Anda di halaman 1dari 12

PENDAHULUAN

Penyakit parkinson pertama kali digambarkan oleh Dr. James Parkinson di dalam sebuah
buku kecil yang berjudul “An Essay on the Shaking Palsy” yang dipublikasi pada tahun
1817.1 Penyakit parkinson adalah suatu kelainan degeneratif sistem saraf pusat yang sering
merusak sistem motor penderita seperti keterampilan, ucapan dan fungsi lainnya.2 Penyakit
Parkinson memiliki sekelompok kondisi yang disebut gangguan gerak. Hal ini ditandai
dengan kekakuan otot, tremor, perlambatan gerakan fisik (bradikinesia) dan dalam kasus
yang ekstrim, hilangnya gerakan fisik (akinesia).2,3
Penyakit Parkinson menyerang jutaan penduduk di dunia atau sekitar 1% dari total populasi
dunia. Penyakit tersebut menyerang penduduk dari berbagai etnis dan status sosial ekonomi.4
Kejadian penyakit parkinson telah diperkirakan 4,5-21 kasus per 100.000 penduduk per
tahun, dan perkiraan prevalensi berkisar 18-328 kasus per 100.000 penduduk, dengan
sebagian besar studi menghasilkan prevalensi sekitar 120 kasus per 100.000 penduduk.5
Kejadian penyakit parkinson berhubungan dengan usia, yang berarti bahwa jumlah kasus
akan meningkat sebesar 25-30% selama 25 tahun ke depan.6

DEFINISI
Penyakit Parkinson merupakan penyakit neurodegeneratif sistem ekstrapiramidal yang
merupakan bagian dari parkinsonism yang secara patologis ditandai oleh adanya degenerasi
ganglia basalis terutama di substansia nigra pars kompakta (SNC) yang disertai adanya
inklusi sitoplasmik eosinofilik (lewy bodies).3
Parkinsonism adalah suatu sindrom yang ditandai oleh tremor pada waktu istirahat, rigiditas,
bradikinesia dan hilangnya refleks postural akibat penurunan dopamin dengan berbagai
macam sebab.2,3

EPIDEMIOLOGI
Penyakit parkinson diakui sebagai salah satu gangguan neurologis yang paling umum,
mempengaruhi sekitar 1% dari orang yang lebih tua dari 60 tahun. Insiden dan prevalensi
penyakit Parkinson meningkat dengan usia, dan usia rata-rata onset adalah sekitar 60 tahun.
Onset pada orang yang lebih muda dari 40 tahun relatif jarang.5
Kejadian penyakit parkinson telah diperkirakan 4,5-21 kasus per 100.000 penduduk per
tahun, dan perkiraan prevalensi berkisar 18-328 kasus per 100.000 penduduk, dengan
sebagian besar studi menghasilkan prevalensi sekitar 120 kasus per 100.000 penduduk.5
Suatu kepustakaan menyebutkan prevalensi tertinggi penyakit parkinson terjadi pada ras
Kaukasian di Amerika Utara dan ras Eropa 0,98% hingga 1,94%, menengah terdapat pada ras
Asia 0,018% dan prevalensi terendah terdapat pada ras kulit hitam di Afrika 0,01%.9 Penyakit
parkinson 1,5 kali lebih sering terjadi pada pria dibandingkan pada wanita.5

KLASIFIKASI
Berdasarkan penyebabnya, penyakit parkinson dibagi menjadi 4 jenis yaitu:9
a. Idiopati (primer) merupakan penyakit parkinson secara genetik.
b. Simptomatik (sekunder) merupakan penyakit parkinson akibat infeksi, obat, toksin,
vaskular, trauma, hipotiroidea, tumor, hidrosefalus tekanan normal, hidrosefalus
obstruktif.
c. Parkinson plus (multiple system degenerasion) merupakan parkinsonism primer dengan
gejala-gejala tambahan. Termasuk demensia lewy bodies, progresif supranuklear palsi,
atrofi multi sistem, degenerasi striatonigral, degenerasi olivopontoserebelar, sindrom
Shy-Drager, degenerasi kortikobasal, kompleks parkinson demensia ALS (Guam),
neuroakantositosis.
d. Parkinsonism herediter, terdiri dari penyakit wilson, penyakit huntington, penyakit Lewy
bodies.

PATOGENESIS
Studi postmortem secara konsisten menyoroti adanya kerusakan oksidatif dalam patogenesis
penyakit parkinson, dan khususnya kerusakan oksidatif pada lipid, protein, dan DNA dapat
diamati pada substansia nigra pars kompakta (SNc) otak pasien penyakit parkinson sporadik.
Stress oksidatif akan membahayakan integritas neuron sehingga mempercepat degenerasi
neuron. Sumber peningkatan stress oksidatif ini masih belum jelas namun mungkin saja
melibatkan disfungsi mitokondria, peningkatan metabolisme dopamin yang menghasilkan
hidrogen peroksida dan reactive oxygen species (ROS) lain dalam jumlah besar, peningkatan
besi reaktif, dan gangguan jalur pertahanan antioksidan.3
Banyak bukti mengarah pada peran utama disfungsi mitokondria sebagai dasar patogenesis
penyakit parkinson, dan khususnya defek mitokondria complex-I (complex-I) dari rantai
respirasi. Defek complex-I mungkin yang paling tepat menyebabkan degenerasi neuron pada
penyakit parkinson melalui penurunan sintesis ATP.3
Gambar 1. Patogenesis penyakit parkinson8

Mutasi patogen dan faktor lingkungan diketahui menyebabkan penyakit parkinson akibat
disfungsi mitokondria, kerusakan oksidatif, agregasi protein abnormal dan fosforilasi protein
yang mengorbankan fungsi neuronal dopaminergik. Faktor lingkungan seperti pestisida dan
racun langsung menginduksi kerusakan oksidatif dan disfungsi mitokondria. A-synuclein
mengalami agregasi karena mutasi patogen atau oksidasi katekol yang menginduksi stres ER
dan menyebabkan disfungsi mitokondria. Disfungsi mitokondria dan kerusakan oksidatif
menyebabkan defisit ATP yang dapat mengganggu fungsi UPS untuk mempromosikan
agregasi protein abnormal.8
B-synuclein mencegah agregasi a-synuclein melalui aktivasi Akt signaling. Parkin
meningkatkan biogenesis mitokondria dengan mengaktifkan faktor transkripsi mitokondria A
(TFAM). DJ-1 melindungi terhadap stres oksidatif, fungsi sebagai pendamping untuk
memblokir agregasi a-synuclein dan melindungi terhadap disfungsi mitokondria. PINK1
melindungi terhadap disfungsi mitokondria akibat mutasi patogen, meskipun fungsi yang
tepat dari PINK1 di mitokondria masih belum diketahui.8
LRRK2 berperan dalam fungsi vesikel sinaptik, perkembangan neurite, dan lain-lain. Mutasi
patogen di LRRK2 menyebabkan abnormal fosforilasi protein yang menginduksi kematian
sel mitokondria. Selain itu, peran saraf dari PGC-1a mencegah kerusakan oksidatif dan
disfungsi mitokondria. Familial gen parkinson-linked yaitu parkin, DJ-1 dan PINK1 berperan
mengaktifkan PI3 kinase-Akt signaling. Aktivasi jalur Nrf2/ARE mencegah kerusakan
oksidatif dan disfungsi mitokondria dan mempertahankan kelangsungan hidup sel. PI3
kinase-Akt signaling dan sinyal Nrf2/ARE bisa dieksplorasi sebagai target potensial untuk
intervensi terapeutik pada kematian neuronal dopaminergik.8

PATOFISIOLOGI
Secara umum dikatakan bahwa penyakit parkinson terjadi karena penurunan kadar dopamin
akibat kematian neuron di pars kompakta substansia nigra sebesar 40 hingga 50 persen yang
disertai adanya inklusi sitoplasmik eosinofilik (Lewy bodies).3
Lesi primer pada penyakit parkinson adalah degenerasi sel saraf yang mengandung
neuromelanin di dalam batang otak, khususnya di substansia nigra pars kompakta, yang
menjadi terlihat pucat dengan mata telanjang.3
Dalam kondisi normal (fisiologis), pelepasan dopamin dari ujung saraf nigrostriatum akan
merangsang reseptor D1 (eksitatorik) dan reseptor D2 (inhibitorik) yang berada didendrit
output neuron striatum. Output striatum disalurkan ke globus palidus segmen interna atau
substansia nigra pars retikularis lewat 2 jalur yaitu jalur direk reseptor D1 dan jalur indirek
yang berkaitan dengan reseptor D2. Apabila masukan direk dan indirek seimbang, maka tidak
ada kelainan gerakan.3
Pada penderita penyakit parkinson, terjadi degenerasi kerusakan substansia nigra pars
kompakta dan saraf dopaminergik nigrostriatum sehingga tidak ada rangsangan terhadap
reseptor D1 maupun D2. Gejala Penyakit parkinson belum terlihat sampai lebih dari 50
persen sel saraf dopaminergik rusak dan dopamin berkurang sebanyak 80 persen.3
Reseptor D1 yang eksitatorik tidak terangsang sehingga jalur langsung dengan
neurotransmitter GABA (inhibitorik) tidak teraktifasi. Reseptor D2 yang inhibitorik tidak
terangsang, sehingga jalur indirek dari putamen ke globus palidus segmen eksterna yang
GABAergik tidak ada yang menghambat sehingga fungsi inhibitorik terhadap globus palidus
segmen eksterna berlebihan. Fungsi inhibisi dari saraf GABAergik dari globus palidus
segmen ekstena ke nukleu subtalamikus melemah dan kegiatan neuron nukleus subtalamikus
meningkat akibat inhibisi.3
Terjadi peningkatan output nukleus subtalamikus ke globus palidus segmen
interna/substansia nigra pars retikularis melalui saraf glutaminergik yang eksitatorik
akibatnya terjadi peningkatan kegiatan neuron globus palidus/substansia nigra. Keadaan ini
diperhebat oleh lemahnya fungsi inhibitorik dari jalur langsung, sehingga output ganglia
basalis menjadi berlebihan ke arah talamus. Saraf eferen dari globus palidus segmen interna
ke talamus adalah GABAergik sehingga kegiatan talamus akan tertekan dan selanjutnya
rangsangan dari talamus ke korteks lewat saraf glutamatergik akan menurun dan output
korteks motorik ke neuron motorik medulla spinalis melemah terjadi hipokine.3

MANIFESTASI KLINIS
Keadaan penderita pada umumnya diawali oleh gejala yang non spesifik, yang didapat dari
anamnesis yaitu kelemahan umum, kekakuan pada otot, pegal-pegal atau kram otot, distonia
fokal, gangguan ketrampilan, kegelisahan, gejala sensorik (parestesia) dan gejala psikiatrik
(ansietas atau depresi). Gambaran klinis penderita parkinson:9
a. Tremor
Biasanya merupakan gejala pertama pada penyakit parkinson dan bermula pada satu
tangan kemudian meluas pada tungkai sisi yang sama. Kemudian sisi yang lain juga akan
turut terkena. Kepala, bibir dan lidah sering tidak terlihat, kecuali pada stadium lanjut.
Frekuensi tremor berkisar antara 4-7 gerakan per detik dan terutama timbul pada keadaan
istirahat dan berkurang bila ekstremitas digerakan. Tremor akan bertambah pada keadaan
emosi dan hilang pada waktu tidur.
b. Rigiditas
Pada permulaan rigiditas terbatas pada satu ekstremitas atas dan hanya terdeteksi pada
gerakan pasif. Pada stadium lanjut, rigiditas menjadi menyeluruh dan lebih berat dan
memberikan tahanan jika persendian digerakan secara pasif. Rigiditas timbul sebagai
reaksi terhadap regangan pada otot agonis dan antagonis. Salah satu gejala dini akibat
rigiditas ialah hilang gerak asosiatif lengan bila berjalan. Rigiditas disebabkan oleh
meningkatnya aktivitas motor neuron alfa.
c. Bradikinesia
Gerakan volunter menjadi lambat dan memulai suatu gerakan menjadi sulit. Ekspresi
muka atau gerakan mimik wajah berkurang (muka topeng). Gerakan-gerakan otomatis
yang terjadi tanpa disadari waktu duduk juga menjadi sangat kurang. Bicara menjadi
lambat dan monoton dan volume suara berkurang (hipofonia).
d. Hilangnya refleks postural
Meskipun sebagian peneliti memasukan sebagai gejala utama, namun pada awal stadium
penyakit parkinson gejala ini belum ada. Hanya 37% penderita penyakit parkinson yang
sudah berlangsung selama 5 tahun mengalami gejala ini. Keadaan ini disebabkan
kegagalan integrasi dari saraf propioseptif dan labirin dan sebagian kecil impuls dari
mata, pada level talamus dan ganglia basalis yang akan mengganggu kewaspadaan posisi
tubuh. Keadaan ini mengakibatkan penderita mudah jatuh.
e. Wajah Parkinson
Seperti telah diutarakan, bradikinesia mengakibatkan kurangnya ekspresi muka serta
mimik. Muka menjadi seperti topeng, kedipan mata berkurang, disamping itu kulit muka
seperti berminyak dan ludah sering keluar dari mulut.
f. Mikrografia
Bila tangan yang dominan terlibat, maka tulisan secara graduasi menjadi kecil dan rapat.
Pada beberapa kasus hal ini merupakan gejala dini.
g. Sikap Parkinson
Bradikinesia menyebabkan langkah menjadi kecil, yang khas pada penyakit parkinson.
Pada stadium yang lebih lanjut sikap penderita dalam posisi kepala difleksikan ke dada,
bahu membongkok ke depan, punggung melengkung kedepan, dan lengan tidak
melenggang bila berjalan.
h. Bicara
Rigiditas dan bradikinesia otot pernafasan, pita suara, otot faring, lidah dan bibir
mengakibatkan berbicara atau pengucapan kata-kata yang monoton dengan volume yang
kecil dan khas pada penyakit parkinson. Pada beberapa kasus suara berkurang sampai
berbentuk suara bisikan yang lamban.
i. Disfungsi otonom
Disfungsi otonom pada pasien penyakit parkinson memperlihatkan beberapa gejala
seperti disfungsi kardiovaskular (hipotensi ortostatik, aritmia jantung), gastrointestinal
(gangguan dismotilitas lambung, gangguan pencernaan, sembelit dan regurgitasi),
saluran kemih (frekuensi, urgensi atau inkontinensia), seksual (impotensi atau
hypersexual drive), termoregulator (berkeringat berlebihan atau intoleransi panas atau
dingin). Prevalensi disfungsi otonom ini berkisar 14-18%. Patofisiologi disfungsi otonom
pada penyakit parkinson diakui akibat degenerasi dan disfungsi nukleus yang mengatur
fungsi otonom, seperti nukleus vagus dorsal, nukleus ambigus dan pusat medullary
lainnya seperti medulla ventrolateral, rostral medulla, medulla ventromedial dan nukleus
rafe kaudal.
j. Gerakan bola mata
Mata kurang berkedip, melirik kearah atas terganggu, konvergensi menjadi sulit, gerak
bola mata menjadi terganggu.
k. Tanda Myerson
Dilakukan dengan jalan mengetok di daerah glabela berulang-ulang. Pasien Parkinson
tidak dapat mencegah mata berkedip pada tiap ketokan. Disebut juga sebagai tanda
“Myerson”.
l. Demensia
Demensia adalah suatu sindroma penurunan kemampuan intelektual progresif yang
menyebabkan deteriorasi kognisi dan fungsional, sehingga mengakibatkan gangguan
fungsi sosial, pekerjaan dan aktifitas sehari-hari. Kelainan ini berkembang sebagai
konsekuensi patologi penyakit parkinson disebut kompleks parkinsonism demensia.
Demensia pada penyakit parkinson mungkin baru akan terlihat pada stadium lanjut,
namun pasien penyakit parkinson telah memperlihatkan perlambatan fungsi kognitif dan
gangguan fungsi eksekutif pada stadium awal. Gangguan fungsi kognitif pada penyakit
parkinson yang meliputi gangguan bahasa, fungsi visuospasial, memori jangka panjang
dan fungsi eksekutif ditemukan lebih berat dibandingkan dengan proses penuaan normal.
Persentase gangguan kognitif diperkirakan 20%.
m. Depresi
Sekitar 40% penderita penyakit parkinson terdapat gejala depresi. Hal ini dapat
disebabkan kondisi fisik penderita yang mengakibatkan keadaan yang menyedihkan
seperti kehilangan pekerjaan, kehilangan harga diri dan merasa dikucilkan. Hal ini
disebabkan keadaan depresi yang sifatnya endogen. Secara anatomi keadaan ini dapat
dijelaskan bahwa pada penderita parkinson terjadi degenerasi neuron dopaminergik dan
juga terjadi degenerasi neuron norepineprin yang letaknya tepat dibawah substansia nigra
dan degenerasi neuron asetilkolin yang letaknya diatas substansia nigra.

DIAGNOSA
Diagnosis penyakit parkinson didasarkan pada riwayat medis dan pemeriksaan neurologis
melalui anamnesa dan mengamati pasien secara langsung menggunakan Unified Parkinson's
Disease Skala Rating. Sebuah radiotracer untuk mesin pemindaian SPECT yang disebut
DaTSCAN dibuat oleh General Electric untuk mendiagnosis penyakit parkinson, tetapi hanya
dipasarkan di Eropa. Oleh karena itu, penyakit ini sulit untuk didiagnosis secara akurat,
terutama pada tahap awal.2
Diagnosis penyakit parkinson berdasarkan gejala klinis dilihat dari gejala motorik
utama yaitu tremor pada waktu istirahat, rigiditas, bradikinesia dan hilangnya refleks
postural. Kriteria yang dipakai adalah kriteria Hughes (1992) yaitu:3
 Possible: bila ditemukan 1 dari gejala-gejala utama
 Probable: bila ditemukan 2 dari gejala-gejala utama
 Definite: bila ditemukan 3 dari gejala-gejala utama
Untuk menentukan berat ringannya penyakit, digunakan stadium klinis berdasarkan
Hoehn and Yahr (1967) yaitu: 3
 Stadium 1: Gejala dan tanda pada satu sisi, terdapat gejala yang ringan, terdapat gejala
yang mengganggu tetapi belum menimbulkan kecacatan, biasanya terdapat tremor pada
satu anggota gerak, gejala yang timbul dapat dikenali orang terdekat (teman).
 Stadium 2: Terdapat gejala bilateral, terdapat kecacatan minimal, sikap/cara berjalan
terganggu.
 Stadium 3: Gerak tubuh nyata melambat, keseimbangan mulai terganggu saat
berjalan/berdiri, disfungsi umum sedang.
 Stadium 4: Terdapat gejala yang berat, masih dapat berjalan hanya untuk jarak tertentu,
rigiditas dan bradikinesia, tidak mampu berdiri sendiri, tremor dapat berkurang
dibandingkan stadium sebelumnya.
 Stadium 5: Stadium kakhetik (cachactic stage), kecacatan total, tidak mampu berdiri dan
berjalan walaupun dibantu.
Penyakit parkinson adalah diagnosis klinis. Tidak terdapat biomarker laboratorium
dan temuan rutin pada Magnetic Resonance Imaging (MRI) ataupun computed tomography
(CT) scan. Tomografi emisi positron (PET) dan single-photon emisi CT (SPECT) mungkin
menunjukkan temuan yang konsisten dengan penyakit parkinson, dan pengujian penciuman
dapat memberikan bukti menunjuk ke arah penyakit parkinson, namun studi ini tidak secara
rutin diperlukan.5
TATALAKSANA

Gambar 2. Algoritma penatalaksanaan penyakit parkinson

DEEP BRAIN STIMULATION


Selama 30 tahun terakhir, stimulasi otak dalam (DBS) telah berkembang menjadi standar perawatan
klinis sebagai pengobatan yang sangat efektif untuk penyakit Parkinson lanjut. Pemilihan pasien yang
cermat, lokalisasi target anatomi individual dan evaluasi cermat parameter stimulasi untuk DBS
kronis adalah persyaratan penting untuk mencapai hasil yang optimal. Kemajuan terkait perangkat
keras saat ini memungkinkan stimulasi individual yang lebih terfokus dan karenanya dapat membantu
mencapai hasil klinis yang optimal. Namun, kemajuan saat ini juga meningkatkan derajat kebebasan
untuk pemrograman DBS dan karenanya menantang keterampilan penyedia layanan kesehatan.
Ulasan ini memberikan gambaran tentang efek klinis DBS, kriteria untuk pasien, target, dan
pemilihan perangkat, dan akhirnya, menawarkan strategi untuk pendekatan pemrograman terstruktur. 8
Di antara berbagai target yang tersedia, STN sebagian besar dipilih dalam standar klinis perawatan
penyakit parkinson, meskipun analisis komparatif tidak menunjukkan keunggulan terhadap target
paling umum kedua, GPI. Namun, karena literatur ilmiah yang menggambarkan pengamatan DBS di
penyakit parkinson jelas didominasi oleh STN sebagai target terpilih, pembaruan ini terutama
membahas praktik klinis untuk STN DBS. 8
DAFTAR PUSTAKA

1. Buhmann C, Huckhagel T, Engel K, et al. Adverse events in deep brain stimulation: a


retrospective long-term analysis of neurological, psychiatric and other occurrences. PLoS
One 2017; 12: e0178984.

2. Mahlknecht P, Akram H, Georgiev D, et al. Pyramidal tract activation due to subthalamic


deep brain stimulation in Parkinson’s disease. Mov Disord 2017; 32: 1174–1182.

3. Wojtecki L, Timmermann L, Jorgens S, et al. Frequency-dependent reciprocal modulation


of verbal fluency and motor functions in subthalamic deep brain stimulation. Arch Neurol
2006; 63: 1273–1276.

4. Temel Y, Wilbrink P, Duits A, et al. Single electrode and multiple electrode guided electrical
stimulation of the subthalamic nucleus in advanced Parkinson’s disease. Neurosurgery 2007;
61: 346–355; discussion 55–57.

5. Temel Y, Kessels A, Tan S, et al. Behavioural changes after bilateral subthalamic stimulation
in advanced Parkinson disease: a systematic review. Parkinsonism Relat Disord 2006; 12:
265–272.

6. Martinez-Fernandez R, Pelissier P, Quesada JL, et al. Postoperative apathy can neutralise


benefits in quality of life after subthalamic stimulation for Parkinson’s disease. J Neurol
Neurosurg Psychiatry 2016; 87: 311–318.

7. Thobois S, Ardouin C, Lhommee E, et al. Non- motor dopamine withdrawal syndrome after
surgery for Parkinson’s disease: predictors and underlying mesolimbic denervation. Brain
2010; 133: 1111–1127.

8. Voon V, Krack P, Lang AE, et al. A multicentre study on suicide outcomes following
subthalamic stimulation for Parkinson’s disease. Brain 2008; 131: 2720–2728.
9. Weintraub D, Duda JE, Carlson K, et al. Suicide ideation and behaviours after STN and GPi
DBS surgery for Parkinson’s disease: results from a randomised, controlled trial.

Anda mungkin juga menyukai