berat badan sekitar 0,45 kg per minggu adalah normal, tetapi bila

lebih dari 1 kg dalam seminggu atau 3 kg dalam sebulan maka kemungkinan

terjadinya preeklampsia harus dicurigai. Peningkatan berat badan yang mendadak

serta berlebihan terutama disebabkan oleh retensi cairan dan selalu dapat

ditemukan sebelum timbul gejala edema non dependent yang terlihat jelas, seperti

edema kelopak mata, kedua lengan, atau tungkai yang membesar.

Proteinuria. Derajat proteinuria sangat bervariasi menunjukan adanya

suatu penyebab fungsional dan bukan organik. Pada preeklampsia awal,

proteinuria mungkin hanya minimal atau tidak ditemukan sama sekali. Pada kasus

yang berat, proteinuria biasanya dapat ditemukan dan mencapai 10 gr/l.

Proteinuria hampir selalu timbul kemudian dibandingkan dengan hipertensi dan

biasanya terjadi setelah kenaikan berat badan yang berlebihan.

Nyeri kepala. Gejala ini jarang ditemukan pada kasus ringan, tetapi

semakin sering terjadi pada kasus yang lebih berat. Nyeri kepala sering terasa

pada daerah frontalis dan oksipitalis, dan tidak sembuh dengan pemberian

analgesik biasa. Pada wanita hamil yang mengalami serangan eklampsia, nyeri

kepala hebat hampir selalu mendahului serangan kejang pertama.

19
Nyeri epigastrium. Nyeri epigastrium atau nyeri kuadran kanan atas

merupakan keluhan yang sering ditemukan pada preeklampsia berat dan dapat

menjadi presiktor serangan kejang yang akan terjadi. Keluhan ini mungkin

disebabkan oleh regangan kapsula hepar akibat edema atau perdarahan.

Gangguan penglihatan. Gangguan penglihatan yang dapat terjadi di

antaranya pandangan yang sedikit kabur, skotoma, hingga kebutaan sebagian atau

total. Keadaan ini disebabkan oleh vasospasme, iskemia, dan perdarahan petekie

pada korteks oksipital.

2.8 Diagnosis

Anamnesis

Pada preeklampsia didapatkan sakit kepala di daerah frontal, skotoma,

diplopia, penglihatan kabur, nyeri di daerah epigastrium, mual atau muntah-

muntah. Gejala-gejala ini sering ditemukan pada preeklampsia yang meningkat

dan merupakan petunjuk bahwa eklampsia akan timbul. Tekanan darah pun akan

meningkat lebih tinggi, edema dan proteinuria bertambah meningkat.

Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik yang dapat ditemukan meliputi peningkatan

tekanan sistolik 30 mmHg dan diastolik 15 mmHg atau tekanan darah meningkat

lebih dari 140/90 mmHg. Tekanan darah pada preeklampsia berat meningkat lebih

dari 160/110 mmHg dan disertai kerusakan beberapa organ. Selain itu kita juga

akan menemukan takikardia, takipnue, edema paru, perubahan kesadaran,

hipertensi ensefalopati, hiperefleksia, pendarahan otak.

20
Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk mendiagnosis preeklampsia yaitu:

 CBC dan apusan darah tepi

 Tes fungsi liver: kadar enzim transaminase yang meningkat

 Kadar serum kreatinin: kadarnya meningkat yang disebabkan penurunan

volume intravaskuler dan penurunan dari GFR.

 Faktor Koagulasi yang abnormal: peningkatan PT dan aPTT

 Asam urat: Hiperuresemia merupakan gambaran laboratorium awal pada

preeklampsia berat. Tes ini memiliki sensitivitas yang rendah yaitu sekitar 0-

55%, namun mempunyai spesifikasi yang tinggi yaitu sekitar 77-95%

 CT-Scan kepala: Studi menggunakan pemeriksaan ini untuk mendeteksi

adanya perdarahan intracranial pada pasien yang memiliki gejala sakit kepala

hebat yang tiba-tiba, defisit neurologis atau kejang dengan status post-ictal

yang memanjang.

 Ultrasonografi: Permeriksaan ini digunakan untuk memeriksa status dari fetus

yang sama baiknya ketika memeriksa restriksi pertumbuhan

 Kardiotokografi: Ini merupakan tes standar untuk mengetahui stress fetal

dalam rahim dan dapat memonitor fetus secara menetap. Walaupun dapat

memberikan informasi yang berkelanjutan, namun alat ini memiliki

kemampuan prediktif yang kurang.

2.9 Kriteria Diagnosis Preeklampsia

Kriteria diagnostik menurut American College of obstetricians and


Gynecologists (ACOG) (2013) untuk diagnostik kriteria preeklampsia ialah:

21
Tabel 2.1. Kriteria Diagnostik untuk Preeklampsia
Tekanan Darah  Sistolik lebih tinggi atau sama dengan 140 mmHg
atau diastolik lebih tinggi atau sama dengan 90
mmHg pada dua kali pengukuran pada minimal jarak
pengukuran 4 jam setelah kehamilan 20 minggu pada
wanita dengan tekanan darah sebelumnya normal.
 Sistolik lebih tinggi atau sama dengan 160 mmHg
atau diastolik lebih tinggi atau sama dengan 110
mmHg, hipertensi dapat dikonfirmasi dengan interval
waktu yang singkat (menit) dengan pemberian terapi
hipertensi.
Dan
Proteinuria  Lebih besar atau sama dengan 300 mg per urine 24
jam atau
 Protein/creatinine ratio lebih besar atau sama dengan
0,3*
 Pembacaan dipstick 1+ (jika metode yang lain tidak
tersedia)
Dan
Jika proteinuria tidak ditemukan maka digunakan onset baru hipertensi dengan
hal berikut:
Thrombositopenia  Hitung platelet kurang dari 100.000/mikroliter
Renal Insufisiensi  Konsentrasi serum kreatinin lebih besar dari 1,1 mg/dl
atau keraguan konsentarsi serum kreatinin pada tidak
ditemukannya kelainan ginjal.
Gangguan fungsi  Meningkat konsentrasi liver transaminase dua kali
hati normal
Edema Paru
Simptom cerebral atau visual
*setiap penghitungan dalam mg/dl

Menurut ACOG (2013) sebutan untuk preeklampsia ringan tidaklah sesuai


karena angka kematian dan kesakitan pada kasus ini juga tinggi. Sehingga

22
terminologi bahasa untuk preeklampsia ringan diubah menjadi preeklampsia
dengan gejala pemberat. Ciri-ciri pemberat yang dimaksud ialah:
Ciri-ciri pemberat preeklampsia :
 Tekanan darah sistolik lebih besar atau sama dengan 160 mmHg atau diastolik
lebih tinggi atau sama dengan 110 mmHg pada dua kali pengukuran pada
minimal jarak pengukuran 4 jam saat pasien berada di tempat tidur (kecuali
diberi terapi antihipertensi sebelumnya).
 Thrombositopenia (hitung platelet kurang dari 100.000/mikroliter).
 Gangguan fungsi hati diindikasikan dengan peningkatan enzim hati (dua kali
normal), nyeri hebat kuadran kanan atas atau nyeri epigastrium yang tidak
berespon dengan pengobatan dan tidak dapat diberikan penjelasan dengan
alternatif diagnosis atau keduanya.
 Renal insufisiensi progresif (Konsentrasi serum kreatinin lebih besar dari 1,1
mg/dl atau keraguan konsentarsi serum kreatinin pada tidak ditemukannya
kelainan ginjal).
 Edema paru
 Gangguan serebral atau visual.

2.10 Penatalaksanaan

Tujuan dasar dari penatalaksanaan preeklampsia adalah :

1. Terminasi kehamilan dengan kemungkinan setidaknya terdapat trauma pada

ibu maupun janin

2. Kelahiran bayi yang dapat bertahan

3. Pemulihan kesehatan lengkap pada ibu

Persalinan merupakan pengobatan untuk preeklampsia. Jika diketahui atau

diperkirakan janin memiliki usia gestasi preterm, kecenderungannya adalah

mempertahankan sementara janin di dalam uterus selama beberapa minggu untuk

menurunkan risiko kematian neonatus.

23
Khusus pada penatalaksanaan preeklampsia berat (PEB), penanganan

terdiri dari penanganan aktif dan penanganan ekspektatif. Wanita hamil dengan

PEB umumnya dilakukan persalinan tanpa ada penundaan. Pada beberapa tahun

terakhir, sebuah pendekatan yang berbeda pada wanita dengan PEB mulai

berubah. Pendekatan ini mengedepankan penatalaksanaan ekspektatif pada

beberapa kelompok wanita dengan tujuan meningkatkan luaran pada bayi yang

dilahirkan tanpa memperburuk keamanan ibu.

Adapun terapi medikamentosa yang diberikan pada pasien dengan PEB

antara lain adalah:

a. Tirah baring

b. Oksigen

c. Kateter menetap

d. Cairan intravena.

Cairan intravena yang dapat diberikan dapat berupa kristaloid maupun

koloid dengan jumlah input cairan 1500 ml/24 jam dan berpedoman pada diuresis,

insensible water loss, dan Central Venous Pressure (CVP). Keseimbangan cairan

ini harus selalu diawasi.

e. Magnesium sulfat (MgSO4).

Obat ini diberikan dengan dosis 20 cc MgSO4 20% secara intravena

loading dose dalam 4-5 menit. Kemudian dilanjutkan dengan MgSO4 40%

sebanyak 30 cc dalam 500 cc ringer laktat (RL) atau sekitar 14 tetes/menit.

Magnesium sulfat ini diberikan dengan beberapa syarat, yaitu:

1. Refleks patella normal

2. Frekuensi respirasi >16x per menit

24
3. Produksi urin dalam 4 jam sebelumnya >100cc atau 0.5 cc/kgBB/jam

4. Disiapkannya kalsium glukonas 10% dalam 10 cc sebagai antidotum.

Bila nantinya ditemukan gejala dan tanda intoksikasi maka kalsium

glukonas tersebut diberikan dalam tiga menit.

f. Antihipertensi

Antihipertensi diberikan jika tekanan darah diastolik >110 mmHg. Pilihan

antihipertensi yang dapat diberikan adalah nifedipin 10 mg. Setelah 1 jam, jika

tekanan darah masih tinggi dapat diberikan nifedipin ulangan 10 mg dengan

interval satu jam, dua jam, atau tiga jam sesuai kebutuhan. Penurunan tekanan

darah pada PEB tidak boleh terlalu agresif yaitu tekanan darah diastol tidak

kurang dari 90 mmHg atau maksimal 30%. Penggunaan nifedipin ini sangat

dianjurkan karena harganya murah, mudah didapat, dan mudah mengatur dosisnya

dengan efektifitas yang cukup baik.

g. Kortikosteroid

Penggunaan kortikosteroid direkomendasikan pada semua wanita usia

kehamilan 24-34 minggu yang berisiko melahirkan prematur, termasuk pasien

dengan PEB. Preeklampsia sendiri merupakan penyebab 15% dari seluruh

kelahiran prematur. Ada pendapat bahwa janin penderita preeklampsia berada

dalam keadaan stres sehingga mengalami percepatan pematangan paru. Akan

tetapi menurut Schiff dkk, tidak terjadi percepatan pematangan paru pada

penderita preeklampsia.

Owen dkk (1990) menyimpulkan bahwa komplikasi kehamilan terutama

hipertensi dalam kehamilan tidak memberikan keuntungan terhadap kelangsungan

hidup janin. Banias dkk dan Bowen dkk juga melaporkan terjadi peningkatan

25
insidens Respiratory Distress Syndrome (RDS) pada bayi yang lahir dari ibu yang

menderita hipertensi dalam kehamilan.

Dalam lebih dari dua dekade, kortikosteroid telah diberikan pada masa

antenatal dengan maksud mengurangi komplikasi, terutama RDS, pada bayi

prematur. Apabila dilihat dari lamanya interval waktu mulai saat pemberian

steroid sampai kelahiran, tampak bahwa interval 24 jam sampai tujuh hari

memberi keuntungan yang lebih besar dengan rasio kemungkinan (odds ratio/OR)

0,38 terjadinya RDS. Sementara apabila interval kurang dari 24 jam OR 0,70 dan

apabila lebih dari 7 hari OR 0,41.

Penelitian US Collaborative tahun 1981 melaporkan perbedaan bermakna

insiden RDS dengan pemberian steroid antenatal pada kehamilan 30-34 minggu

dengan interval antara 24 jam sampai dengan tujuh hari. Sementara penelitian

Liggins dan Howie mendapati insidens RDS lebih rendah apabila interval waktu

antara saat pemberian steroid sampai kelahiran adalah dua hari sampai kurang dari

tujuh hari dan perbedaan ini bermakna. Mereka menganjurkan steroid harus

diberikan paling tidak 24 jam sebelum terjadi kelahiran agar terlihat manfaatnya

terhadap pematangan paru janin. Pemberian steroid setelah lahir tidak bermanfaat

karena kerusakan telah terjadi sebelum steroid bekerja. National Institutes of

Health (NIH) merekomendasikan :

1. Semua wanita hamil dengan kehamilan antara 24–34 minggu yang dalam

persalinan prematur mengancam merupakan kandidat untuk pemberian

kortikosteroid antenatal dosis tunggal.

26
2. Kortikosteroid yang dianjurkan adalah betametason 12 mg sebanyak dua dosis

dengan selang waktu 24 jam atau deksametason 6 mg sebanyak 4 dosis

intramuskular dengan interval 12 jam.

3. Keuntungan optimal dicapai 24 jam setelah dosis inisial dan berlangsung

selama tujuh hari.

A. Penanganan Aktif

Penanganan aktif kehamilan dengan PEB sering dihubungkan dengan

peningkatan mortalitas perinatal dan peningkatan morbiditas serta mortalitas ibu.

Sehingga beberapa ahli berpendapat untuk terminasi kehamilan setelah usia

kehamilan mencapai 34 minggu. Terminasi kehamilan adalah terapi definitif yang

terbaik untuk ibu untuk mencegah progresifitas PEB.

Indikasi penatalaksanaan PEB aktif pada ibu:

1. Kegagalan terapi medikamentosa:

a. Setelah 6 jam sejak dimulai pengobatan medikamentosa, terjadi kenaikan

darah yang persisten

b. Setelah 24 jam sejak dimulainya pengobatan medikamentosa, terjadi

kenaikan desakan darah yang persisten

c. Tanda dan gejala impending eklampsia

d. Gangguan fungsi hepar dan ginjal

e. Dicurigai terjadi solusio plasenta

f. Timbulnya onset partus, ketuban pecah dini, dan perdarahan

g. Umur kehamilan ≥ 37 minggu

2. Indikasi penatalaksanaan PEB aktif pada janin :

a. Adanya tanda-tanda fetal distress

27
b. Adanya tanda-tanda Intra Uterine Growth Restriction (IUGR) berdasarkan

pemeriksaan USG

c. Terjadi oligohidramnion

3. Indikasi lain yaitu trombositopenia progresif yang menjurus ke sindrom

HELLP (hemolytic anemia, elevated liver enzymes, and low platelet count).

Dalam ACOG Practice Bulletin mencatat terminasi sebagai terapi untuk

PEB. Akan tetapi, keputusan untuk terminasi harus melihat keadaan ibu dan

janinnya. Sementara Nowitz ER dkk membuat ketentuan penanganan PEB dengan

terminasi kehamilan dilakukan ketika diagnosis PEB ditegakkan. Hasil penelitian

juga menyebutkan tidak ada keuntungan terhadap ibu untuk melanjutkan

kehamilan jika diagnosis PEB telah ditegakkan.

Ahmed M dkk pada sebuah review terhadap PEB melaporkan bahwa

terminasi kehamilan adalah terapi efektif untuk PEB. Sebelum terminasi, pasien

telah diberikan dengan antikejang, magnesium sulfat, dan pemberian

antihipertensi. Wagner LK juga mencatat bahwa terminasi adalah terapi efektif

untuk PEB. Pemilihan terminasi secara vaginal lebih diutamakan untuk

menghindari faktor stres dari operasi sesar.

B. Penanganan Ekspektatif

Terdapat kontroversi mengenai terminasi kehamilan pada PEB yang belum

cukup bulan. Beberapa ahli berpendapat untuk memperpanjang usia kehamilan

sampai seaterm mungkin sampai tercapainya pematangan paru atau sampai usia

kehamilan di atas 37 minggu. Adapun penatalaksanaan ekspektatif bertujuan:

28
1. Mempertahankan kehamilan sehingga mencapai umur kehamilan yang

memenuhi syarat janin dapat dilahirkan.

2. Meningkatkan kesejahteraan bayi baru lahir tanpa mempengaruhi keselamatan

ibu .

Berdasarkan luaran ibu dan anak, berdasarkan usia kehamilan, pada pasien

PEB yang timbul dengan usia kehamilan dibawah 24 minggu, terminasi

kehamilan lebih diutamakan untuk menghindari komplikasi yang dapat

mengancam nyawa ibu (misalnya perdarahan otak). Sedangkan pada pasien PEB

dengan usia kehamilan 25 sampai 34 minggu, penanganan ekspektatif lebih

disarankan.

Penelitian awal mengenai terapi ekspektatif ini dilakukan oleh Nochimson

dan Petrie pada tahun 1979. Mereka menunda kelahiran pada pasien PEB dengan

usia kehamilan 27-33 minggu selama 48 jam untuk memberi waktu kerja steroid

mempercepat pematangan paru. Kemudian Rick dkk pada tahun 1980 juga

menunda kelahiran pasien dengan PEB selama 48-72 jam bila diketahui rasio

lecitin/spingomyelin (L/S) menunjukkan ketidakmatangan paru.

Banyak peneliti lain yang juga meneliti efektifitas penatalaksanaan

ekspektatif ini terutama pada kehamilan preterm. Di antaranya yaitu Odendaal dkk

yang melaporkan hasil perbandingan penatalaksanaan ekspektatif dan aktif pada

58 wanita dengan PEB dengan usia kehamilan 28-34 minggu. Pasien ini diterapi

dengan MgSO4, hidralazine, dan kortikosteroid untuk pematangan paru. Semua

pasien dipantau ketat di ruang rawat inap.

Dua puluh dari 58 pasien mengalami terminasi karena indikasi ibu dan

janin setelah 48 jam dirawat inap. Pasien dengan kelompok penanganan aktif

29
diterminasi kehamilannya setelah 72 jam, sedangkan pasien pada kelompok

ekspektatif melahirkan pada usia kehamilan rata-rata 34 minggu. Odendaal dkk

juga menemukan penurunan komplikasi perinatal pada kelompok dengan

penanganan ekspektatif.

Penelitian lain yang dilakukan Witlin dkk melaporkan peningkatan angka

pertumbuhan janin terhambat yang sejalan dengan peningkatan usia kehamilan

selama penanganan secara ekspektatif. Sedangkan Haddad B dkk yang meneliti

239 penderita PEB dengan usia kehamilan 24-33 minggu mendapatkan 13

kematian perinatal dengan rincian 12 bayi pada kelompok aktif dan 1 kematian

perinatal pada kelompok ekspektatif. Sementara angka kematian ibu sama pada

kedua kelompok. Penelitian ini menyimpulkan penanganan PEB secara

ekspektatif pada usia kehamilan 24-33 minggu menghasilkan luaran perinatal

yang lebih baik dengan risiko minimal pada ibu.

Pada pasien dengan PEB, sedapat mungkin persalinan diarahkan

pervaginam dengan beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu:

1. Penderita belum inpartu

a. Dilakukan induksi persalinan bila skor Bishop ≥8

Dalam melakukan induksi persalinan, bila perlu dapat dilakukan

pematangan serviks dengan misoprostol. Induksi persalinan harus sudah

mencapai kala II dalam waktu 24 jam. Bila tidak, induksi persalinan dianggap

gagal dan harus disusul dengan pembedahan sesar.

b. Pembedahan sesar

Dapat dilakukan jika tidak ada indikasi untuk persalinan pervaginam

atau bila induksi persalinan gagal, terjadi maternal distress, terjadi fetal

30
distress, atau umur kehamilan < 33 minggu.

2. Bila penderita sudah inpartu

a. Perjalan persalinan diikuti dengan grafik Friedman

b. Memperpendek kala II

c. Pembedahan cesar dilakukan bila terdapat maternal distress dan fetal

distress.

d. Primigravida direkomendasikan pembedahan cesar.

e. Anastesi: regional anastesia, epidural anastesia. Tidak dianjurkan anastesia

umum.

BAB III
KESIMPULAN

Preeklampsia merupakan penyakit sistemik dengan dampak luas. Di

negara berkembang preeklampsia masih menjadi masalah utama dan menjadi

penyebab nomor 2 dalam angka kematian ibu melahirkan di Indonesia. Untuk itu

setiap tenaga kesehatan memerlukan pengetahuan dan ketercapaian kompetensi

31
dalam manajemen preeklampsia. Selain itu tenaga kesehatan juga ditekankan

dalam pencegahan yang dapat dilakukan mulai dari antenatal care.

32

Anda mungkin juga menyukai