Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

HIV/AIDS
(Asuhan Keperawatan Pada Ibu dan Anak dengan HIV/AIDS)

Oleh:

KELOMPOK: VI

1. Fatiha Tasya Alana


2. Lidia Purmasari
3. Nadya Yovia Arianti
4. Nurkhalid Hashabi
5. Qistina Bazla
6. Sindy Lidya

Dosen Pembimbing : Ns. Mira Susanti,M.Kep

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ALIFAH PADANG

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN

TAHUN AJARAN 2O19/2020


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Idayah,
Taufik dan Hinayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam
bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai
salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam administrasi pendidikan dalam
profesi keperawatan.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi sumbangan
pemikiran kepada pembaca khususnya para mahasiswa. kami sadar bahwa makalah ini masih
banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu,  kepada  dosen  pembimbing  kami 
meminta  masukannya  demi  perbaikan  pembuatan  makalah  kami  di  masa  yang  akan 
datang dan mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca.

Padang, 1 Desember 2019

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kehamilan merupakan peristiwa alami yang terjadi pada wanita, namun kehamilan
dapat mempengaruhi kondisi kesehatan ibu dan janin terutama pada kehamilan trimester
pertama. Wanita hamil trimester pertama pada umumnya mengalami mua, muntah, nafsu
makan berkurang dan kelelahan. Menurunnya kondisi wanita hamil cenderung memperberat
kondisi klinis wanita dengan penyakit infeksi antara lain infeksi HIV-AIDS.
HIV/AIDS adalah topic yang sangat sensitive dan lebih banyak sehingga banyak
penelitian melibatka anak-anak yang rentan untuk terjangkit HIV. Setiap usaha dilakukan
untuk memastikan bahwa keluarga akan merasa baik.
Penyakit AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan
suatu  syndrome/kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh Retrovirus yang
menyerang sistem kekebalan atau pertahanan tubuh. Dengan rusaknya sistem kekebalan
tubuh, maka orang yang terinfeksi mudah diserang penyakit-penyakit lain yang berakibat
fatal, yang dikenal dengan infeksi oportunistik. Kasus AIDS pertama kali ditemukan
oleh Gottlieb di Amerika Serikat pada tahun 1981 dan virusnya ditemukan oleh Luc
Montagnier pada tahun 1983.
Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) adalah penyebab penyakit dan
kematian yang terkemuka di kalangan perempuan dan anak-anak di negara-negara dengan
tingkat infeksi human immunodeficiency virus (HIV) yang tinggi. Transmisi HIV dari ibu
ke anak (Mother To Child Transmission – MCTC) adalah rute infeksi HIVpada anak yang
paling signifikan. Beberapa intervensi telah terbukti efektif dalam mengurangi MTCT
termasuk pilihan persalinan secara caeseran, substitusi menyusui dan terapi antiretroviral
selama kehamilan, persalinan, dan pasca melahirkan. Jika intervensi ini diterapkan dengan
benar maka dapat mengurangi MTCT sebesar 2%.
Orang-orang yang terinfeksi positif  HIV yang mengetahui status mereka mungkin
dapat memberikan manfaat. Namun, seks tanpa perlindungan antara orang yang yang
berisiko membawa HIV sero-positif sebagai super infeksi, penularan infeksi seksual, dan
kehamilan yang tidak direncanakan dapat membuat penurunan kesehatan seksual dan
reproduksi. Hal ini jelas bahwa banyak pasangan yang harus didorong untuk melakukan tes
HIV untuk memastikan status mereka dengan asumsi bahwa mereka mungkin terinfeksi
karena pernah memiliki hubungan seksual denga seseorang yang telah diuji dan ditemukan
sero-positif HIV.
Komunikasi seksualitas antara orangtua dan anak telah diidentifikasi sebagai factor
pelindung untuk seksual emaja dan kesehatan reproduksi, termasuk infeksi HIV.
Meningkatkan kesehatan seksual dan reproduksi remaja merupakan prioritas dunia.
Intervensi yang bertujuan untuk menunda perilaku seksual, mengurangi jumlah pasangan
seksual dan meningkatkan penggunaan kondom. Dari penelitian yang dilakukan di negara
berkembang  menunjukkan bahwa pendidikan seksualitas memiliki potensi untuk
memberikan dampak positif pada pengetahuan, sikap, norma dan niat, meskipun mengubah
perilaku seksual sangat terbatas.
Evolusi infeksi HIV menjadi penyakit kronis memiliki implikasi di semua pengaturan
perawat klinis. Setiap perawat harus memiliki perawatan klinis. Setiap perawat harus
memiliki pengetahuan tantang pencegahan, pemeriksaan, pengobatan, dan kronisitas dari
penyakit dalam rangka untuk memberikan perawatan yang berkualitas tinggi kepada orang-
orang dengan atau berisiko untuk HIV.
1.2 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dalam penulisan makalah ini adalah agar mahasiswa dapat :

a. Memahami tentang penyakit HIV/AIDS


b. Memehami perbedaan HIV positif dengan penderita AIDS HIV/AIDS
c. Mengetahui bagaimana epidemiologi HIV/AIDS
d. Mengetahui etiologi pada HIV/AIDS
e. Memehami bagaimana gejala HIV/AIDS
f. Memahami patofisiologi pada HIV/AIDS
g. Memahami manifestasi klinis pada HIV/AIDS
h. Memahami diagnosis HIV/AIDS pada bayi dan anak
i. Mengetahui pemeriksaan laboratorium terhadap HIV/AIDs

BAB II
KONSEP DASAR

2.1 Defenisi

HIV dalam bahasa inggris merupakan singkatan dari Human Immunodeficiency


Virus ,dalam bahasa indonesia berarti Virus penyebab menurunya kekebalan tubuh manusia
. Virus adalah jasad renik hidup yang amat kecil sehingga dapat lolos melalui jaringan yang
teramat halus atau ultrafilter.jadi,HIV adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh
manusia dan kemudian menimbulkan AIDS. Virus HIV menyerang salah satu jenis sel darah
putih yang berfungsi untuk kekebalan tubuh. Virus HIV ditemukan dalam darah,cairan
vagina,cairan sperma dan ASI .Penemu virus HIV ini adalah Prof.Luc Montagnier dari
lembaga Pasteur di Paris Prancis pada bulan Mei tahun 1983.
AIDS adalah kependekan dari Acquired ImmuneDeficiency Syndrome .Acquired
berarti didapat,bukan keturunan.Immune terkait dengan sistem kekebalan tubuh
kita .Deficiency berarti kekurangan.Syndrome atau sindrom berarti penyakit dengan
kumpulan gejala,bukan gejala tertentu.Jadi,AIDS berarti kumpulan gejala akibat kekurangan
atau kelemahan sistem kekebalan tubuh yang dibentuk setelah lahir.Jelasnya,AIDS adalah
sekumpulan gejala penyakit yang timbul akibat menurunyya sistem kekebalan tubuh
manusia yang didapat ( bukan karena keturunan),tetapi disebabkan oleh virus HIV.
Sistem kekebalan tubuh biasanya melindungi tubuh terhadap serangan dari penyakit-
penyakit yang akan masuk,tetapi bila tubuh telah terinfeksi oleh HIV secara otomatis
kekebalan tubuh akan berkurang dan menurun sampai suatu saat tubuh tidak lagi
mempunyai daya tahan terhadap penyakit dan mudah terjangkit penyakit.Bila itu terjadi
,penyakit yang biasanya tidak berbahayapun akan dapat membuat orang tersebut sakit parah
atau meninggal.

2.2 Perbedaan Antara Penderita HIV Positif Dengan Penderita AIDS

Penderita HIV positif adalah seseorang yang tertular virus HIV,nampak sehat tanpa
gejala penyakit apapun,tetapi dapat menularkan virus AIDS kepada orang lain. Penderita
AIDS adalah seseorang yang menunjukkan gejala dari sekumpulan penyakit,setelah sekian
waktu terinfeksi HIV .Biasanya timbul antara5-10 tahun setelah tertular HIV.
2.3 Epidemiologi
HIV adalah jenis virus yang rapuh. Tidak bisa bertahan lama di luar tubuh manusia.
HIV bisa ditemukan di dalam cairan tubuh dari orang yang terinfeksi. Cairan yang dimaksud
adalah cairan sperma, cairan vagina, cairan anus, darah, dan ASI. HIV tidak bisa menyebar
melalui keringat atau urine.
Di Indonesia faktor penyebab dan penyebaran virus HIV/AIDS terbagi menjadi dua
kelompok utama, yaitu melalui hubungan seks yang tidak aman dan bergantian jarum suntik
saat menggunakan narkotika.
Epidemiologi Penularan HIV secara umum
Kasus AIDS pertama kali dilaporkan pada tahun 1981 di Amerika Serikat.Pada tahun
1983 berhasil diisolasi HIV,yang kemudian diketahui sebagai penyebab AIDS sampai akhir
tahun 2004.menurut perkiraan UNAAIDS ,terdapat secara komulatif terdapat 39,4 juta orang
dengan HIV/AIDS diseluruh dunia (Dep Kes,2005).Meskipun kasus AIDS pertama kali
dilaporkan di Amerika Serikat,dewasa kasus terbanyak di jumpai di Afrika.Dia Asia jumlah
kasus infeksi HIV terus bertambah dan diperkirakan dimasa depan,jumlah HIV terbanyak
akan terdapat di Asia.Sampai akhir tahun 2005,28 juta orang meninggal karena AIDS angka
harapan hidup didaerah yang sangat terkena HIV adalah 49 (pedomanWHO).
Epidemiologi Penularan HIV Dari Ibu Ke Bayi Atau Anak
Pada akhir tahun 2001, menurut perkiraan UNAIDS/WHO, di seluruh dunia terdapat
2,7 juta anak umur kurang dari 5 tahun hidup, 800.000 diantaranya merupakan infeksi baru,
sedangkan kematian pada tahun 2001 mencapai 540.000.
Pada akhir tahun 2002, diperkirakan 3,2 juta anak dibawah umur 15 tahun terinfeksi
HIV/AIDS dan 800.000 anak terinfeksi HIV baru dalam tahun 2002. Kebanyakan dari anak-
anak ini meninggal sebelum mencapai umur remaja.
Pada akhir 2004, perkiraan global HIV/AIDS pada anak dibawah umur 15 tahun
adalah 2,6 juta. Sedangkan anak dengan infeksi baru HIV 750.000 dan kematian anak
disebabkan HIV/AIDS 600.000 pada tahun 2004.

Besaran Tantangan PMTCT di Asia

Negara Estimasi HIV + Kelahiran/tahun

India 500.000
China 70.000
Myanmar 23.000
Thailand 18.000
Kamboja 9.000
Malaysia 1.700
Laos 800
Vietnam 600

Tanpa intervensi, maka besaran penularan HIV dari ibu ke bayi berkisar antara :

1. 24 – 45 % di Negara dengan keterbatasan sumber


2. 16 – 20 % di Negara maju seperti Eropa dan Amerika Utara

Perbedaan kecepatan penularan HIV dari ibu ke bayi terkait dengan :

a) Prevalensi dan durasi pemberian ASI


b) Prematuritas
c) Tingginya muatan virus (viral load) ibu
d) Berada dalam klasifikasi status infeksi yang berbeda

Bagi HIV positif yang dilahirkan di RSCM jumlahnya semakin meningkat. Antara tahun
1996 dan 2002 masing-masing terdapat 1 kasus.

Tahun 2003 jumlahnya meningkat menjadi 17 kasus

Tahun 2004 meningkat lebih dari du


Keadaan diIndonesia
Di Indonesia, penderita AIDS yang pertama kali ditemukan adalah seorang wisatawan
asing laki-laki yang meninggal di Bali,April 1987.penderita AIDS kedua,sudah 2 tahun
menetapdi Indonesia meninggal di Denpasar,Bali,Juni 1988.Sampai tahun 1991,secara
keseluruhan tercatat 21 kasus AIDS dan tertular HIV.Penyebaran HIV di Indonesia
meningkat setelah tahun1995.Sampai Juni1996,Depkes mencatat 407 kasus infeksi
HIV/AIDS .jumlah infeksi HIV/AIDS di masyarakat.
2.4 Etiologi
Penyebab AIDS adalah sejenis virus yang tergolong Retrovirus yang disebut Human
Immunodeficiency Virus (HIV). Virus ini pertama kali diisolasi oleh Montagnier dan
kawan-kawan di Prancis pada tahun 1983 dengan nama Lymphadenopathy Associated Virus
(LAV), sedangkan Gallo di Amerika Serikat pada tahun 1984 mengisolasi (HIV) III.
Kemudian atas kesepakatan internasional pada tahun 1986 nama firus dirubah menjadi HIV.
Muman Immunodeficiency Virus adalah sejenis Retrovirus RNA. Dalam bentuknya
yang asli merupakan partikel yang inert, tidak dapat berkembang atau melukai sampai ia
masuk ke sel target. Sel target virus ini terutama sel Lymfosit T, karena ia mempunyai
reseptor untuk virus HIV yang disebut CD-4. Didalam sel Lymfosit T, virus dapat
berkembang dan seperti retrovirus yang lain, dapat tetap hidup lama dalam sel dengan
keadaan inaktif. Walaupun demikian virus dalam tubuh pengidap HIV selalu dianggap
infectious yang setiap saat dapat aktif dan dapat ditularkan selama hidup penderita tersebut.
Secara mortologis HIV terdiri atas 2 bagian besar yaitu bagian inti (core) dan bagian
selubung (envelop). Bagian inti berbentuk silindris tersusun atas dua untaian RNA
(Ribonucleic Acid). Enzim reverce transcriptase dan beberapa jenis prosein. Bagian
selubung terdiri atas lipid dan glikoprotein (gp 41 dan gp 120). Gp 120 berhubungan dengan
reseptor Lymfosit (T4) yang rentan. Karena bagian luar virus (lemak) tidak tahan panas,
bahan kimia, maka HIV termasuk virus sensitif terhadap pengaruh lingkungan seperti air
mendidih, sinar matahari dan mudah dimatikan dengan berbagai disinfektan seperti eter,
aseton, alkohol, jodium hipoklorit dan sebagainya, tetapi telatif resisten terhadap radiasi dan
sinar utraviolet.
Virus HIV hidup dalam darah, saliva, semen, air mata dan mudah mati diluar tubuh.
HIV dapat juga ditemukan dalam sel monosit, makrotag dan sel glia jaringan otak.
2.5 Gejala
Infeksi HIV muncul dalam tiga tahap. Tahap pertama adalah serokonversi (Periode
waktu tertentu di mana antibodi HIV sudah mulai berkembang untuk melawan virus.).
Tahap kedua adalah masa ketika tidak ada gejala yang muncul. Dan tahap yang ketiga
adalah infeksi HIV berubah menjadi AIDS.
a. Tahap Pertama
Orang yang terinfeksi virus HIV akan menderita sakit mirip seperti flu. Setelah ini,
HIV tidak menimbulkan gejala apa pun selama beberapa tahun. Gejala seperti flu ini akan
muncul beberapa minggu setelah terinfeksi. Masa waktu inilah yang sering disebut
sebagai serokonversi.
Diperkirakan, sekitar 8 dari 10 orang yang terinfeksi HIV mengalami ini. Gejala
yang paling umum terjadi adalah:
 Tenggorokan sakit
 Demam
 Muncul ruam di tubuh, biasanya tidak gatal
 Pembengkakan noda limfa
 Penurunan berat badan
 Diare
 Kelelahan
 Nyeri persendian
 Nyeri otot
Gejala-gejala di atas bisa bertahan selama satu hingga dua bulan, atau bahkan lebih
lama. Ini adalah pertanda sistem kekebalan tubuh sedang melawan virus. Tapi, gejala
tersebut bisa disebabkan oleh penyakit selain HIV. Kondisi ini tidak semata-mata karena
terinfeksi HIV.
Lakukan tes HIV jika Anda merasa berisiko terinfeksi atau ketika muncul gejala
yang disebutkan di atas. Tapi perlu diingat, tidak semua orang mengalami gejala sama
seperti yang disebutkan di atas. Jika merasa telah melakukan sesuatu yang membuat
Anda berisiko terinfeksi, kunjungi klinik atau rumah sakit terdekat untuk menjalani tes
HIV.
b. Tahap Kedua
Setelah gejala awal menghilang, biasanya HIV tidak menimbulkan gejala lebih
lanjut selama bertahun-tahun. Periode ini disebut sebagai masa inkubasi, atau masa laten.
Virus yang ada terus menyebar dan merusak sistem kekebalan tubuh. Pada tahapan ini,
Anda akan merasa sehat dan tidak ada masalah. Kita mungkin tidak menyadari sudah
mengidap HIV, tapi kita sudah bisa menularkan infeksi ini pada orang lain. Lama tahapan
ini bisa berjalan sekitar 10 tahun atau bahkan bisa lebih.
c. Tahap Ketiga atau Tahap Terakhir Infeksi HIV
Jika tidak ditangani, HIV akan melemahkan kemampuan tubuh dalam melawan
infeksi. Dengan kondisi ini, Anda akan lebih mudah terserang penyakit serius. Tahap
akhir ini lebih dikenal sebagai AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome).
Berikut ini adalah gejala yang muncul pada infeksi HIV tahap terakhir:
 Noda limfa atau kelenjar getah bening membengkak pada bagian leher dan pangkal
paha.
 Demam yang berlangsung lebih dari 10 hari.
 Merasa kelelahan hampir setiap saat.
 Berkeringat pada malam hari.
 Berat badan turun tanpa diketahui penyebabnya.
 Bintik-bintik ungu yang tidak hilang pada kulit.
 Sesak napas.
 Diare yang parah dan berkelanjutan.
 Infeksi jamur pada mulut, tenggorokan, atau vagina.
 Mudah memar atau berdarah tanpa sebab.
 Risiko terkena penyakit yang mematikan akan meningkat pada tahap ini. Misalnya
kanker, TB, dan pneumonia. Tapi meski ini penyakit mematikan, pengobatan HIV
tetap bisa dilakukan. Penanganan lebih dini bisa membantu meningkatkan kesehatan.
2.6 Patofisiologi
HIV merupakan retrovirus yang ditransmisikan dalam darah, sperma, cairan vagina,
dan ASI. Cara penularan telah dikenal sejak 1980-an dan tidak berubah yaitu secara; seksual
hubungan seksual, kontak dengan darah atau produk darah, eksposur perinatal, dan
menyusui. HIV muncul sebagai epidemic global pada akhir tahun 1970. Pada tahun 2007
diperkirakan 33 juta orang diseluruh dunia hidup dengan HIV, 2 juta orang meninggal dari
komplikasi AIDS, dan 15 juta anak-anak menjadi yatim piatu akibat kehilangan salah satu
atau kedua orang tua mereka karena AIDS.
Secara umum ada 5 faktor yang perlu diperhatikan pada penularan suatu penyakit
yaitu sumber infeksi, vehikulum yang membawa agent, host yang rentan, tempat keluar
kuman dan tempat masuk kuman (port’d entrée).
Transmisi human immunodefiency virus (HIV) terjadi terutama melalui pertukaran
cairan tubuh (misalnya darah, semen, peristiwa perinatal). Depresi berat pada sistem imun
selular menandai sindrom immunodefiensi didapat (AIDS). Walaupu populasi berisiko
tinggi telah didokumentasi dengan baik,semua wanita harus dikaji untuk mengetahui.
Begitu HIV memasuki tubuh, serum HIV menjadi positif dalam 10 minggu pertama
pemaparan. Walaupun perubahan serum secara total asimptomatik, perubahan ini disertai
viremia, respons tipe-influenza terhadap infeksi HIV awal. Gejala meliputi demam, malaise,
mialgia, mual, diare, nyeri tenggorok, dan ruam dan dapat menetap selama dua sampai tiga
minggu.
Virus HIV sampai saat ini terbukti hanya menyerang sel Lymfosit T dan sel otak
sebagai organ sasarannya. Virus HIV sangat lemah dan mudah mati diluar tubuh. Sebagai
vehikulum yang dapat membawa virus HIV keluar tubuh dan menularkan kepada orang lain
adalah berbagai cairan tubuh. Cairan tubuh yang terbukti menularkan diantaranya semen,
cairan vagina atau servik dan darah penderita.
Banyak cara yang diduga menjadi cara penularan virus HIV, namun hingga kini cara
penularan HIV yang diketahui adalah melalui:
1. Transmisi Seksual
Penularan melalui hubungan seksual baik Homoseksual maupun Heteroseksual
merupakan penularan infeksi HIV yang paling sering terjadi. Penularan ini berhubungan
dengan semen dan cairan vagina atau serik. Infeksi dapat ditularkan dari setiap pengidap
infeksi HIV kepada pasangan seksnya. Resiko penularan HIV tergantung pada pemilihan
pasangan seks, jumlah pasangan seks dan jenis hubungan seks. Pada penelitian Darrow
(1985) ditemukan resiko seropositive untuk zat anti terhadap HIV cenderung naik pada
hubungan seksual yang dilakukan pada pasangan tidak tetap. Orang yang sering
berhubungan seksual dengan berganti pasangan merupakan kelompok manusia yang
berisiko tinggi terinfeksi virus HIV.
a. Homoseksual
Didunia barat, Amerika Serikat dan Eropa tingkat promiskuitas homoseksual
menderita AIDS, berumur antara 20-40 tahun dari semua golongan rusial.
Cara hubungan seksual anogenetal merupakan perilaku seksual dengan resiko tinggi
bagi penularan HIV, khususnya bagi mitra seksual yang pasif menerima ejakulasi
semen dari seseorang pengidap HIV. Hal ini sehubungan dengan mukosa rektum yang
sangat tipis dan mudah sekali mengalami pertukaran pada saat berhubungan secara
anogenital.
b. Heteroseksual
Di Afrika dan Asia Tenggara cara penularan utama melalui hubungan heteroseksual
pada promiskuitas dan penderita terbanyak adalah kelompok umur seksual aktif baik
pria maupun wanita yang mempunyai banyak pasangan dan berganti-ganti.

2. Transmisi Non Seksual


a. Transmisi Parenral
1) Yaitu akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya (alat tindik) yang telah
terkontaminasi, misalnya pada penyalah gunaan narkotik suntik yang menggunakan
jarum suntik yang tercemar secara bersama-sama. Disamping dapat juga terjadi
melaui jarum suntik yang dipakai oleh petugas kesehatan tanpa disterilkan terlebih
dahulu. Resiko tertular cara transmisi parental ini kurang dari 1%.
2) Darah/Produk Darah
Transmisi melalui transfusi atau produk darah terjadi di negara-negara barat
sebelum tahun 1985. Sesudah tahun 1985 transmisi melalui jalur ini di negara barat
sangat jarang, karena darah donor telah diperiksa sebelum ditransfusikan. Resiko
tertular infeksi/HIV lewat trasfusi darah adalah lebih dari 90%.
b. Transmisi Transplasental
Penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak mempunyai resiko sebesar
50%. Penularan dapat terjadi sewaktu hamil, melahirkan dan sewaktu menyusui.
Penularan melalui air susu ibu termasuk penularan dengan resiko rendah.
Penularan HIV Dari Ibu Kepada Bayinya
Penularan HIV ke ibu bisa akibat hubungan seksual yang tidak aman (biseksual atau
hommoseksual), pemakaian narkoba injeksi dengan jarum bergantian bersama  penggidap
HIV, tertular melalui darah dan produk darah, penggunaan alat kesehatan yang tidak steril,
serta alat untuk menorah kulit. Menurut CDC penyebab terjadinya infeksi HIV pada wanita
secara berurutan dari yang terbesar adalah pemakaian obat terlarang melalui injeksi 51%,
wanita heteroseksual 34%, dtransfusi darah 8%, dan tidak diketahui sebanyak 7%.
Cara penularan virus HIV-AIDS pada wanita hamil dapat melalui hubungan seksual.
Salah seorang peneliti mengemukakan bahwa penularan dari suami yang terinfeksi HIV ke
isterinya sejumlah 22% dan isteri yang terinfeksi HIV ke suaminya sejumlah 8%. Namun
penelitian ain mendapatkan serokonversi (dari pemeriksaan laboratorium negatif menjadi
positif) dalam 1-3 tahun dimana didapatkan 42% dari suami dan 38% dari isteri ke suami
dianggap sama.
Penularan HIV dari ibu ke bayi dan anak bisa melalui darah, penularan melalui
hubungan seks. Penularan dari ibu ke anak karena wanita yang menderita HIV atau AIDS
sebagian besar (85%) berusia subur (15-44 tahun) sehingga terdapat resiko penularan infeksi
yang bisa terjadi saat kehamilan (in utero). Berdasarkan laporan CDC Amerika prevalensi
penularan HIV dari ibu ke bayi adalah 0,01 % sampai 0,7%. Bila ibu baru terinfeksi HIv dan
belum ada gejala AIDS kemungkinan bayi terinfeksi sebanyak 20-35%, sedangkan kalau
gejala AIDS sudah jelas pada ibu kemungkinannya mencapai 50%.
Penularan juga terjadi pada proses persalinan melalui transfuse fetomaternal atau
kontak antara kulit atau membrane mukosa bayi dan darah atau sekresi maternal saat
melahirkan. Semakin lama proses persalinan semakin besar resiko, sehingga lama persalinan
bisa dicegah dengan operasi section caesarea. Transmisi lain terjadi selama periode post
partum melalui ASI, resiko bayi tertular melalui ASI dari ibu yang positif sekitar 10%.
Kasus HIV-AIDS disebabkan oleh heteroseksual. Virus ini hanya dapat
ditularkanmelalui kontak langsung dengandarah, semen, dan sekret vagina. Dan sebagian
besar (75%) penularan terjadi melalui hubungan seksual. HIV tergolong netrovirus yang
memiliki materi genetik RNA. Bilamana virus masuk kedalam tubuh penderita (sel hospes),
maka RNA diubah menjadi DNA oleh enzim reverse transcriptase. DNA provirus tersebut
diintegrasikan kedalam sel hospes dan selanjutnya diprogramkan untuk membentuk gen
virus.
Penularan secara vertikal dapat terjadi setiap waktu selama kehamilan atau pada
periode intrapartum atau postpartum. HIV ditemukan pada jaringan fetal yang berusia 12
dan 24 minggu dan terinfeksi intrauterin sejumlah 30-50% yang penularan secara vertikal
terjadi sebelum persalinan, serta 65% penularan terjadi saat intrapartum. Pembukaan serviks,
vagina, sekresi serviks dan darah ibu meningkatkan risiko penularan selama persalinan.
Lingkungan biologis, dan adanya riwayat ulkus genitalis, herpes simpleks, dan SST (Serum
Test for Syphilis) yang positif meningkatkan prevalensi infeksi HIV karena adanya luka-
luka merupakan tempat masuknya HIV. Sel-sel limfosit T4/CD4 yang mempunyai reseptor
untuk menangkap HIV akan aktif mencari luka-luka tersebut dan selanjutnya memasukkan
HIV tersebut ke dalam peredaran darah.
Perubahan anatomi dan fisiologi maternal berdampak pula pada perubahan uterus,
serviks dan vagina, dimana terjadi hepertropi sel otot oleh karena meningkatnya elastisitas
dan penumpukan jaringan fibrous, yang menghasilkan vaskularisasi, kongesti, udem pada
trimester pertama, keadaan ini mempermudah erosi ataupun lecet pada saat hubungan
seksual. Keadaan ini juga merupakan media untuk masuknya HIV. Penularan HIV yang
paling sering terjadi antara pasangan yang salah satunya sudah terinfeksi HIV mendekati
20% setelah melakukan hubungan seksual dengan tidak menggunakan kondom.
Peneliti lain mengemukakan faktor yang dapat meningkatkan penularan HIV
heteroseksual dengan tidak menggunakan kondom pada saat melakukan hubungan seksual
dengan pasangan yang memiliki lesi pada organ vital, yang disebabkan oleh infeksi sifilis
atau herpes simpleks, meningkatkan transfer virus melalui lesi sehingga terjadi kerusakan
membran mukosa dan merangsang limfosit CD4 untuk bergabung dengan jaringan yang
mengalami inflamasi.
PERIODE PRENATAL
Insiden HIV pada wanita hamil diperkirakan meningkat (ACOG, 1992a). Riwayat
kesehatan, pemeriksaan fisik, dan pemeeriksaan laboratorium harus meregleksikan perkiraan
ini jika wanita dan bayi baru lahir akan menerima perawatan yang tepat. Individu yang
berada pada kategori infeksi HIV meliputi:
1. wanita dan pasangan dari daerah geografi tempat HIV umum terjadi;
2. wanita dan pasangan yang menggunakan obat-obatan intravena;
3. wanita dengan PMS persisten dan PMS rekuren;
4. wanita yang menerima transfuse darah antara tahun 1987 dan 1985;
5. setiap wanita yang yakin bahwa ia mungkin terpapar HIV.
Informasi tentang HIV dan ketersediaan pemeriksaan HIV harus ditawarkan kepada
wanita berisiko tinggi pada saat pertama kali mereka dating ke perawatan prenatal. Hasil
negative pada pemeriksaan HIV prenatal pertama bukan suatu garansi bahwa titer
selanjutnya akan negative.
Pemeriksaan prenatal juga dapat menunjukkan adanya gonrorea, C. trachomatis,
hepatitis B, Micobacterium tuberculosis, kandidiasis (infeksi orofaring atau infeksi vaginal
kronis), sitomegalovirus (CMV), dan toksoplasmosis. Sekitar setengah jumlah penderita
AIDS mengalami peningkatan titer.
Beberapa ketidaknyamanan prenatal (mis., keletihan, anoreksia, dan penurunan berat
badan. Menyerupai tanda dan gejala infeksi HIV. Diagnosis banding semua keluhan akibat
kehamilan dan gejala infeksi dibenarkan. Tanda-tanda utama perburukan infeksi HIV
meliputi penurunan berat badan, lebih dari 10% berat badan sebelum hamil, diare kronis
selama lebih dari satu bulan, dan demam (intermiten atau konstan) selama lebih dari satu
bulan.
Untuk menyokong sistem imun wanita hamil, konseling diberikan, mencakup nutrisi
optimum, tidur, istirahat, latihan fisik, dan reduksi stress. Apabila infeksi HIV didiagnosis,
wanita diberi penjelasan tentang teknik berhubungan seksual yang lebih aman. Penggunaan
kondom dan spermisida 9 non-oksinol dianjurkan untuk meminimalkan pemaparan HIV
lebih jauh jika pasangan wanita tersebut merupakan sumber infeksi. Hubungan seksual
orogenital tidak dianjurkan. Hal yang sama penting ialah merujuk wanita tersebut menjalani
rehabilitasi untuk menghentikan penyalahgunaan substansi. Penyalahgunaan alcohol atau
obat-obatan lain mengganggu sistem imun tubuh dan meningkatkan risiko AIDS dan kondisi
terkait:
1. sistem imun tubuh harus rusak dulu sebelum HIV dapat menimbulkan penyakit
2. alcohol dan obat-obatan mengganggu banyak terapi medis dan terapi alternatif untuk
AIDS
3. dan obat-obatan mempengaruhi pertimbangan pengguna yang menjadi lebih cenderung
terlibat dalam aktivitas yang membuatnya berisiko mengidap AIDS aatau meningkatkan
pemaparan terhadap HIV
4. alcohol dan penyalahgunaan obat menyebabkan stress, termasuk masalah tidur,
yang  membahayakan fungsi sistem imun.
Terapi farmakologi untuk infeksi HIV berkembang dengan pesat sejak virus tersebut
ditemukan. Obat primer yang disetujui untuk terapi infeksi HIV adalah 3’azido-3’-
deoksitimidin (zidovudin, AZT [Retrivirl]). Walaupun obat ini menjanjikan hasil yang baik
bagi terapi infeksi HIV, penggunaannya dalam kehamilan dibatasi karena adanya potensi
efek mutagenic atau toksik potensial pada janin. Azitomidin saat ini dipelajari pada beberapa
penelitian terkendali pada wanita hamil, yang memiliki hitung sel T-helper kurang dari 400
sel/mm3 dan terbukti secara signifikan mengurangi risiko transmisi HIV dari wanita
terinfeksi ke janinnya.
PERIODE INTRAPARTUM
Perawatan wanita bersalin tidak secara sustansial berubah karena infeksi asimptomatik
HIV. Model kelahiran yang akan dilakukan didasarkan hanya pada pertimbangan obstetric
karena virus menembus plasenta pada tahap awal kehamilan.
Focus utama adalah mencegah persebaran nosokomial HIV dan melindungi tenaga
keperawatan kesehatan. Risiko tranmisi HIV dianggap rendah selama proses kelahiran per
vaginam terlepas dari kenyataan bahwa bayi terpapar pada darah, cairan amniotic, dan
sekresi vagina ibunya.
Pemantauan janin secara elektronik dan eksternal lebih dipilih jika pemantauan
diperlukan. Ada kemungkinan inokulasi virus ke neonates jika pengambilan sampel darah
dilakukan pada kulit kepala janin atau elektroda dipasang pada kulit kepala janin. Selain itu,
individu yang melakukan salah satu prosedur ini berisiko tertusuk jarum pada jarinya.
PERIODE PASCAPARTUM
Hanya sedikit diketahui tentang kondisi klinis wanita yang terinfeksi HIV selama
periode pascapartum. Walaupun periode pascapartum awal tidak signifikan, follow-up yang
lebih lama menunjukkan frekuensi penyakit klinis yang tinggi pada ibu yang anaknya
menderita penyakit. Konseling tentang pengalihan pengasuhan anak dibutuhkan jika orang
tua tidak lagi mampu merawat diri mereka.
Terlepas dari apakah infeksi terdiagnosis, roses keperawatan diterapkan dengan cara
yang peka terhadap latar belakang budaya individu dan dengan menjunjung nilai
kemanusiaan. Infeksi HIV merupakan suatu peristiwa biologi, bukan suatu komentarmoral.
Sangat penting untuk diingat, ditiru, dan diajarkan bahwa reaksi (pribadi) terhadap gaya
hidup, praktik, atau perilaku tidak boleh mempengaruhi kemampuan perawat dalam member
perawatan kesehatan yang efektif, penuh kasih sayang, dan obyektif kepada semua individu.
Bayi baru lahir dapat bersama ibunya, tetapi tidak boleh disusui. Tindakan
kewaspadaan universal harus diterapkan, baaik untuk ibu maupun bayinya, sebagaimana
yang dilakukan pada semua pasien. Wanita dan bayinya dirujuk ke tenaga kesehatan yang
berpengalaman dalam terapi AIDS dan kondisi terkait.
WOC

2.7 Manifestasi Klinis


Gejala dari infeksi akut HIV terjadi sekitar 50% kepada seseorang yang baru terinfeksi.
Gejala yang ditimbulkan adalah:
 Demam
 Malaise
 Ruam
 Myalgia
 Sakit kepala
 Meningitis
 Kehilangan napsu makan
 Berkeringat
Adapun gejala infeksi HIV kronis sebagai berikut[6]:
 Infeksi bakteri berulang
 Candidiasis di saluran bronkus, trachea, paru dan esophagus
 Herpes simpleks kronis
 Kaposi sarcoma (proliferasi vaskuler neoplastik ganas yang multi sentrik dan ditandai
dengan nodul-nodul kutan berwarna merah kebiruan, biasanya pada pada ekstremitas
bawah yang ukuran dan jumlahnya membesar dan menyebar ke daerah yang lebih
proksimal)
 Pneumoncystis
 Wasting syndrome
Gejala infeksi HIV pada wanita hamil, uumnya sma dengan wanita tidak hamil atau
orang dewasa. infeksi HIV memberikan gambaran klinis yang tidak spesifik dengan
spectrum yang lebar, mulai dari infeksi tanpa gejala (asimtomatik) pada stadium awal
sampai pada gejala-gejala yang berat pada stadium yang lebih lanjut. Perjalanan penyakit
lambat dan gejala-gejala AIDS rata-rata baru timbl 10 tahun sesudah infeksi, bahkan dapat
lebih lama lagi.
Banyak orang yang terinfeksi HIV tidak menunjukkan gejala apapun. Mereka merasa
sehat dan juga dari luar Nampak sehat-sehat saja. Namun orang yang terinfeksi HIV akan
menjadi pembawa dan penular HIV kepada orang lain.
Kelompok orang-orang HIV tanpa gejala dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu:
1. kelompok yang sudah terinfeksi HIV, tetapi tanpa gejala dan tes darahnya negatif. pada
tahap dini ini antibody terhadap HIV belum terbentuk. Waktu antara masuknya HIV
disebut window period yang memerlukan waktu antara 15 hari sampai 3 bulan setelah
terinfeksi HIV.
2. kelompok yang sudah terinfeksi HIV, tanpa gejala tetapi tes darah positif. Keadaan tanpa
gejala ini dapat berlangsung lama sampai 5 tahun atau lebih
CDC (Center for Disease Control, USA, 1986) menetapkan klasifikasi infeksi HIV
pada orang dewasa sebagai berikut:
 Kelompok I: infeksi akut
 Kelompok II: infeksi asimptomatik
 Kelompk III: Infeksi Limpadenopati Generalisata Persisten (LGP)
 Kelompok IV: penyakit-penyakit lain.
2.8 Diagnosis pada Bayi dan Anak
1. Diagnosis HIV Pada Bayi

Agak sulit untuk diagnosis infeksi HIV pada bayi yang dilahirkan oleh ibu HIV
positif, karena antibodi ibu dapat dideteksi pada bayi berusia 18 bulan. Maka, apabila
dilakukan pemeriksaan dengan menggunakan pemeriksaan dengan menggunakan
pemeriksaan ELISA dan Western Blot hasilnya juga akan positif pada bayi.

Untuk itu, CDC merekomendasikan pemeriksaan PCR untuk diagnosis HIV pada
bayi karena tes ini paling spesifik untuk mengidentifikasi HIV dengan mendeteksi DNA
HIV. Caranya sampel darah bayi diambil untuk tes DNA PCR pada saat 2 yang berbeda :

a. Saat bayi berusia 1 bulan (biasanya kurang sensitif)


b. Diulangi lagi saat bayi berusia 4 bulan. Bila hasil tes negatif, berarti bayi tidak
terinfeksi HIV (dengan syarat bayi tidak diberi ASI). Bila bayi diberi ASI, maka PCR
perlu diulang setelah bayi disapih, karena ASI beresiko menularkan HIV.
c. Saat bayi berusia 18 bulan, bila perlu dilakukan pemeriksaan ELISA bila tidak ada
pemeriksaan lainnya (karena untuk beberapa bayi, antibodi dari ibu masih dapat
terdeteksi hingga bayi berusia 18 bulan).

Pada dasarnya, pemeriksaan laboratorium yang dapat dipakai untuk membantu penegakan
diagnosis adalah yang dapat menemukan virus atau partikelnya dalam tubuh seorang
bayi, meskipun beberapa tes dapat mendeteksi HIV ditubuh bayi pada usia dini, tes
tersebut (seperti tes PCR) belum secara luas tersedia di Indonesia. Tetapi biasanya
tersedia di rumah sakit-rumah sakit rujukan HIV AIDS.

2. Diagnosis HIV Pada Anak

Diagnosis HIV pada anak yang terpenting adalah dengan menemukan :

a. Kecurigaan terhadap adanya infeksi berdasarkan faktor resiko dan resiko


epidemiologisnya serta presentasi klinisnya.
b. Konfirmasi dengan pemeriksaan serologi
Untuk anak yang berusia diatas 18 bulan bila ditemukan antibodi HIV melalui
pemeriksaan ELISA dan dikonfirmasikan dengan pemeriksaan Western Blot sudah cukup
untuk mendiagnosis adanya infeksi HIV.
2.9 Pemeriksaan Laboratorium Terhadap HIV

Beberapa pemeriksaan laboratorium yang biasa dipakai untuk diagnosis HIV adalah:

a. ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay)


Bertujuan untuk mengidentifikasi antibodi terhadap HIV. Tes ELISA ini sangat sensitif,
tetapi tidak selalu spesifik. Maka, bila perlu dilakukan konfirmasi hasil ELISA dengan
Western Blot Test.
b. Western Blot (WB) Test
Merupakan elektroforesis gel poliakrilamid, bertujuan untuk mendeteksi rantai protein
yang spesifik terhadap DNA. Hasil diaggap negatif bila tidak ditemukan rantai protein.
Hasil dianggap positif bila ditemukan hampir semua rantai protein, dan dapat
mengkonfirmasikan hasil ELISA realitif yang berulang-ulang.
c. PCR (Polymerase Chain Reaction) atau reaksi berantai polimerase.

Pada tahun 2000 terjadi peningkatan penyebaran epidemi HIV secara nyata melalui
Pekerja Seks Komersial (PSK). Data tahun 2000 dari Tanjung Balai, Riau ditemukan
8,38% pekerja seks yang HIV positif; di Merauke, Irian Jaya 26,5%; Jawa Barat 5,5%
dan DKI Jakarta 3,36%.

Pada tahun 2000, urutan jumlah kasus terbanyak sebagai berikut : Jakarta (362),
Irian Jaya (312), Riau (115), dan Jawa Timur (103). Namun, urutan angka prevalensi
HIV/AIDS tertinggi secara berturut-turut adalah : Irian Jaya (4,85), Jakarta (1,33), Bali
(0,76), Riau (0,32), per 100.000 penduduk.

3. Penatalaksanaan
Pengalaman program yang signifikan dan bukti riset tentang HIV dan pemberian
makanan untuk bayi telah dikumpulkan sejak rekomendasi WHO untuk
pemberian  makanan bayi dalam konteks HIV terakhir kali direvisi pada tahun 2006. Secara
khusus, telah dilaporkan bahwaantiretroviral (ARV) intervensi baik ibu yang terinfeksi HIV
atau janin yang terpapar HIVsecara signifikan dapat  mengurangi risiko penularan HIV
pasca kelahiran melalui menyusui. Bukti ini memiliki implikasi besar untuk bagaimana
perempuan yang hidup dengan HIV mungkin dapat memberi makan  bayi mereka, dan
bagaimana para pekerja kesehatan harus nasihati ibu-ibu ini. Bersama-sama, intervensi ASI
dan ARV memiliki potensi secara signifikan untuk meningkatkan peluang bayi bertahan
hidup sambil tetap tidak terinfeksi HIV.
Meskipun rekomendasi 2010 umumnya konsisten dengan panduan sebelumnya,
mereka mengakui dampak penting dariARV selama masa menyusui, dan merekomendasikan
bahwa otoritas nasional di setiap negarauntuk memutuskan praktik pemberian makan bayi,
seperti menyusui yaitu dengan intervensi ARVuntuk mengurangi transmisi
atau menghindari menyusui, harus dipromosikan dan didukung oleh layanan Kesehatan Ibu
dan Anak mereka. Hal ini berbeda dengan rekomendasi sebelumnya di mana petugas
kesehatan diharapkan untuk memberikan  nasihat secara individual kepada semua ibu yang
terinfeksi HIV tentang berbagai macam pilihan pemberian  makanan  bayi, dan kemudian
ibu-ibu dapat memilih cara untuk pemberian makanan bayinya. 
Dimana otoritas nasional mempromosikan  pemberian ASI dan ARV, ibu yang
diketahui terinfeksi HIV sekarang direkomendasikan untuk menyusui bayi mereka
setidaknya  sampai usia 12 bulan. Rekomendasi bahwa makanan pengganti tidak boleh
digunakan kecuali jikadapat diterima, layak, terjangkau, berkelanjutan dan aman (AFASS).
Pemberian antiretroviral bertujuan agar viral load rendah sehingga jumlah virus yang
ada dalam darah dan cairan tubuh kurang efektif untuk menularkan HIV. Obat yang bisa
dipilih untuk negara berkembang adalah Nevirapine, pada saat ibu saat persalinan diberikan
200mg dosis tunggal, sedangka bayi bisa diberikan 2mg/kgBB/72 jam pertama setelah lahir
dosis tunggal. Obat lain yang bisa dipilih adalah AZT yang diberikan mulai kehamilan 36
minggu 2x300mg/hari dan 300mg setiap jam selama persalinan berlangsung.
4. Pencegahan
Penularan HIV dari ibu ke bayi bisa dicegah melalui empat cara, mulai saat hamil, saat
melahirkan, dan setelah lahir yaitu:
 Penggunaan antiretroviral selama kehamilan
 Penggunaan antiretroviral saat perasalinan dan bayi bayi yang baru dilahirkan
 Penatalaksanan selama menyusui
Bayi dari ibu yang terinfeksi HIV memperlihatkan antibody terhadap virus tersebut
hingga 10 sampai 18 bulan setelah lahir karena penyaluran IgG anti-HIV ibu menembus
plasenta. Karena itu, uji terhadap serum bayi untuk mencari ada tidaknya antibodi IgG
,erupakan hal yang sia-sia, karena uji ini tidak dapat membedakan antibody bayi dari
antibody ibu. Sebagian besar dari bayi ini, seiring dengan waktu, akan berhenti
memperlihatkan antibody ibu dan juga tidak membentuk sendiri antibody terhadap virus,
yang menunjukkan status seronegatif. Pada bayi, infeksi HIV sejati dapat diketahui melalui
pemeriksaan-pemeriksaan seperti biakan virus, antigen p24, atau analisis PCR untuk RNA
atau DNA virus. PCR DNA HIV adalah uji virologik yang dianjurkan karena sensitive untuk
mendiagnosis infeksi HIV selama masa neonatus.

Selama ini, mekanisme penularan HIV dari ibu kepada janinnya masih belum
diketahui pasti. Angka penularan bervariasi dari sekitar 25% pada populasi yang tidak
menyusui dan tidak diobati di negara-negara industri sampai sekitar 40% pada populasi
serupa di negara-negara yang sedang berkembang. Tanpa menyusui, sekitar 20% dari infeksi
HIV pada bayi terjadi in utero dan 80% terjadi selama persalinan dan pelahiran. Penularan
pascapartus dapat terjadi melalui kolostrum dan ASI dan diperkirakan menimbulkan
tambahan risiko 15% penularan perinatal[20]

Factor ibu yang berkaitan dengan peningkatan risiko penularan mencakup penyakit ibu
yang lanjut, kadar virus dalam serum yang tinggi, dan hitung sel T CD4+ yang rendah. Pada
tahun 1994, studi 076 dari the Pediatric AIDS Clinical Trials Group (PACTG) membuktikan
bahwa pemberian zidovudin kepada perempuan hamil yang terinfeksi HIV mengurangi
penularan ibu ke bayi sebesar dua pertiga dari 25% menjadi 8%. Di Amerika Serikat, insiden
AIDS yang ditularkan pada masa perinatal turun 67% dari tahun 1992 sampai 1997 akibat
uji HIV ibu prenatal dan profilaksis prenatal dengan terapi zidovudin. Perempuan
merupakan sekitar 20% dari kasus HIV-AIDS di Amerika Serikat. Perempuan dari kaum
minoritas (Amerika Afrika dan keturunan Spanyol) lebih banyak terkena, merupakan 85%
dari seluruh kasus AIDS. Selain pemberian zidovudin oral kepada ibu positif HIV sela

hamil, tindakan-tindakan lain yang dianjurkan untuk mengurangi risiko penularan HIV
ibu kepada anak antaea lain:
1. seksio sesaria sebelum tanda-tanda partus dan pecahnya ketuban (mengurangi angka
penularan sebesar 50%);
2. pemberian zidovudin intravena selama persalinan dan pelahiran;
3. pemberian sirup zidovudin kepada bayi setelah lahir;
4. tidak memberi ASI
Data menunjukkan bahwa perkembangan penyakit mengalami percapatan pada anak.
Fase asimptomatik lebih singkat pada anak yang terjangkit virus melalui penularan vertical.
Waktu median sampai awitan gejala lebih kecil pada anak, dan setelah gejala muncul,
progresivitas penyakit menuju kematian dipercepat. Pada tahun 1994, CDC merevisi sistem
klasfikasi untuk infeksi HIV pada anak berusia kurang dari 13 tahun. Pada sistem ini, anak
yang terinfeksi diklasifikasikan menjadi kategori-kategori berdasarkan tiga parameter: status
infeksi, status klinis, dan status imunologik.
Perjalanan infeksi HIV pada anak dan dewasa memiliki kemiripan dan perbedaan.
Pada anak sering terjadi disfungsi sel B sebelum terjadi perubahan dalam jumlah limfosit
CD4+. Akibat disfungsi sistem imun ini, anak rentan mengalami infeksi bakteri rekuren.
Invasi oleh pathogen-patogen bakteri ini menyebabkan berbagai sindrom klinis pada anak
seperti otitis media, sinusitis, infeksi saluran kemih, meningitis infeksi pernapasan, penyakit
GI, dan penyakit lain.
Seluruh dunia, pada 2008,diperkirakan 430.000[240.000-610.000] infeksibaru
karenahuman immunodeficiency virus(HIV) terjadi pada anak-anak, yang 90%
diperolehmelaluimotherto-child transmission (MTCT) HIV. Dari 430.000 infeksi baru,
antara280dan 360.000.000 diperolehselama persalinan danpada periodepra-melahirkan.
Dari infeksi baruyang tersisa,sebagian besardiperolehselama menyusui.Padabayi
yangterjangkit HIVselama waktu persalinan, perkembangan penyakitterjadi sangat
cepatdalam beberapa bulanpertama kehidupan, sering menyebabkan kematian. Untuk
mengaktifkanantiretroviral(ARV) profilaksisharus diberikan kepada bayi sesegera mungkin
setelah lahir, semua bayi yang memiliki status pajanan HIV harus diketahui sejak lahir[24].
Data terbaru yang diterbitkan mengkonfirmasi manfaat kelangsungan hidup
dramatis  bagi bayi yang  mulai diberikan ART sedini mungkin setelah diagnosis HIV,
diperoleh dari review Organisasi Kesehatan Dunia(WHO) pedoman pengobatan pediatrik.
PadaJuni 2008, pedoman baru dikeluarkan, yang merekomendasikan inisiasi ART segera
pada bayi didiagnosis dengan infeksi HIV. Dalam rangka untuk mengidentifisikan bayi yang
akan membutuhkan ART segera, konfirmasi awal dari infeksi HIV diperlukan. Pada
November 2008, pertemuandiadakan untukmeninjaurekomendasioleh WHOuntuk
pengujiandiagnostikinfeksi HIVpada bayidan anak-anak.

BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan
AIDS adalah suatu penyakit retrovirus epidemik menular, yang disebabkan oleh
infeksi HIV, yang pada kasus berat bermanifestasi sebagai depresi berat imunitas seluler,
dan mengenai kelompok risiko tertentu, termasuk pria homoseksual atau biseksual,
penyalahgunaan obat intravena, penderita hemofilia, dan penerima transfusi darah
lainnya, hubungan seksual dari individu yang terinfeksi virus tersebut.
Penularan HIV ke ibu bisa akibat hubungan seksual yang tidak aman (biseksual
atau hommoseksual), pemakaian narkoba injeksi dengan jarum bergantian
bersama  penggidap HIV, tertular melalui darah dan produk darah, penggunaan alat
kesehatan yang tidak steril, serta alat untuk menorah kulit.
Penularan secara vertikal dapat terjadi setiap waktu selama kehamilan atau pada
periode intrapartum atau postpartum. HIV ditemukan pada jaringan fetal yang berusia 12
dan 24 minggu dan terinfeksi intrauterin sejumlah 30-50% yang penularan secara vertikal
terjadi sebelum persalinan, serta 65% penularan terjadi saat intrapartum. Pembukaan
serviks, vagina, sekresi serviks dan darah ibu meningkatkan risiko penularan selama
persalinan. Lingkungan biologis, dan adanya riwayat ulkus genitalis, herpes simpleks,
dan SST (Serum Test for Syphilis) yang positif meningkatkan prevalensi infeksi HIV
karena adanya luka-luka merupakan tempat masuknya HIV.
4.2 Saran
Semoga Makalah ini dapat berguna bagi penyusun dan pembaca. Kritik dan saran
sangat diharapkan untuk pengerjaan berikutnya yang lebih baik

Anda mungkin juga menyukai